Anda di halaman 1dari 17

Tugas Filsafat Komunikasi

Tentang

Merangkum Bab 6

Oleh: Febi Windya (915060014) Hellen Sanniwati (915060020)

Universitas Tarumanagara Fakultas Ilmu Komunikasi 2008

Ilmu sosial atau humaniora yang mencoba memahami tindak tanduk manusia akan mengalami kesulitan ketika hendak membuat ukuran yang pasti dan tetap. Manusia selalu berubah, tindakannya tidak bisa diprediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti. A. POST-POSITIVISME Post-positivisme merupakan pemikiran yang menggugat asumsi dan kebenara-kebenaran positivisme. Beberapa asumsi dasar post-positivisme : 1. Fakta tidak bebas melainkan bermuatan teori 2. Falibilitas teori Tidak satu teori pun yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-bukti empiris, bukti empiris memiliki kemungkinan untuk menujukkan fakta anomali 3. Fakta tidak bebas melainkan penuh dengan nilai 4. Interaksi antara subjek dan objek peneliti Hasil penelitian bukanlah reportase objektif melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang penuh dengan persoalan dan senantiasa berubah B. POST-POSITIVISME DALAM PENELITIAN SOSIAL DAN KOMUNIKASI Kekurangan-kekurangan dari pemikiran positivisme pada dasarnya membutuhkan dasar filsafat ilmu yang berbeda, salah satunya adalah menolak dan mengganti prisip-prinsip positivisme (seperti ontologi realisme, epistemologi objektif, dan aksiologi bebas-nilai) dengan bentuk pemikiran yang menghargai prinsip nominalisme, subjketivisme, dan nilai-nilai yang hadir dengan sendirinya (omnipresent). I. ONTOLOGI POST-POSITIVISME Secara ontologis, post-positivisme bersifat critical realism. Critical realism memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi suatu hal yang mustahil bila manusia dapat melihat realitas tersebut secara benar. Oleh karena itu, secara metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan triangulasi yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti, dan teori (Denzin dan Guba, 2001:40).

Tiga bentuk ontologi yang berkembang : 1. Realisme Kalangan realis meyakini bahwa realitas yang dapat diamati adalah realitas sebenarnya, yang mutlak benar. 2. Nominalisme Kalangan ini mengajukan gagasan bahwa keberadaan fenomena sosial hanya terwujud dalam batas nama dan label yang subjek berikan pada realitas tersebut. 3. Konstruksionisme sosial Kalangan ini menekankan bahwa realitas itu dianggap ada atau tidak bergantung pada pengaruh makna sosial yang dimiliki subjek . Makna sosial ini dibentuk melalui interaksi historis yang dialami subjek. Pandangan post-positivisme mirip dengan pandangan konstruksionisme sosial dalam dua cara : 1. Kaum post-positivisme meyakini bahwa proses konstruksi sosial terjadi dalam berbagai cara dan terpola secara relatif pada kerja penelitian. Semua orang mempunyai kehendak bebas dan kreativitas, walaupun mereka menjalankan kreativitas tersebut dalam cara yang kerap sudah terpola dan dapat diprediksi. 2. Banyak kalangan post-positivis meyakini bahwa konstruksi sosial tersebut dapat ditemukan secara objektif pada para pelaku dunia sosial. komunikatif. Dengan demikian, ontologi kalangan post-positivis sama dengan ontologi konstruksionis sosial. Ontologi ini meyakini bahwa fenomena sosial memiliki pola-pola alamiah proses konstruksi sosial dan memiliki dampak umum yang dapat diprediksi . Ontologi post-positivisme berbeda dengan positivisme yang meyakini realitas sosial sebagai fenomena yang tetap, abadi dan tidak berubah, Kalangan ini lebih menekankan pada kepercayaan tentang keteraturan dan pola interaksi manusia dengan yang lainnya. Dari konstruksi tersebut, peneliti harus diarahkan untuk mempelajari ekses dari pengaruh konstruksi ini dalam kehidupan

II. EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI Asumsi-asumsi kalangan post-positivis tentang landasan ilmu-ilmu sosial dan aturan nilai dalam produksi pengetahuan sosial pada dasarnya didasarkan pada prinsip-prinsip objektivisme. Asumsi-asumsi ini mnecakup tiga gagasan yang saling terkait bahwa : a. Ilmu pengetahuan bisa diperoleh melalui pencarian akan relasi kausal dan keteraturan antara pelbagai komponen dunia sosial b. Relasi kausal dan keteraturan tersebut bisa ditemukan bila ada pemisahan total antara penyelidik dan subjek yang ditelitinya c. Pemisahan ini dapat terjamin melalui penggunaan metode ilmiah Kalangan teoritisi post-positivis secara umum mengacu pada asumsi objektivisme positivisme. Ada dua asumsi objektivisme, yaitu : 1. pencarian atas pengetahuan dilakukan dengan bersandar pada penjelasan kausal dan bergantung pada keteraturan yang ditemukan dalam dunia fisik dan sosial. 2. adaya pemisahan antara onjek yang diamati dengan subjek yang mengamati Relasi kausal dan keteraturan yang dipelajari jarang bersifat sederhana dan organisasi). Secara epistemologis, Denzin dan Guba (2001) mengatakan bahwa hubungan antara pengamat dengan objek yang diteliti tidak bisa dipisahkan. Aliran post-positivis ini meyakini bahwa subjek tidak mungkin dapat mencapai atau melihat kebenaran, apabila pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat dengan objek secara langsung. Oleh karena itu, hubungan antara pengamat dengan objek harus bersifat interaktif, dengan catatan bahwa pengamat harus bersifat senetral mungkin, sehingga subjektivitas dapat dikurangi secara minimal. seringkali melibatkan multiplisitas faktor dan kekadaluarsaan hubungan (misalnya dalam komunikasi

C. STRUKTUR DAN FUNGSI TEORI DALAM PERSPEKTIF POSTPOSITIVISME


1. STRUKTUR TEORI PERSPEKTIF POST-POSITIVISME Teori pada dasarnya merupakan sebuah abstraksi. Kalangan sarjana post-positivis percaya bahwa teori-teori tersebut harus menyediakan penjelasan umum yang melandasi penyelidikan peristiwa-peristiwa individual. Pernyataan umum dalam sebuah teori harus tertata secara logis dan memiliki keterhubungan yang tak dapat dipungkiri dengan realitas yang akan diteliti. Untuk dapat memahami proses konstruksi teori , kita akan mengamati karya klasik Robert Dublin (1978) tentang Theory building. Ia mengatakan bahwa teori terdiri dari satuan-satuan pembentuk, sebelum digunakan penelitian suatu teori harus dibagi dalam unit-unit tertentu. Teori harus dapat menspesifikasikan batas-batas konseptual penerapan suatu teori, itu berarti kita telah meurmuskan bagian abstrak dari sebuah teori. Theory building diterapkan dalam teori komunikasi, misalnya pada teori komunikasi empatik. Komunikasi empatik adalah komunikasi yang melibatkan hubungan afektif dan kognitif antara individu-individu yang berinterkasi. Dalam teori komunikasi empatik, unit terdasarnya dalah konsep-konsep tentang : respon komunikatif kecakapan seorang pelaku interkasi dalam memahami dan merespons kebutuhan orang lain secara tepat perhatian empatik respons emosional nonparalel di mana seseorang merasakan untuk yang lain pengaruh emosional respons emosional yang sejajar di mana seseorang merasakan dengan yang lain Struktur teori dalam tradisi post-positivisme mensyaratkan bahwa teori-teori yang ada mesti menyediakan penjelasan abstrak fenomena empris dalam bentuk konsep-konsep spesifik ataupun definisi-definisi, relasi-relasi spesifik (yang seringkali bersifat kausal) antara konsep-konsep tersebut, serta hubungan eksplisit antara konsep-konsep abstrak dan observasi empirik suatu

