Anda di halaman 1dari 15

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kriminologi

Kriminologi adalah ilmu yang mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan kejahatan, antara
lain gejala Dalam perkembangannya, ilmu ini mengalami berbagai perkembangan yang melahirkan
berbagai aliran pemikiran. Aliran-aliran pemikiran inilah yang menjadikan bentuk pemidanaan yang ada di
berbagai Negara beralih dari satu cara pemidanaan ke pemidanaan lainnya.

Pertama kali istilah kriminologi digunakan oleh raffaele Garofalo pada tahun 1885 dengan nama
criminologia. Sekitar waktu yang sama, antropolog Perancis Topinard Paulus juga menggunakan istilah
Perancis Criminologie untuk maksud yang sama dengan Garofalo. Kriminologi berasal dari bahasa latin
crimen; dan yunani-logia) yang menunjuk pada studi ilmiah tentang sifat, tingkat, penyebab, dan
pngendalian perilaku kriminal baik yang terdapat dalam diri individu maupun dalam kehidupan sosial,
budaya, politik, dan ekonomi.

Cakupan studi ilmu kriminologi, tidak hanya menyangkut peristiwa kejahatan, tapi juga meliputi
bentuk, penyebab, konsekuensi dari kejahatan, serta reaksi sosial terhadapnya, termasuk reaksi lewat
peraturan perundang undangan dan kebijakan-kebijakan pemerintah di berbagai bidang. Cakupan studi
kriminologi yang begitu luas dan beragam, menyebabkan kriminologi menjadi sebuah kajian
interdisipliner terhadap kejahatan. kejahatan di atas permukaan, tetapi juga menjangkau penelusuran
mengenai penyebab atau akar kejahatan itu sendiri baik yang berasal dari diri individu maupun yang
bersumber dari kondisi sosial, budaya, politik, dan ekonomi; termasuk di dalamnya berbagai kebijakan
pemerintah(include kebijakan perumusan hukum dan penegakan hukum). Bahkan kriminologi juga
mengkaji upaya kejahatan baik formal maupun informal, baik reaksi pemerintah maupun reaksi
masyarakat secara keseluruhan. BONGER memberikan definisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan
yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. Melalui definisi ini, Bonger lalu membagi
kriminologi ini menjadi kriminologi murni yang mencakup:

1. Antropologi Kriminal.

Ialah ilmu pengetahuan tentang manusia yang jahat (somatis). Ilmu pengetahuan inimemberikan
jawaban atas pertanyaan tentang orang jahat dalam tubuhnya mempunyai tanda-tanda seperti apa?
Apakah ada hubungan antara suku bangsa dengan kejahatan dan seterusnya.
2. Sosiologi Kriminal.

Ialah ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai suatu gejalamasyarakat. Pokok persoalan
yang dijawab oleh bidang ilmu adalah sampai di mana letak sebab-sebab kejahatan dalam masyarakat.

3. Psikologi Kriminal.

Ilmu pengetahuan tentang penjahat yang dilihat dari sudut jiwanya.

4. Psikopatologi dan Neuropatologi Kriminal.

Ialah ilmu tentang penjahat yang sakit jiwa atau urat syaraf.

5. Penologi.

Ialah ilmu tentang tumbuh dan berkembangnya hukuman

Di samping itu terdapat kriminologi terapan berupa :

1. Higiene Kriminal.

Usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Misalnya usaha-usaha yang dilakukan
oleh pemerintah untuk menerapkan usahausaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk menerapkan
undang-undang, sistem jaminan hidup dan kesetaraan yang dilakukan semata-mata untuk mencegah
terjadinya kejahatan.

2. Politik Kriminal.

Usaha penaggulangan kejahatan di mana suatu kejahatan terjadi. Di sisni dilihat sebab-sebab
seorang melakukan kejahatan. Bila disebabkan oleh faktor ekonomi maka usaha yang dilakukan adalah
meningkatkan keterampilan atau mebuka lapangan kerja. Jadi tidak semata-mata dengan penjatuhan
sanksi.

3. Kriminalistik (policie scientific)

Merupakan ilmu tentang pelkasanaan penyidikan tekhnik kejahatan dan pengusutan kejahatan.
SUTHERLAND merumuskan kriminologi sebagai keseluruhan ilmu pengetrahuan yang bertalian dengan
perebuatan jahat sebagai gejala sosial (The body of knowledge regarding crimeas a social Phenomenon).
Menurut Sutherland kriminologi mencakup proses-proses pembuatan hukum, pelanggaran hukum dan
reaksi atas pelanggaran hukum. Kriminologi olehnya dibagi menjadi tiga cabang ilmu utama yaitu :
a. Sosiologi hukum.

