Anda di halaman 1dari 5

POSITIVISME DAN ILMU KOGNITIF

FILSAFAT ILMU

Disusun Oleh :
Aisyah Kurnia Maulidah (111811133035)
Devia Putri Ramadhani (111811133055)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2022
A. Pondasi dan Paralelitas antara Logical Positivism dan Classical
Cognitivism
a. Logical Positivism
Logical Positivism adalah sebuah filsafat ilmu yang berasal dari
Lingkaran Wina. Teori ilmiah ini dikembangkan oleh Ludwigh Wittgenstein.
Dasar konsep dari logical positivism adalah tentang sains dengan
menggabungkan kesatuan ilmu pengetahuan, dengan aliran ini ditafsirkan
sebagai aksiomatik yang sudah jelas kebenarannya.
Salah satu teori logical positivism yang paling dikenal antara lain “teori
tentang makna yang dapat dibuktikan”, yang menyatakan bahwa semua
pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika pernyataan tersebut dapat
diverifikasi secara empiris.
Teori ini menggunakan 2 akurasi yaitu prinsip verifikasi (versi kuat)
dan criterion of synthetic statements yang merupakan semantik, yang
digunakan terutama dalam filsafat untuk membedakan antara proposisi
(khususnya, pernyataan yang merupakan subjek afirmatif dari penilaian
predikat) yang terdiri dari dua jenis: proposisi analitik dan proposisi sintetik.
Proposisi analitik benar atau tidak benar semata-mata berdasarkan maknanya,
sedangkan kebenaran proposisi sintetik, jika ada berasal dari bagaimana
maknanya berhubungan dengan dunia.
Ruang lingkup dalam logical positivism berada pada lingkup
penolakan dan untuk mengakhiri metafisika. Posisi logical positivism
bukanlah bahwa klaim-klaim metafisika terbukti salah, melainkan bahwa
klaim-klaim itu tidak dapat dibuktikan sama sekali dan oleh karena itu tidak
berarti.

b. Classical Cognitivism
Munculnya psikologi kognitif menandai akhir dari periode positivistik
yang paling mencolok dalam sejarah psikologi, namun tanpa disadari,
psikologi kognitif mewarisi sikap dan kecenderungan tertentu dari kaum
positivis. Psikologi kognitif menekankan lebih kompleks seperti berpikir,
pemecahan masalah, bahasa, pembentukan konsep, dan pemrosesan informasi.
Psikologi kognitif berevolusi dari psikologi Hilary Putman. Psikolog
kognitif tidak menahan diri untuk tidak menggunakan istilah mental,
sebaliknya mereka berkembang dengan mendalilkan penyimpanan memori
yang tidak dapat diamati dari berbagai jenis. Kognitivisme bertugas
mempelajari kognisi, yaitu proses pikiran yang berbeda yang terkait dengan
pengetahuan. Oleh karena itu, psikologi kognitif mempelajari mekanisme yang
digunakan orang untuk memperoleh pengetahuan, dan semua langkah atau
metode yang termasuk di dalamnya menggunakan indera. Kognitivisme
berusaha untuk memahami cara orang memahami realitas yang mengelilingi
mereka dari transformasi dan informasi sensorik.
Karakteristik utama kognitivisme yaitu pengetahuan untuk
kognitivisme bersifat fungsional. Putnam adalah salah satu orang pertama
yang menulis tentang mesin “Turing” dan automata theory, yang berhubungan
dengan jenis pendekatan fungsional baru untuk analisis pikiran. Melalui hal
tersebut, dapat dikembangkan rencana, menetapkan tujuan dan mengurangi
konsekuensi negatif. Kognitivisme sendiri berfokus pada proses pembelajaran
mental dan bagaimana pembelajaran mental tersebut dapat disimpan di dalam
memori.

