Anda di halaman 1dari 9

Konsep dasar lansia

1. Definisi Lansia
Lansia adalah seorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas baik pria maupun
wanita, yamg masih aktif beraktifitas yang bekerja maupubn mereka yang tidak berdaya
untuk mencari nafka sendiri hingga bergantung pada orang lain untuk menghidupi drinya
sendiri (nugroho, 2006). Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke
atas. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur
mengakibatkan perubahan kumulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh
dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh Menua atau menjadi tua adalah
suatu keadaaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan
proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai
sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti
seseorang telah melalui tiga tahap kehidupan, yaitu anak, dewasa dan tua (Nugroho,
2006).
Keperawatan Gerontik adalah Suatu bentuk pelayanan profesional yang didasarkan
pada ilmu dan kiat/teknik keperawatan yang berbentuk bio-psikososio-spritual dan
kultural yang holistik, ditujukan pada klien lanjut usia, baik sehat maupun sakit pada
tingkat individu, keluarga, kelompok dan masyarakat.
2. Batasan Lansia
Menurut WHO batasan lansia adalah sebagai berikut
a. Setengah baya: 66- 79 tahun
b. Orang tua : 80- 99 tahun, Orang tua berusia panjang
Depkes RI (2005) batasan lansia dibagi menjadi tiga katagori: Usia lanjut presenilis
yaitu antara usia 45-59 tahun, Usia lanjut yaitu usia 60 tahun ke atas, Usia lanjut beresiko
yaitu usia 70 tahun ke atas atau usia 60 tahun ke atas dengan masalah kesehatan.
3. Teori Proses manua pada lansia
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi didalam kehidupan
manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dati
suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan
proses alamiah yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu, anak,
deawasa, dan tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis maupun secara psikologis.
Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik
yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong,
pendengaran kuran jelas, penghilatahan semakin memburuk, gerakan lambat, dan igur
tubuh yang tidak proposional.
4. Ciri-ciri Lansia
a. Lansia merupakan periode kemunduran
Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor psikologis.
Motivasi memiliki peran yang penting dalam kemunduran pada lansia. Misalnya
lansia yang memiliki motivasi yang rendah dalam melakukan kegiatan, maka akan
mempercepat proses kemunduran fisik, akan tetapi ada juga lansia yang memiliki
motivasi yang tinggi, maka kemunduran fisik pada lansia akan lebih lama terjadi.
b. Lansia memiliki status kelompok minoritas
Kondisi ini sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap lansia
dan diperkuat oleh pendapat yang kurang baik, misalnya lansia yang lebih senang
mempertahankan pendapatnya maka sikap sosial di masyarakat menjadi negatif,
tetapi ada juga lansia yang mempunyai tenggang rasa kepada orang lain sehingga
sikap sosial masyarakat menjadi positif
c. Menua membutuhkan perubahan peran
Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami kemunduran
dalam segala hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya dilakukan atas dasar
keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan dari lingkungan. Misalnya lansia
menduduki jabatan sosial di masyarakat sebagai Ketua RW, sebaiknya masyarakat
tidak memberhentikan lansia sebagai ketua RW karena usianya.
d. Penyesuaian yang buruk pada lansia
Perlakuan yang buruk terhadap lansia membuat mereka cenderung mengembangkan
konsep diri yang buruk sehingga dapat memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk.
Akibat dari perlakuan yang buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk
pula. Contoh : lansia yang tinggal bersama keluarga sering tidak dilibatkan untuk
pengambilan keputusan karena dianggap pola pikirnya kuno, kondisi inilah yang
menyebabkan lansia menarik diri dari lingkungan, cepat tersinggung dan bahkan
memiliki harga diri yang rendah.
