Anda di halaman 1dari 13

HUKUM INTERNASIONAL

SENGKETA PULAU SIPADAN DAN LIGITAN YANG TERJADI ANTARA NEGARA


INDONESIA DAN MALAYSIA
(1967-2002)

Dosen Pengampu :
Drs. Mutia Evi Krishty, S.H., M.H

Disusun oleh :
Kelompok 9

Abed Nego Marpaung :223020601125


Normala :223020601148
Rina Seruyana :2230206011
Rini Seruyani :2230206011
Sitholabi :223020601150

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2023
KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis panjatkan Puji dan Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena berkat Rahmat-Nya makalah ini dapat terselesaikan. Tujuan penulisan makalah ini
adalah untuk menyelesaikan tugas Hukum Internasional, selain itu juga untuk meningkatkan
pemahaman kami mengenai materi tersebut.
Dengan membaca makalah ini kami sebagai penulis berharap dapat membantu teman-
teman serta pembaca untuk dapat memahami materi ini dan dapat memperkaya wawasan
pembaca. Walaupun penulis telah berusaha sesuai kemampuan, namun penulis yakin bahwa
manusia itu tak ada yang sempurna. Seandainya dalam penulisan makalah ini ada yang
kurang, maka itulah bagian dari kelemahan kami sebagai penulis.
Mudah-mudahan melalui kelemahan itulah yang akan membawa kesadaran kita akan
kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini dan kepada
pembaca yang telah meluangkan waktunya untuk membaca makalah ini. Untuk itu penulis
selalu menantikan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi perbaikan
penyusunan makalah ini.

Penulis

Page | 1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ 2


DAFTAR ISI .......................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................4
1.1 Latar Belakang............................................................................................. 4
1.2 RumusanMasalah......................................................................................... 5
1.3 Tujuan.......................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................6
2.1 Geografi.......................................................................................................6
2.2 Sejarah.........................................................................................................6
2.3 Kronologi Sengketa.....................................................................................6
2.4 Penyebab Sengketa .....................................................................................7
2.4.1 Pengadilan Pertama di Filipia Melalui Mahkamah Internasional ......7
2.4.2 Statement Filipina ..............................................................................8
2.4.3 Perjanjian Bahwa Sengketa Ini Akan Diajukan Secara Internasioal di
ICJ .....................................................................................................8

2.5 Pengajuan Bukti-bukti ................................................................................9


2.6 Hasil Mahkamah Interasional .....................................................................9
BAB III PENUTUP.............................................................................................................10
3.1 Kesimpulan .................................................................................................10
3.2 Saran............................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................................11

Page | 2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perlu diketahui bahwa setiap sengketa merupakan konflik namun beda hal nya dengan
konflik yang tidak semuanya dapat dikategorikan sebagai sengketa. Sengketa internasional
bukan hanya secara eksklusif merupakan urusan dalam negeri dalam suatu negara dalam
suatu negara dan juga tidak hanya menyangkut hubungan negara saja karena subjek-subjek
hukum internasional saat ini sudah mengalami perluasan sedemikian rupa yang melibatkan
beberapa dari faktor non negara. Sesuai dengan pasal 36 ayat (2) Mahkamah Internasional
menegaskan bahwa sengketa hukum yang dapat dibawa ke Mahkamah Internasional
menyangkut hal-hal sebagai berikut :
1. Interpretasi perjanjian
2. Persoalan mengenai hukum internasional
3. Adanya fakta apapun yang jika didirikan akan merupakan pelanggaran kewajiban
internasional
4. Sifat atau tingkat perbaikan yang akan dibuat untuk pelanggaran kewajiban
internasional.

