Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“PROBLEMATIKA HUKUM PERBATASAN DAN PENYELESAIANNYA”

OLEH :

NAMA : TRITIUS M. D. FAR-FAR

NIM : 2016-21-187

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PATTIMURA

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih
terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan
dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Ambon, 08 Agustus 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang 
2. Tujuan
3. Rumusan Masalah 
4. Manfaat
BAB II PEMBAHASAN
1. Ruang lingkup hukum perbatasaan.
2. Hubungan hukum perbatasan dengan hukum internasional dan hukun nasional.
3. Mekanisme yang sering digunakan dalam proses penyelesaian sengketa perbatasan antara
dua Negara.
4. Proses delimitasi batas maritime menurut ketentuan Konvensi Hukum Laut Tahun 1982.

BAB III PENUTUP 


1. Kesimpulan
2. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengelolaan Manajemen perbatasan yang efektif dan efisien pada dasarnya sangat
dibutuhkan oleh semua negara, baik bagi negara yang berbatasan dengan laut ataupun darat.
Seperti halnya, Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki
17.491 pulau dan memiliki wilayah perairan yang luas atau 2/3 lebih luas dari daratan (Sumber:
Kemenkomarves, 2019), tentunya perbatasan wilayah suatu negara menjadi sangat penting.
Sehingga manajemen pengelolaan perbatasan menjadi sesuatu hal yang sangat dibutuhkan untuk
menjaga identitas dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Batas wilayah Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu secara astronomis dan geografis. Secara
astronomis, Indonesia terletak di antara 6 derajat lintang utara sampai 11 derajat lintang selatan
serta di antara 95 derajat bujur timur sampai 141 derajat bujur timur (6LU--11LS serta 95BT--
141BT).1 Secara geografis, Indonesia terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua
samudera (Samudera Hindia dan Pasifik). Letak geografis ini membuat Indonesia menjadi
wilayah strategis. 

Pasalnya, Indonesia menjadi lalu lintas perdagangan di dunia. Bagian barat wilayah
Indonesia berbatasan langsung dengan Samudera Hindia dan Perairan Negara India. Indonesia
dan India memiliki batas wilayah pulau di sekitar Samudera Hindia dan Laut Andaman yaitu
Pulau Ronde (Indonesia) dan Pulau Nicobar (India). 

Pada bagian timur Indonesia terdapat Pulau Papua. Di sini, Indonesia berbatasan langsung
dengan Papua Nugini dan perairan Samudera Pasifik. Dalam hal ini telah disepakati bahwa
wilayah Indonesia adalah pulau bagian timur dan Papua Nugini adalah bagian barat. Di bagian
wilayah Indonesia utara terdapat pulau Kalimantan. Di pulau ini, Indonesia berbatasan langsung
dengan Malaysia bagian timur. Di sisi lain, perairan Indonesia bagian utara berbatasan langsung
dengan Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand. Di bagian selatan, Indonesia berbatasan
langsung dengan Timor Leste. Perbatasan perairan bagian selatan Indonesia adalah Perairan
Australia dan Samudera Hindia.

Melihat Indonesia memiliki banyak sekali batas-batas dengan negara-negara sekitar,


membuat pengelolaan manajemen perbatasan menjadi sebuah fenomena yang menjadi
problematika tersendiri karena hampir semua kawasan perbatasan Indonesia adalah daerah
tertinggal yang kondisinya sangat memprihatinkan sebagai wajah luar negara. 

Selama ini kawasan perbatasan dikelola dengan pendekatan keamanan (safety belt
approach). Sehingga pembangunan sosial ekonomi menjadi terabaikan. Hal ini sesuai dengan
penjelasan Barry Buzan dalam buku People, State and Fear bahwa negara berperan untuk
menjaga rakyatnya dan menciptakan rasa aman bagi rakyat (human security). Human security
berkaitan dengan kesejahteraan dimana ketika rakyat merasa sejahtera maka keamanan manusia
dapat tercapai.

