Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

HUKUM INTERNASIONAL

“KASUS SENGKETA PULAU SIPADAN DAN LINGITAN


ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA”

Dosen Pengampu :
Dr. Sodikin, S.H., M.Si.

DISUSUN OLEH :
JASMINE WIDYAPUTRI AGUNG
20210210100017

Kelas C

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
KOTA TANGERANG SELATAN
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
selesainya makalah yang berjudul “masalah-masalah yang merusak keimanan”
dalam menghadapi masa kritis di zaman sekarang. Selama pembuatan karya
ilmiah pun penulis juga mendapat banyak dukungan dan juga bantuan dari
berbagai pihak, maka dari itu penulis haturkan terima kasih kepada :

1. Dr. Sodikin, S.H., M.Si.selaku dosen Hukum Internasional yang sekaligus


memberikan bimbingan, saran, dan juga ide.
2.Orang Tua penulis yang sudah memberikan fasilitas menyelesaikan karya
ilmiah.
Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
Sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan penulis memohon kritik dan saran yang membangun dari
Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.Terimakasih.

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................iii
BAB 1..................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................2
1.3 Metode Penulisan....................................................................................................2
BAB 2..................................................................................................................................3
2.1 Penyelesaian Kasus Sipadan dan Ligitan sesuai Prosedur Hukum Internasional......3
2.2 Penyebab Indonesia Kalah dalam Sengketa Hukum Internasional...........................7
2.3 Sikap yang seharusnya diambil Indonesia untuk kedepannya dalam kasus yang
serupa............................................................................................................................9
BAB III...............................................................................................................................11
3.1 Kesimpulan.............................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................12

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Laut merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan oleh
manusia melalui negara untuk memenuhi dan mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Pada zaman dahulu laut dapat dimanfaatkan oleh setiap Negara yang ingin
memanfaatkannya, namun dengan adanya rezim hukum laut menurut UNCLOS
1982 yang berisi berbagai peraturan dan pembatasan bagi setiap Negara untuk
memanfaatkan sumber daya alam berupa laut
Terjadinya perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia
dikarenakan Malaysia menganggap Sipadan dan Ligitan itu adalah milik Malaysia
asal muasalnya adalah Pulau Sipadan dan Ligitan tersebut dibagi lewat perjanjian
konvensi pada tahun 1891 yaitu antara negara Belanda dan Inggris
Namun disini Inggris lah yang pada akhirnya melakukan eksploitasi terhadap
Sipadan danLigitan dengan membangun aktivitas penangkaran penyu dan
ekspoitasi sumber daya alam serta membangun resort pada tahun 1988. Seiring
dengan dimerdekakannya Malaysia. Apa yang di miliki oleh Inggris dianggap
oleh Malaysia sebagai milik Malaysia karena Inggris memberikan daerah
penjajahanya kepada pemerintahan Malaysia.
Malaysia berasumsi bahwa apa yang telah Inggris berikan adalah miliknya, dan
Malaysia pun melanjutkan penangkaran penyu, sumber daya alam, dan
membangun resort pada tahun 1988. Namun hal ini ternyata menimbulkan
kontroversi antara pihak Malaysia dan Indonesia.
Indonesia mengklaim bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan daerah
kedaulatan Indonesia, bukan milik Malaysia. Secara ekonomis, Malaysia yang
telah melakukan pembangunan di kedua pulau tersebut menganggap bahwa hak
untuk memiliki Pulau Sipadan dan Ligitan adalah hak Malaysia Permasalahan ini
pun tidak bisa diselesaikan oleh kedua belah pihak sehingga sengketa kedua pulau
ini dibawa ke Mahkamah Internasional.
Di mahkamah internasional, kedua pihak baik Indonesia maupun Malaysia
melakukan berbagai usaha persuasive dan meyakinkan mahkamah internasional
bahwa mereka berhak untuk memiliki kedua pulau tersebut, Mahkamah
Internasional memutuskan bahwa Malaysia yang berhak atas kepemilikan Pulau
Sipadan dan Ligitan tersebut kasus yang akan dibahas tentang perebutan pulau
dengan negara tetangga yaitu Malaysia yang masih berada satu kawasan dengan
Indonesia.
Konflik Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas
pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau
Sipadan (luas: 50.000 meter?) dengan koordinat: 4°6 52,86 LU 118°37 43,52 BT
dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter?) dengan koordinat: 4°9 LU 118°53 'BT.

