Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Lanjut Usia


2.1.1 Definisi Lanjut Usia
Proses alamiah pada manusia dimana salah satunya adalah penurunan
fungsi dan kemampuan tubuh seiring bertambahnya umur. Hal ini disebut
juga sebagai lansia atau lanjut usia. Lanjut usia adalah bagian dari proses
tumbuh kembang. Manusia tidak secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi
berkembang dari bayi, anak-anak, dewasa dan akhirnya menjadi tua. Hal ini
normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan yang
terjadi pada semua orang pada saat mncapai usia tahap perkembangan
kronologis tertentu (Azizah,2011:1).
Lanjut usia adalah seseorang yang memiliki usia lebih dari atau sama
dengan 55 tahun (WHO, 2013). Lansia dapat juga diartikan sebagai
menurunnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan
mempertahankan struktur serta fungsi normalnya, sehingga tidak dapat
bertahan terhadap jejas (Darmojo, 2015).
Di Indonesia, orang yang berusia 60 tahun termasuk dalam kategori
lanjut usia. Orang dalam usia tersebut sangat rentan mengalami gangguan
kesehatan dikarenakan menurunnya fungsi dan kemampuan pada tubuh orang
tersebut. Berdasarkan statistik penduduk Indonesia tahun 2019, jumlah
penduduk lansia di seluruh Indonesia mencapai sekitar 25 juta jiwa. (BPS
Indonesia, 2019).

2.1.2 Klasifikasi Lanjut Usia


Menurut WHO (2013), klasifikasi lansia adalah sebagai berikut:
1. Usia pertengahan (middle age), yaitu kelompok usia 45-54 tahun.
2. Lansia (elderly), yaitu kelompok usia 55-65 tahun.
3. Lansia muda (young old), yaitu kelompok usia 66-74 tahun.
4. Lansia tua (old), yaitu kelompok usia 75-90 tahun.

|5
5. Lansia sangat tua (very old), yaitu kelompok usia lebih dari 90 tahun.
Departemen Kesehatan Indonesia mengklasifikasikan lansia dalam
beberapa kelompok yaitu,
1. Kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun) sebagai masa virilitas
2. Kelompok usia lanjut (55-64 tahun) sebagai presenium
3. Kelompok usia lanjut (kurang dari 65 tahun) senium

2.1.3 Karakteristik Lanjut Usia


Menurut Siti Nur Kholifah (2016), ciri – ciri manusia usia lanjut yaitu,
1. Lansia Merupakan Periode Kemunduran
Faktor fisik dan faktor psikologis merupakan asal usul kemunduran
pada lansia. Hal tersebut merupakan dasar betapa pentingnya motivasi
memiliki peran. Lansia cepat mengalami penurunan fisik dikarenakan
memiliki motivasi yang rendah. Namun beda halnya apabila lansia
memiliki motivasi yang tinggi, hal ini dapat memperlambat penurunan
fisik pada lansia tersebut.
2. Lansia Memiliki Status Kelompok Minoritas
Lansia pada umumnya memiliki sikap sosial yang kurang baik.
Misalnya senang mempertahankan pendapatnya dan tidak
memperhatikan pendapat positif dari lingkungan sekitarnya. Hal ini yang
mengakibatkan lansia cenderung memiliki kelompok minoritas dan tidak
mudah bergaul. Namun ada juga kalangan lansia yang memiliki sikap
sosial positif contohnya memiliki tenggang rasa terhadap orang lain
hingga masyarakat menjadi peduli terhadap dirinya.
3. Menua Membutuhkan Peran
Akibat penurunan dalam segala hal baik fungsi fisik maupun sikap
dan perilaku sosial, maka lansia juga mengalami perubahan terhadap
peran sebagai masyarakat sosial. Oleh karena itu lansia membutuhkan
peran dari orang di dekatnya baik dalam segi apapun untuk memenuhi
kebutuhannya. Namun ada juga manusia yang masih mengambil peran
dikarenakan motivasi hidupnya yang masih sangat tinggi.

|6
4. Penyesuaian yang Buruk pada Lansia
Perlakuan yang buruk terhadap lansia membuat mereka cenderung
mengembangkan konsep diri yang buruk sehingga dapat memperlihatkan
bentuk perilaku yang buruk. Akibat dari perlakuan yang buruk itu
membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk pula. Contoh: lansia
yang tinggal bersama keluarga sering tidak dilibatkan untuk pengambilan
keputusan karena dianggap pola pikirnya kuno, kondisi inilah yang
menyebabkan lansia menarik diri dari lingkungan, cepat tersinggung dan
bahkan memiliki harga diri yang rendah.

