Salah satu bentuk kebijakan yang mencerminkan hubungan antara pusat dan daerah yang
membawa dampak terhadap keleluasaan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan
otonominya riil dan seluas-luasnya. Prinsip ini tidak dianutnya lagi oleh UU.No.5 Tahun 1974,
melainkan dianutnya “prinsip otonomi nyata dan bertanggung jawab” karena prinsip otonomi riil
dan seluasluasnya dipandang akan menimbulkan disintegrasi dan membahayakan keutuhan
negara kesatuan. Di dalam undang-undang ini tidak dijelaskan istilah seluasluasnya itu. Apakah
istilah tersebut diartikan secara kuantitatif atau mungkin karena sifat urusan yang diserahkan
tersebut tidak bisa terlepas dari sifat dan kualitasnya. Banyaknya urusan yang diserahkan kepada
daerah belum tentu akan mendorong pengembangan otonomi daerah. Bahkan mungkin akan
menambah beban bagi daerah, kalau tidak memperhatikan batas wewenang, sifat, macam, dan
kualitas urusan yang diserahkan. Oleh karena itu, kata seluas-luasnya an-sich tidak harus
diartikan tidak terbatas sehingga membahayakan keutuhan negara kesatuan.
Di samping itu, politik regional yang sangat labil dan mudah berubah, karena adanya
dikotomi yang fundamental dalam struktur ekonomi antara Jawa sebagai pusat kegiatan yang
selalu mengekspor, dan luar Jawa sebagai pengimpor, adalah juga menjadi sebab ketidakpuasan
dan pemberontakan daerah terhadap pusat. Jadi, kalau ada yang berpendapat bahwa pemberian
otonomi yang luas kepada daerah harus diwaspadai karena dikhawatirkan akan menimbulkan
disintegrasi, justru sebaliknya sikap dan tindakan over-sentralisasi malah akan menimbulkan
ketidakpuasan daerah dan membahayakan integrasi nasional.
Perubahan prinsip otonomi yang telah membawa implikasi terhadap penekanan tentang
makna dan sifat otonomi daerah yang menyatakan bahwa otonomi daerah lebih merupakan
kewajiban daripada hak, adalah pernyataan yang tidak lazim, terutama apabila dihubungkan
dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sebagai perwujudan azas
desentralisasi teritorial. Dalam pengertian otonomi, kewajiban adalah tidak disangkal. Akan
tetapi, pengertian kewajiban adalah sebagai imbangan hak dan wewenang yang diberikan kepada
daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Konsekuensinya, pemerintah
daerah wajib untuk mempertanggungjawabkannya. Kalau saja persepsi tentang makna otonomi
yang lebih merupakan kewajiban daripada hak dipandang tepat, maka daerah sebagai penerima
kewajiban berhak untuk memperoleh imbalannya sebagai perimbangan kekuasaan. Kalau
imbalan ini tidak diperolehnya, akibatnya daerah selalu tergantung kepada pemerintah pusat
karena tidak mempunyai diskresi untuk mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan
daerahnya. Lebih jauh lagi akan mengakibatkan lemahnya kemandirian pemerintah daerah.
Kenyataan ini menunjukkan betapa krusialnya hubungan kewenangan pusat dan daerah sehingga
masalah perimbangan keuangan, subsidi, pembagian sumber-sumber keuangan sering menjadi
isu yang berkepanjangan.
Dalam wacana politik, kondisi lingkungan merupakan gambaran dari konstelasi politik
sebagai hasil rakayasa dan keinginan politik pemerintah pusat dalam mewujudkan otonomi
daerah yang dituangkan dalam peraturan perundangundangan, dan mengikat pemerintahan di
bawahnya. Gambaran konstelasi politik ini, sebetulnya agak sulit diamati, karena sekalipun
dalam penelitian ini menggunakan ukuran melalui kuantifikasi tentang efektivitas hubungan
antara pusat dan daerah, yang memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menentukan
urusannya sendiri (local discretion), tetap saja belum dapat diprediksi secara pasti. Hal ini
menunjukkan pula bahwa, faktor kondisi lingkungan pun sangat dipengaruhi oleh faktor lain
yang lebih dominan, yaitu faktor kemampuan aparatur pemerintah. Memang masuk akal,
hubungan keedua faktor tersebut merupakan hal yang dapat saling mempengaruhi. Karena itu,
adanya kerangka legal pemerintah daerah yang menjamin hak daerah atas segala tindakan
kemandiriannya di hadapan pemerintah pusat, jumlah dan macam urusan yang diserahkan
kepada daerah untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, kewenangan
melakukan pungutan atas sumbersumber keuangan daerah lain dan keleluasaan untuk
membelanjakannya, macam, tingkat dan intensitas campur tangan pemerintah pusat dalam
bentuk pengawasan atas jalannya pemerintah daerah, dapat dijadikan indikator.