Kejahatan itu dalah perbuatan yang oleh hukum dilarang dan diancam dengan suatu sanksi. Jadi
yang menentukan bahwa suatu perbuatan itu adalah kejahatan adalah hukum. Disini menyelidiki sebab-
sebabkejahatan harus pula menyelediki faktor-faktor apa yang menyebabkan perkembangan hukum
(khususnya hukum pidana).

b. Etiologi hukum.

Merupakan cabang ilmu kriminologi yang menvari sebab musabab dari kejahatan. Dalam
kriminologi, etiologi kejahatan merupakan kajian yang paling utama.

c. Penology.

Pada dasarnya merupakan ilmu tentang hukuman, akan tetapi Sutherland memasukkan hak-hak
yang berhubungan dengan usaha pengendalian kejahatan baik represif maupun preventif.
B. Aliran dalam kriminologi

Yang dimaksud dengan aliran disini adalah cara pandang (kerangka acuan, paradigm, perspektif)
yang digunakan oleh para kriminolog dalam melihat, menafsirkan, menanggapi, dan menjelaskan
fenomena kejahatan

Oleh karena pemahaman kita terhadap dunia social terutama dipengaruhi oleh cara menafsirkan
peristiwa yang di alami/dilihat, sehingga bagi para ilmuan cara pandang yang dianutnya akan
mempengaruhi wujud penjelasanmaupun teori yang dihasilkan. Dengan demikian untuk dapat
memahami dengan baik penjelasan dan teori-teori dalam kriminologi, perlu diketahui perbedaan-
perbedaan aliran pemikiran/paradigma dalam kriminologi

Secara umum aliran dalam kriminologi dapat dilihat dari 2 pendekatan yaitu :

 pendekatan demonologik/spiristik

Pendekatan Spiritistik berdasar pada adanya kekuasaan lain/spirit (roh).Unsur utama


yang terdapat dalam pendekatan Spiritistik ini adalah sifatnya yang melalui dunia empirik (tidak
terikat oleh batasan-batasan kebendaan/fisik, dan beroperasi dalam cara-cara yang bukan
menjadi subjek dari kontrol atau pengetahuan manusia yang terbatas).

 pendekatan naturalistik

pendekatan Naturalistik sendiri, yaitu penjelasan yang diberikan didalamnya lebih terperinci dan
bersifat khusus, serta melihat dari segi objek dan kejadian-kejadian dunia dalam lingkup
kebendaan dan fisik. Pendekatan naturalistik dibagi menjadi :

1. Aliran klasik
Aliran klasik ini muncul pada abad ke-18 yang dipelopori oleh cesare Beccaria, beliau adalah
seorang ahli matematika berkebangsaan Italia. Aliran ini timbul di inggris pada pertengahan abad ke-19
dan tersebar di Eropa dan Amerika.Aliran ini didasarkan pada tori hedonistic. Aliran ini, dengan Doctrine
of free will-nya, mendasarkan pada filsafat hedonistis yang memandang bahwa manusia mempunyai
kebebasan memilih perbuatan yang dapat memberikan kebahagiaan dan menghindari perbuatan-
perbuatan yang akan memberikan penderitaannya.
Menurut Beccaria, setiap orang yang melanggar hukum telah memperhiutngkan rasa sakit yang
diperoleh dari perbuatan tersebut. “That the act which I do is the act which I think will give me most
pleasure” demikian kata Jeremy Bentham.
Seorang kriminologis termasyur, Cesare Beccaria (1738-1794), dalam karyanya dapat
menyakinkan dan memulakan zaman baru On Crimes and Punisments (Dei delitti e delle pene),
membincangkan tentang kebahagiaan maksimum dibagi antara bilangan paling banyak. Tetapi Jeremy
Bentham ialah orang (1748-1832) yang semasa, mengungkapkan bentuk hedonis dari utilitarianisme
(suatu tindakan adalah betul sekiranya memaksimumkan kepuasan dan meminimumkan kesakitan orang
yang berkenaan) menjadikan teori ini penting dalam debat tentang perkara seperti penyusunan semula
undang-undang.
Ciri-ciri landasan kriminologi klasik dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Manusia dilahirkan dengan kehendak bebas (free will) untuk menentukan pilihannya sendiri.
b. Manusia memiliki hak asasi di antaranya hak untuk hidup, kebebasan serta memiliki kekayaan.
c. Pemerintah Negara dibentuk untuk melindungi hak-hak tersebut dan muncul sebagai hasil perjanjian
sosial antara yang diperintah dan yang memerintah.
d. Setiap warga Negara henya menyerahkan sebagian dari hak asasinya kepada Negara sepanjang
diperlukan oleh Negara untuk mengatur masyarakat dan demi kepentingan sebagian terbesar dari
masyarakat.
e. Kejahatan merupakan pelanggaran terhadap perjanjian sosial. Oleh karena itu, kejahatan merupakan
kejahatan moral.
f. Hukuman hanya dibenarkan selama hukuman itu ditujukan untuk memelihara perjanjian sosial. Oleh
karena itu tujuan hukuman adalah untuk mencegah kejahatan pada kemudian hari.
g. Setiap orang dianggap sama di muka hukum. Oleh karena itu, seharusnya setiap orang diperlakukan
sama.
h. Aliran ini mengakui bahwa manusia memiliki akal disertai dengan kehendak bebas untuk menentukan
pilihannya.

