Anda di halaman 1dari 21

TUGAS TERSTRUKTUR DOSEN PENGAMPU

FILSAFAT ILMU Dr. M. Zainal Abidin, M.Ag

Dr. Ahmad Muradi, M.Ag

ASUMSI DASAR KEILMUAN MANUSIA: RASIONALISME,

EMPIRISME, KRITISME, INTUISIONISE

Oleh:

SITI ANISA SHOLEHATI

200211060129

PASCASARJANA UIN ANTASARI

PENDIDIKAN BAHASA ARAB

BANJARMASIN

2021

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT senantiasa kita ucapkan.


Atas karunia-Nya berupa nikmat iman dan Kesehatan akhirnya penulis bisa
menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa shalawat serta salam tercurahkan bagi
Baginda Rasulullah SAW yang syafaatnya akan kita nantikan kelak.

Makalah berjudul “Asumsi Dasar Keilmuan Manusia: Rasionalisme,


Empirisme, Kritisme, Intuisionise” merupakan salah satu bahasan dalam
pembelajaran Filsafat Ilmu. Isi makalah ini membahas tentang bagaimana asumsi
dasar manusia dalam memperoleh pengetahuan dalam kehidupan.

Adapun penulisan makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Ilmu. Harapannya, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca. Dengan demikian, penulis memohon maaf apabila ada ketidaksesuaian
kalimat dan kesalahan.

Wasslamualaikum wr.wb

Banjarmasin, 29 Maret 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………… i

DAFTAR ISI………………………………………………….. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG………………………………... 3

B. RUMUSAN MASALAH……………………………... 4

C. TUJUAN PENULISAN……………………………… 4

BAB II PEMBAHASAN

A. RASIONALISME……………………………………. 5

B. EMPIRISME…………………………………………. 10

C. KRITISME…………………………………………… 12

D. INTUISIONISME…………………………………… 13

BAB III PENUTUP

A. SIMPULAN………………………………………….. 18

DAFTAR PUSTAKA………………………………………… 19

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencari kebenaran. Manusia tidak

pernah puas dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari kebenaran yang

sesungguhnya, salah satu jalan yang ditempuh adalah dengan bertanya. Namun,

setiap jawaban belum tentu diterima begitu saja, karena ia harus mengujinya dengan

metode tertentu yang diketahuinya.

Perkembangan pengetahuan yang semakin pesat sekarang ini, tidaklah

menjadikan manusia berhenti untuk mencari kebenaran. Justru sebaliknya, semakin

menggiatkan manusia berdialektika untuk terus mencari kebenaran yang

berlandaskan teori-teori yang sudah ada atau menemukan teori baru dengan

runtuhnya teori lama. Sehingga manusia sekarang lebih giat lagi melakukan

penelitian-penelitian yang bersifat ilmiah untuk mencari solusi dari setiap

permasalahan yang dihadapinya.

Untuk itulah setiap manusia harus dapat berfikir filosofis dalam menghadapi

segala realitas kehidupan ini yang menjadkan filsafat harus dipelajari. Filsafat

merupakan sebuah disiplin ilmu yang terkait dengan perihal kebijaksanaan.

Kebijaksanaan merupakan titik ideal dalam kehidupan manusia, karena ia dapat

menjadikan manusia untuk bersikap dan bertindak atas dasar pertimbangan

kemanusiaan yang tinggi (actus humanus), bukan asal bertindak sabagaimana yang

biasa dilakukan manusia (actus homoni).

3
Dalam memperoleh pengetahuan, ada beberapa cara yang masing-masing

terdapat perbedaan yang fundamental. Kemudian cara pemerolehan pengetahuan

tersebut berkembang menjadi madzhab atau aliran dalam epistemologi. Dalam

filsafat Barat, sebagai contoh, terdapat beberapa aliran besar yang berkembang,

antara lain; Rasionalisme, Empirisme, Kritisme dan Intuisionisme.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana aliran rasionalisme?