2.1.4 Permasalahan pada Lanjut Usia di Indonesia


Jumlah lansia di Indonesia tahun 2014 mencapai 18 juta jiwa dan
diperkirakan akan meningkat menjadi 41 juta jiwa di tahun 2035 serta lebih
dari 80 juta jiwa di tahun 2050. Tahun 2050, satu dari empat penduduk
Indonesia adalah penduduk lansia dan lebih mudah menemukan penduduk
lansia dibandingkan bayi atau balita. (Siti Nur K., 2016)
Sedangkan sebaran penduduk lansia pada tahun 2010, Lansia yang
tinggal di perkotaan sebesar 12.380.321 (9,58%) dan yang tinggal di
perdesaan sebesar 15.612.232 (9,97%). Terdapat perbedaan yang cukup besar
antara lansia yang tinggal di perkotaan dan di perdesaan. Perkiraan tahun
2020 jumlah lansia tetap mengalami kenaikan yaitu sebesar 28.822.879
(11,34%), dengan sebaran lansia yang tinggal di perkotaan lebih besar yaitu
sebanyak 15.714.952 (11,20%) dibandingkan dengan yang tinggal di
perdesaan yaitu sebesar 13.107.927 (11,51%). Kecenderungan meningkatnya
lansia yang tinggal di perkotaan ini dapat disebabkan bahwa tidak banyak
perbedaan antara rural dan urban. (Siti Nur K., 2016)
Pada umumnya lanjut usia mengalami berbagai masalah kesehatan. Hal
ini diawali dari turunnya fungsi fisik dan daya tahan terhadap tubuh yang
diakibatkan oleh kemunduran sel – sel pada tubuh lansia tersebut. Faktor
resiko terhadap penyakit pada lansia meningkat. Resiko malnutrisi, gangguan
keseimbangan tubuh, demensia, osteoporosis, gangguan pendengaran dan

|7
penglihatan, hipertensi hingga stroke, dan lain – lain seringkali terjadi pada
manusia usia lanjut atau lansia.
Data Susenas tahun 2012 menjelaskan bahwa angka penyakit pada
lansia tahun 2012 di perkotaan adalah 24,77% artinya dari setiap 100 orang
lansia di daerah perkotaan 24 orang lansia menderita penyakit. Di pedesaan
didapatkan 28,62% artinya setiap 100 orang lansia di pedesaan, 28 orang
lansia menderita penyakit.

2.1.5 Pendekatan Perawatan Klinis pada Lansia


Menurut Siti Nur, 2016 pendekatan perawatan pada pasien lansia dibagi
menjadi 3 hal yaitu,
2.3.1 Pendekatan Fisik
Pendekatan fisik yang dapat diberikan dalam perawatan pada lansia
berupa bentuk perhatian terhadap kesehatan, mengerti apa yang dibutuhkan
pada lansia, bentuk sharing terhadap kejadian yang dilalui klien selama
hidup, fisik dan organ tubuh klien yang senantiasa mengalami perubahan,
potensi fisik dan organ tubuh klien untuk melawan penyakit, progresivitas
klien terhadap pencegahan dari berbagai macam penyakit. Pendekatan fisik
secara umum bagi klien lanjut usia dapat dibagi 2 bagian:
a. Klien lansia yang masih mampu untuk bergerak tanpa bantuan orang
lain dan aktif untuk melakukan secara mandiri apa yang menjadi
kebutuhannya sehari – hari.
b. Klien lansia yang tidak mampu untuk bergerak tanpa bantuan orang
lain atau mengalami kelumpuhan karena sakit. Hal ini akan menjadi
perhatian khusus bagi perawat dalam menangani klien lansia seperti
ini, terutama perhatian terhadap kebersihan klien dan pencegahan
terhadap penyakit.
2.3.2 Pendekatan Psikologis
Peran penting bagi perawat untuk mengedukasi klien lansia. Perawat
dapat berperan sebagai pendukung terhadap segala sesuatu yang asing,
penampung rahasia pribadi dan sahabat yang akrab. Agar klien lansia merasa
puas, perawat harus memiliki tingkat kesabaran dan ketelitian yang tinggi

