Anda di halaman 1dari 102

Tugas Hukum Hak Asasi Manusia

Intervensi Amerika Serikat Terhadap Kasus


Pelanggaran HAM di Tibet

(Dosen Pembimbing Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H.,M.H)

oleh :
AHMAD FAUZI
1906408970
No Absen: 13

Kelas Hukum Kenegaraan Pagi

Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
2020
2

Kata Pengantar

Alhamdulillah, segala puji syukur hanya untuk Allah SWT. yang tiada henti
memberikan nikmat kepada penulis berupa nikmat iman, kesehatan, rezeki dan
kenikmatan yang tak terhingga sehingga pada saat yang berbahagia ini penulis dapat
menyelesaikan penulisan tugas mata kuliah politik hukum yakni makalah Besar yang
berjudul “Intervensi Amerika Serikat terhadap Kasus Pelanggaran HAM di Tibet ”.
Adapun penulisan tugas ini disusun dan diajukan penulis sebagai salah satu
syarat untuk mencapai menyelesaikan mata kuliah hukum hak asasi manusia yang
dibimbing oleh bapak Prof. Dr. Satya Arinanto., S.H., M.H. Tema khusus yang diangkat
pada tugas ini adalah mengenai intervensi Amerika Serikat terhadap Kasus
Pelanggaran HAM di Tibet di mana kasus ini melibatkan Amerika Serikat, China dan
Tibet yang memiliki permasalahan pelanggaran HAM di wilayah Tibet.
Pada kesempatan ini, penulis dengan segala kerendahan hati menyampaikan
ucapan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu terutama kepada
dosen pembimbing bapak Prof. Dr. Satya Arinanto., S.H., M.H yang mana tugas ini
telah memberikan pemahaman-pemahaman baru bagi saya dalam memahami
mengenai hubungan Internasional dalam hal penyelesaian pelanggaran HAM
khususnya intervensi yang dilakukan Amerika Serikat terhadap kasus pelanggaran
HAM di Tibet.
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa tugas ini masih memerlukan saran dan
kritik yang membangun demi suatu perbaikan di kemudian hari. Akhir kata, semoga
tugas ini layak untuk mendapatkan penilaian dan dapat berguna baik bagi kita semua.

Jakarta, 23 April 2020

Hormat Penulis,
3

AHMAD FAUZI

Daftar Isi

BAB I.....................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................3
A. Latar Belakang....................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah................................................................................................................10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...............................................................................10
D. Kerangka Teori..................................................................................................................11
E. Metode Penelitian...........................................................................................................22
BAB II HUBUNGAN AMERIKA SERIKAT DAN CHINA SERTA PELANGGARAN HAK ASASI
MANUSIA DI TIBET.........................................................................................................................26
A. Hubungan Amerika Serikat – China........................................................................26
B. Hubungan Amerika Serikat-Tibet............................................................................48
BAB III..............................................................................................................................................53
Kebijakan Amerika Serikat terhadap Pelanggaran HAM di Tibet....................53
A. Usaha Pembentukan Konsulat AS di Tibet..........................................................55
B. Bantuan Amerika Serikat Untuk Tibet................................................................56
C. Amerika Serikat Sebagai Fasilitator Dialog Antara Dalai Lama
XIV dan Pemerintah China...............................................................................................59
D. Respon China Terhadap Intervensi AS di Tibet............................................61
BAB IV.................................................................................................................................................64
Faktor- Faktor dilakukannya Intervensi oleh Amerika Serikat.............64
A. Faktor Domestik................................................................................................................64
B. Faktor Eksternal.............................................................................................................69
BAB V...................................................................................................................................................83
PENUTUP..............................................................................................................................................83
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................85
4

BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak individu yang

paling fundamental yang mencakup hak-hak atas hidup dalam

bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, dan budaya. Hak

tersebut merupakan kebutuhan mendasar yang harus dimiliki

setiap individu dan kelompok masyarakat tanpa membedakan

suku, agama, jenis kelamin, dan sebagainya.1 Hal tersebut

tertuang dalam Pasal 2 Universal Declaration of Human Right

(UDHR) yang berbunyi:

“Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-


kebebasan yang tercantum di dalam deklarasi ini
dengan tidak ada pengecualian apa pun, seperti
pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, politik atau pandangan lain, asal-usul
kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik,
kelahiran ataupun kedudukan lain. Selanjutnya,
tidak akan diadakan pembedaan atas dasar kedudukan
politik, hukum atau kedudukan internasional dari
negara atau daerah dari mana seseorang berasal,
baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk
wilyah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada
di bawah batasan kedaulatan yang lain”

Saat ini, tidak ada satupun aspek kehidupan yang kita

jalankan, bisa keluar dari HAM. Maka pembahasan utama saat

1
HM. Suaib Didu, Hak Asasi Manusia : Perspektif Hukum Islam Hukum
Internasional, (Bandung: Iris, 2008), hlm. 17.
5

ini adalah permasalahan HAM.2 Masalah perlindungan

internasional HAM ini sudah diatur secara baik dalam hukum

internasional HAM yang secara khusus mengatur mengenai

perlindungan individu dan kelompok dari potensi pelanggaran

HAM bisa dilakukan oleh berbagai pihak.3

Pelanggaran terhadap HAM masih sering terjadi seperti

dalam bentuk pengekangan kebebasan atas hak-hak yang

dimiliki seseorang, pendiskriminasian suatu etnis sampai

pada pemusnahan suatu kelompok tertentu masih saja terjadi.

Pelanggaran-pelanggaran tersebut masih ada dan terjadi di

tengah-tengah masyarakat internasional yang menjunjung

tinggi persamaan dan martabat kehidupan manusia.

Perkembangan teknologi dalam era globalisasi telah

membawa inovasi dalam hal penyebaran informasi sehingga saat

ini tidak ada lagi Negara yang bisa menyembunyikan kasus-

kasus pelanggaran HAM karena informasi dengan cepat dapat

tersebar ke publik internasional. Politik dunia masa kini

juga memberikan ruang bagi pemerintahan Negara-negara maju

di dunia untuk menekan Negara-negara yang melakukan

pelanggaran HAM terhadap warga negaranya. Semakin besar

ketergantungan suatu Negara dengan dunia Internasional, maka

2
Hamid Awaludin, HAM: Politik, Hukum, & Kemunafikan Internasional,
(Jakarta: Kompas, 2012,) hlm. 13.
3
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam
Era Dinamika Global, edisi ke-2, (Bandung: Alumni, 2005), hlm. 672.
6

makin besar juga tuntutan bagi Negara tersebut untuk

mengembangkan citra positif pada ranah HAM.4

Dalam hal perlindungan dan promosi HAM, negara-

negara Barat telah memiliki tradisi perlindungan dan

promosi yang sudah mengakar. Negara-negara Barat

memiliki kodifikasi HAM dan mekanisme perlindungan HAM

yang paling kuat di antara negara lain. Salah satu

negara yang telah lama memiliki perlindungan terhadap

HAM, yakni Amerika Serikat.5 Pada awal kemerdekaannya di

tahun 1776, Konstitusi Amerika Serikat memberikan

jaminan, bahwa tata pemerintahan yang akan dibentuk

tidak akan melanggar hak-hak individu tiap warga negara

AS.6

Promosi HAM pun menjadi tujuan kebijakan luar negeri

AS. Hal ini disebabkan dalam pandangannya, HAM dapat

mencegah agresi dan membantu mengamankan perdamaian .7

Melindungi HAM di seluruh dunia merupakan sentral dari

politik luar negeri AS. Dalam mewujudkan komitmen

perlindungan atas HAM ini, AS menggunakan banyak cara

seperti diplomasi bilateral, keterikatan multilateral,

4
Jack Donelly, Universal Human Rights in Theory and Practice,
( NewYork: Cornell University Press, 1989), hlm. 575
5
Aleksius Jemadu, Politik Global dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2008), hlm. 288.
6
Ibid, hlm. 289.
7
Human Rights U.S Departement of State, diunduh dari http://www.S
tate.gov/j/drl/ hr/index.htm, diakses pada 10 April 2020, pukul 20.15.
7

bantuan luar negeri, laporan dan target pencapaian

oleh masyarakat, dan sanksi ekonomi

Pembentukan Badan Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan

Perburuhan merupakan komitmen AS secara global terhadap

isu-isu tersebut. Badan ini dibentuk pada tahun 1993

dan masih dipertahankan hingga saat ini .8 Pembentukan

badan ini juga merupakan instrumen pemerintahan yang

fokus terhadap HAM.

Sebagai perwujudan dari tujuan kebijakan luar negeri

tersebut dan dedikasi terhadap HAM dan demokrasi, AS

merasa perlu untuk melakukan intervensi ketika

pemimpin AS tidak mendukung negara yang melakukan

tindakan represif terhadap warga negaranya. 9 Permasalahan

HAM di Tibet juga merupakan sebuah perhatian bagi AS.

Ketertarikan AS terhadap persoalan Tibet semakin besar

pada tahun 1980-an. Sejak hubungan antara China dan AS

membaik kembali pada tahun 1971, AS menghentikan bantuan

keuangan untuk Dalai Lama ke-14, pemimpin spiritual

Tibet .10

Kebijakan resmi AS terhadap isu Tibet sebagai bagian

8
Bureau of Democracy, Human Rights and Labor, diunduh dari
http://www.stat e . gov/j/drl/index. htm, diakses pada 10 April 2020 pukul
20.20.
9
Michael Parenti, Rulers of the Planet: Why US Leaders Intervene
Everywhere, (Jurnal Global Dialogue: Vol.5, No.1, 2003), hlm. 93.
10
Qi Zhou, Conflicts over Human Rights between China and the US,
(Jurnal Human Rights Quarterly: Vol.27, No.1, 2005), hlm. 21.
8

dari jejak HAM China dengan dasar pemikiran bahwa Tibet

merupakan bagian dari teritorial China. AS menyalahkan

pemerintah China akan sikap intoleransi agama,

memusnahkan warisan budaya Tibet, migrasi secara masif

warga Han ke Tibet, membatasi jumlah populasi Tibet, dan

menekan hak kebebasan warga Tibet untuk berpendapat dan

berserikat.11

Pada kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Tibet,

AS melibatkan diri dalam upaya menghentikan agresivitas

China terhadap Tibet. AS memberikan perhatian yang besar

terhadap kondisi masyarakat Tibet. Pelanggaran HAM yang

terjadi di wilayah ini telah dibahas dalam Kongres

Amerika Serikat.12

Pelanggaran terhadap HAM masyarakat Tibet terjadi di

berbagai bidang, seperti penindasan di bidang agama,

perpindahan penduduk, menolak hak bereproduksi,

diskriminasi terhadap buruh, pendidikan dan perumahan,

pemusnahan lingkungan, menolak kebebasan

berekspresi/berpendapat, dan penyiksaan.13

Upaya Amerika Serikat dalam menghentikan sikap

11
Ibid, hlm. 85.
12
Kerry Dumbaugh, Tibet: Prospect, Policy, and U.S. Policy,
(Congressional Research Service Report, 2008), hlm. 10.
13
International Commission of Jurist, Tibet: Human Rights and the
Rule of Law, ( Laporan untuk International Comission of Jurist oleh Komite
Penyelidik di Tibet: International Commission of Jurist, Geneva, 1997), hlm.
60.
9

represi China kepada masyarakat Tibet telah dimulai

pada tahun 1949 ketika Presiden Truman membalas

nota yang dikirimkan oleh Dalai Lama ke-14.14Presiden

Truman merespon nota tersebut dengan pernyataan

kenegaraan melalui Kedutaan Besar AS di New Delhi,

India. Pada saat itu AS tidak secara langsung membalas

nota Dalai Lama dengan pertimbangan munculnya anggapan

mengakui kemerdekaan Tibet.15 Selain kekhawatiran

tersebut, pertimbangan lainnya adalah peningkatan

agresivitas China terhadap masyarakat Tibet.

Konflik China-Tibet inipun menjadi perhatian dunia.

Isu Tibet diangkat dalam forum PBB dengan inisiasi

dari Amerika Serikat. Majelis Umum PBB mengeluarkan

resolusi atas klaim self-determination Tibet pada tahun

1965.16 AS menjadi promotor resolusi Dewan HAM PBB yang

mengkritisi catatan HAM di China pada tahun 2004.17

Namun, usaha ini gagal untuk melahirkan resolusi

tersebut. Sebagai konsekuensinya, China menghentikan

dialog bilateral mengenai HAM yang juga akan diadakan

pada tahun yang sama. Di samping itu, AS sebagai

14
Melvyn C Goldstein, The Snow Lion and the Dragon: China, Tibet, and
the Dalai Lama, (Berkeley, USA: University of California Press, 1997), hlm.10.
15
Ibid, hlm. 14.
16
Ibid, hlm. 57.
17
China-US Human Rights Dialogue in 2008, Sino-U.S Relations: Facts &
Figure, diunduh dari http://www. china.org.cn/world/china_us_facts_2011/2011
07/21/content_23039908.htm, diakses pada 11 April 2020, pukul 21.20
10

polisi dunia dalam bidang HAM menuntut komitmen China

untuk menerapkan kepada masyarakat Tibet. Atas tuntutan

itu salah satu kovenan HAM internasional yang telah

diratifikasi oleh China, yaitu International Covenant

on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR).

ICESCR ditandatangani dan diratifikasi pada 28 Februari

2001.18

Selain mendorong China untuk menghentikan

tindakan-tindakan atau kebijakan-kebijakan yang

dianggap sebagai pelanggaran HAM di Tibet, AS

melakukan pertemuan-pertemuan antara presiden-presiden

AS dengan pemimpin spiritual Tibet, Dalai Lama ke-14

sejak tahun 199.19 Kemudian pada tahun 2010 Dalai Lama

bertemu dengan Presiden Obama di gedung putih

menunjukkan, bahwa perhatian AS terhadap Tibet masih

sangat besar.

Pada masa pemerintahan Obama, respon-respon

terhadap catatan HAM yang dilakukan oleh China

ditanggapi dengan sangat hati-hati. Respon yang

diberikan hanya sebatas pernyataan kenegaraan yang

18
“International Covenant on Civil an Political Rights:
Status of Treaties”, diunduh dari
https://treaties.un.org/Pages/ViewDetapter=4&lang=en, diakses pada tanggal 11
April 2020, pukul 20.30.
19
BBC, “China Anger at Dalai Lama-Obama Meeting”, BBC News, diunduh
dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/8523319.stm, diakses pada 11 April 2020,
pukul 20.38.
11

berisikan keprihatinan atas pelanggaran HAM yang

dilakukan oleh China di Tibet .20 Selain itu, AS juga

turut mendorong diadakannya dialog antara pemerintah

China dengan Dalai Lama ke-14 sebagai pemimpin

spiritual Tibet berdasarkan The Tibetan Policy Act yang

dikeluarkan pada tahun 2002.21

Presiden Bush juga memiliki kebijakan

dalam kaitannya dengan permasalahan Tibet. Kebijakan

tersebut berupa seruan untuk mengadakan dialog terbuka

antara China dan Tibet dalam kaitan mengenai

otonomi Tibet. Menurut Laporan Negosiasi Tibet 2008, AS

mendorong China dan Dalai Lama untuk mengadakan diskusi

langsung dan substantif yang ditujukan untuk resolusi

tanpa prasyarat.22 Dengan demikian, dua pihak tersebut

dapat menyelesaikan perbedaan mereka. Amerika Serikat

mengakui Daerah Otonomi Tibet dan prefektur otonom

Tibet untuk menjadi bagian dari Republik Rakyat

China.23 Kebijakan ini sudah lama diterapkan

secar konsisten.

20
“Obama Administration Statementson Tibet”, diunduh dari http :/ /ww
w.save tibet.org/policy-center/us-government-and-legislative-advocacy/obama-
administration-statements-on-tibet/ , pada tanggal 12 April 2020, pukul
12.30.
21
Thomas Lum dan Hannah Fischer, Human Rights in China: Trends and
Policy Implications, (United States of America: CRS Report, 2009), hlm.15.
22
Thomas Lum, U.S Assistance Programs in China, (United States: CRS
Report, 2013), hlm. 11.
23
Ibid, hlm. 15.
12

Penelitian ini dibatasi pada pemerintahan Obama

periode pertama, yaitu pada tahun 2009-2012. Pembatasan

ini dipilih karena pada tahun 2009 pemerintah AS

meminta China mengisukan dibukanya kantor konsulat AS di

Lhasa, ibukota Tibet. Hal tersebut bertujuan untuk

memudahkan pengawasan terhadap penerapan HAM di

wilayah Tibet. Sedangkan pada tahun 2012 dipilih

karena pemerintah China baru merespon permintaan

tersebut dengan meminta hal yang sama, pembukaan

konsulat China di Boston, Atlanta, dan Honolulu.

Selain itu, pada periode ini Presiden Barack

Obama memiliki kebijakan untuk merangkul China dalam

menyelesaikan persoalan global dan menghindari isu- isu

yang memberi tensi pada hubungan AS-China, termasuk

permasalahan Tibet. Akan tetapi, masyarakat AS

mendorong pemerintah untuk memiliki sikap tehadap

pelanggaran HAM yang terjadi di Tibet, dibandingkan

dengan menjaga hubungan baik dengan China.24 Oleh

karena itu, strategi yang diterapkan terhadap

kasus pelanggaran HAM di Tibet akan memengaruhi

kebijakan yang akan diambil dan pertimbangan

24
CNN, Poll: Most Americans Say Tibet Should be Independent, CNN
International, diunduh dari
http://edition.cnn.com/2010/WORLD/asiapcf/02/18/tibet.poll/index.html, diakses
pada 12 April 2020, pukul 22.07.
13

kepentingan nasional Amerika Serikat. Atas dasar inilah

diangkat penelitian berjudul “Intervensi Amerika Serikat

terhadap Kasus Pelanggaran HAM di Tibet”

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas dirumuskan

dua permaslahan terkait penulisan ini yaitu:

1. Bagaimanakah kasus pelanggaran HAM yang terjadi di

Tibet?

