Anda di halaman 1dari 17

Paradigma

Positivistik &
Konstruktivisti
k
Paradigma
 Menurut Thomas Kuhn : pradigma adalah cara mengetahui realitas
sosial yang dikonstruksi oleh cara berpikir atau model penyelidikan
 Paradigma sebagai alat bantu untuk merumuskan hal – hal yang
berkaitan dengan :
1. Apa yang harus dipelajari
2. Persoalan apa yang harus dijawab
3. Bagaimana metode menjawabnya
4. Aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi
yang diperoleh
Positvistik
 Auguste Comte dan Durkheim : positivisme adalah
paham yang ingin mencari fakta atau sebab – musabab
sebuah gejala sosial dengan tidak mempertimbangkan
keadaan subyektif individu
 Kebenaran dalam paradigma ini adalah fakta sosial itu
sendiri dan bukan apa yang dialami atau dirasakan oleh
indvidu.
 Kebenaran dalam paradigma positivistik meliputi aspek
validitas, reliabilitas dan obyektivtas
 Validitas terkait dengan alat atau instrument yang
digunakan peneliti untuk melakukan pengumpulan data
atau mengkaji gejala sosial
 Reliabilitas : disebut juga keandalan, adalah konsistensi
dari serangkaian pengukuran atau serangkaian alat ukur.
 Obyektif : tidak melibatkan unsur subyektivitas
(pandangan pribadi), sehingga data yang didapatkan
benar- benar valid dan dapat dipertanggungjawabkan
dengan akal sehat
Ciri – ciri karakteristik paradigma
positivistik, dalam dimensi :

 Epistemologi, bagi positivisme memandang bahwa ada


realitas obyektif yang merupakan realitas di luar diri para
peneliti.
 Peneliti dalam paradigma ini ditempatkan sebagai
‘disinterested scientist’ yaitu informan, pengambil
keputusan dan perantara perubahan, dari sini antara peneliti
dan obyeknya ‘berjarak’ (Salim dalam Narwaya, 2006 :
148)
 Positivisme diidentikkan dengan teori
‘korespondensi’ (sepadan) tentang kebenaran.
Menekankan kebenaran dalam bingkai fakta empiris-
visual. Sesuatu dianggap benar bila ditemukan dalam
fakta yang bisa ditangkap pancaindera.
 Kebenaran dicari lewat hubungan kausal – linier
(sebab – akibat) dengan memakai hukum teori
kebenaran korespondensi (kesesuaian)
 Positivisme menyusun bangunan ilmu yang
nomothetic yaitu ilmu yang selalu berupaya
membuat hukum generalisasi.
 Tujuan utama setiap penelitian ilmiah adalah
usaha verifikasi atas hipotesa. Kelompok
positivisme, menempatkan hipotesa sebagai fakta
sekaligus hukum.
 Realitas obyektif, tidak boleh diintervensi oleh
nilai subyektif (value). Ilmu / penelitian haruslah
netral dari kepentingan nilai yang ada
 Ontologi, asumsi mengenai objek atau realitas sosial
yang diteliti. Ontologi melihat tentang ‘ada’,
eksistensi, esensi sebuah realitas.
 Paradigma positivisme mempunyai keyakinan bahwa
hakikat kenyataan adalah tunggal. Realitas pada
kenyataannya taat pada hukum yang universal.
 Realitas adalah sesuatu yang berdiri di luar sana (out
there), peneliti berdiri dalam batas ‘jarak’ yang sudah
ditentukan
 Metodologi, merupakan prosedur atau cara kerja
yang digunakan dalam ilmu pengetahuan.
 Dalam paradigma positivisme, banyak menekankan
pada metodologi kuantitatif, pengujian hipotesis dan
hukum – hukum kausal linier serta metode survei
eksplanatif yang menguji sebuah hipotesis.
 Desain penelitian harus disusun secara pasti sebelum
fakta – fakta dikumpulkan.
 Aksiologi, dimensi epistemologis cukup berpengaruh
terhadap sikap nilai. Positivisme menuntut penelitian yang
bebas nilai baik kepentingan, etika ataupun pilihan moral
pada subyek peneliti.
 Kebebasan nilai tersebut dipakai untuk menjaga wujud
obyektifitas ilmu atau hasil penelitian
 Nilai (value) yang dimaksud bisa berupa ideologi, interest,
keyakinan, politik, budaya, dsb.
 Konsekuensinya, sebuah penelitian hanya pada eksplanasi
(menguji hipotesis, melakukan sebuah kontrol, sekaligus
prediksi)
Ciri – ciri karakteristik paradigma
konstruktivistik, dalam dimensi :