Dalam membedakan sengketa internasional untuk membedakan suatu sengketa


bersifat hukum dan sengketa yang bersifat politik. Tiap-tiap sengketa internasional sekaligus
mempunyai aspek politik maupun yuridik hanya saja yang membedakan hanya penonjolan
aspek dari suatu kasus sengketa satu dengan sengketa lainnya tapi tetap saja pembedaan ini
dianggap perlu untuk mendapatkan prosedur penyelesaian yang sesuai. Jadi untuk sengketa
yang bersifat politik maka penyelesaiannya melalui prosedur politik, sedangkan untuk
sengketa yang bersifat hukum penyelesaiannya juga melalui prosedur hukum. Perbedaan
kedua cara penyelesaian sengketa ini terletak pada tingkat kekuatan mengikat dari keputusan
yang diambil , keputusan yang diambil dalam penyelesaian sengketa.

Politik hanya berbentuk asal-usul yang tidak mengikat negara yang bersengketa. Asal
usul berbentuk usul-usul yang tidak mengikat negara yang bersengketa dan tetap
mengutamakan kedaulatan negara-negara yang bersengketa dan tidak harus didasarkan atas
ketentuan-ketentuan hukum. Konsiderasi-konsiderasi politik dan kepentingan-kepentingan
lainnya, dapat juga menjadi dasar pertimbangan dalam penyelesaian sengketa secara hukum
mempunyai sifat mengikat dan membatasi kedaulatan negara-negara yang bersengketa yang
disebabkan karena keputusan yang diambil hanya didasarkan atas prinsip-prinsip hukum
internasional, Mahkamah Internasional (ICJ) juga menetapkan 4 kriteria sengketa :
a. Didasarkan pada kriteria-kriteria objektif yaitu dengan melihat fakta-fakta
yang ada.
Contoh : Kasus penyerbuan Amerika dan Inggris ke Irak
b. Tidak didasarkan pada argumentasi salah satu pihak
Contoh : USA dengan Irak pada tahun 1979, pada kasus ini
c. Mahkamah Internasional dalam mengambil keputusan tidak hanya
berdasarkan pada argumentasi dari pihak Amerika saja namun juga melihat
dari argumentasi pihak Irak

Page | 3
d. Penyangkalan mengenai suatu peristiwa atau fakta oleh salah satu pihak
tentang adanya sengketa tidak dengan sendirinya membuktikan bahwa tidak
ada sengketa.
Salah satu contohnya : The Northern Cameroons 1967 case, dalam kasus ini
Inggris menyatakan bahwa tidak ada sengketa antara Inggris dan Kamerun,
bahkan Inggris menyatakan bahwa sengketa yang terjadi bukan antara dia
dengan Kamerun melainkan Kamerun dengan PBB. Berkaca dari kasus
tersebut dapat disimpulkan bahwa bukan para pihak yang bersengketa yang
memutuskan ada tidaknya sengketa tetapi harus diselesaikan dengan adanya
pihak ketiga.
e. Adanya sikap yang saling bertentangan/ berlawanan dari kedua belah pihak
yang bersengketa.
Contoh : Case Concerning the Applicability of the obligation to arbitrate under
section 21 of the United Nations Headquarters agreement of 26 June 1947.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana letak geografis pulau sipadan dan ligitan ?


1.2.2 Apakah ada upaya dari Indonesia dan Malaysia sebelum di tanganin oleh
International Court Justice ?
1.2.3 Bagaimana kronologi sengketa Indonesia dan Malaysia atas kepemilikan
kedua pulau tersebut ?
1.2.4 Apa faktor penyebab terjadinya sengketa Indonesia dan Malaysia atas
kepemilikan kedua pulau tersebut ?
1.2.5 Melalui apa penyelesaiaannya yang di setujui Indonesia dan Malaysia ?
1.2.6 Bukti-bukti apa saja yang diajukan Indonesia dan Malaysia terkait sengketa
tesebut?
1.2.7 Bagaimana hasil dari sengketa kepemilikan kedua pulau tersebut?