2. Bagaimana Amerika Serikat merespon kasus

pelanggaran HAM yang terjadi di Tibet?

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah diatas maka adapun

tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk menjelaskan dan menggambarkan pelanggaran-

pelanggaran HAM yang terjadi di Tibet;

b. Untuk menjelaskan dan menggambarkan bagaimana

respon yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam

upaya menegakkan HAM di wilayah Tibet.

2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang ingin dicapai dari dilakukannya

penelitian ini ialah sebagai berikut :


14

a. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan sumbangsih terhadap ilmu pengetahuan

serta pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum pada

umumnya dan hukum Hak Asasi Manusia pada khususnya

menambah referensi terkait intervensi Amerika

Serikat pada pelanggaran HAM di Tibet.

b. Secara Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan

dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan

terhadap penegak hukum dan masyarakat dalam

pelaksanaan perlindungan Hak Asasi Manusia di

Indonesia dan bahkan dunia internasional.

D.Kerangka Teori

1. Teori Kepentingan Nasional


Menurut Thomas W. Robinson kepentingan nasional

merupakan sesuatu yang ingin dilindungi dan

diperjuangkan oleh suatu bangsa yang berdaulat dalam

interaksinya dengan lingkungan eksternalnya.25

Kepentingan nasional merupakan tujuan-tujuan yang

hendak dicapai oleh bangsa yang berdaulat ketika

mereka berinteraksi dengan lingkungan eksternalnya.

25
David V Edward, The American Experince: An introduction American
Political Experience, Third edition, (Englewood Cliffs: Prentice Hall Inc,
1982), hlm. 507.
15

Kepentingan nasional dibagi menjadi enam

kelompok menurut Thomas W. Robinson, yaitu,

Kepentingan primer, yaitu meliputi perlindungan

atas identitas politik, fisik dan budaya suatu bangsa

terhadap ancaman dari luar. Kepentingan primer ini

tidak dikompromikan atau ditukar dengan apapun.26

Semua negara mempunyai satu kepentingan yang

serupa dan sering dipertahankan dengan

pengorbanan yang lebih besar. Kepentingan

sekunder, yaitu kepentingan yang berada di luar

kepentingan primer, tetapi cukup memberikan kontribusi

yang penting, misalnya perlindungan warga negara yang

berada diluar negeri. Kepentingan permanen,

kepentingan yang relatif konstan untuk jangka waktu

yang cukup panjang.

Kepentingan ini dapat berubah menurut waktu,

tetapi dengan sangat lamban; Kepentingan variabel

yaitu kepentingan yang dipilih suatu negara pada

masa tertentu sebagai kepentingan nasionalnya, atau

kepentingan ini dipilih berdasarkan kebutuhan;

Kepentingan umum yaitu kepentingan yang dapat

diterapkan suatu bangsa secara positif atau suatu

area geografis yang luas atau sejumlah besar bangsa,

26
Ibid, hlm. 508.
16

atau atas sejumlah bidang yang spesifik seperti

ekonomi, perdagangan, campur tangan diplomatik dan

hukum internasional; dan Kepentingan khusus yaitu

kepentingan–kepentingan positif yang tidak termasuk

kepentigan umum, namun biasanya lebih berkaitan

dengan satu daerah tertentu.

Sebagai sebuah negara berdaulat dalam sistem

internasional, masing- masing negara memiliki

kepentingan. Dalam sistem internasional yang anarki

masing-masing negara berkeinginan untuk mengejar

maupun mempertahankan kekuasaan dalam lingkungan

internasional. Kepentingan-kepentingan untuk

mempertahankan kekuasaan dalam lingkungan politik

internasional akan terlihat pada kasus ini, AS

terlibat jauh dalam urusan domestik China dalam

bidang HAM khususnya di Tibet. Hal ini karena

kepentingan primer, suatu kondisi yang diperlukan

untuk menjaga dan meningkatkan kesejahteraan warga

AS. Kepentingan primer AS adalah memastikan

keberlangsungan dan stabilitas sistem global seperti,

perdagangan, pasar, keuangan, pasokan energi, dan

lingkungan.27

27
America’s National Interests, “A Report from the Comission on
America‟s National
Interest”, 2000, hlm. 51.
17

2. Teori Kebijakan Luar Negeri

Menurut K.J. Holsti kebijakan luar negeri merupakan

serangkaian interaksi suatu negara dengan negara lain

di bidang politik, ekonomi, sosial, dan militer. Untuk

itu aktor-aktor negara melakukan berbagai macam

kerjasama yang bersifat bilateral, trilateral, regional,

dan multilateral. Biasanya kebijakan luar negeri ini

dapat dilakukan dengan berbagai cara, namun terdapat tiga

hal yang paling umum, yakni melalui perang, perdamaian,


28
dan kerjasama ekonomi.

Terdapat beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi

kebijakan suatu Negara yaitu:

(1) Proses kebijakan luar negeri suatu Negara;

(2) Struktur ekonomi internasional;

(3) T anggapan aktor atau negara lain mengenai

kebijakan yang dirumuskan oleh suatu Negara;

(4) Masalah regional yang disebabkan oleh

private activities;

(5) Hukum Internasional dan opini publik atau

dunia. Manfaat penggambaran kondisi lingkungan

28
K.J. Holsti, International Politics A Framework for Analys, (New
Jersey: A Simon & Schuster Company, 1982), hlm. 270.
18

eksternal tersebut, yaitu agar dapat memberikan

latar belakang munculnya peristiwa-peristiwa

dalam politik global, serta dapat membantu

analisis faktor-faktor yang menghambat dan

mendukung dalam interaksi antar negara.

Selain itu, terdapat juga beberapa faktor internal

antara lain mencakup :

(1) Kebutuhan keamanan dan kondisi sosial

ekonomi suatu Negara;

(2) Karakteristik geografis dan topografis

wilayah;

(3) Atribut-atribut nasional seperti jumlah

populasi dan luas wilayah, sistem ekonomi,

prestasi negara, tingkat pertumbuhan dan

pembangunan ekonomi;

(4) Struktur pemerintahan dan ideologi yang

dianut atau filosofi Negara;

(5) Isu yang berkembang di dalam Negara;

(6) Birokrasi;

(7) Pertimbangan etik.

Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat diambil

kesimpulan bahwa kebijakan luar negeri dipengaruhi

oleh faktor internal suatu negara seperti faktor


19

ekonomi, faktor politik dalam negeri, faktor sosial,

peranan LSM, kelompok kepentingan, dan lain-lain.

Faktor eksternal seperti struktur sistem

internasional, reaksi negara lain terhadap kebijakan

yang diterapkan memengaruhi pembuatan kebijakan luar

negeri. Kombinasi dari faktor internal dan eksternal

akan membentuk sebuah kebijakan yang sesuai dengan

keinginan nasional masing- masing negara.

Dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri

Amerika Serikat, dipengaruhi oleh kedua faktor

tersebut. Faktor eksternal dipengaruhi dari struktur

sistem internasional yang didominasi oleh satu negara,

dua negara, atau banyak negara. Saat ini, situasi

struktur sistem internasional tidak hanya didominasi

oleh satu negara saja, dalam hal ini China juga

mendominasi sistem internasional, mempengaruhi

kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Faktor internal

dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri Amerika

Serikat, diantaranya dipengaruhi oleh kerangka

konstitusi Amerika Serikat, media massa, LSM, dan

kelompok lobi.

Politik luar negeri suatu negara dipastikan

mengarah pada promosi kepentingan nasional, termasuk


20

juga Amerika Serikat. Tindakan-tindakan Amerika Serikat

ini tercermin dari serangkaian kebijakan luar negeri

Amerika Serikat terkait kompetisi ekonomi, memperkuat

pertahanan, mewujudkan perdamaian, kebebasan dan

upaya perluasan ideologi demokrasi.29 Beberapa aktor

yang memegang peranan penting dalam kebijakan luar

negeri Amerika Serikat yaitu:

(1) Presiden yang berperan sebagai penyelenggara

politik luar negeri melalui departemen luar

negeri dan menunjuk dan memberhentikan duta

besar;

(2) Kongres berperan dalam menunjuk duta besar

dan menyetujui ataupun meratifikasi pembuatan

kebijakan yang dibuat oleh presiden;

(3) Senat berperan dalam mengeluarkan resolusi atau

menolaknya;

(4) Departemen berperan dalam penyelenggaraan

secara administratif politik luar negeri

Amerika Serikat.30

3. Hak Asasi Manusia


HAM menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

adalah hak yang melekat pada semua manusia,

29
Albertine Minderu, Pragmatisme Sikap Hidup dan Prinsip Politik Luar
Negeri Amerika, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hlm. 10.
30
Ibid, hlm. 11
21

apapun kebangsaan kita, tempat tinggal, jenis

kelamin, asal-usul kebangsaan atau etnis, warna kulit,

agama, bahasa, atau status lainnya. Hak-hak ini saling

bergantung, saling terkait dan tak terpisahkan. HAM

secara universal dinyatakan dan dijamin oleh hukum,

dalam bentuk perjanjian, hukum kebiasaan

internasional, prinsip-prinsip umum dan sumber-sumber

hukum internasional. HAM dalam hukum internasional

meletakkan kewajiban pemerintah untuk bertindak

dengan cara tertentu atau untuk menahan diri dari

tindakan tertentu, dalam rangka untuk melindungi HAM

sebagai kebebasan dasar individu atau kelompok.

Universal Declaration of Human Rights

menjelaskan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial,

dan kebudayaan yang harus dinikmati manusia di setiap

negara. Pengakuan HAM secara universal membenarkan

pembebasan bangsa- bangsa yang tertindas. Menurut

Pasal 1 Piagam PBB, salah satu tujuan PBB adalah

untuk mencapai kerjasama internasional dalam

mewujudkan dan mendorong penghargaan atas HAM dan

kemerdekaan yang mendasar bagi semua orang, tanpa

membedakan suku, bangsa, kelamin, bahasa maupun agama.

Pada 10 Desember 1948, Komisi HAM tersebut


22

secara resmi diterima PBB. Pada awalnya, deklarasi

ini hanya mengikat secara formal dan etis seluruh

anggota PBB. Namun, pada tahun 1957 dibuat lagi tiga

bentuk perjanjian, yaitu :

a. International Covenant on Economic,

Social, and Cultural Rights (ICESCR);

b. International Covenant on Civil and Political

Rights (ICCPR) Optional Protocol to the

International Covenant on Civil and Political

Rights (OPICCPR).

Isi pokok dari International Covenant on Civil

and Political Rights (ICCPR) adalah semua orang

mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri.

Atas kekuatan hak tersebut mereka bebas dalam

menentukan status politik, pendidikan dan penerangan

pelatihan. John Locke, Montesquieu, dan Rousseau

mengemukakan macam-macam HAM, yaitu :

a. Kemerdekaan atas diri sendiri;

b. Kemerdekaan beragama;

c. Kemerdekaan berkumpul dan berserikat;

d. Hak kemerdekaan pikiran dan pers.

4. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Amerika Serikat

Amerika Serikat memandang HAM tidak hanya


23

bertujuan untuk menjamin hak warga negara tetapi juga

menunjukkan kewajiban moral untuk mendukung

penyebaran HAM. Kewajiban untuk menyebarkan nilai-

nilai HAM oleh Amerika Serikat berakar dari pemikiran

Presiden Woodrow Wilson dan diperkuat dengan adanya

tekanan dari Kongres Amerika Serikat, berbagai

kelompok kepentingan, dan warga Amerika Serikat.31

Hal tersebut menjadikan kebijakan luar negeri

Amerika Serikat bertumpu pada prinsip-prinsip HAM

dan menyebarkan nilai-nilai Amerika dalam

kebijakan luar negerinya. Dalam laman resminya,

U.S. Department of State menyatakan, bahwa maksud

dari kebijakan HAM AS adalah:

The protection of fundamental human rights was a


foundation stone in the establishment of the United
States over 200 years ago. Since then, a central
goal of U.S. foreign policy has been the promotion
of respect for human rights, as embodied in
the Universal Declaration of Human Rights. The
United States understands that the existence of
human rights helps secure the peace, deter
aggression, promote the rule of law, combat crime
and corruption, strengthen democracies, and
prevent humanitarian crises.

5. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif China


Jacobsen dan Bruun menekankan, bahwa untuk dapat

memahami HAM di Asia, maka ada HAM adalah universal,

tapi interpretasi terhadap arti dan metode


31
Rosemary Foot, Human Rights and Counter-terrorism in America‟s Asia
Policy, (New York, USA: Oxford University Press, 2004), hlm. 16.
24

implementasinya dipengaruhi oleh budaya Budaya Asia

menekankan pada komunitarianisme, individu

berkewajiban atau bertanggung jawab kepada keluarga

dan komunitasnya. Budaya Asia menampik

individualitas.32 Hak-hak individu dapat mengancam

ketertiban sosial dan dapat menjauhkan individu untuk

memenuhi peran-peran sosialnya. Perspektif

komunitarian memandang, bahwa ketertiban sosial

dibangun atas dasar nilai-nilai bersama, komunitas

dipandang sebagai sesuatu di atas individu dan

individu sangat bergantung padanya.

Untuk menciptakan masyarakat yang tertib, maka

individu harus didisiplinkan. Pemenuhan hak politik

individu bukanlah pemenuhan prioritas, hak-hak

komunitas dan negara yang terlebih dahulu dipenuhi.

Pembangunan akan menimbulkan kesejahteraan, dan

dipandang sebagai sesuatu yang nyata dibanding

kepatuhan terhadap hak-hak individu yang sifatnya

abstrak. Penjelasan paham komunisme dalam hubungan

internasional merupakan dasar yang lemah untuk

mengaji politik luar negeri China. Banyak hal yang

dijelaskan dalam komunisme tidak diterapkan


32
M. Jacobsen dan O Bruun dalam Citra Hennida dan Nurul Ratna Sari,
Tibet dan Permasalahan HAM di China, (Jurnal Dinamika HAM: Vol.8, No.1,
2008), hlm. 28
25

oleh Pemerintah Komunis China.33

Buku Putih China yang berjudul The Socialist

System of Laws with Chinese Charateristics,

memaparkan cara China mengadopsi sistem sosialis di

negaranya, sebagai berikut :34

The socialist system of laws with Chinese


characteristics is a legal foundation for
socialism with Chinese characteristics to
retain its nature, a legal reflection of
the innovative practice of socialism with
Chinese characteristics, and a legal
guarantee for the prosperity of socialism
with Chinese characteristics. Its
establishment is an important milestone
in China's development of socialist
democracy and the legal system, and
showcases the great achievements of
reform, opening up and the socialist
modernization drive.
Dalam kutipan di atas dijelaskan, bahwa

Pemerintah China membangun sebuah negara sosialis

di bawah kekuasaan hukum adalah prinsip mendasar

bagi Partai Komunis China untuk memimpin dan

memerintah negara. China menganggap perlu

mewujudkan suatu sistem hukum sosialis dengan

33
White Papers, “The Socialist System of Laws with Chinese
Charateristics”. diunduh dari
http://www.chinahumanrights.org/Messages/China/t20111028_809304_1. Htm,
diakses pada tanggal 14 April 2020, pukul 19.30
34
China Society For Human Rights Studies. International Human Rights
Conventions in China. diunduh dari http: //www. Chinahuman rights.org/CS
HRS/Magazine/Text/t200 80604_349282.htm, diakses pada tanggal 14 April 2020,
pukul 19.40
26

karakteristik China, sehingga dapat memastikan

jalannya roda pemerintahan dan kehidupan sosial

masyarakat, semua patuh pada hukum.

Hal ini merupakan prasyarat dan landasan

bagi China menerapkan prinsip dasar aturan

hukum dalam semua hal, serta jaminan kelembagaan

bagi pembangunan dan kemajuan China. Dalam

International Human Rights Conventions in

China, China berpandangan bahwa konsep HAM harus

mencakup langkah-langkah kesehatan dan kemakmuran

ekonomi, serta standar ekonomi hidup. Dalam

masyarakat harmonis, kesejahteraan kolektif lebih

diutamakan daripada hak-hak dari setiap individu.35

Ada sebuah budaya Konfusianisme yang telah

mengakar, budaya yang mengatakan, bahwa harmonisasi

dan keamanan nasional akan dicapai melalui

penghormatan terhadap kelompok leluhur, sehingga

China menganggap HAM bukan sebagai penghormatan

terhadap hak individu melainkan hak kelompok, hak

bersama.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan adalah penelitian


35
Ibid
27

normatif atau disebut sebagai penelitian doktrinal.