Akan tetapi, aliran ini berpendapat bahwa kehendak bebas tersebut tidak terlepas dari pengaruh
lingkungan.Secara singkat aliran ini berpengang teguh pada factor lingkungan, yang dikuasai oleh hukum
sebab akibat.Karena pengaruh lingkungan tersebut, orang dapat membedakan 2 faktor.Pertama, factor
linngkungan yang interen dan humoral (berperikemmanusiaan dan netral), yaitu mengenai sistem syaraf
sentral.Kedua, yang ekstern (luar), yaitu mengenai lingkungan individu.

Dalam pandangan aliran kriminologi klasik, manusia dianggap mempunyai kemampuan untuk
memilih mana yang baik dan mana yang jahat. Pemikiran klasik ini mendasarkan pandangannya bahwa
intelegensi dan rasionalitas merupakan ciri fundamental manusia dan menjadi dasar bagi penjelasan
perilaku manusia, baik yang bersifat perorangan maupun yang bersifat kelompok.Intelegensi mampu
mengarahkan dirinya sendiri, dalam arti manusia adalah penguasa dalam dirinya, nasibnya, pemimpin
dari jiwanya, makhluk yang mampu bertindak bagi dirinya dan bertindak untuk mencapai kepentingan
dan kehendaknya.
Kejahatan didefinisikan sebagai setiap pelanggaran terhadap perbuatan yang dilarang undang-
undang pidana, penjahat adalah setiap orang yang melakukan kejahatan.Kejahatan dipandang sebagai
hasil pilihan bebas dari individu dan menilai untung ruginya melakukan kejahatan. Oleh Karena itu
tanggapan yang diberikan oleh masyarakat terhadap hal ini adalah dengan meningkatkan kerugian yang
harus di bayar dan menurunkan keuntungan yang diperoleh dari kejahatan agar orang-orang tidak
memilih untuk melakukan kejahatan.

2. Aliran neo-klasik

Aliran neo-klasik ini merupakan lanjutan dari aliran klasik yang telah banyak pengaruhnya
terhadap undang-undang perancis (French code penal) pada tahun 1791. Yang merupakan sebab-sebab
gagalnya code 1971 itu adalah :

a. Diabaikannya perbedaan-perbedaan individual dan arti daripada situasi-situasi tertentu.


b. dalam aliran klasik memperlakukan sama pemidanaan seseorang untuk pertamakali dan juga yang
merupakan residivis.
c. Anak yang belum dewasa, orang yang idiot (terbelakang), orang gila dll dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana

Sehingga pada akhirnya code 1791 direvisi dengan code 1800 dan code 1819 yang memberikan
hak diskresi kepada hakim berhubung dengan keadaan-keadaan obyektif tertentu pada perkara yang
bersangkutan, akan tetapi masih belum diperkenankanuntuk memperhatikan dan mempertimbangkan
juga niat yang subjektif. Yang kemudian Code yang sudah direvisi ini menjadi dasar untuk merubah aliran
klasik sehingga timbul aliran neo klasik.

Neo-klasik ini dasarnya tetap, yaitu bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai rasio, yang
berkehendak bebas dan yang karenanya bertanggungjawabatas perbuatan-perbuatannya, dan yang
dapat dikontrol oleh karena ketakutannya terhadap hukuman

Ciri dari aliran neo-klasik :

 Adanya perubahan pada doktrin kehendak bebas


 Pengakuan untuk memperhatikan keadaan-keadaan lingkungan atau mental dari si individu
 Memungkinkan perlunakan hukuman menjadi sebagian saja (contoh : pertanggungjawaban
pidana individu hanya menjadi sebagian apabila orang tersebut mengalami “kedunguan” yang
dapat mempengaruhi pengetahuan dan niat seseorang dalam melakukan kejahatan)
 Dimasukannya keterangan ahli dalam acara pengadilan untuk menentukan besarnya
tanggungjawab terdakwa ( contoh: keterangan ahli dibutuhkan untuk meneliti apakah terdakwa
mampu memilih antara yang benar dan yang salah)
Tampak dari ciri diatas bahwa teori-teori klasik dan teori-teori neo klasik menggambarkan
ditinggalkannya kekuatan yang super natural sebagai prinsip untuk menjelaskannya dan membimbing
terbentuknya dan pelaksanaan hukum pidana. Dan dengan demikian aliran-aliran tersebut menunjukan
permulaan pendekatan yg naturalistik terhadap prilaku manusia yang lebih tepatnya digambarkan
penambahan atau perluasan dalam ilmu kriminologi. Dari aliran ini juga yang mulai menjadi perantara
untuk meninggalkan penggunaan pemikiran yang hedonistis, sehingga ini menjadi titik awal timbulnya
aliran positif yang digagas oleh Lombrosso dan pengikutnya.