2. Bagaimana aliran empirisme?

3. Bagaimana aliran kritisme?

4. Bagaimana aliran intuisionisme?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui bagaimana aliran rasionalisme?

2. Untuk mengetahui bagaimana aliran empirisme?

3. Untuk mengetahui bagaimana aliran kritisme?

4. Untuk mengetahui bagaimana aliran intuisionisme?

4
BAB II

PEMBAHASAN

Proses keilmuan manusia terjadi karena ber‘temu’nya subjek ilmu dengan

objek ilmu. Maka suatu ilmu pada dasarnya terdiri dari tiga unsur, subjek, objek

dan “pertemuan” keduanya. Apa hakikat ketiga hal itu dan bagaimana peran

masing-masing dalam proses keilmuan itu? dst. Pertanyaanpertanyaan ini, dalam

sejarah filsafat, merupakan persoalan kefilsafatan yang berkaitan dengan asumsi

dasar dari proses keilmuan itu sendiri. Tentang hal ini, ada banyak aliran

kefilsafatan yang menyumbangkan pemikirannya. Berikut ini akan dibahas, secara

ringkas, empat aliran kefilsafatan, yakni rasionalisme, empirisisme, kritisisme,

intuisionisme. Dua aliran pertama memiliki perbedaan yang cukup ekstrim, yang

ketiga adalah aliran yang berupaya mendamaikan kedua aliran sebelumnya. Sedang

aliran keempat adalah aliran yang sampai saat ini sedang mencari dukungan

epistemologis dan juga metodologis untuk suatu pengetahuan yang bersumber

(origin) dari pengalaman (-batini).1

A. RASIONALISME

Secara etimologis Rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalism.

Kata ini berakar dari kata bahasa Latin ratio yang berarti “akal”. A.R. Lacey

menambahkan bahwa berdasarkan akar katanya Rasionalisme adalah sebuah

pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan

pembenaran. Sementara itu, secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran

yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam

1
Mohammad Muslih, Filsafat ilmu, Yogyakarta: Lesfi 2016 h.49

5
penjelasan. Ia menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan,

mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi.2

Secara umum, Rasionalisme adalah pendekatan filosofis yang menekankan

akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan. Ini berarti bahwa sumbangan

akal lebih besar daripada sumbangan indra, sehingga dapat diterima adanya struktur

bawaan (ide, kategori). Oleh Rasionalisme, bahwa mustahillah ilmu dibentuk hanya

berdasarkan fakta dan data empiris (pengamatan).3 Berpikir inilah yang membentuk

pengetahuan. Karena hanya manusia yang berpikir, maka hanya manusia yang

berpengetahuan. Berdasarkan pengetahuan inilah manusia berbuat dan menentukan

tindakannya. Berbeda pengetahuan, berbeda pula laku-perbuatan dan tindakannya.

Tumbuhan dan binatang tidak berpikir, maka mereka tidak berpengetahuan. Laku-

perbuatan dan tindakan makhluk-makhluk yang tidak punya rasio, sangat

ditentukan oleh naluri, yang dibawanya sejak lahir. Tumbuhan dan binatang

memperoleh pengalaman seperti manusia. namun demikian tidak mungkin mereka

membentuk pengetahuan dari pengalamannya. Oleh karenanya pengetahuan hanya

dibangun oleh manusia dengan rasionya.4

Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indera dalam memperoleh

pengetahuan. Pengalaman indera diperlukan untuk merangsang akal dan

memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja. Akan tetapi,

untuk sampainya manusia kepada kebenaran, adalah semata-mata dengan akal.

Laporan indera menurut rasionalisme merupakan bahan yang belum jelas dan

2
M. Ied Al Munir Tinjauan Terhadap Metode Empirisme dan Rasionalisme, h.235
3
Syah Budi, Epistemologi Perspektif Islam dan Barat, h.180
4
Mohammad Muslih, Filsafat ilmu, Yogyakarta: Lesfi 2016 h.54

6
kacau. Bahan ini kemudian dipertimbangkan oleh akal dalam pengalaman berpikir.

Akal mengatur bahan itu sehingga dapatlah terbentuk pengetahuan yang benar.