|8
demi memberikan waktu yang cukup banyak untuk menerima berbagai
keluhan dari klien lansia. Sabar, simpatik, dan service atau bisa disebut
prinsip 3S juga merupakan prinsip yang harus dipegang oleh perawat dalam
menangani klien lansia. Perlu diingat, dikarenakan penurunan kondisi fisik
akibat penuaan pada lansia, maka untuk mengubah tingkah laku dan
pandangan klien lansia harus secara perlahan dan bertahap
2.3.3 Pendekatan Sosial
Perawat dalam melakukan pendekatan sosial harus bisa mengajak klien
berdiskusi dan sharing tentang diri dan kehidupan klien. Sosialisasi tentang
kesehatan akan bisa terwujud dengan cara berkumpul bersama dengan klien
lansia. Lansia juga adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain, hal
itu merupakan dasar bagi perawat untuk melakukan pendekatan sosial kepada
klien lansia. Hubungan sosial antar perawat dan lansia yang baik akan
menciptakan motivasi kepada klien lansia untuk sembuh dari penyakit yang
dideritanya.

2.2 Konsep Dasar Demensia


2.2.1 Definisi Demensia
Demensia adalah sindrom yang ditandai dengan penurunan fungsi
kognitif atau kemampuan untuk berfikir melampaui apa yang dapat
diharapkan dari penuaan normal (WHO, 2016).
Penurunan kemampuan untuk mengingat dan berpikir yang
mengakibatkan gangguan terhadap aktivitas kehidupan sehari – hari dan
ditandai dengan penurunan kognitif, perubahaan mood, dan tingkah laku
disebut sebagai demensia (Aspiani, 2014).

2.2.2 Etiologi Demensia


Beberapa penyebab terjadinya demensia menurut Singhealth (2014)
yaitu;
a) Penyakit Alzheimer d) Penyakit Cerebrovaskular
b) Demensia tubuh Lewy e) Trauma
c) Demensia Fronto-temporal f) Penyakit menular

|9
g) Hidrosefalus tekanan normal
h) Tumor otak
i) Depresi
j) Gangguan autoimun
k) Kecanduan alkohol
l) Gangguan metabolisme
m) Ketidakseimbangan elektrolit
n) Masalah tiroid
o) Kekurangan Vitamin B12

| 11
Nasrullah (2016 mengungkapkan bahwa terdapat 2 klasifikasi penyakit
demensia yaitu;
1. Demensia Kortikal
Gejala khas melibatkan memori, bahasa, penyelesaian masalah, dan
pemikiran. Gejalanya muncul pada:
a. Penyakit Alzheimer
Pada pemeriksaan mikroskopik melalui CT dan MRI didapatkan
penyusutan otak, dengan peningkatan pelebaran sulkus dan pembesaran
ventrikel. Sedangkan pemeriksaan mikroskopik, gambaran utama
berupa hilangnya neuron dan adanya plak amiloid dan kekusutan serat-
serat saraf. Pemeriksaan secara neurokimia, terdapat penurunan
beberapa neurotransmitter, terutama asetilkolin, noradrenalin,
serotonin, dan somatostatin dengan kehilangan badan sel neuron terkait
yang mensekresikan transmitter ini.
b. Demensia Vaskuler
c. Demensia Badan Lewy
d. Demensia Frontotemporal
2. Demensia Subkortikal
Gejala khas meliputi perlambatan psikomotor dan disfungsi
eksekutif terkait dengan gangguan terhadap jalur frontal, sedangkan gejala
kognitif fokal seperti afasia atau agnosia jarang ada, gejalanya muncul
pada:
a. Penyakit Parkinson
b. Penyakit Hungtinton
c. Kelumpuhan Supranuklear Progresif

2.2.3 Patofisiologi Demensia


Hal lain yang masih terus diselidiki oleh para peneliti adalah
neurotransmitter peptida, oleh karena somastostatin menurun pada otak
penyakit alzheimer. Faktor tambahan lain yang masih dalam penyelidikan
adalah neurotoksisitas dari alumunium. Crapper (1979) menyatakan bahwa
ada kegagalan dalam sistem transpor membran pada klien dengan penyakit

| 12
alzheimer, yang memungkinkan interaksi antara alumunium dan kromatin
yang menyebabkan perubahan patologis dalam sintesis protein dan perubahan
neurofibrilar (Muttaqin, 2011).