Lebih lanjut, Stephen B. Jones atau yang lebih dikenal dengan Boundary Making Theory
menjelaskan bahwa pengelolaan perbatasan terbagi menjadi beberapa ruang lingkup pengelolaan
yaitu alokasi (allocation), delimitasi (delimitation), demarkasi (demarcation), dan administrasi
(administration). 

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja ruang lingkup hukum perbatasaan.
2. Bagaimana hubungan hukum perbatasan dengan hukum internasional dan hukun
nasional.
3. Mekanisme apa yang sering digunakan dalam proses penyelesaian sengketa perbatasan
antara dua Negara.
4. Bagaimana proses delimitasi batas maritime menurut ketentuan Konvensi Hukum Laut
Tahun 1982.
C. Tujuan Penulisan

Memperhatikan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan dari penulisan ini
adalah :

1. Untuk mengkaji dan mengetahui tentang ruang lingkup hukum perbatasan.


2. Untuk mengkaji dan mengetahui bagaimana hubungan hukum perbatasan dengan hukum
internasional dan hukun nasional.
3. Untuk mengkaji dan mengetahui bagaimana mekanisme yang sering digunakan dalam
proses penyelesaian sengketa perbatasan antara dua Negara.
4. Untuk mengkaji dan mengetahui bagaimana proses delimitasi batas maritime menurut
ketentuan Konvensi Hukum Laut Tahun 1982.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan makalah ini adalah:

1. Mengetahui tentang ruang lingkup hukum perbatasan.


2. Mengetahui bagaimana hubungan hukum perbatasan dengan hukum internasional dan
hukun nasional.
3. Mengetahui bagaimana mekanisme yang sering digunakan dalam proses penyelesaian
sengketa perbatasan antara dua Negara.
4. Mengetahui bagaimana proses delimitasi batas maritime menurut ketentuan Konvensi
Hukum Laut Tahun 1982.
BAB II

PEMBAHASAN

I. Ruang Lingkup Hukum Perbatasan

Pengertian Perbatasan Pasal 1 Montevideo Convention on The Right and Duty of The
States Tahun 1993 menetapkan bahwa sebagai suatu kesatuan negara harus memiliki empat
kualifikasi yaitu memiliki penduduk yang tetap, wilayah dengan batas-batas yang jelas,
pemerintahan yang efektif dan kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain.
Muatan produk hukum tersebut diatas dapat diletakkan pada perspektif kedaulatan sebuah
negara, dimana penegasan batas wilayah negara merupakan manifestasi dari kedaulatan sebuah
negara. Dalam batas-batas tersebut sebuah negara memiliki complete and exclusive souvereignty
(hak berdaulat yang dilaksanakan secara penuh) dalam upaya mewujudkan visi dan tujuannya.
Hal inilah yang menjadikan suatu perbatasan menjadi sangat penting bagi masingmasing negara.
Pengertian perbatasan secara umum adalah sebuah garis demarkasi antara dua negara yang
berdaulat.

Menurut pakar perbatasan Guo, bahwa kata border atau perbatasan mengandung
pengertian sebagai pembatasan suatu wilayah politik dan wilayah pergerakan. Sedangkan
wilayah perbatasan, mengandung pengertian sebagai suatu area yang memegang peranan penting
dalam kompetisi politik antar dua negara yang berbeda. Maka demikian, wilayah perbatasan
sebenarnya tidak hanya terbatas pada dua atau lebih negara yang berbeda, namun dapat pula
ditemui dalam suatu negara, seperti kota atau desa yang berada di bawah dua yurisdiksi yang
berbeda. Intinya, wilayah perbatasan merupakan area (baik kota atau wilayah) yang membatasi
antara dua kepentingan yurisdiksi yang berbeda. Perbatasan secara politik dapat terbentuk
dimana saja, baik dalam negeri manapun dengan negeri lain.

