Anda di halaman 1dari 8

Soal 1

Salah satu bentuk kebijakan yang mencerminkan hubungan antara pusat dan daerah yang
membawa dampak terhadap keleluasaan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan
otonominya riil dan seluas-luasnya. Prinsip ini tidak dianutnya lagi oleh UU.No.5 Tahun 1974,
melainkan dianutnya “prinsip otonomi nyata dan bertanggung jawab” karena prinsip otonomi riil
dan seluasluasnya dipandang akan menimbulkan disintegrasi dan membahayakan keutuhan
negara kesatuan. Di dalam undang-undang ini tidak dijelaskan istilah seluasluasnya itu. Apakah
istilah tersebut diartikan secara kuantitatif atau mungkin karena sifat urusan yang diserahkan
tersebut tidak bisa terlepas dari sifat dan kualitasnya. Banyaknya urusan yang diserahkan kepada
daerah belum tentu akan mendorong pengembangan otonomi daerah. Bahkan mungkin akan
menambah beban bagi daerah, kalau tidak memperhatikan batas wewenang, sifat, macam, dan
kualitas urusan yang diserahkan. Oleh karena itu, kata seluas-luasnya an-sich tidak harus
diartikan tidak terbatas sehingga membahayakan keutuhan negara kesatuan.

Kekhawatiran ini tidak memiliki landasan historis. Pemberontakanpemberontakan daerah


yang terjadi sekitar tahun 1950 sebetulnya bukan di sebabkan oleh otonomi yang terlalu luas
kepada daerah, tetapi oleh ketidakpuasan daerah atas wewenang otonomi yang tidak nyata
diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah. Ichlasul Amal (1992:3) mengemukakan alasan
mengapa banyak terjadi pemberontakan regional pada masa itu: “... the failure of the
postindependence government to realize a decentralized local government system and grant wide
regional autonomy”. Artinya, pemberontakan itu terjadi karena kegagalan pemerintah pasca
kemerdekaan dalam mewujudkan suatu pemerintahan daerah yang desentralistis.

Di samping itu, politik regional yang sangat labil dan mudah berubah, karena adanya
dikotomi yang fundamental dalam struktur ekonomi antara Jawa sebagai pusat kegiatan yang
selalu mengekspor, dan luar Jawa sebagai pengimpor, adalah juga menjadi sebab ketidakpuasan
dan pemberontakan daerah terhadap pusat. Jadi, kalau ada yang berpendapat bahwa pemberian
otonomi yang luas kepada daerah harus diwaspadai karena dikhawatirkan akan menimbulkan
disintegrasi, justru sebaliknya sikap dan tindakan over-sentralisasi malah akan menimbulkan
ketidakpuasan daerah dan membahayakan integrasi nasional.

Perubahan prinsip otonomi yang telah membawa implikasi terhadap penekanan tentang
makna dan sifat otonomi daerah yang menyatakan bahwa otonomi daerah lebih merupakan
kewajiban daripada hak, adalah pernyataan yang tidak lazim, terutama apabila dihubungkan
dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sebagai perwujudan azas
desentralisasi teritorial. Dalam pengertian otonomi, kewajiban adalah tidak disangkal. Akan
tetapi, pengertian kewajiban adalah sebagai imbangan hak dan wewenang yang diberikan kepada
daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Konsekuensinya, pemerintah
daerah wajib untuk mempertanggungjawabkannya. Kalau saja persepsi tentang makna otonomi
yang lebih merupakan kewajiban daripada hak dipandang tepat, maka daerah sebagai penerima
kewajiban berhak untuk memperoleh imbalannya sebagai perimbangan kekuasaan. Kalau
imbalan ini tidak diperolehnya, akibatnya daerah selalu tergantung kepada pemerintah pusat
karena tidak mempunyai diskresi untuk mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan
daerahnya. Lebih jauh lagi akan mengakibatkan lemahnya kemandirian pemerintah daerah.
Kenyataan ini menunjukkan betapa krusialnya hubungan kewenangan pusat dan daerah sehingga
masalah perimbangan keuangan, subsidi, pembagian sumber-sumber keuangan sering menjadi
isu yang berkepanjangan.