Gambar 2.2: Pathway Demensia (Muttaqin, 2011)

| 13
2.2.4 Manifestasi Klinis Demensia
Gejala klasik penyakit demensia adalah kehilangan daya ingat
(memori) yang terjadi secara bertahap. Dalam Nugroho,2008 penyakit
demensia dapat berlangsung dalam tiga stadium, yaitu:
1. Stadium Awal
Gejala stadium awal sering diabaikan dan disalahartikan sebagai usia
lanjut atau sebagian normal dari proses otak menua. Klien menunjukkan
gejala sebagai berikut:
a. Kesulitan dalam berbahasa.
b. Mengalami kemunduran daya ingat secara bermakna.
c. Disorientasi waktu dan tempat.
d. Sering tersesat ditempat yang biasa dikenal.
e. Kesulitan membuat keputusan.
f. Kehilangan inisiatif dan motivasi
g. Menunjukkan gejala depresi dan agitasi.
h. Kehilangan minat dalam hobi dan aktivitas.
2. Stadium Menengah
Proses penyakit berlanjut dan masalah menjadi semakin nyata. Pada
stadium ini, klien mengalami kesulitan melakukan aktivitas kehidupan
sehari-hari dan menunjukkan gejala seperti berikut:
a. Sangat mudah lupa, terutama untuk peristiwa yang baru dan nama
orang.
b. Tidak dapat mengelola kehidupan sendiri tanpa timbul masalah.
c. Tidak dapat memasak, membersihkan rumah, dan belanja.
d. Sangat bergantung pada orang lain.
e. Semakin sulit bicara.
f. Membutuhkan bantuan untuk kebersihan diri (ke toilet, mandi, dan
berpakaian).
g. Senang mengembara/”ngeluyur” tanpa tujuan. Ngeluyur ini dapat
berupa berulang kali mencari pemberi asuhan, terus membuntuti
pemberi asuhan, terus berkeliling rumah.
h. Terjadi perubahan perilaku.

| 14
i. Adanya gangguan kepribadian.
j. Sering tersesat, walaupunjalan tersebut telah dikenal (tersesat di rumah
sendiri).
k. Dapat juga menunjukkan adanya halusinasi.
3. Stadium Lanjut
Pada stadium ini klien sering mengalami;
a. Ketidakmandirian dan inaktif yang total.
b. Tidak mengenali lagi anggota keluarga (disorientasi personal).
c. Sukar memahami dan menilai peristiwa.
d. Tidak mampu menemukan jalan disekitar rumah sendiri
e. Kesulitan berjalan
f. Mengalami inkontinensia (berkemih atau defekasi).
g. Menunjukkan perilaku tidak wajar dimasyarakat.
h. Tergangtung pada kursi roda/tempat tidur.

2.2.5 Penatalaksanaan
Terapi farmakologi untuk pasien demensia:
1. Anti-oksidan: vitamin E yang terdapat dalam sayuran, kuning telur,
margarin, kacang-kacangan, minyak sayur, bisa menurunkan risiko
demensia. Vitamin C dapat mengurangi radikal bebas (mis., sayuran,
stroberi, melon, tomatbrokoli).
2. Obat anti-inflamasi.
3. Obat penghambat asetilkolin esterase (mis., exelon).
Terapi non-farmakologi meliputi:
1. Penyampaian informasi yang benar kepada keluarga
2. Program harian untuk pasien
3. Istirahat yang cukup
4. Reality orientation trainingm (ROT) atau orientasi realitas
5. Validasi/rehabilitasi/reminisence
6. Terapi musik
7. Terapi rekreasi