Penelitian normatif adalah penelitian hukum doktriner,

juga disebut penelitian kepustakaan atau studi dokumen.36

Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti

bahan pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan

penelitian hukum normatif atau penelitian hukum

kepustakaan.37

Penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada

peraturan-peraturan tertulis atau bahan-bahan hukum yang

lain. Dikatakan sebagai studi perpustakaan atau studi

dokumen karena penelitian ini lebih banyak dilakukan

terhadap data-data yang bersifat sekunder yang ada

diperpustakaan.38

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini yuridis normatif dengan menggunakan

pendekatan konseptual (conceptual approach), yakni

pendekatan dalam penelitian hukum yang berasal dari

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang

di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-

pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum,

peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan

36
Suratman dan Phillips Dillah, Metode Penulisan Hukum, (Bandung:
Alvabeta, 2014), hlm. 51.
37
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2006), hlm. 13.
38
Suratman, Phillips Dillah. Op.cit, Hlm 51
28

pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan

asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.39

Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan

pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti

adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus

tema sentral suatu penelitian. Namun analisis hukum yang

dihasilkan oleh suatu penelitian hukum normatif yang

menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute

approach) akan lebih baik bila dibantu oleh satu atau

lebih pendekatan lain cocok. Hal ini berguna untuk

memperkaya pertimbangan-pertimbangan hukum yang tepat

dalam menghadapi problem hukum yang dihadapi.

3. Bahan Hukum

Untuk memecahkan isu hukum sekaligus memberikan

deskripsi mengenai apa yang seyogyanya, diperlukan bahan-

bahan hukum. Bahan-bahan hukum terbagi menjadi 3, yaitu :

a. Bahan Hukum Primer merupakan bahan hukum yang

bersifat autoratif artinya mempunyai otoritas,

bahan-bahan hukum primer dalam penlitian ini

terdiri dari peraturaran perundang-undangan yang

mengatur tentang penyiaran;

b. Bahan-bahan hukum sekunder yang digunakan dalam

penelitian ini meliputi buku teks dan jurnal


39
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm.
177-178
29

hukum.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier merupakan sumber bahan-

bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder yaitu berupa kamus hukum, artikel-

artikel, dan website hukum yang berhubungan dengan

pelanggaran HAM di Tibet

4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

Prosedur yang digunakan berupa studi dokumentasi

yaitu pedoman yang digunakan berupa catatan-catatan untuk

memuat kutipan. Penelusuran literatur hukum dan informasi

lainnya dilakukan dengan penelusuran off line (buku-buku)

dan on line (internet). Bahan pustaka off line dapat

diperoleh dari koleksi pribadi, Perpustakaan Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, dan Perpustakaan Universitas

Indonesia yang berupa buku-buku, majalah, artikel, dan

lainnya, sedangkan bahan pustaka on line dapat didapatkan

dengan menggunakan akses internet.

5. Pengolahan Bahan Hukum

Pengolahan bahan hukum dilakukan dengan mengolah

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum

tersier yang kemudian diinventarisir dengan menyesuaikan

substansi guna mempermudah analisis bahan hukum.


30

Kemudian, bahan hukum dianalisa berdasarkan asas-asas

hukum dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan

dengan pokok permasalahan yang diteliti.

6. Analisis Bahan Hukum

Setelah terkumpulnya bahan yang terdiri dari bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum

tersier, kemudian dilakukan perbandingan, sehingga bisa

ditentukan dasar yang kuat dan tepat untuk membahas

permasalahan yang diangkat oleh peneliti, maka kemudian

dilakukanlah tahap analisis secara yuridis kualitatif,

yang merupakan pemilihan teori, asas, norma, doktrin,

untuk menjelaskan permasalahan yang diangkat oleh

penelitian ini.
31

BAB II
HUBUNGAN AMERIKA SERIKAT DAN CHINA SERTA
PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI TIBET

A.Hubungan Amerika Serikat – China

Terdapat dua titik balik dalam hubungan AS-China

setelah Perang Dingin. Salah satu titik balik tersebut

adalah konflik antara AS sejak akhir Perang Dunia II

hingga munculnya Komunis China, lalu Perang Korea. Poin

lainnya, AS tidak lagi menerapkan Kebijakan Pembendungan

terhadap Komunis China setelah berubahnya aliansi dengan

terjadinya normalisasi hubungan AS-China.40 Secara

keseluruhan struktur kerjasama antara AS dan China

sejak tahun 1970-an tidak berubah meskipun terdapat

ketidakpercayaan terhadap masing-masing pihak. Setelah

tahun 1989 dan runtuhnya Uni Soviet sebagai musuh utama

pada akhir Perang Dingin, hubungan antara AS dan China

memperlihatkan pergantian pola dari kerjasama menjadi

konfrontasi.41

Pada masa Perang Dunia II, AS dan China membangun

aliansi dalam operasi melawan Jepang dan hasilnya dari


40
Gajin Nagao, Wisdom, Compassion, and The Search of Understanding: The
Buddhist Studies Legacy, (Hawai: University of Hawai Press, 2000), hlm. 21.
41
Ibid, hlm. 22.
32

aliansi tersebut, China juga menjadi pasukan polisi

dunia setelah perang berakhir. Setelah perang usai,

terjadi konflik antara pemimpin China dengan Partai

Komunis China, sebagai hasilnya Republik Rakyat China

(RRT) terbentuk pada tahun 1949.42

Dengan terbentuknya RRT, pemerintah AS berada dalam

ketidakpastian dalam menentukan arah kebijakan selama

Perang Dingin terhadap China. Pemerintah AS tidak lagi

menempatkan China sebagai mitra bernilai di Asia setelah

Perang Dunia II dan Kebijakan Pembendungan terhadap

China bermula dari terbentuknya RRT. Hubungan antara

kedua bangsa ini terdapat konfrontasi selama Perang

Dingin hingga normalisasi pada 1971.

Tensi Perang Dingin dipertinggi dengan perkembangan

Perang Korea pada tahun 1953, Krisis Selat Taiwan pada

tahun 1950-an, ujicoba nuklir oleh China pada 1965, dan

fasilitasi nuklir kepada Vietnam pada puncak Perang

Vietnam pada tahun 1975. Dengan kata lain, kebijakan

nasional China tersebut mengartikan keadaan mendesak

bagi keamanan nasional AS. Akan tetapi, kebijakan

pembendungan oleh AS berakhir sampai terjadinya

normalisasi hubungan AS-China dan diikuti dengan

normalisasi hubungan diplomatik pada Pemerintahan

42
Ibid, hlm. 34
33

Presiden Carter. Normalisasi hubungan ini merupakan

perpaduan pertimbangan antara kerjasama dengan China

untuk membendung Uni Soviet dan stabilisasi Asia

melalui restorasi China dalam komunitas internasional.

Pembentukan normalisasi ini akhirnya berkurang dengan

berakhirnya Perang Dingin dan runtuhnya Uni Soviet.43

Dua puluh tahun kemudian setelah normalisasi

hubungan, AS dan China memperluas area kerjasamanya,

yakni dengan jaringan pertukaran ekonomi dan

politik. AS tidak dapat lagi mengisolasi

China secara Internasional, meskipun kepentingan

terhadap penegakan HAM di China memuncak pada tahun

1989, karena pada tahun ini jejak HAM China menjadi

perhatian AS akibat kejadian Tiananmen Square.44

Hal tersebut disebabkan berbagai usaha untuk

membendung China nampaknya terlihat tidak dapat

berlaku kembali, meskipun terdapat pelanggaran HAM dan

tensi militer yang dialami kedua negara pada krisis

Selat Taiwan tahun 1996.45 AS menggunakan prinsip-prinsip

demokrasi, HAM, ekonomi pasar, dan konsep lainnya dari

Barat untuk mengontrol hubungan internasional pasca-

Perang Dingin. Akan tetapi terdapat kesulitan bagi AS


43
Jack Donelly, Op.cit, hlm. 48.
44
Qi Zhou, Op.cit, hlm. 66.
45
Alex Sutter, Expanding the Human in Human Rights, (New York: Paradigm
Publisher, 2000), hlm. 11.
34

untuk mengontrol China dengan prinsip-prinsip tersebut

dengan tiadanya musuh bersama seperti pada Perang

Dingin. Dengan terbatasnya kepentingan bersama

menjadikan hubungan antara AS dan China rapuh.46

Hubungan antara AS dan China telah meningkat sejak

Insiden Tiananmen tahun 1989, tetapi usaha perbaikan

sedang dilaksanakan melalui serangkaian perubahan yang

dilakukan antar kedua pemimpin Negara sejak pertemuan

yang diadakan pada tahun 1997.47 Meskipun terjadi

peningkatan, terdapat kecenderungan yang berkembang di

AS, bahwa akan kembali dijalankan Kebijakan Pembendungan

terhadap China bila timbul beberapa aspek politis yang

merusak hubungan keduanya.48 Indikator peningkatan ini

adalah dibukanya peluang dialog bilateral AS dengan

China dalam bidang HAM yang sebelumnya China tidak

berkeinginan untuk membuka dialog tentang HAM dengan AS.

Secara politik, hubungan bilateral AS dan

China terus berusaha diupayakan untuk berjalan sesuai

kesepakatan yang telah mereka putuskan. Hal ini terbukti

dengan tetap ada inisiasi dan respon positif kedua

negara untuk terus melanjutkan pertemuan dan kongres

khusus yang membahas hubungan kedua negara secara


46
Sarah Harding, Machik's Complete Explanation: Clarifying the Meaning
of Chöd, (New York: Snow Lion, 2004), hlm. 1.
47
Nagao, Op.cit, hlm. 27
48
Ibid, hlm. 30.
35

bilateral dengan lebih terbuka.

Hubungan ekonomi AS-China muncul kembali

setelah kebekuan hubungan politik, langkah awal dalam

memperbaharui kontak langsung terjadi pada tahun 1971.

Pada tahun 1971-1972 komoditi utama dalam perdagangan

China dengan AS, yaitu komoditi pertambangan meningkat

menjadi 20% pertahun dan mungkin akan terus meningkat.49

Secara keseluruhan pada tahun 1980-an normalisasi

hubungan politik dan mulainya reformasi ekonomi China

menjadi jalan untuk pertukaran barang, nilai, gagasan,

personil, dan teknologi antarkedua negara. Dengan jalan

tersebut, membawa keuntungan bagi AS.

Namun, pada tahun 1984 AS menjadi kongsi dagang

China terbesar ke tiga setelah Jepang dan Hongkong.50

Peningkatan pertumbuhan ini mencerminkan penguatan

hubungan antara kedua negara. Hal yang menjadi tolak

ukur peningkatan hubungan ekonomi antara AS dan China

adalah perubahan kategori status negara ekspor oleh AS,

yakni sebelumnya Kategori Y yaitu negara traktat Warsawa

menjadi Kategori P, yaitu kongsi dagang baru AS,

kemudian pada tahun 1983 menjadi Kategori V, yakni

aliansi AS. AS melakukan kategorisasi status negara-


49
Dong Wang, China’s Trade Relations with the United States in
Perspective, (Journal of Current Chinese Affairs, Vol. 39, No.3, 2010)
hlm.169.
50
Ibid, hlm. 176.
36

negara ekspor berdasarkan pada volume perdagangan ekspor

AS ke suatu negara. Kategori Y adalah negara dengan

volume perdagangan senilai 0-2000 dollar AS. Kategori P

adalah negara dengan total volume perdagangan senilai

2000-4000 dollar AS, dan kategori V negara dengan total

volume perdagangan senilai 4000-6000 dolar AS.

Hubungan ekonomi AS-China setelah Perang Dingin

terbagi dalam dua fase, yaitu tahun 1990-2001 dan 2002-

2009. Fase ini dapat ditandai dengan faktor geoekonomi

dan geopolitik, reformasi ekonomi China dan masuknya

China menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO);

serangkaian konflik politik; penurunan ekonomi dunia dan

Peristiwa 11 September 2001. Pada fase 1990-2001,

hubungan AS-China memasuki tahap hubungan yang tidak

mudah. Hal ini disebabkan karena tiadanya ancaman

bersama bagi AS dan China yang ditandai dengan runtuhnya

Tembok Berlin pada 1989 dan bubarnya Uni Soviet dua

tahun berikutnya. Akibat dari hal tersebut, rezim

komunis di Eropa Timur jatuh dan hanya tersisa komunis

China yang menjadi ancaman bagi AS. Tahap yang tidak

mudah ini disebabkan kedua negara telah mengembangkan

kemapanan hubungan ekonomi mereka, sementara hubungan

berubah menjadi tidak pasti akibat faktor geopolitik,

yaitu kedekatan China dengan Rusia dan Iran.


37

Pentingnya hubungan ekonomi AS-China pada tahun

1980-an dapat terlihat dalam multifase dari hubungan

kedua negara. Alasannya, normalisasi hubungan China-AS

didasarkan pada pertimbangan geopolitik yang tidak

membawa dampak langsung bagi hubungan ekonomi kedua

negara.51

Pada tahun 1989, China juga telah berperan dalam

hutang-piutang AS.52 Alasan lainnya, defisit neraca

perdagangan AS dengan China, AS mengklaim jika defisit

tersebut terjadi karena China melakukan kebijakan anti-

dumping pada komoditi elektronik di negaranya. AS meminta

untuk dibuat peraturan perdagangan yang transparan

dan membuka pasar China. Akan tetapi di akhir

tahun 80-an hubungan ekonomi AS menguat dibanding

sebelumya, hal ini disebabkan peran dari pemimpin

kedua Negara dalam menstabilkan hubungan AS-China sejak

tahun 1972.53

Meskipun begitu, dekade selanjutnya perbaikan

hubungan AS-China terhambat akibat terjadinya krisis

pada tahun 1989 di Beijing.54 Di bulan Juni pada 1989,

untuk menghentikan tekanan domestik dan internasional,

51
Ibid, hlm. 185
52
Daniel S Papp, American Foreign Policy: History, Politics, and Policy,
(New York, USA: Allyn and Bacon Longman Person, 2005), hlm. 113.
53
Ibid, hlm. 222
54
Dong Wang, Op.cit, hlm. 187
38

pemerintah China memerintahkan Tentara Pembebasan China

untuk mengakhiri aksi massa yang terjadi di Tiananmen

Square. Namun, akibat dari kejadian tersebut, beberapa

bulan berikutnya, sanksi ekonomi dan politik dari AS

untuk China diberlakukan. Hal tersebut menyebabkan

pembatalan kerjasama antara China dan AS sejak

normalisasi hubungan tahun 1972. Ketegangan yang

disebabkan oleh Insiden Tiananmen mengakibatkan

berakhirnya aliansi strategis antara China dan AS.

China dan AS kembali mengaktifkan aliansi strategis

mereka di bidang ekonomi pasca-Peristiwa 9/11. Salah

satunya ditandai dengan diadakannya Strategic Economic

Dialogue/SED55, yang merupakan salah satu agenda tahunan.

Dalam forum tersebut, kedua negara bersepakat untuk

menjalin kerja sama dalam menjaga stabilitas ekonomi

dunia, khususnya ekonomi kedua negara.

Pada tahun 2001-2009 hubungan ekonomi AS-China

memasuki fase baru. Hal tersebut ditandai dengan,

masuknya China dalam keanggotaan di Organisasi Perdagangan

Dunia pada (WTO) Desember 2001. Hal lainnya, yaitu pada

awal pemerintahan George W. Bush hingga terjadinya

Peristiwa 9/11. AS menerapkan kebijakan “Disdained

55
Joint U.S – China Fact Sheet U.S Treasury Department, diunduh dari
http://www.treasury.gov/initiatives/Pages/2008-dec.aspx
diakses pada 14 APril 2020, pukul 19.30.
39

diplomacy” yang bertujuan untuk menanggapi kebangkitan

China.56

Dengan masuknya China ke dalam keanggotaan WTO,

menegaskan kembali kesenjangan antara hubungan ekonomi dan

politik antarkedua negara pasca-Peristiwa 9/11. Namun,

setelah masuknya China dalam organisasi perdagangan dunia,

jumlah ekspor AS ke China meningkat menjadi 92% per tahun

dari sebelumnya persentase jumlah ekspor AS ke China

sebesar 46%. Serangan 11 September 2001 juga membuat AS

memandang China tidak lagi sebagai mitra strategis, tetapi

berubah menjadi lawan strategis.57 Departemen Pertahanan AS

mengidentifikasi China sebagai pesaing dalam bidang

militer di Asia-Pasifik dan sebuah tantangan di masa

depan bagi kepentingan AS di kawasan ini.

Akan tetapi, akibat Peristiwa 9/11, dengan segera AS

memastikan China untuk bekerjasama dalam era baru ini,

yaitu AS dengan dunia muslim. Hal tersebut dilakukan agar

menghindari kekeliruan oleh China mengenai hubungan dengan

AS. AS mencoba menerapkan hubungan yang kooperatif

dengan China, contohnya bersikap kooperatif dalam

memberantas terorisme. Perkembangan-perkembangan besar

56
Dong Wang, Op.cit, hlm. 194.
57
Juhyung Cho, Ideological Competition between the United States and
China in the Field of Human Rights: Consequences for China’s Diplomacy.
(Jurnal ERAS: Vol 12 No.2, 2010), hlm. 14.
40

yang terjadi pada hubungan ekonomi AS-China menunjukkan,

bahwa hubungan tersebut dilanjutkan menuju hubungan yang

lebih luas, meskipun terjadi ketidakstabilan politik yang

menjadi dasar hubungan.