3. Aliran positif
Aliran positif lahir pada abad ke-19 yang dipelopori oleh Casare Lombroso (1835-1909), Enrico
Ferri (1856-1928), dan Raffaele Garofalo (1852-1934). Mereka menggunakan pendekatan metode ilmiah
untuk mengkaji kejahatan dengan mengkaji karakter pelaku dari sudut pandang ilmu biologi, spikologi
dan sosiologi dan objek analisisnya adalah kepada pelaku, bukan kejahatannya.
Aliran positif berkembang pada abad ke-19 yang dihasilkan oleh perkembangan filsafat
empirisme di Inggris sebagaimana yang ditemukan dalam ajaran Locke dan Flume, teori Darwin tentang
Biological determinisme,teori sociological positivism dari Comte dan teori ekonomi Karl Marx. Akhirnya,
perkembangan filsafat di atas membawa pengaruh bagi lahirnya paham behaviorism, experimental
psychology, phychology dan objectivivity.
Aliran positif melihat kejahatan secara empiris dengan menggunakan metode ilmiah untuk
mengonfirmasi fakta-fakta dilapangan dalam kaitannya dengan terjadinya kejahatan.Aliran ini beralaskan
paham determinisme yang menyatakan bahwa seeorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan
kehendaknya karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai factor, baik
watak pribadinya, factor biologis, maupun factor lingkungan.Oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat
dipersalahkan dan dipidana, melainkan harus diberikan perlakuan (treatment) untuk re-sosialisasi dan
perbaikan pelaku.
Gerber dan McAnany menyatakan bahwa munculnya aliran treatment dalam ilmu pemidanaan
sejalan dengan gerakan reformasi penjara.Melalui pendekatan kemanusiaan, maka paham ini melihat
bahwa sistem pemidanaan pada masa lampau menyebabkan tidak adanya kepastian seseorang.
Jadi aliran ini menolak pandangan adanya pembalasan berdasarkan kesalahan yang subjektif.
Aliran positif melihat kejahatan bukan dari sudut pandang perbuatannya, melainkan pelakunya sendiri
yang harus dilihat dan didekati secara nyata dan persuasive.Tujuan pendekatan pada pelaku ini adalah
untuk memengaruhi pelaku kejahatan secara positif sepanjang masih dapat dibina dan diperbaiki.
Metode treatment sebagai pengganti pemidanaan sebagai mana yang dipelopori oleh aliran
positif, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model yang digemari dalam penologi dan
kriminologi.Pengamatan mengenai bahaya sosial yang potensial dan perlindungan sosial menjadi standar
dalam menjustifikasi suatu perbuatan, dari pada pertanggungjawaban moral dan keadilan.
Menurut Toby, perbaikan terhadap pelakuu kejahatan merupakan gelombang besar dari gerakan
koformis yang dipengaruhi oleh tuntutan humanism dan menggunakan pendekatan keilmuwan dalam
ilmu pemidanaan yang lebih konstruktif dari pada penghukum. Sebagian besar ari argument ini adalah
penentangan terhadap pidanan mati, pidana penjara dan bentuk-bentuk lain dari pemidanaan dalam
kepustakaan penjara singkat.Aliran ini secara tegas menyatakan bahwa pmidanaan (publishment)
bertentangan dengan perbaikan (rehabilitation).
Aliran positif yang mengusung metode treatment sebagai tujuan pemidanaan menginspirasi
lahirnya aliran Social Defence. Aliran ini berkembang setelah PD II dengan tokohnya yang terkenal adalah
Fillipo Gramatica, yang pada tahun 1945 mendirikan pusat study perlindungan masyarakat.

