Anda di halaman 1dari 13

D

I
S
U
S
U
N
OLEH KELOMPOK 1 :
Nama : 1. Adelia
2. Alya Mustika
3. Herawati
4. Icha Agustina
5. Joseva
Kelas : XI-IPS3
B. Study : Geografi
Guru : Ana Verawaty

SMA NEGERI 1 PINANGSORI


TAPANULI TENGAH
T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulisucapkan kepada Allah Ta‟ala atas rahmat dan kasih
sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Luas dan
Batas Teritorial Indonesia” dengan sebaik-baiknya. Shalawat dan salam kepada
Nabi Muhammad SAW karena telah memberikan ilmu pengetahuan.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini tidak akan selesai dengan
baik dan tepat waktu tanpa adanya bantuan, dorongab, serta bimbingan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-
pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari bahwa masih banyak


kekurangan baik pada teknik penulisan maupun materi yang disampaikan. Untuk
itu, penulis mohon kritik dan saran dari pembaca untuk menyempurnakan
makalah ini.

Penulis berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan


manfaat bagi para pembaca. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih.

Pinangsori, 22 Agustus 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................... i

DAFTAR ISI .......................................................................................... ii

BAB I PENDAHHULUAN ................................................................... 1

a. Latar Belakang ...................................................................... 1


b. Rumusan Masalah ................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................... 4

a. Wilayah dan Kedaulatan Negara ........................................... 4


b. Penetapan Batas .................................................................... 4
c. Peraturan Perundangan Fungsional Dalam Penetapan .......... 7
Batas Wilayah ....................................................................... 7
d. Hukum Internasional ............................................................. 8

BAB III PENUTUP ............................................................................... 9

a. Kesimpulan ........................................................................... 9
b. Saran ...................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 10

ii
BAB I

PENDAHULUAN
a. Latar Belakang

Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terluas di dunia, sebagai negara
dengan kepulauan dan garis pantai terpanjang didunia, ini menjadi salah satu
keuntungan bagi negara indonesia, sektor maritim dan laut indonesia sangat
strategis baik dari faktor pariwisata, perdagangan, dan juga menjadi jalur lintas
nasional maupun internasional. Indonesia sebagai negara kepulauan yang
memiliki kurang lebih 17.508 pulau baik pulau kecil maupun besar.

Secara geografis, Indonesia terletak pada posisi strategis, yakni di persilangan


antara dua benua (Benua Asia dan Benua Australia), dan dua samudera (Samudera
Hindia dan Samudera Pasifik). Karena letak geografisnya yang strategis dan
besarnya luas perairan, Indonesia berbatasan langsung di laut dengan 10 (sepuluh)
negara tetangga, yakni India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina,
Palau, Papua Nugini, Timor-Leste, dan Australia.

Batas dibedakan dalam dua hal utama, yaitu fungsi batas, dan bentuk batas
(fisik). Batas secara fungsional merupakan manifestasi daripada suatu sistem yang
berkaitan dengan adanya diferensiasi antara hak dan kewajiban dalam suatu
tatanan lingkungan. Pada dasarnya yang menjadi objek dalam tatanan lingkungan
yang menimbulkan perbedaan hak dan kewajiban adalah wilayah.

Secara fungsional, pada umumnya garis batas dimaksudkan untuk


memisahkan beberapa hak dan kewajiban masyarakat, anggota masyarakat
ataupun negara atas suatu wilayah. Kepastian hukum bagi wilayah negara antara
lain dimaksudkan bahwa wilayah tersebut diperoleh secara sah, dan tidak
menganggu kepentingan masyarakat internasional.

Batas-batas antara negara seperti terdapat didaratan Eropa, Afrika, Amerika,


umumnya terjadi di daratan, sehingga para negosiator dapat memilih sendiri
bentuk apa yang dikehendakinya, yang sesuai dengan tujuan penetapan batas. Ada
yang memilih bentuk “artifisial boundary” atau ada yang memilih bentuk
“natural boundary”, seperti lingkungan geografi terestrial/aquatik, flora atau
fauna, sungai, thalweg, garis pantai, pemisah air (watershed) atau bentuk-bentuk
alam lainnya yang dianggap bahwa eksistensinya relatif permanen. Bagi
negaranegara yang berbatasan dengan laut, batas negara tersebut juga berfungsi
sebagai “pemisah” hak dan kewajiban antara kedaulatan negara bersangkutan
dengan kedaulatan entitas masyarakat internasional.

