Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Lansia

2.1.1 Pengertian

Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Menua
bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur
mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan
tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh, seperti didalam
Undang-Undang No 13 tahun 1998 yang isinya menyatakan bahwa pelaksanaan
pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945, telah menghasilkan kondisi
sosial masyarakat yang makin membaik dan usia harapan hidup makin meningkat,
sehingga jumlah lanjut usia makin bertambah.

Banyak diantara lanjut usia yang masih produktif dan mampu berperan aktif
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Upaya peningkatan
kesejahteraan sosial lanjut usia pada hakikatnya merupakan pelestarian nilai-nilai
keagamaan dan budaya bangsa. Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaaan
yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses
sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak
permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang
telah melalui tiga tahap kehidupan, yaitu anak, dewasa dan tua (Nugroho, 2006).

2.1.2 Batasan Lansia

1. WHO (1999) menjelaskan batasan lansia adalah sebagai berikut :

a) Usia lanjut (elderly) antara usia 60-74 tahun,


b) Usia tua (old) :75-90 tahun,dan
c) Usia sangat tua (very old) adalah usia > 90 tahun.

2. Depkes RI (2005) menjelaskan bahwa batasan lansia dibagi menjadi tiga


katagori, yaitu:
a) Usia lanjut presenilis yaitu antara usia 45-59 tahun,
b) Usia lanjut yaitu usia 60 tahun ke atas,
c) Usia lanjut beresiko yaitu usia 70 tahun ke atas atau usia 60 tahun ke
atas dengan masalah kesehatan

2.1.3 Ciri Ciri Lansia.

Ciri-ciri lansia adalah sebagai berikut : ( Siti Nur Kholifah 2016)

1. Lansia merupakan periode kemunduran.


Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor
psikologis. Motivasi memiliki peran yang penting dalam kemunduran
pada lansia. Misalnya lansia yang memiliki motivasi yang rendah dalam
melakukan kegiatan, maka akan mempercepat proses kemunduran fisik,
akan tetapi ada juga lansia yang memiliki motivasi yang tinggi, maka
kemunduran fisik pada lansia akan lebih lama terjadi.
2. Lansia memiliki status kelompok minoritas.
Kondisi ini sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan
terhadap lansia dan diperkuat oleh pendapat yang kurang baik, misalnya
lansia yang lebih senang mempertahankan pendapatnya maka sikap sosial
di masyarakat menjadi negatif, tetapi ada juga lansia yang mempunyai
tenggang rasa kepada orang lain sehingga sikap sosial masyarakat
menjadi positif.
3. Menua membutuhkan perubahan peran.
Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami
kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya
dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan dari
lingkungan. Misalnya lansia menduduki jabatan sosial di masyarakat
sebagai Ketua RW, sebaiknya masyarakat tidak memberhentikan lansia
sebagai ketua RW karena usianya.
4. Penyesuaian yang buruk pada lansia.
Perlakuan yang buruk terhadap lansia membuat mereka cenderung
mengembangkan konsep diri yang buruk sehingga dapat memperlihatkan
bentuk perilaku yang buruk. Akibat dari perlakuan yang buruk itu
membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk pula. Contoh : lansia
yang tinggal bersama keluarga sering tidak dilibatkan untuk pengambilan
keputusan karena dianggap pola pikirnya kuno, kondisi inilah yang
menyebabkan lansia menarik diri dari lingkungan, cepat tersinggung dan
bahkan memiliki harga diri yang rendah.

2.1.4 Perkembangan Lansia

Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan manusia di
dunia. Tahap ini dimulai dari 60 tahun sampai akhir kehidupan. Lansia merupakan
istilah tahap akhir dari proses penuaan. Semua orang akan mengalami proses menjadi
tua (tahap penuaan). Masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir, dimana
pada masa ini seseorang mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial sedikit demi
sedikit sehingga tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari lagi (tahap penurunan).
Penuaan merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup, termasuk tubuh,
jaringan dan sel, yang mengalami penurunan kapasitas fungsional. Pada manusia,
penuaan dihubungkan dengan perubahan degeneratif pada kulit, tulang, jantung,
pembuluh darah, paru-paru, saraf dan jaringan tubuh lainnya. Dengan kemampuan
regeneratif yang terbatas, mereka lebih rentan terhadap berbagai penyakit, sindroma
dan kesakitan dibandingkan dengan orang dewasa lain. Untuk menjelaskan penurunan
pada tahap ini, terdapat berbagai perbedaan teori, namun para ahli pada umumnya
sepakat bahwa proses ini lebih banyak ditemukan pada faktor genetik. ( Siti Nur
Kholifah 2016 )

2.1.5 Tujuan Pelayanan Kesehatan Pada Lansia

Pelayanan pada umumnya selalu memberikan arah dalam memudahkan petugas


kesehatan dalam memberikan pelayanan sosial, kesehatan, perawatan dan
meningkatkan mutu pelayanan bagi lansia. Tujuan pelayanan kesehatan pada lansia
terdiri dari :

1. Mempertahankan derajat kesehatan para lansia pada taraf yang setinggi-


tingginya, sehingga terhindar dari penyakit atau gangguan.
2. Memelihara kondisi kesehatan dengan aktifitas-aktifitas fisik dan mental
3. Mencari upaya semaksimal mungkin agar para lansia yang menderita suatu
penyakit atau gangguan, masih dapat mempertahankan kemandirian yang
optimal.
4. Mendampingi dan memberikan bantuan moril dan perhatian pada lansia yang
berada dalam fase terminal sehingga lansia dapat mengadapi kematian dengan
tenang dan bermartabat. Fungsi pelayanan dapat dilaksanakan pada pusat
pelayanan sosial lansia, pusat informasi pelayanan sosial lansia, dan pusat
pengembangan pelayanan sosial lansia dan pusat pemberdayaan lansia.

