Anda di halaman 1dari 7

Draft Presentasi Positivisme dan Post Positivisme

Kelompok 1
Afifah Dwi Indriyani
Aulia Zahra Afifah
Arinatul Ulya
Maharani Ahvrisyiah

1. Latar belakang kemunculan Positivisme dalam Hubungan Internasional

Kemunculan Positivisme berawal pada abad-19 yang dikemukakan oleh


seorang sosiolog yang bernama Auguste Comte. Akar dari Positivisme sendiri
adalah empirisme. Dalam positivisme, ilmu adalah sumber pengetahuan yang valid
dan fakta-fakta sejarah menjadi sumber bagi pengetahuan. Positivisme ingin
menjadikan Ilmu Hubungan Internasional menjadi ilmu alam dengan menggunakan
metodologi alam sebagai metodologi miliknya. Hal tersebut dipengaruhi karena
pesatnya perkembangan ilmu-ilmu lain seperti ilmu sosiologi, ekonomi, dan psikologi
setelah menerapkan metode ilmu alam. Menurut Comte Ilmu Hubungan
Internasional dapat berkembang dan dipakai untuk mengatur kebijakan
pemerintahan jika metode alam dimasukkan ke dalamnya. Pada sejarah Positivisme,
ada tiga jenis kronologis utama Positivisme dalam ilmu sosial.

Kronologis pertama adalah kronologi yang diciptakan sendiri oleh Auguste


Comte pada abad-19. Comte ingin ilmu pengetahuan tentang sosial masyarakat
dikembangkan dengan metode observasi ilmu pengetahuan alam agar bisa
mengungkap sebab akibat dari evolusioner. Kedua adalah Positivisme logis atau
bisa juga disebut sebagai empirisme logis. Kronologis ini muncul pada 1920-an dan
dikenal dengan lingkaran Wina karena telah mendominasi filsafat berbahasa Inggris
hingga 1960-an. Fokus utama yang mereka ikuti disini adalah ilmu pengetahuan
ilmiah menjadi satu-satunya pengetahuan yang paling benar. Gagasan Comte
tentang hukum sebab akibat ditolak oleh para positivis karena menjadi sesuatu yang
metafisik dan tidak ilmiah. Berikutnya adalah kronologi terakhir sekaligus yang paling
berpengaruh dalam Ilmu Hubungan Internasional karena menjadi literatur dasar
Hubungan Internasional sejak tahun 1950-an. Hal ini muncul sebagai bentuk kontra
terhadap pendapat Comte tentang pengetahuan psikologi harus didasari prinsip
fisika.
Dalam hubungan internasional, positivisme dan empirisme sering kali
disamakan walaupun sebagai epistemologi sifat positivisme menjadi kontroversial.
Namun jika dilihat dari hubungan antara negara, positivisme lebih mengaitkan
keterikatan terhadap metodologi ilmu pengetahuan alam yaitu fisika. Positivisme
sebagai sebuah epistemologi memiliki pandangan terhadap dunia beserta
keobjektifannya. Bagi aliran positivisme, dunia ini hanya satu serta mempunyai
eksistensi objektivitas. Itu berarti segala hal yang ada di dunia ini bisa dipelajari dan
terlepas dari eksistensi subjektif. Hal ini juga membuat Positivisme disebut sebagai
paradigma mainstream karena sering kali digunakan dalam penelitian akutansi dan
bisnis yang mempunyai karakteristik utama yaitu realitas, independen, dan
objektivitas.

Dari sini munculah jawaban dari pertanyaan apa arti positivisme dalam
hubungan internasional, yaitu adalah positivisme adalah posisi metodologis yang
bergantung pada epistemologi empiris yang mendasarkan pengetahuan kita tentang
dunia pada pembenaran oleh pengalaman dengan demikian melisensikan
metodologi dan ontologi sejauh yang dibenarkan secara empiris.

Bersamaan dengan perkembangan zaman, positivisme juga ikut berkembang


melalui beberapa tokoh teoritis selain Auguste Comte antara lain adalah Kolakowski,
Anthony Giddens, Saint- Simon, dan Emile Durkheim. Positivisme juga mempunyai
beberapa asumsi diantara adalah :

1. Mempercayai bahwa ilmu sosial dan alam mempunyai keteraturan.


2. Mengedepankan adanya sebuah realitas yang objektif dan benar.
3. Bisa diujikan secara empiris dan hanya didasarkan pada ilmu
pengetahuan saja.
4. Positivisme berusaha untuk memperhitungkan apa yang yang bisa saja
terjadi di masa depan.

