Anda di halaman 1dari 34

Makalah

Pendidikan kewarganegaran
Sejarah lepasnya pulau sipadan dan linggitan ke tangan malaysia

Guru mapel :
Evi Susiyanti S.Pd,M.Pd
Di susun oleh
Muhammad Dimaz Prasetiya

Kelas xi ips 1

Sekolah menegah atas negeri 1 solok selatan


Tahun pelajaran 2021/2023
KATA PENGANTAR
Assalamualikum wr.wb
Puji syukur atas kehadirat tuhan yang maha esa yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia sehingga atas izin penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul
‘’sejarah kasussengketa perebutan kepemilikan pulau sipadan dan linggitan”.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas pendidikan kewarganegaran ucapan
terima kasih penulis sampaikan kepada orang tua yang telah memberikan semangat
dukungan dan cinta yang tiada hentinya.selain itu saya sebagai penulis mengucapkan
terima kasih kepada ibuk Evi Susiyanti selaku guru pembimbing kewarganegaraan.
Tidak lupa penulis menyampaikan kepada pihak yang telah membantu prose
makalah ini dapat terlaksana dengan baik dan lancar.penulis menyadari bawasanya
makalah ini belum lah sempurna.untuk itu,saran dan masukan yang membangun demi
makalah ini dapat sesuai dengan harapan,
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca senantiasa mampu
menumbuhkandan meningkatkan rasa cinta tanah air serta kesadaran untuk terus
menjaga keutuhan.

Muara labuah, 1 juni 2022


Penulis

Muhammad Dimaz p
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 latar belakang


1.2 pokok masalah
1.3 tujuan

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 latar belakang


2.2 Awal Permasalahan Sengketa Wilayah Pulau Sipadan
dan Pulau Ligitan
2.3 konsep nasinal dan diplomasi
2.4 Manfaat dan Hikmah yang dapat di ambil lepasnya pulau
sipadan dan ligitan

BAB 3 PENUTUP
3.1 konseptual dan kesimpulan
3.2 Pemerintah Indonesia dan Malaysia sempat memiliki
sengketa atasPulau Ligitan dan Sipadan. Meski begitu, hasil
sengketa tersebut telah diputuskan oleh Mahkamah
Internasional.
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tesis ini merupakan penelitian terhadap penyelesaian sengketa antara Indonesia
dan Malaysia terhadap Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan melalui pengadilan internasional.
Klaim yang dilakukan Indonesia dan Malaysia terhadap Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
membawa penyelesaian sengketa wilayah ini kepada pengadilan internasional (ICJ) demi
terciptanya hubungan bilateral yang baik diantara kedua negara.
Hubungan luar negeri Indonesia dengan negara-negara lain telah dimulai sejak
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.Berbagai
forum baik bilateral, regional maupun multilateral telah dirancang oleh Indonesia
bersama-sama dengan negara-negara sahabat. Dalam menjalin hubungan tersebut
Indonesia senantiasa mempromosikan suatu bentuk kehidupan masyarakat yang
menjunjung tinggi nilai-nilai saling menghormati, tidak mencampuri urusan dalam negeri
negara lain, penolakan penggunaan kekerasaan serta konsultasi dan mengutamakan
konsensus dalam proses pengambilan keputusan.

Hubungan diplomatik Indonesia dengan negara sahabat khususnya dengan


Malaysia secara resmi terjalin sejak 31 Agustus 1957 saat Malaysia menyatakan
kemerdekaannya. Pada masa awal hubungan bilateral, kedua negara sempat mengalami
era konfrontasi pada tahun 1963-1965.

Namun dengan visi jauh kedepan, para pemimpin kedua negara telah mengambil
sikap segera memulihkan hubungan dan bahkan menjadi pelopor dalam pembentukan
organisasi regional ASEAN pada tahun 1967. Hubungan bilateral antara Indonesia dan
Malaysia yang dilandasi oleh adanya semangat serumpun telah mendorong terus
berkembangnya kerjasama kedua negara di berbagai sektor.

Walaupun demikian terdapat beberapa permasalahan yang senantiasa menjadi


salah satu isu yang menonjol dalam hubungan bilateral Indonesia dan Malaysia. Selain
masalah ketenagakerjaan terdapat pula masalah illegal logging yang terjadi di perbatasan
darat maupun laut, masalah delimitasi batas laut dan overlapping claim terhadap dua
blok minyak di laut Sulawesi. Merupakan ketentuan hukum positif bahwa penggunaan
kekerasan dalam hubungan antar negara telah dilarang dan oleh karena itu sengketa-
sengketa internasional harus diselesaikan secara damai. Dengan demikian pelarangan
penggunaan kekerasan dan penyelesaian sengketa secara damai telah merupakan norma-
norma imperatif dalam pergaulan antar bangsa.

Pada penelitian ini lebih lanjut melihat kepada konflik yang terjadi antara Malaysia
dan Indonesia yaitu mengenai perebutan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang
menjadikannya sebagai sengketa wilayah. Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
bermula dari pertemuan kedua delegasi dalam penetapan batas landas kontinen
antara Indonesia dan Malaysia di Kuala Lumpur pada tanggal 22 September 1969.
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa telah berhasil mewujudkan hukum laut
internasional melalui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982)
yang telah ditandatangani oleh 117 negara peserta termasuk Indonesia di Montego Bay,
Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982 dan telah diratifikasi oleh Republik Indonesia
dengan UU No. 17 tahun 1985.

Dibandingkan dengan Konvensi Jenewa 1958, UNCLOS 1982 mengatur rezim-


rezim hukum laut lengkap dan satu sama lain tidak dapat dipisah-pisahkan, antara lain :
Laut Teritorial (Territorial Sea), Zona Tambahan (Contiguous Zone), Zona Ekonomi Ekslusif
(Exclusive Economic Zone), Laut Lepas (High Seas) dan Landas Kontinen Salah satu hal
penting yang diatur dalam UNCLOS 1982 dan terkait erat dengan Indonesia adalah
yuridiksi dan Batas Maritim Internasional.

UNCLOS mengatur kewenangan sebuah negara pantai terhadap wilayah laut (laut
teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen) dan juga
mengatur tata cara penarikan garis batas maritim jika terjadi tumpang tindih klaim antara
dua atau lebih negara bertetangga. Hal ini biasa terjadi di wilayah laut yang
berdampingan.

Hukum laut memberikan hak kepada negara pantai untuk memiliki laut wilayah
sejauh 12 mil laut, dan zona ekonomi eksklusif Pada dasarnya Indonesia sebagai negara
pantai (coastal state) sesuai rezim hukum tata laut menurut UNCLOS 1982 mempunyai
kedaulatan wilayah atas perairan pedalaman, laut teritorial dan perairan kepulauan
sedangkan di kawasan ZEEI dan Landas Kontinen, Indonesia mempunyai hak berdaulat
atau disebut juga kedaulatan atas sumber daya alam. Pengertian tersebut diatas dapat
menggambarkan status hukum wilayah negara. Secara kontekstual status hukum wilayah
negara tidak terpisah dengan batas wilayah negara itu sendiri.

Pada llain yang berbeda kedaulatan atau yurisdiksinya atas batas maritim pada
kawasan tertentu. Bahwa alokasi tidak tergantung pada penggunaan fisik atau
kepemilikan tetapi pada perkiraan geografis yang kemudian disebut dengan ab initio yang
artinya jatah atau bagian tersebut suersoalan batas maritim ini akan muncul karena
wilayah negara itu akan berdampingan dengan wilayah negaradah dimiliki sejak awal,
merupakan bagian yang sudah menyatu dan tidak perlu upaya tertentu bagi negara
pantai untuk memperolehnya.

Dengan berlakunya UNCLOS 1982, keadaan tersebut telah menimbulkan


perubahanbagi masing-masing negara dalam mengajukan klaim atau tuntutan baik
terhadapperjanjian yang telah ada maupun perjanjian yang belum ditetapkan atau yang
masihakan dirundingkan.

Penyelesaian sengketa melalui ICJ sesuai dengan konvensi yang menentukan


bahwa setiap negara peserta konvensi harus menyelesaikan suatu sengketa mengenai
penafsiran dan penerapan konvensi melalui jalan damai sesuai dengan ketentuan pasal 2
ayat 3 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Konvensi ini mengatur sistem penyelesaian
sengketa, dimana negara-negara peserta berkewajiban untuk tunduk pada salah satu
daripada lembaga penyelesaian sengketa sebagai berikut : Mahkamah Internasional (ICJ),
Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut, Arbitrasi Umum atau Arbitrasi Khusus.

Konvensi 1982 ini membentuk Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut


sebagai mahkamah tetap (standing tribunal) dan Arbitrasi Umum serta Arbitrasi Khusus
sebagai mahkamah ad hoc (Ad Hoc Tribunal). Setiap sengketa mengenai penafsiran dan
penerapan konvensi dapat diajukan untuk diselesaikan oleh salah satu Dalam rangka
memperoleh kedaulatan wilayah, hukum internasional mengenal lima cara tradisional
yang secara umum telah mendapat pengakuan.

Cara-cara tersebut secara langsung memiliki analogi dengan metode-metode yang


terdapat pada hukum perdata mengenai cara perolehan pemilikan pribadi. Kelima cara
tersebut adalah 5:

1. Aneksasi adalah suatu metode perolehan kedaulatan wilayah yang dipaksakan,


dengan dua bentuk keadaan :
a. Apabila wilayah yang dianeksasi telah ditundukkan oleh negara yang menganeksasi
tanpa adanya pengumuman kehendak;
b. Apabila wilayah yang dianeksasi dalam kedudukan yang benar-benar berada di bawah
negara yang menganeksasi pada waktu diumumkannya

kehendak aneksasi oleh negara tersebut. Penaklukan wilayah seperti tidak cukup
untuk menimbulkan dasar bagi perolehan hak. Sebagai tambahannya, maka harus ada
pernyataan formal tentang kehendak untuk menganeksasi, yang lazimnya dinyatakan
dalam bentuk Nota yang disampaikan pada semua negara penakluk terhadap wilayah
yang ditaklukan apabila secara tegas mereka tidak mengklaim kehendak untuk
menganeksasinya.

Suatu aneksasi yang merupakan hasil dari agresi kasar yang dilakukan oleh satu
negara terhadap negara lain atau yang dihasilkan dari penggunaan kekerasan yang
bertentangan dengan piagam PBB, tidak boleh diakui oleh negara-negara lain.

2. Accretion atau penambahan adalah hak yang didapatkan melalui penambahan


wilayah yang terjadi apabila ada wilayah baru yang ditambahkan, terutama karena sebab-
sebab alamiah, yang mungkin timbul karena pergerakan sungai atau lainnya terhadap
wilayah yang telah ada yang berada di bawah kedaulatan negara yang memperoleh hak
tersebut. Tindakan atau pernyataan formal tentang hak ini tidak diperlukan. Tidak
penting untuk mengetahui apakah proses penambahan wilayah itu terjadi secara
bertahap atau tidak terlihat, seperti pada kasus adanya endapan-endapan lumpur atau
terbentuknya pulau-pulau lumpur, dengan ketentuan penambahan itu melekat dan
bukan terjadi dalam suatu peristiwa yang dapat diidentifikasikan berasal dari lokasi lain.

3.Penyerahan merupakan suatu metode penting diperolehnya kedaulatan wilayah.