2.1.6 Pendekata Perawatan Lansia

1. Pendekatan Fisik

Perawatan pada lansia juga dapat dilakukan dengan pendekatan fisik melalui
perhatian terhadap kesehatan, kebutuhan, kejadian yang dialami klien lansia
semasa hidupnya, perubahan fisik pada organ tubuh, tingkat kesehatan yang
masih dapat dicapai dan dikembangkan, dan penyakit yang dapat dicegah
atau progresifitas penyakitnya. Pendekatan fisik secara umum bagi klien
lanjut usia dapat dibagi 2 bagian:

a) Klien lansia yang masih aktif dan memiliki keadaan fisik yang masih
mampu bergerak tanpa bantuan orang lain sehingga dalam
kebutuhannya sehari-hari ia masih mampu melakukannya sendiri.

b) Klien lansia yang pasif, keadaan fisiknya mengalami kelumpuhan atau


sakit. Perawat harus mengetahui dasar perawatan klien lansia ini,
terutama yang berkaitan dengan kebersihan perseorangan untuk
mempertahankan kesehatan.

2 . Pendekatan Psikologis

Perawat mempunyai peranan penting untuk mengadakan pendekatan


edukatif pada klien lansia. Perawat dapat berperan sebagai pendukung
terhadap segala sesuatu yang asing, penampung rahasia pribadi dan sahabat
yang akrab. Perawat hendaknya memiliki kesabaran dan ketelitian dalam
memberi kesempatan dan waktu yang cukup banyak untuk menerima
berbagai bentuk keluhan agar lansia merasa puas. Perawat harus selalu
memegang prinsip triple S yaitu sabar, simpatik dan service. Bila ingin
mengubah tingkah laku dan pandangan mereka terhadap kesehatan, perawat
bisa melakukannya secara perlahan dan bertahap.

3 . Pendekatan Sosial

Berdiskusi serta bertukar pikiran dan cerita merupakan salah satu upaya
perawat dalam melakukan pendekatan sosial. Memberi kesempatan untuk
berkumpul bersama dengan sesama klien lansia berarti menciptakan
sosialisasi. Pendekatan sosial ini merupakan pegangan bagi perawat bahwa
lansia adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Dalam
pelaksanaannya, perawat dapat menciptakan hubungan sosial, baik antar
lania maupun lansia dengan perawat. Perawat memberi kesempatan seluas-
luasnya kepada lansia untuk mengadakan komunikasi dan melakukan
rekreasi. Lansia perlu dimotivasi untuk membaca surat kabar dan majalah.

2.1.7 Prinsip Etika Pada Pelayanan Kesehatan Lansia

Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan pada lansia
adalah (Kane et al, 1994, Reuben et al, 1996) :

1. Empati: istilah empati menyangkut pengertian “simpati atas dasar pengertian


yang dalam”artinya upaya pelayanan pada lansia harus memandang seorang
lansia yang sakit dengan pengertian, kasih sayang dan memahami rasa
penderitaan yang dialami oleh penderita tersebut. Tindakan empati harus
dilaksanakan dengan wajar, tidak berlebihan, sehingga tidak memberi kesan
over protective dan belas-kasihan. Oleh karena itu semua petugas geriatrik
harus memahami peroses fisiologis dan patologik dari penderita lansia.
2. Non maleficence dan beneficence. Pelayanan pada lansia selalu didasarkan
pada keharusan untuk mengerjakan yang baik dan harus menghindari tindakan
yang menambah penderitaan (harm). Sebagai contoh, upaya pemberian posisi
baring yang tepat untuk menghindari rasa nyeri, pemberian analgesik (kalau
perlu dengan derivat morfina) yang cukup, pengucapan kata-kata hiburan
merupakan contoh berbagai hal yang mungkin mudah dan praktis untuk
dikerjakan.
3. Otonomi yaitu suatu prinsip bahwa seorang individu mempunyai hak untuk
menentukan nasibnya, dan mengemukakan keinginannya sendiri. Tentu saja
hak tersebut mempunyai batasan, akan tetapi di bidang geriatri hal tersebut
berdasar pada keadaan, apakah lansia dapat membuat keputusan secara
mandiri dan bebas. Dalam etika ketimuran, seringakali hal ini dibantu (atau
menjadi semakin rumit ?) oleh pendapat keluarga dekat. Jadi secara hakiki,
prinsip otonomi berupaya untuk melindungi penderita yang fungsional masih
kapabel (sedangkan non-maleficence dan beneficence lebih bersifat
melindungi penderita yang inkapabel). Dalam berbagai hal aspek etik ini
seolah-olah memakai prinsip paternalisme, dimana seseorang menjadi wakil
dari orang lain untuk membuat suatu keputusan (misalnya seorang ayah
membuat keputusan bagi anaknya yang belum dewasa).
4. Keadilan: yaitu prinsip pelayanan pada lansia harus memberikan perlakuan
yang sama bagi semua. Kewajiban untuk memperlakukan seorang penderita
secara wajar dan tidak mengadakan pembedaan atas dasar karakteristik yang
tidak relevan. e. Kesungguhan hati: Suatu prinsip untuk selalu memenuhi
semua janji yang diberikan pada seorang lansia.

2.1.8 Klasifikasi Lansia

Menurut Deppkes RI ( 2013 ) klasifikasi lansia terdiri dari

a) Pra lansia yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.


b) Lansia adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih .
c) Lansia yang resiko jatuh ialah seseorang yang berusia 60 tahun atau
lebih dengan masalah kesehatan .
d) Lansia potensial ialah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan
dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa.
e) Lansia tidak potensial ialah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah ,
sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

2.1.9 Perubahan – perubahan Yang Terjadi Pada Lansia


Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan secara
degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri manusia,
tidak hanya perubahan fisik, tetapi juga kognitif, perasaan, sosial dan sexual (Azizah
dan Lilik M, 2011).

