Tugas Mandiri
Disusun Oleh:
Kelas IH E
MUHAMMAD NOVRI
11727101998
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-
Nya akhirnya Makalah ini yang berjudul PENYELESAIAN SENGKETA
INTERNASIONAL dapat diselesaikan dengan baik, sesuai dengan waktu yang
di jadwalkan. Shalawat beriring salam terucap kepada junjungan alam yakni
Rasulullah Muhammad SAW, yang telah membawa manusia ke zaman yang
penuh dengan ilmu teknologi.
Makalah ini disusun sebagai salah satu mata kuliah Hukum Internasional
di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Makalah ini tidak terlepas dari
bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan ketulusan
dan kerendahan hati penulis menyapaikan terimakasih kepada:
1. Allah SWT atas rahmat dan hidayah yang telah diberikan.
2. Bapak Mhd. Kastulani,S.H, M.H Selaku Dosen Mata Kuliah Hukum
Internasional.
3. Semua pihak yang turut memberikan support kepada penulis untuk
menyelesaikan makalah ini.
Tidak tertutup kemungkinan bahwa hasil dari Makalah ini masih adanya
kekurangan dan kesalahan serta jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, dengan segala
kerendahan hati akan selalu menerima semua masukan yang ditunjuk untuk
menyempurnakan Makalah ini kedepannya. Akhir kata, berharap semoga Makalah
ini dapat bermanfaat bagi diri pribadi pada khusunya dan pembacanya pada
umumnya.
MUHAMMAD NOVRI
11727101998
i
DAFTAR ISI
ii
BAB III ANALISIS KASUS SENGKETA INTERNASIONAL ANTARA
INDONESIA DAN CINA ATAS LAUT NATUNA ......................... III-24
3.1 Deskripsi Kasus ............................................................................. III-24
3.2 Analisis Kasus Berdasarkan Penyelesaian Internasional ............... III-26
BAB IV PENUTUP ............................................................................................ IV-27
4.1 Kesimpulan .................................................................................. IV-27
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ ....-28
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
sengketa dengan kekerasan antarnegara. karena LBB tidak mampu melakukan
tindakan preventif untuk mencegah terjadinya Perang Dunia ke-2.
Oleh karena itu. Negara-negara yang terlibat dalam PD II membentuk
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai pengganti LBB. Terbentuknya PBB
diharapkan dapat menciptakan kedamaian di Dunia. Dalam praktik hubungan
antarnegara saat ini. PBB telah menjadi organisasi internasional. Piagam PBB
telah dijadikan sebagai landasan utama oleh banyak Negara untuk menyelesaikan
sengketa internasional dengan cara damai. Pencantuman penyelesaian sengketa
secara damai dalam Piagam PBB memang mutlak diperlukan. Hal itu disebabkan
konsekwensi logis dari Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi) PBB itu sendiri. yaitu
menjaga kedamaian dan kemanan dunia (Internasional).
2
4. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa internasional secara
kekerasan.
5. Untuk menjelaskan bagaimana penyelesaian sengketa dagang internasional.
3
BAB 1I
PEMBAHASAN
1
John Collier & Vaughan Lowe, The Settlement of Disputes in International Law: Institutions and
Procedures, (New York : Oxford University Press Inc, 1999), hlm.1.
2
Ibid.
3
Ibid.,h.2.
4
Ibid.,h.1.
4
memberikan pengertian mengenai apa itu sengketa. Merrills mengartikan
sengketa (dispute) sebagai, “specific disagreement concerning a matter of fact,
law or policy in which a claim or assertion of one party is met with refusal,
counter-claim or denial by another.”Pengertian sengketa tersebut bila
diterjemahkan secara bebas menjadi sebuah ketidaksepakatan secara spesifik
mengenai suatu fakta, hukum atau kebijakan dimana klaim atau pernyataan suatu
pihak dipenuhi dengan penolakan, klaim balik atau penyangkalan oleh pihak
lainnya.
Berdasarkan definisi tersebut di atas, secara ringkas diketahui bahwa:
5
Sefriani, Peran Hukum Internasional dalam hubungan internasional kontenporer, (Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2016), hlm.354.
6
Richard B. Bilder, 1986, An Overview of International Dispute Settlement, Journal of
International Dispute Resolution, Vol.1,No.1(Fall1986), diakses via
file:///C:/Users/User/Downloads/SSRN-id1551962.pdfdiakses padal 24 Juli 2017, h.4.
5
Kata internasional, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
memiliki arti menyangkut bangsa atau negeri seluruh dunia; antar
bangsa.7Sebagimana dikemukakan Sefriani bahwa suatu sengketa internasional
adalah sengketa yang tidak secara eksklusif merupakan urusan dalam negeri suatu
negara. Hal ini karena mengacu pada subjek-subjek hukum internasional
yangdewasa ini meluas hingga mencakup banyak aktor non negara.8
Lebih lanjut, J.G. Merrills mengemukakan bahwa agar suatu sengketa
dapat disebut sebagai sengketa internasional, maka sengketa itu harus memiliki
elemenberikut:9
1. Jika ketidaksepakatan melibatkan pemerintahan, institusi, orang hukum
(juristic persons) atau perusahaan, atau individu pribadi;dan
2. di berbagai belahan dunia yangberbeda.