1
Hubungan antara daratan dan perairan wilayah negara memang tidak terbebas
dari hubungannya dengan hukum internasional. Meskipun laut teritorial tumbuh
dari kepentingan nasional seperti keamanan, komunikasi dan sumber alam, tetapi
penetapannya tetap dilakukan oleh masyarakat internasional berdasarkan hukum
internasional, berbeda dengan wilayah daratannya termasuk perairan
pedalamannya.

Bentuk batas wilayah antar negara yang bersumber dari hukum internasional
seperti Konvensi Hukum Laut 1982, didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan
yang dapat diterima oleh seluruh masyarakat bangsa-bangsa. Banyak sengketa
perbatasan antar negara yang masuk ke lembaga arbitrasi, ataupun mahkamah
internasional. Dari putusan-putusan lembaga peradilan inilah lahir prinsip-prinsip
keadilan dalam penetapan perbatasan yang kemudian sering dikukuhkan kembali
oleh Konvensi Multilateral.

Meskipun maksud tujuan naskah ini adalah untuk membahas perihal batas
wilayah negara, akan tetapi perlu diupayakan sedapatnya untuk menggali unsur-
unsur pokok yang terkait dengan persoalan batas, seperti pembentukannya,
persyaratannya, pelembagaannya dan pembinaannya. Garis batas harus dibuat
menurut landasan hukum yang jelas, dan sebaliknya pembuatan garis batas
senantiasa akan menimbulkan akibat hukum, yaitu hak dan kewajiban bagi kedua
belah pihak. Batas-batas wilayah negara merupakan disiplin ilmu hukum yang
telah lama berkembang, setidaknya sejak konperensi kodifikasi hukum laut di Den
Haag pada tahun 1930.

Batas wilayah negara tidak terpisah dengan status hukum wilayah negara itu
sendiri. Wilayah negara dalam konteks pembahasan tentang “luas dan batas
terirorial Indonesia” sebagaimana dimaksud oleh judul naskah ini tentunya adalah
wilayah negara dalam berbagai bentuknya seperti daratan dan perairan
pedalamannya (termasuk udara diatasnya), perairan teritorial, zona tambahan dan

Kepastian batas wilayah dan batas kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia di
wilayah laut akan memberikan dampak dan kontribusi yang positif dalam
penguatan hubungan bilateral antara Indonesia dan negara tetangga, baik di
bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan dan keamanan.

Berdasarkan pasal 25A Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia adalah negara


kepulauan. Sebagai negara kepulauan, Perairan Indonesia yang meliputi Perairan
Pedalaman, Perairan Kepulauan dan Laut Teritorial merupakan poros maritim
dunia yang menghubungkan berbagai kepentingan dari berbagai bangsa dan
negara.Tentang kepentingan ekonomi dunia dapat disebutkan bahwa 80% bahan
baku dan hasil industri Jepang dikapalkan melalui Perairan Indonesia, begitu pula

2
dengan Australia sebagai pengekspor terbesar batubara dan biji besi akan melalui
Perairan Indonesia untuk menuju negara pengguna. Perairan Indonesia bagi lintas
navigasi dan strategi pertahanan mereka. Terkait hal ini, Perairan Indonesia harus
dilindungi dari ancaman pelanggaran hukum sebagai akibat tidak dipatuhinya
hukum nasional maupun internasional yang berlaku.

b. Rumusan Masalah

Dari penjelasan latar belakang permasalahan diatas maka saya akan menarik
suatu rumusan masalah yaitu bagaimana hokum penerapan batas wilayah darat
dan lautan teritorial Indonesia?

3
BAB II
PEMBAHASAN
a. Wilayah dan Kedaulana Negara
Secara teoretis, literatur dan para pakar sepakat bahwa wilayah merupakan
salah satu dari 4 (empat) elemen pembentuk (constitutive element) suatu negara
untuk dapat diakui sebagai subjek hukum internasional. 1 Pasal 1 Montevideo
Convention on Rights and Duties of States 1933, menuangkan 4 (empat) elemen
pembentuk suatu negara sebagai berikut: (i) penduduk yang permanen (permanent
population), (ii) wilayah tertentu (defined territory), (iii) pemerintahan
(government), dan (iv) kemampuan untuk menjalin hubungan dengan negara lain
(capacity to enter into relations with other states). 2 Wilayah Negara terdiri atas 3
(tiga) ruang matra, yakni darat, laut dan udara, sebagaimana tertuang pada
ketentuan Pasal 1 Undang-Undang No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara
yang mendefinisikan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah: “[…]
salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan
pedalaman, perairan kepulauan, dan laut territorial beserta dasar laut dan tanah di
bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang
terkandung di dalamnya”.