4. Aliran kritis
Kriminologi kritis berpendapat bahwa fenomena kejahatan sebagai konstruksi sosial, artinya
manakala masyarakat mendefiniskan tindakan tertentu sebagai kejahatan, maka orang-orang tertentu
memenuhi batasan sebagai kejahatan. Ini berarti bahwa kejahatan dan penjahat bukanlah fenomena
yang berdiri sendiri yang dapat diidentifikasikan dan dipelajari secara obyektif oleh ilmuwan sosial, sebab
dia ada hanya karena hal itu dinyatakan oleh masyarakat.Oleh karenanya kriminologi kritis mempelajari
proses-proses di mana kumpulan tertentu dari orang-orang dan tindakan-tindakan ditunjuk sebagai
kriminal pada waktu dan tempat tertentu.
Kriminologi kritis bukan sekedar mempelajari perilaku dari orang-orang yang didefinisikan
sebagai kejahatan, akan tetapi juga perilaku dari agen-agen kontrol sosial tertentu sebagai kejahatan.
Dekatan kritis ini secara relatif dapat dibedakan antara pendekatan “interaksionis” dan “konflik”.
Pendekatan interkasionis berusaha untuk menetukan mengapa tindakan-tindkan dan orang-orang
tertentu didefinisikan sebagai kriminal oleh masyarakat tertentu dengan cara mempelajari persepsi
makna kejahatan yang dimiliki oleh agen kontrol sosial dan orng-orang yang diberi baatsan sebagai
penjahat. Di samping itu juga dipelajari makna proses sosial yang dimiliki kelompok yang bersangkutan
dalam mendefinisikan seseorang sebagai penjahat.
Aliran ini mengatakan bahwa tingkat kejahatan dan cirri-ciri pelaku terutama ditentukan ole
bagaimana undang-undang disusun dan di jalankan. Tugas kriminologi kritis adalah menganalis proses-
proses bagaimana cap jahat tersebut diterapkan terhadap tindakan dan orang-orang tertentu.
Pendekatan kritis ini dibedakan menjadi pendekatan interaksionis dan konflik. Pedekatan interaksionis
menentukan mengapa tindakan dan orang tertentu didefisinikan sebagai criminal di masyarakat tertentu
dengan cara mempelajari persepsi makna kejahatan yang dimiliki masyarakat yang bersangkuutan.
Pendekatan kriminologi konflik mengatakan bahwa orang berbeda karena memilki perbedaan kekuasaan
dalam mempengaruhi perbuatannya dan bekerjanya hokum dan mengasumsikan bahwa manusia
merupakan makhluk yang terlibat kelompok kumpulannya.
C. Mazhab-mazhab dalam Kriminologi
Mazhab-mazhab dan aliran dalam Kriminologi merupakan suatu system pemikiran yang
mengandung satu kesatuan teori mengenai sebab-sebab kejahatan. Sebenarnya studi mengenai
kejahatan dan penjahat menyakut begitu banyak topik dan pertanyaan yang cenderung dapat dibagi
dalam kategori utama yaitu sebagai berikut:
1. Perumusan kejahatan
2. Epidemologi kejahatan
3. Sosiologi kriminal
4. Psikologi social, tindakan dan karir kejahatan
5. Reaksi social atau kejahatan.
Menurut Bonger mazhab dalam Kriminologi adalah sebagai berikut:
1. Mazhab Italia atau mazhab Antropologi
2. Mazhab Lingkungan
3. Mazhab Bio sosiologis
4. Mazhab Spritualis

1. Mazhab italia atau Antropologi


Mazhab ini mula-mula berkembang di Italia, sehingga dalam Kriminologi sering disebt sebagai
Mazhab Italia. Tokoh terkenal dari Mazhab ini adalah C. Lombroso, seorang dokter penyakit jiwa. Hasil
karya nya yang terkenal adalah ”L’uomo deliquente”
C. Lombroso pada pokoknya mengemukakan bahwa penjahat itu dipandang dari sudut
Antropologi (dilihat dari keadaan fisiknya) mempunyai tanda-tanda tertentu yang mana sangat berbeda
denan manusia lainya. Misalnya pada tengkoraknya terdapat kelainan-kelainan, roman mukanya lebar,
tulang dahinya melengkung ke belakang, rambutnya tebal dan kaku, lain dari orang biasa.
Disamping itu juga Lombroso juga mengemukakan “Hipotessa atavissme” yakni seorang penjahat
itu merupakan gejala atavistic, artinya Ia sekonyong-konyong mendapat kembali sifat nenek moyangnya
yang terdekat tapi Nenek moyang yang terjauh.
2. Mazhab Lingkungan (Prancis)
Menurut mazhab ini orang yang melakukan kejahatan karena dipengaruhi oleh factor-faktor
lingkunganya atau oleh factor-faktor disekitarnya. Tokoh ternama mazhab lingkungan yaitu, A. Lacas-
Sagne (1843-1924) seorang guru besar ilmu kedokteran kehakiman di perguruan Kriminil internasional
pertama di Roma, lacassagne dalam ajarannya menjelaskan, bahwa keadaan social di sekeliling manusia
menimbulkan terjadinya embrio kejahatan.
3. Mazhab Bio-Sosiologis
Tokoh terkemuka aliran ini antara lain A.D Prins, Van Hammel dan D. Simons. Mazhab Bio-
Sosiologis adalah merupakan pengembangan dan perpaduan antara aliran Antropologi dan aliran
Sosiologis. Menurut aliran ini dikatakan, bahwa setiap kejahatan adalah basil perpaduan dari factor yang
timbul ada dan timbul dari dalam diri individu (seperti keadaan fisik dan Psikis penjahat) dari factor yang
ada dalam lingkungan masyarakat (seperti keadaan alam, ekonomi, budaya, politik dan sebagainya).
4. Mazhab Spritualis
Aliran ini semula berkembang di Belgia dengan tokoh pelopornya yaitu F.A.K. Krauss, H. Sturbugs
dan N. De Beats. Menurut aliran Spritualis pada mulanya mencari sebab-sebab kejahatan itu dari pihak
beragamanya seseorang. Disini dijelaskan, bahwa kejahatan itu timbul karena sebab-sebab Spritualis
yaitu agama.
D. Teori-Teori Kriminologi