Oleh karena itu, wilayah perbatasan dapat digambarkan sebagai suatu faktor pemisahan
karena adanya halangan dua sistem kekuasaan politik, sehingga pemerintahan di masing-masing
wilayah politik yang berbeda tersebut dapat mengatur dirinya sendiri, seperti terkait dengan
ekspor dan impor, apakah yang digunakan instrumen tarif atau non tarif, serta terkait dengan
penggunaan visa atau izin imigrasi bagi orang yang ingin memasuki suatu wilayah di perbatasan.

Secara historis, perbatasan sebuah negara atau state’s border, dikenal dengan bersamaan
lahirnya negara. Negara dalam pengertian modern sudah mulai dikenal sejak abad ke-18 di
Eropa. Perbatasan negara merupakan sebuah ruang geografis yang sejak semula merupakan
wilayah perebutan kekuasaan antarnegara, yang terutama ditandai oleh adanya pertarungan untuk
memperluas batas-batas antarnegara. Sebagai bagian dari sejarah dan eksistensi negara, riwayat
daerah perbatasan tidak mungkin dilepaskan dari sejarah kelahiran dan berakhirnya sebagai
negara. Suatu perbatasan seringkali didefinisikan sebagai garis imajiner di atas permukaan bumi,
yang memisahkan wilayah suatu negara dari negara lain.

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara Pasal (5) : Batas


Wilayah Negara di darat, perairan, dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya
ditetapkan atas dasar perjanjian bilateral dan/atau trilateral mengenai batas darat, batas laut, dan
batas udara serta berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara  Pasal 6 :

1. Batas Wilayah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, meliputi:

a. di darat berbatas dengan Wilayah Negara Malaysia, Papua Nugini, dan Timor
Leste;

b. di laut berbatas dengan Wilayah Negara Malaysia, Papua Nugini, Singapura, dan
Timor Leste; dan

c. di udara mengikuti batas kedaulatan negara di darat dan di laut, dan batasnya
dengan angkasa luar ditetapkan berdasarkan perkembangan hukum internasional.

2. Batas Wilayah Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk titik-titik
koordinatnya ditetapkan berdasarkan perjanjian bilateral dan/atau trilateral.
3. Dalam hal Wilayah Negara tidak berbatasan dengan negara lain, Indonesia menetapkan
Batas Wilayah Negara secara unilateral berdasarkan peraturan perundang-undangan dan
hukum internasional.

II. Hubungan Hukum Perbatasan dengan Hukum Internasional dan Hukun Nasional.

Kedudukan hukum intemasional dalam rangka hukum secara keseluruhan didasarkan atas
anggapan bahwa sebagai suatu jenis atau bidang hukum, hukum internasional merupakan
bagian dari hukum pada umumnya. Hukum internasional sebagai suatu perangkat ketentuan
dan asas yang efektif yang hidup dimasayarakat dan karenanya mempunyai hubungan yang
efektif dengan ketentuan atau bidang hukum lainnya, diantaranya yang paling penting ialah
ketentuan hukum yang mengatur kehidupan manusia dalam lingkungan kebangsaannya
masing-masing yang dikenal dengan hukum nasional. Hukum nasional setiap negara
mempunyai arti penting dalam konstelasi politik dunia dan masyarakat intemasional,
sehingga akan memunculkan persoalan bagaimanakah hubungan antara berbagai hukum
nasional itu dengan hukum intemasional. Pembahasan mengenai hubungan antara hukum
internasional dan hukum nasional dapat ditinjau dari sudut teori dan kebutuhan praktis.

Di dalam teori ada 2 (dua) pandangan tentang hukum Internasional ini yaitu pandangan
yang dinamakan voluntarism, bahwa hukum internasional dan hukum nasional sebagai dua
satuan perangkat hukum yang hidup berdampingan dan terpisah dan pandangan obyektifis,
menganggapnya sebagai dua bagian dari satu kesatuan perangkat hukum. Erat hubungannya
dengan yang dijelaskan tersebut adalah persoalan hubungan hirarkhiantara kedua perangkat
hukum itu, baik merupakan perangkat hukum yang masing-masing berdiri sendiri maupun
merupakan dua perangkat hukum yang pada hakikatnya merupakan bagian dan satu
keseluruhan tata hukum yang sama.