fenomena . Struktur seperti ini menekankan pendekatan deduktif dalam teori di mana abstraksi tentang dunia diolah untuk kemudian diuji melalui observasi dalam dunia sosial. Unit-unit teoritis Respons komunikatif : kecakapan pelaku komunikasi untuk memahami kebutuhan orang lain dan merespons secara tepat. Perhatian empatik : respons emosional yang bersifat tak sejajar (non-paralel) di mana seseorang merasakan untuk yang lain. Pengaruh emosional : respons emosional yang bersifat sejajar Hukum-hukum interaksi (paralel) di mana seseorang merasakan dengan yang lain. Hukum pertama : perhatian empatik akan meningkatkan kecakapan dan hasrat untuk menjadi responsif dalam komunikasi. Hukum kedua : pengaruh emosional akan mencampuri / mengganggu kecakapan dan hasrat untuk menjadi responsif dalam Batas-batas Proposisi-proposisi berkomunikasi. Unit-unit dan hukum-hukum ini hanya untuk keadaan komunikasi interpersonal orang yang sudah dewasa Proposisi pertama : level tertinggi dari perhatian empatik akan terhubung dengan level tertinggi respons komunikatif Proposisi kedua : level tertinggi dari pengaruh emosional akan Indikator-indikator empirik Hipotesis terhubung dengan level terendah dari respons komunikatif Unit-unit teoritis bisa ditaksir lewat ukuran-ukuran catatan pribadi Hipotesis pertama : korelasi positif akan eksis antara ukuran catatan pribadi tentang perhatian empatik dan ukuran catatan pribadi tentang respons komunikatif. Hipotesis kedua : korelasi negatif akan eksis antara ukuran catatan pribadi tentang pengaruh emosional dan ukuran catatan pribadi tentang respons komunikatif

2. FUNGSI TEORI PERSPEKTIF POST-POSITIVISME Fungsi teori dalam kebanyakan pemikiran kalangan post-positivisme adalah untuk menentukan beberapa keteraturan atas pengalaman yang tak teratur. Ada tiga fungsi teori yang paling sering diyakini kaum post-positivis, yaitu fungsi yang saling terkait antara : penjelasan (explanation), Fungsi penjelasan berarti bahwa teori-teori harus dapat menjelaskan bagaimana sesuatu itu terjadi, dalam memindahkan dunia empirik ke dalam dunia abstrak, sebuah teori melalui observasi berusaha menjelaskan mekanisme yang terjadi di balik suatu fenomena. Ihwal penjelasan realitas, ada beberapa catatan yang harus disadari : 1. pada suatu teori mungkin saja memiliki beragam tipe penjelasan 2. tindakan penyelidikan yang sama dapat dijelaskan dalam cara dan teori yang berbeda Prediksi (prediction), dan Presiksi berarti upaya teori dalam menyediakan penjelasan abstrak mengenai fenomena tertentu, kemudian melalui penjelasan abstrak tersebut teori dapat digunakan untuk memprediksi apa yang akan terjadi dalam situasi yang serupa Kontrol (control). Berarti bila seseorang bisa menjelaskan dan memprediksi fenomena, maka ia juga kadangkala bisa menggunakan informasi tersebut untuk mengontrol peristiwa yang akan terjadi 3. KRITERIA EVALUASI DAN PERBANDINGAN TEORI Thomas Kuhn dalam Miller (2002;43-44) mengusulkan satu set kriteria evaluasi dan perbandingan teori : a. Sebuah teori harus akurat Implikasi dari kriteria ini adalah bahwa sebuah teori harus layak uji. Darinya, penetapan keakuratan sebuah teori membutuhkan para pakar untuk memasukkannya dalam percobaan empris melalui evaluasi penelitian dunia sosial. b. Sebuah teori harus konsisten Baik secara internal maupun eksternal. Pada sisi internal, bermacam proposisi dan hukum dair sebuah teori tidak boleh saling bertentangan satu sama lain. Dan pada sisi eksternal, sebuah teori tidak boleh bertentangan dengan teori lain dalam bidang yang sama.

c. Sebuah teori harus punya ruang lingkup yang luas Ini bukan berarti sebuah teori (terutama dalam bidang sosial), harus bersifat universal dalam pelaksanaannya pada semua orang atau berbagai situasi. d. Sebuah teori harus sederhana atau dalam term yang sering dipakai kalangan teoritisi. Teori bersifat parsimonous (terbatas). Teori yang berkualitas tinggi akan menjadi satusatunya yang dapat menyediakan penjelasan yang jelas dan terang atas fenomena yang diselidiki. e. Sebuah teori harus menghasilkan . Meski penjelasan sebuah teori terkadang justru menghalangi pemahaman kita tentang fenomena tertentu, namun ia juga seharusnya membuka jalan untuk pencarian akan persoalan yang dihadapi dan masa depan para ilmuwan sosial.