a. Perubahan Fisik

1) Sistem pendengaran; Prebiakusis (gangguan pada pendengaran) oleh karena


hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam, terutama
terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit
dimengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas 60 tahun.
2) Sistem Intergumen: Pada lansia kulit mengalami atropi, kendur, tidak elastis
kering dan berkerut. Kulit akan kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan
berbercak. Kekeringan kulit disebabkan atropi glandula sebasea dan glandula
sudoritera, timbul pigmen berwarna coklat pada kulit dikenal dengan liver spot
3) Sistem Muskuloskeletal: Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia:
Jaringan penghubung (kolagen dan elastin), kartilago, tulang, otot dan sendi.
Kolagen sebagai pendukung utama kulit, tendon, tulang, kartilago dan jaringan
pengikat mengalami perubahan menjadi bentangan yang tidak teratur.
Kartilago: jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan mengalami
granulasi, sehingga permukaan sendi menjadi rata. Kemampuan kartilago untuk
regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung kearah progresif,
konsekuensinya kartilago pada persendiaan menjadi rentan terhadap gesekan.
Tulang: berkurangnya kepadatan tulang setelah diamati adalah bagian dari
penuaan fisiologi, sehingga akan mengakibatkan osteoporosis dan lebih lanjut
akan mengakibatkan nyeri, deformitas dan fraktur. Otot: perubahan struktur
otot pada penuaan sangat bervariasi, penurunan jumlah dan ukuran serabut otot,
peningkatan jaringan penghubung dan jaringan lemak pada otot mengakibatkan
efek negatif. Sendi; pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon,
ligament dan fasia mengalami penuaan elastisitas.
4) Sistem kardiovaskuler: Perubahan pada sistem kardiovaskuler pada lansia
adalah massa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertropi sehingga
peregangan jantung berkurang, kondisi ini terjadi karena perubahan jaringan
ikat. Perubahan ini disebabkan oleh penumpukan lipofusin, klasifikasi SA
Node dan jaringan konduksi berubah menjadi jaringan ikat.
5) Sistem respirasi: Pada proses penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru,
kapasitas total paru tetap tetapi volume cadangan paru bertambah untuk
mengkompensasi kenaikan ruang paru, udara yang mengalir ke paru berkurang.
Perubahan pada otot, kartilago dan sendi torak mengakibatkan gerakan
pernapasan terganggu dan kemampuan peregangan toraks berkurang.
6) Pencernaan dan Metabolisme Perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan,
seperti penurunan produksi sebagai kemunduran fungsi yang nyata karena
kehilangan gigi, indra pengecap menurun, rasa lapar menurun (kepekaan rasa
lapar menurun), liver (hati) makin mengecil dan menurunnya tempat
penyimpanan, dan berkurangnya aliran darah.
7) Sistem perkemihan Pada sistem perkemihan terjadi perubahan yang signifikan.
Banyak fungsi yang mengalami kemunduran, contohnya laju filtrasi, ekskresi,
dan reabsorpsi oleh ginjal.
8) Sistem saraf Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan atropi
yang progresif pada serabut saraf lansia. Lansia mengalami penurunan
koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
9) Sistem reproduksi Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan
menciutnya ovary dan uterus. Terjadi atropi payudara. Pada laki-laki testis
masih dapat memproduksi spermatozoa, meskipun adanya penurunan secara
berangsur-angsur.

b. Perubahan Kognitif

1) Memory (Daya ingat, Ingatan)


2) IQ (Intellegent Quotient)
3) Kemampuan Belajar (Learning
4) Kemampuan Pemahaman (Comprehension)
5) Pemecahan Masalah (Problem Solving)
6) Pengambilan Keputusan (Decision Making)
7) Kebijaksanaan (Wisdom)
8) Kinerja (Performance)
9) Motivasi
c. Perubahan mental Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental

1) Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa.


2) Kesehatan umum
3) Tingkat pendidikan
4) Keturunan (hereditas)
5) Lingkungan
6) Gangguan syaraf panca indera, timbul kebutaan dan ketulian.
7) Gangguan konsep diri akibat kehilangan kehilangan jabatan
8) Rangkaian dari kehilangan , yaitu kehilangan hubungan dengan teman dan
famili
9) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran
diri, perubahan konsep diri.

d. Perubahan spiritual Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam


kehidupannya. Lansia semakin matang (mature) dalam kehidupan keagamaan, hal
ini terlihat dalam berfikir dan bertindak sehari-hari.

e. Perubahan Psikososial

1) Kesepian Terjadi pada saat pasangan hidup atau teman dekat meninggal
terutama jika lansia mengalami penurunan kesehatan, seperti menderita
penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik terutama
pendengaran.
2) Duka cita (Bereavement) Meninggalnya pasangan hidup, teman dekat, atau
bahkan hewan kesayangan dapat meruntuhkan pertahanan jiwa yang telah
rapuh pada lansia. Hal tersebut dapat memicu terjadinya gangguan fisik dan
kesehatan.
3) Depresi Duka cita yang berlanjut akan menimbulkan perasaan kosong, lalu
diikuti dengan keinginan untuk menangis yang berlanjut menjadi suatu
episode depresi. Depresi juga dapat disebabkan karena stres lingkungan dan
menurunnya kemampuan adaptasi.
4) Gangguan cemas Dibagi dalam beberapa golongan: fobia, panik, gangguan
cemas umum, gangguan stress setelah trauma dan gangguan obsesif
kompulsif, gangguangangguan tersebut merupakan kelanjutan dari dewasa
muda dan berhubungan dengan sekunder akibat penyakit medis, depresi, efek
samping obat, atau gejala penghentian mendadak dari suatu obat.

2.2 Konsep Fungsi Kognitif


2.2.1 Pengertian Fungsi Kognitif
Fungsi kognitif adalah merupakan aktivitas mental secara sadar seperti berpikir,
mengingat, belajar dan menggunakan bahasa. Fungsi kognitif juga merupakan
kemampuan atensi, memori, pertimbangan, pemecahan masalah, serta kemampuan
eksekutif seperti merencanakan, menilai, mengawasi dan melakukan evaluasi.
( Asyikah, 2014).

