NIM : 05040120121
1
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu) , 95.
Selain itu Abu Hanifah juga menambah ilmunya di Hijaz dan menambah ilmu fiqih dan
hadits nya sebagai nilai tambahan dari apa yang ia pelajari di Kufah. Setelah meninggalnya
Hammad, Majlis Madrasah Kufah sepakat untuk mengangkat Abu Hanifah menjadi kepala
Madrasah. Selama itu ia mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa-fatwa dalam masalah
fiqh. Fatwa-fatwanya ini yang dikenal sampai sekarang dan sekaligus menjadi dasar-dasar
pemikiran mazhab Hanafi yang dikenal sampai sekarang.
Meskipun sebagian besar riwayat hidup imam Abu Hanifah adalah di Kufah, Abu Hanifah
pernah tinggal di Baghdad, pada saat tinggal di Baghdad beliau pernah ditawari menjadi
seorang Hakim/Qadhi oleh khalifah Marwan, tetapi beliau menolak tawaran tersebut dan atas
penolakannya tersbut beliau mendapatkan hukaman dari khalifah Marwan, kemudian Abu
Hanifah pernah belajar di Mekkah beberapa tahun, dan beliau meninggal dunia pada bulan
rajab tepatnya tahun 150 H.
Dalam suasana seperti itulah imam malik tumbuh dan berkembang serta mendapatkan
pendidikan dari beberapa guru yang terkenal. Pelajaran pertama yang ia dapatkan adalah al-
Qur’an, yaitu tentang cara membacanya, memahami makna dan tafsirnya, dan menghafal nya.
Kemudian ia mempelajari hadits Nabi SAW, dengan tekun dan rajin sehingga ia mendapat
julukan sebagai ahli hadits. Adapun guru pertama dan bergaul sangat lama serta erat adalah
imam Abd Rahman ibn Hurmuz salah seorang ulama besar di Madinah. Kemudian beliau
belajar Fiqh kepada salah seorang ulama besar di kota Madinah, bernama Rabi’ah al-Ra’yi
(wafat tahun 136 H). Selanjutnya imam malik belajar ilmu hadits kepada imam Nafi’
Maulana Ibnu Umar (wafat pada tahun 117 H), juga belajar kepada Imam ibn Syihab al-
Zuhry.
2. Pola Pemikiran dan Dasar istinbath Hukum Mazhab Maliki
Imam Malik merupakan seorang ahli ibadah dan sekaligus mujtahid sebagaimana
halnya Imam Abu Hanifah. Imam Malik tumbh dan berkembang sebagai ulama yang
sangat terkemuka, terutama dalam hal imu hadis dan fiqh. sebagaimana ucapan al-
Dahlway, “Malik adalah orang paling ahli dalam bidang hadis di Madinah, yang
paling mengetahui keputusan Umar, yang paling mengetahui pendapat-pendapat
Abdullah ibn Umar,Aisyah R.A dan sahabat-sahabat lainnya.” Setelah ilmunya
mencapai tingkat tinggi, beliau mulai mengajar dan mulai menulis kitab Muwaththa
yang sangat populer, karena beliau merasa punya kewajiban dalam menyampaikan
pengetahuan kepada orang lainyang membutuhkan, banyak dari kalangan
muhadditsin besar mempelajari hadits beliau dan menjadi rujukan para ahli fiqh.
Imam Malik selaku mufti pada masanya sering menerima perlakuan keras dan
kekejaman dari penguasa pada waktu itu, karena ia sangat mempertahankan
pendapatnya tentang masalah “paksaan talak itu tidak sah”. Beliau tetap tidak
mencabut fatwanya yang bertentangan dengan khalifah alManshur dari Bani Abbas di
Baghdad,beliau di siksa dan di penjara. Imam Malik adalah seorang ulama alim besar
dalam ilmu hadis, sesuai dengan pernyataan imam Syafi’i “Apabila datang kepadamu
hadis dari Imam Malik, maka pegang teguhlah olehmu, karena dia menjadi hujjah
olehmu”. Berikut urutan prioritas istimbat yang digunakan oleh Imam Malik dalam
menetapkan sebuah hukum :
1) Al-Qur’an
Dalam memegang alqur’an meliputi pengambilan hukum berdasarkan zahir nash al-
Qur’an atau keumumannya,dengan memperhatikan illatnya.