2. Post Positivisme
Post Positivisme merupakan aliran filsafat yang mengakui adanya
kompleksitas fenomena dalam dunia nyata. Kemunculan post positivisme
pada tahun 1970-1980an sendiri merupakan sebuah bentuk kritikan terhadap
positivisme yang pada dasarnya terlalu mengedepankan pengamatan
empiris, metode ilmiah, dan analisis objektif. Menurut post positivisme, tidak
semua pernyataan atau konsep dapat diuji secara empiris, misalnya
pernyataan moral, etika, atau konsep abstrak seperti keadaan. Selain itu, post
positivisme juga menganggap positivisme terlalu sederhana dan tidak
memperhitungkan peran penilaian dan interpretasi manusia dalam
penyelidikan ilmiah.
Salah satu tokoh penting dalam perkembangan postpositivisme adalah
Karl Popper. Popper berpendapat bahwa teori-teori ilmiah tidak pernah dapat
diverifikasi dengan pasti, namun dapat dipalsukan (difalsifikasi). Artinya suatu
teori bisa ditolak jika bertentangan dengan bukti. Popper juga berpendapat
bahwa kemajuan ilmu pengetahuan bukanlah suatu proses linier dalam
mengumpulkan pengetahuan, melainkan suatu probses trial and error di
mana teori-teori lama digantikan oleh teori-teori baru.
Tokoh penting lainnya dalam perkembangan postpositivisme adalah
Thomas Kuhn. Kuhn berpendapat bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak
terjadi secara mulus dan berkesinambungan, melainkan melalui “perubahan
paradigma”. Paradigma adalah seperangkat keyakinan dan asumsi yang
dimiliki para ilmuwan mengenai hakikat realitas. Ketika paradigma baru
muncul, paradigma baru tersebut menggantikan paradigma lama dan secara
mendasar mengubah cara berpikir para ilmuwan tentang dunia.
Perkembangan postpositivisme juga dipengaruhi oleh karya filsuf lain,
seperti Imre Lakatos dan Paul Feyerabend. Para filsuf ini berpendapat bahwa
pengetahuan ilmiah tidak objektif dan selalu dipengaruhi oleh nilai-nilai dan
keyakinan para ilmuwan yang menciptakannya.
Asumsi dasar Post Positivisme:
1. Fakta tidak bebas nilai, melainkan bermuatan teori.
2. Falibilitas Teori, tidak satupun teori yang dapat sepenuhnya
dijelaskan dengan bukti-bukti empiris, bukti empiris memiliki
kemungkinan untuk menunjukkan fakta anomali.
3. Fakta tidak bebas, melainkan penuh dengan nilai.
4. Interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian
bukanlah reportase objektif, melainkan hasil interaksi
manusia dan semesta yang penuh dengan persoalan dan
senantiasa berubah.
5. Asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak
individual.
6. Hal itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal,
melainkan hanya bisa menjelaskan dirinya sendiri menurut unit
tindakan yang bersangkutan.
7. Fokus kajian post-positivisme adalah tindakan-tindakan
(actions) manusia sebagai ekspresi dari sebuah keputusan.

Dalam studi HI, terdapat beberapa teori yang termasuk dalam


post-positivisme, seperti Konstruktivisme, Feminisme, Teori Kritis, dan kain-lain.
3. Perbedaan Positivisme vs post- positivisme

Positivis Post-Positivisme

Ontologi Realitas objektif, terpisah Realitas subjektif pada


dari peneliti. Kaum partisipan penelitian.
positivisme berpendapat Post- positivisme
menyadari bahwa
bahwa suatu entitas yang
pengamatan dan
ada itu bersifat interpretasi manusia
independen dari dipengaruhi oleh subjektif
pemikiran atau persepsi mereka, pengalaman,
individu, dan penelitian latar belakang budaya
harus dilakukan dengan dan perspektif teoritis.
metode yang obyektif dan
terpisah dari interpretasi
atau pandangan pribadi
peneliti.