Mengacu pada berbagai uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa sengketa
internasionaladalah:
7
Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses via http://kbbi.web.id/internasional pada 24 Juli2017.
8
Sefriani, Op.Cit.,h.355.
9
J.G. Merrills, loc.cit.
6
konvensi yang membuat hukum yang sangat penting seperti Konvensi The Hague
1899 dan 1907 untuk Penyelesaian secara Damai Sengketa-sengketa Internasional
dan Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dirumuskan di San Fransisco tahun
1945. Salah satu tujuan pokok Charter tersebut adalah membentuk Organisasi
Persetujuan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk mempermudah penyelesaian
secara damai perselisihan-perselisihan antara negara-negara. Pada umumnya,
metode-metode penyelesaian sengketa internasional publik digolongkan dalam
dua kategori, yaitu penyelesaian secara damai dan secara paksa atau dengan
kekerasan.
10
Martin Dixon, 2007, International Law, 7th Ed, Oxford University Press, New York, h.275.
Lihat juga United Nations, ICJ Rejcts Yugoslavia‟s Request For Order to Halt Use of Force
by Belgium, Remains Seizedof Case diakses via
https://www.un.org/press/en/1999/19990603.ICJ574.htmlpada 26 Juli2017.
7
dalam menyelesaikan sengketanya.11 Dalam penyelesaian sengketa, prinsip ini
terlihat dalam tahap:
Disyaratkan untuk pencegahan timbulnya sengketa; dan
Ketika para pohak menyelesaikan sengketanya dengan cara penyelesaian yang
dikenal secara internasional seperti mediasi, negosiasi, konsiliasi, srbitrase,
pengadilan atau cara lain yang dipilih para pihak.12 Contoh pengaturan prinsip
itikad baik tersebut dapat dilihat pada Section 1 Paragraph 1 Manila
Declaration, Pasal 13 Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia
(Bali Concord 1976), Section 1 Paragraph 5 Manila Declaration.13
Prinsip itikad baik ini merupakan pula prinsip dasar terkait peciptaan dan
eksekusi kewajiban-kewajiban hukum dalam ranah hukum internasional
publik.14Sebagai salah satu contohnya, prinsip itikad baik ini termuat dalam
Pasal 26 Vienna Convention on the Law ofTreaties.15
b. Prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa Dengan
adanya prinsip ini maka, para pihak bersengketadalamsengketa internasional
dilarang menyelesaikan sengketanya melalui cara kekerasan atau dengan
menggunakan senjata. Contoh pengaturan prinsip ini dapat ditemukan dalam Pasal 13
Bali Concord, Preambule ke-4 dari Manila Declaration.16
c. Prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaiansengketa
Menurut prinsip ini, para pihak bersengketa memiliki kebebasan penuh untuk
memilih cara-cara penyelesaian sengketa internasionalnya. Sebagaimana ditentukan
Pasal 2 ayat (3) jo. Pasal 33 (1) Piagam PBB dimana penyelesaian sengketa pada
dasarnya dilakukan dengan cara-cara damai sedemikian rupa yang mana perihal jenis
11
Huala Adolf, 2016, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Cet-6, Sinar Grafika, Jakarta,
h.15.
12
Ibid.,h.16.
13
Ibid.,h.15-16.
14
World Trade Organization, Dispute Settlement Reports 2008 Volume XI: Pages 3889 to
4370,CambridgeUniversity Press, New York, diakses via
https://books.google.co.id/books?id=MWUUXrGcyVMC&pg=PA4192&dq=definition+good+
faith+dispute+settlement&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwixjrK345zVAhXFmJQKHbaNAuUQ
6AEIITAA#v=onepage&q=definition%20good%20faith%20dispute%20settlement&f=false
pada 24 Juli 2017, p. 4192.
15
Ketentuan Pasal 26 Vienna Convention on the Law of Treaties menentukanbahwa,“Every
treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in goodfaith.”
16
Huala Adolf,Op.Cit.,h.16.
8
penyelesaian secara damainya diberikan ruang terbuka bagi para pihak untuk
memilih, baik itu yang ditentukan Piagam PBB maupun cara damai lain yang
disepakati para pihak bersengketa.
d. Prinsip kebebasan memilih hukum yang diterapkan dalam pokok sengketa
Bila sengketa internasional para pihak diselesaikan melalui
jalurbadanperadilan, maka para pihak diberi kebebasan untuk memilih sendiri
hukum mana yang diterapkan dalam pokok sengketanya. Sehubungan dengan hal
tersebut, Pasal 38 (2) Statuta Mahkamah Internasional pada dasarnya menentukan
bahwa,”This provision shal not prejudice the power ofthe Court to decide a case ex
aequo etbono, if the parties agree hereon”. Ini berarti, para pihak juga memiliki
kebebasan dalam hal memilih kepatutan atau kelayakan.17
e. Prinsip kesepakatan para pihak yang bersengketa(konsensus)
Prinsip konsensus antara pihak yang bersengketa menjadi dasar dari pelaksanaan
prinsip kebebasan memilih cara penyelesaian sengketa dan memilih hukum yang
akan diterapkan dalam pokok sengketa.18Pada dasarnya, para pihak haruslah secara
bersama sepakat agar dapat menentukan pilihannya.