Dari dua teori tersebut, muncullah dua aliran atau sudut pandangan yang membahas
tentang hal tersebut:
1. Aliran Monisme
Pada paham monisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari seluruh hukum yang
mengatur hidup manusia. Menurut paham ini hukum internasional dan hukum nasional
merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur
kehidupan manusia. Secara garis besar, aliran monisme berprinsip hukum internasional adalah
konsekwensi langsung dari norma dasar seluruh hukum sehingga mengikat setiap individu
secara kolektif. Akibat dari pandangan monisme ini bahwa antara dua perangkat ketentuan
hukum ini mungkin ada hubungan hirarkhi. Persoalan hirarkhi antara hukum nasional dan
hukum internasional inilah yang melahirkan beberapa sudut pandangan yang berbeda dalam
aliran monism mengenai masalah hukum manakah yang utama dalam hubungan antara hukum
nasional dan hukum internasional.
Ada pihak yang menganggap bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum
internasional yang utama ialah hukum nasional.Untuk paham yang seperti disebut sebagai
paham "monisme dengan primat hukum nasional". Menurut aliran monisme primat hukum
nasional, hukum internasional berasal dari hukum nasional. Contohnya adalah hukum yang
tumbuh dari praktik negara-negara. Karena hukum internasional berasal atau bersumber dari
hukum nasional maka hukum nasional kedudukannya lebih tinggi dari hukum internasional,
sehingga bila ada konflik hukum nasional lah yang diutamakan. Paham lain berpendapat
bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional yang utama ialah
hukum internasional. Pandangan ini disebut sebagai paham "monisme dengan primat
internasional".
Menurut teori monisme, keduanya sangat mungkin terjadi. Pandangan yang melihat
kesatuan antara hukum nasional dan hukum internasional dengan primat hukum nasional ini
pada hakikatnya menganggap bahwa hukum Internasional itu bersumberkan kepada hukum
nasional. Alasan utama daripada anggapan ini adalah:
1) Bahwa tidak ada satu organisasi di ataas negara-negara yang mengatur kehidupan
negara-negara di dunia ini.
2) Dasar dari hukum Internasional yang mengatur hubungan Internasional adalah terletak
di dalam wewenang negara-negara untuk mengadakan perjanjian-perjanjian internasional, jadi
wewenang konstitusional.
Paham monisme dengan primat hukum internasional, maka hukum nasional itu
bersumber pada hukum internasional yang menurut pandangan ini merupakan suatu perangkat
ketentauan hukum yang hierarkis lebih tinggi. Menurut faham ini hukum nasional tunduk
pada hukum internasional pada hakikatnya berkekuatan mengikatnya berdasarakan suatu
“pendelegasian” wewenang daripada hukum internasional.
2. Aliran Dualisme
Aliran ini menganggap bahwa hukum nasional dan hukum internasional adalah dua
sistem hukum yang berbeda. Triepel (salah seorang pemuka aliran ini) mengemukakan
perbedaan mendasar dari kedua system hukum tersebut.
a) Subyek hukum nasional adalah individu, sedangkan subyek hukum internasional
adalah negara.
b) Sumber dari hukum nasional adalah kehendak negara masingmasing, sedangkan
sumber dari hukum internasional adalah kehendak bersama negara.
c) Prinsip dasar yang melandasi hukum nasional adalah prinsip dasar/norma dasar dari
konstitusi negara, sedangkan prinsip dasar yang melandasi hukum internasional adalah
perjanjian mengikat.
Faham dualisme, yang bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum Internasional
bersumberkan pada kemauan negara, maka hukum internasional dan hukum nasional
merupakan dua system atau perangkat hukum yang terpisah satu dari yang lainnya.16 Faham
dualisme memberi supremasi pada hukum nasional berdasarkan kedaulatan negara sehingga
hukum internasional tidak dapat memaksa suatu negara patuh terhadap hukum internasional.
Berbeda dengan teori monisme yang melihat hukum internasional sebagai satu kesatuan
dengan hukum nasional, teori dualisme menempatkan hukum internasional terpisah dengan
hukum nasional (International law is not ipso facto part of municipal law).
Oleh karena terdapat pemisahan tegas antara kedua jenis hukum tersebut, maka faham
dualism menggunakan teknik transformation dimana penerapan hukum internasional harus
diikuti dengan proses legislasi untuk mengubah hukum internasional menjadi bagian dari
hukum nasional.
Akibat-akibat dari pandangan dari faham dualisme ini bahwa menurut pandangan ini
kaedah-kaedah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumberkan atau
berdasarkan pada perangkat hukum yang lain. Akibat kedua adalah bahwa menurut
pandangan ini tidak mungkin ada pertentangan antara kedua perangkat hukum itu, yang
mungkin hanya penunjukan (renvoi) saja. Akibat lain yang yang penting pula dari pandangan
dualisme ini bahwa ketentuan hukum internasional memerlukan transformasi menjadi hukum
nasional sebelum dapat berlaku di dalam lingkungan hukum nasional.
Menurut teori ini terdapat pelimpahan wewenang dari hukum internasional kepada
hukum nasional (dalam hal ini konstitusi negara) untuk menentukan ketentuan-ketentuan
hukum internasional mana yang akan diberlakukan dan prosedur-prosedur apa yang harus
ditempuh untuk memasukkannya ke dalam system hukum nasional. Jadi tidak perlu ada suatu
tindakan transformasi khusus atau pembuatan hukum nasional khusus dalam rangka
pemberlakuan hukum internasional.