Epistemologi Peneliti independen dari Peneliti berinteraksi


apa yang diteliti. Mereka dengan apa yang diteliti.
mengupayakan Dalam post-positivisme,
objektivitas dalam peneliti mengakui bahwa
penelitian mereka dengan mereka adalah bagian
mempertahankan sudut integral dari proses
pandang netral penelitian dan bahwa
dan dengan tidak interaksi dengan subjek
melakukan interpretasi atau objek penelitian tidak
subjektif. peneliti dapat sepenuhnya
berusaha untuk menjaga dihindari. Post positivisme
jarak antara diri mereka menolak gagasan tentang
sendiri dan subjek adanya pengamat netral
penelitian, sehingga hasil yang tidak terikat dan
penelitian mencerminkan menekankan pentingnya
realitas objektif sebanyak pengakuan interaksi
mungkin. antara pengamat dan
yang diamati.

Aksiologi Value-free, tidak bias. Value-laden, bias.


Artinya penelitian ilmiah post-positivisme
harus berusaha untuk mengakui bahwa
menjadi sebebas mungkin penelitian seringkali tidak
dari nilai-nilai, sepenuhnya bebas dari
norma-norma, atau bias pengaruh nilai-nilai.
pribadi peneliti.

Metodologi Data kuantitatif Beberapa kaum post-positivis


sering mengandalkan cenderung menggunakan
data kuantitatif seperti metode kualitatif tetapi
juga membuat metode,
statistik dari informasi dan
menggabungkan data
numerik kuantitatif dengan analisis
pengukuran karena kualitatif untuk
memfasilitasi analisis dan memperoleh pemahaman
perbandingan yang yang lebih mendalam.
sistematis.

Referensi Dwi yaa beb (Boong)


https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/7aba421b852c659e27c833a7
550cd970.pdf

Loughlin, N. (2012). The Benefits and Disadvantages of Post-positivism in


International Theory. The School of Oriental and African Studies, 1-16.
https://www.e-ir.info/pdf/16799

https://text-id.123dok.com/document/eqovvewmz-post-positivisme-makalah-filsafat-pragmatisme-ideal
isme-p-1.html

https://www.kompasiana.com/delupingge/552ad88af17e615848d6243a/filsafat-ilmu-
pendekatan-postpositivistik

Kritik Post Positivisme terhadap Positivisme

1. Kelompok positivisme ingin menerapkan metode ilmu alam pada penelitian sosial
dan menjadikan ilmu sosial sejajar dengan ilmu alam. Mereka percaya bahwa
pendekatan ilmu alam dapat menghasilkan pengetahuan yang obyektif dan
universal. Namun, paham post-positivisme menentang ide ini karena tindakan
manusia tidak dapat diprediksi dengan pasti. Sebab manusia selalu berubah, dan
tindakan mereka dapat bervariasi.

2. Post Positivisme menentang pendekatan positivisme yang hanya mengandalkan


pengamatan langsung terhadap objek penelitian. Mereka berpendapat bahwa
manusia tidak dapat mencapai kebenaran dari realitas jika peneliti menjaga jarak
atau tidak terlibat langsung dengan realitas tersebut. Postpositivisme
menekankan bahwa hubungan antara peneliti dan realitas haruslah interaktif, dan
untuk itu perlu menggunakan berbagai metode, sumber data, dan informasi
lainnya. Post positivisme lebih mempercayai proses verifikasi hasil observasi
melalui berbagai metode yang berbeda. Dengan demikian, suatu ilmu dapat
dianggap objektif jika temuannya telah diverifikasi oleh berbagai pihak dengan
berbagai pendekatan. belum tentu realitas tersebut dapat dilihat secara benar
oleh peneliti jika hanya lewat observasi. Sebab bisa saja terdapat keterbatasan
kemampuan dalam memahami realitas tersebut oleh peneliti.

3. Positivisme berpendapat pentingnya keobjektifan dan ketiadaan nilai dalam


penelitian. Sebaliknya, post-positivisme mengkritik bahwa subjektivitas peneliti
tidak dapat dihindari dalam penelitian. Subjektivitas peneliti dapat memengaruhi
hasil penelitian, bahkan jika peneliti telah berusaha untuk tetap objektif. Hasil
penelitian bukanlah laporan yang sepenuhnya objektif, tetapi hasil dari interaksi
kompleks antara manusia dan realitas yang selalu berubah dan penuh dengan
permasalahan. (mencakup poin 4 juga)

4. Positivisme meyakini bahwa peneliti, saat melakukan pengamatan, berusaha


untuk tetap netral atau objektif. Namun, dalam post-positivisme, ada keraguan
terhadap objektivitas tersebut karena hubungan antara objek dan subjek tidak
dapat dipisahkan, sehingga pengamatan bisa dipengaruhi oleh persepsi peneliti.