Metode ini didasarkan pada prinsip bahwa hak pengalihan wilayah kepada pihak lain
adalah atribut fundamental dari kedaulatan suatu negara. Penyerahan suatu wilayah
mungkin dilakukan secara sukarela atau mungkin dilaksanakan dengan paksaan akibat
peperangan yang diselesaikan dengansukses oleh negara yang menerima penyerahan
wilayah tersebut. Sesungguhnya, suatu penyerahan wilayah menyusul kekalahan dalam
perang lebih lazim terjadi dibandingkan dengan aneksasi.

4. Hak yang diperoleh melalui preskripsi adalah hasil dari pelaksanaan kedaulatan de
facto secara damai untuk jangka waktu yang sangat lama atas wilayah yang sebenarnya
tunduk pada kedaulatan negara lain. Preskripsi ini mungkin sebagai akibat dari
pelaksanaan kedaulatan yang sudah berjalanlama sekali, dan karena jangka waktu
tersebut telah menghilangkan kesan adanya kedaulatan oleh negara terdahulu.

5. Okupasi merupakan penegakan kedaulatan atas wilayah yang tidak berada dibawah
penguasaan negara manapun, baik wilayah yang baru ditemukan ataupun wilayah yang
ditinggalkan oleh negara yang semula menguasainya (namun untuk yang kedua
kemungkinan tidak pernah dilakukan). Secara klasik, pokok permasalahan dari suatu
Okupasi adalah adanya suatu ternullius. Wilayah yang didiami oleh suku-suku bangsa
atau rakyat-rakyat yang memiliki organisasi sosial dan politik tidak dapat dikatakan
termasuk dalam kualifikasi terra nullius.

Apabila suatu wilayah daratan didiami oleh suku-suku atau rakyat yang
terorganisir, maka kedaulatan wilayah harus diperoleh dengan perjanjian perjanjian lokal
dengan penguasa-penguasa atau wakil-wakil suku atau rakyat tersebut. Dalam
menentukan apakah suatu okupasi telah dilakukan sesuai dengan hukum internasional
atau tidak, maka prinsip keefektifan (effectiveness) harus diterapkan. Permanent Court
Of Justice menetapkan bahwa okupasi agar dapat terlaksana secara efektif mensyaratkan
dua unsur di pihak negara yang melakukan :

a. Adanya suatu kehendak atau keinginan atau bertindak sebagai pihak yang berdaulat;b.
Melaksanakan atau menunjukkan kedaulatan secara pantas.

1.2 Rumusan Pertanyaan Penelitian

Diberikannya hak kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan kepada
Malaysia, menimbulkan kekecewaan bagi pihak Indonesia. Tujuan nasional Indonesia
untuk mempertahankan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan tidak dapat diwujudkan melalui
jalan diplomasi. Seharusnya pihak Indonesia tidak begitu saja menyerahkan sengketa
wilayah ini kepada Mahkamah Hukum Internasional dan berusaha untuk terlebih dahulu
menyelesaikannya secara bilateral dengan pihak Malaysia.

Negosiasi ataupun perundingan-perundingan yang dilakukan Indonesia dan


Malaysia sesungguhnya merupakan cara yang terbaik untuk mempertahankan kedua
pulau tersebut tanpa melalui pengadilan internasional. Di lain pihak, kelemahan pihak
Malaysia yang tidak pernah mencantumkan Pulau Sipadan dan pulau Ligitan pada
peta yang diterbitkan hingga tahun 1970-an dapat dijadikan argumen yang kuat dari
pihak Indonesia untuk mempertahankan kedua pulau tersebut. Maka dari itu, pertanyaan
penelitian yang diangkat dalam tesis ini adalah “mengapa Indonesia tidak dapat
menjalankan diplomasi secara efektif dalam mempertahankan kepentingan nasionalnya
terhadap Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan?”

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi seluruh upaya diplomasi yang
dilakukan Indonesia dan Malaysia khususnya melalui pengadilan internasional di dalam
penyelesaian sengketa sekaligus untuk menjawab pertanyaan mengapa Indonesia gagal
untuk mempertahankan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan melalui jalur diplomasi.

Kajian mengenai diplomasi Indonesia diharapkan menjadikan cara alternatif


terbaik di dalam penyelesaian sengketa dengan negara lain secara bilateral dengan
terpenuhinya tujuan-tujuan nasional secara maksimal agar tidak menjadi konflik terbuka
melalui pengadilan internasional.
BAB 2

PEMBAHASAN
2.1KETERANGAN PULAU SIAPADAN DAN LIGITAN
Terletak di bagian utara Pulau Kalimantan, Pulau Sipadan dulunya menjadi
sengketa antara Indonesia dan Malaysia. Persisnya, berada di Selat Makassar. Puncaknya
terjadi di tahun 2002 yang diikuti dengan keputusan Mahkamah Internasional.Ketika itu
hasil voting 16 hakim, mayoritas akhirnya memilih Malaysia.
Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi sengketa karena wilayahnya yang berada di
dekat Indonesia dan Malaysia. Saat itu, keputusannya masih belum jelas serta diputuskan
menjadi wilayah sengketa. Namun, Malaysia membuat cottage atau penginapan
mengatasnamakan negaranya di sana. Ada beberapa faktor, kenapa pulau yang pernah
menjadi milik Indonesia ini dinobatkan sebagai yang terbaik di Asia.
Selain pasir putih dan air laut yang sebening kaca, berbagai macam terumbu
karang dan hewan laut dapat ditemukan di Pulau Sipadan. Dengan mata telanjang pun,
traveler sudah bisa melihat berbagai macam keindahan alam bawah lautnya.
Dengan lebih dari 3.000 jenis spesies hewan laut dapat ditemukan di sini, seperti
Penyu Agar, Penyu Karah, Ikan Alu-alu (Baracuda) dan Ikan Selar.
Tidak jarang, para diver atau penyelam akan melihat Ikan Selar yang membentuk
formasi seperti pusaran angin. Tidak heran mengapa orang senang diving dan scuba
diving di Pulau Sipadan.
Kebersihannya dan kelestariannya pun juga terjaga dengan baik.bermalampun juga
banyak penginapan yang berada di sekitar Pulau Sipadan. Bahkan, beberapa diantaranya
adalah water villa atau villa di atas air. Meskipun, luas pulaunya memang terbilang
kecil, hanya 12 hektar dengan ketinggian 700 meter dari dasar laut.
Harga penginapan pun bervariasi, traveler bisa memilih untuk menginap di hostel
yang berada dekat Tawau dan menyebrang ke Sipadan, atau menginap di Pulau Sipadan
itu sendiri.Untuk hostel, kisaran harganya mulai dari RM 35-100 atau setara Rp 100-300
ribu, sedangkan untuk water villa terdapat beberapa pilihan resort, seperti Pom Pom
Island Resort & Spa atau Sipadan Kapalai Dive Resort yang harganya dimulai dari 800 RM
(Rp 2,4 juta) sampai 1500 RM (Rp 4,6 juta).
Keindahan pulau Sipadan dan Ligitan sudah mendunia. Dua pulau ini bahkan
disebut-sebut sebagai salah satu destinasi wisata selam terbaik di dunia. Salah satu
media Inggris yang terkenal bahkan memasukkan Sipadan dan Ligitan menjadi salah
satu dari 10 tempat wisata terbaik dunia, sejajar dengan Pulau Cocos di Costa Rika.

Berlibur Ligitan
Sipadan dan Ligitan merupakan dua pulau yang kini dikenal di mata dunia.
Bukan sebagai destinasi berlibur biasa. Di mata turis dunia, kedua pulau ini termasuk
salah satu dari 10 spot menyelam terbaik di dunia. Keindahan bawah laut Sipadan
memang memukau. Tujuan utama para turis datang ke pulau cantik ini adalah untuk
scuba diving

Resor Mewah ala Maldives

Persengketaan antara kedua negara ini kembali memanas saat Malaysia


membangun resor-resor mewah di Sipadan dan Ligitan saat status pulau masih
belum jelas. Keindahan pulau ditambah fasilitas berupa resor mewah ini lah yang
akhirnya mendunia, mengundang para wisatawan untuk berkunjung. Banyak yang
setuju bahwa dua pulau ini seindah Maldives.
Kabar Penduduknya

Penduduk di Sipadan dan Ligitan pun kini menjadi warga negara Malaysia.
Dengan pulau yang dijadikan tempat wisata, makan banyak lapangan pekerjaan yang
terbuka. Baik di resor, maupun yang memutuskan untuk membuka usaha kuliner,
atau oleh-oleh.

Lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan menjadi milik Malaysia pada tanggal 16
Desember 2002 lalu Mahkamah Internasional (International Court of Justice), merupakan
peristiwa buruk bagi Indonesia khususnya dalam penegakan wilayah peraian
Indonesia.1Dilihat dari letak kedua pulau ini dapat disebut sebagai zona perbatasan
(frontiers)yangseharusnya bisa digunakan sebagai titik pangkal garis pangkal kepulauan
Indonesia.

1.International Court of Justice. “Case Concerning Sovereignty Over Pulau Ligitan


and Pulau Sipadan (Indonesia-Malaysia): Summary of the Judgment of 17 December
2002”. www.lawschool.corned.edu/lawlibrary/ajwww, diakses 9 Maret 2015 pukul 09.00
WIB

2.Marcel Hendrapati, ImplikasiKasus Sipandan dan Ligitan atas Titik Pangkal


danDelimitasiMaritim,Arus Timur, Makasar, 2013, hlm. 1.

3.Boer Mauna.Hukum Internasional. Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era


Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2003, hlm. vii.

4.Awani Irewati, dkk., Masalah Perbatasan Wilayah Laut Indonesia – Malaysia di


Laut Sulawesi, Indonesia Istitute of Sciences, Jakarta, 2006, hlm. 130.

Peristiwa lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan cerminan


lemahnya pemerintah Indonesia dalam mempertahankan Konsepsi Negara Kepulauan
Indonesia.

Hal itu seharusnya tidak perlu terjadi karena secara hukum Internasional
Indonesia telah berhasil memperjuangkan Indonesia sebagai negara kepulauan melalui
Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982.3

Lemahnya kemampuan Indonesia dalam melindungi pulau-pulau yang dimilikinya


tergambar dari argumen yang digunakan di Mahkamah Internasional saat berlangsungnya
sidang memutuskan nasib Pulau Sipadan dan Ligitan.Dalam upaya memperjuangkan
kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan tersebut, Indonesia menggunakan argumentasi
berdasarkan Konvensi 1891 (Treaty Based Title).Argumen ini pada intinya mengatakan
bahwa kedua pulau adalah milik Indonesia.Jelas argument ini tidak kuat dan tidak jelas
secara hukum karena hanya mengatur perbatasan kedua negara di daratan Kalimantan.
Sebaliknya, Malaysia menggunakan argumen pengendalian dan penguasaan
efektif (effective occupation) atas kedua pulau karena selama ini negara ini sudah
melakukan banyak hal seperti membangun sarana dan prasarana.
Tidak ditemukannya penyelesaian atas kedua pulau tersebut, akhirnya kedua negara
sepakat untuk mencari penyelesaian melalui Mahkamah Internasional (International
Court of Justice)

Penyelesaian yang ditempuh tersebut, sebelumnyamtelah didahului sebuah


kesepakatan antara Malaysia dan Indonesia yakni pada tanggal 31 Mei 1997 mengenai
kesepakatan antara dua negara bahwa apapun yang menjadi keputusan Mahkamah
Internasional kedua negara wajib menerimanya sebagai keputusan yang memiliki
kekuatan mengikat (binding force).