2) Sunnah
Dalam berpegang kepada hadis sebagai dasar hukum, imam Malik berdasarkan pada
apa yang dilakukannya dalam berpegang kepada alqur’an. Apabila dalil syar’i
menghendaki adanya penta’dilan, apabila terjadi pertentangan antara makna zhahir al-
Quran dengan makna yang terkandung dalam hadits sekalipun jelas maka yang
dipegang adalah makna zhahir al Qur’an , akan tetapi apabila makna yang terkandung
dalam sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma’ ahl-Madinah, maka ia lebih
mengutamakan makna yang terkandung dalam hadits dari pada zhahir al-Qur’an.
4) Fatwa Sahabat
Yang dimaksud dengan sahabat disini adalah para sahabat besar, yang mempunyai
pengetahuan terhadap suatu masalah itu di dasarkan pada alNaql. Menurut imam
malik para sahabat tersebut tidak akan memberikan fatwa, kecuali atas dasar apa
yang mereka pahami dari Rasulullah SAW. Namun demikian beliau mensyaratkan
fatwa tersebut tidak boleh bertentangan dengan hadis marfu’ yang dapat diamalkan
dan fatwa sahabat tersebut lebih didahulukan daripada Qiyas. Adakalanya juga imam
Malik menggunakan fatwa tabi’in besar sebagai pegangan dalam menentukan hukum.
6) Al-Istihsan
Menurut Mazhab Maliki, istihsan adalah “menurut hukum dengan mengambil
maslahah yang merupakan bagian dari dalil-dalil yang bersifat menyeluruh dengan
maksud mengutamakan al-istidlal al-Mursal daripada qiyas”. Sebab menggunakan
istihsan tersebut tidak berdasarkan pada pertimbangan perasaan semata, melainkan
berdasarkan pertimbangannya pada maksud pembuat syara’ secara keseluruhan.
7) Sadd al-Zara’i
Imam Malik mengatakan semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram
maka hukumnya haram, serta sesuatu sebab yang menunjukkan kepada yang halal
maka hukumnya juga halal.
8) Istishab
Imam Malik menyatakan bahwa istishab sebagai landasan untuk menetapkan hukum,
Istishab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau untuk
masa akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada pada masa
lampau.
Menurut Rasyad Hasan Khalil, dalam istinbath hukum Imam Syafi‟i menggunakan
lima sumber, yaitu:
1) Nash-nash, baik Alquran dan sunnah yang merupakan sumber utama bagi fikih
Islam, dan selain keduanya adalah pengikut saja. Para sahabat terkadang sepakat atau
berbeda pendapat, tetapi tidak pernah bertentangan dengan Alquran atau sunnah.
2) Ijmak, merupakan salah satu dasar yang dijadikan hujjah oleh imam Syafi‟i
menempati urutan setelah Alquran dan sunnah. Beliau mendefinisikannya sebagai
kesepakatan ulama suatu zaman tertentu terhadap satu masalah hukum syar‟i dengan
bersandar kepada dalil. Adapun ijmak pertama yang digunakan oleh imam Syafi‟i
adalah ijmaknya para sahabat, beliau menetapkan bahwa ijmak diakhirkan dalam
berdalil setelah Alquran dan sunnah. Apabila masalah yang sudah disepakati.
bertentangan dengan Alquran dan sunnah maka tidak ada hujjah padanya.
3) Pendapat para sahabat. Imam Syafi‟i membagi pendapat sahabat kepada tiga
bagian. Pertama, sesuatu yang sudah disepakati, seperti ijmak mereka untuk
membiarkan lahan pertanian hasil rampasan perang tetap dikelola oleh pemiliknya.
Ijmak seperti ini adalah hujjah dan termasuk dalam keumumannya serta tidak dapat
dikritik. Kedua, pendapat seorang sahabat saja dan tidak ada yang lain dalam suatu
masalah, baik setuju atau menolak, maka imam Syafi‟i tetap mengambilnya. Ketiga,
masalah yang mereka berselisih pendapat, maka dalam hal ini imam Syafi‟i akan
memilih salah satunya yang paling dekat dengan Alquran, sunnah atau ijmak, atau
mrnguatkannya dengan qiyas yang lebih kuat dan beliau tidak akan membuat
pendapat baru yang bertentangan dengan pendapat yang sudah ada.
4) Qiyas. Imam Syafi‟i menetapkan qiyas sebagai salah satu sumber hukum bagi
syariat Islam untuk mengetahui tafsiran hukum Alquran dan sunnah yang tidak ada
nash pasti. Beliau tidak menilai qiyas yang dilakukan untuk menetapkan sebuah
hukum dari seorang mujtahid lebih dari sekedar menjelaskan hukum syariat dalam
masalah yang sedang digali oleh seorang mujtahid.