4. Proses perkembangan teori


Postivisme meyakini bahwa teori dapat terbentuk ketika subjek menemukan hukumhukum dari realitas, maka post-postivisme (yang menolak adanya pemastian hukum pada realitas teramati) pastilah memiliki pola pembentukan suatu teori. Faktor utama dalam pengembangan teori dan pertumbuhan ilmu pengetahuan dalam tradisi post-positivisme adalah keterusterangan. Kalangan post-postivisme mengembangkan teori dan mengakumulasi pengetahuan tentang dunia lewat proses pengujian teori secara empirik. Ketika suatu teori yang abstrak tentang komunikasi dikembangkan, ia mesti diuji lewat observasi atas tindakan komunikatif. Tegasnya, pada setiap proses pengujian dan pengembangan teori, kita mesti merangkai observasi dengan metode ilmiah tertentu. Untuk dapat memahami metode ilmiah dan penelitian perspektif post-positivisme dapat kita llihat pada tabel berikut ini : Seleksi konsep-konsep abstrak untuk mempresentasikan fenomena yang diselidiki Pendefinisian konsep-konsep, baik secara konseptual maupun operasional Menghubungkan konsep-konsep tersebut lewat proposisi Pengujian teori dengan bukti penyelidikan Mengontrol penjelasan alternatif lewat disain studi Pengolahan definisi dan prosedur-prosedur umum untuk penelitian oleh komunitas ilmiah Penggunaan bukti-bukti yang tidak bersifat bias dalam membuat klaim kebenaran Rekonsiliasi teori dan observasi secara objektif
Tabel : Perbedaan antara metode ilmiah dan metode observasi naif Sumber : diadaptasi dari Watt dan Van den Berg (1995) dalam Miller (2002:42)

Metode ilmiah berbeda dengan metode naif. Metode naif yang dimaksud adalah cara-cara kita meneliti suatu masalah yang hanya berdasarkan kebiasaan, atau tanpa metode yang jelas. Sementara metode ilmiah mensyaratkan adanya penggunaan konsep abstrak tertentu dalam mengamati kenyataan. Konsep abstrak itu dipilih dari konsep-konsep yang lain berdasarkan tingkat kemampuannya dalam menerangkan masalah. Segera setelah pemilihan suatu konsep abstrak, metode ilmiah akan melakukan urutan kerja, yaitu : 1. Membuat definisi operasional 2. Pembuatan hubungan antar konsep 3. Pengujian teori melalui observasi, dan

4. Pembuktian empiris Setelah suatu konsep abstrak terbukti secara empiris, maka temuannya itu diuji kembali oleh komunitas ilmiah untuk ditentukan apakah teori itu dapat digunakan untuk penelitian lanjutan atau tidak. Mengapa metode ilmiah dianggap penting? Mengapa post-positivisme menggunakan bentuk observasi tersebut. Ada banyak jawaban yang muncul atas pertanyaan ini, namun dalam kesempatan ini hanya dua diantaranya akan diulas. Pertama, kita telah membicarakan bahwa postivisme menggunakan teori observasi alami dan post-positivisme secara luas menolak penyelidikan bebas prasangkan secara total. Tetapi, bagaimanapun juga suatu penyelidikan haruslah sebisa mungkin sesuai dengan apa yang diselidiki, pada titik inilah metode ilmiah dibutuhkan. Metode ilmiah dibutuhkan sebagai alat untuk mengeliminasi pengaruh prasangka dalam observasi. Metode ilmiah menyediakan standar kontrol yang harus dipenuhi oleh peneliti agar proses penelitian tidak bisa pengaruhi dirinya, juga agar interpretasi yang dilakukan pada saat penelitian tidak memberikan tambahan yang mengurangi objektivitas kegiatan penelitian. Kedua, kita telah mencatat bahwa post-postivisme mencari jalan untuk menjelaskan fenomena sosial melalui teori mereka, dan penjelasan tersebut seringkali menggunakan bentuk kausal (lihat Cook and Campbell, 1979). Dalam menguji penjelasan kausal, peneliti mencoba memenuhi teori John Stuart Mills yang disebut undang-undang kausal. Undang-undang ini menyatakan bahwa suatu variabel (x) dapat dikatakan penyebab variabel kedua (y), jika : a. (x) mendahului (y) dalam waktu (x datang sebelum y) b. x dan y berhubungan satu sama lain (ada korelasi antar x dan y) c. Penjelasan alternatif dari kovariasi yang diobservasi dapat dihilangkan (penyebab lain dari y dapat dihilangkan) Sebagai contoh, kita dapat menyimpulkan bahwa ada pengaruh kekerasan tayangan televisi pada sifat agresif pada anak, bila : a. Dapat ditunjukkan bahwa tayangan televisi ada sebelum sifat agresif mereka b. Dapat ditunjukkan bahwa jika tayangan TV tersebut meningkat, maka sifat agresi mereka pun meningkat c. Penjelasan alternatif dan sifat agresif tersebut (contoh umur anak, faktor sosialisasi, minat pada permen) dapat dihilangkan.