Salah satu dimensi kerjasama bilateral yang rawan

antara China dan internasional di wilayah Laut China

Selatan (Cirlig, 2013: 6). Pemerintah China merasa

pernyataan Departemen Luar Negeri AS tersebut merupakan

sebuah serangan. China. Kekhawatiran AS atas program

modernisasi militer China adalah tantangan terhadap posisi

AS tidak hanya di wilayah Asia-Pasifik tetapi juga dalam

sistem internasional. AS mengkhawatirkan mengenai postur

dan anggaran militer China yang meningkat selama dua

dekade terakhir dan pengembangan kapabilitasnya ditujukan

untuk program persenjataan.58

Modernisasi angkatan laut China belum dapat

menandingi keunggulan AS di kawasan, tetapi tetap muncul

kekhawatiran jika terjadi konfrontasi angkatan laut antara

AS-China. Namun, di sisi lain, modernisasi militer China

dapat dijadikan kesempatan untuk bekerjasama dalam

melindungi perdagangan dan lalu lintas maritime.59 Sebagai

contoh dalam konflik di Laut China Selatan, Departemen Luar


58
Cirlig dan Carmein Cristina, The United States-China Relation:
Impliction for the Eruropean Union, (Library of the European Parliament,
2013), hlm. 6
59
Ibid, hlm. 7.
41

Negeri AS menyatakan kepentingan AS ialah kebebasan

perlayaran, pembukaan akses terhadap lalu lintas maritim

di Asia, dan penghormatan terhadap hukum China Timur, AS

memperkuat komitmen pertahanannya dengan Jepang di bawah

traktat keamanan AS-Jepang.

Tindakan-tindakan AS tersebut dianggap China sebagai

upaya penyeimbangan AS terhadap China di kawasan Asia-

Pasifik. Hal tersebut ditafsirkan sebagai upaya untuk

mencegah peningkatan pengaruh dan untuk mengimbangi

peningkatan kemampuan militer China, meskipun AS menegaskan

bahwa kebijakan-kebijakan tersebut tidak ditujukan pada

China. China khawatir tentang upaya AS untuk memperkuat

aliansinya di Asia. Upaya-upaya tersebut, yaitu rencana AS

untuk sistem pertahanan balistik rudal di wilayah Asia dan

intervensi AS terhadap perselisihan China dengan negara-

negara tetangganya.

Buku Putih China dalam bidang pertahanan yang

ditujukan kepada AS menyatakan, bahwa "beberapa negara

telah memperkuat aliansi militernya di Asia-Pasifik (...)

dan membuat situasi di sini lebih tegang.".60 AS

beranggapan bahwa tantangan utamanya adalah meyakinkan

sekutu dan mitra di Asia terhadap kehadiran AS yang kuat

di Asia, sekaligus menghindari kecurigaan China. Bahkan,

60
Ibid, hlm. 8
42

jika tetangga China membutuhkan AS sebagai penyeimbang

kekuasaan China, mereka tidak mau harus memilih antara dua

kekuatan.

Walaupun ada kekhawatiran antara China dan AS, mereka

mengakui pentingnya meningkatkan hubungan antarmiliter

mereka. Perkembangan positif dalam kerjasama militer

mereka termasuk kunjungan tingkat tinggi antara pemimpin

militer kedua pihak, partisipasi China dalam latihan

militer bersama AS di Pasifik, gabungan latihan anti

pembajakan di Teluk Aden, dan kesepakatan untuk

mengeksplorasi mekanisme pemberitahuan aktivitas militer

dalam skala besar.

HAM menjadi topik yang kontroversial dalam hubungan AS-

China. AS dan China secara mendasar berbeda dalam cara

mereka mendefinisikan HAM. AS mendefinikan HAM sebagai

kebebasan politik dan individu.61 Sebaliknya, sebagai

negara sosialis, China mendefinisikan HAM sebagai hak

ekonomi, sosial, dan budaya. Namun, Pemerintah China

sebagai rezim otoriter tidak memberikan hak kebebasan

politik dan sipil guna menjaga otoritas pemerintah China

terhadap rakyatnya. Secara domestik dan internasional,

China konsisten menggunakan HAM untuk melanggengkan

pemerintahan Komunis China, memelihara negara sosialis,


61
Jana R Day, Human Rights in Sino-American Relations, (California,
USA: Naval Postgraduate School, 2013) hlm. 7
43

dan menjaga integritas teritorial dan kedaulatan nasional.62

AS berusaha mendorong China untuk memperbaiki

kebijakan HAM. China menanggapi hal tersebut dengan

mengklaim bahwa usaha AS tersebut merupakan usaha AS untuk

mendikte atau mempengaruhi kebijakan domestiknya. China

memandang HAM merupakan urusan domestik dan internasional.

China juga menekankan perbedaan dalam standar budaya dan

mengakui jika standar HAM yang dilakukan di China sama

pentingnya dengan yang ada di negara lain.

China merupakan salah satu negara yang memegang

prinsip sosialisme. Pandangan sosialisme mengenai HAM

telah memengaruhi pembentukan pandangan terhadap HAM oleh

China. Pada abad ke-19, Karl Marx, mendefinisikan HAM

sebagai individualis, terpisah dari manusia lain dalam

dunia materialistik yang didominasi oleh eksploitasi oleh

borjuis. Marx menjelaskan perbedaan antara HAM dan hak

warga negara, dan hak warga negara terwujud dalam sebuah

masyarakat. Marx tidak memercayai adanya hak alamiah di

luar masyarakat.63 Oleh karena itu, China memandang HAM

merupakan salah satu yang diberikan oleh negara, dan

kebebasan politik dimilik oleh kelas Borjuis dan bukanlah

hak alamiah universal.

62
Ibid, hlm. 8
63
Progress Publishers, Proletarians and Communists, (Jurnal
Marx/Engels Selected Works, Vol. 1, 1 9 9 9 ) , h l m . 9 8
44

Perbedaan pandangan antara China dan AS terlihat pada

laporan HAM oleh masing-masing negara. Laporan mengenai

rekam jejak HAM China yang dikeluarkan oleh pemerintah AS

pada tahun 2008 menyatakan, bahwa terdapat kesenjangan

antara peraturan dan praktiknya di China. 64 Contohnya,

penghormatan terhadap kehidupan pribadi individu, namun

kesewenang-wenangan campur tangan dengan pribadi, keluarga,

rumah, dan media massa menunjukkan bahwa kebebasan dan

privasi dilindungi oleh hukum, pada praktiknya penguasa

China tidak menghargai kebebasan tersebut.

Hal tersebut dinyatakan oleh Marina Svensson dalam

laporannya “Fifty Years of Progress in China‟s Human

Rights” bahwa terdapat ketidaksesuaian antara HAM dalam

peraturan dan implementasi.65 Laporan HAM di China

menyebutkan persepsi AS mengenai pelanggaran HAM

dengan memokuskan pada kebebasan individu dalam

berbagai variasi. Selain itu dalam pandangan AS China

juga melanggar kebebasan berpendapat dan mengadakan

organisasi. Pemerintah AS mengkritik eksekusi terhadap

etnis Uighur karena penguasa China menuduh adanya

separatis. China juga dianggap memiliki sejumlah

pelanggaran HAM tersembunyi lainnya. Laporan tersebut

64
Juhyung Cho, Op.cit, hlm. 7
65
Ibid, hlm.8
45

memaparkan fakta, bahwa pemerintah China memaksa jutaan

warga untuk direlokasi dan ditetapkan demi kepentingan

penyelenggaraan olimpiade, yakni Olimpiade Beijing

tahun 2008.

Pelanggaran HAM secara fundamental sebagaimana

yang disebutkan dalam laporan, China membatasi

kekebasan individu. Namun, di sisi lain, China juga

membuat laporan mengenai catatan pelanggaran HAM oleh

AS yang dipublikasikan pada tahun yang sama,

memaparkan fakta bila AS telah mengkritisi situasi HAM

di 190 negara, akan tetapi tidak menyebutkan

pelanggaran HAM di negaranya sendiri. Laporan ini tidak

memokuskan kepada hilangnya hak dalam diri individu,

namun yang ada dalam masyarakat. Contohnya, penyebaran

kepemilikan senjata yang meluas.

Laporan tersebut mengkritisi AS mengenai

perlakuan terhadap etnis minoritas. Dinyatakan dalam

laporan tersebut, bahwa terdapat diskriminasi secara

meluas seperti terhadap kaum Afrika-Amerika, bangsa

Spanyol, dan kaum pribumi. Meskipun kejadian tersebut

sama hal nya dengan perlakuan China terhadap etnis

minoritas Uighur dan Tibet, hal ini merupakan contoh

lain bahwa HAM sebagaimana dipahami oleh China, HAM


46

adalah milik masyarakat secara keseluruhan dan bukanlah

dimiliki oleh masing-masing individu.

Dalam Buku Putih China dinyatakan,

China lebih memprioritaskan kestabilan politik dan

hak ekonomi untuk memenuhi HAM warganya dibanding hak-

hak politis oleh negara-negara berkembang seperti

China.66 Kalimat tersebut mengindikasikan jika hak

politik dan sipil, seperti kebebasan berbicara dan

berasosiasi termasuk ke dalam hak untuk hidup. Buku

Putih China menekankan hak untuk hidup merupakan hak

yang paling penting. Sejak awal tahun 1990-an hak

untuk hidup muncul dalam isu publik. China

mempertimbangkan hak tersebut merupakan hak paling

fundamental dari semua HAM.67 Hak tersebut harus

diprioritaskan terlebih pada masa perkembangan negara

China.

Berbeda halnya dengan Jean Bricmont yang

menyatakan, bahwa dalam diskursus Barat, hak individual

dan politik merupakan prioritas absolut.68 Orientasi

harmoni sebagaimana yang dijunjung oleh Konfusianisme,

66
Michael A Santoro, Profits and principles: Global capitalism and
human rights in China. (London, UK: Cornell University Press, 2000), hlm. 130
67
Marina Svensson, Debating Human Rights in China–A Conceptual and
Political History, (Oxford, UK: Rowman&Littlefield Publishers, 2002), hlm.
273.
68
Jean Bricmont, Humanitarian Imperialism: Using Human Rights to Sell
War. (New York, USA: Monthly Review Press, 2006) hlm. 84.
47

yang mendefinisikan HAM secara berlebihan yang justru

berkonflik dengan sesama warga bahkan negara untuk

memperjuangkan hak individu.69 Pada hal lain, David M.

Lampton menginvestigasi alasan hak ekonomi tersoroti di

China pada saat-saat ini dan menyatakan jika hal

tersebut berasal dari konsekuensi konflik besar yang

dialami oleh rakyat China selama Abad ke-20.

Penghancuran akibat konflik, kematian rakyat China

mengakibatkan rakyat China membutuhkan stabilitas sosial

dan sebuah ketergantungan terhadap ekonomi sebagai alat

untuk memastikan stabilitas sosial. Dalam hal ini,

tidak hanya China yang beranggapan hak ekonomi lebih

penting, namun dirasakan juga oleh negara

berkembang lainnya.70

China memiliki tradisi yang panjang dalam hal

pemusatan kekuasaan, dibandingkan menjalankan

pemerintahan dengan desentralisasi kekuasaan yang

membatasi kekuatan pemerintah. Bagi Barat hal tersebut

merupakan penodaan terhadap hak politik dan sipil.71

Namun, bagi China dengan stabilitas masyarakat melalui

pemenuhan hak ekonomi lebih menguntungkan karena

mengundang investor untuk berinvestasi di negara dengan


69
Svensson, Op.cit, hlm. 56
70
Samuel S Kim, China and the World, (USA: Westview Press, 1994), hlm.
213.
71
Santoro, Op.cit, hlm. 131
48

kondisi sosial yang stabil seperti China. Sebagai

contoh, kejadian penghentian aksi massa Tiananmen

Square tahun 1989, selain mendapat kritik dari Barat,

hal tersebut juga mengundang investasi dari Jepang

karena dilihat dari kestabilan pasar.

Pentingnya China dalam menjaga pertahanan

kedaulatannya disebabkan kedaulatan dan harga diri

bangsa melekat dengan warga China.72 Akibatnya, China

mendapatkan kredibilitas dalam menjaga prioritas

kedaulatan nasional. China tidak menginginkan negara

lain merusak kedaulatan nasional atas nama

perlindungan terhadap HAM. Santoro menjelaskan

mengenai kondisi HAM di China, aktor internasional dan

LSM yang peduli terhadap HAM di China dapat mengambil

langkah legal untuk memperbaiki kondisi HAM tanpa

melanggar batas kedaulatan negara. China tetap

menganggap jika reaksi internasional terhadap isu HAM di

China sebagai usaha untuk mengurangi pengaruh

China di arena internasional.73

Dengan demikian, HAM harus diterjemahkan dan

diimplementasikan secara berkesesuaian dengan nilai-

nilai China yang menekankan pada kepentingan

masyarakat di atas kepentingan individu. Negara-negara


72
Ibid, hlm. 133
73
Kim, Op.cit, hlm 30.
49

Barat menuduh China melakukan pelanggaran HAM mulai

dari tekanan terhadap aktivitas keagamaan di Tibet,

hingga pemenjaraan pegiat politik tanpa proses.

Laporan-laporan tentang banyaknya kasus penahanan yang

tidak berdasar muncul secara berkala di berbagai

media. Sebagai respon, China melancarkan proses

menentang tuduhan-tuduhan tersebut, yang dianggapnya

sebagai campur tangan terhadap masalah dalam negeri

sekaligus ancaman terhadap kedaulatan China.74

Presiden Amerika Serikat, George W. Bush,

melakukan pertemuan dengan Dalai Lama, pemimpin

spiritual Tibet pada tanggal 16 Oktober 2007.

Pertemuan ini merupakan ketiga kalinya semenjak tahun

2001.75 Presiden Bush meminta Pemerintah China untuk

menempatkan Dalai Lama sebagai pemimpin keagamaan dan

tokoh yang menginginkan perdamaian. Namun, hal tersebut

menimbulkan kemarahan bagi China karena bagi China

kegiatan yang dilakukan oleh Dalai Lama adalah

kepentingan politik bukanlah keagamaan yang dapat

mengganggu stabilitas pemerintahan China.

Selain itu, Pemerintah China menilai bahwa

pertemuan Presiden Amerika Serikat dan Dalai


74
Loi Vai lo, “China‟s Dialogue with The West on Human Rights: Is There
Any Common Grounds?”, EAI Backgrounder Brief Magazine No. 58, Singapura, hlm.
1
75
Bbc.co.uk, Op.cit.
50

Lama merupakan bentuk intervensi Amerika Serikat

pada dinamika politik dalam negeri China yang akan

berdampak buruk bagi hubungan China dan Amerika Serikat.

Pelanggaan HAM di Tibet oleh Pemerintah China

dimulai tahun 1950 ketika Tentara Pembebasan China

menginvasi Tibet.76 Akan tetapi ketika invasi itu

dijalankan, pemerintah China justru memaksa delegasi

Tibet untuk menyetujui the 17-poins agreement dan

mengakui Tibet tidak berada di bawah otoritas China. The

Seventeen points agreement berawal ketika China pada

masa Mao Tze Dong memiliki kebijakan yang bertujuan

untuk memberikan Tibet otonomi sendiri.77 Hal ini

disebabkan karena setelah jatuhnya dinasti Qing, Tibet

terus menerus meminta agar wilayahnya merdeka dari

kekuasaan China.

Kebijakan ini merupakan strategi Mao agar

pandangan, bahwa Tibet wilayah yang terpisah dari China

sebelum dinasti Qing sehingga Tibet dapat

memperjuangkan kemerdekaan dapat dihindari. Mao mengajak

pemerintah Tibet untuk melakukan negosiasi agar dapat

dihasilkan win-win solution. Mao menawarkan perjanjian

yang menjamin agar masyarakat Tibet diberikan

76
Goldstein, Op.Cit, hlm. 40
77
Ibid, hlm. 45
51

kebebasan dalam beragama. Namun, ketika pemerintah

Tibet berada dalam keadaan bimbang mengenai tawaran Mao

tersebut, Mao memerintahkan tentara China untuk

menyerang Chamdo.

Tibet tidak memiliki kekuatan untuk melawan China,

sehingga pemerintah Tibet mengirimkan delegasi untuk

bernegosiasi dengan China. Negosiasi ini dilakukan

pada 23 Mei 1951 dan menghasilkan the 17-poins

agreement. Dalam perjanjian tersebut disepakati, bahwa

pemerintah Tibet di pengasingan secara perjanjian

formal tertulis mengakui kedaulatan China atas wilayah

Tibet. Sebagai gantinya untuk konsesi ini, China setuju

untuk menjaga Dalai Lama dan keutuhan sistem politik-

ekonomi tradisional mereka hingga rakyat Tibet sendiri

yang menginginkan reformasi.

Dengan disepakatinya perjanjian tersebut, maka Mao

memulai kebijakan yang akan memodernisasi Tibet dan

menghilangkan ketradisionalan Tibet. Akan tetapi,

dengan memulai kebijakan tersebut, dimulai pula

kebijakan yang memiliki akibat yang dianggap sebagai

pelanggaran HAM. Pelanggaran terhadap HAM masyarakat

Tibet terjadi di berbagai bidang seperti penindasan di

bidang agama, menolak kebebasan


52

78
berekspresi/berpendapat, dan penyiksaan.

Merujuk pada pemerintahan Tibet di pengasingan

bahwa lebih daripada 1,2 juta warga Tibet meninggal

sebagai hasil pendudukan China dan Tentara Pembebasan

China melakukan pemusnahan sistematis terhadap identitas

budaya dan karakteristik masyarakat Tibet.79 Sebagai

akibat dari penolakan terhadap kebebasan berpendapat,

pemerintah China menahan sebanyak 626 orang yang

terlibat dalam aksi massa pada 14 Maret 2008 dan

1 orang jurnalis sebagai tawanan politik akibat

mereka menyebarluaskan informasi mengenai situasi di

Tibet.80

Penindasan di bidang agama terjadi sejak tahun 1949

pemerintah China menyebarkan propaganda melawan

pendapat bahwa agama Budha yang merupakan identitas

masyarakat Tibet, dianggap sebagai penghambat

bagi kewenangan China di Tibet. Agama merupakan

musuh terbesar dan seharusnya dipersalahkan.