Akal dapat bekerja dengan bantuan indera, tetapi akal juga dapat menghasilkan

pengetahuan yang tidak berdasarkan bahan inderawi sama sekali, jadi, akal dapat

menghasilkan pengetahuan tentang objek yang betul-betul abstrak.5

Tokoh-Tokoh Rasionalisme adalah Rene Descartes (1596 -1650); Nicholas

Malerbranche (1638 -1775); B. De Spinoza (1632 -1677 M); G.W.Leibniz (1946-

1716); Christian Wolff (1679 -1754); dan Blaise Pascal (1623 -1662 M)6

1. Rene Descrates

Rene Descartes (Renatus cartesius) adalah putra keempat Joachim

Descartes, seorang anggota parlemen kota britari, propinsi renatus di prancis.

Kakeknya, piere Descartes, adalah seorang dokter. Dilahirkan pada tanggal 31

Maret 1596 di La Haye (sekarang disebut La Haye Descartes), propinsi Teuraine.7

Oleh Descartes, dikenalkan dengan istilah substansi, yang tak lain adalah ide

bawaan (innate ideas) yang sudah ada dalam jiwa sebagai kebenaran yang clear and

distinct, tidak bisa diragukan lagi. Ada tiga ide bawaan yang diajarkan Descartes,

yaitu: (a). Pemikiran. Saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berpikir,

maka harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya. (b). Tuhan

sebagai wujud yang sama sekali sempurna. Karena saya mempunyai ide

‘sempurna’, mesti ada sesuatu penyebab sempurna untuk ide itu, karena suatu

akibat tidak bisa melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak bisa lain

5
Muliadi, Filsafat Umum, Fakultas Ushuludin UIN Gunung Djati Bandung, 2020 h.70
6
Muhammad Kristiawan, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Valia Pustaka, 2016 h.242
7
Muliadi, Filsafat Umum, Fakultas Ushuludin UIN Gunung Djati Bandung, 2020 h.73

7
dari pada Tuhan. (c). Keluasaan. Saya mengerti materi sebagai keluasaan atau

ekstensi (extension), sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli

ilmu ukur. 1 Pengakuanya tentang adanya tiga prinsip dasar ini, karena ketiganya

tidak bisa lagi diragukan ‘keberadaan’nya.8

2. B. De Spinoza

Spinoza dilahirkan pada tahun 1632 dan meninggal dunia pada tahun 1677

M. Nama aslinya Baruch Spinoza. De Spinoza memiliki cara berfikir yang sama

dengan Rene Descartes, ia mengatakan bahwa kebenaran itu terpusat pada

pemikiran dan keluasan. Pemikiran adalah jiwa, sedangkan keluasan adalah tubuh,

yang eksistensinya berbarengan.9

Spinoza, ada tiga taraf pengetahuan, yaitu berturut-turut: taraf persepsi

indrawi atau imajinasi, taraf refleksi yang mengarah pada prinsip-prinsip dan taraf

intuisi. Hanya taraf kedua dan ketigalah yang dianggap pengetahuan sejati. Dengan

ini, Spinoza menunjukkan pendiriannya sebagai seorang rasionalis. Pendiriannya

dapat dijelaskan demikian, menurutnya sebuah idea berhubungan dengan ideatum

atau obyek dan kesesuaian antara idea dan ideatum inilah yang disebut dengan

kebenaran. Dia membedakan idea ke dalam dua macam, yaitu idea yang memiliki

kebenaran intrinsik dan idea yang memiliki kebenaran ekstrinsik. Idea yang benar

secara intrinsik menurutnya memiliki sifat “memadai”, sedangkan idea yang benar

secara ekstrinsik disebutnya “kurang memadai”10

8
Mohammad Muslih, Filsafat ilmu, Yogyakarta: Lesfi 2016 h.50
9
Muliadi, Filsafat Umum, Fakultas Ushuludin UIN Gunung Djati Bandung, 2020 h.74
10
Ibid, h.75

8
3. G. W. Leibniz

Leibniz lahir di Jerman, nama kengkapnya Gottfried Wilhem von Leibniz.11

Logika Leibniz dimulai dari suatu prinsip rasional, yaitu dasar pikiran yang jika

diterapkan dengan tepat akan cukup menentukan struktur realitas yang mendasar.