Baradina. Pengaruh Keputusan ICJ (International Court of Justice) dalam kasus


PulauSipadan dan Ligitan bagi Keutuhan Wilayah NKRI, dalam Awani Irewati, dkk,
Masalah Perbatasan Wilayah Laut Indonesia – Malaysia di Laut Sulawesi, Indonesia
Istitute of Sciences, Jakarta, 2006, hlm. 2. 6Marcel Hendrapati, Op.cit.

7Eka Drujanah dan Tangguh Dewantara.Penetapan Batas Landas Kontinen


Indonesia, Jurnal Surveying dan Geodesi, Vol XII. No. 3, 2002. 8Marcel Hendrapati, Op.cit.

Putusan yang memenangkan Malaysia sebagai pemilik sah Pulau Sipadan dan
Ligitan oleh Mahkamah Internasional didasarkan pada pertimbangan lain yakni prinsip
pengendalian dan penguasaan efektif (effective occupation).Putusan yang diambil
Mahkamah Internasional atas pertimbangan banyaknya aktivitas yang dilakukan kedua
negara di Pulau Sepadan dan Pulau Ligitan.

Berdasarkan pertimbangan effective occupationitu, maka Malaysia dinyatakan


sebagai pemenang karena jauh sebelumnya sudah memiliki banyak kegiatan dan
pengembangan yang dilakukan di kedua pulau ini7. Sementara aktivitas dan kegiatan
yang dilakukan Indonesia itu sendiri di wilayah kedua pulau diketahui sangat minim.

Putusan yang didasarkan pada prinsip pengendalian dan penguasaan efektif


(effective occupation) ini jelas mempermalukan Indonesia sendiri di mata dunia
Internasional yang mengaku sebagai pemiliknya (dengan argumen konvensi atau Treaty
Based Title) namun pada kenyataan belum melakukan apapun yang berarti di wilayah
kedua pulau tersebut.

Adanya pelanggaran Malaysia dalam melakukan klaim atas wilayah ZEE Indonesia
di laut Sulawesi juga didasarkan pada penandatanganan Perjanjian Tapal Batas Kontinen
Indonesia-Malaysia pada tanggal 27 Oktober 1969, yang ditandatangani di Kuala Lumpur
dan telah diratifikasi pada tanggal 7 November 1969.

Dengan menandatangani, berarti Malaysia sendiri sebenarnya telah mengakui


wilayah kedaulatan Indonesia di laut termasuk wilayah yang saat ini diklaim Malaysia
sebagai miliknya.
Merujuk pada konsepsi hukum laut internasional tahun 1982 yang menjelaskan
penguasaan laut salah satunya didasarkan atas dasar Archipelagic state principles (asas
negara kepulauan) yang menjadikan dasar dalam konvensi PBBtentang hukum laut,
dengan status Indonesia sebagai negara kepulauan semestinya tidak mungkin lagi terjadi
duplikasi (overlapping) klaim penguasaan atas wilayah ZEE di laut Sulawesi. Indonesia
sebagai negara kepulauan juga telah mendapat legalitas beserta ketentuan dan hak-
haknya di mata hukum laut internasional melalui “Deklarasi Djoeanda”.Deklarasi
ini bertujuan untuk mengumumkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara
kepulauan.

Dewan Kelautan Indonesia.Evaluasi Kebijakan dalam Rangka Implementasi


Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) di Indonesia, Departemen Kelautan dan
PerikananSekretariat JenderalSatuan Kerja Dewan Kelautan IndonesiaTahun Anggaran,
Jakarta, 2008, hlm. i.

Babinkum TNI.Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut


(UNCLOS 1982), Babinkum TNI, Jakarta, 2012, hlm. 21.
Indonesia sebagai negara kepulauan jelas merupakan pemilik atas wilayah ZEE di laut
Sulawesi dibandingkan Malaysia sebagai negara pantai yang memiliki batas-batas
tertentu untuk melakukan penarikan batas teritorialnya. Sesuai dengan ketetapan yang
diatur dalam UNCLOS 1982 bahwa suatu negara pantai berhak mengklaim landas
kontinenlebih dari 200 mil laut dan tidak boleh lebih dari 350 mil laut (landas kontinen
ekstensi).

Wilayah ZEE di laut Sulawesi sebagai milik Indonesia juga dijelaskan dalam UU
No.17/1985 tentang pengesahan UNCLOS dimana dalam Undang-undang tersebut
adanya pengakuan atas kedaulatan penuh laut territorial. Hal berdaulat atas wilayah ZEE
tersebut untuk tujuan eksploirasi, eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber
kekayaan serta segala sesuatu yang terkandung di dalamnya.

Berdasarkan uraian tersebut dapat dijelaskan bahwa lepasnya Pulau Sipadan dan
Ligitan menjadi milik Malaysia memiliki implikasi yang luas seperti munculnya klaim-klaim
baru atas sejumlah wilayah perbatasan oleh Malaysia. Dari pihak pemerintah Indonesia
itu sendiri telah melakukan protes secara terus-menerus atas pelanggaran yang dilakukan
Malaysia terhadap perairan Indonesia. Akan tetapi, niat Malaysia untuk kembali
melanggar sejumlah wilayah perbatasan seperti wilayah ZEE di laut Sulawesi tidak pernah
berkurang.

1. Apa implikasi yuridis lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan terhadap Zona Ekonomi
Ekslusif (ZEE) Indonesia di laut Sulawesi?
2. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan Indonesia terkait dengan adanya duplikasi
(overlapping) klaim di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di laut Sulawesi?
Penelitian ini merupakan studi yuridis normatif.
Penelitian secara yuridis adalah penelitian yang akan menjadikan hukum sebagai
dasar menganalisis permasalahan yang ada yakni menggunakan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan hukum laut internasional (UNCLOS) serta hal-hal yang
berkaitan dengan batas-batas teritorial kedua negara yang diatur menurut konvensi
hukum internasional. Sementara penelitian secara normatif dimaksudkan adalah
penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka dan bahan hukum.

Penelitian ini berfokus pada penelitian konsep hukum internasional mengenai


hukum laut internasional dan bahan hukum untuk menjawab dan memecahkan isu
hukum terkait dengan implikasi yuridis lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan tehadap Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Sulawesi.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2007,
hlm. 142.
Soerjono Soekanto.Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Yogyakarta, 1986, hlm.
52.
Soerjono Soekanto, Op.cit.hlm. 264.

Sehubungan dengan jenis penelitian ini adalah yuridis normatif, maka pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan konsep (conceptual approach) dan pendekatan
perundang-undangan (statute approach).12 Bahan hukum primer adalah bahan hukum
yang bersifat autoritatif yaitu mempunyai otoritas yang terdiri dari perundang-undangan.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi yakni
dengan mencari data mengenai hal-hal atau variabel seperti berupa catatan, transkrip,
buku, surat kabar, majalah, jurnal-jurnal hukum, yang berhubungan dengan konvensi
hukum laut internasional. Metode analisis data yang digunakan untuk menganalisis data
bahan hukum primer adalah menggunakan analisis deskriptif analitis13.

2.3 Implikasi yuridis lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan terhadap Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di laut Sulawesi

Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan memberikan implikasi yuridis terhadap


membawa konsekuensi yuridis terhadap Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di laut
Sulawesi. Beberapa dampak yuridis tersebut seperti problematika perbatasan wilayah
Indonesia dan Malaysia, problematika ekonomi, problematika pelaksanaan administrasi
pemerintahan, problematika pengembangan dan pengelolaan, dan masalah pertahanan
dan keamanan.Adanyanya duplikasi klaim di wilayah tersebut secara langsung
menimbulkan problematika perbatasan antara Indonesia dan Malaysia.

Hal itu dikarenakan adanya klaim yang sama atas suatu objek yang sama sehingga
membingungkan dalam penetapan batas-batas wilayah kedua negara khususnya dalam
hal penetapan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) baik untuk Malaysia maupun Indonesia.

Penetapan batas landas kontinen merupakan salah satu cara dalam pemecahan
permasalahan yang terjadi di sekitar ZEE Indonesia khususnya yang ada di laut Sulawesi.
Secara yuridis, batas landas kontinen diatur dalam Pasal 76 UNCLOS 1982 yang
menetapkan bahwa landas kontinen suatu Negara pantai.

Tata cara penarikan batas luar dari landas kontinen dari suatu negara pantai yang
melebihi 200 mil laut seperti dijelaskan pada Pasal 76 UNCLOS 1982.
14Perserikatan Bangsa-Bangsa. Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum
Laut (UNCLOS 1982), Babinkum TNI, Jakarta, 2012, hlm. 43.
Adanya duplikasi (overlapping) klaim di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
Indonesia di laut Sulawesi dilihat dari konvensi hukum laut internasional atau UNCLOS
1982, seharusnya tidak perlu terjadi. Hal itu dikarenakan bahwa dalam UNCLOS 1982
sendiri sebenarnya sudah sangat jelas bahwa negara yang menjadi pemilik dari wilayah
perairan di Laut Sulawesi adalah Indonesia.

Hal tersebut dikuatkan dengan ciri-ciri negara kepulauan serta hak-haknya yang
dijelaskan dalam UNCLOS 1982. Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki hak-hak
khusus seperti dijelaskan dalam Pasal 4715.

Mengacu pada Pasal 47, maka wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di
laut Sulawesi jelas menjadi bagian dari wilayah Pemerintah Indonesia. Sementara
Malaysia sebagai negara pantai, dengan ketentuan hak-hak yang dimiliki negara pantai
seperti dijelaskan dalam UNCLOS 1982 dapat disimpulkan tidak memiliki hak atas wilayah
tersebut.

Dengan adanya penjelasan dan tata cara mengenai penetapan batas landas
kontinen, makaoverlapping klaim antara Indonesia dan Malaysia di wilayah ZEE laut
Sulawesi tidak bisa diterima. Pengaturan batas lantas kontinen sebagaimana yang
dijelaskan dalam

UNCLOS 1982 khususnya pada Pasal 76, 77, dan Pasal 78 dapat menjadi landasan
yuridis yang kuat dan mengikat sehingga semakin menguatkan 8 bahwa sebagai pemilik
dari Laut Sulawesi adalah Indonesia karena telah mendapat pengakuan secara
internasional.

Penegakan batas landas kontinen ini secara konsisten sesuai dengan UNCLOS
1982.Malaysia sebagai negara pantai dan Indonesia sebagai negara kepulauan mestinya
harus tunduk pada ketetapan yang diatur dalam UNCLOS 1982 mengenai hak-hak negara
pantai dan negara kepulauan.

Dalam UNCLOS 1982 juga dijelaskan tata cara penarikan batas luar dari landas
kontinen suatu negara pantai seperti Malaysia. Dalam UNCLOS 1982 dijelaskan mengenai
tata cara penarikan batas luar dari landas kontinen dari suatu negara pantai yang
melebihi 200 mil laut seperti dijelaskan pada Pasal 76 UNCLOS 1982.