Sebanyak 6259 biara dihancurkan pada tahun 1959.

Padahal biara-biara ini menjadi tempat tinggal

78
International Commision of Jurist, Op.cit, hlm. 60.
79
Elliot Sperling, The Tibet-China Conflict: History and Polemics,
(Washington, USA: Policy Studies, 2007), hlm. 10.
80
Lum, Op.cit, hlm. 13.
53

bagi sebagian besar biarawan dan biarawati; bangunan-

bangunan budaya dan sejarah pun dihancurkan dan simbol

keagamaan lainnya dipindahkan dari Tibet. Kebebasan

beragama dilindungi oleh hukum internasional. Pada 10

Desember 1948 Pemerintah China mengadopsi Deklarasi

Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang melindungi

kebebasan beragama.81 Pada Pasal 18 DUHAM memberikan hak

pada setiap orang untuk melaksanakan ajaran agama

mereka, secara individual maupun dalam komunitas.

Pemerintah China juga menandatangani kovenan

internasional hak-hak politik dan sipil yang juga

melindungi kebebasan beragama berdasarkan Pasal 18. Hak

kebebasan terhadap pemikiran, nurani dan agama juga

dibahas dalam Deklarasi PBB mengenai Penghapusan

Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi terhadap

Agama dan Kepercayaan serta Konvensi mengenai Pencegahan

dan Hukuman terhadap Kejahatan Genosida tetapi

Pemerintah China belum menandatangani instrumen-

instrumen ini. Pemerintah China telah secara jelas

melanggar the 17-points agreement seperti traktat

internasional lainnya yang melindungi kebebasan

beragama.

Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah


81
Sperling, Op.cit, hlm. 25.
54

China kepada masyarakat Tibet, yaitu salah satunya

pada saat peringatan “Tibetan Uprising” pada tanggal 14

Maret 2008 di Lhasa. Dalam aksi protes tersebut

sebanyak 19 jiwa meninggal, 30 orang ditahan, dan 300

warga Tibet dibunuh oleh tentara China.82

Pelanggaran HAM lainnya, yaitu penyiksaan.

Penyiksaan iini dilakukan kepada biarawan dan biarawati

sejak tahun 2011 saat pemerintah China menerapkan

kebijakan razia malam di biara. Dalam razia tersebut,

objek yang dicari adalah dokumen ajaran agama oleh

Dalai Lama dan objek-objek lainnya yang dianggap

subversif terhadap pemerintah China. Razia malam yang

dilakukan di biara Nyitso Zilkar, sebanyak 8 orang

biarawan ditahan secara sewenang-wenang oleh tentara

China.

Hal ini tentunya melanggar hak-hak para biarawan

untuk meyakini ajaran agama mereka. Suku Tibet dengan

jumlah penduduk sekitar 5,4 juta jiwa sebagian besar

tinggal di Daerah Otonomi Tibet.83 Terdapat pula warga

Tibet yang tinggal di wilayah Qinghai, Gansu, Sichuan,

dan Provinsi Yunnan. Warga suku Tibet memiliki bahasa

dan huruf sendiri yang berbeda dengan bahasa China.

82
Lum, Op.cit, hlm. 55
83
The Tibetan Ethnic Group. Diunduh dari http://www.china.org.cn/
diakses pada 15 April 2020 , pukul 22.05.
55

Bahasa Tibet terbagi menjadi tiga dialek setempat,

yaitu Weizang, Kang, dan Amdo.84 Huruf-huruf tulisan

Tibet pun memiliki sebuah sistem yang disebut Script

Tibet.

Kehidupan sosial dan adat istiadat Suku Tibet

sangat dipengaruhi oleh sistem pemerintahan feudal

perbudakan dengan kehidupan agama yang sangat kental.

Akan tetapi sejak tahun 1951, daerah-daerah yang dihuni

oleh Suku Tibet perlahan dibebaskan satu per satu dari

perbudakan sistem feudal, sehingga secara

keseluruhan tidak ada lagi sistem feudal perbudakan

yang dijalankan di Tibet. Dengan terhapusnya sistem

feudal perbudakan, daerah Tibet telah mengalami banyak

kemajuan. Pemerintah China telah memperkenalkan

serangkaian kebijakan khusus, kebijakan tersebut telah

mendorong pertumbuhan ekonomi lokal.

Seiring dengan kemajuan Tibet, akibat dari

pembangunan modern oleh pemerintah China di wilayah

Tibet, warga suku Tibet tidak merasakan hasilnya.85

Justru hasil pembangunan nasional yang modern ini

mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM di sisi China.

Semakin lama penduduk Han menetap di Tibet semakin

banyak pula keuntungan yang mereka dapat. Penduduk


84
Sperling, Op.cit, hlm. 10.
85
Ibid, hlm. 20.
56

China yang pindah ke Tibet menerima gaji yang lebih

tinggi daripada rata-rata warga Tibet itu sendiri dan

mendapatkan masa liburan yang lebih panjang dan semua

tanggungan hidup selama cuti dibayar oleh pemerintah

China.

Diskriminasi buruh ini disebabkan oleh migrasi

penduduk China yang ingin bekerja Tibet yang tidak

terkontrol. Undang- undang mengenai perburuhan di China

sejak 1994 melarang segala bentuk diskriminasi kepada

pekerja. Dengan menawarkan keuntungan besar kepada

warga China yang bekerja di Tibet dan menolak

perlakuan yang sama terhadap pekerja Tibet

merupakan sebuah pelanggaran terhadap Undang-undang

Perburuhan China juga konvensi internasional

mengenai perburuhan.

Sejak 1950-an Pemerintah China membangun sistem

registrasi keluarga yang mengkategorikan penduduk

ke dalam tingkatan yang berbeda berdasarkan tempat

tinggal mereka. Warga Tibet teregistrasi pada sebuah

tempat tertentu, biasanya ditempatkan di tempat lahir

mereka, dan berhak memiliki tempat tinggal di sana. Jika

warga Tibet ingin berpindah ke tempat lain, meskipun

untuk jangka waktu pendek, mereka harus mendapatkan

izin dari pemerintah setempat. Contohnya, selama


57

persiapan peringatan ke 40 pendudukan atas Tibet pada

1989 sebuah demonstrasi terjadi di Lhasa dan 40.000

warga Tibet dipindahkan dari Lhasa ke tempat tinggal

asal mereka.86

B.Hubungan Amerika Serikat-Tibet

Kontak politis pertama antara AS dan Tibet terjadi

ketika Presiden Franklin D. Roosevelt mengirim pasukan

untuk mendapatkan izin dari warga Tibet untuk

menggunakan area selatan Tibet sebagai rute untuk

menyuplai pasukan China yang sedang mengepung tentara

Jepang pada masa Perang Dunia II.87Penguasa Tibet

menolak untuk memberikan izin dengan alasan netralitas

selama masa perang, tetapi untuk mengangkut barang-

barang nonmiliter area tersebut dapat dilintasi.88

Setelah China menjadi negara komunis, Tibet menjadi area

strategis bagi AS, sebagai ancaman idelogi-strategis

atau merangkul China untuk menyeimbangkan Uni Soviet

pada masa Perang Dingin.89 Ketika AS melihat China

sebagai ancaman dari blok komunis, AS mendukung Dalai

Lama dan menyuplai diam-diam bantuan militer melalui

86
Ibid, hlm. 16.
87
Svensson, Op.cit, hlm 78.
88
Nagao, Op.cit, hlm. 266.
89
Ibid, hlm. 267.
58

agen intelijen AS. Tetapi ketika AS memutuskan untuk

membuka hubungan dengan China untuk mengurangi dominasi

Soviet, AS menghentikan bantuan militer tersebut ke

Tibet.

Selama Perang Dingin, kebijakan terhadap Tibet

merupakan isu penting rahasia pada pemerintahan-

pemerintahan AS. Hal tersebut rahasia disebabkan karena

pada masa ini, pemerintah dan Kongres AS menjalankan

operasi rahasia antara agen intelijen AS bersama

gerilyawan Tibet. Namun, setelah Perang Dingin usai,

pemerintah dan Kongres AS tidak lagi melakukan upaya

untuk mendukung Tibet. Kongres memiliki tugas untuk

mendukung Dalai Lama dan China melakukan negosiasi

penyelesaian masalah.

Pada dasarnya, eksekutif AS mengkritisi dukungan

Kongres untuk Tibet. Departemen Luar Negeri tidak

menyetujui adanya kaukus HAM Tibet dan menegaskan

posisinya bahwa Tibet adalah bagian dari China. Pada

sidang Komite Hubungan Luar Negeri Senat pada hak asasi

manusia di Tibet pada bulan Oktober 1987, Juru Bicara

Departemen Luar Negeri, Stapleton Roy, mengkritik Dalai

Lama yang melakukan kegiatan politik bertentangan profil

agamanya.90 Pernyataan Deputi Menteri Luar Negeri,

90
Jack Donelly, Op.cit, hlm. 92.
59

John Negroponte, sebelum sidang Senat Komite Hubungan

Luar Negeri di Tibet pada 23 April 2008,

mencerminkan transformasi dalam penanganan pemerintah

AS tentang masalah Tibet:

Pertemuan Presiden Bush dengan Dalai Lama di masa


kedua jabatannya dan kehadirannya pada upacara
Medali Emas Kongres menghormati Dalai Lama adalah
demonstrasi penting dari dukungan tingkat tertinggi
pemerintah AS. Warga Tibet memiliki kehidupan
yang tidak beruntung akibat tahun-tahun represi dan
kebijakan China yang berdampak buruk bagi agama,
budaya dan kehidupan masyarakat Tibet.

Bekerja sama dengan Kongres, Dalai Lama XIV berhasil

untuk mendapatkan dukungan kelembagaan untuk warga Tibet

dari pemerintah AS, yaitu terbuatnya UU mengenai Tibet

pada tahun 2002.91 Selain adanya UU mengenai Tibet dukungan

yang dari pemerintah AS, yaitu pada masa Pemerintahan

Clinton yang menerapka kebijakan layanan bahasa Tibet di

stasiun radio Voice of America di tahun 1990. Dukungan

terhadap Tibet juga menjadi hukum publik di AS.

Berdasarkan hukum publik tersebut pemerintah AS memberikan

beasiswa kepada lima belas orang Tibet untuk melanjutkan

studi di universitas-universitas Amerika.

Dukungan lainnya, yaitu pemerintah AS membuat pos

anggaran yang dialokasikan untuk bantuan kemanusiaan.

Dukungan dana juga berasal dari organisasi nonpemerintah


91
Susan V.Lawrence dan Thomas Lum dalam CRS Report
R41108, U.S.-China Relations: Policy Issue. Congressional
Research Service. United States, hlm. 17.
60

yang mendukung dan melestarikan lingkungan dan budaya

Tibet dan mempromosikan pembangunan berkelanjutan.92

Bantuan tersebut terpisah dari bantuan yang diberikan

oleh pemerintah AS. Setiap tahunnya, Kongres mengalokasikan

anggaran sebesar lima juta dolar AS untuk Tibet.

Pada tahun 1994, para pendukung Tibet di Kongres AS

membuat undang-undang terfokus pada isu-isu Tibet. Semua

inisiatif legislatif tersebut memuncak dalam Undang-Undang

Kebijakan Tibet tahun 2002, yang ditandatangani

menjadi undang-undang oleh Presiden George W. Bush pada

tanggal 30 September 2002, sebagai bagian dari Undang-

undang Hubungan Luar Negeri. Seperti yang dikatakan oleh

Rabgey dan Sharlho, undang-undang tersebut merupakan

tonggak sejarah dalam pelembagaan dukungan politik AS

untuk dialog Sino-Tibet.

Tujuan utama dari kebijakan Amerika Serikat terhadap

Tibet adalah untuk mendukung aspirasi rakyat Tibet untuk

melindungi identitas mereka.93 Negosiasi tentang Tibet

mengharuskan presiden dan menteri luar negeri untuk

mendorong pemerintah China melakukan dialog dengan Dalai

Lama atau wakilnya. Negosiasi tersebut diupayakan hingga

tercapainya penyelesaian terhadap hal yang dinegosiasikan


92
Lum, Op.cit, hlm. 15
93
Tsering Topgyal, The Insecurity Dilemma and the Sino-Tibetan
Conflict. (London, UK: London School of Economics and Political Science,
2011), hlm. 221.
61

dari masalah Tibet dan untuk memastikan kepatuhan setelah

kesepakatan telah tercapai. Hal ini juga membentuk

mekanisme pelaporan. Presiden dan menteri luar negeri

melaporkan setiap tahun untuk Kongres langkah yang

diambil oleh dua kantor untuk memasilitasi dialog dan

negosiasi antara kedua belah pihak.94

Kebijakan AS lainnya untuk Tibet ialah membuka kantor

konsulat di Lhasa. Dukungan Kongres yang paling signifikan

yaitu penetapan posisi 'Koordinator Khusus untuk Isu

Tibet' di Departemen Luar Negeri dengan tujuan

utama mempromosikan dialog substantif antara Pemerintah

Republik Rakyat China dan Dalai Lama atau wakilnya .95

Tugas utama dari koordinator ini adalah mempromosikan

perlindungan identitas yang berbeda agama, budaya,

bahasa, dan kebangsaan Tibet dan hak asasi manusia.

Kebijakan-kebijakan Amerika memiliki beberapa hasil

positif dalam pandangan Tibet. Perhatian Amerika di Tibet

berpengaruh terhadap penguatan perjuangan mereka. Dukungan

Barat kepada Dalai Lama dilakukan jika Tibet tidak

mengadopsi cara-cara kekerasan dan menuntut kemerdekaan.

Hal tersebut akan menyebabkan perjuangan Tibet kehilangan

daya tariknya oleh pendukung atau membuatnya tidak nyaman

bagi banyak organisasi dan pemerintah untuk mendukung


94
Lum, Op.cit, hlm. 113.
95
Topgyal, Op.cit, hlm. 222.
62

Tibet. Dalam permohonannya ke Tibet di seluruh dunia pasca

kerusuhan kekerasan di Lhasa 14 Maret 2008, Dalai Lama

mengatakan:

Kita seharusnya tidak terlibat dalam tindakan


apapun yang bisa bahkan jauh ditafsirkan sebagai
kekerasan. Bahkan di bawah situasi yang paling
provokatifpun kita tidak harus membiarkan nilai-
nilai kita yang paling berharga dikompromikan. Saya
sangat percaya bahwa kita akan mencapai kesuksesan
melalui jalur non-kekerasan kita.

Selain itu, Dalai Lama XIV mengingatkan

rakyat Tibet yang menginginkan kemerdekaan penuh

sebagai tujuan utama dari gerakan Tibet bahwa langkah-

langkah yang keras akan mengurangi dukungan negara-negara

seperti Amerika kepada Tibet.

Mereka memiliki kepentingan yang lebih besar di China

dan secara resmi menerima Tibet sebagai bagian dari China.

Kebijakan-kebijakan dan bantuan-bantuan yang diberikan oleh

AS kepada Tibet didasarkan pada Undang-Undang Kebijakan

Tibet tahun 2002 yang ditujukan untuk mendukung aspirasi

rakyat Tibet melindungi identitas mereka96

96
Dumbaugh, Op.cit, hlm. 111
63

BAB III
Kebijakan Amerika Serikat terhadap Pelanggaran
HAM di Tibet

Dibandingkan dengan mendorong dilakukannya dialog

antara China dan Tibet, khususnya Dalai Lama XIV,

Kongres AS pada 2001 menyerukan pendekatan yang

komprehensif mengenai Tibet dengan cara menunjuk

seorang koordinator khusus mengenai isu Tibet, khususnya

pelanggaran HAM di wilayah ini. Salah satu program

kerjanya yakni memberikan lebih dari dua juta dolar AS

untuk pemerintah di pengasingan dan pengungsi. Tibet

tetap menjadi isu yang menjadi perhatian di Kongres AS

dan merupakan sebuah isu sensitif dalam hubungan AS-

China. Meskipun terdapat beberapa klaim bahwa posisi AS

terhadap Tibet ini tidak konsisten, pemerintah AS

mengakui Tibet sebagai bagian dari teritori China. Akan

tetapi Dalai Lama XIV, pemimpin spiritual yang

diasingkan memiliki dukungan yang penuh dan kuat dari

Kongres AS. Kongres menekan pemerintah untuk melindungi

warisan budaya Tibet dan memberikan Tibet status hukum

yang lebih besar dalam sistem hukum AS. Koordinator


64

khusus untuk Tibet dibuat oleh AS pada 1997 disebabkan

oleh tekanan kongres terhadap isu Tibet.

AS memiliki kebijakan terhadap China mengenai

Tibet yaitu “one China policy”, akan tetapi di sisi

lain keberhasilan pemerintah AS telah mendorong

pemimpin China untuk mengadakan dialog dengan Dalai

Lama XIV dengan pandangan untuk menyelesaikan perbedaan.

Sebagai tambahan, AS menyediakan dukungan politis dan

programatis kepada rakyat Tibet, termasuk bantuan

kemanusiaan kepada pengungsi Tibet di pengasingan,

pengembangan ekonomi di domestik Tibet, program

pertukaran kebudayaan dan pendidikan, dan kemerdekaan

penyebaran bahasa Tibet di dalam Tibet sendiri.97

Kebijakan AS kepada Tibet didasarkan pada Undang-

undang Tibet tahun 2002 ditetapkan sebagai bagian dari

keputusan otorisasi hubungan luar negeri. Kongres AS

telah mengeluarkan resolusi pada tahun 2009 dalam

rangka peringatan ke-50 pemberontakan rakyat Tibet.