Leibniz mengajarkan bahwa ilmu alam adalah perwujudan dunia yang tampil secara

matematis. Dunia yang terlihat dengan nyata ini hanya dapat dikenal melalui

penerapan dasar-dasar pertama pemikiran. Tanpa itu orang tidak dapat melakukan

penyelidikan ilmiah. Pandangan ini berkaitan dengan dasar epistemologi Leibniz,

yakni kebenaran pasti atau kebenaran logis dan kebenaran fakta atau kebenaran

pengalaman. Atas dasar pembedaan jenis kebenaran itu, Leibniz kemudian

membedakan dua jenis pengetahuan. Pertama, pengetahuan yang menaruh

perhatian pada kebenaran eternal (abadi), dalam hal ini, kebenaran logis.

Pengetahuan ini didasarkan pada prinsip identitas dan prinsip kontradiksi.

Misalnya, A adalah A, dan selamanya A tidak pernah jadi selain non-A (contoh

kebenaran ini berlaku khusus bagi eksistensi Tuhan). Prinsip ini bukan hasil dari

penemuan ilmiah, tetapi sesuatu yang sifatnya aksiomatis. Kebenarannya tidak

memberikan pengetahuan tentang dunia fenomenal, tetapi tanpa dasar kedua prinsip

ini, tidak mungkin manusia berpikir secara logis. Memahami kebenaran logis

adalah hak ‘prerogatif’ manusia. Kedua, pengatahuan yang didasarkan pada

observasi atau pengamatan, hasilnya disebut “kebenaran kontingen” atau

“kebenaran fakta”. Kebenaran fakta tidak ditentukan oleh proposisi yang self

evident, tetapi kebenarannya ditentukan oleh hubungan antara proposisi yang satu

11
Ibid h.75

9
dengan proposisi yang lain. Jika pengetahuan jenis pertama berkaitan dengan

penalaran yang bersifat analitik, maka pengetahuan jenis kedua ini bersifat sintetis

dengan memakai prinsip “alasan yang mencukupi” (sufficient reason).12

B. EMPIRISME

Secara etimologis, Empirisme berasal dan kata Yunani yaitu empeiria,

empeiros yang berarti berpengalaman dalam, berkenalan dengan, dan terampil

untuk. Bahasa Latinnya yaitu experientia (pengalaman). Sehingga secara istilah,

Empirisme adalah doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam

pengalaman atau pengalaman inderawi merupakan satu-satunya sumber

pengetahuan dan bukan akal/ rasio.13

Empirisme berpendirian bahwa semua pengetahuan diperoleh melalui indra.

Indra memperoleh kesan-kesan nyata. Kemudian, kesankesan tersebut berkumpul

dalam diri manusia sehingga menjadi pengalaman. Pengetahuan yang berupa

pengalaman terdiri atas penyusunan dan pengaturan kesan-kesan yang bermacam-

macam. Dari segi hakikat pengetahuan empirisme berpendirian bahwa pengetahuan

berupa pengalaman. 14

Aliran ini muncul di Inggris, yang pada awalnya dipelopori oleh Francis

Bacon (1561- 1626), kemudian dilanjutkan oleh tokoh-tokoh pasca Descartes,

seperti Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632- 1704), Berkeley (1685-

1753), dan yang terpenting adalah David Hume (1711-1776).15

12
Mohammad Muslih, Filsafat ilmu, Yogyakarta: Lesfi 2016 h.51
13
Syah Budi, Epistemologi Perspektif Islam dan Barat, h.177
14
Muliadi, Filsafat Umum, Fakultas Ushuludin UIN Gunung Djati Bandung, 2020 h.79
15
Mohammad Muslih, Filsafat ilmu, Yogyakarta: Lesfi 2016 h.55