| 15
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis pasti diperoleh melalui autopsi (bedah otak mayat) atau
biopsi otak. Bisa pula dikerjakan menurut tahapan algoritma berikut:
(Nugroho, 2008)
1. Ada keluhan gangguan ingatan/memori atau kognitif, daya pikir,
misalnya adanya perubahan berupa kurang lancarnya bicara dan fungsi
eksekutif yang terganggu.
2. Anamnesis riwayat keluhan dari klien dan relasi yang
terdekat/terpercaya.
3. Pemeriksaan skrining neuropsikologis/kognitif MMSE (Mini Mental
State Examination), skrining 7 menit. Tes ini yang paling sering dipakai.
4. Diagnostik fisik:
a. CT Scan
b. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
c. Positron Emission Tomography (PET)
d. Single Photo Emission Computed Tomography (SPECT)
5. Pemeriksaan neurologis lengkap
6. Pemeriksaan laboratorium darah dan radiologi
7. Pemeriksaan EEG (Electroencephalogram), walaupun tidak memberi
gambaran spesifik demensia Alzheimer.
8. Pemeriksaan DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder).
9. Pemeriksaan kriteria NINCDS-ADRDA (National Institute of
Neurological and Communicative Disorder and Alzheimer Disease and
Related Disorder Association).

| 16
2.3 Konsep Asuhan Keperawatan Demensia pada Lansia
2.3.1 Pengkajian
Pengkajian menurut Aspiani (2014) meliputi;
1. Anamnesis
a. Identitas Pasien
Setengah dari 100% populasi kelompok lanjut usia yang
terkena penyakit demensia sering terjadi pada usia lebih dari 85
tahun.

b. Keluhan Utama
Penurunan daya ingat, perubahan kognitif, dan kelumpuhan gerak
ekstremitas merupakan keluhan utama yang sering disampaikan oleh
klien dan keluarga klien dalam penkajian awal kesehatan.
c. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien pada umumnya hilang ingatan pada kejadian yang baru
terjadi, atau sering lupa. Klien terkadang juga berubah menjadi
berperilaku tidak baik seperti, sering keluar rumah sendiri tanpa
meminta izin pada anggota keluarga.
Klien bahkan tidak dapat mengatur daya pikirnya dalam
mengatur buang air, tidak mampu mengurus sendiri keperluan dasar
sehari – hari tanpa diingatkan. Sehingga hal ini mulai meresahkan pihak
anggota keluarga klien yang merawatnya.
d. Riwayat Kesehatan Dahulu
Dikaji apakah ada riwayat penyakit seperti hipertensi, diabetes
melitus, penyakit jantung, penggunaan obat-obatan anti-ansietas
(benzodiazepin), penggunaan obat-obatan antikolinergik dalam jangka
waktu yang lama, dan riwayat Down Sindrome yang pada suatu saat
kemudian menderita penyakit Alzheimer pada usia empat puluhan
(Muttaqin, 2011).
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Yang perlu di kaji apakah dalam keluarga ada yang mengalami
gangguan psikologi seperti yang dialami oleh klien, atau adanya
penyakit genetik yang mempengaruhi psikososial (Aspiani, 2014).

| 17
Pengkajian adanya anggota generasi terdahulu yang menderita
hipertensi dan diabetes melitus diperlukan untuk melihat adanya
komplikasi penyakit lain yang dapat mempercepat progresivitas
penyakit (Muttaqin, 2011).
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Psikososial merupakan keadaan umum yang dialami klien lansia.
Bawaan penyakit demensia biasanya terlihat lemah (Aspiani, 2014).
b. Kesadaran
Kesadaran klien biasanya Composmentis.
c. Tanda – Tanda Vital
1) Suhu : Hipotermia mempengaruhi sistem saraf pusat.
Hipotermia ringan mendepresikan otak dan
menyebabkan confusi, apatis, psikomotor
menurun. Hipotermia moderat menurunkan
kesadaran dan menyebabkan halusinasi.
Hipotermia berat dapat menyebabkan koma
(Sunaryo, 2016).
2) Nadi : Klien dengan demensia alzheimer dapat
mengalami bradikardi (Muttaqin, 2011).
3) Tekanan darah : Tekanan darah yang meningkat dapat mengalami
dimensia pada lansia (Maulidia, Rosalina, &
Yunita, 2016).
4) Respirasi : Pernapasan pada klien dengan demensia alzheimer
akan mengalami penurunan frekuensi pernapasan
(Muttaqin, 2011).
d. Pemeriksaan Review of System (ROS)
Pemeriksaan sistem pernafasan, sistem sirkulasi, sistem persyarafan,
sistem perkemihan, sistem pencernaan, sistem muskuloskeletal.
1) B1: Breathing (Sistem Pernapasan)
Mengalami peningkatan frekuensi napas atau masih dalam batas
normal.