Batas merupakan pemisah unit regional geografis (baik secara fisik,


maupun sosial-budaya) yang dikuasai oleh suatu negara. Secara politis, batas
negara adalah garis kedaulatan yang terdiri dari daratan, lautan, dan ruang udara
di atasnya, termasuk potensi yang berada di perut bumi. Sejumlah literatur asing
terkadang menggunakan terminologi “border”, “boundary”, maupun “frontier”
secara bergantian untuk memaknai kata “batas”. Batas negara merupakan salah
satu elemen penting dalam suatu negara yang membatasi hingga sejauh mana
kedaulatan negara dapat dijalankan. Secara teoritis, wilayah negara dan
kedaulatan memiliki keterkaitan dalam konteks sejauh mana negara dapat
menjalankan kekuasaan eksklusif di wilayahnya. Prof. Mochtar Kusumaatmaja
menyatakan bahwa: “[…] kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki dari
negara, dimana negara tersebut berdaulat, tapi mempunyai batas-batasnya yaitu
ruang berlakunya kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas-batas wilayah negara
itu, diluar wilayahnya negara tersebut tidak lagi memiliki kekuasaan demikian”.

b. Penetapan Batas
Penetapan Batas Menurut Srebro dan Shoshany (2013), teori boundary-
making modern yang digunakan dalam praktik batas internasional dibangun sejak
tahun 1896. Dalam teori boundary-making, dikenal istilah „delimitasi‟ yang
didefinisikan sebagai sebuah proses dua tahap, yaitu memilih dan mendefinisikan
garis batas wilayah di dalam perjanjian, yang lebih menyangkut aspek hukum.

4
Setiap negara berwenang untuk menetapkan sendiri batas-batasnya. Akan
tetapi karena batas terluar wilayah negara senantiasa berbatasan dengan wilayah
atau perairan dibawah kedaulatan atau yurisdiksi Otoritas Negara atau Badan
Hukum lain, maka penetapan batas tersebut wajib memperhatikan kewenangan
Otoritas/Badan Hukum lainnya tersebut. Tidak ada sejengkal wilayahpun didunia
ini yang tidak ada pemiliknya. Ada adagium yang menyebutkan bahwa garis batas
mempunyai kedudukan sebagai hak bersama atau “res communis”. Bagaimana
tata cara menetapkan batas wilayah antara dua kesatuan hukum dilaut, antara lain
telah diatur secara garis besar dalam hukum internasional, khususnya hukum laut.
Prosedur-prosedur tehnis lebih detail terdapat dalam praktek negara-negara.
Prosedur umum penetapan garis batas laut teritorial antara dua negara yang
berhadapan atau berdampingan misalnya terdapat dalam Ps.15 Konvensi Hukum
Laut.

Pada peta ilustratif diatas dapat dilihat lingkungan terluar wilayah territoir
Indonesia. Wilayah territoir Indonesia tersebut ada yang langsung berbatasan
dengan wilayah territoir negara lain, seperti di Selat Singapura dengan wilayah
territoir Singapura, di Selat Malaka bagian selatan dengan wilayah territoir
Malaysia, di Kalimantan dengan wilayah territoir Malaysia, di laut Sulawesi
dengan Entitas Internasional, di Samodera Pasifik dengan Entitas Internasional, di
Papua (Irian) dengan wilayah territoir Papua New Guinea, dan di Samodera
Hindia dengan Entitas Internasional.

Secara fungsional, garis batas dimaksudkan untuk memisahkan beberapa


hak dan kewajiban masyarakat, anggota masyarakat ataupun negara atas suatu
wilayah. Garis batas merupakan identifikasi adanya hak dan kewajiban itu. Hak
dan kewajiban tersebut dapat timbul berdasarkan hubungan hukum kelompok

5
sosial masyarakat dengan wilayahnya, seperti misalnya lingkungan masyarakat
suatu negara. Batas wilayah negara tidak dimaksudkan sebagai batas wilayah yang
menjadi wewenang internal negara seperti batas-daerah otonom.