5) Istidlal. Imam Syafi‟i memakai jalan istidlal dalam menetapkan hukum, apabila
tidak menemukan hukum dari kaidah-kaidah sebelumnya di atas. Dua
sumber istidlal yang diakui oleh imam Syafi‟i adalah adat istiadat („urf) dan
undangundang agama yang diwahyukan sebelum Islam (istishab). Namun begitu,
kedua sumber ini tidak termasuk metode yang digunakan oleh imam Syafi‟i sebagai
dasar istinbath hukum yang digunakan oleh imam Syafi‟i.
1) Kitab Al - Umm.
Kitab ini disusun langsung oleh Imam Syafi'i secara sistematis sesuai dengan bab -
bab fiqih dan menjadi rujukan utama dalam Madzhab Syafi'i. Kitab ini memuat
pendapat Imam Syafi'i dalam berbagai masalah fiqih. Dalam kitab ini juga dimuat
pendapat Imam Syafi'i yang dikenal dengan sebutan Al - qaul Al - qadim (pendapat
lama) dan Al - qaul Al jadid (pendapat baru). Kitab ini dicetak berulang kali dalam
delapan jilid bersamaan dengan kitab usul fiqih Imam Syafi'i yang berjudul Ar-
Risalah. Pada tahun 1321 H kitab ini dicetak oleh Dar asy - Sya'b Mesir, kemudian
dicetak ulang pada tahun 1388H/1968M.
2) Kitab Al - Risalah.
Ini merupakan kitab ushul fiqih yang pertama kali dikarang dan
karenanya Imam Syafi'i dikenal sebagai peletak dasar ilmu ushul fiqih. Di
dalamnya diterangkan pokok-pokok pikiran Syafi’i dalam menetapkan
hukum.
Adapun penjelasan dari masing-masing pokok gagasan yang digunakan Imam Ahmad
ibn Hanbal dalam membina madzhabnya adalah sebagai berikut:
1) Al-Nushus yaitu al-Quran dan hadits
Al-Quran yaitu perkataan Allah SWT yang diturunkan oleh ruhulamin ke dalam hati
Rasulullah dengan lafadz bahasa Arab, agar supaya menjadi hujjah bagi Rasulullah
bahwa dia adalah utusan Allah SWT. Al-Hadits yaitu segala ucapan, segala
perbuatan, dan segala keadaan atau perilaku Nabi SAW. Menurut Imam Ahmad ibn
Hanbal al-Quran adalah sumberpertama dalam menggali sumber hukum fiqh dia.
Sedangkan sunnahsendiri adalah penjelas al-Quran dan tafsir hukum hukumnya
makatidak aneh apabila ia menjadikan al-Quran an sunnah sebagai perintissumber
sumber bagi pendapat fiqh dia. Oleh karena itu ia menolakterhadap orang-orang yang
mengambil teks-teks al-Quran danmeninggalkan sunnah. Dalam pendahuluan
bantahannya ia berkata: “Sesungguhnya Allah SWT telah mengutus Muhammad
danmenurunkan kitab-Nya dengan membawa petunjuk bagi yang mengikutinya.
”Rasulullah adalah penjelas dari kitab Allah SWT danpemberi petunjuk terhadap
makna-makna al Quran. Bila jawabanatas persoalan hukum sudah didapat dalam
nash-nash al-Quran danhadits, ia tidak beranjak ke sumber lain, tidak pula
menggunakan metode ijtihad.
2) Fatwa sahabat
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, sahabat sebagai generasi Islam pertama
meneruskan ajaran dan misi kerasulan. Sahabatmelakukan penelaahan terhadap
al-Quran dan sunnahdalammenyelesaikan suatu kasus. Apabila tidak didapatkan
dalam al-Quran dan sunnah, mereka melakukan ijtihad dalam menyelesaikan
kasusdisebut fatwa, yaitu suatu pendapat yang muncul karena adanya peristiwa
yang terjadi.Jadi fatwa sahabat merupakan ijtihad parasahabat dalam
menyelesaikan suatu kasus.
5) Qiyas
Apabila hadits mursal dan hadits dhaif sebagaimana disyaratkandi atas tidak
didapatkan,Imam Ahmad ibn Hanbal menganalogikan(menggunakan qiyas)
dalam pandangannya, qiyas adalah dalil yangdipakai dalam keadaan terpaksa.