1.3 Tujuan

1.3.1 Memahami letak geografis pulau sipadan dan ligitan.


1.3.2 Mengerti upaya Indonesia dan Malaysia sebelum sepakat menyerahkan
kepada International Court Justice (ICJ)
1.3.3 Mengetahui kronologi sengketa Inonesia dan Malaysia atas kepemilikan
sipadan dan ligitan
1.3.4 Mengetahui penyebab terjadinya sengketa Indonesia dan Malaysia atas
kepemilikan pulau sipadan dan ligitan.
1.3.5 Mengetahui di bawa kemana penyelesaian sengketa Indonesia dan Malaysia
atas kepemilikan sipadan dan ligitan.
1.3.6 Mengetahui bukti-bukti dari Indonesia dan Malaysia yang memperkuat
kepemilikan kedua pulau tersebut.
1.3.7 Mengetahui hasil atas kepemilikan kedua tersebut.

Page | 4
Page | 5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Geografi

Permasalahan ini dinamakan dengan sengketa pulau sipadan dan ligitan yang mana
Indonesia dan Malaysia terlibat perselisihan atas hak milik dari dua pulau tersebut di selat
Makassar. Yaitu pulau Sipadan memiliki luas 50.000 m² dan juga pulau ligitan yang memiliki
luas 18.000m².

Pulau Sipadan terletak sekitar 24 kilometer dari pantai dararan Sabah Malaysia, dan
sekitar 64 kilometer dari pantai timur Pulau Sebatik. dimana bagian utara merupakan wilayah
Malaysia dan bagian timur selatan merupakan wilayah Indonesia. Pulau dengan luas sekitar
50.000 m2 ini diduga memiliki kekayaan alam bawah laut yang sangat indah dengan ribuan
habitat penyu dengan taburan karang menjalar dari utara ke selatan dan memiliki kandungan
bahan-bahan mineral, minyak dan gas bumi. Pulau Ligitan terletak sekitar 34 km dari pantai
daratan Sabah Malaysia dan laut sekitar 93 km dari pantai timur Pulau Sebatik. pulau Ligitan
terletak 34 km dari pantai daratan Dabah dan 93 km dari pantai Pulau Sebatik di ujung timur
pulau Kalimantan. Pulau ini dari sejarahnya merupakan wilayah kesatuan republic Indonesia
dan menjadi sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia.

2.2 Sejarah

Berawal dari pertemuan tingkat tinggi antara Presiden Soeharto dari Indonesia dengan
Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohammad, di Yogyakarta pada bulan Juni 1998.
Setelah pertemuan tingkat tinggi itu, serangkaian perundingan kemudian dilaksanakan
dengan melibatkan Joint Working Group Meetings, Senior Official Meetings,
dan Joint Commission Meetings. Sebelumnya pada tahun 1994, Indonesia dan Malaysia
mencoba membuat terobosan dengan menetapkan atau menunjuk perwakilan masing-masing
untuk negosiasi yang intensif. Indonesia menunjuk Menteri Sekretaris Negara ketika itu,
Moerdiono, dan Malaysia menugaskan wakil perdana menterinya yaitu Anwar Ibrahim untuk
mewakili Malaysia dalam perundingan. Kedua perwakilan itu melaksanakan empat
pertemuan di Jakarta pada 17 Juli 1995 dan 16 September 1995, lalu di Kuala Lumpur pada
22 September 1995 dan 21 Juli 1996. Sampai akhirnya kedua belah pihak yaitu Indonesia dan
Malaysia sepakat untuk menyerahkan penentuan kedua wilayah

2.3 Kronologi Sengketa

Permasalahan ini bermula pada tahun 1967 ketika Indonesia dan Malaysia ingin
membuat data tentang perbatasan dari masing-masing negara ternyata baik Indonesia maupun
Malaysia sama-sama memasukkan Sipadan dan Ligitan ke dalam wilayah negara mereka
akhirnya Indonesia dan Malaysia pun sepakat agar pulau Sipadan dan Ligitan dinyatakan
dalam keadaan status quo.