| 18
2) B2: Bleeding (Sistem Sirkulasi)
Biasanya frekuensi nadi masih dalam batas normal dan tidak ada
kelainan.
3) B3: Brain (Sistem Persyarafan)
Biasanya klien mengalami kehilangan kemampuan daya ingat,
gangguan konsentrasi dan daya pikir, insomnia, kurang perhatian,
dan kelainan persepsi sensori.
4) B4: Bleder (Sistem Perkemihan)
Sistem perkemihan masih dalam batas normal atau tidak ada
kelainan.
5) B5: Bower (Sistem Pencernaan)
Klien terkadang dapat makan berlebih atau kurang karena daya
ingatnya yang berkurang tentang pola makan.
6) B6: Bone (Sistem Muskuloskeletal)
Klien mengalami gangguan dalam pemenuhan aktivitas
3. Pola Kesehatan Fungsional menurut Gordon
Yang perlu dikaji adalah aktifitas apa saja yang biasa dilakukan, meliputi:
a. Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Klien tidak bisa menangani dan memelihara pola kesehatannya
karena mengalami gangguan persepsi.
b. Pola Nutrisi
Klien terkadang dapat makan berlebih atau kurang karena daya
ingatnya yang berkurang tentang pola makan.
c. Pola Eliminasi
Tidak terdapat masalah terkait pola eliminasi.
d. Pola Tidur dan Istirahat
Klien biasanya mengalami insomnia.
e. Pola Aktivitas dan Latihan
Pada umumnya gangguan dalam pemenuhan aktivitas yang
dialami klien disebabkan oleh turunnya minat. Metode Indeks KATZ
merupakan metode pengkajian untuk menganalisa kemampuan klien
dalam memenuhi kebutuhan aktivitas sehari – hari.

| 19
Klien dengan demensia stadium menengah ditunjukkan dengan
hasil skor Indeks KATZ: D. Sedangkan klien dengan demensia akut
ditunjukkan dengan hasil skor Indeks KATZ: G dan ditandai dengan
klien yang hanya duduk di kursi roda.
f. Pola Hubungan dan Peran
Mengetahui peran klien di lingkungan keluarga tentang pekerjaan
klien, masalah keuangan klien, dan peran klien di lingkungan sekitar
tempat tinggal. Pengkajian ini menggunakan tes APGAR yang
ditujukan ke keluarga klien. Biasanya pada klien dengan demensia, tes
APGAR menunjukkan fungsi sosial yang terganggu.
g. Pola Sensori dan Kognitif
Pengkajian yang digunakan untuk mengetahui status mental klien
adalah dengan tabel Short Portable Mental Status Quesionare
(SPMSQ). Pengkajian SPMSQ dengan skor kesalahan 3 menunjukkan
bahwa kerusakan intelektual ringan. Sedangkan dengan skor kesalahan
10 menunjukkan kerusakan intelektual berat. (Padila, 2013)
Pengkajian untuk mengetahui status kognitif klien menggunakan
tabel Mini Mental State Examination (MMSE) dengan indikator hasil
skor ≤ 21 merupakan kategori kerusakan kognitif (Perdossi, 2013).
Tabel 2.2 Interpretasi MMSE (Folstein, 1975)
Metode Skor Interpretasi
Single Cut Off <24 Abnormal
Range <21 Kemungkinan demensia lebih besar
>25 Kemungkinan demensia lebih kecil
Pendidikan 21 Abnormal pada tingkat pendidikan 8 tahun
<23 Abnormal pada tingkat pendidikan 12 tahun
<24 Abnormal pada tingkat pendidikan perguruan tinggi
Keparahan 24-30 Tidak ada kelainan kognitif
18-23 Kelainan kognitif ringan
0-17 Kelainan kognitif berat

h. Pola Seksual dan Reproduksi


Pada umumnya klien dengan demensia terjadi pada usia lanjut
disertai dengan masa menopause pada perempuan dan andropause pada
laki – laki.