Dalam menetapkan batas luar landas kontinennya, negara pantai mempunyai dua
macam pilihan, yaitu
(1) berdasarkan ketebalan dari batu-batuan endapan (sedimentary rocks) di luar
kaki lereng kontinen; atau

(2) deengan menarik garis yang tidak melebihi 60 mil laut di luar kaki dari lereng
kontinen tersebut. Mengacu pada ketentuan tersebut, maka apabila penarikan batas luar
dari landas kontinen Malaysia di wilayah perairan di Laut Sulawesi sulit atau tidak dapat
dilakukan.
Hal itu dikarenakan jarak wilayah Malaysia dengan wilayah yang diklaim sebagai
miliknya terlalu dekat. Apabila hal tersebut tetap dilaksanakan maka tidak tertutup
kemungkinan bahwa sebagian besar wilayah Indonesaia akan masuk menjadi wilayah
Malaysia.

Mendukung Pasal 76 UNCLOS 1982 mengenai hak negara pantai atas landas
kontinen juga dijelaskan pada Pasal 78 UNCLOS.16Pada pasal ini dijelaskan bahwa hak
negara pantai dalam hal ini Malayisa tidak boleh melanggar hak negara lainnya
sebagaimana yang ditentukan dalam Konvensi (Pasal 78 ayat 1). Oleh sebab itu, tindakan
Malaysia dengan mengklaim wilayah perairan di Laut Sulawesi sebagai miliknya jelas
merupakan pelanggaran terhadap hak negara Indonesia.

Hal yang sama juga terkait dengan penetapan batas ZEE oleh Malaysia.Pemecahan
permasalahan di wilayah ZEE laut Sulawesi didasarkan pada isi Pasal 55 yang mengatur
ZEE.Mengacu pada isi Pasal tersebut, maka dalam menentukan batas ZEE sebuah negara
pantai dalam hal ini Malaysia harus didasarkan pada ketentuan hak- 9.

Haknya sebagai negara pantai sesuai dengan yang diatur dalam UNCLOS
khususnya pada Pasal 56.18Pada Pasal 56 dijelaskan mengenai batas-batas wilayah ZEE
dari negara Malaysia sebagai negara pantai.Mengacu pada pasal-pasal tersebut, Malaysia
sebagai negara pantai harus tunduk pada penetapan batas wilayah ZEE yang dimilikinya.

Hal itu sesuai dengan landasan yuridis yang diatur dalam hukum laut internasional
UNCLOS 1982.
18Ibid.

Implikasi yuridis lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan terhadap wilayah Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di laut Sulawesi juga menimbulkan masalah
ekonomi.Melihat konflik yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia di wilayah Ambalat,
sebenarnya tidak lepas dari persaingan perebutan lahan ekonomi di antara kedua negara.

Perebutan terhadap cadangan minyak yang ada di Blok Ambalat yang diperkirakan
mencapai Rp. 4,200 triliun membuat Malaysia dan Indonesia sama-sama bersikeras
melakukan klaim atas wilayah tersebut.

Secara ekonomi, negara yang akan menguasai wilayah perairan di Laut Sulawesi
akan sangat diuntungkan khususnya dalam jangka panjang. Besarnya kandungan sumber
daya alam yang terdapat di Laut Sulawesi, merupakan alasan mendasar bagi Malaysia
melakukan berbagai upaya untuk menguasai wilayah tersebut. Hal itu sangat kelihatan
dari batas-batas klaim Malaysia sebagai wilayah kerja pertambangan minyak dan gas
bumi di Laut Sulawesi oleh Malaysia mencakup wilayah Blok Y yang di dalamnya terdapat
Blok Ambalat.

Uraian tersebut memperlihatkan bahwa lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan


menimbulkan permasalahan di bidang ekonomi. Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi
tempat yang sangat mendukung bagi Malaysia untuk merencanakan ekspansi, eksplorasi,
dan eksploitasi ekonomi di wilayah perairan Laut Sulawesi. Dampaknya bagi Indonesia
adalah bahwa meskipun secara yuridis wilayah perairan Laut Sulawesi sudah sangat jelas
masuk dalam wilayah Indonesia, namun sampai saat ini, Indonesia sendiri belum bisa
melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya ekonomi yang terkandung di
dalamnya.

Hal ini memperlihatkan bahwa lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan tidak hanya
menyebabkan Indonesia kehilangan atas kedua pulau tersebut, tetapi juga berimbas pada
sulitnya pemerintah Indonesia dalam memanfaatkan 10 sumber daya ekonomi yang ada
di wilayah perairan di Laut Sulawesi.

Hal itu seiring dengan digunakannya Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai dasar klaim
perbatasan wilayah Malaysia dengan Indonesia.Lainnya yang ditimbulkan pasca lepasnya
Pulau Sipadan dan Ligitan di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di laut
Sulawesi adalah problematika pelaksanaan administrasi pemerintahan di wilayah
tersebut.

Dalam melaksanakan administrasi negara seperti melakukan pendataan,


pembangunan sarana dan prasarana di sebuah wilayah harus bebas dari adanya klaim
dari pihak lain. Apabila dilihat dari penjelasan yang ada UNCLOS 1982 mengenai
penetapan batas-batas wilayah kedua negara antara Malaysia dan Indonesia, sebenarnya
sudah sangat jelas.

Artinya, merujuk pada konvensi hukum laut internasional ini, wilayah Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di laut Sulawesi merupakan wilayah administrasi dari
Indonesia. Sebagai pemilik wilayah, Indonesia seharusnya dapat dengan leluasa untuk
melaksanakan administrasi pemerintahan di wilayah tersebut. Meskipun demikian, hal itu
tidak dapat dilakukan Indonesia karena adanya duplikasi (overlapping) klaim di wilayah
Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di laut Sulawesi.

Sementara dari pihak Malaysia yang juga merasa mempunyai hak atas wilayah
tersebut, negara ini sudah beberapa kali mencoba melakukan atau melaksanakan
administrasi pemerintahan misalnya dengan menanam rumpon. Penanaman rumpon
tersebut merupakan salah satu upaya untuk membuat landasan administrasi

Pemerintahan sehingga bila hal tersebut berhasil, maka Malaysia dengan mudah
akan melaksanakan administrasi pemerintahan secara terbuka dan terang-terangan.
Upaya Malaysia ini mendapat perlawanan dari TNI AL dengan memotong dan merusak
rumpon yang telah ditanami.
Problematika yang terjadi terkait dengan pelaksanaan administrasi pemerintahan
di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di laut Sulawesi adalah di lokasi ini
seakan-akan ada suatu kekosongan aktivitas atau kegiatan baik dari pemerintah
Indonesia maupun Malaysia. Kevakuman administrasi pemerintahan ini, dapat
memunculkan upaya yang lebih besar dari Malaysia untuk berjuang merebut wilayah ini.
Upaya ini dilakukan untuk menambah perluasan wilayahnya yakni Pulau Sipadan
dan Ligitan yang sudah lebih dulu diperolehnya melalui 11
keputusan ICJ. Bila hal tersebut terjadi, maka Indonesia kemungkinan akan kehilangan
lagi wilayah administrasinya.

Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan berimbas pada sulitnya pengembangan dan
pengelolaan wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di laut Sulawesi. Hal itu
dikarenakan kepemilikan atas kedua pulau ini turut memberi andil dalam mendorong
Malaysia gencar melakukan klaim atas wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di
laut Sulawesi.

Adanya usul dari Malaysia untuk membentuk kerjasama seperti JointHydrographic


Survey, Joint Exploration, dan bentuk kerjasama lainnya dalam mengelola sumber daya
yang ada di wilayah tersebut tidak boleh diterima oleh Indonesia.

Dengan penerimaan usulan tersebut akan memberikan angin segar bagi Malaysia
mengenai keberadaan wilayah perairan di Laut Sulawesi yang di dalamnya terdapat Blok
Ambalat yang akan dijadikan sebagai ”daerah milik bersama”. Hal tersebut justru akan
menjadi bumerang bagi Indonesia, karena kerjasama di Wilayah Ambalat akan
memberikan pembenaran akan kepemilikan Malaysia terhadap wilayah tersebut.

Haris Djoko Nugroho.Eksistensi Konsesi Minyak di Laut Sulawesi dan


Relevansinya dalamPerundingan Batas Maritim Republik Indonesia dan Malaysia,
Departemen Kelautan RI, Jakarta, 2012, hlm. 89.

Sebagai negara yang lebih dahulu mengelola Blok Ambalat posisi Indonesia cukup
kuat, akan tetapi terlepasnya pulau Sipadan dan Ligitan telah membuat perbedaan besar
dalam hal penetapan batas wilayah perbatasan. Hal ini yang menjadi tantangan terbesar
bagi pemerintah dalam melakukan pengembangan dan pengelolaan sumber daya alam
yang ada di wilayah tersebut.

Adanya upaya Malaysia dalam penetapan batas wilayah perbatasan secara


sepihak, mengakibatkan Indonesia tidak lagi dengan bebas melakukan pengembangan
dan pengelolaan di wilayah tersebut.

Hal itu dikarenakan dengan menerapkan cara penarikan batas wilayah perbatasan
khususnya melalui peta yang diterbitkan Malaysia tahun 1979, maka wilayah Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di laut Sulawesi menyebabkan terjadinya duplikasi klaim
dari kedua negara.
Implikasi yuridis lainnya terhadap Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di laut
Sulawesi dengan lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan adalah munculnya masalah
pertahanan dan keamanan di wilayah tersebut. Sejak tahun 2005 sampai saat ini 12
kawasan wilayah perairan di Laut Sulawesi yang di dalamnya terdapat blok Ambalat
benar-benar menjadi idola dan menjadi bahan perbincangan yang hangat di kalangan
masyarakat baik di Indonesia maupun Malaysia. Belum adanya batas-batas yang jelas di
sekitar Laut Sulawesi, menyebabkan Indonesia hanya dapat melakukan tindakan
pencegahan, kegiatan patroli, dan pemantauan terhadap adanya Kapal Malaysia yang
mencoba masuk ke wilayah tersebut tanpa ijin.

Indonesia sendiri seharusnya membangun pertahanan dan keamanan di sekitar


lokasi yang betujuan untuk memantau kehadiran kapal, pesawat asing di seluruh wilayah
NKRI, khususnya mulai dari Kawasan Pertahanan Lapis pertama, yakni ruang wilayah
pertahanan lautan dan udara yang terletak di luar ZEE, atau pada kawasan Pertahanan
Lapis Kedua yang terletak di dalam ZEE dan Zona Tambahan atau minimal pada kawasan

Pertahanan Lapis Ketiga yakni yang berada di ruang wilayah pertahanan daratan,
lautan dan udara yang terletak mulai dari garis batas teritorial ke dalam. Hal itu tidak
dapat dilakukan karena selain terbatasnya sarana yang dimiliki TNI AL, juga dikarenakan
adanya klaim yang sama dari pihak Malaysia.

Upaya yang dapat dilakukan Indonesia terkait dengan adanya duplikasi


(overlapping) klaim di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia
di laut Sulawesi

Hasil kajian ini memperlihatkan bahwa upaya yang dapat dilakukan dalam
penyelesaian duplikasi (overlapping) klaim di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
Indonesia di Laut Sulawesi adalah upaya politik hukum secara damai, jalur diplomasi, jalur
Mahkamah Internasional atau ICJ, jalur Mahkamah Internasional Hukum Laut
(International Tribunal for the Law Of Seal/ITLOS), dan penyelesaian dengan cara
mengambang atau membiarkan.