Pada skema tersebut diatas, batas wilayah negara di laut terdiri dari batas
dengan 3 (tiga) negara yaitu Malaysia, Papua New Guinea dan Timor Leste dan 1
(satu) entitas internasional yaitu di laut bebas seperti Samodera Hindia, Samodera
Pasifik, Selat Malaka, Laut Natuna, Laut Cina Selatan, Laut Sulawesi, Laut
Arafura, dan Laut Timor.

Batas territoir negara di darat dan laut : 3 negara yang berdampingan :

1. Batas dengan Malaysia ditetapkan oleh Perjanjian Belanda-Inggris 20


Juni 1891 (teritorial darat dan laut belum tuntas). Penetapan batas laut
teritorialnya belum dilakukan.
2. Batas dengan Papua New Guinea ditetapkan oleh Perjanjian Belanda
Inggris 16 Mei 1895 dan telah diganti dengan Perjanjian Indonesia
Australia 12 Februari 1973 (teritorial darat dan laut telah tuntas),
diratifikasi dengan UU No.6 tahun 1973.
3. Batas dengan Timor Leste ditetapkan oleh Perjanjian Belanda Portugal
1 Oktober 1904 (teritorial darat dan laut belum tuntas)

Batas wilayah negara baik di darat maupun di laut yang telah selesai
secara tuntas adalah dengan Papua New Guinea (butir 2). Batas territoir negara di
laut : 2 negara yang berhadapan :

1. Batas dengan Singapura di Selat Singapura. Batas ini sebagian


diselesaikan dengan Perjanjian 25 Mei 1973, dan diratifikasi dengan

6
UU No.7 tahun 1973. Sisanya dibagian timur dan barat Selat
Singapura, pada saat ini belum ditetapkan.
2. Batas dengan Malaysia di Selat Singapura dan Selat Malaka. Batas ini
dibagian Selat Malaka telah diselesaikan dengan Perjanjian 17 Maret
1970, dan diratifikasi dengan UU No.2 tahun 1971. Batas territoir
negara dengan entitas masyarakat internasional penetapannya
dilakukan berdasarkan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2) UU No.6
tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU
No.6 tahun 1996 tersebut menyebutkan bahwa : “daftar titik-titik
koordinat geografis dari garis-garis pangkal kepulauan Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah”. Sedangkan Peraturan Pemerintah dimaksud
adalah Peraturan Pemerintah No.38 tahun 2002 tentang Daftar
Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

c. Peraturan Perundangan Fungsional Dalam Penetapan Batas Wilayah


Beberapa undang-undang sektoral memuat pengaturan tentang batas
wilayah sesuai dengan lingkup fungsi undang-undang tersebut, seperti misalnya
undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, Pertambangan, Kehutanan,
Pelayaran dan lain-lainnya. Berdasarkan undang-undang tersebut menunjukkan
bahwa elemen penetapan batas didalam setiap undang-undang sektoral tersebut
diatas, merupakan hubungan fungsional, yaitu hubungan fungsional dengan tugas
pokok lembaga yang diatur dalam undang-undang tersebut. Sama halnya dengan
elemen penelitian didalam setiap undang-undang sektoral menunjukkan bahwa
penelitian adalah fungsional. Pembagian fungsi-fungsi kenegaraan bersifat
subjektif. Artinya bahwa fungsi-fungsi negara yang mana yang dipandang perlu
dibentuk untuk mengelola dan membina negara, selalu bersifat relatif, kadang-
kadang tergantung konsepsi yang ingin dianut.
Fungsi pemerintahan, khususnya yang dilakukan oleh institusi negara
seperti departemen, memiliki tugas : (a) Melakukan pengaturan; (b) Melakukan
pelaksanaan; (c) Melakukan pengawasan; dan (d) Melakukan pembinaan
keuangan Negara.
Konvensi Hukum Laut tahun 1982, dimana ditetapkan bahwa batas
wilayah negara dengan laut teritorial atau perairan kepulauan adalah garis air
rendah, maka batas-batas propinsi dengan laut seharusnya juga tetap mengacu
pada ketentuan garis air rendah tersebut, sebab laut teritorial dan perairan
kepulauan bukanlah wilayah negara dengan kedaulatan mutlak (complete and
exclusive), tetapi wilayah negara yang tunduk pada ketentuan hukum
internasional. Apabila yang dimaksud dengan daerah propinsi adalah juga
termasuk Perairan Kepulauan dan Laut Teritorial, maka berarti bahwa sejak saat