f. Prinsip exhaustion of local remedies
Berdasarkan prinsip ini maka sebelum pihak yang merasa dirugikan dalam sengketa
mengajukan sengketanya di tingkat internasional, pengadilan nasional diberikan
kesempatan terlebih dahulu untuk memberikan remedy padanya.19
Setelah mengetahui ketentuan Pasal 2 ayat (3) Piagam PBB dan beberapa
prinsip dalam penyelesian sengketa internasional, pertanyaan yang timbul
berikutnya adalah apa saja cara-cara damai dalam menyelesaikan sengketa
internasional yang dimaksud oleh Piagam PBB tersebut. Lebih lanjut, mengacu
pada ketentuan Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB diketahui bahwa, ”The parties to
any dispute, the continuance of which is likely to endanger the maintenance of
international peace and security, shall, first of all, seek a solution by negotiation,
enquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to
regional agencies or arrangements, or other peaceful means of their own
17
Ibid.,h.17
18
Ibid.
19
Sefriani, Op.Cit.,h.359.
9
choice”. Sehingga cara-cara penyelesaian sengketa secara damai yang terlebih
dahulu harus ditempuh para pihak dalam setiap sengketa yang kelanjutannya
cenderung membahayakan pemeliharaan perdamaian dan kemanan internasional
sebagaimana diatur menurut Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB adalahmelalui:
20
Menno Kaminga, 2013, Methods of IDS, slide presentasi disampaikan dalam perkuliahan
pertama periode satu mata kuliah International Dispute Settlement di Maastricht University,
the Netherlands.
21
Hikmahanto Juwana, Arbitrase Sebagai Forum Penyelesaian Sengketa, tulisan di dalam buku
Percikan Pemikiran Hukum, Ketatanegaraan, dan Kebijakan Publik (dalam
rangkamemperingati 70 Tahun Prof. Dr. Bintan Saragih, SH), 2010, Eds. Philips A.Kana &
Otong Rosadi, Widan Akademika Univ. Eka Sakti Press pada buku Sophar Maru Hutagalung,
2012, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta,
h.4.
22
Malcolm N. Shaw QC, 2013, Hukum Internasional,Nusa Media, Bandung, h.1020.
10
mencapai mufakat tidak selalu disiratkan dalam kesepakatan bernegosiasi,
“memang menyiratkan upaya serius menuju ke atas itu harus dilakukan.” 23Pada
proses negosiasi, tidak ada peran serta pihak ketiga dalam proses penyelesaian
sengketanya.24 Negosiasi bisa dilakukan bilateral, multilateral, formal maupun
informal sebab tidak ada tata cara khusus untuk melakukannya. 25 Namun, perlu
dibedakan antara prosedur negosiasi yang dipakai saat sengketa belum lahir yang
disebut sebagai konsultasi dengan negosiasi yang dipakai setelah sengketa lahir yang
merupakan negosiasi proses penyelesaian sengketa dalam arti negosiasi.26
Negosiasi terbilang cara paling penting sebab setiap harinya banyak
sengketa yang dapat terselesaikan tanpa melalui perhatian publik.27Dengan
demikian, hal tersebut dapat dikatakan sebagai salah satu keuntungan negosiasi.
Sedangkan beberapa kelemahan negosiasi yaitu: bila kedudukan para pihak
bersengketa tidak seimbang maka potensi untuk menimbulkan pihak kuat akan
menekan pihak yang lemah; seringkali memakan waktu lama; dan bilamana salah
satu pihak terlalu bersikeras dengan pendiriannya maka proses negosiasi menjadi
tidak produktif.28
2. Pencarian Fakta (enquiry)
Sengketa internasional salah satunya bisa terjadi karena konflik perbedaan
pandangan para pihak bersengketa terhadap suatu fakta yang seringkali
menentukan hak dan kewajiban di antara mereka.29 Oleh karena itu, pencarian
fakta pada dasarnya adalah cara penyelesaian sengketa secara damai dengan
membentuk komisi pencarian fakta/penyeledikan resmi yang dilaksanakan oleh
pengamat bereputasi yang bertujuan untuk mengetahui dengan pasti fakta-fakta
yang menjadi sengketa.30 Pada dasarnya, cara ini dapat dipilih untuk
menyelesaiakan suatu sengketa internasional apabila para pihak bersengketa
sepakat untuk menggunakan cara ini.
23
Ibid., h.1021
24
Ibid.
25
Sefriani, Op.Cit. h. 361.
26
Huala Adolf, Op.Cit., h. 20.
27
Ibid.,h. 19.
28
Ibid.,h.19-20.
29
Ibid.
30
Malcolm N. Shaw QC, Op.Cit.,h.1023.
11
Berdasarkan pengertian di atas diketahui bahwa dalam proses pencarian
fakta dilibatkan peran pihak ketiga. Peran pihak ketiga, yang sifatnya kurang
formal-sehingga bukan pengadilan, dilibatkan dalam proses ini karena umumnya
para pihak bersengketa menempuh cara ini setelah mereka sendiri tidak mampu
menghasilkan suatu penyelesaian, misalnya melalui negosiasi. 31Pencarian fakta
dapat dilaksanakan oleh suatu komisi yang pemanen, organisasi, maupun individu
terpilih dapat memberikan pendapat keahliannya.32
3. Mediasi (mediation)
31
Huala Adolf., loc.cit.