B. Dasar dari Cognitive Constructivism


a. The Unity of Science
The unity of science mengungkapkan pandangan positivis bahwa
seharusnya tidak ada perbedaan radikal diantara sains, baik dalam metode
maupun isinya. Pendekatan aksiomatik terhadap sains harus dianggap
universal dan dapat diterapkan secara universal di semua sains.
Doktrin ini diperluas melampaui sains untuk mengklaim kesatuan yang
bahkan lebih mendasar yang mendasari semua pengetahuan dan wacana yang
valid. Menurut para positivis, arti dari semua pernyataan bonafide, baik dari
ilmu pengetahuan dan wacana biasa harus dibangun dari konstituen dasar yang
sama.
Banyak positivis awal mendukung fenomenalisme Schlick dan
memahami elemen dasar pengetahuan dalam istilah data indera. Pandangan
mereka adalah bahwa seseorang dapat dengan tepat memahami makna sebuah
pernyataan hanya dengan memiliki pengalaman tertentu. Akses langsung dan
tidak dapat dibantahkan yang dimiliki seseorang ke data inderanya sendiri,
seharusnya memberikan fondasi yang kokoh di mana semua wacara yang valid
harus beristirahat.
Tidak ada elemen dasar yang dapat secara bersama-sama memenuhi
tuntutan akan objektivitas dan keamanan epistemik. Banyak debat para
positivis tentang apakah akan membangun dunia dari fenomena fisik atau data
yang tidak masuk akal kandas pada beberapa masalah yang sangat metafisik
yang awalnya mereka coba hindari.

b. The Language of Thought


Kognitif juga mencari bentuk kanonik. Bentuk dari pondasi mereka
adalah hasil langsung dari pendekatan komputasi terhadap pikiran. Jika pikiran
benar-benar merupakan jenis dari sistem komputasi, maka prosesnya harus
dapat didefinisikan melalui sekumpulan struktur yang koheren dan dibentuk
dari elemen dasar yang sama. Jadi, pikiran harus dengan sistematis jika ingin
bersifat komputasi (Smythe, 1991).
Pemikiran klasik tentang sifat sistem yang mendasari kognisi manusia
bahwa pada dasarnya memiliki fungsi sebagai “bahasa”. Hal tersebut juga
merupakan inti dari tesis “the language of thought” seperti yang pertama kali
diperjuangkan oleh Fodor (1975). Klaim dasarnya berbunyi bahwa keadaan
mental melibatkan hubungan dengan token simbol internal, yang memiliki
jenis struktur komposisi yang memungkinkan sintaks dan semantiks
kombinasi. Salah satu alasan untuk menggapai pemikiran semacam itu adalah
anggapan bahwa pemikiran harus memiliki potensi untuk menyampaikan
suatu makna yang setidaknya setara dengan bahasa yang disampaikan secara
alami atau bahasa alami (Smythe, 1991).
Namun, bahasa pemikiran tersebut secara nyata tidak masuk akal pada
kognisi manusia. Yang mana pemikiran sangat terjalin dengan aspek intuitif,
non-diskursif, dan diam-diam, yang tampaknya tidak memiliki struktur
artikulatif definitif yang dibutuhkan oleh bahasa pemikiran. Penalaran,
keterampilan, dan keahlian imagistik hanyalah beberapa dari kapasitas
alternatif intuitif untuk model kognisi seperti bahasa diskursif.

C. Theory Corroboration and Agricultural-Model


Psikologi positivistik dapat direpresentasikan oleh generalisasi empiris
dan menemukan hukum empiris, dengan metode eksperimen yang bertujuan
untuk memungkinkan psikolog dalam memprediksi dan mengontrol perilaku.
Eksperimen Hullian dan Skinnerian bersifat deskriptif dan berdasarkan dengan
data. Artinya bahwa kedua eksperimen tersebut tidak dipandu oleh teori
penjelasan apapun. Oleh sebab itu, generalisasi empiris Hullian dan hukum
empiris Skinnerian didasarkan secara eksklusif hanya pada perilaku yang
diamati di laboratorium (Chow, 1991). Pada psikologi kognitif yang diadopsi
dan dikembangkan dari psikologi Hullian dan Skinnerian terdapat
penyimpangan, sehingga psikologi kognitif perlu nada atau warna positivistik.
Satu hubungan yang jelas antara psikologi kognitif dan pendahulunya adalah
melakukan metode yang umum keduanya lakukan, yakni eksperimen.
Ternyata, baik psikologi kognitif maupun positivistik melakukan dua jenis
eksperimen (Chow, 1991). Setiap eksperimen dilakukan berdasarkan dengan
tujuan. Terdapat dua jenis eksperimen yang harus dibedakan dalam hal
mengapa eksperimen tertentu perlu untuk dilakukan dan kedua jenis
eksperimen tersebut memiliki implikasi yang berbeda. Kedua jenis eksperimen
yang dimaksud tersebut adalah sebagai berikut:

a. The Theory-Corroboration Experiment


Teori ini bermaksud menjelaskan mengapa suatu teori lebih
diperhatikan daripada teori yang lain. Teori koroborasi ini dilakukan dengan
menggunakan atau membandingkan dua teori dalam menjelaskan suatu
peristiwa. Contohnya, peristiwa dalam psikologi kognitif ketika suatu memori
dari penyimpanan jangka pendek terlupakan yang telah dijelaskan oleh decay
theory dan interference theory.
Kedua teori tersebut digunakan sebagai teori penjelas dalam teori
koroborasi tersebut tidak diperkenankan circular. Artinya bahwa teori yang
bersifat non-circular harus mampu menjelaskan fenomena tambahan selain
fenomena yang sudah ada di teori yang lain. Sehingga dari dua teori tersebut
dapat dilihat mana salah satu teori yang mungkin dikuatkan oleh data
eksperimen (Chow, 1991).
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa theory corroboration
experiment berkaitan dengan apakah implikasi dari teori yang akan diuji
tersebut adalah benar. Sehingga sesuai dengan prosedur conjectures dan
refutations milik Popper. Yang mana Popper menegaskan bahwa setiap teori
ilmiah selalu bersifat hipotesis atau masih bersifat dugaan sementara. Setiap
hipotesis atau proposisi dapat dikatakan ilmiah apabila secara prinsip hal
tersebut dapat disangkal. Namun, apabila suatu hipotesis dapat dipertahankan
ketika mendapatkan penyangkalan, maka kebenaran hipotesis tersebut
semakin kokoh atau oleh Popper disebut sebagai corroboration (Popper,
2003).

b. The Agricultural-Model Experiment


Teori ini sering digunakan dalam buku teks statistik sebagai lambang
investigasi ilmiah. Tujuan untuk penyelidikan ilmiah ini adalah untuk
membangun sebuah keteraturan, dan proposisi deskriptif dari keteraturan
adalah hipotesis. Oleh karena itu, tujuan melakukan eksperimen ini adalah
menguji sebuah hipotesis. Kriteria verifikasi untuk hipotesis adalah prediksi.
Hipotesis dikatakan benar jika prediksinya terpenuhi dan hipotesis dikatakan
tidak benar jika prediksinya tidak terpenuhi. Sehingga dapat dijelaskan bahwa
gagasan keabsahan tersirat dalam kriteria verifikasi.
Biasanya peneliti menyimpulkan pertanyaan bahwa proses psikologis
dapat disimpulkan dari data. Hal tersebut memberikan kesan bahwa
eksperimen adalah latihan yang dilakukan berdasarkan data. Terdapat jenis
inferensi yang diperlukan jika seseorang tidak memiliki dasar teoritis untuk
memulai eksperimen. Selain itu, eksperimen ini memiliki kesamaan dengan
pandangan Skinner bahwa tujuan melakukan eksperimen adalah untuk
menemukan hukum empiris baru. Bagi Skinner, hukum empiris adalah sebuah
keteraturan yang diabstraksi dari pengamatan masa lalu. Secara umum,
penelitian ini tidak banyak berpengaruh dengan eksperimen psikologi karena
tidak mewakili sebagian besar eksperimen psikologis (Chow, 1991).

Referensi
Chow, S.L. (1991). Positivism and Cognitive Psychology: A Second Look. in
C.W. Tolman (ed). Positivism in Psychology Historical and Contemporary Problems
(pp.103-118). Springer-Verlag.
Smythe, W.E. (1991) Positivism and the Prospects for Cognitive Science. in
C.W. Tolman (ed). Positivism in Psychology Historical and Contemporary Problems
(pp.103-118). Springer-Verlag.
Popper, K. (2003). The logic of scientific discovery-routledge (2002). In
Hume’s Problem.

Anda mungkin juga menyukai