iv
Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi
ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur
hukum Mahkamah Internasional untuk itulah diperlukan satu sistem perpolitikan
yang mengatur hubungan antar negara-negara yang letaknya berdekatan diatas
permukaan bumi ini.
Sistem politik tersebut dinamakan geopolitik yang mutlak dimiliki dan
diterapkan oleh setiap negara di sekitarnya tak terkecuali Indonesia pun harus
memiliki sistem geopolitik yang cocok diterapkan dengan kondisi kepulauannya
yang unik dan letak Geografi. 73 negara Indonesia diatas permukaan planet bumi
Geopolitik Indonesia tiada lain adalah wawasan nusantara. Wawasan nusantara
tidak mengandung unsur-unsur kekerasan, cara pandang bangsa Indonesia tentang
diri dan lingkungannya berdasarkan ide nasionalnya yang dilandasi pancasila dan
UUD 1945 yang merupakan aspirasi bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat,
dan bermartabat serta menjiwai tata hidup dan tindak kebijaksanaanya dalam
mencapai tujuan nasional.
Dalam hal ini sebagai warga negara Indonesia yang baik yang menerapkan
geopolitik wajib ikut untuk melestarikan dan menjaga keutuhan wilayah negara
dan tidak dapat dipungkiri diIndonesia bergulir konflik perebutan Pulau Sipadan
dan Ligitan dengan Negara tetangga yaitu Malaysia. Sebenarnya antara Indonesia
dengan Malaysia tidak hanya terjadi konflik perebutan Pulau atau wilayah negara
saja tetapi pernah juga terjadi konflik perebutan kebudayaan, makanan khas,lagu-
lagu daerah dan yang terus bergulir dalam konflik perebutan pulau ini salah
satunya Pulau Sipadan dan Ligitan.

1.2 Rumusan Masalah


a. Berdasarkan apakah penyelesaian kasus Sipadan dan Ligitan itu sudah
sesuai dengan prosedur Hukum Internasional?
b. Apa penyebab Indonesia kalah dalam sengketa tersebut?
c. Bagaimana sikap yang seharusnya diambil Indonesia untuk kedepannya
dalam kasus yang serupa?

1.3 Metode Penulisan


Metode dan teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini
adalah metode studi pustaka. Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan data
dan informasi yang bersifat teoritis yang kemudian data tersebut akan dijadikan
dasar atau pedoman untuk melihat adanya ketidaksesuaian antara teori dengan
kenyataan sebagai penyebab dari permasalahan yang dibahas dalam karya tulis
ini. Sumber - sumber yang dijadikan sebagai rujukan untuk studi pustaka
diperoleh dari berbagai sumber bacaan.

v
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Penyelesaian Kasus Sipadan dan Ligitan sesuai Prosedur Hukum Internasional

Awalnya indonesia hanya ingin menyelesaikan konflik ini melalui ASEAN, dan
selalu menolak untuk memmbawa masalah ini ke International Court of Justice
(IC) pun melunak dan berubah dari pendirian awal. Pada saat itu Indonesia
dipimpin oleh Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan Perdana Menteri
Malaysia Mahathir pada tahun 1996, dan mereka membuat kesepakatan "Final
and Binding" yang menyetujui untuk membawa kasus ini ke ICJ dan Indonesia
meratifikasi perjanjian tersebut tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres
Nomor 49 Tahun 1997. Lalu Malaysia turut meratifikasi pada 19 November
1997.1 Indonesia juga tentu saja memiliki beberapa pertimbangan dari kasus ini.
Salah satunya adalah ASEAN Way dimana sangat memprioritaskan penyelesaian
konflik secara damai.
Selain itu di lihat melalui factor ekonomi investasi Malaysia di Indonesia pun
cukup besar karena pada tahun 1997-2004 mencapai 67 Triliun. Jika pada saat itu
hubungan Indonesia dan Malaysia memburuk maka akan merugikan pihak
Indonesia sendiri. Ditambah dengan banyaknya Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
yang pendidikannya kurang sekitar 500ribu orang2.
Namun pada akhirnya 17 Desember 2002 Putusan Mahkamah Internasional
(IC) memberi hak kedaulatan terhadap wilayah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
terhadap Malaysia. Ada beberapa kemungkinan alasan mengapa Malaysia yang
memenangkan kasus perebutan wilayah dengan Indonesia, yaitu :
1.Kecerobohan Indonesia dalam hal tidak memperhatikan pembangunan wilayah.
wilayahnya.
2.Kurangnya koordinasi antara lembaga-lembaga atau departemen-departemen
terkait pengelolaan kedua pulau ini. Mahkamah Internasional membuat keputusan
dengan mengutamakan Level Analisa States: continuous presence, effective
occupation, dan ecology preservation
Dengan keputusan yang telah mutlak diberikan oleh ICJ, maka pulau Sipadan
dan Ligitan maka Malaysia mempunyai hak wilayah serta bertambah luas daerah
teritotialnya dan tentunya Malaysia berhak mengelola segala sesuatu sumber daya
alam yang ada di pulau