32
Sefriani, op.cit., h.364.
33
Pamela Aall, dkk., 2007, Peacemaking in International Conflict: Methods & Techniques,
ed. I. William Zartman, United States Institute of Peace, Washington D.C, h. 166.
34
Huala Adolf., op.cit.,h.21-22.
35
Sefriani, op.cit.,h.363.
12
4. Konsiliasi (conciliation)
37
L. Oppenheim, 1952, International Law, Vol. II, Edisi ke-7, Ed. H. Lautherpacht, Longmas,
London, h.12 dalam buku Ian Brownlie, 1998, The Rule of Law in International Affairs:
International law at the Fiftieth Anniversary of the United Nations, Kluwer Law International,
The Hague, h. 110.
38
Huala Adolf., loc.cit.
39
Ian Brownlie, ibid.
40
Huala Adolf., op.cit.,h.22-23.
13
konsiliasi dalam hal ia tidak menggalakkan kelanjutan perundingan bersama.41Hal
ini karena peran pihak ketiga dalam arbitrase, yang disebut sebagai arbitrator,
sangatlah aktif dalam hal intervensi dalam sengketa dan mengambil peran sebagai
pembuat keputusan (decision makeri).42Arbitrator ini adalah pihak ketiga yang
sepenuhnya dipillih berdasarkan persetujuan para pihak, merupakan pihak yang
ahli dalam pokok sengketa, netral, tidaklah harus ahli hukum tapi realitanya dalam
komposisi dewan arbitrase minimal tetap ada peran ahli hukum, serta pihak yang
netral.43Putusan yang dikeluarkan dalam arbitrase ini adalah putusan yang final
danmengikat.44
Apabila spara pihak membuat perjanjian dan sepakat memasukkan klausul
penyelesaian sengketa melalui arbitrase ke dalamnya sebelum sengketa itu lahir
maka penyerahan ini disebut dengan clause compromissoire.45Sedangkan bila
sengketa sudah lahir dan akan diselesaikan melalui arbitrase maka penyerahan ini
disebut dengan compromis.46Cara penyelesaian melalui arbitrase ini
dapatdilakukan baik itu melalui penyelesaian dengan seorang arbitrator secara
terlembaga, dalam arti sudah berdiri sebelumnya dan mempnyai hukum acaranya,
contohnya adalah Permanet Court of Arbitration/PCA (Mahkamah Tetap
Arbitrase), atau dengan badan arbitrase ad hoc, yang berarti dibuat para pihak
sementara waktu dan tugasnya berakhir setelah putusan terhadap suatu sengketa
dikeluarkan.47
Mengacu kepada pokok perkaranya, maka arbitrase dapat dibagi menjadi
dua bagian besar yakni48:
a. Arbitrase non komersial yang sering disebut arbitrase internasional publik.
Sebagai contoh adalah PCA;dan
b. Arbitrase komersial yang sering disebut dengan perdata. Istilah komersial ini,
menurut Huala Adolf, merujuk kepada perdagangan, lalu lintas uang,
41
Ibid
42
Ibid
43
Huala Adolf, ibid.
44
Ibid.
45
Ibid.
46
Ibid.
47
Ibid.,h.40.
48
Sefriani, op.cit.,h. 373.
14
perniagaan secara umum sehingga mencakup asuransi, sewa beli, pinjam
meminjam, dan sebagainya.49Sebagai contoh adalah The International Centre
for the Settlement of Investment Dispute/ ICSID.
The Permanent Court of Arbitration (PCA)
15
saja yang dapat menjadi para pihak yang membawa sengketa ke mahkamah ini.52
Negara yang memiliki akses ke Mahkamah Internasional yaitu: negara anggota
PBB53 atau negara non anggota PBB yang menjadi pihak pada Statuta Mahkamah
Internasional dengan syarat mendapat rekomendasi Dewan Keamanan dan
disetujui Majelis Umum.54 Hakim pada Mahkamah Internasional berjumlah 15
orang dan masing-masing memiliki kewarganegaraan berbeda yang dipilih oleh
Majelis Umum dan Dewan Keamanan dari daftar perorangan yang dinominasikan
oleh national groupspada PCA.55 Yurisdiksi Mahkamah Internasional terdiri dari:
a. Terhadap pokok sengketa yang diserahkannya disebut contentious
jurisdiction;
b. Yurisdiksi memberikan nasihat hukum(advisory opinion) disebut sebagai
noncontentious jurisdiction.Salah satu kasus yang dibawa ke hadapan
Mahkamah Internasional adalah North Sea Continental Shelf.56
2. ICC (Mahkamah Pidana Internasional)
Mahkamah Pidana Internasional didirikan berdasarkan Rome Statute of the
International Criminal Court 1998 (Statuta Roma).Mahkamah ini merupakan
institusi yang berbasis perjanjian internasional sehingga mengikat hanya negara
anggotanya saja.57Mahkamah ini memiliki tujuan menginvestigasi dan menuntut
individu yang melakukan kejahatan paling serius dari perhatian internasional
seperti genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against
humanity) dan kejahatan perang (war crimes).58 Mahkamah ini hanya berlaku
terhadap kejahatan yang dilakukan setelah berlakunya Statuta Roma, yakni 1 Juli
2002, dimana tidak ada seorangpun yang harus bertanggung jawab secara
kriminal berdasarkan Statuta ini terhadap tindakan yang dilakukan sebelum
52
Pasal 34 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional.