Page | 6
Pengertian status quo adalah keadaan tetap sebagaimana keadaan pada saat itu, artinya
pulau tersebut dibiarkan terlebih dahulu dengan keadaan seperti itu tanpa ada campur tangan
negara Indonesia maupun negara Malaysia karena persoalan pulau ini masih belum selesai,
tetapi sayangnya terjadi kesalahpahaman antara Indonesia dan Malaysia dalam memahami
arti dari status quo. Malaysia pun membangun resort pariwisata baru yang dibangun oleh
pihak swasta di Malaysia di pulau tersebut karena menurut Malaysia status quo artinya pulau
sipadan dan ligitan tetap berada di bawah kendali Malaysia sampai sengketa berakhir
sedangkan menurut Indonesia status quo artinya ke 2 pulau ini tidak boleh ditempati atau
diduduki sampai sengketa pulau ini selesai karena Malaysia telah membangun fasilitas
pariwisata di pulau sipadan dan ligitan, maka Indonesia pun mengajukan protes ke Kuala
lumpur dan meminta pembangunan dihentikan.

2.4 Penyebab Sengketa:

Tahun 1969 Malaysia pun secara sepihak memasukkan pulau sipadan dan ligitan ke
dalam peta nasional mereka, awalnya permasalahan tersebut ingin dibahas melalui dewan
tinggi ASEAN namun Malaysia menolak karena Malaysia menduga bahwa mereka akan
kalah jika kasus ini dibahas di ASEAN Malaysia menduga akan kalah karena pada saat itu
Malaysia juga sedang terlibat sengketa dengan Singapura, sengketa dengan Filipina, bahkan
sengketa dengan laut Cina Selatan. Tahun 1991 Malaysia pun mengusir semua warga
Indonesia di pulau tersebut dengan bantuan polisi hutan atau polisi yang setara dengan
Brimob Indonesia tujuannya adalah agar Indonesia mencabut klaim atas dua pulau sipadan
dan ligitan ini. Akhirnya Indonesia dan Malaysia pun sepakat bahwa sengketa ini
diselesaikan melalui jalur hukum internasional dan bukan melalui politik atau ASEAN.
Pemerintah Indonesia bahkan pada saat itu membentuk tim khusus yang terdiri atas pakar
sejarah, hukum internasional, dan juga instansi terkait seperti KEMENLU.

2.4.1 Pengadilan Pertama di Filipina melalui Mahkamah Internasional

Pada tanggal 2 November 1998, Republik Indonesia dan


Malaysia secara bersama-sama memberitahukan kepada Pengadilan
mengenai Perjanjian Khusus antara kedua Negara, yang ditandatangani
di Kuala Lumpur pada tanggal 31 Mei 1997 dan mulai berlaku pada
tanggal 14 Mei 1998. Sesuai dengan Perjanjian Khusus tersebut, mereka
meminta Pengadilan untuk menentukan, berdasarkan perjanjian-
perjanjian, kesepakatan-kesepakatan dan bukti-bukti lain yang diberikan
oleh mereka, kedaulatan atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan berada di
tangan negara mana di antara kedua negara tersebut.

Tidak lama setelah pengajuan Memori, Kontra Memori dan


Jawaban oleh Para Pihak, Filipina, pada tanggal 13 Maret 2001, meminta
ijin untuk melakukan intervensi dalam kasus ini. Dalam Permohonannya,
Filipina menyatakan bahwa tujuan dari permohonan tersebut adalah
untuk "melestarikan dan melindungi hak-hak historis dan hukum

Page | 7
[Pemerintahnya] yang timbul dari klaim kekuasaan dan kedaulatannya
atas wilayah Kalimantan Utara, sejauh hak-hak tersebut [terpengaruh,
atau [mungkin] terpengaruh, oleh putusan Pengadilan mengenai masalah
kedaulatan atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan".