Memenuhi tiga cara ini, penelitian dilakukan sejumlah pengendalian tertentu. Contohnya, dalam menghubungkan percobaan ilmiah, penelitian menentukan (mengendalikan) penjelasan alternatif melalui prosedur tertentu seperti randomisasi dan pengendalian atas prosedur studi. Singkatnya, penggunaan metode ilmiah menambah penggunaan kontrol yang meningkatkan kemampuan dalam menilai kausalitas. Persoalan lain yang mejadi bahasan pokok pada perspektif post-positivisme adalah soal verifikasi. Verifikasi adalah metode pencocokan penelitian yang biasa digunakan perspektif positivis. Karl R. Popper (1902-1994) seorang pemikir Jerman yang sebenarnya aktif di Lingkaran Wina, namun ia menolak prinsip verifikasi (pembuktian teori lewat cocoknya fakta-fakta). Teori merupakan salah satu teori utama dalam Lingkaran Wina, melalui teori ini, Lingkaran Wina menentukan batas antara pengetahuan dan non-pengetahuan. Bila suatu pengetahuan tidak ditemukan fakta pendukungnya atau tidak bisa di verifikasi, maka ia bukanlah pengetahuan. Popper menolak verifikasi dan mengajukan penggantinya, yaitu falsifikasi. Falsifikasi adalah kebalikan dari verifikasi, yaitu pengguguran suatu teori lewat fakta. Berikut ini akan dikemukakan beberapa inti pemikiran Popper. Popper menegaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya dihasilkan dan bekerja dengan logika induksi semata. Logika induksi adalah logika penarikan kesimpulan umum melalui pengumpulan fakta-fakta konkret. Fakta-fakta konkret yang terkumpul atau dikumpulkan digunakan untuk membenarkan suatu teori. Popper menolak logika ini dan mengajukan kelemahannya. Menurut Popper, logika induksi akan menuntut ilmuwan berfokus pada fakta-fakta yang mendukung saja sembari mengabaikan fakta-fakta yang mementahkan teori. Padahal suatu teori ketika diakurkan dengan kenyataan berkemungkinan memiliki anomali (suatu peristiwa yang berbeda dari yang diramalkan suatu teori. Oleh karena itu, menurut Popper daripada bersusah payah mengumpulkan fakta-fakta yang membenarkan, lebih baik ilmuwan menggunakan waktunya untuk mencari fakta anomali. Pandangan rasionalistis beranggapan bahwa suatu teori baru akan diterima kalau sudah terbukti bahwa ia dapat meruntuhkan teori lama yang ada sebelumnya. Adapun pengujian terhadap kekuatan dua teori akan dilakukan melalui suatu tes empiris, yaitu suatu tes yang direncanakan untuk memfalsifikasi apa yang diujinya. Kalau dalam tes tersebut sebuah teori ternyata terfalsifikasi, maka teori tersebut akan dianggap batal, sedangkan teori yang bertahan

dan lolos dalam akan diterima, sampai ditemukan cara pengujian yang lebih ketat untuk mengujinya kembali. Disini pengetahuan menjadi maju, bukan karena hasil akumulasi pengetahuan dari waktu ke waktu, melainkan oleh proses eliminasi yang semakin keras terhadap kemungkinan kekhilafan dan kesalahan. Dengan demikian apa yang dimaksud dengan objektif tidak pernah akan tercapai, karena setiap ilmu memiliki kemungkinan salah atau keliru. Yang bisa dicapai dalam sebuah ilmu hanyalah mengurangi kadar kesalahan sampai sejauh mungkin dapat mendekati kebenaran objektif. Pengetahuan tidak maju secara kumulatif, melainkan hanya berupa suatu aproximasi (semakin mendekati) kebenaran. Dari sisi lain hipotesis suatu pengetahuan mengharuskan adanya error elimination yang terus-menerus, yang berarti melakukan kritik yang terus-menerus. Maka kemajuan pengetahuan sebenarnya berarti pula meningkatnya sikap kritis.