Hasil penelitian membuktikan bahwa faktor kondisi lingkungan dan karakteristik


kemampuan aparatur pemerintah sangat dominan pengaruhnya terhadap pelaksanaan otonomi
daerah. Bila ditelusuri lebih jauh, kedua factor tersebut sebetulnya mempunyai hubungan
kausalitas.

Dalam wacana politik, kondisi lingkungan merupakan gambaran dari konstelasi politik
sebagai hasil rakayasa dan keinginan politik pemerintah pusat dalam mewujudkan otonomi
daerah yang dituangkan dalam peraturan perundangundangan, dan mengikat pemerintahan di
bawahnya. Gambaran konstelasi politik ini, sebetulnya agak sulit diamati, karena sekalipun
dalam penelitian ini menggunakan ukuran melalui kuantifikasi tentang efektivitas hubungan
antara pusat dan daerah, yang memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menentukan
urusannya sendiri (local discretion), tetap saja belum dapat diprediksi secara pasti. Hal ini
menunjukkan pula bahwa, faktor kondisi lingkungan pun sangat dipengaruhi oleh faktor lain
yang lebih dominan, yaitu faktor kemampuan aparatur pemerintah. Memang masuk akal,
hubungan keedua faktor tersebut merupakan hal yang dapat saling mempengaruhi. Karena itu,
adanya kerangka legal pemerintah daerah yang menjamin hak daerah atas segala tindakan
kemandiriannya di hadapan pemerintah pusat, jumlah dan macam urusan yang diserahkan
kepada daerah untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, kewenangan
melakukan pungutan atas sumbersumber keuangan daerah lain dan keleluasaan untuk
membelanjakannya, macam, tingkat dan intensitas campur tangan pemerintah pusat dalam
bentuk pengawasan atas jalannya pemerintah daerah, dapat dijadikan indikator.

Indikator-indikator tersebut setidaknya dapat dijadikan tolok ukur untuk melihat betapa
kuatnya pengaruh kondisi lingkungan terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Gambarannya,
dapat dipelajari dari sejarh panjang Bangsa Indonesia, yang merdeka lebih dari setengah abad,
belum mampu “tinggal landas” sebagaimana direncanakan, malahan “ketinggalan di landasan”
dengan semakin terpuruknya kondisi perekonomian negara.

Bisa jadi karena dominasi faktor politik pemerintah yang lebih cenderungmembentuk
tirani, sehingga kedewasaan bangsa terhambat oleh belenggubelenggu kebodohan. Atau mungkin
karena ketidakmampuan aparatur pemerintah dalam menjalankan roda manajemen
pembangunan, juga karena kebodohannya sendiri. Berkenaan dengan hal ini, penulis
berkeyakinan bahwa, faktor pemicunya ialah pada karakteristik kemampuan aparatur pemerintah
sebagai pengendali roda pemerintahan. Tidak jadi soal, apakah sentralisasi atau desentralisasi,
dekonsentrasi atau devolusi. Sepanjang aparatur pemerintah memahami dan mampu
melaksanakan roda pemerintahan yang sesuai dengan amanat, aspirasi, kebutuhan, dan harapan
masyarakatnya. Jiwa demokratisasi, memberdayakan, dan melayani masyarakat bukan hanya
sekedar jargon-jargon alat politik.

Ada satu hal dalam UU.No.5 Tahun 1974 yang konstruktif dalam pelaksanaan otonomi
daerah yaitu Pasal 79 UU.No.5 Tahun 1974 ditegaskan bahwa kepala daerah karena jabatannya
adalah kepala wilayah. Pasal ini merupakan dasar hukum yang mendudukan keberadaan kepala
daerah, sedangkan pasal 80 merupakan dasar hukum terhadap kedudukan kepala wilayah sebagai
akibat keberadaan kepala daerah sebagaimana termaksud dalam pasal 79.