2.2.2 Macam Fungsi Kognitif


Fungsi otak yang lebih tinggi dapat disubklasifikasikan menjadi (Ginsberg,
Lionel. 2007) :
a. Fungsi yang terdistribusi, yang tidak terlokalisasi pada regio otak tertentu,
namun membutuhkan aksi dari berbagai bagian pada kedua sisi otak,
seperti :
1) Atensi dan Konsentrasi Pemeliharaan atensi normal tergantung dari dasar
anatomis yang sama dengan kesadaran, yaitu sistem aktivasi retrikular
yang berproyeksi ke talamus dan kemudian ke korteks serebri secara
difus.
2) Memori Dengan kemajuan dalam riset neuropsikologi, “sistem” memori
telah dibagi menjadi beberapa komponen :
a) Memori Implisit Respon motorik yang dipelajari yang tidak
berhubungan dengan akses kesadaran, misalnya mengendarai mobil
dan keterampilan motorik kompleks lainnya.
b) Memori Eksplisit Berhubungan dengan akses kesadaran, yang
kemudian disubklasifikasikan lagi menjadi.
(1) Memori episodik, misalnya menceritakan kembali detil
autobiografi dan kejadian pengalaman pribadi lainnya yang
berhubungan dengan waktu tertentu.
(2) Memori semantik, penyimpanan pengetahuan dunia secara umum.
3) Fungsi Eksekutif yang Lebih Tinggi Fungsi eksekutif sulit untuk
didefinisikan dengan tepat, tetapi meliputi kemampuan untuk membuat
rencana, beradaptasi, menangani konsep abstrak dan menyelesaikan
masalah digabung dengan aspek perilaku sosial dan kepribadian,
misalnya inisiatif, motivasi dan inhibisi.
b. Fungsi yang terlokalisasi, yang tergangtung dari struktur dan fungsi normal
dari satu area atau tertentu pada satu hemisfer. Dominasi hemisfer, pada
kebanyakan individu, hemisfer serebri kiri merupakan hemisfer yang
dominan untuk fungsi bahasa. Bahkan mayoritas orang kidal juga memiliki
hemisfer kiri yang dominan.
1) Fungsi Hemisfer Dominan Afasia atau disfasia adalah kerusakan fungsi
berbahasa akibat kerusakan otak. Hal ini meliputi bahasa lisan dan
tulisan (membaca dan menulis), yang mungkin saja mengalami
kerusakan selektif (aleksia/ disleksia dan agrafia/ disgrafia). Fungsi
bahasa meliputi :
a) Kelancaran berbahasa, apakah lansia dapat mengeluarkan frase atau
kalimat dengan panjang yang normal (lima atau lebih kata) secara
spontan. Jika berbicaranya tidak lancar, maka tata bahasa (sintaks)
umumnya juga abnormal.
b) Pengertian atau komprehensi, sejumlah benda dijajarkan di depan
lansia dan lansia diperintahkan menunjuk benda yang disebutkan
oleh pemeriksa, misalnya pulpen, jam tangan, kunci, apakah lansia
mampu melakukannya? Apakah lansia dapat mengerjakan perintah
yang lebih kompleks? (“coba anda ambil kunci dan berikan pulpen
pada saya”). Apakah lansia dapat mengerti konsep dibalik
pertanyaan? (“Apakah nama adebu yang tertinggal setelah rokok
habis?”).
c) Repetisi, apakah lansia dapat mengulangi kata tunggal atau seluruh
kalimat seperti “jika tidak, dan, atau, tetapi?”
d) Menyebutkan nama, misalnya nama benda, seperti jam tangan,
pulpen dan benda yang kurang familiar seperti pena, gesper,
kumparan (kegagalan menyebutkan nama suatu benda (anomia)
terjadi pada lansia disfagia pada tingkat keparahan yang berbeda.
2) Fungsi Hemisfer Nondominan Jika sebagian besar fungsi bahasa
terletak pada hemisfer dominan, maka hemisfer nondominan sebagian
besar, walaupun tidak semuanya, bertanggung jawab untuk
keterampilan visuospasial.

2.2.3 Penyebab Penurunan Kognitif Pada Lansia


Penurunan kemampuan kognitif pada lansia memperlihatkan perubahan seiring
dengan perubahan kondisi kesehatan. Otak lansia sebagaimana organ lain
memperlihatkan kehilangan yang gradual. Secara umum diasumsikan bahwa
penurunan fungsi kognitif pada lansia disebabkan oleh perubahan morfologis jaringan
cerebral, penurunan kapasitas sirkulasi dan neurotransmiter. Selain penurunan fisik,
beberapa faktor yang mempengaruhi fungsi kognitif adalah motivasi, harapan,
kepribadian, kebutuhan tugas, pola belajar, kemampuan intelektual, tingkat
pendidikan, latar belakang, sosiokultural dan pola proses informasi. (Bostrom. 2009).