Indikator-indikator tersebut setidaknya dapat dijadikan tolok ukur untuk melihat betapa
kuatnya pengaruh kondisi lingkungan terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Gambarannya,
dapat dipelajari dari sejarh panjang Bangsa Indonesia, yang merdeka lebih dari setengah abad,
belum mampu “tinggal landas” sebagaimana direncanakan, malahan “ketinggalan di landasan”
dengan semakin terpuruknya kondisi perekonomian negara.
Bisa jadi karena dominasi faktor politik pemerintah yang lebih cenderungmembentuk
tirani, sehingga kedewasaan bangsa terhambat oleh belenggubelenggu kebodohan. Atau mungkin
karena ketidakmampuan aparatur pemerintah dalam menjalankan roda manajemen
pembangunan, juga karena kebodohannya sendiri. Berkenaan dengan hal ini, penulis
berkeyakinan bahwa, faktor pemicunya ialah pada karakteristik kemampuan aparatur pemerintah
sebagai pengendali roda pemerintahan. Tidak jadi soal, apakah sentralisasi atau desentralisasi,
dekonsentrasi atau devolusi. Sepanjang aparatur pemerintah memahami dan mampu
melaksanakan roda pemerintahan yang sesuai dengan amanat, aspirasi, kebutuhan, dan harapan
masyarakatnya. Jiwa demokratisasi, memberdayakan, dan melayani masyarakat bukan hanya
sekedar jargon-jargon alat politik.
Ada satu hal dalam UU.No.5 Tahun 1974 yang konstruktif dalam pelaksanaan otonomi
daerah yaitu Pasal 79 UU.No.5 Tahun 1974 ditegaskan bahwa kepala daerah karena jabatannya
adalah kepala wilayah. Pasal ini merupakan dasar hukum yang mendudukan keberadaan kepala
daerah, sedangkan pasal 80 merupakan dasar hukum terhadap kedudukan kepala wilayah sebagai
akibat keberadaan kepala daerah sebagaimana termaksud dalam pasal 79.
Soal 2
Setelah diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999, aksi dari berbagai pihak sangat beragam,
sebagai akibat dari perbedaan interpretasi istilah otonomi. Terdapat kelompok yang menafsirkan
otonomi sebagai kemerdekaan atau kebebasan dalam segala urusan yang sekaligus menjadi hak
daerah. Mereka yang mempunyai persepsi ini biasanya mencurigai intervensi pemerintah pusat,
otonomi daerah dianggap sebagai kemerdekaan daerah dari belenggu Pemerintah Pusat.
Ada juga kelompok yang menafsirkan otonomi daerah sebagai suatu mekanisme
empowerment (pemberdayaan). Menurut kelompok ini menafsirkan otonomi harus lebih
mengakomodasikan berbagai kepentingan lokal dan lembaga lokal dan untuk itu diperlukan
otoritas. Jadi, diambil kesepakatan khusus dalam pembagian tugas/urusan yang ditangani oleh
Pemerintah Pusat dan ditangani oleh Daerah (lokal).
Variasi interpretasi konsep otonomi tersebut karena adanya perbedaan referensi teoretis.
Secara teoretis istilah autonomy memiliki banyak arti yang kemudian menimbulkan berbagai
interpretasi.
Mary Parker Follet pada tahun 1920-an mengidentifikasi otonomi dengan Independence
dari suatu institusi (lihat Limerick Cunnington 1993, P. Selzerick 1957, Terry 1995). Otonomi
yang dimaksudkan adalah kekuasaan yang relatif cukup untuk memungkinkan birokrasi publik
bekerja sesuai dengan identitasnya atau kebebasan yang masih terbatas dan tidak
diinterpretasikan “bebas dan merdeka”. Selanick 1992, melihat otonomi sebagai salah satu
strategi untuk menjaga integritas suatu lembaga di mana nilai-nilai dan potensi dari lembaga
tersebut dilindungi. Karena itu otonomi daerah secara tidak langsung menyandang pengakuan
terhadap eksistensi dan kekuasaan elit-elit lokal.
Otonomi diinterpretasikan juga oleh Holdaway, Newberry, Hickson dan Heron, sebagai
jumlah otoritas pengambilan keputusan yang dimiliki oleh suatu organisasi (lihat Price and
Mueller, 1980: 40). Semakin banyak tingkat otoritas yang dimiliki dalam pengambilan keputusan
maka semakin tinggi tingkat otonominya. Otonomi juga diinterpretasikan sebagai The Degree To
Which and Organization Has Power With Respects to Its Environment (lihat Price and Mueller,
1986: 40). Dalam hal ini, dibedakan antara organisasi pemerintah dan business. Power di sini
diinterpretasikan sebagai “pengaruh” atau “kontrol”. Dalam konteks ini otonomi daerah
diinterpretasikan sebagai sampai berapa jauh suatu pemerintah daerah mengontrol kepada
kegiatan pemenuhan kepentingan masyarakat lokal terlepas dari pengaruh lingkungannya.