5. Tujuan Keperawatan Gerontik
a. Membantu memahami individu terhadap perubahan di usia lanjut
b. Memoivasi masyarakat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan lansia
c. Mengembalikan kemampuan melakukan aktifitas sehari-hari
d. Mempertahankan kesehatan serta kemampuan lansia dengan jalan perawatan dan
pencegahan.
e. Membantu mempertahankan serta membesarkan daya hidup atau semangat hidup
klien lanjut usia.
f. Menolong dan merawat klien lanjut usia yang menderita penyakit atau mengalami
gangguan tertentu (kronis maupun akut).
g. Merangsang para petugas kesehatan untuk dapat mengenal dan menegakkan diagnosa
yang tepat dan dini apabila mereka menjumpai suatu kelainan tertentu
h. Mencari upaya semaksimal mungkin, agar para klien lanjut usia yang menderita usia
penyakit/ gangguan, masih dapat mempertahankan kebebasan yang maksimal tanpa
perlu suatu pertolongan (memelihara kemandirian secara maksimal).
6. Perkembangan Lansia
Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan manusia di
dunia. Tahap ini dimulai dari 60 tahun sampai akhir kehidupan. Lansia merupakan istilah
tahap akhir dari proses penuaan. Semua orang akan mengalami proses menjadi tua (tahap
penuaan). Masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir, dimana pada masa ini
seseorang mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial sedikit demi sedikit sehingga
tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari lagi (tahap penurunan). Penuaan merupakan
perubahan kumulatif pada makhluk hidup, termasuk tubuh, jaringan dan sel, yang
mengalami penurunan kapasitas fungsional. Pada manusia, penuaan dihubungkan dengan
perubahan degeneratif pada kulit, tulang, jantung, pembuluh darah, paru-paru, saraf dan
jaringan tubuh lainnya. Dengan kemampuan regeneratif yang terbatas, mereka lebih
rentan terhadap berbagai penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan orang
dewasa lain. Untuk menjelaskan penurunan pada tahap ini, terdapat berbagai perbedaan
teori, namun para ahli pada umumnya sepakat bahwa proses ini lebih banyak ditemukan
pada faktor genetik.
7. Permasalahan yang terjadi Lansia
a. Masalah fisik
Masalah yang hadapi oleh lansia adalah fisik yang mulai melemah, sering terjadi
radang persendian ketika melakukan aktivitas yang cukup berat, indra pengelihatan
yang mulai kabur, indra pendengaran yang mulai berkurang serta daya tahan tubuh
yang menurun, sehingga sering sakit.
b. Masalah kognitif ( intelektual )
Masalah yang hadapi lansia terkait dengan perkembangan kognitif, adalah
melemahnya daya ingat terhadap sesuatu hal (pikun), dan sulit untuk bersosialisasi
dengan masyarakat di sekitar.
c. Masalah emosional
Masalah yang hadapi terkait dengan perkembangan emosional, adalah rasa ingin
berkumpul dengan keluarga sangat kuat, sehingga tingkat perhatian lansia kepada
keluarga menjadi sangat besar. Selain itu, lansia sering marah apabila ada sesuatu
yang kurang sesuai dengan kehendak pribadi dan sering stres akibat masalah ekonomi
yang kurang terpenuhi.
d. Masalah spiritual Masalah yang dihadapi terkait dengan perkembangan spiritual,
adalah kesulitan untuk menghafal kitab suci karena daya ingat yang mulai menurun,
merasa kurang tenang ketika mengetahui anggota keluarganya belum mengerjakan
ibadah, dan merasa gelisah ketika menemui permasalahan hidup yang cukup serius.
8. Prinsip Etika Pada Pelayanan Kesehatan Lansia
a. Empati
Istilah empati menyangkut pengertian “simpati atas dasar pengertian yang
dalam”artinya upaya pelayanan pada lansia harus memandang seorang lansia yang
sakit dengan pengertian, kasih sayang dan memahami rasa penderitaan yang dialami
oleh penderita tersebut. Tindakan empati harus dilaksanakan dengan wajar, tidak
berlebihan, sehingga tidak memberi kesan over protective dan belas-kasihan. Oleh
karena itu semua petugas geriatrik harus memahami peroses fisiologis dan patologik
dari penderita lansia.
b. Non maleficence dan beneficence.