1
Adolf Huala, 2006 , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika Jakarta.

2
Ibid

vi
Sipadan maupun Pulau ligitan dan segala sesuatu yang terkandung di dalam
lautnya.3
Dalam menganalisa kasus sengketa pulau Sipadan dan pulau Ligitan, saya
menggunakan teori geopolitik yang dipaparkan oleh Peter Wallensteen di dalam
bukunya yang berjudul
"Understanding Conflict Resolution" ia mengatakan "Geopolitics as we have
defined it, is concerned with territories of particular interest. In its original form,
dealing with major powers, particular regions would gain eminence in global
strategies" Kasus antara Indonesia dan Malaysia langsung menyerahkan konflik
diantara mereka berdua ke Mahkamah Internasional.4
Hal ini menggunakan resolusi penyelesaian konflik dengan cara Arbitrase.
Menurut Black's Law Dictionary " Arbitration an arrangement for taking an
abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of
carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities,
the delay, the expense and vexation of ordinary litigation.
Melalui berbagai pertemuan dalam beberapa tahun, kedua belah pihak
berkesimpulan sengketa ini sulit untuk diselesaikan secara bilateral Karena itu
kedua belah pihak setuju untuk mengajukan penyelesaian ini ke Mahkamah
Internasional dengan menandatangai "Perjanjian Khusus untuk diajukan ke
Mahkamah Internasional dalam Sengketa antara Indonesia dan Malaysia
menyangkut kedaulatan atas Pulau Ligitan dan Sipdan," di Kuala Lumpur pada
31Mei 1997.5
Melalui surat bersama perjanjian ini kasus sengketa ini disampaikan ke
MahkamahInternasional di Den Haag pada 2 November 1998 Kedua belah pihak
mempercayai Mahkamah Internasional akan mengambil keputusan yang adil
mengenai siapa yang berdaulat atas kedaulatan Pulau Ligitan dan Sipadan,
berdasarkan bukti-bukti yang ada.
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV
Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris.6
Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua alur yaitu alur
Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-
Den&Overbeck-BNBC-Malaysia malaysia juga berpendirian bahwa
kedaulatannya atas kedua pulau tersebut berdasarkan fakta bahwa Inggris dan

3
Wallensteen, Peter. 2002. Understanding Conflict Resolution. (London : Sage Publications),
hal.96

4
Pendekta,2006,Jurnal Ilmu Hukum Universitas Negri Semarang ‚Kajian Internasional
Terhadap Terhadap HAM, Volume 2 No.2, Juli-Desember 2008.

5
Abdullah, Taufik 2005, Ke arah Penulisan Sejarah Nasional di Tingkat Lokal, ed,UGM Press,
Yogyakarta

6
Ibid

vii
kemudian Malaysia sejak 1878 secara damai terus menerus mengadmi istrasi
kedua pulau itu. Di depan Mahkamah Internasional, untuk membuktikan
klaimnya, kedua belah pihak harus memenuhi prosedur, antara lain
menyampaikan pembelaan tertulis dan memori, memori banding dan replik.
Sampai memasuki tahap penyampaian pembelaan lisan. Pembelaan lisan terbagi
dua, yaitu putaran pertama pada 3 dan 4 Juni 2002 Indonesia menyampaikan
pembelaannya pada dengar pendapat terbuka. Menyusul Malaysia pada 6 dan 7
Juni. Sedang putaran kedua pada 10 Juni untuk Indonesia dan pada 12 Juni
jawaban Malaysia.
Mengenai cara-cara menyampaikan perkara, batas waktu penyampaian
pembelaan tertulis dan lisan tertera dalam Statuta IC. Pembelaan lisan ini, sebagai
kelanjutan pembelaaan tertulis yang berakhir pada Maret 2000, akan berlangsung
sampai 12 Juni 2002 Pemerintah Indonesia berpendirian bahwa Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan merupakan wilayah Indonesia.
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV
Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris. Sedangkan Malaysia mendasarkan
kepemilikannya menurut dua alur yaitu alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika
Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-Den & Overbeck-BNBC-
Malaysia.
Pada tanggal 17 Desember 2002 lalu, Mahkamah Internasional di Den Haag
memutuskan Pulau Sipadan dan Ligitan adalah wilayah Malaysia berdasar
kenyataan, Inggris dan Malaysia dianggap telah melaksanakan kedaulatan yang
lebih "efektif" atas pulau itu sebelum tahun1969.Indonesia menghormati
keputusan itu, apalagi karena Pasal 5 Persetujuan 1997 tegas menyatakan, kedua
pihak agree to accept the judgement of the Court given pursuant to this Special
Agreement as and binding upon th.
Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,
kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ. Secara rinci tentang kronologi
kasus Sipadan dan Ligitan dapat di lihat pada tabel di bawah ini :

