Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

“PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL”

Tugas Mandiri

Mata Kuliah : Hukum Internasional


Dosen Pengampuh : Mhd. Kastulani, S.H, M.H

Disusun Oleh:
Kelas IH E

MUHAMMAD NOVRI
11727101998

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-
Nya akhirnya Makalah ini yang berjudul PENYELESAIAN SENGKETA
INTERNASIONAL dapat diselesaikan dengan baik, sesuai dengan waktu yang
di jadwalkan. Shalawat beriring salam terucap kepada junjungan alam yakni
Rasulullah Muhammad SAW, yang telah membawa manusia ke zaman yang
penuh dengan ilmu teknologi.
Makalah ini disusun sebagai salah satu mata kuliah Hukum Internasional
di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Makalah ini tidak terlepas dari
bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan ketulusan
dan kerendahan hati penulis menyapaikan terimakasih kepada:
1. Allah SWT atas rahmat dan hidayah yang telah diberikan.
2. Bapak Mhd. Kastulani,S.H, M.H Selaku Dosen Mata Kuliah Hukum
Internasional.
3. Semua pihak yang turut memberikan support kepada penulis untuk
menyelesaikan makalah ini.
Tidak tertutup kemungkinan bahwa hasil dari Makalah ini masih adanya
kekurangan dan kesalahan serta jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, dengan segala
kerendahan hati akan selalu menerima semua masukan yang ditunjuk untuk
menyempurnakan Makalah ini kedepannya. Akhir kata, berharap semoga Makalah
ini dapat bermanfaat bagi diri pribadi pada khusunya dan pembacanya pada
umumnya.

Pekanbaru; April 2020

MUHAMMAD NOVRI
11727101998

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. I-1
1.1 Latar Belakang .............................................................................. I-1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... I-2
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................... I-2
1.4 Manfaat Penulisan ........................................................................ I-3
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... II-4
2.1 Pengertian dan Elemen Sengketa Internasional ............................ II-4
2.2 Penyelesaian Sengketa Internasional Secara
Damai dan Kekerasan.................................................................... II-6
2.2.1 Penyelesaian Sengketa Secara Damai ................................. II-7
1. Negosiasi (negotiation) ................................................... II-10
2. Pencarian Fakta (enquiry) ............................................... II-11
3. Mediasi (mediation) ........................................................ II-12
4. konsiliasi (conciliation) ................................................... II-13
5. Arbitrasi (arbitration) ..................................................... II-13
2.2.2 Penyelesaian Sengketa Secara Kekerasan ........................... II-18
1. Retorsi ............................................................................. II-18
2. Reprisal ........................................................................... II-18
3. Blokade Damai ................................................................ II-19
4. Embargo .......................................................................... II-19
5. Perang .............................................................................. II-19
2.3 Penyelesaian Sengketa Internasional (Privat) ............................... II-19
2.3.1 Pilihan Hukum (choice of law) ............................................ II-20
2.3.2 Pilihan Forum (choice of juridiction) .................................. II-20
2.4 Penyelesaian Sengketa Dagang Internasional ............................... II-21

ii
BAB III ANALISIS KASUS SENGKETA INTERNASIONAL ANTARA
INDONESIA DAN CINA ATAS LAUT NATUNA ......................... III-24
3.1 Deskripsi Kasus ............................................................................. III-24
3.2 Analisis Kasus Berdasarkan Penyelesaian Internasional ............... III-26
BAB IV PENUTUP ............................................................................................ IV-27
4.1 Kesimpulan .................................................................................. IV-27
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ ....-28

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam dunia Internasional, menjalin hubungan Internasional adalah suatu
mutlak yang tidak dapat dihindari oleh setiap negara, hal ini sudah tertuang di
dalam Konvensi Montevideo 1933 yang menyatakan syarat dari terbentuknya
negara salah satu poin yangpaling penting adalah mampu menjalin hubungan
Internasional dengan negara lain,tujuannya adalah adanya saling membutuhkan
satu negara dengan negara lainnya, karena tidak ada satu negara yang dapat
memenuhi kebutuhan negaranya sendiri tanpa bantuan dari negara lain. Dengan
seringnya negara menjalin hubungan Internasional dengan negara lain banyak
dampak positif yang dihasilkan dan tidak dipungkiri lagi selain dampak positif
yang didapatkan sisi negatifnya pun ada, misalkan suatu negara terlibat suatu
pertikaian atau sengketa Internasional di antara kedua negara, banyak kasus yang
sering menyebabkan ketegangan di antara negara yang bertikai dan banyak kasus
yang terjadi yang menyebabkan masalah di atas, misalkan kasus Sipadan dan
Ligitan antara Indonesia dan Malaysia, serta suatu Sengketa Kuil Preah vihear
antara Thailand dan Kamboja dan yang terakhir ini adalah sengketa yang terjadi di
Indonesia yaitu konflik antara China dengan Indonesia atas wilayah pulau Natuna.
Berbagai metode penyelesaian sengketa ini telah berkembang sesuai
dengan tuntutan zaman. Dahulu. metode penyelesaian sengketa ini dilakukan
dengan kekerasa. seperti perang. invasi. dan lainnya. Metode itu telah menjadi
solusi bagi Negara sebagai aktor utama dalam hukum internasional klasik. Seiring
dengan perkembangan zaman. Cara-cara kekerasan yang digunakan tersebut
direkomendasikan untuk tidak digunakan lagi semenjak lahirnya The Hague Pace
Conference dan Covention on the Pacific Settlement of International Disputes
pada tahun 1899 dan 1907.
Akan tetapi. karena memliki sifat yang rekomendatif dan tidak mengikat.
konvensi tersebut tidak memiliki kekuatan memaksa (kepastian hukum tetap)
untuk melarang Negara-negara melakukan kekerasa sebagai metode penyelesaian

1
sengketa dengan kekerasan antarnegara. karena LBB tidak mampu melakukan
tindakan preventif untuk mencegah terjadinya Perang Dunia ke-2.
Oleh karena itu. Negara-negara yang terlibat dalam PD II membentuk
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai pengganti LBB. Terbentuknya PBB
diharapkan dapat menciptakan kedamaian di Dunia. Dalam praktik hubungan
antarnegara saat ini. PBB telah menjadi organisasi internasional. Piagam PBB
telah dijadikan sebagai landasan utama oleh banyak Negara untuk menyelesaikan
sengketa internasional dengan cara damai. Pencantuman penyelesaian sengketa
secara damai dalam Piagam PBB memang mutlak diperlukan. Hal itu disebabkan
konsekwensi logis dari Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi) PBB itu sendiri. yaitu
menjaga kedamaian dan kemanan dunia (Internasional).

1.2 Rumusan Masakah


Kembali kepada pokok permasalahan, apa saja bentuk penyelesaian
sengketa internasional dan bagaimana cara menyelesaikan sengketa
internasionals, melalui makalah ini dengan judul ” PENYELESAIAN
SENGKETA INTERNASIONAL” ingin dikemukakan beberapa rumusan
masalah yang hendak dipecahkan, antara lain:
1. Apa itu sengketa internasional?
2. Apa saja bentuk penyelesaian internasional?
3. Bagaimana penyelesaian sengketa internasional secara damai?
4. Bagaimana penyelesaian sengketa internasional secara kekerasan ?
5. Bagaimana penyelesaian sengketa dagang internasional?

1.3 Tujuan Penulisan


Dengan adanya makalah ini, bertujuan untuk dapat mengetahui serta memahami
hal-hal di bawah ini:
1. Untuk mengetahui dengan lebih jelas dan terperinci mengenai definisi
penyelesaian sengketa internasional.
2. Untuk mendeskripsikan mengenai apa saja bentuk penyelesaian sengketa
internasional.
3. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa internasional secara
damai.

2
4. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa internasional secara
kekerasan.
5. Untuk menjelaskan bagaimana penyelesaian sengketa dagang internasional.