2.4.2 Statement Filipina:

Permohonan izin untuk campur tangan tersebut mengundang


keberatan dari Indonesia dan Malaysia. Di antaranya, Indonesia
menyatakan bahwa permohonan tersebut harus ditolak dengan alasan
bahwa permohonan tersebut tidak diajukan pada waktunya dan bahwa
Filipina tidak menunjukkan bahwa mereka memiliki kepentingan hukum
yang menjadi pokok perkara. Sementara itu, Malaysia menambahkan
bahwa objek dari Permohonan tersebut tidak memadai. Oleh karena itu,
Pengadilan memutuskan untuk mengadakan sidang terbuka untuk
mendengarkan Filipina, Indonesia, dan Malaysia, sebelum mengambil
keputusan apakah akan mengabulkan permohonan izin untuk melakukan
intervensi. Setelah sidang-sidang tersebut, pada tanggal 23 Oktober
2001, Pengadilan memberikan Putusan yang menolak permohonan
Filipina untuk mendapatkan izin untuk melakukan intervensi.

Setelah diadakannya sidang dengar pendapat pada bulan Juni


2002, Pengadilan menyampaikan Putusan pada tanggal 17 Desember
2002. Dalam Putusan tersebut, Pengadilan memulai dengan mengingat
kembali latar belakang sejarah yang kompleks dari sengketa antara para
pihak. Kemudian memeriksa hak-hak yang dimohonkan oleh para pihak.
Indonesia menegaskan bahwa klaim kedaulatannya atas pulau-pulau
tersebut terutama didasarkan pada hak-hak konvensional, yaitu Konvensi
1891 antara Britania Raya dan Belanda.

Setelah memeriksa Konvensi 1891, Mahkamah menemukan


bahwa, ketika dibaca dalam konteks dan dalam terang tujuan dan
maksudnya, instrumen tersebut tidak dapat ditafsirkan sebagai penetapan
garis batas yang menentukan kedaulatan atas pulau-pulau tersebut di laut
lepas, di sebelah timur pulau Sebatik, dan sebagai akibatnya, Konvensi
tersebut bukan merupakan suatu hak milik yang menjadi dasar bagi
Indonesia untuk mendasarkan klaimnya atas Ligitan dan Sipadan.
Pengadilan menyatakan bahwa kesimpulan tersebut dikonfirmasikan
baik oleh travaux préparatoires maupun oleh tindakan para pihak dalam
Konvensi. Pengadilan lebih lanjut menyatakan bahwa materi kartografi

Page | 8
yang diajukan oleh para pihak dalam kasus ini tidak bertentangan dengan
kesimpulan tersebut.

Setelah menolak argumen Indonesia tersebut, Mahkamah


kemudian beralih ke pertimbangan atas klaim-klaim lain yang menjadi
dasar klaim kedaulatan Indonesia dan Malaysia atas pulau-pulau Ligitan
dan Sipadan. Pengadilan berusaha untuk menentukan apakah Indonesia
atau Malaysia memperoleh hak atas pulau-pulau tersebut melalui
suksesi. Dalam kaitan itu, Indonesia mengutip kehadiran angkatan laut
Belanda dan Indonesia secara terus menerus di sekitar Ligitan dan
Sipadan. Indonesia juga menambahkan bahwa perairan di sekitar pulau-
pulau tersebut secara tradisional telah digunakan oleh para nelayan
Indonesia. Sehubungan dengan argumen pertama, Pengadilan
berpendapat bahwa dari fakta-fakta yang diandalkan dalam kasus ini
"tidak dapat disimpulkan bahwa otoritas angkatan laut yang
bersangkutan menganggap Ligitan dan Sipadan serta perairan di
sekitarnya berada di bawah kedaulatan Belanda atau Indonesia". Untuk
argumen kedua, Pengadilan mempertimbangkan bahwa "kegiatan-
kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang swasta

2.5 Perjanjian bahwa Sengketa ini akan diajukan Secara Internasional di ICJ:

31 Mei 1997 presiden Soeharto berkunjung ke Malaysia untuk


menandatangani perjanjian persetujuan agar sengketa ini diselesaikan secara
internasional. Keputusan sengketa pulau yang akan dibahas di mahkamah
Internasional nantinya bersifat final dan kedua belah pihak harus sepakat menerima
apapun hasilnya. Tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke
mahkamah Internasional pihak Malaysia memberikan bukti tentang perjanjian Sultan
Sulu dengan Inggris yang nantinya wilayah tersebut menjadi milik Malaysia setelah
merdeka dari Inggris kemudian Malaysia juga memberikan bukti bahwa Inggris
pernah melakukan penarikan pajak ke peternak penyu pada tahun 1930 dan ada juga
mercusuar dengan tulisan dibangun oleh Inggris.