Kedudukan Hukum Internasional Di Indonesia

Undang-undang dasar 1945 tidak memuat ketentuan mengenai kedudukan hukum


internasional dalam sistem hukum nasional. Akan tetapi tidak dapat disimpulkan begitu saja
bahwa Indonesia menganut pendirian hukum nasional mengatasi hukum internasional,
sebaliknya pendirian menerima supremasi hukum internasional tidak berarti Indonesia harus
menerima hukum internasional begitu saja. Banyak pertimbangan-pertimbangan yang harus
dikaji terutama keadaan masyarakat internasional dan Negara Indonesia pada saat yang
bersangkutan.

Dalam praktiknya Indonesia juga membedakan antara perjanjian internasional yang


memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan rakyat., dengan perjanjian yang hanya memerlukan
persetujuan pemerintah eksekutif dan pemberitahuan belaka kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Setiap perjanjian yang memerlukan ratifikasi dari Dewan Perwakilan Rakyat, baru dapat
dilaksanakan jika telah keluar Undang-Undang Pengesahanya, dan setelah itu dapat langsung
diterapkan dalam sistem hukum nasional dan pengadilan nasional, tanpa harus memerlukan suatu
Undang- Undang pelaksanaan sendiri. Namun demikian, dalam hal yang penting sekali seperti
bila perjanjian internasional itu akan mengakibatkan perubahan dalam Undang-Undang
Nasional; langsung menyangkut kepentingan warga negara; merubah luas wilayah dan hal-hal
penting lainya, maka tetap diperlukan pengundangan peraturan pelaksanaannya.
III. Mekanisme yang sering digunakan dalam proses penyelesaian sengketa perbatasan
antara dua Negara.

Meski era Komunitas ASEAN mulai berlaku resmi pada Desember 2015, ASEANmasih
menghadapi beberapa masalah sengketa antarnegara, terutama yang terkait dengan kedaulatan
negara, seperti perbatasan antarnegara. Secara nyata, tidaklah mudah dan cepat untuk
menuntaskan sengketa yang terkait dengan kedaulatan wilayah negara. Meski demikian, ada
beberapa sengketa yang sudah diselesaikan sesuai dengan kesepakatan antarnegara yang
bersengketa. Sejauh ini, sengketa wilayah perbatasan di ASEAN mampu diakomodasi dan
diselesaikan, baik di tingkat bilateral maupun di tingkat internasional. Kendati proses pencapaian
kesepakatan bersama seringkali memakan waktu yang lama, tarikmenarik dalam
memperjuangkan kepentingan nasional dari masing-masing negara yang bersengketa bisa
dihadapi tanpa menimbulkan perpecahan di dalam tubuh ASEAN itu sendiri. Bahkan proses
panjang dalam menyelesaikan atau menyikapi suatu sengketa wilayah perbatasan menjadi
episode tersendiri dalam perjalanan ASEAN tanpa melahirkan perang besar antarnegara.

Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perbatasan ASEAN

1. Mekanisme Dalam TAC (Treaty of Amity and Cooperation)

Kesepakatan dalam TAC dengan Deklarasi Bali 1976 menyatakan “Member states, in the
spirit of ASEAN solidarity, shall rely exclusively on peaceful processes in the settlement of intra
regional differences.” Deklarasi ini menyodorkan poin-poin penting yang tercantum dalam Bab
IV TAC (Treaty of Amity and Cooperation) yang harus dihormati dan dijalankan oleh
negaranegara ASEAN. Ada 3 tahap yang harus dilalui apabila terjadi sengketa, yaitu:

1. Pencegahan meningkatnya sengketa serta upaya penyelesaian melalui negosiasi langsung


antarpihak yang bertikai. Hal itu ditegaskan dalam pasal 10 yang berbunyi: “Each High
Contracting Party shall not in any manner or form participate in any activity which shall
constitute a threat to the political and economic stability, sovereignty, or territorial integrity of
another High Contracting Party.”
2. Pasal 13 menekankan bahwa “the High Contracting Party” diwajibkan menahan diri dari
hal-hal yang bisa memicu terjadinya sebuah ancaman ataupun penggunaan kekuatan serta harus
memprioritaskan penyelesaian sengketa melalui negosiasi damai (“the High Contracting Parties
shall have the determination and good faith to prevent disputes from arising. In case of disputes
on matters directly affecting them, they shall refrain from the threat or use of force and shall at
all times settle such disputes among themselves through friendly negotiations”).

3. Pasal 14 dari TAC berisikan mekanisme penyelesaian sengketa selanjutnya melalui


pengawasan High Council yang terdiri dari satu perwakilan tingkat menteri dari masingmasing
negara anggota yang berjumlah 10 negara anggota bersama dengan negara-negara nonASEAN
yang terlibat langsung dalam sengketa. Apabila cara friendly negotiation yang dilakukan tidak
mendatangkan hasil positif, High Council dapat merekomendasikan kepada pihak yang
bersengketa sebuah penyelesaian melalui jasa baik (good offices), mediasi, inquiry or
conciliation (Pasal 15).

4. Pasal 16 menyatakan bahwa apabila melalui friendly negotiation tidak berhasil, mereka
bisa menyerahkan sengketa ke High Council untuk dibicarakan didalamnya, yang
memungkinkan untuk menyertakan negara nonASEAN yang terikat pada TAC namun tidak
terlibat dalam sengketa terkait. 5. Pasal 17 menyatakan bahwa para pihak yang bersengketa
setelah melalui tahapan perundingan di atas bisa merujuk pada pasal 33 ayat 1 Piagam PBB,
yaitu menyerahkan penyelesaian sengketa menurut cara yang diatur dalam Piagam PBB.

2. Mekanisme dalam Piagam ASEAN (ASEAN Charter)

Dengan adanya Piagam ASEAN (2007), mekanisme penyelesaian sengketa sesungguhnya


tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah dirintis dalam TAC. Terwujudnya mekanisme
penyelesaian sengketa ala Piagam ASEAN dimaksudkan untuk mendorong sebuah organisasi ini,
terutama bagi terbentuknya Komunitas ASEAN, untuk memiliki pijakan kerangka hukum yang
jelas dan mengikat bagi negara ASEAN. Prosedur penyelesaian sengketa berdasarkan Piagam
ASEAN yang termaktub dalam Bab VIII pasal 22 – 28 (lihat bagan 1) berisikan sebagai berikut:

1. Pasal 22 menyatakan perlunya upaya negosiasi, dialog dan konsultasi disertai dengan
(wajib) menahan diri untuk tidak menggunakan cara kekerasan.
2. Apabila cara di atas kurang berhasil, pihak yang bersengketa bisa merujuk pada pasal 23.
Isi dari pasal 23 menyatakan mekanisme penyelesaian sengketa melalui jasa-jasa baik (good
offices), mediasi, konsiliasi.