Dengan demikian, yang harus ditonjolkan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah


adalah kedudukan dan peranan kepala daerahnya, bukan posisi wilayahnya. Hal ini diperkuat lagi
dengan ketentuan bahwa kepala daerah mewakili daerahnya di dalam maupun di luar pengadilan
(pasal 23). Adalah wajar sebagai pimpinan dan penanggung jawab tertinggi dalam pemerintahan
daerah kepala daerah bertindak mewakili daerahnya dalam segala persoalan yang timbul sebagai
akibat pelaksanaan pemerintahan yang dipimpinnya.
Ketentuan positif dalam UU.No.5 Tahun 1974 yang bersangkutan dengan kedudukan
kepala daerah adalah pasal 20 yang melarang kepala daerah, dengan sengaja melakukan
kegiatan-kegiatan yang merugikan kepentingan negara, pemerintah, daerah dan atau rakyat.
Larangan lainnya ialah turut serta dalam sesuatu perusahaan, melakukan pekerjaan-pekerjaan
lain yang memberikan keuntungan baginya dalam hal yang berhubungan langsung dengan
daerah yang bersangkutan. Larangan ini dimaksudkan agar setiap tindakan seorang kepala daerah
sesuai dengan asas-asas kepatutan (berhoorlijk bestuur), tidak menyalahgunakan kekuasaan (de
tournement du povoir), dan tetap menjaga nama baik pemerintah.

Soal 2

Dalam perbincangan otonomi daerah ini, terdapat perbedaan persepsi di kalangan


cendekiawan, dan para pejabat birokrasi. Di antara mereka ada yang mempersepsikan otonomi
daerah sebagai prinsip penghormatan, terhadap kehidupan masyarakat sesuai riwayat adat-
istiadat dan sifat-sifatnya dalam konteks negara kesatuan (lihat Prof. Soepomo dalam Abdullah
2000: 11). Ada juga yang mempersepsikan otonomi daerah sebagai upaya berperspektif
Ekonomi-Politik, di mana daerah diberikan peluang untuk berdemokrasi dan untuk berprakarsa
memenuhi kepentingannya sehingga mereka dapat menghargai dan menghormati kebersamaan
dan persatuan dan kesatuan dalam konteks NKRI.

Setelah diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999, aksi dari berbagai pihak sangat beragam,
sebagai akibat dari perbedaan interpretasi istilah otonomi. Terdapat kelompok yang menafsirkan
otonomi sebagai kemerdekaan atau kebebasan dalam segala urusan yang sekaligus menjadi hak
daerah. Mereka yang mempunyai persepsi ini biasanya mencurigai intervensi pemerintah pusat,
otonomi daerah dianggap sebagai kemerdekaan daerah dari belenggu Pemerintah Pusat.

Ada kelompok lain yang menginterpretasikan sebagai pemberian “otoritas kewenangan”


dalam mengambil keputusan sesuai dengan kepentingan dan aspirasi masyarakat lokal. Di sini
otonomi diartikan atau dipersepsikan pembagian otoritas semata (lihat UU No. 22/1999);
memaknai otonomi sebagai kewenangan, daerah Otonomi (Kabupaten/Kota) untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat lokal, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat. Wujudnya adalah pembagian kewenangan kepada daerah dalam seluruh bidang
pemerintahan, kecuali dalam bidang pertahanan dan keamanan peradilan, moneter dan fiskal,
agama dan politik luar negeri serta kewenangan bidang lain, yakni perencanaan nasional
pengendalian pembangunan nasional; perubahan keuangan, sistem administrasi negara dan
lembaga; perekonomian negara, pembinaan, dan pemberdayaan sumber daya manusia;
pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tinggi strategis, serta konservasi dan
standarisasi nasional.

Ada juga kelompok yang menafsirkan otonomi daerah sebagai suatu mekanisme
empowerment (pemberdayaan). Menurut kelompok ini menafsirkan otonomi harus lebih
mengakomodasikan berbagai kepentingan lokal dan lembaga lokal dan untuk itu diperlukan
otoritas. Jadi, diambil kesepakatan khusus dalam pembagian tugas/urusan yang ditangani oleh
Pemerintah Pusat dan ditangani oleh Daerah (lokal).