53
Pasal 93 ayat (1) Piagam PBB dimana seluruh anggota PBB secara ipso facto menjadi anggota
dala Statuta Mahkamah Internasional.
54
Pasal 93 ayat (2) Piagam PBB.
55
Pasal 3 ayat (1) jo. Pasal 4 ayat (1) Piagam PBB.
56
Huala Adolf, Op.Cit., h. 68.
57
M. Cherif Bassiouni, 2013, Introduction to Criminal Law, Martinus Nijhoff Publishers,
Leiden, h.655.
58
Pasal 1 jo. Pasal 6 jo. Pasal 7 jo. Pasal 8 Statuta Roma.
16
berlakunya Statuta ini.59 Yurisdiksi ICC hanya berlaku terhadap individu yang
melakukan kejahatan pada usia 18 tahun ke atas.60
B. Dibawa ke Badan atau Pengurusan Regional (resort to regional agencies
orarrangement)
Pasal 52-54 Piagam PBB61 merupakan landasan bagi penyelesaian
sengketa dengan cara dibawa ke Badan atau Pengaturan Regional. Berdasarkan
ketentuan Pasal 52 ayat (1) Piagam PBB dapat ditarik dua istilah, yaitu: 1.
Regional arragement yang berarti oerjanjian (regional) atau perjanjian
multilateral regional dimana dalam menyelesaiakan sengketanya berbagai negara
pada suatu region tertentu sepakat dalam regional arrangements, contoh:
European Convention for the Peaceful Settlement of Dispute 1957; dan 2.
Regional agencies.
merujuk pada organisasi internasional regional yang berstatus subjek
hukum internasional yang memiliki fungsi pemelihara perdamaian dan keamanan
internasional mencakup juga penyelesian sengketa, contoh: the League of Arab
States.62Cara penyelesaian sengketa yang ditawarkan pada muatan perjanjian
penyelesaian sengketa organisasi regional pada dasarnya menyerupai cara yang
ditawarkan Pasal 33 Piagam PBB, misalnya: negosiasi, konsiliasi, mediasi,
penyelidikan, dan penggelaran pasukan keamanan.63Ruang lingkup objek
sengketa dalam regional agencies or arrangement bergantung setidaknya pada
instrumen hukum yang mendasarinya.64
Secara garis besar, cara-cara penyelesaian sengketa secara damai dapat
digambarkan menjadi dua, yaitu65
a. Jalur politik, meliputi: negosiasi, mediasi, jasa baik (good offices), pencarian
fakta;dan
59
Pasal 11 jo. Pasal 24 ayat (1) Statuta Roma.
60
Pasal 1 jo. Pasal 25 ayat (1) jo. Pasal 26 Statuta Roma.
61
Pasal 52-54 Piagam PBB merupakan bagian VIII Piagam PBB mengenai Regional
Arrangements.
62
Huala Adolf., op.cit.,h.117-118.
63
Ibid., h.119
64
Ibid., h.118.
65
Sefriani, op.cit.,h. 359.
17
b. Jalur hukum, meliputi: arbitrase (publik dan komersial), badan peradilan (ICC,
ICJ, berbagai pengadilan adhoc).
66
Ibid.,h. 382.
67
Ibid.
68
Ibid.,h.383.
69
Necula Oana Cristina, 2012, The Line Between Peaceful Settlement of Disputes and the Use of
Force in International Law, Journal Relationes Internationales, Vol.5, No.1 (2012), diaksesvia
file:///C:/Users/ASUS%20K401UQ/Downloads/1690-6220-2-PB.pdf pada 27 Juli 2017, h. 126.
70
Ibid., h. 127.
18
3. Blokade Damai
Blokade damai merupakan blokade yang dilakukan saat damai agar
memaksa negara yang diblokade untuk memenuhi permintaan ganti rugi yang
dialami negara pemblokade.71Contohnya adalah blokade maritim damai dimana
dua penggugat, tidak dalam melakukan perang, namun negara korban
memutuskan untuk secara strategis memposisikan kapal perangnya di salah satu
pelabuhannya untuk menghalangi akses kapal milik negara yang bersalah
tersebut.72
4. Embargo
Istilah embargo berasal dari kata kerja bahasa Spanyol "embargar" yang
merupakan tindakan sebuah negara untuk melarang impor, ekspor, atau
keberangkatan kapal komersial negara lain, dari pelabuhan atau laut teritorialnya,
selama Negara yang bersalah tidak menghentikan tindakan ilegal yang tidak
bersahabat terhadapnya dan tidak mengkompensasi kerusakan yang
ditimbulkan.73
5. Perang
71
Sefriani.,op.cit., h. 385.
72
Necula Oana Cristina, op.cit.,h. 130.
73
Necula Oana Cristina, op.cit., h. 127.
74
Sefriani, op.cit., h. 386.