2.6 Pengajuan Bukti-bukti:

Pihak Indonesia pun mengajukan bukti bahwa kedua pulau ini adalah bagian dari
NKRI berdasarkan perjanjian Juanda dengan menarik garis dari lintang tanpa batasan.
Indonesia juga memperlihatkan bukti bahwa kapal induk Belanda pernah berpatroli ke sekitar
2 pulau itu dengan asumsi bahwa Belanda pernah ke pulau ini yang artinya pulau ini milik
Indonesia. Setelah Malaysia dan Indonesia menyerahkan bukti terkuat atas hak kepemilikan
dari dua pulau tersebut ke mahkamah Internasional.

Page | 9
2.7 Mahkamah Internasional:

Hakim Mahkamah Internasional menolak bukti Indonesia karena perjanjian Juanda


hanya mengatur pembagian darat bukan pembagian laut. Kemenangan Malaysia ini
berdasarkan pertimbangan efektivitas di mana ada kedaulatan yang sebelumnya pernah
dilakukan oleh Inggris di kedua pulau ini kedaulatan yang dimaksud adalah penarikan pajak
ke peternak penyu di pulau tersebut pada tahun 1930 kemudian Inggris juga pernah
melakukan operasi mercusuar di pulau tersebut pada tahun 1960 dengan kata lain ke 2 pulau
ini adalah milik Malaysia karena pulau ini bekas pendudukan Inggris Jadi kesimpulannya
pulau Sipadan dan pulau digital adalah milik Malaysia

2 tahun kemudian tepatnya 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional


mengeluarkan keputusan sengketa antara Indonesia dan Malaysia ini dari 17 hakim 15 hakim
adalah hakim tetap mahkamah Internasional 1 hakim perwakilan dari Malaysia dan juga 1
Hakim dari perwakilan Indonesia. Hasilnya dalam voting dari lembaga tersebut 16 hakim
berpihak pada Malaysia dan hanya 1 Hakim berpihak pada Indonesia.

Page | 10
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam kesimpulan ini, yang harus kita ketahui adalah kehilangan pulau Sipadan dan
Ligitan bukan karena Indonesia tidak mampu menjaga kedaulatan atau pertahanan negara,
melainkan kehilangan pulau Sipadan dan Ligitan sebenarnya lebih kepada hukum dan sejarah
dari pulau tersebut.

3.2 Saran

Dari pemaparan yang kami paparkan pada materi di atas kita sebagai bangsa Indonesia
terkhususnya kaum muda Indonesia harus menjaga serta serta melestarikan lingkungan
kita saat ini, dan besar kami harapan kepada Pemerintah Indonesia untuk lebih
memperhatikan pulau-pulau terluar Indonesia dengan membuat adminitrasi supaay tidak
ada lagi pulau Indonesia yang terlepas, sekian dan terima kasih.

Page | 11
DAFTAR PUSTAKA

Adolf, H. (2012). Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Cet.IV.


Jakarta: Rajawali Pers.
Arsana, I. M. A. (2007). Batas Maritim Antar Negara. Yogyakarta: Gadjah
Mada university Pers.
Hendrawati, M., dkk. “Pengendalian Efektif dengan Cara Akuisisi
Teritorial: Analisis Kasus Sipadan dan Ligitan”. Jurnal Universitas
Hasanudin. Diakses pada tanggal 28 Desember 2019
Juwana, H. (2019). “Putusan MI atas Pulau Sipadan dan Ligitan”.

Page | 12

Anda mungkin juga menyukai