2.2Awal Permasalahan Sengketa Wilayah Pulau Sipadan dan Pulau


Ligitan

Sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia bermula dari pertemuan kedua
delegasi dalam penetapan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di Kuala
Lumpur pada tanggal 22 September 1969. Pada waktu pembicaraan landas kontinen di
laut Sulawesi, kedua delegasi sama-sama mengklaim Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
sebagai miliknya. Pulau Sipadan terletak 15 mil laut sekitar 24 kilometer dari pantai
daratan Sabah Malaysia dan 40 mil laut sekitar 64 kilometer dari pantai timur Pulau
Sebatik dimana bagian utara merupakan wilayah Malaysia dan bagian timur selatan
merupakan wilayah Indonesia.
posisi Pulau Ligitan terletak 21 mil laut sekitar 34 kilometer dari pantai daratan
Sabah Malaysia dan 57,6 mil laut sekitar 93 kilometer dari pantai timur Pulau Sebatik.
Luas Pulau Sipadan adalah 10,4 hektar dan Pulau Ligitan adalah 7,9 hektar. Disinilah titik
sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.
Titik awal klaim pemerintah Indonesia tampaknya lemah dan tidak
mencantumkan kedua pulau tersebut dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang yakni, Perpu No. 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Di pihak lain,
kelemahan Malaysia tampak pada peta yang diterbitkan hingga tahun 1970-an tidak
pernah mencantumkan kedua pulau tersebut.
Dalam meja perundingan kedua belah pihak baik pemerintah Indonesia maupun
pemerintah Malaysia sepakat untuk menetapkan sebagai status quo atas kedua pulau
tersebut. Sehubungan dengan masalah ini, kedua negara pada tanggal 22 September
1969 menyetujui Memorandum of Understanding (MOU) yang menetapkan Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan dalam status quo yang berarti tidak boleh ditempati, diduduki
maupun dimanfaatkan baik oleh Indonesia maupun Malaysia.
Namun, mulai tahun 1979 Malaysia berubah sikap dan mengambil langkah-
langkah secara unilateral dengan menerbitkan peta-peta yang menunjukkan kedua pulau
sebagai bagian dari Malaysia, memberikan sejumlah izin kepada sejumlah perusahaan
swastanya untuk menyelenggarakan kegiatan pariwisata di Pulau Sipadan dan mendirikan
instalansi-instalansi listrik di pulau tersebut. Indonesia menganggap bahwa kegiatan-
kegiatan tersebut melanggar kesepakatan yang telah dicapai dalam status quo.

Menurut John T. Rouke dan Mark A. Boyer, negara mempunyai berbagai


tehnik untuk menerjemahkan kekuatannya yang potensial menjadi kekuatan yang
efektif tanpa harus menggunakan cara kekerasan. Suatu negara sebagai aktor utama
harus memiliki kekuatan tersendiri dimana kekuatan merupakan elemen terpenting
pada sistem diplomasi pada setiap negara dalam mengejar tujuan maupun
kepentingan.

Tingkatan kekuatan dapat diartikan sebagai kemampuan nasional suatu


negara. Kekuatan merupakan sumber politik dimana jumlah dari berbagai elemen
yang memperbolehkan satu negara untuk memiliki kepentingan yang melebihi
dibandingkan dari negara lainnya.

Kekuatan memiliki arti yang sangat beragam termasuk di dalamnya adalah


jumlah persenjataan maupun moral dari publik suatu negara. Dengan kata lain,
kekuatan nasional merupakan atribut dari suatu negara yang dapat dipergunakan
untuk mencapai tujuan meskipun terdapat benturan tujuan dengan aktor
internasional.10 Kekuatan yang dimiliki suatu negara dapat mempengaruhi di dalam
menjalankan diplomasi untuk mencapai kepentingan nasionalnya.

Kekuatan memiliki kemampuan untuk mengontrol yaitu mengontrol sumber


daya, mengontrol tingkah laku aktor atau negara lainnya, mengontrol kejadian dan
juga mengontrol interaksi antar negara, bahkan mengontrol struktur interaksi itu
sendiri. Negara memiliki kemampuan sebagai pengambil keputusan dan memiliki
keuntungan di dalamnya.

2.3Kepentingan Nasional dan Diplomasi

Kepentingan nasional merupakan suatu hal yang tidak dapat ditawar-tawar


seperti halnya integritas wilayah yang bersangkutan dengan kedaulatan suatu
bangsa. Perbedaan kepentingan nasional dapat menimbulkan suatu sengketa
tersendiri antara satu negara dengan negara yang lain. Untuk itulah diperlukannya
cara-cara khusus diantara negara yang bersengketa tersebut agar kepentingan
nasional dari masing- masing negara terpenuhi. Kepentingan nasional memiliki
beberapa pengertian atau makna yang beragam.

Bruce Russett dan Harvey Starr menyatakan bahwa kepentingan nasional


dapat terwujud dengan menggunakan diplomasi yang sifatnya tanpa paksaan dimana
kepentingan nasional dapat diselesaikan secara damai dengan jalan negosiasi yang
nantinya akan menghasilkan perjanjian dengan menggunakan batas waktu yang jelas
dari penyelesaian sengketa itu sendiri. Tujuan negara di dalam diplomasi merupakan
sebuah kepentingan nasional yang berhubungan dengan tingkah laku suatu negara.
Di pemerintahan apa pun, termasuk di dalamnya negara demokrasi, akan terus
mengejar kepentingan nasionalnya.

Di negara dengan sistem sosial yang besar harus mengetahui terlebih dahulu
mengenai pilihan individu dimana nantinya pilihan mereka menjadi suatu suara
kolektif. Kepentingan nasional dapat diindikasikan sebagai nilai yang utama ataupun
tujuan akhir dari kebanyakan penduduk suatu negara seperti keamanan,
kemakmuran, dan juga perdamaian. Kemampuan pemerintah untuk mengontrol
penduduknya serta kemampuan penduduk untuk

Mengkomunikasikan apa yang menjadi kebutuhan menjadi sesuatu yang


saling berkaitan. Ini berarti dari pemerintah sendiri harus memenuhi apa yang
menjadi kebutuhan dari penduduknya 11 Merupakan suatu kewajiban bagi negara
dalam sistem internasional untuk memberikan tanggapannya atas situasi yang
mengandung permasalahan- permasalahan dan berbagai tujuan nasional yang
diinginkannya oleh negara sesuai dengan kepentingan nasionalnya masing-masing.

Menurut T. Soeprapto bahwa kepentingan nasional dapat pula diartikan


sebagai kekuatan (power), artinya bahwa posisi kekuatan harus dimiliki negara
merupakan perimbangan utama yangmemberikan bentuk kepada kepentingan
nasional. Bahwa suatu situasi atau tujuan nasional harus dievaluasi dan diukur
dengan menggunakan tolak ukur posisi kekuatan negara.

Kepentingan nasional dapat melukiskan aspirasi negara dan kepentingan


nasional dapat dipakai secara operasional yang dapat dilihat dalam aplikasinya pada
kebijaksanaan kebijaksanaan yang aktual serta rencana-rencana yang dituju. Dengan
demikian baik kebijaksanaan maupun rencana yang dituju berorientasi kepada
kepentingan nasional.
Oleh karena operasionalnya, kepentingan nasional menyangkut
kebijaksanaan-kebijaksanaan negara serta rencana-rencana yang hendak dituju,
akibatnya sering kepentingan nasional menjadi bahan polemik, bahkan sering
kepentingan nasional digunakan untuk memberikan justifikasi bagi negara. Kepentingan
nasional dapat dirumuskan secara luas sehingga perlu memasukkan pertimbangan-
pertimbangan moral, agama maupun kesejahteraan. Kepentingan nasional dibuat
sepanjang negara benar-benar bertanggung jawab atas kesejahteraan dan memenuhi
kebutuhan sosial warga negaranya.

12 Dari paparan diatas ada keterkaitan antara kepentingan nasional dan negosiasi.
Kepentingan nasional merupakan hal-hal yang dianggap penting oleh suatu negara,
menjadi landasan bagi kebijakan luar negeri yang berfungsi sebagai media untuk
memperoleh kepentingan nasional tersebut. Sedangkan alat untuk dapat menjalankan
kebijakan tersebut digunakan negosiasi. yang dapat menimbukan kecemasan dan
berpendapat bahwa perimbangan kekuatan tidak dapat dipercaya dan tidak dapat
dikendalikan pada pelaksanaannya. Bahwa perimbangan kekuatan hanya dapat dikaitkan
dengan hubungan militer dan mengabaikan efek dari suatu kemajuan yaitu moral dan
pembangunan material. Rasionalis mempercayai dan mengkonsentrasikan kepada nilai
dari elemen kerjasama internasional dalam kondisi yang unggul pada anarki
internasional. Rasionalis bersifat tradisional dari hukum alam, dan dapat disebut sebagai
naturalis. Penulis hukum internasional tradisional membagi ke dalam naturalis, positivis,
dan Grotians.

Naturalis melihat hanya kepada hukum dari suatu bangsa yaitu hukum alam,
positivis melihat kepada kebalikannya yaitu hanya kepada hukum suatu bangsa dengan
adanya perjanjian dan hukum alam adalah non-legal. Grotians merupakan kombinasi dari
keduanya, dimana hal yang terpenting dari keduanya adalah hukum kebangsaan. Grotian
tidak menitikberatkan kepada strategi dan kekuatan militer dan lebih melihat
kepada keamanan dalam kerjasama dan aliansi pertahanan karena masyarakat
internasional tidak selalu menggunakan kekuatan (power), melihat kepada pengaturan
perdamaian dibandingkan kepada kekuatan agresif (aggresive power). Realis
menitikberatkan hubungan internasional merupakan elemen anarki, kekuatan politik dan
juga perang.

Realis penuh dengan kekerasan, dosa, penderitaan dan juga konflik. Machiavelli
merupakan salah satu tokoh yang mempunyai pemikiran realisme. Bagi Machiavelli
karakteristik konsep realis yaitu pada perimbangan kekuatan (balance of power) dan
menekankan bahwa tidak adanya

masyarakat internasional, yang ada hanya perang antara negara terhadap negara
lainnya. Konsep perimbangan kekuatan menjadi sesuatu hal yang fundamental pada
semua teori internasional sedangkan tidak adanya masyarakat internasional
(international society) membuat negara menjadi sebuah “tubuh” yang memiliki
perlindungan dan dapat mengatur kemakmuran dari setiap anggotanya (society).
Machiavelli tidak pernah percaya dengan adanya masyarakat internasional dan
mengabaikan adanya sebuah institusi.
Secara klasikal diplomasi dapat dikaitkan dengan pemikiran Grotian yang
memandang secara kondisi objektif demi tercapainya negosiasi-diplomasi yaitu adanya
pihak yang mengadakan transaksi (dealing) pada persamaan tingkatan dan Penyelesaian
sengketa

Kegiatan kedaulatan Malaysia ini menurut pengamatan Mahkamah tidak pernah


diprotes oleh Indonesia. Semua fakta sejarah ini cukup meyakinkan bahwa Malaysia telah
menunjukkan kegiatan berdaulatannya atas kedua pulau tersebut dan sudah cukup
membuktikan adanya keefektifan untuk syarat kedaulatan suatu negara atas kedua pulau
itu. Dalam hal ini, apa pun yang dilakukan oleh Indonesia sejak tahun
1969 seperti halnya menduduki kedua pulau tersebut, tetap tidak akan dapat
menghapus keefektifan Inggris atau Malaysia.35 Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan adalah
pelajaran berharga bagi Indonesia. Sehingga bila terdapat kasus yang serupa, Indonesia
harus lebih siap. Namun, setelah sempat tersembunyi lama, kasus kerawanan pulau
perbatasan mulai mencuat kembali. 12 pulau terancam. Pemerintah harus meningkatkan
perhatian pada pulau-pulau kecil terluar.