P1 P2

TT

EE

(Baca : Problem pertama

Teori Tentatif

Error Eliminatiom

Problem 2)

Berarti pengetahuan akan dimulai dengan suatu masalah (P1). Untuk memecahkan masalah tersebut diajukan suatu teori yang bersifat tentatif. Kalau teori tersebut cukup sesuai dan berguna, maka dengan bantuannya dapat tersingkir kekeliruan-kekeliruan yang antara lain telah menimbulkan P1. Akan tetapi dengan dipecahkannya P1 maka serentak dengan itu lahir persoalan baru (P2) -tidak peduli apakah kita menghendaki atau tidak) dan P2 kembali harus diselesaikan dengan prosedur pada P1 dan begitu seterusnya. Dari uraian Popper ini dapat dikemukakan beberapa kesimpulan. Pertama, teori dijelaskan dalam hubungannya dengan masalah, karena pengetahuan selalu dimulai dengan masalah. Untuk mengatasi masalah itu harus dimunculkan teori tentatif. Teori tentatif berarti teori yang diduga dapat menyelesaikan masalah, yang baru terbukti setelah ia secara empiris dapat menyelesaikan masalah. Kedua, fungsi teori tentatif adalah menyingkirkan kontradiksi antara teori dan kenyataan yang diamati. Bila teori tentatif sanggup menyingkirkan kontradiksi maka teori tentatif itu dapat terus digunakan. Teori tentatif merupakan hipotesis atau prognosis (rumusan yang bisa benar atau salah) yang diturunkan dari teori utama untuk menyelesaikan

suatu masalah. Bila teori tentatif tidak terbukti menyelesaikan masalah, maka teori utamanya dianggap gagal atau tidak berlaku. Falsifikasi adalah pengujian pengetahuan secara asimetris, dimana kebenaran teori tersebut hanya sekedar dugaan sedangkan perkiraan kesalahan merupakan suatu kepastian. Falsifikasi dijalankan menurut aturan logika modes tollens, yang berarti bahwa konsekuensi yang ditarik dari suatu teori terbukti salah maka teori itu sendiri pun pasti salah. Dari teori falsifikasi ini, Popper menyimpulkan bahwa data positif tidak pernah menjadi dasar pengetahuan. Yang menjadi dasar pengetahuan, terciptanya teori baru atau runtuhnya teori lama, adalah kemampuan teori untuk di falsifikasi. Kemudian Popper menjelaskan bahwa data se-objektif apapun selalu sudah hasil interpretasi berdasarkan teori tertentu. Disinilah kemudian Popper memperkenalkan apa yang dinamakannya sebagai dunia satu, yaitu dunia pengetahuan objektif. Dunia tiga dibedakan dari dunia satu (dunia fisik) dan dunia dua (dunia kesadaran). Bagi Popper yang benar-benar objektif (terlepas dari pengaruh subjek dan nilai) adalah dunia tiga. Karena dunia satu (dunia benda-benda) yang diamati adalah benda-benda yang dipilih dan ditafsirkan berdasar dunia satu. Dunia dua (kesadaran) juga demikian, kesadaran manusia tidak pernah merupakan kesadaran hampa melainkan selalu berupa kesadaran yang terisi oleh pelbagai teori, kepercayaan, dam pengetahuan yang berasal dari dunia tiga. Dunia tiga dinamakan dunia pengetahuan objektif, karena pengetahuan pengetahuan yang terkumpul dalam dunia tiga tidak lagi dapat di kontrol akibat-akibatnya oleh subjek yang melahirkannya. Dia berkembang menurut hukumnya sendiri. Konsep-konsep Popper ini kemudian banyak dikritik oleh Thomas Kuhn, seorang filsuf yang menuliskan gagasannya dalam buku The Structure of Scientific Refolution (1962). Kuhn mengatakan, Popper dianggap sebagai pendukung positivisme terselubung, karena Popper masih mempercayai kesatuan ilmu. Padahal menurut Kuhn, ilmu itu tidaklah tunggal melainkan plural. Ilmu-ilmu atau teori-teori yang muncul dari paradigma tertentu. Paradigma dapat dianggap sebagai super teori yang menjadi sumber bagi munculnya teori-teori. (Gahral Adian. 2002:85). Paradigma adalah : (1) kerangka konseptual untuk mengklasifikasi dan menerangkan objek-objek fisikal alam; (2) patokan untuk menspesifikasi metode yang tepat, teknik-teknik, dan instrumen penelitian; (3) kesepakatan tentang tujuan-tujuan kognitif yang absah (Gahral, 2003: 86).