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk:
1. Pada dasarnya ingin memberikan gambaran dan pemahaman mengenai
penyelesaian sengketa internasional.
2. Menyediakan landasan dasar dan kerangka berpikir bagi para mahasiswa dan
pengajar dalam bidang Ilmu Hukum khususnya dalam mata kuliah Hukum
Internasional untuk memahami mengenai Penyelesaian Sengketa
Internasional.

3
BAB 1I

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Elemen Sengketa Internasional

Era globalisasi dengan kecanggihan teknologinya telah menyebabkan


dunia menjadi tanpa batas. Sehubungan dengan berbagai kemudahan komunikasi
dan trasnportasi yang terjadi dewasa ini, maka keinginan untuk menjalin
hubungan dan kerjasama baik baik itu oleh individu, badan hukum dan bahkan
negara dalam tingkat internasional semakin meningkat. Dengan semakin besar
dan banyaknya potensi hubungan dan kerjasama yang terjadi di ranah
internasional itu, maka semakin besar pula potensi terhadap terjadinya sengketa
internasional yang penyelesaiannya disebut dengan penyelesaian sengketa
internasional.
Dalam rangka memahami apa saja yang termasuk dalam ruang lingkup
sengketa internasional, sangat penting untuk memahami pengertiannya terlebih
dahulu. Sengketa internasional terdiri dari dua kata yakni “sengketa” dan
“internasional”. Pertama-tama dibahas terlebih dahulu secara lebih detail
mengenai apa itusengketa.
Menurut John Collier dan Vaughan Lowe, sengketa (dispute) harus
dibedakan dengan konflik.1Konflik dipergunakan untuk menandakan secara
umum suatu keadaan permusuhan antara pihak dan seringkali tidak
fokus.2Keberadaan suatu konflik internasional selalu merupakan pertanda bahwa
suatu tertib tidak secara memuaskan memenuhi kepentingan setiap anggota
masyarakat internasional.3Sedangkan sengketa adalah istilah untuk menandakan
sebuah perselisihan tertentu yang berkaitan dengan pertanyaan tentang hak atau
kepentingan dimana para pihak melanjutkannya dengan cara klaim, klaim balik,
penolakan dan sebagainya.4Selain pengertian tersebut di atas, J. G. Merrills juga

1
John Collier & Vaughan Lowe, The Settlement of Disputes in International Law: Institutions and
Procedures, (New York : Oxford University Press Inc, 1999), hlm.1.
2
Ibid.
3
Ibid.,h.2.
4
Ibid.,h.1.

4
memberikan pengertian mengenai apa itu sengketa. Merrills mengartikan
sengketa (dispute) sebagai, “specific disagreement concerning a matter of fact,
law or policy in which a claim or assertion of one party is met with refusal,
counter-claim or denial by another.”Pengertian sengketa tersebut bila
diterjemahkan secara bebas menjadi sebuah ketidaksepakatan secara spesifik
mengenai suatu fakta, hukum atau kebijakan dimana klaim atau pernyataan suatu
pihak dipenuhi dengan penolakan, klaim balik atau penyangkalan oleh pihak
lainnya.
Berdasarkan definisi tersebut di atas, secara ringkas diketahui bahwa:

Setiap sengketa adalah konflik akan tetapi tidak semua konflik


dapat dikategorikan sebagai sengketa.

Richard B. Bilder menentukan bahwa elemen-elemen dari suatu


“sengketa”5.(dispute), terdiri dari:6

1. ketidaksepakatan haruslah spesifik yang berarti ketidaksepakatan itu harus


memiliki materi pokok yang cukup jelas sehingga dapat diutarakan bahwa apa
yang menjadi atau “perihal” sengketanya;dan
2. ketidaksepakatan harus melibatkan klaim atau pernyataan yang bertentangan.
Maksudnya adalah pihak satu harus secara aktual menyatakan atau
mewujudkan apa yang diinginkan atau diyakini dirinya berhak untuk dari
pihak lainnya dan pihak lainnya harus mewujudkan penolakannya atau
klaimnya yang bertentangan. Sehingga suatu sengketa adalah suatu hal yang
lebih dari sekedar sikap saling tidak suka atau bermusuhan.
Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1975), hlm. 5.

5
Sefriani, Peran Hukum Internasional dalam hubungan internasional kontenporer, (Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2016), hlm.354.
6
Richard B. Bilder, 1986, An Overview of International Dispute Settlement, Journal of
International Dispute Resolution, Vol.1,No.1(Fall1986), diakses via
file:///C:/Users/User/Downloads/SSRN-id1551962.pdfdiakses padal 24 Juli 2017, h.4.

5
Kata internasional, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
memiliki arti menyangkut bangsa atau negeri seluruh dunia; antar
bangsa.7Sebagimana dikemukakan Sefriani bahwa suatu sengketa internasional
adalah sengketa yang tidak secara eksklusif merupakan urusan dalam negeri suatu
negara. Hal ini karena mengacu pada subjek-subjek hukum internasional
yangdewasa ini meluas hingga mencakup banyak aktor non negara.8
Lebih lanjut, J.G. Merrills mengemukakan bahwa agar suatu sengketa
dapat disebut sebagai sengketa internasional, maka sengketa itu harus memiliki
elemenberikut:9
1. Jika ketidaksepakatan melibatkan pemerintahan, institusi, orang hukum
(juristic persons) atau perusahaan, atau individu pribadi;dan
2. di berbagai belahan dunia yangberbeda.
Mengacu pada berbagai uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa sengketa
internasionaladalah:

suatu ketidaksepakatan spesifik mengenai suatu fakta, hukum atau kebijakan


yang melibatkan klaim atau pernyataan yang bertentangan yang tidak hanya
mencakup urusan dalam negeri suatu negara antara negara dengan negara yang
membawa konsekuensi di lingkup internasional yang bisa saja terjadi juga antara
negara dengan individu, negara dengan lembaga atau badan yang menjadisubjek
hukum internasional.

2.2 Penyelesaian Sengketa Internasional (Publik)

Menyelesaikan sengketa-sengketa Internasional sedini mungkin, dengan


cara yang seadil-adilnya bagi para pihak yang telibat, merupakan tujuan hukum
internasional sejak lama. Kaidah-kaidah serta prosedur-prosedur yang terkait
sebagian merupakan kebiasaan praktek dan sebagian lagi berupa sejumlah

7
Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses via http://kbbi.web.id/internasional pada 24 Juli2017.
8
Sefriani, Op.Cit.,h.355.
9
J.G. Merrills, loc.cit.

6
konvensi yang membuat hukum yang sangat penting seperti Konvensi The Hague
1899 dan 1907 untuk Penyelesaian secara Damai Sengketa-sengketa Internasional
dan Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dirumuskan di San Fransisco tahun
1945. Salah satu tujuan pokok Charter tersebut adalah membentuk Organisasi
Persetujuan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk mempermudah penyelesaian
secara damai perselisihan-perselisihan antara negara-negara. Pada umumnya,
metode-metode penyelesaian sengketa internasional publik digolongkan dalam
dua kategori, yaitu penyelesaian secara damai dan secara paksa atau dengan
kekerasan.

2.2.1 Penyelesaian Sengketa Secara Damai


Terkait dengan penyelesaian sengketa internasional, Pasal 2 ayat (3)
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa 1945 (Piagam PBB/Charter of the United
Natios) menentukan bahwa, “All Members shall settle their international disputes
bypeacefulmeansinsuchmannerthatinternationalpeaceandsecurity,and justice, are
not endangered.” Pasal tersebut pada dasarnya adalah landasan dari penyelesaian
sengketa secara damai. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diketahui bahwa
pada dasarnya seluruh anggota PBB harus menyelesaikan sengketa internasional
mereka dengan cara-cara damai dengan cara yang sedemikian rupa sehingga
perdamaian dan keamanan internasional dan keadilan tidak terancam. Meskipun
kewajiban ini dialamatkan utamanya kepada Negara- negara Anggota dari
organisasi tersebut, namun tidak ada keraguan bahwa penyelesaian sengketa harus
dilaksanakan secara damai adalah salah satu kewajiban utama dalam hukum
international yang harus diperhatikan semua negara (legality of the Use of Force
Case (Provisional Measures) Yugoslavia v Belgium etc. (1999) 39 ILM 950).10
Beberapa prinsip-prinsip yang dikenal dalam penyelesaian sengketa secara
damai, yaitu:
a. Prinsip itikad baik (good faith/bonafides)
Berdasarkan prinsip ini para pihak diwajibkan untuk memiliki itikad baik

10
Martin Dixon, 2007, International Law, 7th Ed, Oxford University Press, New York, h.275.
Lihat juga United Nations, ICJ Rejcts Yugoslavia‟s Request For Order to Halt Use of Force
by Belgium, Remains Seizedof Case diakses via
https://www.un.org/press/en/1999/19990603.ICJ574.htmlpada 26 Juli2017.