2.2.4 Perubahan Kognitif pada Lansia


Perubahan kognitif terdapat pada performance terutama pada tugas yang
membutuhkan kecepatan, yang memerlukan memori jangka pendek, ini terlihat adanya
keterlambatan dalam kecepatan melakukan tugas. Namun perubahan ini bergantung
pula kepada macam tes yang diberikan. Kemampuan untuk mengingat dengan baik
dibandingkan dengan sebelumnya. Dengan bertambahnya waktu, mereka merasa sukar
mengingat hal yang penting sehingga merasa cemas, meskipun kemampuan fisik dan
mental yang lain tidak terganggu, kemampuan berjalan masih baik, fasih
berkomunikasi dan masih dapat menikmati hobi. Kemunduran proses mengingat pada
lansia terjadi secara bertahap. Dengan berubahnya kondisi kesehatan dari sehat
menjadi sakit, lansia menyadari bahwa dirinya perlu mewaspadai adanya gangguan
otak yang menyebabkan gangguan proses memori dan bila terjadi penurunan
kemampuan ingatan tertunda yang merupakan ciri khas terjadinya proses patologis
seperti demensia. (Yunus, 2003) menggambarkan kelemahan kognitif ringan atau lebih
dikenal sebagai Mild Cognitive Impairment (MCI) merupakan salah satu gangguan
kognitif termasuk kelompok perantara atau fase transisi antara mudah lupa terkait
dengan usia. Consensus paper on MCI tahun 2000 membuat rekomendasi untuk
kriteria diagnosis untuk seseorang yang dikatakan menyandang kelemahan kognitif
ringan apabila memenuhi beberapa persyaratan :
a. Adanya laporan dari orang itu sendiri atau keluarga bahwa orang tersebut
mengalami kemunduran kognitif lainnya dibandingkan keadaan sebelumnya.
b. Orang tersebut masih mempunyai aktivitas hidup harian sederhana dengan baik.
c. Hasil evaluasi tes penampilan Mini Mental Status Examination (MMSE) tidak
cukup terganggu dibandingkan kontrol sesuai umur dan Pendidikan.
d. Adanya gangguan dalam kemampuan memori atau kognitif lainnya.
e. Gangguan kognitif dan gangguan aktivitas hidup harian tidak cukup parah untuk
menetapkan diagnosa demensia. (Sidiarto, 2003).

2.2.5 Faktor Resiko Penurunan Fungsi Kognitif Lansia


Jenis kelamin, wanita lebih beresiko mengalami penurunan kognitif daripada
laki- laki. Hal ini disebabkan adanya peranan level hormon seks endogen dalam
perubahan fungsi kognitif. Reseptor estrogen telah ditemukan dalam area otak yang
berperan dalam fungsi belajar dan memori, seperti hipokampus. Penurunan fungsi
kognitif umum dan memori verbal dikaitkan dengan rendahnya level estradiol dalam
tubuh. Estradiol diperkirakan bersifat neuroprotektif yaitu dapat membatasi kerusakan
akibat stress oksidatif serta sebagai pelindung sel saraf dari toksisitas amiloid pada
lansia Alzheimer. ( Yaffe, 2007). Faktor makanan juga mempengaruhi fungsi kognitif.
Kekurangan vitamin D sekitar 25%- 54% pada orang berusia 60 keatas dan 74%
ditemukan pada wanita pada penderita Alzheimer. Hal tersebut disebabkan oleh
metabolisme vitamin D yang kurang efisien pada orang tua. Karena sumber utama
vitamin D adalah sinar matahari, untuk mempertahankan tingkat serum normal, diet
saja mungkin tidak cukup tanpa suplementasi. Hasil dari penelitian tentang vitamin D
dalam fungsi otak adalah adanya reseptor vitamin D pada hipokampus dan merupakan
pelindung dari saraf vitro (Yaffe, 2007). Salah satu faktor penyakit penting yang
mempengaruhi penurunan kognitif lansia adalah hipertensi. Peningkatan tekanan darah
kronis dapat meningkatkan efek penuaan pada struktur otak, meliputi penurunan
substansia putih dan abu- abu di lobus prefrontal, penurunan hipokampus,
meningkatkan hiperintensitas substansia putih di lobus frontalis (Raz, Rodrigue, &
Acker dalam Myers. 2008). Angina pektoris, infark miokardium, penyakit jantung
koroner dan penyakit vaskular lainnya juga dikaitkan dengan memburuknya fungsi
kognitif (Briton. 2008). Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan positif antara
usia dan penurunan fungsi kognitif. Hasil dari pengukuran fungsi kognitif pada lansia
adalah 16% pada kelompok umur 60- 69 tahun, 21% pada 70- 74 tahun, 30% pada 75-
79 tahun, dan 44% pada 80 tahun keatas (Nasrun. 2009).

2.2.6 Manifestasi Gangguan Kognitif pada Lansia


a. Gangguan Bahasa
Gangguan bahasa yang terjadi pada penurunan kognitif terutama tampak
pada kemiskinan kosa kata. Lansia tidak dapat menyebutkan nama benda atau
gambar yang ditunjukkan padanya (confrontation naming), tetapi lebih sulit
lagi menyebutkan nama benda dalam satu kategori (category naming),
misalnya disuruh menyebutkan nama buah atau hewan dalam satu kategori.
Sering adanya diskrepansi antara penamaan konfrontasi dan penamaan
kategori dipakai untuk mencurigai penurunan kognitif dan demensia dini.