Perkembangan terkini dari berbagai laporan studi mengisyaratkan bahwa di


beberapa tempat yang wilayahnya masih berada wilayah di Indonesia, seperti di
perbatasan Kalimantan Barat misalnya, daerah kecamatan Sekayam dan kecamatan
Entikong atau di daerah perbatasan paling selatan yaitu ujung Pulau Rote yang
berbatasan dengan perairan Australia, atau di di daerah Miangas yang berbatasan
dengan Filipina, keinginan masyarakat untuk menentukan nasibnya sendiri (self-
determination) tidak terjadi baik dalam tataran masyarakat atau pemimpin. Namun
begitu, selama beberapa saat yang panjang, telah terjadi gerusan negatif yang
mempengaruhi kecintaan terhadap negeri yang berpengaruh pada berkurang atau
bertambahnya rasa nasionalisme. Beberapa penelitian mengisyaratkan telah

Terjadinya benih benih kekecewaan terhadap pemerintah pusat lantaran mereka


merasa sering dikunjungi pejabat dengan berbagai janji namun janji itu tidak terwujud
secara nyata.

Indonesia dan Filipina memiliki perbedaan secara fundamental mengenai


perbatasan wilayah laut. Hal ini karena undang-undang Filipina telah menetapkan garis
batas lautnya, sedangkan pemerintah Indonesia belum menyatakan dalam peraturan
perundang-undangan. Pulau lain yang berbatasan dengan Filipina adalah Pulau Miangas.
Penduduknya yang mayoritas suku Talaud, perkawinan dengan warga Filipina tidak bisa
dihindarkan lagi.

Wilayah ini rawan terorisme dan penyelundupan. 37 Pulau yang sangat banyak
dan sumberdaya alam yang melimpah tentunya sangat menguntungkan Indonesia,
namun sebaliknya juga, dapat menjadi ancaman. Ancaman itu seperti, kasus pencaplokan
pulau, dan pelanggaran batas laut oleh Negara tetangga.
Indonesia harus belajar dari kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, pemerintah
tidak boleh kecolongan lagi. Maka, perhatian kepada pulau terluar (pulau terdepan) dan
daerah perbatasan Indonesia harus diperkuat. Apalagi kesenjangan sosial masyarakat di
pulau terluar sangat mengkhawatirkan. Sangat kompleks persoalan di perbatasan
Indonesia yang harus mendapat perhatian serius pemerintah.

Para akademisi juga turut prihatin dengan kondisi pulau terluar, sehingga mereka
berusaha membantu pemerintah dengan melakukan penelitian di pulau terluar, agar hasil
penelitian itu dapat dijadikan pedoman untuk mengelola pulau
36 M. Mas’ud Said. "Perbatasan Negara dan Integrasi Bangsa." 37 Danar
widiyanta. Upaya Mempertahankan Kedaulatan dan Meberdayakan Pulau-Pulau Terluar
Indonesia Pasca Lepasnya Sipadan dan Ligitan (2002-2007).
Terluar dengan cara yang lebih efektif. Beberapa penelitian yang telah dilakukan,
yaitu oleh Danar Widiyanta dengan penelitian berjudul “Upaya Mempertahankan
Kedaulatan dan Meberdayakan Pulau-Pulau Terluar Indonesia Pasca Lepasnya Sipadan
dan Ligitan (2002-2007)” Dengan kesimpulan, antara lain: Masalah ketidakjelasan batas
negara dan status wilayah, Penerapan prinsip yang berbeda terhadap batas-batas landas
kontinen antar negara bertetangga,

Ada unsur kepentingan hukum, politik, ekonomi, keamanan dan kedaulatan.


Perkembangan, pengaruh situasi negara, regional dan internasional terhadap negara
tetangga, dan kurangnya antisipasi pemrintah akan kemungkinan munculnya konflik
perbatasan.

Selanjutnya penelitian oleh Ismeth Inounu, E. Martindah, R.A. Saptati, dan A.


Priyanti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor. Penelitian ini
berjudul "Potensi Ekosistem Pulau-Pulau Kecil dan Terluar untuk Pengembangan Usaha
Sapi Potong" dengan kesimpulan bahwa pulau kecil dan terluar dapat difungsikan sebaga
tempat peternakan sapi potong yang terintegrasi dengan program transmigrasi—dapat
menciptakan kesempatan kerja baik bagi para transmigran maupun masyarakat
setempat.

Hal ini perlu dukungan politis dari pemerintah pusat, daerah dan legislatif
terutama untuk pembangunan infrastruktur dan kebijakan pendukungnya.Selanjutnya
Penelitian Oleh Chairil N. Siregar dari FSRD-ITB dengan judul Analisis Potensi Daerah
Pulau-Pulau Terpencil Dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan, Keamanan Nasional, dan
Keutuhan Wilayah NKRI di Nunukan-Kalimantan Timur.

Penelitian ini berkesimpulan bahwa potensi daerah yang dimiliki oleh Kabupaten
Nunukan dan Sebatik adalah agro industri (perkebunan dan kehutanan), kelautan,
pertambangan, jasa pelabuhan, perdagangan internasional, dan pariwisata.

Selanjutnya penelitian oleh Ayub Torry Satriyo Kusumo dengan judul Optimalisasi
Pengelolaan dan Pemberdayaan Pulau-Pulau Terluar dalam rangka mempertahankan
Keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia. Dengan kesimpulan bahwa pulau-pulau
terluar merupakan sumber kekayaan yang belum tergarap sekaligus garda depan
ketahanan dan keamanan negara. Tanpa pengelolaan dan perlindungan yang optimal,
kekayaan negara sangat mudah dicuri oleh pihak luar dan keamanan negara pun
terancam. Sehingga usaha-usaha perlindungan dan pengelolaan harus segera dilakukan.

Pulau Miangas (Las Palmas) sempat menjadi sengketa antara Indonesia dan
Filipina, namun pada tahun 1976 telah di sepakati protokol ekstradisi (Lihat lampiran).
Kepemilikan atas pulau Miangas belum menjadi keuntungan besar bagi Indonesia di
karenakan pemanfaatan potensi laut dan darat di pulau Miangas belum tersentuh
pemerintah Indonesia. “Tak kenal maka tak sayang” pepatah ini mempunyai makna
bahwa kita harus mengenal objek untuk dapat menyayanginya.

Bila pepatah ini dikaitkan dengan pengelolaan pulau terluar, maka pemerintah
harus melakukan upaya-upaya untuk “mengenal” seperti mendatangi dan mengamati lalu
kemudian pemerintah “menyayangi” dengan mengelolanya. Seperti kata filsuf China,
Meng-Tse ''Hanya orang berjiwa besar yang dapat melakukan langkah besar” pemerintah
harus berjiwa besar untuk dapat mengelola potensi pulau terluar agar dapat
berkontribusi pada pembangunan nasional.

Sebenarnya pemerintah telah berupaya mengeluarkan kebijakan dalam


pengelolaan pulau terluar melalui:
(1) UU 26/2007 tentang Penanaman Ruang yang diteruskan dalam PP 26/2008
tentang RTRWN;
(2) UU 27/2007 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, dan diperkuat
dengan Grand Design (yang telah tersusun untuk menjadi pedoman stakeholders
pengelola pulau terluar) yang berisi: Arah pengembagan pulau terluar dalam
pemberdayaan masyarakat, pemanfaatan potensi, dan pembangunan infrastruktur pulau
terluar;
(3) Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional;
(4) Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-
pulau Kecil Terluar;
(5) Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pulau-pulau Kecil Terluar;
(6) Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014;
(7) Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola
Perbatasan;
(8) Peraturan Kepala BNPP No. 1 Tahun 2011 tentang Desain Besar Pengelolaan
Batas Wilayah Negara Dan Kawasan Perbatasan Tahun 2011-2025;
(9) Peraturan Kepala BNPP No 2 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pengelolaan
Batas Wilayah Negara Dan Kawasan Perbatasan Tahun 2011-2014; dan
(10) Rencana Induk dan Rencana Aksi Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan
Kawasan Perbatasan yang ditetapkan melalui Perka BNPP tahun 2010. Setelah terbit
Perpres 78/2005 tentang Pulau Terluar juga telah menegaskan perlunya perhatian khusus
pada pengelolaan 92 pulau terluar dalam menjaga kedaulatan wilayah NKRI.
Pada Tahun 2008, telah terbit Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang
Wilayah Negara, yang kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya Perpres Nomor 12

Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan. Sungguh pun


demikian, perubahan paradigma dalam memandang wilayah perbatasan saat ini seolah
masih dipengaruhi tradisi sentralistik, untuk rakyat (bukan bersama rakyat), perencanaan
cetak biru yang bersifat hierarkis, teknokratnya memberi arahan (technocratic guidance).
Padahal, di era demokratis dewasa ini kita memerlukan suatu analisis bagi kebijakan
publik serta memerlukan scientific management public choice dan demokratis. Intinya
adalah membangun wilayah perbatasan itu merupakan pilihan publik yang
mengintegrasikan antara rasional dan aspiratif yang lebih bersifat desentralistik,
interaktif, dan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholder) di daerah.
Ilmuwan politik Carl J. Friedrich (Dunn, 1981) merumuskan kebijakan sebagai
bentuk tindakan yang dibuat oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu
kesempatan dan tantangan lingkungan, di mana kebijakan diajukan untuk digunakan
menanggulangi kesulitan atau permasalahan yang terjadi dalam usaha mencapai tujuan
atau merealisasikan program atau

Tujuan yang dikehendaki.Sebagai pelaksana dari berbagai kebijakan yang telah


ditetapkan, pemerintah seharusnya sesuai dengan konsep George R. Terry, yakni POAC
(Planning, Organizing, Actuating & Controlling). POAC yang dimaksud, yakni:
perencanaan, pengorganisasian, penggerak dan pengawasan. Bila mengikuti teori POAC
ini, maka akan mudah pemerintah mensirkulasi kebijakan mulai dari proses perencanaan
hingga pengawasan.

H.M. Soerya Respationo. Kebijakan Pertahanan di Perbatasan Maritim. Hlm. 6. 39


Faried Ali dan Andi Syamsu Alam. 2012. Studi Kebijakan Pemerintah. Bandung: Refika
Aditama.. Hlm. 16.

Kebijakan pemerintah yang telah ditetapkan, jangan sampai menjadi sebuah


keresahan di masyarakat, dan seperti kata Albert Einstein, “Tidak ada yang lebih merusak
martabat pemerintah dan hukum sebuah negeri, dibanding meloloskan undang-undang
yang tidak bisa ditegakkan.”