7
dalam menyelesaikan sengketanya.11 Dalam penyelesaian sengketa, prinsip ini
terlihat dalam tahap:
 Disyaratkan untuk pencegahan timbulnya sengketa; dan
 Ketika para pohak menyelesaikan sengketanya dengan cara penyelesaian yang
dikenal secara internasional seperti mediasi, negosiasi, konsiliasi, srbitrase,
pengadilan atau cara lain yang dipilih para pihak.12 Contoh pengaturan prinsip
itikad baik tersebut dapat dilihat pada Section 1 Paragraph 1 Manila
Declaration, Pasal 13 Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia
(Bali Concord 1976), Section 1 Paragraph 5 Manila Declaration.13

Prinsip itikad baik ini merupakan pula prinsip dasar terkait peciptaan dan
eksekusi kewajiban-kewajiban hukum dalam ranah hukum internasional
publik.14Sebagai salah satu contohnya, prinsip itikad baik ini termuat dalam
Pasal 26 Vienna Convention on the Law ofTreaties.15
b. Prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa Dengan
adanya prinsip ini maka, para pihak bersengketadalamsengketa internasional
dilarang menyelesaikan sengketanya melalui cara kekerasan atau dengan
menggunakan senjata. Contoh pengaturan prinsip ini dapat ditemukan dalam Pasal 13
Bali Concord, Preambule ke-4 dari Manila Declaration.16
c. Prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaiansengketa
Menurut prinsip ini, para pihak bersengketa memiliki kebebasan penuh untuk
memilih cara-cara penyelesaian sengketa internasionalnya. Sebagaimana ditentukan
Pasal 2 ayat (3) jo. Pasal 33 (1) Piagam PBB dimana penyelesaian sengketa pada
dasarnya dilakukan dengan cara-cara damai sedemikian rupa yang mana perihal jenis

11
Huala Adolf, 2016, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Cet-6, Sinar Grafika, Jakarta,
h.15.
12
Ibid.,h.16.
13
Ibid.,h.15-16.
14
World Trade Organization, Dispute Settlement Reports 2008 Volume XI: Pages 3889 to
4370,CambridgeUniversity Press, New York, diakses via
https://books.google.co.id/books?id=MWUUXrGcyVMC&pg=PA4192&dq=definition+good+
faith+dispute+settlement&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwixjrK345zVAhXFmJQKHbaNAuUQ
6AEIITAA#v=onepage&q=definition%20good%20faith%20dispute%20settlement&f=false
pada 24 Juli 2017, p. 4192.
15
Ketentuan Pasal 26 Vienna Convention on the Law of Treaties menentukanbahwa,“Every
treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in goodfaith.”
16
Huala Adolf,Op.Cit.,h.16.

8
penyelesaian secara damainya diberikan ruang terbuka bagi para pihak untuk
memilih, baik itu yang ditentukan Piagam PBB maupun cara damai lain yang
disepakati para pihak bersengketa.
d. Prinsip kebebasan memilih hukum yang diterapkan dalam pokok sengketa
Bila sengketa internasional para pihak diselesaikan melalui
jalurbadanperadilan, maka para pihak diberi kebebasan untuk memilih sendiri
hukum mana yang diterapkan dalam pokok sengketanya. Sehubungan dengan hal
tersebut, Pasal 38 (2) Statuta Mahkamah Internasional pada dasarnya menentukan
bahwa,”This provision shal not prejudice the power ofthe Court to decide a case ex
aequo etbono, if the parties agree hereon”. Ini berarti, para pihak juga memiliki
kebebasan dalam hal memilih kepatutan atau kelayakan.17
e. Prinsip kesepakatan para pihak yang bersengketa(konsensus)
Prinsip konsensus antara pihak yang bersengketa menjadi dasar dari pelaksanaan
prinsip kebebasan memilih cara penyelesaian sengketa dan memilih hukum yang
akan diterapkan dalam pokok sengketa.18Pada dasarnya, para pihak haruslah secara
bersama sepakat agar dapat menentukan pilihannya.
f. Prinsip exhaustion of local remedies
Berdasarkan prinsip ini maka sebelum pihak yang merasa dirugikan dalam sengketa
mengajukan sengketanya di tingkat internasional, pengadilan nasional diberikan
kesempatan terlebih dahulu untuk memberikan remedy padanya.19
Setelah mengetahui ketentuan Pasal 2 ayat (3) Piagam PBB dan beberapa
prinsip dalam penyelesian sengketa internasional, pertanyaan yang timbul
berikutnya adalah apa saja cara-cara damai dalam menyelesaikan sengketa
internasional yang dimaksud oleh Piagam PBB tersebut. Lebih lanjut, mengacu
pada ketentuan Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB diketahui bahwa, ”The parties to
any dispute, the continuance of which is likely to endanger the maintenance of
international peace and security, shall, first of all, seek a solution by negotiation,
enquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to
regional agencies or arrangements, or other peaceful means of their own

17
Ibid.,h.17
18
Ibid.
19
Sefriani, Op.Cit.,h.359.

9
choice”. Sehingga cara-cara penyelesaian sengketa secara damai yang terlebih
dahulu harus ditempuh para pihak dalam setiap sengketa yang kelanjutannya
cenderung membahayakan pemeliharaan perdamaian dan kemanan internasional
sebagaimana diatur menurut Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB adalahmelalui:

negosiasi, pencarian fakta, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian melalui


peradilan, dibawa ke Badan atau pengurusan regional/kawasan atau
berdasarkan pilihan damai lain para pihak.

Terkait dengan berbagai pilihan yang tersedia tersebut, pada dasarnya


tidak ada urutan prioritas (no order of priority).20dalam menentukan cara mana
yang harus terlebih dahulu dipilih dalam menyelesaikan sengketa internasional.
Selain itu, Kesukarelaan merupakan suatu persyaratan yang harus ada jika para
pihak yang bersengketa memilih menyelesaikannya secara damai. Hal ini karena
tanta adanya kesukarelaan dari para pihak bersengketa maka penyelesaian
sengketa secara damai tidak akan mungkinterwujud.21
1. Negosiasi(negotiation)
Negosiasi adalah cara paling sederhana dan karenanya banyak
dipergunakan dalam proses penyelesaian sengketa internasional. Secara general,
negosiasi terdiri dari sejumlah diskusi di antara para pihak yang berkepentingan
untuk mencari titik temu atas perbedaan pendapat mereka atau setidaknya saling
memahami perbedaan pandangan yang diutarakan.22 Mahkamah International,
dalam kasus German External Debts, menegaskan bahwa kewajiban untuk

20
Menno Kaminga, 2013, Methods of IDS, slide presentasi disampaikan dalam perkuliahan
pertama periode satu mata kuliah International Dispute Settlement di Maastricht University,
the Netherlands.
21
Hikmahanto Juwana, Arbitrase Sebagai Forum Penyelesaian Sengketa, tulisan di dalam buku
Percikan Pemikiran Hukum, Ketatanegaraan, dan Kebijakan Publik (dalam
rangkamemperingati 70 Tahun Prof. Dr. Bintan Saragih, SH), 2010, Eds. Philips A.Kana &
Otong Rosadi, Widan Akademika Univ. Eka Sakti Press pada buku Sophar Maru Hutagalung,
2012, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta,
h.4.
22
Malcolm N. Shaw QC, 2013, Hukum Internasional,Nusa Media, Bandung, h.1020.