1. Teori Asosiasi Diferensial ( Differential Association Theory )

Dalam teori ini dijelaskan bahwa pola-pola delinquency dan kejahatan dipelajari dengan cara
yang serupa seperti setiap jabatan atau akupasi, terutama melalui jalan imitation atau peniruan dan
association atau pergaulan dengan yang lain. Berarti kejahatan yang dilakukan seseorang adalah hasil
peniruan terhadap tindakan kejahatan yang ada dalam masyarakat dan ini terus berlangsung.

2. Teori Tegang atau Teori Anomi ( Strain Theory )

Teori ini menjelaskan bahwa di bawah kondisi social tertentu, norma-norma sosial tradisional dan
berbagai peraturan, kehilangan otoritasnya atas perilaku. Dilandasi era depresi besar yang melanda
Eropa tahun 1930 sehingga terjadi perubahan besar dalam struktur masyarakat, misalnya tradisi yang
telah kehilangan dan telah terjadi a condition of deregulation di dalam masyarakat. Keadaan demikianlah
yang dinamakan ‘’anomi’’ atau keadaan ( masyarakat) tanpa norma, artinya hancurnya keteraturan social
sebagai akibat dari hilangnya patokan-patokan dan nilai-nilai.

3. Teori Kontrol Sosial ( Social Control Theory )

Penjelasan dalam teori ini menyatakan bahwa individu dimasyarakat mempunyai kecenderungan
yang sama kemungkinannya menjadi baik atau menjadi jahat. Berperilaku baik ataupun berperilaku
jahatnya seseorang, sepenuhnya bergantung pada masyarakat lingkungannya. Ia menjadi baik kalau saja
masyarakatnya membuatnya demikian, dan menjadi jahat apabila masyarakatnya membuatnya demikian.

4. Teori Sub-Budaya ( Sub-Culture Theory )

Teori ini menjelaskan bahwa terjadinya peningkatan perilaku delinquent di daerah kumuh
menggambarkan bahwa frustasi pada anak kelas bawah dan menegaskan sebagai perjuangan antar
kelas, hal itu terjadi ketika anak-anak kelas bawah secara bersungguh-sungguh berjuang memiliki symbol
material untuk kesejahteraan.

Sub-budaya dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bentuk, yakni :

a. Criminal Subculture; bentuk-bentuk perilaku gang yang ditujukan untuk kepentingan pemenuhan
uang atau harta benda;
b. Conflik subculture; bentuk gang yang berusaha mencari status dengan menggunakan kekerasan;
c. Retreatist subculture; bentuk gang dengan ciri-ciri penarikan diri dari tujuan dan peranan
konvensional dan kemudian mencari pelarian dengan menyalahgunakan narkotika atau sejenisnya.
5. Teori – teori Sendiri ( The Self-Theories )

Teori ini menjalaskan bahwa teori-teori sendiri tentang kriminalitas menitikberatkan pada
interprestasi atau penafsiran individu yang bersangkutan. L. Edward Wells (1978) berspekulasi bahwa
perilaku adalah suatu usaha oleh seorang individu untuk mengkonstruksi, menguji nengesahkan dan
menyatakan apa tentang dirinya. L Edward wells memandang banyak bentuk kesulitan emosional dan
penyimpangan perilaku sebagai sesuatu yang muncul dari ketidaklayakan yang dihipotesiskan agar terjadi
di antara bayangan sendiri dan pelbagai permintaan atau keinginan pribadi seperti aspirasi dan harapan-
harapan. Perilaku dan bayangan sendiri berkaitan paling sedikit dalam 2 (dua) cara ;

a. Perilaku dapat berupa ekspresi konsep diri snediri. Oleh sebab itu apabila seseorang memiliki opini
rendah tentang dirinya biasanya direfleksikan atau dicerminkan ke dalam susunan luas perilaku
negative termasuk juga depresi ke dalamnya misalnya penyalahgunaan alcohol dan kriminalitas;
b. Perilaku dapat juga mendukung atau menahan self consept atau konsep diri sendiri.