 Epistemologi, cara pandang terhadap realitas


kebenaran diyakini merupakan hasil
konstruksi manusia.
 Hubungan peneliti dan obyek penelitian
bersifat interaktif dan hasil perumusan ilmu
pengetahuan sangat bersifat interpretatif
subyektif.
 Konstruktivisme, meletakkan peneliti sebagai
fasilitator yang memberi alternatif dan
kemampuan merekonstruksi setiap pemikiran.
 Ilmu pengetahuan merupakan rekonstruksi individu
yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah
konsensus masyarakat.
 Interpretasi atau pemahaman melalui pendekatan
penafsiran merupakan kekuatan untuk membangun
bangunan pengetahuan, sebab menurut aliran ini
akumulasi pengetahuan terletak pada kemampuan
merekonstruksi dunia pengalaman seperti yang
dialaminya sendiri (Narwaya, 2006 : 205).
 Ontologi,konstruktivisme meyakini “relativitas
kebenaran” yang dirumuskan secara sosial.
 Karena kebenaran itu relatif, maka sifat kebenaran
pun relatif ditentukan oleh konteks masyarakat yang
ada.
 Konstruktivisme menyatakan pengertian bahwa
realitas ada bermacam – macam ; konstruksi mental,
berdasarkan pengalaman sosial, bersifat plural,
spesifik dan lokal tergantung pada orang yang
memerlukannya.
 Hubungan subyek dan obyek lebih bersifat dialektis
antara keduanya. Subyek seakan – akan menjadi
penafsir dari dunia pengalaman
 Paradigma konstruktvisme berusaha memberikan
tafsir dengan rinci terhadap setting kehidupan
keseharian.
 Maka pendekatan yang biasa dilakukan lebih bersifat
hermeneutic (tafsiran / memahami). Contoh teori ;
cultural constructivism, political economy,
fenomenologi, interaksi simbolik, dan etnometodologi
 Aksiologi, tujuan etis dalam konstruktivisme adalah
mengupayakan bentuk “rekonstruksi realitas” sosial
secara dialektis, antara peneliti dan pelaku sosial yang
diteliti.
 Konstruktivisme menempatkan nilai, etika, dan pilihan
moral sebagai landasan pokok yang tidak terpisahkan
dalam penelitian.
 Nilai dibentuk bersama antara peneliti dengan pelaku
yang menjadi obyek penelitiannya dalam satu interaksi
sosial yang dibangun.
 Metodologi, dalam konstruktivisme metodologi
yang dibangun adalah reflektif / dialektik.
Pencarian pemahaman bersama tentang realitas
diusahakan melalui proses interaksi seluruh pelaku
sosial yang terlibat.
 Prosesnya tidak mekanis dan bisa saja berubah
sesuai dengan proses konstruksi pengalaman yang
terjadi.
 Menggunakan metode penelitian kualitatif dalam
proses kerjanya.
 Metode pengumpulan data dilakukan dengan
‘hermeneutik’ dan ‘dialektik’ yang difokuskan pada
konstruksi, rekonstruksi dn elaborasi suatu proses
sosial.
 Konstruktivisme berupaya melakukan perubahan
terhadap ‘cara pikir’ tentang pemaknaan realitas.
 Menjadi titik penting adalah sejauh mana proses
interaksi yang terjadi sudah dilakukan untuk
menyusun kembali konstruksi sosial melalui
pemahaman bersama.

Anda mungkin juga menyukai