10
mencapai mufakat tidak selalu disiratkan dalam kesepakatan bernegosiasi,
“memang menyiratkan upaya serius menuju ke atas itu harus dilakukan.” 23Pada
proses negosiasi, tidak ada peran serta pihak ketiga dalam proses penyelesaian
sengketanya.24 Negosiasi bisa dilakukan bilateral, multilateral, formal maupun
informal sebab tidak ada tata cara khusus untuk melakukannya. 25 Namun, perlu
dibedakan antara prosedur negosiasi yang dipakai saat sengketa belum lahir yang
disebut sebagai konsultasi dengan negosiasi yang dipakai setelah sengketa lahir yang
merupakan negosiasi proses penyelesaian sengketa dalam arti negosiasi.26
Negosiasi terbilang cara paling penting sebab setiap harinya banyak
sengketa yang dapat terselesaikan tanpa melalui perhatian publik.27Dengan
demikian, hal tersebut dapat dikatakan sebagai salah satu keuntungan negosiasi.
Sedangkan beberapa kelemahan negosiasi yaitu: bila kedudukan para pihak
bersengketa tidak seimbang maka potensi untuk menimbulkan pihak kuat akan
menekan pihak yang lemah; seringkali memakan waktu lama; dan bilamana salah
satu pihak terlalu bersikeras dengan pendiriannya maka proses negosiasi menjadi
tidak produktif.28
2. Pencarian Fakta (enquiry)
Sengketa internasional salah satunya bisa terjadi karena konflik perbedaan
pandangan para pihak bersengketa terhadap suatu fakta yang seringkali
menentukan hak dan kewajiban di antara mereka.29 Oleh karena itu, pencarian
fakta pada dasarnya adalah cara penyelesaian sengketa secara damai dengan
membentuk komisi pencarian fakta/penyeledikan resmi yang dilaksanakan oleh
pengamat bereputasi yang bertujuan untuk mengetahui dengan pasti fakta-fakta
yang menjadi sengketa.30 Pada dasarnya, cara ini dapat dipilih untuk
menyelesaiakan suatu sengketa internasional apabila para pihak bersengketa
sepakat untuk menggunakan cara ini.

23
Ibid., h.1021
24
Ibid.
25
Sefriani, Op.Cit. h. 361.
26
Huala Adolf, Op.Cit., h. 20.
27
Ibid.,h. 19.
28
Ibid.,h.19-20.
29
Ibid.
30
Malcolm N. Shaw QC, Op.Cit.,h.1023.

11
Berdasarkan pengertian di atas diketahui bahwa dalam proses pencarian
fakta dilibatkan peran pihak ketiga. Peran pihak ketiga, yang sifatnya kurang
formal-sehingga bukan pengadilan, dilibatkan dalam proses ini karena umumnya
para pihak bersengketa menempuh cara ini setelah mereka sendiri tidak mampu
menghasilkan suatu penyelesaian, misalnya melalui negosiasi. 31Pencarian fakta
dapat dilaksanakan oleh suatu komisi yang pemanen, organisasi, maupun individu
terpilih dapat memberikan pendapat keahliannya.32

3. Mediasi (mediation)

Menurut Moore, mediasi adalah suatu perpanjangan dan elaborasi dari


proses negosiasi yang melibatkan intervensi dari pihak ketiga yang dapat diterima,
tidak memihak dan netral yang tidak memiliki otoritas wewenang pengambilan
keputusan untuk membantu pihak-pihak yang bersaing secara sukarela mencapai
penyelesaian mereka sendiri yang dapat diterima bersama.33
Merujuk pada definisi mediasi, maka dalam mediasi terlihat keterlibatan
pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa. Pihak ketiga ini disebut dengan
istilah mediator.Mediator dapat berupa negara, organisasi internasional
(contohnya PBB) atau individu seperti misalnya ahli hukum, ilmuwan,
politikus.34Tentu saja, mediator tersebut haruslah mereka yang dapat diterima para
pihak bersengketa, tidak memihak dan netral. Peran mediator dalam mediasi
adalah aktif dalam arti ia bertugas mendamaikan pihak bersengketa, memiliki
kewenangan tertentu memimpin jalannya perundingan, serta mendistribusikan
proposal kepada pihak bersengketa.35 Serupa dengan pencarian fakta, dalam
mediasi juga mengharuskan terlebih dahulu persetujuan para pihak bersengketa
untuk menggunakan cara ini sebagai penyelesaiansengketanya.

31
Huala Adolf., loc.cit.
32
Sefriani, op.cit., h.364.
33
Pamela Aall, dkk., 2007, Peacemaking in International Conflict: Methods & Techniques,
ed. I. William Zartman, United States Institute of Peace, Washington D.C, h. 166.
34
Huala Adolf., op.cit.,h.21-22.
35
Sefriani, op.cit.,h.363.

12
4. Konsiliasi (conciliation)

Konsiliasi memiliki pengertian sebagai suatu proses penyelesaian


perselisihan dengan merujuknya ke komisi orang-orang yang tugasnya untuk
menjelaskan fakta dan (biasanya setelah mendengar para pihak dan berusaha
membawa mereka ke sebuah kesepakatan) untuk membuat sebuah laporan yang
berisi proposal untuksebuah penyelesaian, tapi yang tidak mengikat.36
Berdasarkan definisi tersebut diketahui bahwa cara ini menggunakan peran pihak
ketiga yang disebut sebagai Komisi Konsiliasi. Komisi ini dapat yang sudah
terlembaga atau sementara (ad hoc).37 Pada dasarnya, penyelesaian sengketa
dengan konsiliasi ada cara yang lebih terstruktur dan quasi-judicial dibandingakan
dengan mediasi.38 Apabila para pihak yang bersengketa memilih untuk
menggunakan konsiliasi, maka pertama- tama mereka akan menguraikan
sengketanya dalam bentuk tertulis yang kemudian diberikan pada komisi
konsiliasi. Sesudah itu, dalam tahap kedua para pihak bersengketa (bisa
diwakilkan oleh kuasanya) diminta untuk hadir dalam tahap pendengaran. Setelah
komisi konsiliasi memperoleh fakta yang diperlukan, maka ia akan memberikan
laporannya pada para pihak bersengketa yang pada dasarnya memuat proposal
penyelesaian sengketanya.39Sebagaimana definisi konsiliasi di atas, usulan dari
pihak ketiga, yakni komisi konsiliasi tidaklah bersifat bagi para pihak. Oleh
karena itu usulan ini sifatnya diserahkan kepada para pihak bersengketa apakah
akan disetujui atautidak.
5. Arbitrasi (arbitration)
Arbitrase memiliki pengertian sebagai suatu penunjukkan pihak ketiga
untuk bertindak sebagai adjudicator (pihak yang mengadili) dalam suatu sengketa
dan untuk memutuskan penyelesaiannya.40Arbitrase berbeda dengan mediasi dan

37
L. Oppenheim, 1952, International Law, Vol. II, Edisi ke-7, Ed. H. Lautherpacht, Longmas,
London, h.12 dalam buku Ian Brownlie, 1998, The Rule of Law in International Affairs:
International law at the Fiftieth Anniversary of the United Nations, Kluwer Law International,
The Hague, h. 110.
38
Huala Adolf., loc.cit.
39
Ian Brownlie, ibid.
40
Huala Adolf., op.cit.,h.22-23.