Soal 3
Solusi yang dapat dilakukan dalam mengatasi hambatan pelaksanaan otonomi daerah yaitu:
Adanya sosialiasai bagi masyarakat daerah mengenai pelaksanaan otonomi daerah yang
dilakukan pemerintah pusat maupun pemerintahan daerah
Peningkatakan kualitas SDM daerah
Mengurangi sistem desentaralisasi pemerintah pusat
Pemerataan kebijakan dan pengelolan potensi SDA maupunSDM keseluruh dasrah di
Indonesia
Mengulangi pemfokusan ekonomi pada pusat pemerintahan
Meningkatkan pelayanan masyarakat baik dilakukan oleh pemerintah daerah maupun
pemerintah pusat
Pemerataan ekonomi dan pelayanan bagi seluruh daerah di Indonesia
Memberikan kebijakan sebebasnya oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
dalam mengelola dan melaksanakan otonomi daerah.
Mengurangi ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat
Penjelasan:
Kebebasan
Memberikan kebebasan bagi pemerintah pusat maupun mayarakat dalam
mengambil dan melaksanankan setiap kebijakan dalam rangka memecahakan masalah
yang sedang dihadapi bersama
Partisipasi
Meningkatkan partisipasi dan keaktifan masyarakat dalam pelaksanaan demokrasi yang
dilakukan oleh Indonesia
efektivitas dan efesiensi
Memalui perpanjagan wewenang kekuasan, pemerintah daerah dapat mengefektifkan dan
mengefesiensi setiap kebijakan dan peraturan agar tepat sasaran dan merata bagi selurih
masyarakat.
Soal 4
Menurut Effendi (2005) tata kelola pemerintahan yang baik atau good goovernance telah
diterjemahkan menjadi penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo),
pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab atau LAN, tata pemerintahan yang
baik atau UNDP, serta ada juga yang mengartikan good governance sebagai pemerintahan yang
bersih. Namun bukanlah sesuatu yang mudah untuk mewujudkan good governance yang bersih,
dibutuhkan komitmen yang kuat dari para pelaku yang terlibat dan pemangku kepentingan,
seperti pemerintah, masyarakat maupun swasta.
Mahasiswa merupakan kelompok kaum intelektual muda yang nantinya akan menjadi
generasi penerus bangsa, sehingga mahasiswa memiliki peranan yang sangat penting untuk
mewujudkan good governance di lingkungan masyarakat. Mahasiswa juga memiliki kewajiban
untuk memberikan upaya terbaik mereka di sela-sela waktu perkuliahan demi mewujudkan
perubahan yang baik di lingkungan masyarakat sekitarnya. Tiga peranan penting yang harus
dilakukan mahasiswa terhadap masyarakat untuk mewujudkan good governance, diantaranya
yaitu Agent of Change, Agent of Control, dan Iron Stock.
Sebagai Agent of Change mahasiswa tidak boleh hanya diam saja melihat kondisi
lingkungan sekitarnya, namun mahasiswa dituntut dapat melakukan suatu perubahan dan
merubah kondisi lingkungan sekitarnya menuju kearah yang lebih baik. Mahasiswa harus bisa
bertindak sebagai katalis atau bisa disebut sebagai pemicu terjadinya sebuah perubahan yang
nantinya akan berdampak positif serta memperjuangkan perubahan-perubahan yang mengarah
pada perbaikan di dalam kehidupan masyarakat.
Mahasiswa juga sangat berperan penting untuk mewujudkan good governance dalam
sistem pemerintahan sebagai kontrol terhadap kebijakan yang telah dibuat atau Agent of Control.
Seperti mengkritisi dan mengamati keadaan yang sedang terjadi di lingkungan masyarakat
sekitarnya, baik di lingkungan kampus maupun di lingkungan masyarakat luas. Sebagai Agent of
Control, mahasiswa diharuskan untuk terlibat sebagai pelaku di dalam lingkungan masyarakat
agar dapat menjadi panutan dalam masyarakat, bukannya hanya sebagai pengamat yang hanya
bisa duduk manis.
Sebagai aset atau cadangan masa depan suatu negara (Iron Stock), mahasiswa juga
diharapkan dapat menjadi generasi yang tangguh, memiliki jiwa kepemimpinan serta memiliki
moralitas yang baik sehingga dapat menggantikan kepemimpinan generasi yang sebelumnya
sudah pernah memimpin.
Maka dari itu untuk mewujudkan ketiga peranan penting tersebut mahasiswa diharuskan
untuk peduli dan melek dengan keadaan di lingkungan sekitarnya, sehingga mahasiswa akan
menyadari semua permasalahan-permasalahan yang sedang terjadi di tengah masyarakat.
Karena, yang akan layak dan akan mampu mengusung perubahan bangsa ini di kemudian hari
hanyalah para mahasiswa yang sadar dan peduli dengan keadaan yang terjadi di lingkungan
sekitarnya.