19
Hukum Internasional privat adalah bagian hukum Internasional yang
terkaitdengan hak dan kewajiban individu sebagai para pihak dan lembaga
Internasional non pemerintah dalam urusan Internasional yang mengacu pada
kaidah prinsip-prinsip hukum perjanjian atau kontrak Internasional dan konvensi
Internasional. Perbedaan acuan kaidah hukum tersebut menimbulkan adanya
perbedaan dalam penyelesaian sengketa Internasional publik dan privat. Di atas
telah dijelaskan metode-metode penyelesaian sengketa publik, sedangkan metode-
metode penyelesaian sengketa privat yakni terletak dalam kontrak kesepakatan
yang telah dibuat sebelum melakukan kesepakatan apakah ditempuh dengan
menggunakan:
2.3.1 Pilihan hukum (choice of law)
Pada prinsipnya, para pihak diberikan kebebasan dalam menentukan
hukum mana yang berlaku dalam perjanjian sesuai dengan prinsip kebebasan
berkontrak. Kebebasan para pihak untuk menetukan hukum ini termasuk
kebebasan untuk memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono).
Prinsip ini adalah sumber di mana pengadilan akan memutus sengketa
berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, kepatutan atau kelayakan suatu penyelesaian
sengketa. Kebebasan memilih ini harus dihormati oleh badan peradilan sebagai
contoh yakni, Pasal 28 ayat (1) UNCITRAL Model Law on International
Commercial Arbitration.
Peran choice of law di sini adalah menentukan hukum yang akan
digunakan oleh badan peradilan (peradilan atau arbitrase) untuk:
1) Menentukan keabsahan suatu kontrak;
2) Menafsirkan suatu kesepakatan-kesepakatan dalam kontrak;
3) Menentukan telah dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya suatu prestasi;
4) Menentukan akibat-akibat hukum dari adana pelanggaran terhadap kontrak.
2.3.2 Pilihan forum (choice of juridiction)
Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, maka para pihak dalam kontrak
dapat memilih pengadilan mana seandainya timbul sengketa terhadap kontrak
yang bersangkutan yang dapat dilakukan melalui pilihan forum pengadilan dan di
luar pengadilan. Forum penyelesaian sengketa dalam hal ini pada prinsipnya juga
20
sama dengan forum yang dikenal dalam hukum penyelesaian sengketa
Internasional pada umumnya (negosiasi, penyelidikan fakta-fakta, mediasi,
konsiliasi, arbitrase) dan penyelesaian melalui pengadilan atau cara-cara yang
desepakati dan dipilih para pihak. Penyelesaian sengketa publik Internasional dan
perdata Internasional tidak memiliki perbedaan jauh, dalam praktik penyelesaian
sengketa perdagangan internasional keduanya senantiasa berjalan bersama tanpa
terpisah satu sama lain.
2.4 Penyelesaian Sengketa Dagang Internasional
75
WorldTradeOrganization,TheWTO,diaksesviahttps://www.wto.org/english/thewto_e/thewto_e.ht
mpada 27 Juli2017.
76
Peter Van Den Bossche, 2008, The Law and Policy of the World Trade Organization:Text,
Cases and Materials, Cambridge University Press, Cambridge, h. 76.
21
internasional. Dalam WTO, penyelesaian sengketa dagang internasional tersebut
dapat ditemukan dalam the Understanding on Rules and Procedures
Governingthe Settlement of Dispute (DSU). DSU ini adalah wujud interpretasi
dan implementasi Pasal III GATT 1947.77 Di antara institusi-institusi yang terlibat
dalam penyelesaian sengketa WTO, harus dipisahkan antara yang disebut Dispute
Settlement Body (DSB) yang merupakan institusi politik, dengan dua institusi
independen bertipe yudisial yang ada di dalamnya yaitu Panel dan Badan
Banding.78
Proses penyelesaian sengketa WTO terdiri dari empat langkah utama, yaitu:
(1) Konsultasi;
(2) Proses panel;
(3) Proses review banding; dan
(4) Implementasi dan penegakan
recommendationsdan rullings dari panel dan/atau Badan Banding,
sebagaimana diadopsi oleh DSB.79Penyelesaian sengketa dalam WTO ini terpaku
pada batas waktu yang ketat sebagaimana diatur dalam DSU.Karakteristik dari
penyelesaian sengketa WTO adalah kerahasiannya, dimana pengajuan tertulis
oleh para pihak sangat rahasia.80 DSU menyediakan tiga jenis upaya hukum
terhadap pelanggaran hukum WTO, yaitu: satu upaya hukum final berupa
penarikan atau amandemen langkah inkonsisten-WTO; dan dua upaya hukum
sementara berupa kompensasi dan penangguhan konsesi atau kewajiban
lainnya(retaliation/pembalasan).81
2. Penyelesaian Sengketa Dagang Internasional melalui The International
Centre for the Settlement of Investment Dispute(ICSID)
ICSID didirikan dengan the Convention on the Settlement of Investment
Disputes between States and Nationals of Other States 1965 (Konvensi
ICSID).ICSID, sebagai salah satu institusi the World Bank group didirikan guna
77
Ade Maman Suherman, 2014, Hukum Perdagangan Internasional:Lembaga Penyelesaian
Sengketa WTO dan Negara Berkembang, Sinar Grafika, Jakarta, h.55
78
Peter Van Den Bossche, op.cit.,h. 313.
79
Ibid., h. 269
80
Ibid.,h. 312.
81
Ibid., h. 313.