Variasi interpretasi konsep otonomi tersebut karena adanya perbedaan referensi teoretis.
Secara teoretis istilah autonomy memiliki banyak arti yang kemudian menimbulkan berbagai
interpretasi.

Mary Parker Follet pada tahun 1920-an mengidentifikasi otonomi dengan Independence
dari suatu institusi (lihat Limerick Cunnington 1993, P. Selzerick 1957, Terry 1995). Otonomi
yang dimaksudkan adalah kekuasaan yang relatif cukup untuk memungkinkan birokrasi publik
bekerja sesuai dengan identitasnya atau kebebasan yang masih terbatas dan tidak
diinterpretasikan “bebas dan merdeka”. Selanick 1992, melihat otonomi sebagai salah satu
strategi untuk menjaga integritas suatu lembaga di mana nilai-nilai dan potensi dari lembaga
tersebut dilindungi. Karena itu otonomi daerah secara tidak langsung menyandang pengakuan
terhadap eksistensi dan kekuasaan elit-elit lokal.

Otonomi diinterpretasikan juga oleh Holdaway, Newberry, Hickson dan Heron, sebagai
jumlah otoritas pengambilan keputusan yang dimiliki oleh suatu organisasi (lihat Price and
Mueller, 1980: 40). Semakin banyak tingkat otoritas yang dimiliki dalam pengambilan keputusan
maka semakin tinggi tingkat otonominya. Otonomi juga diinterpretasikan sebagai The Degree To
Which and Organization Has Power With Respects to Its Environment (lihat Price and Mueller,
1986: 40). Dalam hal ini, dibedakan antara organisasi pemerintah dan business. Power di sini
diinterpretasikan sebagai “pengaruh” atau “kontrol”. Dalam konteks ini otonomi daerah
diinterpretasikan sebagai sampai berapa jauh suatu pemerintah daerah mengontrol kepada
kegiatan pemenuhan kepentingan masyarakat lokal terlepas dari pengaruh lingkungannya.

Soal 3

Solusi yang dapat dilakukan dalam mengatasi hambatan pelaksanaan otonomi daerah yaitu:

 Adanya sosialiasai bagi masyarakat daerah mengenai pelaksanaan otonomi daerah yang
dilakukan pemerintah pusat maupun pemerintahan daerah
 Peningkatakan kualitas SDM daerah
 Mengurangi sistem desentaralisasi pemerintah pusat
 Pemerataan kebijakan dan pengelolan potensi SDA maupunSDM keseluruh dasrah di
Indonesia
 Mengulangi pemfokusan ekonomi pada pusat pemerintahan
 Meningkatkan pelayanan masyarakat baik dilakukan oleh pemerintah daerah maupun
pemerintah pusat
 Pemerataan ekonomi dan pelayanan bagi seluruh daerah di Indonesia
 Memberikan kebijakan sebebasnya oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
dalam mengelola dan melaksanakan otonomi daerah.
 Mengurangi ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat

Penjelasan:

Otonomi daerah merupakan pemberikan wewenang yang dilakukan oleh pemerintah


pusat kepada pemerintah daerah dalam mengelola dan melaksanankan pemerintahanya guna
memaksimalkan setiap potensi baik SDM dan SDA yang dimiliki oleh suatu daerah agar
memingkatkan daya guna dan hasil guna pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

Tujuan otonomi daerah

 Mendistribusikan pemerataan palaksanan pemerintahan yang merata dan adil


 Meningkatkan pelayanan masyarakat
 Memberikan keadilan yang kepada seluruh masyarakat di seluruh daerah
 Mengembangkan dan memeratakan demokrasi bagi seluruh rakyat Indonesia
 Menjalin hubungan yang rukun dan harmonis bagi pemerintahan daerah dan pusat
 Meningkatkan setiap potensi SDA, SDM maupun ekonomi setiap daerah
 Mendorong pemberdayaan masyarakat keseluruh daerah di Indonesia
 Meningkatkan partisipasi masyakat dalam pelaksanan demokrasi
 Menumbuhkan dan menyalurkan setiap potensi, inovasi dan kreativitas mayarakat dalam
meningkatkan prekonomian daerah maupun pusat