3. Mekanisme melalui arbitrase bisa dipakai oleh pihak yang bersengketa apabila mekanisme
sebelumnya tidak berhasil. Hal ini termaktub dalam pasal 25.

4. Pasal 27 menegaskan mekanisme penyelesaian sengketa dibawa ke KTT (Konferensi


Tingkat Tinggi) ASEAN sebagaimana tertera dalam ayat 1 yang berbunyi “The Secretary-
General of ASEAN, assisted by the ASEAN Secretariat or any other designated ASEAN body,
shall monitor the compliance with the findings, recommendations or decisions resulting from an
ASEAN dispute settlement mechanism, and submit a report to the ASEAN Summit. “

5. Selanjutnya, para pihak yang bersengketa bisa memutuskan secara bersama untuk
melanjutkan penyelesaian sengketa ke tingkat yang lebih tinggi yaitu menggunakan mekanisme
yang tertera dalam Piagam PBB Bab IV pasal 33 ayat1. Ketentuan itu berbunyi: “The parties to
any dispute, the continuance of which is likely to endanger the maintenance of international
peace and security, shall, first of all, seek a solution by negotiation, enquiry, mediation,
conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or
other peaceful means of their own choice (ayat 1), The Security Council shall, when it deems
necessary, call upon the parties to settle their dispute by such means. “ (ayat 2)

IV. Proses Delimitasi batas maritime menurut ketentuan Konvensi Hukum Laut Tahun
1982.

Delimitasi batas maritim antar negara adalah penentuan batas wilayah atau kekuasaan
antara satu negara dengan negara lain (tetangganya) di laut. Delimitasi batas maritim
merupakan proses penentuan dan penetapan batas-batas maritim antar negara yang telah
diatur dan merupakan perwujudan implementasi dari United Nation Convention on the Law
of the Sea 1982 (UNCLOS 1982) atau Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 yang telah
ditandatangai oleh 117 negara termasuk Indonesia dan dua satuan bukan negara di Montego
Bay, Jamaica, pada tanggal 10 Desember 1982. UNCLOS 1982 telah diratifikasi oleh
Pemerintah Indonesia melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan
United Nations Convention on The Law of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa
tentang Hukum Laut) pada tanggal 31 Desember 1985.

Berlakunya UNCLOS 1982 menjadikan penetapan batas maritim dengan negara tetangga
menjadi prioritas utama bagi Indonesia dalam rangka mengimplementasikan konvensi.
Indonesia mempunyai perbatasan maritim dengan 10 (sepuluh) negara tetangga yaitu India,
Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua New Guinea (PNG),
Australia, dan Timor Leste. Penetapan batas maritim dilakukan untuk penegakkan kedaulatan
dan hukum di wilayah yurisdiksi Indonesia di laut, pengelolaan sumber daya alam, dan
pengembangan ekonomi kelautan.

Sejak tahun 1971, Pemerintah Indonesia fokus untuk menyelesaikan perjanjian batas
maritim dengan negara tetangga yang berjumlah 10 negara. Penyelesaian itu menjadi penting,
karena akan menentukan gerak langkah Pemerintah Indonesia di wilayah perbatasan negara.
Selama 48 tahun terakhir sudah 18 perjanjian yang berhasil diselesaikan dengan negara
tetangga. Namun dari jumlah tersebut 13 perjanjian dihasilkan saat Indonesia belum
menyepakati Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) pada
1982. Artinya, ada 5 (lima) perjanjian antara Indonesia dengan negara tetangga setelah
berlakunya UNCLOS 1982. Dari kelima perjanjian yang telah disepakati itu ada yang telah
diratifikasi, sedang dalam proses ratifikasi, bahkan belum diratifikasi sama sekali, salah
satunya adalah Treaty Between the Government Australia and the Government of the
Republic of Indonesia Estabilishing an Exclusive Economic Zone Boundary and Certain
Seabed Boundaries, yang dikenal dengan Perth Treaty 1997.