13
konsiliasi dalam hal ia tidak menggalakkan kelanjutan perundingan bersama.41Hal
ini karena peran pihak ketiga dalam arbitrase, yang disebut sebagai arbitrator,
sangatlah aktif dalam hal intervensi dalam sengketa dan mengambil peran sebagai
pembuat keputusan (decision makeri).42Arbitrator ini adalah pihak ketiga yang
sepenuhnya dipillih berdasarkan persetujuan para pihak, merupakan pihak yang
ahli dalam pokok sengketa, netral, tidaklah harus ahli hukum tapi realitanya dalam
komposisi dewan arbitrase minimal tetap ada peran ahli hukum, serta pihak yang
netral.43Putusan yang dikeluarkan dalam arbitrase ini adalah putusan yang final
danmengikat.44
Apabila spara pihak membuat perjanjian dan sepakat memasukkan klausul
penyelesaian sengketa melalui arbitrase ke dalamnya sebelum sengketa itu lahir
maka penyerahan ini disebut dengan clause compromissoire.45Sedangkan bila
sengketa sudah lahir dan akan diselesaikan melalui arbitrase maka penyerahan ini
disebut dengan compromis.46Cara penyelesaian melalui arbitrase ini
dapatdilakukan baik itu melalui penyelesaian dengan seorang arbitrator secara
terlembaga, dalam arti sudah berdiri sebelumnya dan mempnyai hukum acaranya,
contohnya adalah Permanet Court of Arbitration/PCA (Mahkamah Tetap
Arbitrase), atau dengan badan arbitrase ad hoc, yang berarti dibuat para pihak
sementara waktu dan tugasnya berakhir setelah putusan terhadap suatu sengketa
dikeluarkan.47
Mengacu kepada pokok perkaranya, maka arbitrase dapat dibagi menjadi
dua bagian besar yakni48:
a. Arbitrase non komersial yang sering disebut arbitrase internasional publik.
Sebagai contoh adalah PCA;dan
b. Arbitrase komersial yang sering disebut dengan perdata. Istilah komersial ini,
menurut Huala Adolf, merujuk kepada perdagangan, lalu lintas uang,

41
Ibid
42
Ibid
43
Huala Adolf, ibid.
44
Ibid.
45
Ibid.
46
Ibid.
47
Ibid.,h.40.
48
Sefriani, op.cit.,h. 373.

14
perniagaan secara umum sehingga mencakup asuransi, sewa beli, pinjam
meminjam, dan sebagainya.49Sebagai contoh adalah The International Centre
for the Settlement of Investment Dispute/ ICSID.
The Permanent Court of Arbitration (PCA)

PCA merupakan institusi global pertama untuk mengadili sengketa-


sengketa internasional yang didirikan dengan the Convention for the Pacific
Settlement of International Disputes 1899 yang lebih lanjut direvisi dengan the
Hague Convention for the Pacific Settlement of International Disputes
1907.50PCA memiliki kedudukan di Peace Palace, the Hague, Belanda. Meskipun
kantor pusat PCA berada di the Hague, arbitrase yang diadakan di bawah
naungannya yurisdiksi tribunal arbitrase ditentukan berdasarkan kata-kata dari
klausul arbitrase yang berlaku (compromis).51
A. Penyelesaian Melalui Peradilan (judicial settlement)
Penyelesaian sengketa internasional melalui peradilan biasanya
dilaksanakan bilamana cara lainnya tidak berhasil. Penyelesaian melalui peradilan
ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Pengadilan internasional permanen, contoh:
Permanent Court of International of Justice (PCIJ), International Court of Justice
(Mahkamah Internasional), International Tribunal for the Law of the Sea,
International Criminal Court (Mahkamah Pidana Internasional); dan 2.
Pengadilan internasional ad hoc, contoh: International Court Tribunal for
Rwanda dan International Court Tribunal for Yugoslavia. Di bawah ini akan
dijelaskan secara ringkas mengenai Mahkamah International dan Mahkamah
PidanaInternasional.
1. ICJ (Mahkamah Internasional)
Pengaturan mengenai ICJ dapat ditemukan dalam Statute of the
International Court of Justice 1945 (Statuta Mahkamah Internasional).Pasal 1
Statuta Mahkamah Internasional menentukan bahwa Mahkamah Internasional
didirikan oleh Piagam PBB sebagai organ yudisial utama dari PBB. Hanya negara
49
Ibid., 374.
50
Ruth Mackenzie dkk., 2010, The Manual on International Courts and Tribunals, Edisi ke- 2,
Oxford University Press, New York,h.99
51
Ibid.

15
saja yang dapat menjadi para pihak yang membawa sengketa ke mahkamah ini.52
Negara yang memiliki akses ke Mahkamah Internasional yaitu: negara anggota
PBB53 atau negara non anggota PBB yang menjadi pihak pada Statuta Mahkamah
Internasional dengan syarat mendapat rekomendasi Dewan Keamanan dan
disetujui Majelis Umum.54 Hakim pada Mahkamah Internasional berjumlah 15
orang dan masing-masing memiliki kewarganegaraan berbeda yang dipilih oleh
Majelis Umum dan Dewan Keamanan dari daftar perorangan yang dinominasikan
oleh national groupspada PCA.55 Yurisdiksi Mahkamah Internasional terdiri dari:
a. Terhadap pokok sengketa yang diserahkannya disebut contentious
jurisdiction;
b. Yurisdiksi memberikan nasihat hukum(advisory opinion) disebut sebagai
noncontentious jurisdiction.Salah satu kasus yang dibawa ke hadapan
Mahkamah Internasional adalah North Sea Continental Shelf.56
2. ICC (Mahkamah Pidana Internasional)
Mahkamah Pidana Internasional didirikan berdasarkan Rome Statute of the
International Criminal Court 1998 (Statuta Roma).Mahkamah ini merupakan
institusi yang berbasis perjanjian internasional sehingga mengikat hanya negara
anggotanya saja.57Mahkamah ini memiliki tujuan menginvestigasi dan menuntut
individu yang melakukan kejahatan paling serius dari perhatian internasional
seperti genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against
humanity) dan kejahatan perang (war crimes).58 Mahkamah ini hanya berlaku
terhadap kejahatan yang dilakukan setelah berlakunya Statuta Roma, yakni 1 Juli
2002, dimana tidak ada seorangpun yang harus bertanggung jawab secara
kriminal berdasarkan Statuta ini terhadap tindakan yang dilakukan sebelum

52
Pasal 34 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional.
53
Pasal 93 ayat (1) Piagam PBB dimana seluruh anggota PBB secara ipso facto menjadi anggota
dala Statuta Mahkamah Internasional.
54
Pasal 93 ayat (2) Piagam PBB.
55
Pasal 3 ayat (1) jo. Pasal 4 ayat (1) Piagam PBB.
56
Huala Adolf, Op.Cit., h. 68.
57
M. Cherif Bassiouni, 2013, Introduction to Criminal Law, Martinus Nijhoff Publishers,
Leiden, h.655.
58
Pasal 1 jo. Pasal 6 jo. Pasal 7 jo. Pasal 8 Statuta Roma.

16
berlakunya Statuta ini.59 Yurisdiksi ICC hanya berlaku terhadap individu yang
melakukan kejahatan pada usia 18 tahun ke atas.60
B. Dibawa ke Badan atau Pengurusan Regional (resort to regional agencies
orarrangement)
Pasal 52-54 Piagam PBB61 merupakan landasan bagi penyelesaian
sengketa dengan cara dibawa ke Badan atau Pengaturan Regional. Berdasarkan
ketentuan Pasal 52 ayat (1) Piagam PBB dapat ditarik dua istilah, yaitu: 1.
Regional arragement yang berarti oerjanjian (regional) atau perjanjian
multilateral regional dimana dalam menyelesaiakan sengketanya berbagai negara
pada suatu region tertentu sepakat dalam regional arrangements, contoh:
European Convention for the Peaceful Settlement of Dispute 1957; dan 2.
Regional agencies.
merujuk pada organisasi internasional regional yang berstatus subjek
hukum internasional yang memiliki fungsi pemelihara perdamaian dan keamanan
internasional mencakup juga penyelesian sengketa, contoh: the League of Arab
States.62Cara penyelesaian sengketa yang ditawarkan pada muatan perjanjian
penyelesaian sengketa organisasi regional pada dasarnya menyerupai cara yang
ditawarkan Pasal 33 Piagam PBB, misalnya: negosiasi, konsiliasi, mediasi,
penyelidikan, dan penggelaran pasukan keamanan.63Ruang lingkup objek
sengketa dalam regional agencies or arrangement bergantung setidaknya pada
instrumen hukum yang mendasarinya.64
Secara garis besar, cara-cara penyelesaian sengketa secara damai dapat
digambarkan menjadi dua, yaitu65
a. Jalur politik, meliputi: negosiasi, mediasi, jasa baik (good offices), pencarian
fakta;dan

59
Pasal 11 jo. Pasal 24 ayat (1) Statuta Roma.
60
Pasal 1 jo. Pasal 25 ayat (1) jo. Pasal 26 Statuta Roma.
61
Pasal 52-54 Piagam PBB merupakan bagian VIII Piagam PBB mengenai Regional
Arrangements.
62
Huala Adolf., op.cit.,h.117-118.
63
Ibid., h.119
64
Ibid., h.118.
65
Sefriani, op.cit.,h. 359.