Paradigma menjadi kerangka konseptual dalam memersepsi kenyataan. Suatu pemikiran dapat berkembang menjadi paradigma bila : (1) Memiliki cukup banyak pengikut, yang berarti ada banyak komunitas ilmiah yang mendukungnya (2) Pemikiran tersebut membicarakan dan membuka cukup banyak daerah persoalan yang merangsang para ilmuwan untuk mencari pemecahannya. Komunitas ilmuwan itulah yang kemudian memberikan legitimasi kebenaran suatu teori jadi suatu paradigma mendapatkan legitimasinya bukan secara objektif melainkan secara intersubjektif (antar ilmuwan). Positivisme berkembang bukan karena dirinya objektif, melainkan karena ada komunitas ilmuwan yang menjunjung dan terus memperbaharuinya. Sementara itu, suatu paradigma selalu memiliki dua sisi : sisi ilmiah empiris yang dapat di-tes, dan sisi metafisis (keyakinan tentang dunia dan manusia). Seseorang menjadi penganut paradigma tertentu biasanya karena tertarik pada sisi metafisis yang tidak bisa di-tes secara empriris, karena itu ketertarikan dan ketidaktertarikan pada suatu paradigma tak bisa di falsifikasi. Bagi Kuhn, Popper sangat dipengaruhi oleh idea of progress, yaitu keyakinan bahwa perkembangan pengetahuan akan berjalan secara linear dan bahwa setiap pergantian paradigma lama oleh paradigma baru selalu berarti kemajuan. Kuhn meyakini idea of progress tidaklah benar, atau suatu model yang tidak memiliki bukti dalam sejarah ilmu pengetahuan. Pertama, apabila suatu eksperimen tidak berhasil membuktikan prognosisnya, maka yang pertama harus disalahkan bukanlah teori utama yang menjadi dasar prognosis itu, melainkan ilmuwan yang merencanakan prosedur penelitian. Kedua, eksperimen yang secara sungguhsungguh hendak menjatuhkan suatu teori (experimentum crucis) merupakan peristiwa yang sangat langka. Experimentum crucis diadakan bila terdapat krisis yang melanda suatu bidang ilmu tertentu, dan karena itu mengundang para ilmuwan untuk mengatasinya. Krisis muncul bila suatu hipotesis tidak terbukti dalam suatu tes empiris, namun hipotesis tersebut tidak langsung dibatalkan melainkan dimasukkan dalam kelompok anomali, dan apabila anomali itu mulai bertambah banyak dan kian menumpuk, barulah kemudian timbul krisis. Ketiga, Popper tidak membedakan dua jenis kerja ilmiah, yaitu kerja ilmiah normal dan kerja ilmiah revolusioner. Ilmu normal adalah tahap pengembangan dan penerapan suatu teori. Kekeliruan Popper adalah menganggap seluruh kerja ilmiah sebagai kerja revolusi yang

mengetes suatu teori kemudian menggugurkannya. Popper mengabaikan cara kerja ilmiah normal, padahal banyak ilmuwan yang disiapkan untuk mengikuti cara kerja ilmiah normal ketimbang cara kerja ilmiah revolusioner. Kerja ilmiah normal merupakan dasar dari kerja ilmiah revolusioner, karena prosedur experimentum crucis direncanakan justru pada tahap ilmiah normal; jadi tanpa kerja ilmiah normal, revolusi ilmiah sama sekali tidak mungkin ada. Simpulnya, revolusi ilmiah bagaikan rencana-rencana baru yang membawa perubahan penting, sedangkan ilmu normal kerja rutin keilmuan yang bila tidak ada akan mengakibatkan proyek ilmiah tak dapat terpikirkan. Keempat, setiap teori dengan sendirinya mengandung sifat kebal terhadap falsifikasi. Kekebalan terhadap falsifikasi ini disebabkan karena setiap teori selalu mengandung unsur hukum utama dan hukum empiris. Hukum utama merupakan unsur logis dari suatu teori, sedangkan unsur empiris menetapkan seberapa luas penerapan teori itu dalam kenyataan. Bidang terapan suatu teori sebenarnya dapat diperluas ke segala arah, namun ketika penerapann itu tidak berhasil, tidak serta merta teori utama (unsur hukum) di falsifikasi. Bila teori terapan gagal maka ada dua kemungkinan yang terjadi : (1) Teori bersangkutan belum bisa diperluas ke bidang terapannya (2) Bidang bersangkutan ternyata bukan bidang yang tepat untuk penerapan teori tersebut. Maka dengan dua kemungkinan ini, kegagalan teori terapan dalam tes empiris bukan menggugurkan teori inti, melainkan memperluas atau mempersempit bidang terapan suatu teori. Untuk lebih memahami pemikiran Kuhn, ada baiknya kita bicarakan Kuhn secara terstuktur : P1 : Paradigma 1 A : Anomali K : Krisis P2 : Paradigma 2 Dari model ini dapat dikemukakan bahwa : a. Paradigma menjadi patokan bagi ilmu umtuk melakukan riset, memecahkan masalah bahkan menyeleksi masalah apa saja yang layak dibicarakan.
P1 P2 SN A K