22
memfasilitasi tidak hanya arbitrase tapi juga konsiliasi sengketa mengenai
investasi antar negara anggotanya dan perorangan serta perusahan yang
merupakan warga negara dari negara anggotanya yang lain (Pasal 25 (1)
Konvensi ICSID).Pusat kedudukannya terletak di the principal office of the
International Bank for Reconstruction and Development, Washington, DC. Pada
dasarnya kedua belah pihak bersengketa harus sepakat secara tertulis jika akan
menggunakan mekanisme arbitrase ICSID dan bilamana keduanya
telahmemberipersetujuan, maka persetujuan tidak dapat ditarik sepihak.82 Pasal 62
Konvensi ICSID menentukan bahwa proses dilaksanakan di tempat pusat
kedudukan ICSID kecuali para pihak setuju sebaliknya. Dalam menyelesaikan
sengketa investasi di ICSID, dibentuk komisi konsiliasi atau pengadilan arbitrase
untuk sengketa tertentu sesuai dengan ketentuan Konvensi ICSID. 83 Putusan
dalam ICSID diberikan dalam bentuk award, dan bila telah diterbitkan maka
bersifat final dan mengikat para pihak84 serta hanya akan diterbitkan bila disetujui
parapihak.
82
Pasal 25 ayat (1) Konvensi ICSID.
83
Ruth Mackenzie, op.cit.,h.127.
84
Pasal 53 Konvensi ICSID.
23
BAB III
ANALISIS KASUS SENGKETA INTERNASIONAL ANTARA
INDONESIA DAN CHINA ATAS PULAU NATUNA
3.1 Deskripsi Kasus
Pada hari Sabtu, 19 Maret 2016, terjadi insiden yaitu terpergoknya kapal
Motor Kway Fey 10078 berbendera Tiongkok saat melakukan aktivitas
penangkapan ikan diperairan Natuna. Kementerian Kelautan dan Perikanan
mendeteksi kapal nelayan Tiongkok pada hari itu pukul 15.14 WIB berada di
koordinat 5 derajat lintang utara dan 109 derajat bujur timur yang merupakan
Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE) Indonesia.
Insiden itu berbuntut protes resmi dari pemerintah Indonesia karena upaya
penindakan yang hendak dilakukan oleh tim KKP dihalang-halangi oleh kapal
patroli milik badan keamanan laut (coastguard) Tiongkok. Kapal penjaga pantai
(coast guard) milik Angkatan Laut China nekat menerobos perbatasan. Tak hanya
itu, mereka juga menabrak dan menarik paksa kapal yang baru saja ditangkap
operasi gabunganKementerian Kelautan dan Perikanan bersama TNI AL.
Akibat Akibat ulah dari kapal coast guard China yang menerabas wilayah
perairan Natuna, Indonesia ini belum usai. Hal ini membuat pemerintah Indonesia
kini berencana meningkatkan pengamanan wilayah perbatasan itu. Tak sekadar
memperketat pengawasan, mereka bahkan berencana memperkuat posisi militer di
perairan tersebut. Langkah itu dilakukan demi menegakkan kedaulatan NKRI di
lautan khususnya Natuna. Sebagaimana dikutip viva.com, Menteri Koordinator
Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan, saat berkunjung ke
kantor redaksi tvOne, Rabu malam, 23 Maret 2016 mengatakan bahwa Natuna
harus jadi seperti kapal induk kita. Kita Jadikan basis militer yang kuat, AL dan
AU di sana. Dia menambahkan bahwa presiden Joko Widodo bersikap tegas dan
tidak kompromi mengenai persoalan tersebut.
Pemerintah melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sudah
melayangkan protes kepada Pemerintah China, terkait insiden pelanggaran
kedaulatan di perairan laut Natuna, Kepulauan Riau. Menlu sudah memanggil
kuasa usaha sementara Kedutaan Besar China di Jakarta. Menlu langsung
24
menyampaikan tiga hal protes pemerintah Indonesia atas tragedi di laut Natuna
pada Minggu 20 Maret 2016 malam kemarin. Poin kedua dari protes Indonesia ke
negeri Tirai Bambu itu, mengenai upaya yang dilakukan oleh coast guard China
untuk mencegah upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh otoritas Indonesia
di wilayah ZEE dan landas kontinen. Di mana, salah satu kapal coast guard China
tiba-tiba mengejar Kapal Pengawas (KP) Hiu 11 milik Indonesia dan kapal
tangkapan KM Kway Fey 10078 China dengan kecepatan 25 knots. Kapal cost
guard itu justru menabrak kapal tangkapan hingga rusak. Akhirnya, petugas
meninggalkan kapal tangkapan tersebut demi keselamatan. Dan, yang ketiga
adalah keberatan kita atau protes kita terhadap pelanggaran kedaulatan laut
teritorial Indonesia.