Salah satu tujuan dari dikeluarkannya resolusi tersebut

oleh Kongres adalah agar pemerintah China merespon

inisiasi Dalai Lama XIV untuk menemukan solusi jangka

97
International Campaign for Tibet, Obama administration statements on
Tibet, diunduh dari http://www.savetibet.org/policy-center/us-government-
and-legislative-advocacy/obama-administration-statements- on-tibet/, diakses
pada tanggal 15 April 2020, pukul 10.55.
65

panjang bagi pelanggaran HAM yang terjadi.98

A.Usaha Pembentukan Konsulat AS di Tibet

Berdasarkan Undang-undang mengenai Tibet yang telah

disahkan menjadi undang-undang (UU) nasional di AS, guna

mewujudkan dari UU tersebut maka pemerintah AS meminta

China agar dapat membangun konsulatnya di Tibet.

Pembentukan konsulat tersebut dibangun di lokasi ibukota

Tibet, Lhasa. Hal tersebut ditujukan untuk mengawasi

jalannya jaminan HAM terhadap warga Tibet oleh

pemerintah China, sebab dalam setiap dialog

bilateral dengan AS mengenai HAM, China berjanji

untuk terus berupaya memperbaiki catatan HAM nya.

Rencana pembangunan konsulat AS di Tibet dilakukan

di Lhasa, ibukota Tibet. Akan tetapi pembangunan ini

belum sepenuhnya tercapai, dalam hal ini pembentukan

konsulat berupa kantor belum terbangun. Hal ini

terkendala oleh perizinan dari pihak pejabat

berwenang pemerintah China yang belum terkoordinasi,

sehingga pembangunan belum terlaksana hingga saat ini.

Sebagai reaksi dari permintaan AS ini, China pun meminta


98
United States Government Printing Office, diunduh dari http://www
.gpo.gov/f dsys/pkg/CHRG-112hhrg66780/html/CHRG-112hhrg66780.htm , diakses
pada 15 April 2020, pukul 10.58.
66

hal yang sama, yaitu dibukanya konsulat China di Boston,

Atlanta, dan Honolulu.99

Selain pembentukan konsulat AS, di dalam Departemen

Luar Negeri AS dibentuk bagian tersendiri yang

diperuntukkan kepada Tibet. Hal ini bertujuan untuk

memonitor secara langsung penjagaan kebudayaan Tibet,

tidak berlangsungnya tindakan represif terutama oleh

pemerintah China, sesuai yang diamanatkan dalam UU Tibet

pada tahun 2002.

B.Bantuan Amerika Serikat Untuk Tibet

Sejak tahun 2000, Kongres telah mengotorisasi

bantuan AS dengan tujuan pembangunan berkelanjutan,

pelestarian lingkungan, pelestarian budaya di area

otonomi Tibet dan masyarakat Tibet di daratan China.100

Lebih jauh, bantuan AS bertujuan untuk memperluas

keterlibatan masyarakat dalam usaha ekonomi lokal,

perencanaan pembangunan, dan pelayanan sosial. Antara

tahun 2000 dan 2012 lebih daripada 48 juta dolar

Amerika dialokasikan untuk tujuan tersebut.

Dalam beberapa tahun terakhir anggaran bantuan untuk

China

keseluruhan menurun, bantuan untuk Tibet sebagai bagian


99
Ibid
100
Lum, Op.cit, hlm. 6
67

dari total bantuan untuk China meningkat dari 16% pada

tahun 2009 meningkat menjadi 26% pada tahun 2012.101

Pemerintah China beranggapan bila ekonomi Tibet tumbuh

berkembang di bawah kebijakan pemerintahannya. Akan

tetapi, masyarakat Tibet menyangkal hal tersebut,

menganggap bila area urban didominasi oleh etnis Han

China dan justru proyek pembangunan China membahayakan

lingkungan alam setempat.

Selain pemerintah terdapat pula organisasi

pemerintah AS yang memberikan bantuan kepada

masyarakat Tibet, yaitu USAID.102Aktivitas organisasi

ini bertujuan untuk mempromosikan pembangunan kapasitas

individu dan dan ekonomi swasta melali pendidikan,

pelatihan, bantuan teknis, dan pendanaan. Program

pendidikan termasuk pelatihan kejuruan, pengajaran

tentang keahlian manajerial dan pemasaran, administrasi

bisnis, beasiswa dan pemagangan. Bantuan AS juga

mendukung hasil panen, peternakan, dan produksi

kerajinan tangan. Program lainnya yaitu termasuk

pembangunan bisnis skala kecil, membangun pusat

pembangunan bisnis. Dukungan dana ekonomi juga

mendukung program dan layanan kesehatan dan kesadaran

higienitas.
101
Ibid, hlm. 7
102
Jack Donelly, Op.cit, hlm. 9
68

Di bidang lingkungan, dukungan AS membantu

masyarakat Tibet untuk melindungi lingkungan mereka

melalui konservasi, manajemen sumber daya alam

berkelanjutan, dan pembangunan alternatif sumber daya

alam terbarukan. Program USAID juga mempromosikan

perlindungan margasatwa dan lahan produktif. Usaha

lain yang termasuk ialah meningkatkan kesadaran

mengenai perubahan iklim dan pengaruhnya di ranah

lokal, dan mengembangkan respon terhadap perubahan

iklim.

Dalam bidang pelestarian budaya, program USAID

untuk masyarakat Tibet, yaitu instruksi bahasa Tibet,

pelestarian budaya tradisional, warisan, dan kesenian

termasuk naskah kuno, buku, dan tarian serta restorasi

situs dan bangunan bersejarah. Bantuan AS membantu

menyediakan informasi budaya melalui jaringan internet

dan sumber elektronik lainnya. Program lainnya

termasuk pelatihan kepada pengrajin kerajinan tangan dan

cara untuk memasarkan produk tradisional.

Bantuan AS lainnya berbasiskan pada LSM. LSM yang

menjadi mitra USAID untuk Tibet yaitu Tibetan Bridge

Fund (TBF), Winrock International, and the Poverty

Alleviation Fund/TPAF.103 Kegelisahan masyarakat dan

103
Lum, Op.cit, hlm. 10.
69

tindakan otoritatif pemerintah China mempersulit LSM

internasional untuk melakukan tugasnya. TBF telah

bekerja di Tibet selama 16 tahun dan merupakan

fasilitator mayor dari aktivitas masyarakat sipil di

area Tibet. Berdasarkan laporan tahunan pada tahun

lalu, TBF terus melakukan peningkatan di Tibet, di

samping lingkungan politik yang memburuk. TBF membawa

dana yang berasal dari USAID (United States Agency for

International Development) untuk dipergunakan kepada

masyarakat Tibet di China yang bertujuan pada

pelestarian budaya tradisional dan mempromosikan

pembangunan berkelanjutan dan konservasi alam.

Program Winrock internasional memiliki empat

proyek di area Tibet yakni di Provinsi Yunnan dan

Sichuan. Program tersebut yaitu pengembangan kerajinan

tangan masyarakat Tibet, pelatihan keahlian pekerjaan,

dan pelestarian bahasa Tibet. Winrock juga bekerja

bekerja dengan organisasi lokal dan menyediakan

pendanaannya. TPAF telah bekerja di Tibet sejak tahun

1997. Program TPAF di Tibet dan masyarakat Tibet di

provinsi Yunnan termasuk keuangan mikro, kerajinan

tangan lokal, pemngembangan usaha kecil, pertanian dan

peternakan, pengembangan keahlian manajerial, ekowisata,

dan pelatihan mengenai kesehatan, nutrisi, dan


70

higienitas.

C.Amerika Serikat Sebagai Fasilitator Dialog Antara

Dalai Lama XIV dan Pemerintah China.

Berdasarkan Undang-undang Kebijakan Tibet,

kebijakan-kebijakan luar negeri AS terkait kasus

pelanggaran HAM di Tibet pada periode 2009-2012 bersifat

persuasi. Kebijakan persuasif ini ialah AS berperan

sebagai pendorong dilakukannya dialog yang berarti bagi

perkembangan perbaikan HAM antara Dalai Lama XIV dan

Pemerintah China. Kebijakan persuasif ini tecermin

dalam sikap-sikap Presiden Obama dan pernyataan-

pernyataan kenegaraannya. AS melakukan kebijakan ini

karena AS menghormati kedaulatan dan integritas

territorial China. Akan tetapi AS memiliki perhatian

yang besar terhadap penanganan berbagai perbedaan yang

dimiliki Dalai Lama dan Pemerintah China.

Pernyataan yang menggambarkan kebijakan persuasif AS

terhadap isu pelanggaran HAM ini ialah ketika Presiden

Obama bertemu dengan Dalai Lama XIV di gedung putih pada

Februari 2010. Presiden Obama menyatakan, bahwa AS

mendukung secara penuh pelestarian keunikan agama,

budaya, dan identitas bahasa, dan perlindungan HAM untuk


71

masyarakat Tibet di darata China. preiden Obama

menekankan, bahwa ia secara konsisten mendorong Dalai

Lama XIV dengan pemerintah China untuk mengadakan

dialog langsung dan berkelanjutan.

Meski Presiden Obama bertemu dengan Dalai Lama, hal

tersebut tidak dimaksudkan untuk mendukung kemerdekaan

Tibet, akan tetapi Presiden Obama dan Dalai Lama XIV

menyetujui bila membangun hubungan yang positif dan

kooperatif antara AS dan China sangatlah penting. Pada

kesempatan lain, PresidenObama juga secara konsisten

menyatakankomitmenny akan perlindungan HAM bagi

masyarakat Tibet. Pernyataan tersebut diakukan saat

pernyataan konfernsi bersama dengan Presiden China, Hu

Jintao pada 19 Januari 2011, Presiden Obama

menyatakan:104

I reaffirmed America‟s fundamental commitment to the


universal rights of all people. That includes basic
human rights like freedom of speech, of the press,
of assembly, of association and demonstration, and
of religion — rights that are recognized in the
Chinese constitution. As I‟ve said before, the
United States speaks up for these freedoms and the
dignity of every human being, not only because it‟s
part of who we are as Americans, but we do so
because we believe that by upholding these universal
rights, all nations, including China, will
ultimately be more prosperous and successful. So,

104
Diunduh dari http://www.savetibet.org/policy- center/us-government-
and-legislative-advocacy/obama-administration-statements- on-tibet?, diakses
pada 16 April 2020, pukul 14.32.
72

today, we‟ve agreed to move ahead with our formal


dialogue on human rights. We‟ve agreed to new
exchanges to advance the rule of law. And even as
we, the United States, recognize that Tibet is part
of the People‟s Republic of China, the United States
continues to support further dialogue between the
government of China and the representatives of the
Dalai Lama to resolve concerns and differences,
including the preservation of the religious and
cultural identity of the Tibetan people.
Dengan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh AS

bersifat persuasi, hal ini mengisyaratkan, bahwa AS

tidak memiliki wewenang untuk memaksa kedua belah pihak

untuk melakukan dialog. Akan tetapi hanya seruan-seruan

yang tidak bersifat mengikat, artinya dialog tersebut

boleh dilakukan, boleh tidak, bergantung pada keinginan

masing-masing pihak.

D.Respon China Terhadap Intervensi AS di Tibet

Dalam menanggapi kritik AS, pihak berwenang China

cenderung untuk memanfaatkan berbagai cara yang berbeda

dalam membantah kritik. Hal tersebut membuat China

dengan mudah dapat menyangkal bahwa China bersalah

dalam HAM di negaranya. HAM seperti yang diminta

oleh negara- negara Barat dipandang sebagai hak

liberal borjuis dan dengan demikian tidak relevan

untuk negara sosialis China.105


105
R Weatherley, The Evolution of Chinese Thinking on Human Rights in
the Post-Mao Era, (Journal of Communist Studies and Transition, Vol. 17. No.
2,) hlm. 2.
73

China telah memperluas partisipasi dalam rezim

HAM internasional selama tiga tahun terakhir. China

pun telah menandatangani perjanjian internasional yang

penting dan berinteraksi dengan berbagai lembaga

internasional berkaitan dengan HAM.106 Partisipasi China

dimulai pada tahun 1971 setelah China memasuki PBB.

Setelah menjadi pengamat pada sidang tahunan United

Nation Convention of Human Rights (UNCHR) tahun 1979

hingga 1981, China akhirnya menjadi anggota resmi dari

komisi tersebut pada tahun 1982. Representasi China

juga ditugaskan dalam berbagai lembaga HAM di tubuh

PBB, termasuk UN Sub-Commission on Prevention of

Discrimination and Protection of Minorities and the

Commission on the Eliminationof Racial Discrimination.

Partisipasi Pemerintah China dalam rezim

internasional HAM terus berkembang pada 1990-

an. Misalnya, perwakilan China pada United

Nation World Conference on Human Rights tahun 1993 di

Wina dan menyatakan: "Pemerintah China akan, seperti

biasa, bekerja sama dengan masyarakat internasional, dan

khususnya negara berkembang, untuk memperkuat kerja sama

internasional di bidang HAM dan sepenuhnya

106
Dingding Chen, China’s Participation in the International Human
Rights Regime: A State Identity Perspective, (Chinese Journal of
International Politics, Vol. 2, 2009), hlm.1
74

mempromosikan dan melindungi HAM.” (Information Office

of the State Council of the People's Republic of China.

2014: http://www.gov.cn/english/official/) Peran terus

berlanjut hingga pada tahun 2004, Delegasi China

berpartisipasi dalam the 60th Session of the United

Nations Commission on Human Rights, the Substantive

Session of the United Nations Economic and Social

Council, dan the Third Committee Meeting of the 59th

Session of the United Nations General Assembly China

bahkan mengirimkan pakar dari negaranya untuk

berpartisipasi dalam 56th Session of the Sub-Commission

on the Promotion and Protection of Human Rights. China

juga terpilih sebagai anggota Komisi PBB dalam Status of

Women dari 2005 hingga 2008, dan Pakar China pun dalam

periode yang sama terpilih ke dalam United Nations

Committee on the Elimination of Discrimination Against

Women dan United Nations Committee on Economic, Social

and Cultural Rights.107

Dalam berbagai kegiatan tersebut, China telah

dengan tulus melakukan tugasnya, secara aktif

berpartisipasi dalam musyawarah dan diskusi HAM,

menjunjung tinggi tujuan dan prinsip Piagam PBB, dan

melakukan upaya aktif untuk mempromosikan kerjasama


107
Information Office of the State Council of the People's Republic of
China. diunduh dari , diakses pada 16 April 2020, pukul 17.22.
75

internasional dalam HAM.

Keikutsertaan Pemerintah China dalam berbagai

lembaga internasional yang menangani HAM merupakan cara

China membuktikan kepedulian mereka terhadap isu HAM

itu sendiri. Namun, di sisi lain, keikutsertaan

tersebut tidak menjadikan China mengakui kedaulatan

individu sebagai perlindungan HAM yang diterapkan dalam

negaranya. Dengan demikian, strategi yang dipilih

dengan berpartisipasi dalam peran internasional tidak

pula menjadikan China terlepas dari upaya-upaya yang

dilakukan AS untuk mencampuri urusan dalam negeri China

di Tibet.

Penerapan kebijakan luar negeri China yang moderat

dan terkendali dalam hubungannya dengan AS

menunjukkan reaksi terhadap perilaku AS terhadap

warga Tibet. Kebijakan moderat misalnya diterapkan

ketika AS tidak melakukan tindakan konfrontatif untuk

mendukung Tibet. Sikap pengendalian dalam kebijakan

China terhadap AS tecermin ketika China memutuskan

untuk membatalkan diadakannya dialog dengan AS

disebabkan pertemuan Presiden Obama dengan Dalai Lama

XIV yang dianggap sebagai simbol dukungan terhadap

perjuangan Tibet untuk merdeka dari China.


76

BAB IV
Faktor- Faktor dilakukannya Intervensi oleh
Amerika Serikat

A.Faktor Domestik

Selain pemerintah sebagai perumus kebijakan,

masyarakat Amerika dari berbagai kelompok juga turut

berpartisipasi dalam menentukan arah kebijakan luar

negeri. Hal tersebut disebut sebagai pluralisme dalam

pembuatan kebijakan, yang terdapat di dalamnya berbagai

organisasi, kelompok, dan pergerakan yang memiliki

kepentingan dalam penentuan kebijakan hubungan AS dengan

negara- negara di dunia.108 Masyarakat AS memiliki

keprihatinan yang besar terhadap kenyataan kehidupan

warga China di bawah rezim komunis. Kebijakan China

untuk menggunakan kekuatan militer untuk menekan warga

negara yang dianggap menghalangi kebijakan nasional,

dianggap sebagai kegagalan China bagi masyarakat Amerika

untuk menjalankan evolusi yang damai menuju sistem

108
Daniel S Papp, American Foreign Policy: History, Politics, and Policy,
(New York, USA: Allyn and Bacon Longman Person), hlm.27
77

pemerintahan yang liberal dan demokratis.

Hal ini khususnya ketika pemerintah AS mengeluarkan

Undang-undang Tibet pada tahun 2002, masyarakat Amerika

meminta China untuk membuat perbaikan yang signifikan

mengenai rekam jejak pelanggaran HAM dan diharapkan

pemerintah AS lebih tetap pendiriannya dalam

mengambil langkah mengenai meluasnya pelanggaran HAM

Selain Kongres AS dan pemerintah, pembuatan kebijakan

mengenai China juga terbuka untuk lembaga swadaya

masyarakat (LSM) dan kelompok kepentingan lainnya untuk

memberikan asupan. Sejak tahun 1990-an, kelompok yang

berkepentingan mengenai kebijakan keamanan dan ekonomi

China meningkat. Hal tersebut membuat pembuatan

keputusan lebih sulit ditentukan pada prosesnya.