7
berlakunya UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, wilayah
Propinsi/Kabupaten akan memiliki dua jenis wilayah. Yang pertama adalah
wilayah negara tanpa hak dan kewajiban internasional, dan kedua adalah wilayah
dengan hak dan kewajiban internasional. Sistematika seperti ini dapat
menimbulkan akibat hukum terhadap pelaksanaan Konvensi Hukum Laut.

d. Hukum Internasional

Sumber hukum mengenai prinsip-prinsip hukum yang terkait dengan fungsi


institusional dan berbagai bentuk persoalan tehnis garis batas yang menimbulkan
hak dan kewajiban dalam pemanfaatan, pengelolaan dan pembinaan, wilayah,
perairan atau udara diatasnya juga terdapat dalam berbagai produk Hukum
Internasional seperti : 49 1. Putusan Mahkamah Internasional tentang sengketa
perikanan antara Inggris dan Norwegia Tahun 1951 : “International Court of
Justice, Norwegian Fisheries Case : Judgement of 18 December 1951” 2.
Konvensi Geneva Tahun 1958 : “Convention on the Territorial Sea and the
Contiguous Zone”. 3. Konvensi PBB tentang Hukum laut Tahun 1982 : “United
Nations Convention on the law of the sea” serta Referensi mengenai pelaksanaan
ketentuan tentang Baselines yang disiapkan oleh PBB, dalam pertemuan para
experts on Baselines dari 20 Negara : “Baselines : An Examination of The
Relevant Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea”. 4.
Perjanjian-perjanjian perbatasan wilayah teritorial antara Indonesia dengan
Malaysia di Kalimantan, dan Selat Malaka, dengan Singapura di Selat Singapura,
dan dengan Papua New Guinea.

8
BAB IV

PENUTUP

a. Kesimpulan
Ketentuan mengenai perbatasan teritorial wilayah Negara di darat pada
dasarnya bersumber dari perjanjian-perjanjian yang dibuat sebelum
Kemerdekaan, yang berlaku bagi Indonesia berdasarkan prinsip-prinsip
peralihan kekuasaan. Ketentuan mengenai perbatasan teritorial wilayah
Negara di laut yang berhadapan dengan wilayah entitas internasional,
bersumber dari Konvensi Hukum Laut Tahun 1982. Garis pangkal laut
teritorial terbentuk berdasarkan kriteria objektif dan kriteria subjektif .
Bentuk-bentuk garis pangkal untuk menetapkan batas-batas wilayah teritorial
Negara dengan Laut Teritorial ataupun dengan Perairan Pedalaman atau
Perairan Kepulauan merupakan produk hukum internasional yang tumbuhnya
rasional, berdasarkan prinsip keadilan yang universal, dan evolusi.
Status hukum wilayah-wilayah Perairan yang terbentuk oleh berbagai
bentuk baselines diluar Perairan Pedalaman, sepenuhnya tunduk pada
ketentuan Konvensi Hukum Laut Tahun 1982. Delimitasi wilayah perairan
teritorial, selalu memiliki aspek internasional, oleh karena itu meskipun
delimitasi batas-batas wilayah Negara merupakan suatu tindakan unilateral,
karena merupakan kewenangan negara, akan tetapi keabsahan berlakunya
batas-batas tersebut bagi masyarakat bangsa-bangsa tergantung pada hukum
internasional.
b. Saran
1. Pembentukan undang-undang mengenai batas wilayah Negara Republik
Indonesia cukup mendesak untuk kepentingan menjaga kedaulatan
nasional terutama di wilayah laut.

9
DAFTAR PUSTAKA
Jones, Stephen B, Boundary-Making: A Handbook for Statesmen, Treaty Editors
and Boundary Commissioners (Washington: Carnegie Endowment for
International Peace, 1945)

Mochtar Kusumaatmaja, Pengantar Hukum Internasional, 1982, hal.15.

Ni‟matul Huda, Ilmu Negara, Ed.6, Jakarta, 2014, hal.29.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan


Indonesia.

Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999


tentang Hubungan Luar Negeri.

Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000


tentang Perjanjian Internasional. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 43
Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.

10

Anda mungkin juga menyukai