10
1. Thomas Hobbes

Thomas Hobbes menganggap bahwa pengalaman inderawi sebagai

permulaan segala pengenalan. Pengenalan intelektual tidak lain dari semacam

perhitungan (kalkulus), yaitu penggabungan data-data inderawi yang sama, dengan

cara yang berlainan. Dunia dan manusia sebagai objek pengenalan merupakan

sistem materi dan merupakan suatu proses yang berlangsung dengan tiada henti-

hentinya atas dasar hukumhukum mekanisme.16

2. John Locke

Ia lahir tahun 1632 di Bristol Inggris dan wafat tahun 1704 di Oates Inggris.

Ia juga ahli politik, ilmu alam, dan kedokteran. Pemikiran John termuat dalam tiga

buku pentingnya yaitu Essay Concerning Human Understanding, terbit tahun 1600;

Letters on Toleration terbit tahun 1689-1692; dan Two Treatises on Government,

terbit tahun 1690.17

John locke (1632-1704) bapak aliran ini pada zaman modern

mengemukakan teori tabula rusa yang secara bahasa berarti meja lilin. Maksudnya

ialah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas

pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan.

Mula- mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana, lama-lama sulit, lalu

tersusunlah pengetahuan berarti. Bagaimanapun kompleks (sulit)-nya pengetahuan

manusia, ia selalu dapat dicari ujungnya pada pengalaman indera. Sesuatu yang

16
Ibid, 55
17
Muhammad Kristiawan, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Valia Pustaka, 2016 h.212

11
tidak dapat diamati dengan indera bukan pengetahuan yang benar. Jadi, pengalaman

indera itulah sumber pengetahuan yang benar.18

3. David Hume

David Hume lahir di Edinburg Scotland tahun 1711 dan wafat tahun 1776

di kota yang sama. Hume seorang yang menguasai hukum, sastra dan juga filsafat.

Karya tepentingnya ialah An Inquiry Concerning Human Understanding, terbit

tahun 1748 dan An Inquiry into the Principles of Moral yang terbit tahun 1751.19

David Hume berpendapat bahwa seluruh isi pemikiran berasal dari

pengalaman, yang ia sebut dengan istilah “persepsi.” Menurut Hume persepsi itu

terdiri dari dua macam (tingkatan, pen.), yaitu kesan-kesan (impresions) dan

gagasan (ideas). Kesan adalah persepsi yang masuk melalui akal budi, secara

langsung, sifatnya kuat dan hidup. Sedang gagasan adalah persepsi yang berisi

gambaran kabur tentang kesan-kesan. Gagasan bisa diartikan cerminan dari kesan-

kesan; ‘kerja’ kesan mendahului gagasan. Yang pertama bisa disebut ‘pengalaman

indrawi’ dan yang kedua merupakan konsep atau ‘makna’.20

C. KRITISISME

Aliran ini muncul pada abad ke-18 suatu zaman baru dimana seseorang ahli

pemikir yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme

dengan empirisme. Seorang ahli pikir jerman Immanuel Kant (1724-18004)

mencoba menyelesaikan persoalan diatas, pada awalnya, kant mengikuti

18
Muliadi, Filsafat Umum, Fakultas Ushuludin UIN Gunung Djati Bandung, 2020 h.79
19
Ibid, h.213
20
Mohammad Muslih, Filsafat ilmu, Yogyakarta: Lesfi 2016 h.58

12
rasionalisme tetapi terpengaruh oleh aliran empirisme. Akhirnya kant mengakui

peranan akal harus dan keharusan empiris, kemudian dicoba mengadakan sintesis.

Walaupun semua pengetahuan bersumber pada akal (rasionalisme), tetapi adanya

pengertian timbul dari pengalaman (empirime). Jadi, metode berpikirnya disebut

metode kiritis. Walaupun ia mendasarkan diri dari nilai yang tinggi dari akal, tetapi

ia tidak mengingkari bahwa adanya persoalan-persoalan yang melampaui akal.21

Perkembangan pemikiran Kant mengalami empat periode. Periode pertama

ialah ketika ia masih dipengaruhi oleh Leibniz-Wolff, yaitu sampai tahun 1760.