Kelompok kepentingan itu kini berkonsentrasi pada isu

seperti aborsi, mempekerjakan para napi, kebebasan

beragama, HAM, nuklir, nonproliferasi misil, Tibet,

Taiwan, dan Xinjiang109, memperluas pengaruh mereka dan

terlibat lebih jauh dalam kebijakan luar negeri terhadap

China. Organisasi perburuhan dan HAM, masyarakat

konservatif dan relijius lebih mendukung upaya-upaya

untuk memperlakukan China dengan cara keras terkait

rekam jejak HAM-nya.

109
Dumbaugh, Op.cit, hlm. 18
78

Perhatian terhadap kondisi HAM yang terjadi di

Tibet, tidak hanya dilakukan oleh pemerintah AS saja,

akan tetapi masyarakat AS pun berpartisipasi atas

keprihatinan mereka terhadap warga Tibet. Di antaranya,

keprihatinan tersebut datang dari kalangan seniman,

mereka membuat film yang berjudul “Seven Years in

Tibet”.110 Dukungan masyarakat AS terhadap warga Tibet

sangatlah kuat, mereka menyerukan pemerintah China untuk

menghentikan pelanggaran HAM yang dilakukan, juga

menyerukan pemerintah AS untuk memiliki ketertarikan

terhadap isu HAM dan demokrasi di China.

Sebagian besar warga AS mendukung pemerintah untuk

mengambil sikap yang tegas terhadap China atas

pelanggarannya terhadap HAM warga Tibet. Akan tetapi

sebagian lain merekomendasikan pemerintah AS untuk

menjalin hubungan yang erat dengan China dan tidak

mengambil mencampuri kondisi internal China termasuk

Tibet. Hal tersebut ternyatakan dalam jajak pendapat

yang dilakukan oleh media massa AS, CNN, mengenai

pandangan masyarakat AS terhadap Dalai Lama XIV dan

kondisi HAM atas warga Tibet.111

Pemerintah AS merespon dukungan warganya

110
Kurnosenko Ekaterina, China, the Dalai Lama, and the Question of
Soft Power. (Central European University, Hungaria, 2010), hlm. 37.
111
Ibid, hlm. 39
79

terhadap Tibet dengan Presiden Barack Obama mengadakan

pertemuan dengan Dalai Lama XIV dalam kapasitasnya

sebagai pemimpin spiritual Tibet. Dalam pertemuan

tersebut pemerintah AS mendukung secara penuh

pemeliharaan keunikan budaya, agama, dan indentitas

bahasa Tibet serta menjamin perlindungan HAM terhadap

warga Tibet yang berada di China.112

Namun seperti kebanyakan presiden AS sebelumnya,

Presiden Barack Obama pun menganggap pertemuan dengan

Dalai Lama XIV tersebut bukanlah suatu simbol dukungan

terhadap kemerdekaan Tibet. Pemerintah pun meminta CNN

untuk memberhentikan jajak pendapat terhadap Tibet, agar

tidak mengganggu kestabilan hubungan dengan China.

Faktor yang juga berpengaruh dalam intervensi AS

dalam kasus pelanggaran HAM di Tibet, yaitu lobi-lobi

yang dilakukan oleh organisasi masyarat Tibet, yakni

International Campaign for Tibet (ICT). Organisasi ini

bekerja untuk mempromosikan HAM dan demokrasi untuk

rakyat Tibet. Organisasi ini didirikan pada tahun 1988

dan berkantor di Dharamsala, India. Amerika Serikat, ICT

berkolaborasi dengan beberapa perangkat pemerintah AS

untuk melobi agar kebijakan AS kepada China juga

menyinggung isu Tibet secara signifikan.


112
Obama and the Dalai Lama: Image versus Reality, diunduhdari
http://www.huffingtonpost.com. diakses pada 17 April 2020, pukul 20.03
80

Perangkat pemerintah AS yang bekerjasama dengan

ICT adalah, kongres AS dan Departemen Luar

Negeri AS. ICT bekerjasama dengan Kongres AS untuk

mengembangkan legislasi yang akan menyediakan

pendanaan bagi program yang menguntungkan masyarakat

Tibet dan menjaga agar Tibet tetap menjadi agenda dalam

kebijakan luar negeri AS. Kerjasama ICT dengan

Departemen Luar Negeri AS ialah untuk memastikan agar

kebijakan luar negeri AS ditujukan untuk kepentingan

Tibet.113

ICT memaksimalkan kinerjanya dalam melobi Kongres

dan Departemen Luar Negeri AS dengan bekerjasama pula

dengan Tibetan Association in the United States dan

International Tibet Support Network.114 Hal-hal yang

dilakukan adalah seperti pada tahun 2010 dalam rangka

Hari Lobi Tibet, ICT mengumpulkan warga Tibet dari yang

berada di AS untuk menyuarakan perlindungan HAM terhadap

warga Tibet di daratan China dan meminta pemerintah AS

untuk memaksa China untuk memperbaiki rekam jejak HAM-

nya di Tibet. Secara khusus, hal yang diminta masyarakat

Tibet di AS ini adalah, menginisiasi sebuah resolusi

113
U.S Government and Legislative Advocacy. Diunduh dari
http://www.savetibet.org/policy-center), diakses pada 17 April 2020, pukul
21.05
114
Tibetan Association of North California, diunduh dari
http://www.tanc.org/tibet-lobby-day-onward-to-2011/). Diakses pada 17 April
2002, pukul 21.11
81

yang mendorong pemerintah AS untuk seara aktif

mendukung proses dialog antara Dalai Lama XIV dan

pemerintah China; mengesahkan undang-undang untuk

pembentukan konsulat AS di Lhasa; melanjutkan pendanan

untuk program masyarakat Tibet di bawah Undang- undang

Operasi Bantuan Luar Negeri; dan mengadvokasi

pembebasan tanpa syarat tawanan politik Tibet.

Berasarkan advokasi ICT terhadap Kongres dan Deplu

AS ini, diperoleh bantuan dari pemerintah dan Kongres

AS mengenai isu HAM di Tibet. Adapun bantuan yang

diberikan berupa bantuan langsung dan tidak langsung.

Bantuan langsung yang dimaksud adalah dukungan dana

yang diberikan untuk program pengembangan masyarakat

Tibet, sedangkan bantuan tidak langsung yang diberikan

adalah bantuan seperti ketetapan-ketetapan yang

dikeluarkan Kongres AS berupa undang-undang, contohnya

Tibetan Policy Act pada tahun 2002. Bantuan tidak

langsung yang juga diberikan adalah penggalangan

dukungan.

Selain memberikan dana bantuan dan mengeluarkan

ketetapan, AS sering secara tidak langsung menggalang

dukungan untuk Dalai Lama XIV agar mendapat bantuan

pihak internasional. Secara tidak langsung AS telah

melakukan kampanye untuk mendukung kemerdekaan Tibet


82

dari China. dukungan ini terlihat dari banyaknya

publikasi terhadap Dalai Lama yang merupakan pemimpin

spiritual Tibet. Begitu pula dengan pemberitaan di media

massa yang mengedepankan pelanggaran HAM pemerintah China

terhadap warga Tibet di China.

B.Faktor Eksternal

Kenaikan ekonomi China menyebabkan pertumbuhan

substansial dalam hubungan ekonomi AS-China. Total

perdagangan anatara kedua negara telah meningkat dari 49

miliar dolar AS pada tahun 1980 menjadi sekitar 343

miliar dolar AS pada tahun 2006. Bagi AS, China saat ini

merupakan mitra dagang terbesar ke-4 dalam pasar ekspor dan

ke-2 terbesar sebagai sumber impor. 1 1 5 Barang-barang impor

dari China yang murah telah meningkatkan daya beli

konsumen di AS.

Perusahaan- perusahaan AS memiliki operasi

manufaktur yang luas di China untuk menjual produk

mereka di pasar. Perekonomian China berkembang

pesakarena mereka mampu mengambil keuntungan dari upah

tenaga kerja yang murah untuk barang ekspor. Meskipun

pertumbuhan ekonomi China yang pesat ini menjadi

ancaman bagi perekonomiannya, namun AS tetap

115
Ekaterina, Op.cit, hlm. 54
83

mempertahanan kesempatan kerjasama demi pertumbuhan

ekonomi AS yang terkena krisis global pada tahun 2008.

Sejak diperkenalkannya reformasi ekonomi, ekonomi

China telah tumbuh lebih cepat daripada masa sebelum

reformasi dan telah menjadi salah satu negara dengan

pertumbuhan ekonomi tercepat. Sejak tahun 1960 hingga

tahun 1978, pertumbuhan pendapatan kotor domestik riil

China tahunan rata-rata 5,3%.116

Namun, dalam periode setelah reformasi 1979-2006

tercatat pertumbuhan rata-rata 9,7%. Reformasi ekonomi

China dan pertumbuhannya dapat mendatangkan keuntungan

bagi perekonomian AS dengan cara, pertumbuhan pesat

ekonomi China dan jumlah populasi terbanyak serta

kebutuhan pembangunan nasional, membuat China menjadi

pasar yang berpeluang besar untuk AS; China menjadi

sumber impor kedua terbesar AS.

Produk-produk impor murah dari China membantu AS

untuk menahan laju inflasi di negaranya disebabkan

meningkatnya daya beli dan tersedianya jumlah barang yang

beredar. Hal ini membuat AS memiliki keunggulan

komparatif atas produksi barang dan jasanya; dan China

membantu mendanai defisit anggaran federal AS, sehingga

116
Ibid, hlm. 56
84

mempertahankan suku bunga tetap rendah.

Berdasarkan penjelasan tersebut tentang faktor

pertumbuhan ekonomi China, dapat disimpulkan bahwa

hal tersebut memengaruhi kebijakan AS terhadap isu-isu

terkait China termasuk tentang pelanggaran HAM yang

dilakukan oleh pemerintah China atas warga Tibet. Saat

ini berseberangan dengan China bukanlah pilihan bagi

AS. Hal tersebut antara lain disebabkan karena potensi

sumber mineral Tibet dan ketergantungan ekonomi dan

perdagangan AS terhadap China serta dukungan China untuk

sanksi kepada Iran (Adelina, 2012: 67). Faktor yang

juga mempengaruhi inkonsistensi AS terhadap permasalah

Tibet pada periode 2009-2010 adalah ketergantungan AS

terhadap China dalam bidang ekonomi dan perdagangan yang

terus meningkat.

Hal ini menjadi salah satu alasan penting bagi AS

untuk tetap menjalin hubungan baik dengan negara

tersebut. Berdasarkan hal tersebut pula diketahui, bahwa

faktor-faktor ekonomi merupakan pertimbangan penting

bagi kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah

AS. Hal ini menunjukkan, bahwa kepentingan nasional AS

adalah hal yang utama dalam kebijakan terhadap isu HAM

di Tibet. Pertumbuhan pesat China secara ekonomi yang


85

berkebalikan dengan perlindungan pemerintahnya terhadap

HAM warga sipil, sehingga cukup untuk menyatakan

bahwa secara gagasan dan implementasi, merupakan

ancaman pada dominasi AS di dunia.117

Pertumbuhan luar biasa ekonomi China dan diplomasi

aktif China di arena internasional merupakan

transformasi China menuju kekuatan dan pengaruh China

yang lebih besar di dunia. Pertumbuhan ekonomi yang

masif ini berimplikasi pada perubahan struktur

internasional yang tidak lagi dipegang oleh AS pasca-

Perang Dingin. China menjadi negara yang memimpin

di antara negara-negara berkembang lainnya. AS merupakan

negara terkuat di dunia, namun ada pula kekuatan baru

yang mengancam dominasi AS sehingga mengubah struktur

internasional menjadi multipolar, yaitu China.118

Dengan perubahan struktur internasional ini

diprediksikan akan menghasilkan tensi, ketidakpercayaan,

dan konflik AS dan China akibat transisi kekuatan.119

Oleh karena itu, meskipun AS tidak dapat menghentikan

117
Bergsten C Fred, A Partnership of Equals: How Washington Should
Respond to China’s Economic Challenge, ( Jurnal Foreign Affairs, Volume
88),hlm. 57
118
J Mearsheimer, Foreign Policy: Clash of the Titans, diunduh dari
http://www .foreignpolicy.com/story/cms.php?story_id=2740&page=0,
119
The Rise of China and the Future of the West: Can the Liberal System
Survive? Diunduh dari ,http://www.foreignaffairs.com/articles/63042/g-john-
ikenberry/the-rise-of-china-and-the-future-of-the-west , diakses pada 17 April
2020, pukul 11.08
86

pertumbuhan ekonomi China, namun AS dapat menghalangi

dominasi China di arena internasional.

Akibat dari pertumbuhan ekonomi pula, China

berupaya untuk memodernisasi militer mereka. Hal

tersebut telah dilakukan China setidaknya sejak

pertengahan akhir tahun 1990-an. Modernisasi militer

dilakukan dengan cara meningkatkan jumlah anggaran untuk

pertahanan, modernisasi persenjataan, dan kemampuan

tentara China. Industri pertahanan dalam negeri China

juga mengalami peningkatan. Saat ini postur militer

China dapat menandingi kekuatan militer AS.

Seiring dengan semua aktivitas peningkatan militer

China, timbul kekhawatiran dari AS bila hal tersebut akan

menimbulkan kembali agresivitas China terhadap masyarakat

Tibet. Oleh karena itu, AS melakukan intervensi dalam

kasus pelanggaran HAM di Tibet.


Sebagai negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi

yang pesat dansalah satu anggota tetap DK PBB, AS

membutuhkan China untuk memecahkan isu global yang

kompleks seperti, krisis keuangan, terorisme, kejahatan

lintas batas, perubahan iklim, dan non-proliferasi

nuklir. AS berupaya untuk mengutamakan masalah program

nuklir Iran dan Korea Utara dalam komponen inti dari


87

hubungan AS-China.120

AS mengalami jalan buntu terkait sanksi atas

pengembangan nuklir Korea Utara dan Iran. China yang

bergantung pada persediaan minyak bumi dan gas alam dari

Iran, melawan sejumlah sanksi yang akan dijatuhkan, dan

berpendapat bila penjatuhan sanksi dianggap hal yang

tidak produktif terhadap perdamaian. Dengan keadaan yang

seperti ini, menjadi pihak yang berseberangan dengan

China bukan pilihan strategis AS. bersekutu dengan China

untuk menjatuhkan sanksi atas program pengembangan

nuklir Iran dan Korea Utara merupakan pilihan yang

akan diambil oleh AS. jika dilihat dari sikap AS yang

cenderung tidak bersikap konfrontatif terhadap kasus

pelanggaran HAM di Tibet, dapat disimpulkan bahwa AS

sedang tidak ingin membuat China tidak senang terhadap

AS.

Hal ini disebabkan karena kedaulatan dan kesatuan

wilayah merupakan masalah yang sensitif bagi pihak

China. Selama ini China tidak menolerir negara lain

yang berusaha mengganggu kedaulatannya di Tibet

Kepentingan Nasional AS di Tibet. Isu Tibet merupakan

isu penting dalam hubungan AS-China. Isu ini juga

120
Lawrence, Op.cit, hlm. 9
88

merupakan salah satu masalah multidimensi di dunia.121

China menolak segala bentuk keterlibatan asing dalam

permasalahan Tibet, China menjelaskan perbedaan situasi

antara Taiwan dan Tibet secara jelas. Taiwan secara

geografis merupakan wilayah yang terpisah dari daratan

China dan memiliki tingkat intensitas politik yang

rendah jika terjadi keterlibatan politis dengan negara

lain.

Di sisi lain, Tibet memiliki keterkaitan historis

yang tinggi dengan China daratan dan tidak dapat

dijadikan area bagi negara lain untuk terlibat secara

politis (Sautman, 1998: 17). Sautman berpendapat bila

keterlibatan AS di Tibet memilki beberapa latar

belakang. Alasan pemerintah AS tetap mengawasi kondisi

HAM di Tibet disebabkan kepedulian warga AS terhadap isu

HAM di Tibet. AS berperan sebagai mediator dalam isu

pelanggaran HAM di Tibet oleh China. Hal tersebut akan

menaikkan citra AS sebagai pengusung kemerdekaan dan

kebebasan, hal yang sama juga dilakukan AS terhadap isu

HAM di Afganistan. Sautman juga menyatakan bila

intervensi AS dalam HAM di Tibet ini merupakan usaha

untuk menjaga posisi hegemoni AS di dunia.