Kepulauan Natuna merupakan wilayah Indonesia yang paling utara di
Selat Karimata. Kepulauan Natuna terdiri dari pulau-pulau kecil yang berbatasan
langsung dengan wilayah maritim tiga negara, yaitu Malaysia, Singapura dan
Vietnam.22 Kepulauan Natuna memiliki cadangan gas alam terbesar di kawasan
Asia Pasifik bahkan di Dunia. Cadangan minyak bumi Natuna diperkirakan
mencapai 14.386.470 barel, sedangkan gas bumi 112.356.680 barel. Kawasan laut
Natuna juga merupakan salah satu jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)
dan menjadi lintasan laut Internasional bagi kapal-kapal yang datang dari
Samudera Hindia memasuki negara-negara industri di sekitar laut tersebut dan
juga menuju Samudera Pasifik.23 Akan tetapi, China selama ini mengklaim
kedaulatan di hampir seluruh wilayah Laut China Selatan. Dalam hal wilayah,
China mengklaim 90% wilayah perairan Laut China Selatan seluas 3,6 juta
kilometer persegi. Klaim itu didasari pada peta kuno armada laut China pada abad
kedua sebelum Masehi pada masa dinasti Qin dan dinasti Han. Kemudian dari
tahun 960 sampai 1368, orangorang China memperluas aktivitasnya ke perairanan
pulau Zhongsha dan Nansha. Aktivitasaktivitas China berlanjut terus sampai
tahun 1911, dimana wilayah kegiatannya sudah mencakup semua pulau di Laut
China Selatan
25
3.2 Analisis Kasus Berdasarkan Penyelesaian Internasional
Mengenai kemelut yang terjadi di Laut China Selatan, sebenarnya
Indonesia sejak dahulu telah melakukan upaya diplomatik agar sengketa Laut
China Selatan tidak meluasdi wilayah kedaulatan Indonesia di Natuna. Pada saat
itu, Menlu Indonesia Marty Natalegawa dan Menlu China Yang Jiechi sepakat
untuk mengadakan diplomasi dalam menyelesaikan sengketa Laut China Selatan.
Mengimplementasikan secara penuh dan efektif dari Declaration on the conduct
of Parties in the Shout China Sea (DOC), yaitu membangun rasa saling percaya,
meningkatkan kerjasama, memelihara perdamaian dan stabilitas di Laut China
Selatan.25 Dalam menyelesaikan konflik di laut China Selatan, pemerintah
Indonesia telah memiliki instrumen penyelesaian konflik yang memadai. Inisiatif
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang mengusulkan draf awal kode etik
atau zero draft code of conduct Laut China Selatan bisa dijadikan senjata bagi
diplomasi Indonesia. Ada tiga poin penting yang menjadi tujuan zero draft code of
conduct, yaitu menciptakan rasa saling percaya, mencegah insden, dan mengelola
insiden jika insiden itu terjadi. Pada tiga tahap ini juga dipaparkan langkah-
langkah konkrit yang mengatur kapal-kapal perang untuk menciptakan rasa saling
percaya, mencegah insiden dan mengelola insiden. Code of conduct yang
diusulkan pada September 2012 tersebut telah disetujui dalam pertemuan antara
menteri luar ASEAN dan China Beijing pada Agustus 2013.
Berdasarkan sedikit pemaparan tersebut, maka pendapat Menteri Luar
Negeri China jelas melanggar kesepakatan yang telah dibuat. Yang pada akhirnya,
dengan melakukan negosiasi secara diplomatik dalam rangka menyelesaikan
sengketa atas pulau Natuna, China mengakui hak penuh Indonesia atas Pulau
Natuna di Laut China Selatan.
26
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
27
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Aall, Pamela, dkk. 2007. Peacemaking in International Conflict: Methods &
Techniques. Ed. I. William Zartman. United States Institute of Peace.
Washington D.C
Adolf, Huala. 2016. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional.Cet-6. Sinar
Grafika. Jakarta
Bossche, Peter Van Den. 2008. The Law and Policy of the World Trade
Organization: Text, Cases and Materials. Cambridge University Press.
Cambridge
Suherman, Ade Maman. 2014. Hukum Perdagangan Internasional: Lembaga
Penyelesaian Sengketa WTO dan Negara Berkembang. Sinar Grafika.
Jakarta
Brownlie, Ian. 1998. The Rule of Law in International Affairs: International law
at the Fiftieth Anniversary of the United Nations. Kluwer Law
International. The Hague
Collier, John & Vaughan Lowe.1999. The Settlement of Disputes in International
Law: Institutions and Procedures. Oxford University Press Inc. New York
Dixon, Martin. 2007. International Law. Edisi ke-7.Oxford University Press. New
York
Hutagalung, Sophar Maru. 2012. Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.Sinar Grafika. Jakarta
Mackenzie, Ruth, dkk., 2010, The Manual on International Courts and Tribunals,
Edisi ke-2, Oxford University Press, New York
Merrills, J.G. 2011. International Dispute Settlement.Edisi ke-5.Cambridge
University Press. UK
Sefriani.2016. Peran Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional
Kontemporer.PT RajaGrafindo Persada. Jakarta
Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.Sinar Grafika.
QC, Malcolm N. Shaw. 2013. Hukum Internasional. Nusa Media. Bandung.
28
Jurnal
Cristina, Necula Oana. 2012. The Line Between Peaceful Settlement of Disputes
and the Use of Force in International Law. Journal Relationes
Internationales. Vol.5. No.1(2012).Diakses via
file:///C:/Users/ASUS%20K401UQ/Downloads/1690-6220-2-PB.pdf pada
27Juli2017
Bilder, Richard B. 1986. An Overview of International Dispute Settlement.Journal
of International Dispute Resolution.Vol. 1.No. 1 (Fall 1986). Diakses pada
file:///C:/Users/User/Downloads/SSRN-id1551962.pdf pada 24 Juli 2017
29