5. Positivisme meyakini bahwa realitas adalah tunggal, hanya ada satu realitas
yang muncul secara independen dari peneliti. Sementara itu, dalam pandangan
post-positivisme, realitas dianggap sebagai sesuatu yang kompleks, yang dapat
diinterpretasikan dan dipahami dengan beragam cara oleh individu.

6. Dari segi epistemologi, paradigma positivisme menganggap bahwa fakta harus


dapat diukur secara kuantitatif (seperti angka, statistik, dan angka-angka lainnya)
dan ditemukan melalui proses deduktif (logika dan penalaran yang ketat, serta
upaya untuk mencapai pengetahuan yang obyektif dan dapat diukur), serta
pengetahuan harus bersifat bebas nilai ( tanpa campur tangan nilai-nilai subjektif
atau pandangan moral. ) dari penilaian subjektif. Sebaliknya, paradigma
post-positivisme berpendapat bahwa dalam ilmu sosial yang berkaitan dengan
manusia, fakta diukur secara kualitatif (wawancara, observasi, analisis teks, atau
studi kasus untuk mengungkap nuansa yang mungkin terlewatkan dalam
pendekatan kuantitatif) bukan kuantitatif. Hal ini dikarenakan fakta tidak selalu
berwujud atau konkret, tetapi juga bisa bersifat abstrak. Mengukur fakta yang
bersifat abstrak hanya akan mengurangi esensi fakta tersebut. Fakta ditemukan
melalui pendekatan induktif ( mencakup pengamatan, pengumpulan data, dan
analisis yang mendalam terhadap fenomena yang diteliti. proses induktif
cenderung menempatkan penekanan pada kompleksitas dan variasi dalam
realitas sosial, serta pengakuan terhadap subjektivitas dalam konstruksi
pengetahuan), dan pengetahuan cenderung dipengaruhi oleh konteks ruang,
waktu, dan situasi sosial yang mengelilinginya.

Kritik Positivisme terhadap Post Postivisme


1. Post positivisme mengklaim bahwa metode ilmiah kualitatif lebih cocok untuk
memahami realitas yang kompleks, tetapi aliran positivisme mengkritik bahwa
pengetahuan yang dihasilkan oleh metode ilmiah kualitatif sering kali bersifat
deskriptif dan kurang relevan untuk digunakan dalam membuat prediksi atau
membentuk kebijakan. Sebagai akibatnya, mereka berpendapat bahwa post
positivisme mungkin tidak mampu menghasilkan pengetahuan yang dapat
diaplikasikan secara praktis.

2. Positivisme mengeluarkan kritik terhadap post-positivisme karena dianggap


cenderung terlalu mendasarkan pada reduksionisme, yaitu pendekatan yang
terlalu fokus pada elemen-elemen seperti bahasa dan teori dalam proses
interpretasi realitas. Sebaliknya, positivisme lebih menekankan pada pengukuran
empiris dan penjelasan ilmiah yang lebih ketat sebagai prioritas utama.

3. Aliran positivisme mengeluarkan kritik terhadap post-positivisme karena


dianggap terlalu meningkatkan peran subjektivitas dalam ilmu pengetahuan,
sehingga dapat mengarah pada keraguan terhadap validitas pengetahuan dan
potensi relativisme (yaitu pandangan bahwa tidak ada standar objektif atau
kebenaran universal dalam ilmu pengetahuan), di mana setiap individu dapat
memiliki penafsiran yang berbeda terhadap realitas, yang menurut positivisme
dapat merusak dasar ilmu pengetahuan yang kuat dan objektif.

4. Positivisme mengkritik post-positivisme karena dianggap cenderung


menimbulkan beragam pandangan dan metode penelitian dalam ilmu
pengetahuan. Hal ini dianggap bisa menghasilkan ketidakjelasan dan
ketidakpastian dalam mencapai kesepakatan ilmiah yang kuat.

Anda mungkin juga menyukai