Periode ini sering disebut periode rasionalistik. Periode kedua berlangsung antara

tahun 1760-1770, yang ditandai dengan semangat skeptisisme. Periode ini disebut

periode empiristik. Pada periode ini pengaruh Hume sangat dominan. Karya Kant

Dream of a Spirit Seer ditulis pada periode ini. Periode ketiga dimulai dari inaugural

dissertation-nya pada tahun 1770. Periode ini bisa dikenal sebagai “tahap kritik”.

Periode keempat berlangsung antara tahun 1790 sampai tahun 1804. Pada periode

ini Kant mengalihkan perhatiannya pada masalah religi dan problem-problem

sosial. Karya Kant yang terpenting pada periode keempat adalah Religion within

the Limits of Pure Reason (1794) dan sebuah kumpulan esei berjudul Eternal Peace

(1795).22

21
Muliadi, Filsafat Umum, Fakultas Ushuludin UIN Gunung Djati Bandung, 2020 h.82
22
Mohammad Muslih, Filsafat ilmu, Yogyakarta: Lesfi 2016 h.63

13
D. INTUISIONISME

Secara epistemologis, pengetahuan intuitif berasal dari intuisi yang

diperoleh melalui pengamatan langsung, tidak mengenai objek lahir melainkan

mengenai kebenaran dan hakikat sesuatu objek. Dalam tradisi Islam, para sufi

menyebut pengetahuan ini sebagai rasa yang mendalam (zauq) yang berkaitan

dengan persepsi batin. Dengan demikian pengetahuan intuitif sejenis pengetahuan

yang dikaruniakan Tuhan kepada seseorang dan dipatrikan pada kalbunya sehingga

tersingkaplah olehnya sebagian rahasia dan tampak olehnya sebagian realitas

perolehan pengetahuan ini bukan dengan jalan penyimpulan logis sebagaimana

pengetahuan rasional melainkan dengan jalan kesalehan, sehingga seseorang

memiliki kebeningan kalbu dan wawasan spiritual yang prima.23

Menurut intuisionisme, sumber pengetahuan adalah pengalaman pribadi,

dan sarana satu-satunya adalah intuisi.24 Tokoh aliran intusionalisme, antara lain:

Plotinos (205 - 270) dan Henri Bergson (1859 -1994).25

Bergson menyatakan bahwa intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui

secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan

jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung

dari pengetahuan intuitif. (Kattsoff, 2004: 141). Henri Bergson (1859-1941) adalah

tokoh aliran ini. Ia menganggap tidak hanya indera yang terbatasa, akal juga

terbatas. Objek yang selalu berubah, jadi, pengetahuan kita tentangnya tidak pernah

tetap. Intelektual atau akal juga terbatas. Akal hanya dapat memahami suatu objek

23
Ibid, h.80
24
Ibid, h.83
25
Muliadi, Filsafat Umum, Fakultas Ushuludin UIN Gunung Djati Bandung, 2020 h.81

14
bila ia mengonsentrasikan dirinya pada objek itu, untuk itu, manusia tidak

mengetahui keseluruhan (unique), tidak dapat memahami sifat-sifat yang tetap pada

objek. Misalnya manusia menpunyai pemikiran yang berbedabeda. Dengan

menyadari kekurangan dari indera dan akal maka Bergson mengembangkan satu

kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intuisi.26

Henry Bergson (1859-1941), seorang filosof Perancis modern yang

beraliran intuisionisme, membagi pengetahuan menjadi dua macam; “pengetahuan

mengenai” (knowledge about) dan “pengetahuan tentang” (knowledge of).