Pengelolaan pulau terluar saat ini perlu diperhatikan mengingat isu strategis
perbatasan, yaitu diantaranya:

1) Aspek Batas Wilayah Negara, permasalahan batas wilayah negara meliputi


batas darat, batas laut (maritim), dan batas udara. Untuk batas darat persoalannya
adalah dalam penegasan batas wilayah negara yang belum tuntas, serta administrasi dan
pemeliharaannya, baik di Kalimantan, Papua, maupun di Timor. Akibatnya perencanaan
pembangunan wilayah perbatasan jadi terkendala.

2) Aspek Ekonomi, cara pandang dan perlakuan terhadap daerah perbatasan di


masa lalu menempatkan daerah perbatasan sebagai buffer zone pertahanan dan secara
ekonomi terkesan diperlakukan sebagai halaman belakang yang tertinggal. Akibatnya
pembangunan ekonomi tersisihkan oleh pandangan potensi ancaman dari luar terhadap
kedaulatan dan keamanan wilayah. Pandangan ini memposisikan kawasan perbatasan
sebagai security belt, dan aktivitas ekonomi praktis tidak berkembang.

3) Aspek Sosial-budaya, kualitas sumberdaya manusia yang relatif rendah


membuat nilai keunggulan kompetitif masyarakat perbatasan menjadi sangat rendah dan
berakibat pada kendala dalam pengembangan ekonomi di kawasan perbatasan. Kondisi
prasarana dan sarana pendidikan, kesehatan, dan akses terhadap informasi dan lapangan
kerja yang sangat kurang di perbatasan dihadapi oleh masyarakat
perbatasan, yang mengakibatkan tingkat kehidupan sosial mereka tertinggal
dibanding dengan masyarakat di negara tetangga dan dengan masyarakat di luar kawasan
perbatasan.
4) Aspek Pertahanan dan Keamanan, pertahanan dan keamanan di kawasan
perbatasan wilayah Negara, sangat erat hubungannya dengan status penyelesaian garis
batas antar negara dan pembangunan di perbatasan. Terbatasnya jumlah aparat serta
prasarana dan sarana pendukung operasi lapangan dalam rangka pelaksanaan kegiatan
pertahanan keamanan di perbatasan negara, masih sangat kurang dan tidak sebanding
dengan panjang garis batas yang harus diawasi. Sehingga persoalan-persoalan krusial
yang sering muncul adalah pemindahan patok batas, kerusakan lingkungan, dan berbagai
pelanggaran perbatasan, serta aktivitas ilegal lainnya.

5) Aspek Sumberdaya Alam dan Lingkungan, di beberapa kawasan perbatasan


terjadi upaya pemanfaatan sumberdaya alam secara ilegal, tak terkendali, sehingga
mengganggu keseimbangan ekosistem dan kelestarian lingkungan hidup. Sering
dilaporkan terjadi polusi asap lintas batas, banjir, longsor, tsunami, dan degradasi pulau.
Hal ini cukup sulit diatasi karena keterbatasan pengawasan pemerintah dan belum
tegaknya supremasi hukum secara lugas, tegas, dan adil.

6) Aspek Kelembagaan dan Capacity Building, sejak diberlakukannya UU No. 22


tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian direvisi dengan UU No. 32
tahun 2004, pengelolaan kawasan perbatasan menjadi tanggung jawab bersama antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan prinsip urusan bersama
(concurrence). Namun, Pemda belum cukup memiliki kapasitas yang

Memadai dalam pengelolaan kawasan perbatasan terutama terkait dengan


permasalahan kewenangan wilayah administrasi dan kompleksitas pembangunan yang
melibatkan banyak pihak dan sektor serta masih terjadinya tarik-menarik kewenangan
antara pusat dan daerah dalam hal pelaksanaan berbagai rencana pembangunan dan
pengelolaan kawasan perbatasan yang diatur oleh berbagai peraturan
perundangundangan yang tumpang tindih.

Kerjasama antar negara juga sangat penting dalam pemecahan dan penangkalan
berbagai pelanggaran hukum dan kedaulatan negara, seperti transboundary illegal
trading, illegal logging, illegal fishing, human trafficking, dan berbagai kegiatan
penyelundupan lainnya. Hingga saat ini masih sering terjadi berbagai kejadian tersebut
baik melalui perbatasan darat maupun perbatasan laut menandakan belum optimalnya
kerjasama antar negara ini.40

Bila mengamati kebijakan pemerintah di pulau terluar, dapat diklasifikasi fokus


kebijakannya hanya pada dua hal: prosperity (kesejahteraan) dan security (keamanan).
Aspek prosperity bila dikembangkan dapat mengurangi gejala sosial di perbatasan,
seperti dalam pandangan (Suharto, 1997)

Pembangunan kesejahteraan sosial merupakan usaha yang terencana dan


melembaga yang meliputi berbagai bentuk intervensi sosial dan pelayanan sosial untuk
memenuhi kebutuhan manusia, mencegah dan mengatasi masalah sosial, serta
memperkuat institusi-institusi sosial. Untuk lebih memfokuskan penelitian ini, maka
peneliti akan lebih banyak meneliti aspek prosperity-nya.
40 Sobar Sutisna, dkk. 2011. Rekomendasi Kebijakan Pengelolaan Perbatasan di
Indonesia. Jakarta: Kemitraan Partnership. Hlm. V

Secara teoritis dikatakan bahwa sebuah bangsa terwujud dan kuat apabila
memiliki syarat apa yang disebut oleh Soekarno—mengikuti pendapat Ernest Renan—“le
desire d‟etre ensemble” atau kehendak akan bersatu. Dalam pandangan kredo Tentara
Nasional Republik Indonesia (TNI), “serangan atas suatu titik di wilayah Indonesia
diartikan sebagai serangan kepada seluruh wilayah negara”.

Soekarno mengingatkan, syarat pendirian suatu bangsa yang didasarkan pada


keinginan yang kuat dari setiap elemen masyarakat untuk bersatu. Keinginan bersatu itu
bisa terpupuk maupun menipis tergantung kepada seberapa jauh unsur negara,
pemimpin lokal dan manisnya pembangunan menghampiri mereka. Kasus Balkanisasi di
Rusia tahun 90-an, gejala dan pengaruh Arab Spring dan gejolak-gejolak ketidakpuasan
beberapa elemen masyarakat di berbagai bagian perbatasan kita adalah pelajaran
penting bagi keinginan untuk menjaga keutuhan dan memupuk kecintaan semua elemen
masyarakat di pojok-pojok negeri ini.

Kalahnya perebutan pulau Sipadan dan Ligitan dengan Malaysia, kasus


pindahnya batas wilayah di Kalimantan Barat, menambah data bahwa, ada pekerjaan
berat yang mestinya dilakukan, namun belum berhasil dilakukan oleh pemerintah dan
elemen penting bangsa lainnya. Dalam kaitan menjaga kecintaan dan nasionalisme,
kuatnya kecintaan warga perbatasan adalah pengamanan terkuat keutuhan bangsa.

Untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan wilayah negara, perlu adanya
suatu penekanan kembali mengenai pemahaman cara pandang dan sikap bangsa
mengenai diri dan lingkungannya yang disebut dengan wawasan nasional atau Wawasan
Nusantara dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa
41 M. Mas’ud Said. Op. Cit.

Wawasan Nusantara yang bersumber dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar


1945, serta TAP MPR No.II/MPR/1998 perlu terus dikembangkan dan diimplementasikan
yang menyangkut implementasi perwujudan geografis dan keragaman dalam wadah
negara Indonesia sebagai satu kesatuan yang utuh di bidang politik, ekonomi, sosial
budaya, dan pertahanan keamanan.

Untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan negara seperti yang diamanatkan UUD
1945, maka perlu diperhatikan nilai-nilai yang terkandung dalam Wawasan Nusantara.42
Dari sekian banyak komleksitas permasalahan di pulau terluar, peneliti ingin
mendeskripsikan bagaimana kinerja pemerintah dalam mengelola pulau terluar. Maka
peneliti mengambil judul: Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan pulau terluar
Indonesia (Studi di Pulau Miangas Kabupaten Kepulauan Talaud Provinsi Sulawesi Utara).

2.4 Manfaat dan Hikmah yang dapat di ambil lepasnya pulau sipadan dan
ligitan
1. Kegunaan Akademik

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan untuk perkembangan


kajian tentang Pengembangan Pulau Terluar, Kebijakan Perbatasan, Kemaritiman, dan
Pengembangan Potensi Perbatasan di jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas
Muhammadiyah Malang. Semoga Penelitian ini mampu mengantarkan jurusan Ilmu
Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang unggul dalam kajian tentang
Pengelolaan Pulau Terluar yang selanjutnya dapat terus dikembangkan oleh mahasiswa-
mahasiswa Ilmu Pemerintahan yang tertarik meneliti tentang pulau terluar.

2. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan menjadi acuan dan pedoman pemerintah dan pemerhati
pulau terluar dalam pengeloaan dan pengembangan pulau terluar di Indonesia, agar
dapat ditumbuhkembangkan sehingga dapat menguntungkan negara yang kemudian
digunakan untuk men-sejahterakan masyarakat Indonesia. Penelitian ini juga
diperuntukkan bagi pengelola lokal pulau terluar, yang terutama pemerintah kabupaten
Kabupaten Kepulauan Talaud, pemerintah provinsi Sulawesi Utara, dan daerah serta
provinsi lain yang juga mengurus pulau-pulau terluar perbatasan.

BAB 3

PENUTUP
3.1 Konseptual dan kesimpulan
Definisi konseptual adalah unsur atau bagian penting dalam penelitian dan
merupakan definisi yang dipakai oleh para peneliti untuk menggambarkan secara abstrak
suatu fenomena sosial atau fenomena yang alami.44 Definisi konseptual ini dimaksudkan
untuk memberikan penegasan tentang makna arti dari kalimat yang ada dalam
permasalahan yang disajikan. Sehingga, dengan adanya penegasan arti tersebut akan
mempermudah dalam memahami maksud kalimat yang tercantum dalam penelitian.45
Maka dalam penelitian ini, peneliti membagi menjadi dua konsep yaitu

(1) kebijakan pemerintah

(2) pengelolaan pulau terluar.

Kebijakan yang dimaksud di sini adalah kebijakan pemerintah. Kebijakan (policy)


adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok
politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu.

Singarimbun, Masri. 1982. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES. Hlm. 17. 45
Hamidi. 2004. Metode Penelitian Kualitatif, Aplikasi Praktis Pembuatan Proposal dan
Laporan penelitian. Malang: UMM Press. Hlm.

Pada prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan-kebijakan itu mempunyai


kekuasaan untuk melaksanakannya.

Para sarjana menekankan aspek kebijakan umum (public policy, beleid),


menganggap bahwa setiap masyarakat mempunyai beberapa tujuan bersama. Cita-cita
bersama ini ingin dicapai melalui usaha bersama, dan untuk itu perlu ditentukan rencana-
rencana yang mengikat, yang dituang dalam kebijakan (policies) oleh pihak yang
berwenang, dalam hal ini pemerintah.4

Dari penjelasan tentang kebijakan pemerintah di atas, peneliti menyimpulkan


bahwa, kebijakan pemerintah adalah sebuah keputusan yang diambil pemerintah, yang
sebelumnya telah direncanakan, untuk mencapai sebuah tujuan. Bila dikaitkan dengan
penelitian ini, maka kebijakan pemerintah adalah sebuah keputusan yang telah
direncanakan sebelumnya untuk mengelola pulau terluar Indonesia.