17
b. Jalur hukum, meliputi: arbitrase (publik dan komersial), badan peradilan (ICC,
ICJ, berbagai pengadilan adhoc).

2.2.2 Penyelesaian Sengketa dengan Kekerasan


Penyelesaian sengketa internasional dengan cara kekerasan (the use of
force) telah lama ditinggalkan. Cara penyelesaian sengketa internasional dengan
kekerasan sangat dikecam oleh masyarakat internasional sebagaimana misalnya
terlihat dalam the Covenant of the League of Nations 1919 (Kovenan Liga
Bangsa-Bangsa), Kellog-Briand Pact 1928, dan Piagam PBB. Beberapa contoh
cara penyelesaian sengketa internasional dengan kekerasan akan diuraikan di
bawah ini.
1. Retorsi
Retorsi memiliki pengertian sebagai suatu tindakan yang tidak bersahabat
dilakukan oleh suatu negara kepada negara lain atas tindakan tidak bersahabat
yang lebih dulu dilakukannya, baik itu berupa tindakan tidak adil atau tidak
sopan.66 Beberapa bentuk retorsi misalnya: diberhentikannya bantuan ekonomi,
ditariknya konsesi pajak atau tarif, dicabutnya hak-hak diplomatik atau istimewa,
diputusnya hubungan diplomatik.67
2. Reprisal
Reprisal adalah upaya permusuhan oleh suatu negara yang dilakukannya
pada negara lain sebagai bentuk usaha perlawanan agar memaksa negara lain
tersebut berhenti menjalankan tindakan ilegalnya.68 Negara korban dapat
menggunakan reprisal melawan negara lain atas tindakan negara lain yang tidak
bersahabat kepadanya itu akan tetapi dengan upaya-upaya yang tidak melebihi
besar original tindakan tak bersahabat yang dilakukan negara lain itu.69Wujud
utama reprisal adalah embargo dan boikot.70

66
Ibid.,h. 382.
67
Ibid.
68
Ibid.,h.383.
69
Necula Oana Cristina, 2012, The Line Between Peaceful Settlement of Disputes and the Use of
Force in International Law, Journal Relationes Internationales, Vol.5, No.1 (2012), diaksesvia
file:///C:/Users/ASUS%20K401UQ/Downloads/1690-6220-2-PB.pdf pada 27 Juli 2017, h. 126.
70
Ibid., h. 127.

18
3. Blokade Damai
Blokade damai merupakan blokade yang dilakukan saat damai agar
memaksa negara yang diblokade untuk memenuhi permintaan ganti rugi yang
dialami negara pemblokade.71Contohnya adalah blokade maritim damai dimana
dua penggugat, tidak dalam melakukan perang, namun negara korban
memutuskan untuk secara strategis memposisikan kapal perangnya di salah satu
pelabuhannya untuk menghalangi akses kapal milik negara yang bersalah
tersebut.72
4. Embargo
Istilah embargo berasal dari kata kerja bahasa Spanyol "embargar" yang
merupakan tindakan sebuah negara untuk melarang impor, ekspor, atau
keberangkatan kapal komersial negara lain, dari pelabuhan atau laut teritorialnya,
selama Negara yang bersalah tidak menghentikan tindakan ilegal yang tidak
bersahabat terhadapnya dan tidak mengkompensasi kerusakan yang
ditimbulkan.73

5. Perang

Perang adalah tindakan pertempuran negara-negara, akibat perselisihan


dimana para pihak bersengketa saling berusaha memaksa atau melakukan
tindakan kekerasan yang dianggap melanggar perdamaian, dengan kekerasan
sesuai dengan peraturan hingga salah satu dari pihak bersengketa menerima syarat
yang dimaksud musuhnya.74

2.3 Penyelesaian Sengketa Internasional (Privat)

Dalam suatu kegiatan Internasional baik negara maupun individu mengacu


kepada kaidah-kaidah hukum yang bersifat Internasional, baik ketentuan hukum
publik Internasional (public International law) maupun ketentuan hukum perdata
Internasional (private International law).

71
Sefriani.,op.cit., h. 385.
72
Necula Oana Cristina, op.cit.,h. 130.
73
Necula Oana Cristina, op.cit., h. 127.
74
Sefriani, op.cit., h. 386.

19
Hukum Internasional privat adalah bagian hukum Internasional yang
terkaitdengan hak dan kewajiban individu sebagai para pihak dan lembaga
Internasional non pemerintah dalam urusan Internasional yang mengacu pada
kaidah prinsip-prinsip hukum perjanjian atau kontrak Internasional dan konvensi
Internasional. Perbedaan acuan kaidah hukum tersebut menimbulkan adanya
perbedaan dalam penyelesaian sengketa Internasional publik dan privat. Di atas
telah dijelaskan metode-metode penyelesaian sengketa publik, sedangkan metode-
metode penyelesaian sengketa privat yakni terletak dalam kontrak kesepakatan
yang telah dibuat sebelum melakukan kesepakatan apakah ditempuh dengan
menggunakan:
2.3.1 Pilihan hukum (choice of law)
Pada prinsipnya, para pihak diberikan kebebasan dalam menentukan
hukum mana yang berlaku dalam perjanjian sesuai dengan prinsip kebebasan
berkontrak. Kebebasan para pihak untuk menetukan hukum ini termasuk
kebebasan untuk memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono).
Prinsip ini adalah sumber di mana pengadilan akan memutus sengketa
berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, kepatutan atau kelayakan suatu penyelesaian
sengketa. Kebebasan memilih ini harus dihormati oleh badan peradilan sebagai
contoh yakni, Pasal 28 ayat (1) UNCITRAL Model Law on International
Commercial Arbitration.
Peran choice of law di sini adalah menentukan hukum yang akan
digunakan oleh badan peradilan (peradilan atau arbitrase) untuk:
1) Menentukan keabsahan suatu kontrak;
2) Menafsirkan suatu kesepakatan-kesepakatan dalam kontrak;
3) Menentukan telah dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya suatu prestasi;
4) Menentukan akibat-akibat hukum dari adana pelanggaran terhadap kontrak.
2.3.2 Pilihan forum (choice of juridiction)
Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, maka para pihak dalam kontrak
dapat memilih pengadilan mana seandainya timbul sengketa terhadap kontrak
yang bersangkutan yang dapat dilakukan melalui pilihan forum pengadilan dan di
luar pengadilan. Forum penyelesaian sengketa dalam hal ini pada prinsipnya juga

20
sama dengan forum yang dikenal dalam hukum penyelesaian sengketa
Internasional pada umumnya (negosiasi, penyelidikan fakta-fakta, mediasi,
konsiliasi, arbitrase) dan penyelesaian melalui pengadilan atau cara-cara yang
desepakati dan dipilih para pihak. Penyelesaian sengketa publik Internasional dan
perdata Internasional tidak memiliki perbedaan jauh, dalam praktik penyelesaian
sengketa perdagangan internasional keduanya senantiasa berjalan bersama tanpa
terpisah satu sama lain.
2.4 Penyelesaian Sengketa Dagang Internasional