b. Gangguan Memori
Sering merupakan gejala yang pertama timbul pada penurunan kognitif
dan demensia dini. Tahap awal terganggu adalah memori baru, yakni cepat
lupa apa yang baru saja dikerjakan, lambat laun memori lama juga dapat
terganggu. Fungsi memori dibagi dalam tiga tingkatan bergantung lamanya
rentang waktu antara stimulus dan recall yaitu :
1) Memori segera (immediate memory), rentang waktu antara stimulus dan
recall hanya beberapa detik. Disini hanya dibutuhkan pemusatan perhatian
untuk mengingat (attention).
2) Memori baru (recent memory), rentang waktu lebih lama yaitu beberapa
menit, jam, bulan bahkan tahun.
3) Memori lama (remote memory), rentang waktunya tahunan bahkan seusia
hidup.
c. Gangguan Emosi
Gangguan ini sering timbul pada lansia. Sekitar 15% lansia mengalami
kesulitan kontrol terhadap ekspresi dan emosi. Tanda lain adalah menangis
dengan tiba- tiba atau tidak dapat mengendalikan tawa. Efek langsung yang
paling umum dari penyakit pada personality adalah emosi yang tumpul,
disinhibition, kecemasan yang berkurang atau euforia ringan, dan
menurunnya sensitifitas sosial. Dapat juga terjadi kecemasan yang berlebihan,
depresi dan hipersensitif.
d. Gangguan Visuospasial
Sering timbul dini pada demensia. Lansia banyak lupa waktu, tidak tahu
kapan siang dan malam, lupa wajah teman dan sering tidak tahu tempat
sehingga sering tersesat (disorientasi waktu, tempat, dan orang). Secara
obyektif gangguan visuospasial ini dapat ditentukan dengan meminta lansia
mengkopi gambar atau menyusun balok sesuai bentuk tertentu. Semua lobus
berperan dalam kemampuan konstruksi dan lobus parietal terutama hemisfer
kanan berperan paling dominan.
e. Gangguan Kognisi (cognition)
Fungsi ini yang paling sering terganggu pada lansia dan penurunan
kognitif, terutama daya abstraksinya. Selalu berfikir konkret, sehingga sukar
sekali memberi makna peribahasa. Juga daya persamaan (similarities)
mengalami penurunan.
g. Fungsi Eksekutif
Fungsi eksekutif dari otak dapat didefenisikan sebagai suatu proses
kompleks seseorang dalam memecahkan masalah/ persoalan baru. Proses ini
meliputi kesadaran akan keberadaan suatu masalah, mengevaluasinya,
menganalisa serta memecahkan atau mencari jalan keluar suatu persoalan.
Fungsi ini dimediasi oleh korteks prefrontal dorsolateral dan struktur
subkortikal yang berhubungan dengan daerah tersebut. Fungsi eksekutif dapat
terganggu bila sirkuit frontal- subkortikal terputus. Lezack membagi fungsi
eksekutif menjadi 4 komponen yaitu volition (kemauan), planning
(perencanaan), purposive action (bertujuan), effective performance
(pelaksanaan yang efektif).
h. Atensi
Atensi adalah kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu
stimulus dengan mampu mengabaikan stimulus lain yang tidak dibutuhkan.
Atensi merupakan hasil hubungan antara batang otak, aktivitas limbik dan
aktivitas korteks sehingga mampu untuk fokus pada stimulus spesifik dan
mengabaikan stimulus lain yang tidak relevan. Konsentrasi merupakan
kemampuan untuk mempertahankan atensi dalam periode yang lebih lama.
Gangguan atensi dan konsentrasi akan mempengaruhi fungsi kognitif lain
seperti memori, bahasa dan fungsi eksekutif ( Yunus, 2003).

2.1.7 Manajemen Keperawatan Terhadap Kemunduran Kognitif Lansia


Manajemen keperawatan yang dapat dilakukan terhadap kemunduran kognitif
adalah dengan mengkaji orientasi lansia. Hal ini diakukan untuk meningkatkan
kognisi lansia. Beberapa program yang dapat mendorong kemampuan stabilitas,
konsistensi, identifikasi dan partisipasi aktif adalah:
a. Latihan memori (daya ingat) dengan orentasi realitas atau keadaan sekitar dan
waktu (tanggal dan tahun). Orientasi realitas adalah upaya mempertahankan
realita yang ada, antara lain terhadap waktu, tempat, dan orang. Pada lansia
yang mengalami kemunduran kognitif langkah orientasi realitas seperti jam
dinding menunjukkan waktu yang benar dan dapat dilihat, papan orientasi
menunjukkan tanggal, menu dan kejadian tiap hari, memberi label pada pintu
ruangan seperti toilet, ruang makan, dan lainnya. Orientasi terapi kelompok
dengan orientasi konstan terhadap lingkungan.
b. Terapi kemampuan sosial adalah memberikan dorongan dan semangat kepada
lansia ketika berinteraksi dengan yang lainnya.
c. Terapi komunikasi adalah dengan meningkatkan pola bicara atau kata terpilih
untuk memfasilitasi proses berfikir dengan meminimalisir kelainan sensori.
d. Terapi manajemen stres adalah dengan mengidentifikasi faktor yang
meminimalisasi stres dengan menggunakan metode dan manajemen stres.
e. Terapi nostalgia dengan bercerita pengalaman masa lalu, hal ini berguna untuk
menstimulasi individu supaya memikirkan masa lalu sehingga mereka dapat
menyatakan lebih banyak tentang kehidupan mereka kepada staf atau ahli
terapi.
f. Terapi perilaku adalah dengan mempertahankan konsistensi dan stabilitas untuk
mengidentifikasi harapan dan perilaku dengan mengenali stresor dan kontroling
dengan menggunakan jadwal tertulis dengan arahan membantu aktivitas.
g. Pharmacotherapy dengan terapi obat untuk mengatur perubahan perilaku yang
mempengaruhi lansia.
h. Program latihan yang cukup dengan olahraga secara teratur, senam, berjalan
disekitar rumah sakit dan taman dapat mendukung proses mempertahankan
kemampuan kognitif (Lumbantobing, 2005).