Tahun Perisitiwa
1969 Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan muncul pertama kali pada perundingan
mengenai batas landas kontinen antara RI dan Malaysia di Kuala Lumpur (9-12
September 1969). Hasil Kesepakatan: kedua pihak agar menahan diri untuk tidak
melakukan kegiatan-kegiatan yang menyangkut kedua pulau itu sampai
penyelesaian sengketa.
1970 Malaysia melakukan tindakan sepihak dengan menerbitkan peta yang
memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam wilayah nasionalnya, dan beberapa
tahun kemudian melakukan pembangunan dan pengelolaan fasilitas-fasilitas
wisata di kedua pulau itu.
1989 Pembahasan sengketa oleh Presiden RI Soeharto dan PM Malaysia Mahathir

viii
Muhammad di Yogyakarta, tahun 1989. Hail kesimpulan: sengketa mengenai
kedua pulau tersebut sulit untuk diselesaikan dalam kerangka perundingan
bilateral.
1997 Kedua pihak sepakat untuk mengajukan penyelesaian sengketa tersebut ke
Mahkamah
Internasional dengan menandatangani dokumen
"Special
Agreement for the Submission to the International Court of Justice on the
Dispute between Indonesian and Malaysia concerning the Sovereignty over Pulau
Ligitan and Pulau Sipadan" di Kuala Lumpur pada tanggal 31 Mei 1997.
1998 Pada tanggal 2 November 1998, kesepakatan khusus yang telah ditandatangani
itu kemudian secara resmi disampaikan kepada Mahkamah Internasional, melalui
suatu "joint letter" atau notifikasi bersama
2000 Proses argumentasi tertulis ("written pleadings") dari kedua belah pihak dianggap
rampung pada akhir Maret 2000 di Mahkamah Internasional.
Argumentasi tertulis itu terdiri atas penyampaian "memorial", memorial", dan
"reply" ke Mahkamah Internasional.
2002 Proses penyelesaian sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan di Mahkamah
Internasional memasuki tahap akhir, yaitu proses argumentasi lisan ("oral
hearing"), yang berlangsung dari tanggal 3-12 Juni 2002. Pada kesempatan itu,
Menlu Hassan Wirajuda selaku pemegang kuasa hukum RI, menyampaikan
argumentasi lisannya ("agent's speech"), yang kemudian dikuti oleh presentasi
argumentasi yuridis yang disampaikan Tim Pengacara RI. Mahkamah
Internasional kemudian menyatakan bahwa keputusan akhir atas sengketa
tersebut akan ditetapkan pada Desember 2002
Pada tanggal 17 Desember 2002, Mahkamah Internasional di Den Haag
menetapkan Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi bagian dari wilayah kedaulatan
Kerajaan Malavsia atas dasar "efektivitas" karena Malaysia telah melakukan
upaya administrasi dan pengelolaan konservasi alam di kedua pulau tersebut

ix
2.2 Penyebab Indonesia Kalah dalam Sengketa Hukum Internasional

Mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-


Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu,
Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak
kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI,
sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh
Indonesia.
Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tapa
memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim),
yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan
administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa
burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan
operasi mercu suar sejak 1960-an.
Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi
pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan
dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut
antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.
Berikut ini ada tiga butir Pokok-pokok Putusan Mahkamah Internasional dari
sengketa pulau sipadan ligitan ,yaitu :
1. Menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi
bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan
privat Sultan Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah
juga menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah
Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada Malaysia
berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory).
Menurut Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yang
diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini
memuat referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa.
2. Menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan
wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV
Konvensi 1891. Penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4° 10' LU yang
memotong P. Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur
hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah.
Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau tersebut juga tidak terdapat
dalam Memori van Toelichting. Peta Memori van Toelichting yang memberikan
ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV tersebut dinilai tidak
memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari konvensi 1891.
mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau
sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai
bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah
Kolonial Belanda.