Pengetahuan pertama disebut dengan pengetahuan diskursif atau simbolis dan

pengetahuan kedua disebut dengan pengetahuan langsung atau pengetahuan intuitif

karena diperoleh secara langsung. Atas dasar perbedaan ini, Bergson menjelaskan

bahwa pengetahuan diskursif diperoleh melalui simbol-simbol yang mencoba

menyatakan kepada kita “mengenai” sesuatu dengan jalan berlaku sebagai

terjemahan bagi sesuatu itu. Oleh karenanya, ia tergantung kepada pemikiran dari

sudut pandang atau kerangka acuan tertentu yang dipakai dan sebagai akibat

maupun kerangka acuan yang digunakan itu. Sebaliknya pengetahuan intuitif

adalah merupakan pengetahuan yang nisbi ataupun lewat perantara. Ia mengatasi

sifat -lahiriah- pengetahuan simbolis yang pada dasarnya bersifat analitis dan

memberikan pengetahuan tentang obyek secara keseluruhan. Maka dari itu menurut

Bergson, intuisi adalah sesuatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan

seketika.

26
Ibid, 82

15
Lebih lanjut Bergson menyatakan bahwa intuisi sebenarnya adalah naluri

(instinct) yang menjadi kesadaran diri sendiri dan dapat menuntun kita kepada

kehidupan dalam (batin). Jika intuisi dapat meluas maka ia dapat memberi petunjuk

dalam hal-hal yang vital. Jadi, dengan intuisi kita dapat menemukan “elan vital”

atau dorongan yang vital dari dunia yang berasal dari dalam dan langsung, bukan

dengan intelek.

Douglas V. Steere dalam Mysticism, mengatatakan bahwa pengetahuan

intuisi yang ditemukan orang dalam penjabaran-penjabaran mistik memungkinkan

kita untuk mendapatkan pengetahuan yang langsung dan mengatasi (transcend)

pengatahuan yang kita peroleh dengan akal dan indera. Mistisisme atau mistik

diberi batasan sebagai kondisi orang yang amat sadar tentang kehadiran yang maha

riil (the condition of being overwhelmingly aware of the presence of the ultimately

real).

Kata Steere pula, intuisi dalam mistik bahkan memiliki implikasi yang lebih

jauh sebab mungkin dijelmakan menjadi persatuan aku dan Tuhan pribadi (al-

ittihad) atau kesadaran kosmis (wahdah al-wujud).

Menurut William James, mistisisme merupakan suatu kondisi pemahaman

(noetic). Sebab bagi para penganutnya, mistisisme merupakan suatu kondisi

pemahaman dan pengetahuan, di mana dalam kondisi tersebut tersingkaplah

hakikat realitas yang baginya merupakan ilham yang bersifat intuitif dan bukan

merupakan pengetahuan demonstratis.46 Sejalan dengan James, Bertrand Russell

setelah menganalisa kondisi-kondisi mistisisme kemudian berkesimpulan, bahwa

di antara yang membedakan antara mistisisme dengan filsafatfilsafat yang lain

16
adalah adanya keyakinan atas intuisi (intuition) dan pemahaman batin (insight)

sebagai metode pengetahuan, kebalikan dari pengetahuan rasional analitik.27

27
Mohammad Muslih, Filsafat ilmu, Yogyakarta: Lesfi 2016 h.81

17
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Rasionalisme menekankan kalau sumber pengetahuan adalah akal (rasio).

Empirisme menganggap bahwa pengetahuan itu bersumber dari pengalaman, dan

bukan rasio/akal. Kritisme merupakan aliran yang menjadi penengah diantara

rasionalisme dan empirisme. Intuisionisme beranggapan bahwa sumber

pengetahuan berawal dari pengalaman pribadi, dan sarana satu-satunya adalah

intuisi.

18
DAFTAR PUSTAKA

Muslih, Mohammad. 2016. Filsafat ilmu, Yogyakarta: Lesfi

Munir, M. Ied Al. Tinjauan Terhadap Metode Empirisme dan Rasionalisme

Budi, Syah. Epistemologi Perspektif Islam dan Barat

Muliadi. 2020 Filsafat Umum, Fakultas Ushuludin UIN Gunung Djati Bandung

Kristiawan, Muhammad. 2020. Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Valia Pustaka

19

Anda mungkin juga menyukai