2.1.8 Alat Ukur Fungsi Kognitif


Alat ukur yang digunakan untuk mengukur gangguan kognitif adalah (Gallo,
1998)
a. Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ)
Digunakan untuk mendeteksi adanya dan tingkat kerusakan intelektual,
terdiri dari 10 hal yang mengetes orientasi, memori dalam hubungannya dengan
kemampuan perawatan diri, memori jauh, dan kemampuan matematis (Gallo,
1998). Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ) adalah suatu
instrumen yang saling menunjang, mudah dipegunakan dan tidak memerlukan
bahan yang bersifat khusus. Pengujian ini muncul dan memenuhi kriteria
minimal untuk mengemukakan keabsahan, menjadi suatu sarana pemeriksaan
status mental yang meliputi orientasi, ingatan jangka panjang dan penghitungan.
Tidak terdapat tugas yang bersifat menguji ingatan jangka pendek (Nurmah,
2011).
b. Skala Mini Mental Status Exam (MMSE)
Pemeriksaan Mini Mental State Examination (MMSE) ini awalnya
dikembangkan untuk skrining demensia, namun sekarang digunakan secara luas
untuk pengukuran fungsi kogntif secara umum. Pemeriksaan MMSE kini adalah
instrumen skrining yang paling luas digunakan untuk menilai status kognitif
dan status mental pada usia lanjut (Kochhann dkk, 2009). Sebagai satu penilaian
awal, pemeriksaan MMSE adalah tes yang paling banyak dipakai. Pemeriksaan
status mental MMSE Folstein adalah tes yang paling sering dipakai saat ini.
Penilaian dengan nilai maksimal 30, cukup baik dalam mendeteksi gangguan
kognitif, menetapkan data dasar dan memantau penurunan kognitif dalam kurun
waktu tertentu. Skor MMSE normal 24- 30. Bila skor kurang dari 24
mengindikasikan gangguan fungsi kognitif (Asyikah, 2014). Instrumen ini
disebut “mini” karena hanya fokus pada aspek kognitif dari fungsi mental dan
tidak mencakup pertanyaan tentang mood, fenomena mental abnormal dan pola
pikiran. Mini Mental State Examination (MMSE) menilai sejumlah domain
kognitif, orientasi ruang dan waktu, working and immediate memory, atensi dan
kalkulasi, penamaan benda, pengulangan kalimat, pelaksanaan perintah,
pemahaman dan pelaksanaan perintah menulis, pemahaman dan pelaksanaan
perintah verbal, perencanaan dan praksis. Instrumen ini direkomendasikan
sebagai screening untuk penilaian kognitif global oleh American Academy of
Neurology (AAN) (Kochhann dkk, 2009). Nilai MMSE secara umum menurun
seiring dengan pertambahan usia. Meskipun skor rerata yang rendah pada orang
usia lanjut dapat mengakibatkan prevalensi demensia yang semakin meningkat
pada kelompok usia lanjut. Skor 30 tidak selalu berarti fungsi kognitifnya
normal dan skor 0 tidak berarti secara mutlak bahwa fungsi kognitifnya tidak ada
(Woodford, 2007). Menguji aspek kognitif dari fungsi mental: orientasi,
registrasi, perhatian dan kalkulasi, mengingat kembali serta bahasa (Leuckenotte,
1997).

2.3 Konsep Interaksi Sosial


2.3.1 Pengertian Interaksi Sosial
Interaksi sosial merupakan hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi
antara individu dengan individu, individu dengan kelompok dan kelompok dengan
kelompok. Interaksi sosial terjadi jika ada komunikasi dan saling mempengaruhi satu
sama lain dalam pikiran dan tindakan. Terjadinya penurunan kesehatan seseorang
dan kemampuan fisik akan mengakibatkan lanjut usia perlahan menarik diri dari
hubungan dengan masyarakat sekitar. Hal tersebut dapat mengakibatkan interaksi
sosial menjadi menurun (Sinthania, 2015).
Menurut Walgito, (2003) interaksi sosial merupakan suatu hubungan antara
individu dengan individu, individu dapat mempengaruhi individu lain dan
sebaliknya, sehingga terdapat adanya hubungan timbal balik (Sunaryo, 2010).
Interaksi sosial merupakan hubungan yang dinamis antara individu dengan individu,
individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok dalam bentuk kerja
sanna, persaingan, ataupun pertikaian (Sunaryo, 2010).Interaksi sosial yang dapat
dilakukan oleh lansia diantaranya adalah dengan mengikuti kegiatan didalam maupun
diluar rumah seperti pengajian, berekreasi dengan keluarga, makan dan menonton tv
bersama keluarga serta bertukar pendapat dengan keluarga, sehingga memperoleh
dukungan dari keluarga untuk mengurangi kesepian (Handayani; Maulida; Rachma;
2013).
Kesimpulan dari definisi diatas adalah bahwa interaksi sosial merupakan
hubungan antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan
kelompok dengan kelompok, sehingga menimbulkan hubungan timbal balik,

2.3.2 Jenis-jenis Interaksi Sosial

Menurut (Sunaryo, 2010) menjelaskan interaksi sosial dibagi menjadi tiga,


antara lain

1. Individu dengan individu


Suatu hubungan yang terjalin antara satu orang dengan satu orang
lainnya. Interaksi terjalin saat dua individu bertemu, walaupun tidak ada
tindakan dalam interaksi tersebut.
2. Individu dengan kelompok
Suatu hubungan yang terjalin antara satu orang dengan suatu
kelompok lainnya. Interaksi ini memiliki bentuk berbeda-beda sesuai
dengan keadaan.

3. Kelompok dengan kelompok


Suatu hubungan yang terjalin sebagai satu kesatuan dari beberapa
kelompok dan bukan karena kehendak pribadi. Kelompok meliputi ada
pelaku dengan jumlah lebih dari satu orang, ada komunikasi diantara
pelaku.

2.3.3 Syarat Terjadinya Interaksi Sosial


Interaksi sosial terjadi karena ada beberapa syarat tertentu. kontak sosial
dan Ada dua syarat (Sunaryo, 2010) yaitu
1. Kontak sosial mempunyai beberapa jenis antaranya :
a. Kontak langsung dan tidak langsung
1) Kontak langsung diantaranya berbicara, tersenyum, dan bahasa
isyarat.

2) Kontak tidak langsung diantaranya surat, media massa, dan media


elektronik.

b. Kontak antar-individu, antar-kelompok, dan antar individu dengan


kelompok.
c. Kontak positif dan negatif
1) Kontak positif
Kontak sosial yang saling memberikan keuntungan satu sama
lain.

2) Kontak negatif
Mengarah pada satu pertentangan.

d. Kontak primer dan sekunder


1) Kontak primer terjadi saat individu mengadakan
hubunganlangsung bertemu dan bertatap muka.
2) Kontak sekunder terjadi saat memerlukan perantara dan media
sosial.
2. Komunikasi
Komunikasi hampir sama dengan kontak sosial. Dalam berkomunikasi
individu dituntut untuk memahami makna yang telah disampaikan oleh
komunikator. Komunikasi belum tentu terjadi meskipun sudah ada kontak
sosial. Kontak sosial tidak ada artinya jika tidak ada komunikasi. Kontak
lebih ditekankan pada seseorang ataupun kelompok yang ingin
berinteraksi. Sedangkan komunikasi lebih ditekankan bagaimana dalam
pemrosesan pesan. Menurut (Nugroho, 2009) faktor yang mempengaruhi
proses dalam berkomunikasi antara lain

a. Perkembangan
Perkembangan manusia mempengaruhi komunikasi dalam dua
aspek. Yaitu kemampuan untuk menggunakan teknik komunikasi dan
mempersiapkan pesan yang akan disampaikan pada orang lain, dan
perkembangan penguasaan bahasa bergantung pada perkembangan
kognitif seseorang.
b. Sosio-kultural
Secara sosiokultural sangat mempengaruhi perilaku komunikasi
antar individu Karena, sosio-kultural membentuk tata cara
komunikasi.
c. Atensi
Mempengaruhi kemampuan individu untuk berinteraksi. Atensi
terhadap suatu hal dapat menyebabkan kemampuan fungsi panca indra
menurun bahkan berkurang.