1. Penyelesaian Sengketa Dagang Internasional dalam the World Trade


Organization(WTO)
Keberadaan ekonomi suatu negara tidak terlepas dari kegiatan
perdagangan yang dilakukan, terutama perdagangan internasional dengan negara-
negara lainnya.Saat ini, terhadap kegiatan perdagangan internasional tersebut
telah dibuat sekumpulan aturannya dalam Agreement Establishing the World
Trade Organization (WTO Agreement) besertaannex-nya.
WTO merupakan satu-satunya organisasi internasional global yang
berurusan dengan peraturan perdagangan antar negara.Intinya adalah kesepakatan
WTO, dinegosiasikan dan ditandatangani oleh sebagian besar negara-negara
perdagangan dunia dan diratifikasi di parlemen mereka.Tujuannya adalah untuk
memastikan bahwa perdagangan mengalir dengan lancar, dapat diprediksi dan
leluasa.75WTO didirikan dan mulai beroperasi pada 1 Januari 1995.WTO
merupakan yang termuda di antara Intergovernmental organization dan salah satu
yang paling berpengaruh dalam globalisasi ekonomi saat ini.76Keberadaan WTO
yang ada sekarang ini tidak terlepas dari keberadaan General Agreement on
Tariffs and Trade 1947 (GATT1947).
Terhadap berbagai ketentuan perdagangan internasional yang diatur dalam
WTO Agreement beserta annex-nya tidak jarang negara-negara anggotanya
memiliki pandangan yang berbeda dan potensial menimbulkan sengketa dagang

75
WorldTradeOrganization,TheWTO,diaksesviahttps://www.wto.org/english/thewto_e/thewto_e.ht
mpada 27 Juli2017.
76
Peter Van Den Bossche, 2008, The Law and Policy of the World Trade Organization:Text,
Cases and Materials, Cambridge University Press, Cambridge, h. 76.

21
internasional. Dalam WTO, penyelesaian sengketa dagang internasional tersebut
dapat ditemukan dalam the Understanding on Rules and Procedures
Governingthe Settlement of Dispute (DSU). DSU ini adalah wujud interpretasi
dan implementasi Pasal III GATT 1947.77 Di antara institusi-institusi yang terlibat
dalam penyelesaian sengketa WTO, harus dipisahkan antara yang disebut Dispute
Settlement Body (DSB) yang merupakan institusi politik, dengan dua institusi
independen bertipe yudisial yang ada di dalamnya yaitu Panel dan Badan
Banding.78
Proses penyelesaian sengketa WTO terdiri dari empat langkah utama, yaitu:
(1) Konsultasi;
(2) Proses panel;
(3) Proses review banding; dan
(4) Implementasi dan penegakan
recommendationsdan rullings dari panel dan/atau Badan Banding,
sebagaimana diadopsi oleh DSB.79Penyelesaian sengketa dalam WTO ini terpaku
pada batas waktu yang ketat sebagaimana diatur dalam DSU.Karakteristik dari
penyelesaian sengketa WTO adalah kerahasiannya, dimana pengajuan tertulis
oleh para pihak sangat rahasia.80 DSU menyediakan tiga jenis upaya hukum
terhadap pelanggaran hukum WTO, yaitu: satu upaya hukum final berupa
penarikan atau amandemen langkah inkonsisten-WTO; dan dua upaya hukum
sementara berupa kompensasi dan penangguhan konsesi atau kewajiban
lainnya(retaliation/pembalasan).81
2. Penyelesaian Sengketa Dagang Internasional melalui The International
Centre for the Settlement of Investment Dispute(ICSID)
ICSID didirikan dengan the Convention on the Settlement of Investment
Disputes between States and Nationals of Other States 1965 (Konvensi
ICSID).ICSID, sebagai salah satu institusi the World Bank group didirikan guna

77
Ade Maman Suherman, 2014, Hukum Perdagangan Internasional:Lembaga Penyelesaian
Sengketa WTO dan Negara Berkembang, Sinar Grafika, Jakarta, h.55
78
Peter Van Den Bossche, op.cit.,h. 313.
79
Ibid., h. 269
80
Ibid.,h. 312.
81
Ibid., h. 313.

22
memfasilitasi tidak hanya arbitrase tapi juga konsiliasi sengketa mengenai
investasi antar negara anggotanya dan perorangan serta perusahan yang
merupakan warga negara dari negara anggotanya yang lain (Pasal 25 (1)
Konvensi ICSID).Pusat kedudukannya terletak di the principal office of the
International Bank for Reconstruction and Development, Washington, DC. Pada
dasarnya kedua belah pihak bersengketa harus sepakat secara tertulis jika akan
menggunakan mekanisme arbitrase ICSID dan bilamana keduanya
telahmemberipersetujuan, maka persetujuan tidak dapat ditarik sepihak.82 Pasal 62
Konvensi ICSID menentukan bahwa proses dilaksanakan di tempat pusat
kedudukan ICSID kecuali para pihak setuju sebaliknya. Dalam menyelesaikan
sengketa investasi di ICSID, dibentuk komisi konsiliasi atau pengadilan arbitrase
untuk sengketa tertentu sesuai dengan ketentuan Konvensi ICSID. 83 Putusan
dalam ICSID diberikan dalam bentuk award, dan bila telah diterbitkan maka
bersifat final dan mengikat para pihak84 serta hanya akan diterbitkan bila disetujui
parapihak.

82
Pasal 25 ayat (1) Konvensi ICSID.
83
Ruth Mackenzie, op.cit.,h.127.
84
Pasal 53 Konvensi ICSID.

23
BAB III
ANALISIS KASUS SENGKETA INTERNASIONAL ANTARA
INDONESIA DAN CHINA ATAS PULAU NATUNA
3.1 Deskripsi Kasus
Pada hari Sabtu, 19 Maret 2016, terjadi insiden yaitu terpergoknya kapal
Motor Kway Fey 10078 berbendera Tiongkok saat melakukan aktivitas
penangkapan ikan diperairan Natuna. Kementerian Kelautan dan Perikanan
mendeteksi kapal nelayan Tiongkok pada hari itu pukul 15.14 WIB berada di
koordinat 5 derajat lintang utara dan 109 derajat bujur timur yang merupakan
Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE) Indonesia.
Insiden itu berbuntut protes resmi dari pemerintah Indonesia karena upaya
penindakan yang hendak dilakukan oleh tim KKP dihalang-halangi oleh kapal
patroli milik badan keamanan laut (coastguard) Tiongkok. Kapal penjaga pantai
(coast guard) milik Angkatan Laut China nekat menerobos perbatasan. Tak hanya
itu, mereka juga menabrak dan menarik paksa kapal yang baru saja ditangkap
operasi gabunganKementerian Kelautan dan Perikanan bersama TNI AL.
Akibat Akibat ulah dari kapal coast guard China yang menerabas wilayah
perairan Natuna, Indonesia ini belum usai. Hal ini membuat pemerintah Indonesia
kini berencana meningkatkan pengamanan wilayah perbatasan itu. Tak sekadar
memperketat pengawasan, mereka bahkan berencana memperkuat posisi militer di
perairan tersebut. Langkah itu dilakukan demi menegakkan kedaulatan NKRI di
lautan khususnya Natuna. Sebagaimana dikutip viva.com, Menteri Koordinator
Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan, saat berkunjung ke
kantor redaksi tvOne, Rabu malam, 23 Maret 2016 mengatakan bahwa Natuna
harus jadi seperti kapal induk kita. Kita Jadikan basis militer yang kuat, AL dan
AU di sana. Dia menambahkan bahwa presiden Joko Widodo bersikap tegas dan
tidak kompromi mengenai persoalan tersebut.
Pemerintah melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sudah
melayangkan protes kepada Pemerintah China, terkait insiden pelanggaran
kedaulatan di perairan laut Natuna, Kepulauan Riau. Menlu sudah memanggil
kuasa usaha sementara Kedutaan Besar China di Jakarta. Menlu langsung