Ada berbagai macam metode yang digunakan dalam pelaksanaan delimitasi maritim,
yaitu metode sama jarak (median line), metode paralel dan meridian, metode enclaving,
metode tegak lurus (perpendicular), metode garis paralel, dan metode batas alami (natural
boundary). Selain metode-metode ini ada juga cara penetapan delimitasi maritim yang
berkembang dari praktik badan pengadilan internasional, seperti International Court of Justice
dan International Tribunal for the Law of the Sea dalam menangani kasuskasus delimitasi
maritim, yaitu pendekatan dua tahap yang kemudian berkembang menjadi pendekatan tiga
tahap.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Pengelolaan Manajemen perbatasan yang efektif dan efisien pada dasarnya sangat
dibutuhkan oleh semua negara, baik bagi negara yang berbatasan dengan laut ataupun darat.
Seperti halnya, Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki
17.491 pulau dan memiliki wilayah perairan yang luas atau 2/3 lebih luas dari daratan (Sumber:
Kemenkomarves, 2019), tentunya perbatasan wilayah suatu negara menjadi sangat penting.
Sehingga manajemen pengelolaan perbatasan menjadi sesuatu hal yang sangat dibutuhkan untuk
menjaga identitas dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kedudukan hukum intemasional dalam rangka hukum secara keseluruhan didasarkan atas
anggapan bahwa sebagai suatu jenis atau bidang hukum, hukum internasional merupakan bagian
dari hukum pada umumnya. Hukum internasional sebagai suatu perangkat ketentuan dan asas
yang efektif yang hidup dimasayarakat dan karenanya mempunyai hubungan yang efektif dengan
ketentuan atau bidang hukum lainnya, diantaranya yang paling penting ialah ketentuan hukum
yang mengatur kehidupan manusia dalam lingkungan kebangsaannya masing-masing yang
dikenal dengan hukum nasional. Hukum nasional setiap negara mempunyai arti penting dalam
konstelasi politik dunia dan masyarakat intemasional, sehingga akan memunculkan persoalan
bagaimanakah hubungan antara berbagai hukum nasional itu dengan hukum intemasional.
Pembahasan mengenai hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional dapat ditinjau
dari sudut teori dan kebutuhan praktis.

Saran

Semoga segala bentuk sengketa yang terjadi pada wilayah dapat di selesaikan sesuai dengan
aturan dan ketentuan hukum yang berlaku, agar masing-masing Negara mampu menjaga
kedaulatan negaranya masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA

Kansil, Prof. Drs. C.S.T., S.H Dan Charistine S.T. Kansil, S.H., M.H. Pengantar Ilmu

Hukum Indonesia. Jakarta:Rineka Cipta, 2014.

Kapindha, Ros Angesti Anas, Salvatia Dwi M, and Winda Rizky Febrina, “Efektivitas dan

Efisiensi Alternative Dispute Resolution (ADR) Sebagai Salah Satu Penyelesaian

Sengketa Bisnis Di Indonesia”. Privat Law 1 2. No. 4 (2014).

Santosa, Ahmad. Alternative Dispute Resolution (ADR) di Bidang Lingkungan Hidup.

Jakarta. 1995.

Soemartono, Dr. R.M. Gatot P., S.E., S.H., M.M. LL. M. Mengenal Alternatif Penyelesaian

Sengketa dan Arbitrase, diunduh dari http://repository.ut.ac.id/4132/1/HKUM4409-M1.pdf

tanggal 8 Disember 2018. pukul 22.27WIB.

Vago, Steven. Law and Society, New Jersey : Printice-Hall. 1988.

https://www.kompasiana.com/mario02040/600eb7f5d541df0a573afe46/problematika-
perbatasan-indonesia.

Anda mungkin juga menyukai