6. Teori Psikoanalisis ( Psycho-Analitic )

Sigmund Freud sebagai penemu psikoanalisis berpendapat bahwa kriminalitas mungkin hasil dari
an overactive conscience yang menghasilkan perasaan bersalah yang berlebih. Sigmund Freud menyebut
bahwa mereka yang mengalami perasaan bersalah yang tak tertahankan akan melakukan kejahatan
dengan tujuan agar ditangkap dan dihukum. Begitu mereka dihukum maka perasaan bersalah mereka
akan mereda. Seseorang melakukan perilaku yang terlarang karena hati nurani, atau superego-nya
begitu lemah atau tidak sempurnah sehingga ego-nya ( yang berperan sebagai suatu penegah antara
superego dan id ) tidak mampu mengontrol dorongan-dorongan id ( bagian dari kepribadian yang
mengandung keinginan dan dorongan yang kuat untuk dipuaskan dan dipenuhi).

7. Teknik-teknik Netralisasi atau Teori Netralisasi ( The Techneques of Netralization)

Teori ini menjelaskan bahwa aktivitas menusia selalu dikendalikan oleh pikirannya,di sini
mencerminkan adanya suatu pendapat bahwa kebanyakan orang dalam berbuat sesuatu dikendalikan
oleh pikirannya yang baik. Di masyarakat selalu terdapat persamaan pendapat tentang hal-hal yang baik
dalam kehidupan masyarakat, dan menggunakan jalan layak untuk mencapai hal tersebut.

8. Teori Pembelajaran Sosial ( Social Learning Theory )

Sosial Learning Theory berinduk pada psikhologi, dengan tokohnya; Petrovich Pavlov, John B.
waston, B.F. Skinner, belakangan Albert Bandura ( sebagai tokoh utamanya) yang mengembangkan teori
pembelajaran social ini dikaitkan dengan juvenile delinquency.
Teori ini menjelaskan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh pengalaman belajar,
pengalaman kemasyarakatan disertai nilai-nilai dan pengharapannya dalam hidup bermasyarakat.

9. Teori Kesempatan ( Opportunity Theory )

Teori ini menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara lingkungan kehidupan,
struktur ekonomi dan pilihan pelaku yang mereka perbuat selanjutnya.

Richard A. Cloward dan Lloyd E. Ohlin dalam bukunya Delinquency and Opportunity berpendapat
bahwa munculnya kejahatan dan bentuk-bentuk perilakunya bergantung pada kesempatan, baik
kesempatan patuh norma maupun kesempatan penyimpangan norma.

10. Teori Rangsangan Patologis ( Pathological Stimulation Seeking )

Teori ini menjelaskan bahwa;

a. Kriminal dilakukan dengan sistem urat syaraf yang hiporeaktif dan otak yang kurang member respon,
keadaan demikian tidak terjadi dalm vacuum melainkn berinteraksi dengan lingkungan tempat tinggal
tertentu di mana individu hidup dalam pergaulannya;
b. Anak-anak pra delinquent cenderung membiasakan diri terhadap hukuman yang diterimanya dan
rangsangan ini dengan mudah menambah frustrasi dikalangan orang tua;
c. Interaksi orang berhadapan dengan keadaanmeliputi hipotesis;
a) Respon parental yang negative dan tidak konsisten terhadap perilaku mencari stimulasi atau
rangsangan si anak merupakan daya etiologis dalam perkembangan kecenderungan-
kecenderungan kriminalitas selanjutnya;
b) Abnormalitas psikis si anak akan menyulitkan baginya mengantisipaso konsekuensi yang
menyakitkan atas tindakannya.

11. Teori Interaksionis ( Interactionist Theory )

Teori ini mempelajari proses interaksi soasial dan konsekuensinya terhadap masyarakat. Teori ini
menjelaskan suatu perilaku sosial berarti menjelaskan meaning (makna) perilaku tertentu yang dilakukan
dengan cara tertentu pula, baik yang bertalian dengan orang yang melakukan tindakan itu maupun bagi
mereka yang menyaksikan tindakan itu. Dengan demikian maka pokok persoalan itu, bagaimana
menjelaskan dengan sebaik mungkin perilaku sosial manusia.
12. Teori Pilihan Rasional ( Rational Choice Theory )