Pengelolaan Pulau Terluar Secara etimologi definisi Pengelolaan Menurut Harsoyo


(1977:121) dalam Zulfikar Putra (2011): “Pengelolaan adalah suatu istilah yang berasal
dari kata “kelola” mengandung arti serangkaian usaha yang bertujuan untuk menggali
dan memanfaatkan segala potensi yang dimiliki secara efektif dan efisien guna mencapai
tujuan tertentu yang telah direncanakan sebelumnya.”

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pengelolaan adalah


sebuah usaha untuk mengatur, memberdayakan, mengusahakan, me-manajemen,

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka


Utama. Hlm. 20 47 Ibid. Hlm. 21

mengorganisasi, menyusun, mengarahkan, dan memanfaatkan sumberdaya dan potensi


yang ada untuk tujuan-tujuan yang telah direncanakan. Menurut Ott, Hyde dan Shafrits
(1991:1) “Manajemen pemerintahan adalah bagian utama dari bidang kajian Administrasi
Negara yang sangat luas. Manajemen pemerintahan berkaitan dengan fungsi-fungsi
kontrol dan proses-proses manajemen pada bagian di semua tingkatan pemerintahan
sebagai sektor nirlaba.”

Perlu diketahui, dimensi-dimensi manajemen pemerintahan, yaitu: manajemen


perencanaan, manajemen keorganisasian, manajemen sumberdaya manusia aparatur,
manajemen sumber-sumber keuangan, manajemen kinerja, manajemen pelayanan
umum, manajemen pengawasan, dan manajemen kolaborasi dan konflik.48 Jr. dan Hays
(dalam Ott dkk, 1991:10) mengaktualisasikan fungsi-fungsi manajemen pemerintahan
berdasarkan pendapat Luther Gulick (1937) dengan akronim POSDCORB (Planning,
Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, reporting, Budgeting).49

Pulau terluar adalah pulau yang berada di garis batas Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Menteri Pemuda dan Olahraga, Roy Suryo bahkan mengatakan pulau terluar
adalah pulau terdepan Nusantara. Pulau terluar juga diistilakan sebagai Pulau-Pulau Kecil
Terluar. Pulau Pulau Kecil Terluar (PPKT) adalah garis depan Nusantara. Posisinya sangat
strategis untuk menarik garis Batas Laut Teritorial, Zona Tambahan, Batas Landas
Kontinen, dan zona ekonomi Eksklusif. Indonesia yang telah diakui oleh UNCLOS, berhak
menentukan garis batasnya. Dari 183 Titik Dasar

48 Prof. Dr. Sadu Wasistiono, MS. Manajemen Pemerintahan 49 Ibid.

(TD) yang menjadi patokan untuk menarik garis pangkal, tercatat ada 92 TD
berada di pulau-pulau kecil terluar. Hal ini berarti keberadaan PPKT sangat vital dalam
kerangka kedaulatan negara dan keamanan negara. Dipertegas lagi oleh PP No. 38 Tahun
2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

Di situ disebutkan bahwa ada 92 PPKT yang menjadi acuan menarik garis pangkal.
Kurang lebih hanya sepertiga dari PPKT yang dihuni, selebihnya masih berupa hutan
bervegetasi lebat sampai jarang. Selain itu beberapa PPKT memiliki potensi wisata,
keanekaragaman terumbu karang, dan sumber daya perikanan (Retraubun et al 2005). 2.
Definisi Operasional

Definisi operasional (operational definition), “specifies procedures that allow one


to experience or measure a concept” (menjelaskan prosedur yang memungkinkan
seseorang mengalami atau mengukur suatu konsep).

Suatu definisi operasional menjelaskan dengan tepat bagaimana suatu konsep


akan diukur, dan bagaimana pekerjaan penelitian harus dilakukan.51 Dalam penelitian ini
yang berjudul “kebijakan pemerintah dalam pengelolaan pulau terluar Indonesia”, dapat
dirumuskan menjadi beberapa operasional, diantaranya:

A Kebijakan Pemerintah
1) Perencanaan yang telah dilakukan pemerintah sebelum mengeluarkan
kebijakan

50 Suyanto, Bagong. dan Sutinah (Ed.). Op. Cit. Hlm. 76. 51 Ibid.

2) Usaha-usaha untuk kesejahteraan masyarakat telah dilakukan pemerintah


dalam pengelolaan pulau terluar

3) Arah dan rencana pengembangan pulau terluar

4) Peraturan yang telah dilahirkan pemerintah yang berkaitan dengan pengelolaan


pulau terluar

5) Pola pengawasan yang diterapkan pemerintah untuk menjaga kesinambungan


pengelolaan pulau terluar.

B. Pengelolaan Pulau Terluar

1) Program-program kesejahteraan masyarakat dalam pengelolaan pulau


terluar

2) Hasil-hasil yang telah di capai dalam pengelolaan pulau terluar

3) Potensi pulau terluar yang telah dikembangkan pemerintah

4) Kondisi sarana prasarana di pulau terluar

5) Kondisi sosial-ekonomi masyarakat pulau terluar

6) Model kontrol lapangan di pulau terluar

3.2 Pemerintah Indonesia dan Malaysia sempat memiliki sengketa


atasPulau Ligitan dan Sipadan. Meski begitu, hasil sengketa tersebut telah
diputuskan oleh Mahkamah Internasional.

Dan merujuk pada hasil ini, pemerintah saat itu juga menerbitkan Keputusan
Presiden RI Nomor 49 Tahun 1997 tentang Pengesahan Special Agreement for Submission
to the International Court of Justice of the Dispute between Indonesia and Malaysia
concerning Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan.

Berdasarkan keputusan Mahkamah Internasional, Pulau Ligitan dan Sipadan


diberikan kepada negara Malaysia.Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai sejarah
sengketa tersebut, yuk simak pemaparannya.

Melansir sebuah jurnal hukum Revitalisasi Mahkamah Internasional: Studi Kasus


Sengketa Kepemilikan Sipadan-Ligitan antara Indonesia-Malaysia (1997) yang ditulis
Sefriani, Sipadan dan Ligitan adalah dan pulau dari rangkaian kepulauan yang ada di Selat
Makassar, yaitu di perbatasan antara Kalimantan Timur dan Sabah (Malaysia Timur).

Sipadan mempunyai luas kurang lebih 50.000 kilometer persegi. Sedangkan Pulau
Ligitan merupakan gugus pulau karang yang luasnya 18.000 meter persegi.
Perebutan klaim atas kedua pulau ini sudah timbul sejak 1967, ketika terselenggara
pertemuan teknis mengenai hukum laut antara Indonesia dan Malaysia.

Pada pertemuan itu, Indonesia menyebutkan batas-batas wilayahnya yang juga


termasuk Pulau Ligitan dan Sipadan. Sementara, Malaysia keberatan karena kedua pulau
ini menurutnya milik mereka.
Sebagai langkah lanjut dari keberatan tersebut, Malaysia memasukkan Pulau
Ligitan dan Sipadan di dalam peta nasionalnya.Berdasarkan aspek ekonomi, kedua pulau
ini sebetulnya tidak memberi banyak keuntungan. Kendati begitu, aspek keadaulatan
lebih diutamakan. Sebab, kehilangan tanah walau hanya sejengkal, sudah mengurangi
kedaulatan negara tersebut.

Perundingan mengenai sengketa ini dilakukan pada tahun 1992, 1992, 1994, dan
1996. Kedua pihak masing-masing menyebutkan bukti historis berdasarkan peninggalan
saat masa penjajahan.

Diakibatkan perundingan tak pernah membawa hasil, maka pada 21 Juni 1996 di
Kuala Lumpur, perwakilan Indonesia, Moerdiono dan perwakilan Malaysia, Anwar
Ibrahim, menandatangani laporan bersama yang ditujukan pada Presiden Soeharto dan
Perdana Menteri Mahathir Mohammad.

Isi laporan itu adalah merekomendasikan agar sengketa kedua pulau ini dibawa ke
Mahkamah Internasional.

Mengutip dari buku Kamus Hubungan Internasional dan Diplomasi karya Khasan
Ashari, penyelesaian sengketa Pulau Ligitan dan Sipadan adalah dengan metode
adjudication.

Adjudication adalah metode resolusi konflik melalui penetapan putusan yang


dilakukan pihak ketiga. Kemudian, putusan pihak ketiga ini sifatnya mengikat dan harus
dipatuhi pihak-pihak yang terlibat dalam sebuah konflik
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Agoes Etty R., Perspektif UNCLOS 1982, Dalam Konflik Perbatasan di Laut,
makalah yang disampaikan pada Lokakarya Nasional Startegi Penyeleaian Konflik
Perbatasan Wilayah Perairan, di Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Awani Irewati, dkk, 2006, Masalah Perbatasan Wilayah Laut Indonesia – Malaysia
di LautSulawesi, Indonesia Istitute of Sciences, Jakarta.
Baradina, 2006, Pengaruh Keputusan ICJ (International Court of Justice) dalam
kasus Pulau Sipadan dan Ligitan bagi Keutuhan Wilayah NKRI.
Boer Mauna, 2003, Hukum Internasional. Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam
Era Dinamika Global, Alumni, Bandung.
Dewan Kelautan Indonesia, Evaluasi Kebijakan dalam Rangka Implementasi
Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) di Indonesia, (Jakarta: Departemen Kelautan
dan Perikanan Sekretariat Jenderal Satuan Kerja Dewan Kelautan Indonesia Tahun
Anggaran 2008.
Dikdik Mohamad Sodik, 2011, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di
Indonesia, Refika Aditama, Bandung.
IMade Andi Arsana, 2007, Batas Maritim Antarnegara, Sebuah Tinjauan Teknis dan
Yuridis, Gadjah Mada Press, Yogyakarta.
Marcel Hendrapati, 2013, Implikasi Kasus Sipadan dan Ligitan atas Titik
PangkaldanDelimitasi Maritim, Arus Timur, Makassar.
Mochtar Kusumaatmadja, 1979, Hukum Laut Internasional, Binacipta, Bandung.
Mochtar Kusumaatmadja, 1982, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta,
Bandung.
Mochtar Mas’oed, 2004, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi,
LP3ES, Jakarta.
Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta.
Wirjono Prodjodikoro, 1976, Hukum Laut bagi Indonesia, Sumur Bandung,
Bandung.
Kamus
Bouvier, J., 1986, A Law Dictionary, Adapted to the Constitution and Laws of the
United States.
24
Jurnal
Drujanah, Eka dan Tangguh Dewantara, 2002, Penetapan Batas Landas Kontinen
Indonesia, Jurnal Surveying dan Geodesi, Vol XII. No. 3.
D. P. O’Connell, 1984, The International Law of the Sea, Vol.I, Edited by Shearer,
Clarendom Press.
Jurnal Hukum Internasional (Indonesian Journal of International Law), Vol. 1. No.3.
April2004, 1693 – 5594.
Ocean Development dan International Law, 38: 381 – 398, 2007.
Perundang-undangan
United Nations Convention On The Law Of Sea 1982 (UNCLOS 1982).
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
.

Anda mungkin juga menyukai