24
menyampaikan tiga hal protes pemerintah Indonesia atas tragedi di laut Natuna
pada Minggu 20 Maret 2016 malam kemarin. Poin kedua dari protes Indonesia ke
negeri Tirai Bambu itu, mengenai upaya yang dilakukan oleh coast guard China
untuk mencegah upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh otoritas Indonesia
di wilayah ZEE dan landas kontinen. Di mana, salah satu kapal coast guard China
tiba-tiba mengejar Kapal Pengawas (KP) Hiu 11 milik Indonesia dan kapal
tangkapan KM Kway Fey 10078 China dengan kecepatan 25 knots. Kapal cost
guard itu justru menabrak kapal tangkapan hingga rusak. Akhirnya, petugas
meninggalkan kapal tangkapan tersebut demi keselamatan. Dan, yang ketiga
adalah keberatan kita atau protes kita terhadap pelanggaran kedaulatan laut
teritorial Indonesia.
Kepulauan Natuna merupakan wilayah Indonesia yang paling utara di
Selat Karimata. Kepulauan Natuna terdiri dari pulau-pulau kecil yang berbatasan
langsung dengan wilayah maritim tiga negara, yaitu Malaysia, Singapura dan
Vietnam.22 Kepulauan Natuna memiliki cadangan gas alam terbesar di kawasan
Asia Pasifik bahkan di Dunia. Cadangan minyak bumi Natuna diperkirakan
mencapai 14.386.470 barel, sedangkan gas bumi 112.356.680 barel. Kawasan laut
Natuna juga merupakan salah satu jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)
dan menjadi lintasan laut Internasional bagi kapal-kapal yang datang dari
Samudera Hindia memasuki negara-negara industri di sekitar laut tersebut dan
juga menuju Samudera Pasifik.23 Akan tetapi, China selama ini mengklaim
kedaulatan di hampir seluruh wilayah Laut China Selatan. Dalam hal wilayah,
China mengklaim 90% wilayah perairan Laut China Selatan seluas 3,6 juta
kilometer persegi. Klaim itu didasari pada peta kuno armada laut China pada abad
kedua sebelum Masehi pada masa dinasti Qin dan dinasti Han. Kemudian dari
tahun 960 sampai 1368, orangorang China memperluas aktivitasnya ke perairanan
pulau Zhongsha dan Nansha. Aktivitasaktivitas China berlanjut terus sampai
tahun 1911, dimana wilayah kegiatannya sudah mencakup semua pulau di Laut
China Selatan

25
3.2 Analisis Kasus Berdasarkan Penyelesaian Internasional
Mengenai kemelut yang terjadi di Laut China Selatan, sebenarnya
Indonesia sejak dahulu telah melakukan upaya diplomatik agar sengketa Laut
China Selatan tidak meluasdi wilayah kedaulatan Indonesia di Natuna. Pada saat
itu, Menlu Indonesia Marty Natalegawa dan Menlu China Yang Jiechi sepakat
untuk mengadakan diplomasi dalam menyelesaikan sengketa Laut China Selatan.
Mengimplementasikan secara penuh dan efektif dari Declaration on the conduct
of Parties in the Shout China Sea (DOC), yaitu membangun rasa saling percaya,
meningkatkan kerjasama, memelihara perdamaian dan stabilitas di Laut China
Selatan.25 Dalam menyelesaikan konflik di laut China Selatan, pemerintah
Indonesia telah memiliki instrumen penyelesaian konflik yang memadai. Inisiatif
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang mengusulkan draf awal kode etik
atau zero draft code of conduct Laut China Selatan bisa dijadikan senjata bagi
diplomasi Indonesia. Ada tiga poin penting yang menjadi tujuan zero draft code of
conduct, yaitu menciptakan rasa saling percaya, mencegah insden, dan mengelola
insiden jika insiden itu terjadi. Pada tiga tahap ini juga dipaparkan langkah-
langkah konkrit yang mengatur kapal-kapal perang untuk menciptakan rasa saling
percaya, mencegah insiden dan mengelola insiden. Code of conduct yang
diusulkan pada September 2012 tersebut telah disetujui dalam pertemuan antara
menteri luar ASEAN dan China Beijing pada Agustus 2013.
Berdasarkan sedikit pemaparan tersebut, maka pendapat Menteri Luar
Negeri China jelas melanggar kesepakatan yang telah dibuat. Yang pada akhirnya,
dengan melakukan negosiasi secara diplomatik dalam rangka menyelesaikan
sengketa atas pulau Natuna, China mengakui hak penuh Indonesia atas Pulau
Natuna di Laut China Selatan.

26
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan penyajian materi di atas, diketahui bahwa penyelesaian


sengketa internasional sudah seharusnya dilaksanakan dengan cara damai sesuai
kesepakatan para pihak bersengketa sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (3) jo.
Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB. Cara damai itu bisa melalui negosiasi, pencarian
fakta, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian melalui peradilan, dibawa ke
Badan atau pengurusan regional/kawasan atau berdasarkan pilihan damai lain
para pihak. Sementara itu penyelesaian sengketa internasional privat dapat
dilakukan dengan pilihan hukum dan pilihan forum, Selain itu dalam ranah
perdagangan internasional, penyelesaiannya dapat melalui mekanisme WTO yang
mengacu pada DSU dan juga mekanisme ICSID. Sedangkan penyelesaian
sengketa internasional dengan kekerasan sangatlah dikecam oleh masyarakat
internasional dan tercermin dalam berbagai instrumen internasional.

27
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Aall, Pamela, dkk. 2007. Peacemaking in International Conflict: Methods &
Techniques. Ed. I. William Zartman. United States Institute of Peace.
Washington D.C
Adolf, Huala. 2016. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional.Cet-6. Sinar
Grafika. Jakarta
Bossche, Peter Van Den. 2008. The Law and Policy of the World Trade
Organization: Text, Cases and Materials. Cambridge University Press.
Cambridge
Suherman, Ade Maman. 2014. Hukum Perdagangan Internasional: Lembaga
Penyelesaian Sengketa WTO dan Negara Berkembang. Sinar Grafika.
Jakarta
Brownlie, Ian. 1998. The Rule of Law in International Affairs: International law
at the Fiftieth Anniversary of the United Nations. Kluwer Law
International. The Hague
Collier, John & Vaughan Lowe.1999. The Settlement of Disputes in International
Law: Institutions and Procedures. Oxford University Press Inc. New York
Dixon, Martin. 2007. International Law. Edisi ke-7.Oxford University Press. New
York
Hutagalung, Sophar Maru. 2012. Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.Sinar Grafika. Jakarta
Mackenzie, Ruth, dkk., 2010, The Manual on International Courts and Tribunals,
Edisi ke-2, Oxford University Press, New York
Merrills, J.G. 2011. International Dispute Settlement.Edisi ke-5.Cambridge
University Press. UK
Sefriani.2016. Peran Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional
Kontemporer.PT RajaGrafindo Persada. Jakarta
Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.Sinar Grafika.
QC, Malcolm N. Shaw. 2013. Hukum Internasional. Nusa Media. Bandung.

28
Jurnal
Cristina, Necula Oana. 2012. The Line Between Peaceful Settlement of Disputes
and the Use of Force in International Law. Journal Relationes
Internationales. Vol.5. No.1(2012).Diakses via
file:///C:/Users/ASUS%20K401UQ/Downloads/1690-6220-2-PB.pdf pada
27Juli2017
Bilder, Richard B. 1986. An Overview of International Dispute Settlement.Journal
of International Dispute Resolution.Vol. 1.No. 1 (Fall 1986). Diakses pada
file:///C:/Users/User/Downloads/SSRN-id1551962.pdf pada 24 Juli 2017

Instrumen Hukum Internasional


Charter of the United Nations 1945
Convention for the Pacific Settlement of International Disputes 1899 Covenant of
the League of Nations 1919
Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and
Nationals of Other States 1965

European Convention for the Peaceful Settlement of Dispute 1957 General


Agreement on Tariffs and Trade 1947
Hague Convention for the Pacific Settlement of International Disputes 1907
Kellog-Briand Pact 1928
Rome Statute of the International Criminal Court 1998 Treaty of Amity and
Cooperation in Southeast Asia
Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes
Vienna Convention on the Law of Treaties 1969

29

Anda mungkin juga menyukai