Teori ini menjelaskan bahwa;

a. Teori pilihan rasioanal menitikberatkan pada pemanfaatan yang diantisipasi mengenai taat pada
hukum berlawanan dengan perilaku melanggar hukum.
b. Akibat pidana yang dialami seseorang merupakan fungsi, pilihan-pilihan langsung serta keputusan-
keputusan yang dibuat relative oleh pelaku tindak pidana bagi peluang-peluang yang ada padanya.
c. Teori pilihan rasional dengan demikian berpendapat bahwa individu menimbang dari berbagai
kemungkinan , kemudian memilih pemecahan yang optimal yang dapat dilakukan;
d. Terdaoat kompleksitas dalam proses pengambilan keputusan oleh manusia yang menunjukkan
bahwa keputusan-keputusan yang diambil kadang kala tidak rasional dan bersifat non ekonomis serta
bersifat subyektif;
e. Meningkatnya pendapatan atau peluang yang lebih meluas harus berkurang, tidak saja sebagai
insentif bagi ilegalitas dan perilaku menyimpang, melainkan pula bagi perilaku criminal yang
sebenarnya seperti pada berbagai pola kejahatan konvensional, menurut perspektif pilihan rasional.
f. Teori pilihan rasional member penjelasan yang bermanfaat dalam mempelajari kriminalitas
g. Teori pilihan rasional kurang mampu mempertanggungjawabkan mengenai perilaku criminal untuk
waktu yang relatife lama.

13. Teori – teori Perspektif Baru

Teori ini menjelaskan bahwa kejahatan secara tradisional karena melihat pada sifta-sifat pelaku
atau kepada social. Teori ini tidak hanya mempertanyaakan penjelasan tradisional tentang pembuatan
dan penegakkan hukum pidana, namun juga mempersalahkan hukum itu dalam menghasilkan penjahat-
penjahat, dan teori ini juga mempertanyakan tentang siapa yang membuat hukum-hukum itu dan
mengapa.

14. Teori Pemberian Nama ( Labeling Theory )

Teori ini menjelaskan bahwa sebab utama kejahatan dapat dijumpai dalam pemberian label oleh
masyarakat untuk mengidentifikasi anggota-anggota tertentu pada masyarakatnya. Berdasarkan
perspektif teori ini, pelanggar hukum tidak dapat dibedakan dari mereka yang tidak melanggar hukum,
terkecuali bagi adanya pemberian label terhadap mereka yang ditentukan demikian. Oleh sebab itu,
kriminal dipandang oleh teoritisi pemberian nama sebagai korban lingkungannya dan kebiasaan
pemberian nama oleh masyarakat konvensional.
15. Teori-teori Konflik (Conflik Theories)

Konsep dari teori ini adalah power ( kekuasaan ). Struggle ( pertarungan ) untuk kekuasaan
merupakan suatu gambaran dasar eksitensi manusia. Dalam arti pertarungan kekuasaan itulah bahwa
berbagai kelompok kepentingan berusaha mengontrol perbuatan dan penegakan hukum. Untuk
memahami pendekatan teori konflik ini, perlu secara singkat memandang bahwa kejahatan dan peradilan
pidana sebagai sesuatu yang lahir dari communal consensus ( consensus masyarakat).

16. Teori Pemberian Malu Reintegratif atau Teori Pembangkit Rasa Malu ( Reintregrative
Shaming Theory)

Konsep-konsep dasar dari teori ini adalah ;

a. Interdependency atau saling ketergantungan bersifat individual,mencakup keikutsertaan warga


masyarakat dalam suatu jaringan social dimana di dalamnya mereka merasa bergantung pada warga
masyarakat lain untuk mencapai tujuan akhir dan warga masyarakat yang lainpun bergantung
padanya.
b. Communitarianism, bersifat kemasyarakatan, artinya di dalam masyarakat yang demikian warga
terikat kuat dalam suatu hubungan saling ketergantungan yang dicirikan adanya perasaan saling
mempercayai dan saling membantu.
c. Shaming ( rasa malu ) adalah semua proses social tentang pernyataan sikap pencelaan yang
mengekibatkan timbulnya penyesalan paling dalam bagi seseorang yang di permalukan atau
pencelaan oleh pihak lain yang telah menyadari hal itu.
d. Stigmatization atau Stigmatisasi adalah wujud dari disintegrative shaming atau pemberian malu yang
disintegrative, adalah menstigmatisasi dan meniadakan, jadi menciptakan suatu class of outcast
(kelas orang-orang terusir/terbuang).
e. Reintegrative atau mengintegrasikan.

17. Krimonologi Kritis ( Radicai ( Critical) Criminology )

Ian Tailor, Paul Walton, dan Jack Young-kriminolog Marxis dari Inggris menyatakan bahwa kelas
bawah ( kekuatan buruh dari masyarakat industri) yang dikontrol melalui hukum pidana dan para
penegaknya, sementara pemilik buruh-buruh itu hanya terikat oleh hukum perdata yang mengatur
persaingan antar mereka. Institusi ekonomi kemudian merupakan sumber dari konflik , pertarungan antar
kelas selalu berhubungan dengan distribusi sumber daya kekuasaan, dan hanya apabila kapitalisme
dimusnahkan maka kejahatan akan hilang.

Anda mungkin juga menyukai