SN : Ilmu Pengetahuan Normal

b. Kemajuan ilmu pengetahuan berawal dari perjuangan kompetitif berbagai teori untuk mendapatkan legitimasi intersubjektif dari komunitas ilmuwan c. Teori yang memperoleh legitimasi sosial akan tampil menjadi paradigma. Ini adalah periode ilmu pengetahuan normal yang menjalankan pengetahuan untuk melakukan pembenaran berdasarkan paradigma yang dianut. d. Ketika suatu teori/ ilmu pengetahuan normal tidak dapat menyelesaikan masalah, teori itu tidak langsung di falsifikasi melainkan dianggap memiliki anomali. Ketika anomali itu terus semakin melebar, terjadilah krisis ilmu pengetahuan normal. e. Krisis memaksa komunitas ilmuwan mempertanyakan kembali secara radikal dasar-dasar ontologis, metodologis, dan nilai-nilai yang selama ini dianutnya. Krisis pada akhirnya mendorong lahirnya paradigma baru yang sama sekali berbeda dengan paradigma sebelumnya. f. Catatan : kita tidak mungkin membandingkan satu paradigma dengan paradigma lain yang memiliki asumsi yang berbeda. Kuhn menyatakan, Dua ilmuwan yang bekerja pada dua paradigma yang berbeda .

Karl R. Popper Thomas Kuhn Ilmu pengetahuan bukan semata-mata produk Ilmu pengetahuan adalah hasil kesepakatan kesepakatan sosial Ilmu pengetahuan evolusioner Perkembangan subjek peneliti ilmu berkembang pengetahuan intersubjektif secara Ilmu pengetahuan revolusioner melalui Perkembangan ilmu berkembang pengetahuan secara melalui

subjek peneliti dalam suatu komunitas ilmu

pengetahuan Rumus perkembangan ilmu pengetahuan: P1 Rumus perkembangan ilmu pengetahuan: P1 -TT EE - P2 -SN A K - P2 Perkembangan ilmu pengetahuan berlangsung Perkembangan ilmu pengetahuan berlangsung secara sinambung dalam ketidak sinambungan Antar teori dapat dibandingkan walaupun Antarteori tak dapat diperbandingkan bila asumsinya berbeda asumsinya berbeda
Tabel : Perbedaan antara Karl Popper dan Thomas Kuhn Sumber : Gahral Adian. Menyoal Objektivisme Pengetahuan. 2002. Hlm.89

C. Catatan Akhir
Perspektif post-positivisme membawa pengaruh yang besar pada ilmu sosial yang termasuk Ilmu Komunikasi. Melalui kritik yang mendasar terhadap positivisme yang terlalu realis, bebas nilai, dan memisahkan subjek dan objek penelitian, post-positivisme memberikan model penelitian khas yang ilmu sosial. Manusia bukanlah benda yang ketika diteliti hanya menyajikan efek yang sama, manusia itu hidup dan dapat mengonstruksi tanggapan tertentu ketika diteliti. Maka ke-objektivan tak bisa ditemukan sebagaimana kita menemukannya ketika meneliti benda-benda. Walaupun demikian, menurut post-postivisme, keobjektivan dapat ditemukan sejauh hubungannya dengan teori yang dipergunakan, dan post-positivisme tidak terlepas dari kelemahan.

Anda mungkin juga menyukai