Nilai dasar pelaksanaan otonomi daerah

 Kebebasan
Memberikan kebebasan bagi pemerintah pusat maupun mayarakat dalam
mengambil dan melaksanankan setiap kebijakan dalam rangka memecahakan masalah
yang sedang dihadapi bersama
 Partisipasi
 Meningkatkan partisipasi dan keaktifan masyarakat dalam pelaksanaan demokrasi yang
dilakukan oleh Indonesia
 efektivitas dan efesiensi
 Memalui perpanjagan wewenang kekuasan, pemerintah daerah dapat mengefektifkan dan
mengefesiensi setiap kebijakan dan peraturan agar tepat sasaran dan merata bagi selurih
masyarakat.

Soal 4

Menurut Effendi (2005) tata kelola pemerintahan yang baik atau good goovernance telah
diterjemahkan menjadi penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo),
pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab atau LAN, tata pemerintahan yang
baik atau UNDP, serta ada juga yang mengartikan good governance sebagai pemerintahan yang
bersih. Namun bukanlah sesuatu yang mudah untuk mewujudkan good governance yang bersih,
dibutuhkan komitmen yang kuat dari para pelaku yang terlibat dan pemangku kepentingan,
seperti pemerintah, masyarakat maupun swasta.

Mahasiswa merupakan kelompok kaum intelektual muda yang nantinya akan menjadi
generasi penerus bangsa, sehingga mahasiswa memiliki peranan yang sangat penting untuk
mewujudkan good governance di lingkungan masyarakat. Mahasiswa juga memiliki kewajiban
untuk memberikan upaya terbaik mereka di sela-sela waktu perkuliahan demi mewujudkan
perubahan yang baik di lingkungan masyarakat sekitarnya. Tiga peranan penting yang harus
dilakukan mahasiswa terhadap masyarakat untuk mewujudkan good governance, diantaranya
yaitu Agent of Change, Agent of Control, dan Iron Stock. 

Sebagai Agent of Change mahasiswa tidak boleh hanya diam saja melihat kondisi
lingkungan sekitarnya, namun mahasiswa dituntut dapat melakukan suatu perubahan dan
merubah kondisi lingkungan sekitarnya menuju kearah yang lebih baik. Mahasiswa harus bisa
bertindak sebagai katalis atau bisa disebut sebagai pemicu terjadinya sebuah perubahan yang
nantinya akan berdampak positif serta memperjuangkan perubahan-perubahan yang mengarah
pada perbaikan di dalam kehidupan masyarakat.

Mahasiswa juga sangat berperan penting untuk mewujudkan good governance dalam
sistem pemerintahan sebagai kontrol terhadap kebijakan yang telah dibuat atau Agent of Control.
Seperti mengkritisi dan mengamati keadaan yang sedang terjadi di lingkungan masyarakat
sekitarnya, baik di lingkungan kampus maupun di lingkungan masyarakat luas. Sebagai Agent of
Control, mahasiswa diharuskan untuk terlibat sebagai pelaku di dalam lingkungan masyarakat
agar dapat menjadi panutan dalam masyarakat, bukannya hanya sebagai pengamat yang hanya
bisa duduk manis.

Sebagai aset atau cadangan masa depan suatu negara (Iron Stock), mahasiswa juga
diharapkan dapat menjadi generasi yang tangguh, memiliki jiwa kepemimpinan serta memiliki
moralitas yang baik sehingga dapat menggantikan kepemimpinan generasi yang sebelumnya
sudah pernah memimpin.

Maka dari itu untuk mewujudkan ketiga peranan penting tersebut mahasiswa diharuskan
untuk peduli dan melek dengan keadaan di lingkungan sekitarnya, sehingga mahasiswa akan
menyadari semua permasalahan-permasalahan yang sedang terjadi di tengah masyarakat.
Karena, yang akan layak dan akan mampu mengusung perubahan bangsa ini di kemudian hari
hanyalah para mahasiswa yang sadar dan peduli dengan keadaan yang terjadi di lingkungan
sekitarnya.

Anda mungkin juga menyukai