Pelayanan pada lansia selalu didasarkan pada keharusan untuk mengerjakan yang
baik dan harus menghindari tindakan yang menambah penderitaan (harm). Sebagai
contoh, upaya pemberian posisi baring yang tepat untuk menghindari rasa nyeri,
pemberian analgesik (kalau perlu dengan derivate morfina) yang cukup, pengucapan
kata-kata hiburan merupakan contoh berbagai hal yang mungkin mudah dan praktis
untuk dikerjakan.
c. Otonomi; Suatu prinsip bahwa seorang individu mempunyai hak untuk menentukan
nasibnya, dan mengemukakan keinginannya sendiri. Dalam etika ketimuran,
seringakali hal ini dibantu (atau menjadi semakin rumit ) oleh pendapat keluarga
dekat. Jadi secara hakiki, prinsip otonomi berupaya untuk melindungi penderita yang
fungsional masih kapabel (sedangkan non-maleficence dan beneficence lebih bersifat
melindungi penderita yang inkapabel). Dalam berbagai hal aspek etik ini seolah-olah
memakai prinsip paternalisme, dimana seseorang menjadi wakil dari orang lain untuk
membuat suatu keputusan (misalnya seorang ayah membuat keputusan bagi anaknya
yang belum dewasa).

G. PENATALAKSANAAN DM
Penatalaksanaan diabetes melitus meliputi empat pilar yaitu : edukasi (pendidikan
kesehatan), terapi nutrisi (diet), latihan jasmani, dan terapi farmakologis (PERKENI,
2015).
1. Edukasi
Edukasi atau pendidikan kesehatan bagian dari upaya pencegahan dan
merupakan bagian yang sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik
(PERKENI, 2015). Pendidikan kesehatan untuk pencegahan primer ditujukan pada
kelompok masyarakat yang berisiko tinggi. Pendidikan kesehatan untuk pencegahan
sekunder ditujukan pada penderita DM. Pendidikan kesehatan untuk pencegahan tersier
ditujukan untuk penderita DM dengan penyulit menahun (Fatimah, 2015).
2. Latihan jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM Tipe 2.
Latihan jasmani sebaiknya dilakukan secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu
selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit perminggu. Penderita DM
dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah terlebih dahulu sebelum
latihan jasmani. Penderita DM harus mengkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu
apabila kadar glukosa darah 250 mg/dL dianjurkan untuk menunda latihan jasmani
(PERKENI, 2015). Aktivitas fisik intensitas sedang, seperti jalan cepat, menunjukkan
efek menguntungkan pada orang dengan pradiabetes, aktivitas fisik intensitas sedang
telah ditunjukkan untuk meningkatkan sensitivitas insulin dan mengurangi lemak perut
(ADA, 2017).
3. Terapi Nutrisi (Diet)
Diet merupakan primary treatment dalam penatalaksanaan DM Tipe 2 (Brunner
& Suddarth, 2010). Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan secara menyeluruh dari
anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan
keluarganya). Diet memiliki peran integral dalam pengelolaan diabetes secara
keseluruhan, dan setiap orang dengan diabetes 14 harus secara aktif terlibat dalam
perencanaan pendidikan, pengelolaan mandiri, dan pengobatan dengan tim perawatan
utamanya, termasuk pengembangan kolaboratif dari rencana makan individual (ADA,
2017). Penderita DM harus mengetahui pentingnya kepatuhan jadwal makan, jenis dan
jumlah kandungan kalori (PERKENI, 2015).
a. Jenis makanan yang dianjurkan:
1) Karbohidrat
Pendekatan perencanaan makanan diabetes yang sederhana yang
menekankan kontrol porsi dan pilihan makanan sehat mungkin lebih sesuai
untuk beberapa individu lansia yang memiliki disfungsi kognitif, dan
mereka yang memiliki kekhawatiran mengenai melek kesehatan dan
berhitung (ADA, 2017). Jumlah karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45 –
65 % kebutuhan kalori (PERKENI, 2015). Sumber karbohidrat yang
dianjurkan seperti roti, kentang, singkong, dan ubi (Almatsier, 2007).
2) Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20 – 35 % kebutuhan kalori (ADA, 2017).
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah lemak jenuh dan lemak trans
contohnya susu fullcream dan daging berlemak. Uji laboratorium yang
telah dilakukan pada beerapa produk 15 makanan siap saji atau restoran
seperti Burger King Chicken, Kentucky Fried Chicken (KFC), dan
McDonald’s terdapat kandungan tipe lemak jenuh dan tipe lemak trans
yang dapat meningkatkan resiko terjadinya diabetes melitus, khusunya
diabetes melitus tipe II (Herbold & Edelstein, 2012). Makanan sebaiknya
diolah dengan cara dikukus, dipanggang, direbus atau dibakar (Almatsier,
2007).
3) Protein
Sumber protein yang baik adalah udang, ikan, daging tanpa lemak, ayam
tanpa kulit, susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe
(Almatsier, 2007). Penderita DM dengan nefropati diabetik asupan protein
yang dianjurkan adalah sebesar 0,8 g/Kg BB. Penderita DM tanpa nefropati
diabetik asupan yang dianjurkan sebesar 1-1,5 g/Kg BB. Pengelolaan DM
tipe 2 dengan tingkat asupan protein yang sedikit lebih tinggi (20 – 30 %)
dapat menyebabkan peningkatan rasa kenyang (ADA, 2017).
4) Natrium
Anjuran jumlah natrium untuk penderita DM tipe 2 sama dengan orang
sehat yaitu < 2,3 g per hari. Namun, pada penderita DM tipe 2 yang juga
mengalami hipertensi perlu dilakukan pengurangan secara individu. 16
Sumber natrium yang perlu dihindari diantaranya ikan asin, telur asin, dan
makanan yang diawetkan (Almatsier, 2007).
5) Serat
Penderita DM tipe 2 dianjurkan mengonsumsi serat dari kacangkacangan,
buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat.Anjuran
konsumsi serat adalah 20-35 gram/hari yang berasal dari berbagai sumber
bahan makanan (PERKENI, 2015).
6) Pemanis alternatif
Pemanis alternatif dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis
tak berkalori. Pemanis berkalori diantaranya glukosa alkohol dan fruktosa.
Fruktosa tidak dianjurkan untuk pasien DM karena dapat meningkatkan
kadar LDL. Pemanis tak berkalori termasuk : aspartam, sakarin,
acesulfame, pottasium, sukralose, neotame (PERKENI, 2015). Jumlah gula
yang dikonsumsi tidak boleh lebih dari 5 % kalori (3-4 sendok makan)
sehari (Suyono, dalam Arisuwita, 2016). Jenis makanan yang disukai dan
sering dikonsumsi responden penderita DM Tipe 2 yaitu banyak
mengandung gula dan dapat meningkatkan kadar glukosa dalam darah
seperti cake, tart, dodol, dan kue-kue yang terlalu manis, minuman 17
sirup, minuman bersoda, es teh manis dan susu kental manis (Sumangkut,
Supit, & Onibala, 2013).
4. Jadwal
Makanan yang sudah terhitung kalorinya dan juga komposisinya tersebut dibagi
dalam 3 kali makan berat dan diantanya diselingi makanan ringan. Jadwal bisa diubah
asalkan interval antara makan berat dengan ringan tetap 3 jam. Porsi makan pagi
sebanyak 20 %, siang 30 %, dan sore 25 % serta sisanya 10 – 15 % untuk makanan
ringan (PERKENI, 2015). Frekuensi makan yang tidak teratur pada responden
penderita DM Tipe 2 dan kebiasaan makan yang tidak tepat waktu di karenakan
kesibukkan pekerjaan masingmasing dan sering makan tidak terkontrol. Sehingga pola
makan responden tidak baik dan menyebabkan DM Tipe 2 (Sumangkut, Supit, &
Onibala).

Anda mungkin juga menyukai