121
Sautman, Barry, The Tibet Issue in Post-Summit Sino-American
Relations, (Jurnal Pacific Affairs, Volume 72 nomor 1, 2009). hlm. 17
89

Dalam penelitian ini kepentingan yang dianalisis di

balik intervensi AS terhadap kasus pelanggaran HAM di

Tibet periode 2009-2012 adalah karena adanya kepentingan

nasional yang ingin dicapai AS yaitu kepentingan

ekonomi. Kepentingan ekonomi yang dimaksud adalah

kebutuhan akan bahan-bahan mineral dan minyak bumi yang

semakin meningkat. Wilayah Tibet merupakan wilayah yang

kaya bahan-bahan mineral. Tibet merupakan salah satu

ladang bahan mineral andalan China Ketergantungan AS

terhadap bahan-bahan mineral semakin tinggi karena

meningkatnya permintaan sedangkan produksi domestiknya

menurun. Langkanya ketersediaan bahan-bahan mineral

merupakan hal yang paling penting bagi AS.122

Standar kehidupan warga AS bergantung pada mineral-

mineral nonmigas. Terdapat empat faktor besar yang

menyumbangkan pada ketergantungan AS akan kebutuhan

mineral non migas, yaitu : 12 3

(1) kebutuhan yang meningkat akan bahan-bahan

mineral untuk keperluan pertahanan atau

industri;

122
G. Kevin Jones, United States Dependence on Imports of Four
Strategic and Critical Minerals: Implications and Policy Alternatives
(Boston College Environmental Affairs Law Review volume 12 issue 2,
Boston College Law School, 1989), hlm. 222
123
Ibid, hlm. 223
90

(2) sedikitnya jumlah cadangan mineral di dalam

negeri;

(3) terbatasnya potensi untuk pengembangan sumber

daya pengganti mineral; dan

(4) tiadanya energi alternatif yang akan menopang

kebutuhan tersebut atau tiadanya ketersediaan

sumber mineral yang lebih aman.

Konsumsi yang tinggi akan bahan-bahan mentah dunia

dipegang oleh AS, negara-negara Eropa, dan Jepang,

menyumbangkan penurunan ketersediaan mineral-mineral

dunia, dan konsumsi tersebut diperkirakan akan terus

meningkat jumlahnya. Produk-produk mineral tersebut

dipergunakan sebagai bahan baku teknologi industri

energi dan pertahanan serta produk-produk konsumen

berteknologi tinggi yang disebabkan oleh standar hidup

masyarakat modern.

Dengan keadaan seperti ini, industrialisasi dunia

sedang dalam transisi dari era eksploitasi bahan-bahan

mineral menuju periode kelangkaan bahan-bahan mineral.

Hal tersebut merupakan perubahan penting di dunia pasar

bahan-bahan mentah yang berpengaruh pada kepentingan

AS. AS menghadapi masa yang terdapat peningkatan

kompetisi terhadap akses bahan-bahan mineral dengan


91

negara-negara berkembang, dalam hal ini

negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi yang

pesat adalah China.

AS berusaha untuk memenuhi kelangkaan mineral

domestik tersebut, namun mengalami kendala, yaitu

sumber-sumber tambang mineral tidak mudah untuk

ditemukan, kualitas bahan mineral yang menurun, dan

biaya penambangan yang meningkat.

Oleh karena itu, AS menjadi sangat bergantung pada

ketersediaan bahan-bahan mineral dari luar negeri dan

konsekuensinya terjadi defisit perdagangan pada bidang

bahan-bahan material mineral dan berusaha untuk mencari

sumber mineral demi memenuhi kebutuhan domestik dengan

harga yang murah dan tidak bergantung pada impor.

Di Tibet terdapat berbagai bahan-bahan mineral yang

dibutuhkan oleh AS. bahan-bahan mineral tersebut juga

dibutuhkan oleh China untuk keperluan pembangunan

nasionalnya guna meningkatkan pertumbuhan ekonominya

dengan industrialisasi. Melimpahnya bahan-bahan mineral

di Tibet dan ekploitasi sumber tersebut untuk peningkatan

ekonomi China membuat AS khawatir. Bahan-bahan mineral

yang terjadi kelangkaan di AS, yaitu krom, kobalt,

mangan, dan logam-logam platinum. Sementara sebagian

besar kebutuhan AS tersebut tersedia di Tibet. Bahan-


92

bahan mineral yang tersedia di Tibet, yakni penghasil

terbesar di dunia uranium dan sodium, sementara lainnya

adalah krom, aluminium, kristal, tembaga, logam, sulfur,

mika, litium yang sebagai bahan reaktor nuklir, besi,

grafit, emas, dan minyak bumi.

AS sangat menggantungkan pula pembangunan

nasionalnya terhadap cadangan minyak bumi dan gas alam.

AS mengalami puncak produksi pada era tahun 1970-an

dengan hasil mencapai 9,64 juta barrel per hari, namun

sekarang hanya 40%.124 Konsumsi minyak dan gas AS pada

tahun 2009 menempati posisi paling puncak sebagai negara

yang mengonsumsi minyak paling besar di dunia.125 Dengan

kebutuhan minyak yang sangat besar untuk memenuhi

kebutuhan negaranya. Wilayah atau negara dengan

persediaan sumber daya alam minyak dan gas menjadi

sangat penting keberadaannya bagi AS.

Saat ini konsumsi minyak AS mencapai 20 juta

barrel per hari, dengan komposisi 55% dipenuhi melalui

impor, sedangkan sisanya dihasilkan dari ladang minyaknya

sendiri. Untuk kebutuhan impor tersebut, setiap hari AS

mengeluarkan sebesar 390 juta dollar AS, setengahnya

dibayarkan kepada negara-negara anggota pengekspor

minyak, sementara sekitar 25% untuk negara-negara di


124
Adelina, Op.cit, hlm. 40.
125
Ibid, hlm. 41
93

teluk Persia. Dalam kurun waktu dua puluh tahun ke

depan, tingkat konsumsi minyak AS diperkirakan mencapai

28,3 juta barrel per hari atau naik 40% dari konsumsi

saat ini. Padahal, produksi domestiknya hanya dapat

memenuhi 30% dari total kebutuhan.

Jumlah bahan-bahan mineral yang diproduksi

oleh Tibet, yaitu:

(1) Krom. Cadangan krom di Tibet

merupakan penghasil terbesar di China.

Cadangan tersebut sebesar 40% dari total

cadangan krom China secara keseluruhan.

Berdasarkan data terakhir antara tahun 1978-

1979 krom menghasilkan jumlah produksi

sebesar 60.000 to deposit krom per tahun dan

meningkat hingga 300.000 ton dari tahun 1985

hingga 1985. Wilayah penambangan krom di

Tibet berada di wilayah Norbusa Chromite

Mine di Lhoka. Nilai potensial penambangan di

tempat ini diperkirakan sebesar 375-500 juta

dollar AS dan mengadung lebih dari 57% krom

oksidasi yang merupakan salah satu deposit

krom terbaik di dunia.

(2) Tembaga. Tibet memiliki cadangan tembaga

sebesar 8,85 juta ton. Wilayah yang menjadi


94

tempat penambangan tembaga, yaitu Yullong

Copper Mine di Chamdo.

(3) Emas. Penambangan emas di Tibet

ditemukan di wilayah Amdo. Jumlah produksi

emas pada tahun 1997 mencapai 827,5 kg dan

dapat memproduksi lebih dari 100 kg per tahun.

(4) Minyak bumi dan gas alam. Penambangan

minyak bumi ditemukan oleh ahli geologi China

di wilayah Tsaindam Basin di Amdo. Jumlah

cadangan minyak bumi di wilayah ini mencapai

42 milyar ton dan cadangan gas sebesar

1500 milyar kubik. Dengan cadangan

sebesar ini, dapat memenuhi

kebutuhan domestik China kemungkinan

selama tujuh tahun.

(5) Uranium. Pada tahun 1990 ditemukan

sejumlah 200 titik deposit emas di Tibet.

Tempat penambangan uranium berada di wilayah

Thewo provinsi Gansu, Yamdrok tso dan Dhamsung

di Lhasa.

Tibet merupakan wilayah yang sangat bernilai

strategis bagi China, bukan hanya letak geografisnya

yang berada pada perbatasan dengan India, tetapi juga


95

Tibet memiliki sejumlah jenis-jenis mineral dan sedikit

kadungan minyak bumi. Tanah yang berada pada dataran

tinggi Tibet mengandung mineral terbesar di dunia, di

antaranya uranium, sodium, litium, tembaga, besi, dan

sejumlah besar emas. Hutan-hutan Tibet juga memiliki

kekayaan alam seperti karet. 1 2 6

Meskipun, memiliki kekayaan alam dan sumber daya

mineral yang banyak diminati oleh hampir semua negara,

namun kepentingan utama AS terhadap Tibet adalah kondisi

negara China tidak stabil. Kebijakan-kebijakan AS yang

ditujukan untuk Tibet adalah cara untuk menghambat China

dari akses cadangan vital minyak bumi dan gas alam, serta

bahan-bahan mineral lainnya.

Ketergantungan AS akan bahan-bahan mineral berasal

dari impor. Pada tahun 2010 negara-negara yang menjadi

sumber impor AS di antaranya adalah China, Kanada,

Maroko, yang merupakan sumber utama impor AS.

Sumber-sumber mineral yang diimpor oleh China ini

sebagian besar atau sekitar 55% berasaldari Tibet. Bahan

mineral yang diimpor oleh China ke AS adalah mika, litium,

mangan, aluminium, tembaga. Dengan besarnya jumlah impor

yang dihasilkan dari Tibet, AS menginginkan untuk


126
Risky geopolitical game: Washington plays Tibet Roulette‟ with
China. diunduh dari :http://www.infowars.com/risky).diakses pada 18 April
2020, pukul 20.07
96

menguasasi wilayah Tibet. Oleh karena itu, AS berupaya

untuk mengganggu kedaulatan China dengan menjadikan isu

HAM di tibet sebagai cara untuk mengintervensi China.

Upaya-upaya AS dalam melakukan reservasi terhadap

kebudayaan Tibet yang meningkat di wilayah Asia Tengah.

Dalam hal ini, kepentingan strategis AS berhubungan dengan

isu keamanan dan jaminan HAM, dinilai sebagai upaya untuk

mejaga hegemoni global dan bukanlah semata-mata bertujuan

demokrasi. Hal ini disebabkan karena faktor geopolitik,

saat China membiarkan Tibet berada dalam genggaman AS, maka

AS akan memiliki pengaruh di Asia Tengah.

Bila Tibet dapat dikuasai oleh AS, maka pengaruh AS

akan membesar di Asia Tengah, sehingga memunculkan

kesempatan untuk memasukkan Ukraina dan Georgia dalam

keanggotaan Pakta Pertahanan Atlantik Utara. Selain itu,

dapat pula menempatkan misil-misil AS di ambang pintu

perbatasan Rusia. Hal ini akan menjadi pertahanan terhadap

ancaman serangan nuklir Iran kepada AS.

Kepentingan strategis AS yang ingin didapat dari

Tibet adalah letaknya yang temasuk ke dalam wilayah Asia

Tengah, karena Tibet, Xinjiang, dan provinsi Qinghai

merupakan sebagian wilayah China yang berada di kawasan

Asia Tengah dan berbatasan dengan negara-negara penting.

Tibet seperti wilayah strategis lainnya merupakan wilayah


97

yang tepat untuk dijadikan pangkalan militer AS. hal

tersebut dilakukan untuk membendung kekuatan dan

pengaruh China

Upaya-upaya AS dalam melakukan reservasi terhadap

kebudayaan Tibet yang meningkat di wilayah Asia Tengah.

Dalam hal ini, kepentingan strategis AS berhubungan

dengan isu keamanan.

Pasca runtuhnya Uni Soviet, AS dan negara-negara

Barat lainnya mengumumkan program perluasan NATO ke

Eropa Timur, Eropa Tengah, bahkan Asia Tengah. Sasaran

perluasan NATO ke Asia Tengah ini akan menjadi lebih

mudah bila AS mampu menguasai Tibet juga Xinjiang, dua

wilayah di China yang menginginkan kemerdekaan dari

China. Perluasan NATO ke Asia Tengah ini berkaitan

dengan signifikansi Asia Tengah bagi AS. Asia Tengah

merupakan kawasan daratan yang luas mencakup sekitar 21%

dari benua Asia dan terdapat banyak negara di kawasan

ini. Negara yang sepenuhnya berada di kawasan Asia

Tengah, yaitu Kirgizia, Tajikistan, Turkmenistan, dan

Uzbekistan.

Selain memiliki kepentingan untuk mendominasi

kawasan yang kaya akan minyak bumi, gas alam, dan sumber

mineral lainnya, juga memiliki kepentingan untuk memasok

logistik dan peralatan perang ke Afganistan. Kemenangan


98

AS di Afganistan merupakan jangka panjang AS untuk dapat

menundukkan Iran, Rusia, dan negara-negara bekas Uni

Soviet. Bagi AS Pangkalan militernya di kawasan ini

memiliki fungsi dan strategis, yaitu melemahkan pengaruh

Rusia di kawasan bekas Uni Soviet, menekan Iran,

menekan China dan mendominasi peran untuk kepentingan

jangka panjang AS.

Oleh karena itu, AS berusaha mengamankan wilayah-

wilayah strategis terutama di kawasan Asia Tengah agar

dapat membendung kekuatan dan pengaruh China. penguasaan

terhadap wilayah Tibet dan membantu Dalai Lama XIV yang

ingin memerdekakan diri dari China merupakan salah satu

pilihan strategis AS untuk menjaga keamanannya.


99

BAB V
PENUTUP

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan konsep

kepentingan nasional untuk menyimpulkan respon AS

terhadap pelanggaran HAM di Tibet tahun 2009- 2012.

Kesimpulan pertama adalah adanya kepentingan ekonomi AS

di Tibet berupa sumber-sumber mineral dan kepentingan

strategis yaitu upaya perluasan NATO ke Asia Tengah.

Kesimpulan ke dua adalah kebangkitan ekonomi China

merupakan ancaman bagi dominasi ekonomi AS di dunia.

Kesimpulan ke tiga adalah upaya AS untuk tetap

mempertahankan citranya sebagai polisi dunia di bidang

HAM.

Kebijakan luar negeri AS terhadap kasus pelanggaran

HAM di Tibet tahun 2009-2012 cenderung dipengaruhi oleh

kepentingan nasional dalam proses pembuatan kebijakan.

Respon AS terhadap kasus pelanggaran HAM periode 2009-

2012, sikap AS adalah tetap mendukung Tibet sebagai

bagian dari China. Akan tetapi, AS menunjukkan


10
0
dukungannya terhadap masyarakat Tibet dan mengintervensi

kebijakan China terhadap Tibet yang dianggap sebagai

pelanggaran HAM.

Keberhasilan kebijakan-kebijakan yang dilakukan

oleh AS dalam merespon kasus pelanggaran HAM yang

terjadi di Tibet ini adalah AS berhasil untuk meningkatkan

profil masyarakat Tibet yang mengalami perlakuan yang

tidak sesuai dengan HAM oleh pemerintah China. Keberhasilan

lainnya, yaitu terbentuknya koordinator khusus untuk Tibet

yang bertugas mengawasi jalanny kebijakan yang melindungi

HAM warga Tibet, meskipun upaya pengawasan yang lebih

besar berupa pendirian konsulat AS di Tibet belum

tercapai. Dengan pengawasan tersebut berhasil untuk

mengurangi jumlah terjadinya pelanggara HAM, mengkritik

kebijakan-kebijakan China yang dianggap tidak mendukung HAM

masyarakat Tibet. Namun, selain keberhasilan-keberhasilan

tersebut, terdapat pula upaya AS dalam kasus pelanggaran

HAM ini yang belum memberikan hasil, yaitu upaya AS

sebagai fasilitator mengadakan dialog substantif antara

Dalai Lama XIV dan pemerintah China. Hal ini disebabkan

anggapan China bila dialog tersebut dilaksanakan merupakan

ancaman bagi core interests China.


10
1

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Bricmont, Jean. 2006. Humanitarian Imperialism: Using


Human Rights to Sell War. New York, USA: Monthly
Review Press

Donelly, Jack. 1989. Universal Human Rights in Theory


and Practice. Ithaca, NewYork: Cornell University
Press

Edward, David V. 1982. The American Experince: An


introduction American Political Experience, Third
edition. Englewood Cliffs: Prentice Hall Inc

Foot, Rosemary. 2004. Human Rights and Counter-terrorism


in America‟s Asia Policy. New York, USA: Oxford University
Press

Goldstein, Melvyn C. 1997. The Snow Lion and the Dragon:


China, Tibet, and the Dalai Lama. Berkeley, USA:
University of California Press

Holsti, K.J. 1992. International Politics A Framework


th
for Analys 6 ed. New Jersey: A Simon&Schuster
Company
Jacobson, David. 1996. Rights across Borders. Baltimore, MD:
Johns Hopkins

B. Jurnal
C. Fred, Bergsten. 2009. A Partnership of Equals:
10
2
How Washington Should Respond to China’s Economic
Challenge. Foreign Affairs Volume 88
Topgyal, Tsering. 2011. The Insecurity Dilemma and the
Sino-Tibetan Conflict. London, UK: London School of
Economics and Political Science

Chen, Dingding. 2009. China’s Participation in the


International Human Rights Regime: A State
Identity Perspective. Chinese Journal of
International Politics. Vol. 2.
Cho, Juhyung. 2011. Ideological Competition between the
United States and China in the Field of Human
Rights: Consequences for China’s Diplomacy. ERAS
Edisi 12No.2. University of Oslo, Norway.

Cingraneli, David L. 1985. Human Rights Practices and


the Distribution of U.S. Foreign Aid to Latin
American Countries. American Journal of Political
Science, Vol.29 No.3

Cirlig, Carmein Cristina. 2013. The United States-China


Relation: Impliction for the Eruropean Union.
Library of the European Parliament

Day, Jana R. 2002. Human Rights in Sino-American


Relations. California, USA: Naval Postgraduate
School

Dumbaugh, Kerry. 2008. Tibet: Prospect, Policy, and


U.S.Policy. Congressional Research Service Report

Ekaterina, Kurnosenko. 2010. China, the Dalai Lama, and


the Question of Soft Power. Central European
University, Hungaria

Anda mungkin juga menyukai