| 20
i. Pola Penanggulangan Stress dan Koping
Mekanisme koping yang digunakan klien biasanya tidak efektif
untuk menangani masalah stress dalam hidupnya.
j. Pola Tata Nilai dan Kepercayaan
Klien tidak mengalami gangguan dalam spiritual.
2.3.2 Diagnosa Keperawatan
Menurut buku Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (SDKI, 2017),
diagnosa terkait kasus gangguan pola pikir akibat demensia yang sering
muncul yaitu sebagai berikut;
1. Defisit Perawatan Diri
Definisi: Tidak mampu menyelesaikan atau melakukan aktivitas untuk
merawat diri.
2. Penyebab
a) Kelemahan
b) Penurunan motivasi dan minat
c) Gangguan psikologis / psikotik
d) Gangguan musculoskeletal
e) Gangguan neuromuskuler
3. Gejala dan Tanda Mayor
a) Secara subyektif : menolak perawatan diri
b) Secara obyektif : tidak mampu melakukan aktivitas sehari – hari
secara mandiri dikarenakan kurang nya minat
untuk merawat diri
4. Gejala dan Tanda Minor
Tidak ada gejala minor

| 21
2.3.3 Perencanaan Keperawatan
Mengacu pada pustaka dari buku Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI, 2018), rencana keperawatan dari diagnosa defisit keperawatan diri
adalah sebagai berikut:
Tabel 2.3 Rencana Keperawatan Klien dengan Demensia
Perencanaan Keperawatan (SIKI)
SDKI SLKI Intervensi
Intervensi
Pendukung
Defisit Setelah dilakukan Observasi: o Dukungan
Perawatan tindakan  Identifikasi usia emosional
Diri keperawatan dan budaya o Dukungan
(D.0109) diharapkan dalam pengambilan
perawatan diri : membantu keputusan
mandi pasien kebersihan diri o Dukungan
dapat terpenuhi  Identifikasi jenis tanggung jawab
dengan kriteria bantuan yang pada diri sendiri
hasil : dibutuhkan o Kontrak perilaku
positif
1. Perawatan  Monitor
diri: aktivitas o Manajemen
kebersihan tubuh
kehidupan demensia
(mis. Rambut,
sehari-hari o Manajemen energi
mulut, kulit,
(ADL) mampu o Manajemen
kuku
lingkungan
untuk  Monitor
melakukan o Manajemennutrisi
integritas kulit)
aktivitas o Manajemen nyeri
Terapeutik:
perawatan o Pemberian
 Sediakan
fisik secara makanan
peralatan mandi
mandiri atau o Pencegahan jatuh
(mis. Sabun,
dengan alat o Penentuan tujuan
sikat gigi,
bantu bersama
shampoo,
o Pengaturan posisi
pelembab kulit)

| 22
2. Perawatan  Sediakan o Perawatan kaki
diri: mandi: lingkungan yang o Perawatan kuku
mampu untuk aman dan o Perawatan lensa
membersihkan nyaman kontak
diri secara  Fasilitasi
mandiri menggosok gigi,
dengan atau sesuai kebutuhan
tanpa alat  Fasilitasi mandi
bantu. sesuai kebutuhan
3. Membersihkan  Pertahankan
dan kebiasaan
mengeringkan kebersihan diri
tubuh  Berikan bantuan
sesuai tingkat
kemandirian
Edukasi:
o Jelaskan manfaat
mandi dan
dampak tidak
mandi terhadap
kesehatan
o Ajarkan kepada
keluarga cara
memandikan
pasien, jika perlu
Sumber: Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), 2018

| 23
2.3.4 Implementasi Keperawatan
Fase dimana perawat melakukan tindakan atau intervensi yang sudah
dilaksanakan sebelumnya merupakan implementasi keperawatan (Kozier &
Synder, 2010).
2.3.5 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan
perbandingan sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan
tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Setidaknya ada
dua hal utama yang perlu diperhatikan dalam tahap evaluasi. Pertama,
perkembangan klien terhadap hasil yang sudah dicapai, dan kedua adalah
efektif atau tidaknya rencana keperawatan yang sudah disusun sebelumnya
(Ratnawati, 2015).

| 24

Anda mungkin juga menyukai