x
3. Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri
dengan tahun 199 sebagai critical date mengingat argumentasi hukum RI maupun
argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan
masing-masing atas kedua pulau yang bersengketa Penyelesaian sengketa yang
akhirnya diserahakan kepada Mahkamah Internasional ini pada hakikatnya
merupakan keberhasilan diplomasi dari pihak Malaysia dan Indonesia.
Cara damai yang ditempuh Indonesia dan Malaysia akan memberikan dampak
yang besar bagi kawasan Asia Tenggara, seperti misalnya cara penyelesaian kedua
belah pihak (Malaysia-Indonesia) yang menyerahkan persoalan ini seutuhnya
kepada Mahkamah Internasional dapat ditiru sebagai salah satu model
penyelesaian klaim-klaim teritorial lain antar negara anggota ASEAN yang mash
cukup banyak terjadi, misalnya klaim teritorial Malaysia dan Thailand dengan
hampir semua negara tetangganya.
Satu hal yang perlu disesali dalam mekanisme penyelesaian konflik Sipadan dan
Ligitan adalah tidak dipergunakannya mekanisme regional ASEAN. ASEAN,
sebagai satu forum kerja sama regional, sangat minimal perannya dalam
pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai persoalan domestik satu
negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan diatasnya.
Akibat jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia terjadi dampak
domestik yang tak kalah hebatnya, banyak komentar maupun anggapan bahwa
Departemen Luar Negeri-lah penyebab utama lepasnya Sipadan- Ligitan
mengingat seharusnya Deplu dibawahkepemiminan Mentri Luar Negeri.7
Dalam mengantisipasi negosiasi pada tahap berikutnya, maka perlu terus
dilakukan pengkajian mendalam untuk memperkuat posisi tawar menawar kita.
Landasan hukum yang kuat akan menjadi modal dasarnya, namun harus didukung
dengan kepiawaian dalam seni bernegosiasi untuk menyakinkan pihak lawan.
Dengan alasan apapun, opsi perangsebaiknya tidak digunakan untuk mencegah
berulangnya kejadian serupa, maka Pemerintah Indonesia harus menangani secara
lebih serius masalah wilayah perbatasan dan pulau- pulau yang berbatasan dengan
negara tetangga.
Bayangkan saja untuk memperjuangkan Sipadan-Ligitan di Mahkamah
Internasional harus keluar dana lebih dari Rp16 miliar.
Dan itu bukan uang yang sedikit terlebih lagi kehilangan satu pulau berarti
ancaman terhadap integritas wilayah Indonesia. Hal ini penting, karena sengketa
pulau yang dimiliki Indonesia bukan saja Sipadan-Ligitan, tetapi banyak pulau
lainnya. Selain itu, ini juga bias menjadi preseden buruk.8
2.3 Sikap yang seharusnya diambil Indonesia untuk kedepannya dalam kasus yang
serupa
7
Kartodirdjo, Sartono 1993, Nasionalisme, Kesadaran dan Kebudayaan Nasional, Aditya Media,
Yogyakarta

8
Moh Burhan Tsani 1990, Hukum dan Hubungan Internasional. Liberty: Yogyakarta

xi
Terhadap pertanggungjawaban pemerintah untuk mempertahankan eksistensi
keutuhan wilayah Ahli hukum internasional, Hilangnya Pulau Sipadan dan
Lingitan di Mahkamah Internasional, menjadi pelajaran yang sangat berharga
sekali, harus diakui bahwa pemerintah memang tidak menggunakan bantuan dari
pengacara atau pakar hukum internasional dari Indonesia, kecuali ahli-ahli dari
Deplu sendiri. Dari sekian ribu pengacara yang ada di Indonesia, menurut Havas,
belum ada satupun yang memiliki keterampilan yang memadai untuk berlaga di
Mahkamah Internasional. Salah satunya adalah memperkuat dan memperbanyak
ahli hukum yang menguasai pengetahuan tentang hukum internasional Menurut
Director of Treaties on Political, Security and Teritorial A airs Deplu, Arif Havas
Oegroseno, Indonesia minim sekali orang yang ahli di bidang hukum
internasional. Namun,tidak seharusnya ketiadaan para pakar hukum internasional
membuat kita menjadi tidak percaya diri. Jangan menggunakan pengacara asing
karena, Selain itu, ia juga berpendapat bahwa pengacara dalam negeri memiliki
sense ofbelonging yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pengacara asing.
Sedangkan, pengacara-pengacara asing relatif melihat kasus tersebut dari sisi
bisnisnya semata.
Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta
Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah
Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan
bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak bole
ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai.
. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, kini, siap menanti
wisatawan.Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi
hampir 20 buah. Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa
disebut memadai.Tapi pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-
pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur, minta agar pembangunan di
sana disetop dahulu.
Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa
pemiliknya. Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua
pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.
Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau
TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama
ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk
Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara
sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak
Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk
klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta
sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam,
Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu
menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran

xii
semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut
klaim atas kedua pulau.9
Setelah hampir 30 tahun, perundingan tiba pada jalan buntu, karena baik
Indonesia yang bertahan pada posisi dan argumentasi bahwa kedua pulau tersebut
telah menjadi bagian wilayahnya sejak masa penjajahan Belanda, maupun
Malaysia yang juga meyakini kedaulatannya atas pulau-pulau tersebut sejak masa
colonial Inggris, tetap bertahan pada posisi masing-masing. Pada 1997 kedua
belah pihak sepakat menempuh jalan hukum yaitu dengan menyerahkan sengketa
tersebut kepada Mahkamah Internasional.10
Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi
ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICI kemudian melunak.
Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden
Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah
diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim,
dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua
negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal
29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula
Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997.

9
Thomas Merilin L. I., 2013, Tinjauan Yuridis Penyelesaian Sengketa Tentang Penetapan
Batas Wilayah Laut Negara, Jurnal Lex et Societatis, Volume I No. 2, April - Juni 2013
10
Booth, Ken, Security in Anarchy: Utopian Realism in Theory and Practice, International Affairs
(Royal Institute of International Affairs 1944), Volume 67 No. 3, July 1991

xiii
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia dalam
menentukan kedaulatan di Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan suatu cara
penyelesaian sengketa secara damai,dimana Indonesia dan Malaysia memilih
Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan sengketa ini, dasar hukum di
dalam penyelesaian sengketa ini adalah pasal 2 ayat 3 dan pasal 33 Piagam PBB.
Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan disebabkan karena adanya ketidakjelasan
garis perbatasan yang dibuat oleh Belanda dan Inggris yang merupakan negara
pendahulu dari Indonesia dan Malaysia di perairan timur Pulau Borneo, sehingga
padasaat Indonesia dan Malaysia berunding untuk menentukan garis perbatasan
kedua negara diPulau Borneo, masalah ini muncul karena kedua pihak saling
mengklaimkedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan. Berbagai pertemuan
bilateral dilakukan oleh kedua negara dalam upaya melakukan pemecahan atas
sengketa ini namun sengketa ini tidak dapat diselesaikan,schingga kedua negara
sepakat untuk menyerahkan penyelesaian sengketa ini kepada Mahkamah
Internasional. Berbagai macam argumentasi dan bukti yuridis dikemukakan kedua
pihak dalam persidangan di Mahkamah Internasional, dan pada akhirnya
Mahkamah Internasional memutuskan bahwa kedaulatan atas Pulau Sipadan dan
Ligitan merupakan milik Malaysia atas dasar prinsip okupasi, dimana Malaysia
dan Inggris sebagai Negara pendahulu lebih banyak melaksanakan efektivitas di
Pulau Sipadan dan Ligitan.

xiv
DAFTAR PUSTAKA

Adolf Huala, 2006 , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika


Jakarta.
Wallensteen, Peter. 2002. Understanding Conflict Resolution. (London : Sage
Publications),hal.96
Dhakidae, Daniel 2009, Hubungan Cinta - Benci antara Indonesia dan Malaysia,
Prisma, Jakarta
Abdullah, Taufik 2005, Ke arah Penulisan Sejarah Nasional di Tingkat Lokal,
ed,UGM Press,Yogyakarta
Thomas Merilin L. I., 2013, Tinjauan Yuridis Penyelesaian Sengketa Tentang
Penetapan Batas Wilayah Laut Negara, Jurnal Lex et Societatis, Volume I No. 2,
April - Juni 2013
Booth, Ken, Security in Anarchy: Utopian Realism in Theory and Practice,
International Affairs (Royal Institute of International Affairs 1944), Volume 67
No. 3, July 1991
Pendekta,2006,Jurnal Ilmu Hukum Universitas Negri Semarang ‚Kajian
Internasional Terhadap Terhadap HAM, Volume 2 No.2, Juli-Desember 2008.

xv

Anda mungkin juga menyukai