2.3.4 Bentuk-bentuk Interaksi Sosial


Menurut Soekanto, (2001) terdapat enam bentuk interaksi sosial, sebagai
berikut (Sunaryo, 2010)
1. Kerja sama
Salah satu bentuk interaksi sosial yang terutama. Kerja sama yaitu suatu
usaha bersama antara individu per individu atau antar kelompok agar mencapai
tujuan bersama. Kerja sama juga dapat bersifat agresif apabila kelompok
mengalami kekecewaan dan perasaan tidak puas.
2. Persaingan
Merupakan suatu proses sosial ketika individu atau kelompok manusia
bersaing dan mencari keuntungan melalui bidang kehidupan yang pada
suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum dengan cara menarik
perhatian publik.

3. Pertentangan
Suatu proses sosial ketika individu atau kelompok berusaha
memenuhi tujuannya dengan cara menetang pihak lawan yang disertai
dengan ancaman atau kekerasan. Pertentangan dapat terjadi karena adanya
beberapa faktor. Faktor penyebab terjadinya pertentangan tersebut
meliputi perbedaan antar individu, perbedaan kebudayaan, perbedaan
kepentingan, dan perubahan sosial.

4. Akomodasi atau penyesuaian


Akomodasi atau penyesuaian diri menunjuk pada suatu keadaan.
Akomodasi dapat diartikan sebagai suatu cara untuk menyesuaikan
pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga pihak lawan
tidak kehilangan kepribadiannya. Akomodasi dilakukan untuk mengurangi
pertentangan, mencegah meledaknya pertentangan, memungkinkan
terjalinnya kerja sama dan mengusahakan peleburan di antara kelompok
sosial.

5. Asimilasi
proses sosial dalam taraf lebih lanjut yang ditandai dengan adanya
usaha-usaha mengurangi perbedaan yang terdapat antara orang per orang
atau kelompok manusia.

6. Kontravensi
Merupakan bentuk proses sosial yang berada antara persaingan dan
pertentangan. Bentuk kontravensi yang umum terjadi antara lain
penolakan, keengganan, perlawanan, menghalang-halangi, protes,
perbuatan kekerasan, penghasutan, menyangkal dan membingungkan
pihak lain.

2.3.5 Faktor yang Mempengaruhi Interaksi Sosial


Hubungan sosial terjadi ketika terdapat stimulus dan respon. Artinya, tiap-
tiap pihak memahami pesan yang disampaikan dan saling memberikan respon.
Interaksi sosial tidak terjadi tanpa faktor yang mempengaruhi, adapun faktor yang
mempengaruhi interaksi sosial sebagai berikut:

1. Latar Belakang Budaya


Dimana interaksi sosial akan terbentuk dari pola pikir seseorang
melalui kebiasaannya sehingga semakin sama latar belakang budaya
antara seseorang dengan orang lain, maka akan membuat interaksi tersebut
semakin kuat (Lestari, 2013).

2. Ikatan dengan Kelompok Grup


Dimana nilai-nilai yang dianut oleh suatu kelompok sangat
mempengaruhi cara mereka berinteraksi (Nugroho, 2009).
3. Pendidikan
Dimana semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin kompleks
sudut pandang dalam menyikapi komunikasi yang disampaikan (Nugroho,
2009).
4. Status Fisik, Mental dan Emosional
Kondisi ini sangat mempengaruhi kemampuan individu melakukan
interaksi sosial. Adanya kondisi sakit atau menderita secara fisik
menyebabkan penurunan minat individu untuk melakukan hubungan sosial
dengan orang lain (Nugroho, 2009).

2.3.6 Akibat Interaksi Sosial


Orang yang melakukan interaksi sosial akan memberikan manfaat
tersendiri. Misalnya akan selalu terasa kemampuan memori dan kemampuan
bahasa pada lansia, dapat meningkatkan kesehatan fisik dan kesehatan mental
bagi lansia (Oxman &Hall dalam Laelasari; Sari; Rejeki; 2015). Menurut
Sianipar, (2013) adanya interaksi sosial yang dijalani oleh lansia, dapat
meningkatkan kualitas hidup 1ansia.interaksi sosial yang baik memungkinkan
lansia mendapatkan perasaan memiliki suatu kelompok sehingga dapat berbagi
cerita, minat, perhatian dan dapat melakukan aktivitas secara bersama-sama yang
kreatif dan inovatif(Widodo; Nurhamidi; Agustina; 2016).
Berkurangnya interaksi sosial dapat menyebabkan perasaan terisolir,
sehingga lansia menyendiri atau mengalami isolasi sosial. Seseorang yang
menginjak usia lanjut akan rentan terhadap depresi apabila perasaan isolasi
tersebut meningkat (Kusumowardani &Puspitosari, 2014). Menurut Sanjaya,
(2012) karena lansia merasa terisolir, sehingga lansia dapat mengalami depresi,ha1 ini
dapat mempengaruhi kualitas hidup lansia itu sendiri (Widodo; Nurhamidi;
Agustina; 2016). Selain itu apabila lansia jarang melakukan interaksi sosial dapat
menurunkan kemampuan bahasa dan kemampuan memorinya (Laelasari; Sari;
Rejeki; 2015).

Anda mungkin juga menyukai