Pendidikan kewarganegaran
Sejarah lepasnya pulau sipadan dan linggitan ke tangan malaysia
Guru mapel :
Evi Susiyanti S.Pd,M.Pd
Di susun oleh
Muhammad Dimaz Prasetiya
Kelas xi ips 1
Muhammad Dimaz p
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB 2 PEMBAHASAN
BAB 3 PENUTUP
3.1 konseptual dan kesimpulan
3.2 Pemerintah Indonesia dan Malaysia sempat memiliki
sengketa atasPulau Ligitan dan Sipadan. Meski begitu, hasil
sengketa tersebut telah diputuskan oleh Mahkamah
Internasional.
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tesis ini merupakan penelitian terhadap penyelesaian sengketa antara Indonesia
dan Malaysia terhadap Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan melalui pengadilan internasional.
Klaim yang dilakukan Indonesia dan Malaysia terhadap Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
membawa penyelesaian sengketa wilayah ini kepada pengadilan internasional (ICJ) demi
terciptanya hubungan bilateral yang baik diantara kedua negara.
Hubungan luar negeri Indonesia dengan negara-negara lain telah dimulai sejak
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.Berbagai
forum baik bilateral, regional maupun multilateral telah dirancang oleh Indonesia
bersama-sama dengan negara-negara sahabat. Dalam menjalin hubungan tersebut
Indonesia senantiasa mempromosikan suatu bentuk kehidupan masyarakat yang
menjunjung tinggi nilai-nilai saling menghormati, tidak mencampuri urusan dalam negeri
negara lain, penolakan penggunaan kekerasaan serta konsultasi dan mengutamakan
konsensus dalam proses pengambilan keputusan.
Namun dengan visi jauh kedepan, para pemimpin kedua negara telah mengambil
sikap segera memulihkan hubungan dan bahkan menjadi pelopor dalam pembentukan
organisasi regional ASEAN pada tahun 1967. Hubungan bilateral antara Indonesia dan
Malaysia yang dilandasi oleh adanya semangat serumpun telah mendorong terus
berkembangnya kerjasama kedua negara di berbagai sektor.
Pada penelitian ini lebih lanjut melihat kepada konflik yang terjadi antara Malaysia
dan Indonesia yaitu mengenai perebutan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang
menjadikannya sebagai sengketa wilayah. Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
bermula dari pertemuan kedua delegasi dalam penetapan batas landas kontinen
antara Indonesia dan Malaysia di Kuala Lumpur pada tanggal 22 September 1969.
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa telah berhasil mewujudkan hukum laut
internasional melalui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982)
yang telah ditandatangani oleh 117 negara peserta termasuk Indonesia di Montego Bay,
Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982 dan telah diratifikasi oleh Republik Indonesia
dengan UU No. 17 tahun 1985.
UNCLOS mengatur kewenangan sebuah negara pantai terhadap wilayah laut (laut
teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen) dan juga
mengatur tata cara penarikan garis batas maritim jika terjadi tumpang tindih klaim antara
dua atau lebih negara bertetangga. Hal ini biasa terjadi di wilayah laut yang
berdampingan.
Hukum laut memberikan hak kepada negara pantai untuk memiliki laut wilayah
sejauh 12 mil laut, dan zona ekonomi eksklusif Pada dasarnya Indonesia sebagai negara
pantai (coastal state) sesuai rezim hukum tata laut menurut UNCLOS 1982 mempunyai
kedaulatan wilayah atas perairan pedalaman, laut teritorial dan perairan kepulauan
sedangkan di kawasan ZEEI dan Landas Kontinen, Indonesia mempunyai hak berdaulat
atau disebut juga kedaulatan atas sumber daya alam. Pengertian tersebut diatas dapat
menggambarkan status hukum wilayah negara. Secara kontekstual status hukum wilayah
negara tidak terpisah dengan batas wilayah negara itu sendiri.
Pada llain yang berbeda kedaulatan atau yurisdiksinya atas batas maritim pada
kawasan tertentu. Bahwa alokasi tidak tergantung pada penggunaan fisik atau
kepemilikan tetapi pada perkiraan geografis yang kemudian disebut dengan ab initio yang
artinya jatah atau bagian tersebut suersoalan batas maritim ini akan muncul karena
wilayah negara itu akan berdampingan dengan wilayah negaradah dimiliki sejak awal,
merupakan bagian yang sudah menyatu dan tidak perlu upaya tertentu bagi negara
pantai untuk memperolehnya.
kehendak aneksasi oleh negara tersebut. Penaklukan wilayah seperti tidak cukup
untuk menimbulkan dasar bagi perolehan hak. Sebagai tambahannya, maka harus ada
pernyataan formal tentang kehendak untuk menganeksasi, yang lazimnya dinyatakan
dalam bentuk Nota yang disampaikan pada semua negara penakluk terhadap wilayah
yang ditaklukan apabila secara tegas mereka tidak mengklaim kehendak untuk
menganeksasinya.
Suatu aneksasi yang merupakan hasil dari agresi kasar yang dilakukan oleh satu
negara terhadap negara lain atau yang dihasilkan dari penggunaan kekerasan yang
bertentangan dengan piagam PBB, tidak boleh diakui oleh negara-negara lain.
4. Hak yang diperoleh melalui preskripsi adalah hasil dari pelaksanaan kedaulatan de
facto secara damai untuk jangka waktu yang sangat lama atas wilayah yang sebenarnya
tunduk pada kedaulatan negara lain. Preskripsi ini mungkin sebagai akibat dari
pelaksanaan kedaulatan yang sudah berjalanlama sekali, dan karena jangka waktu
tersebut telah menghilangkan kesan adanya kedaulatan oleh negara terdahulu.
5. Okupasi merupakan penegakan kedaulatan atas wilayah yang tidak berada dibawah
penguasaan negara manapun, baik wilayah yang baru ditemukan ataupun wilayah yang
ditinggalkan oleh negara yang semula menguasainya (namun untuk yang kedua
kemungkinan tidak pernah dilakukan). Secara klasik, pokok permasalahan dari suatu
Okupasi adalah adanya suatu ternullius. Wilayah yang didiami oleh suku-suku bangsa
atau rakyat-rakyat yang memiliki organisasi sosial dan politik tidak dapat dikatakan
termasuk dalam kualifikasi terra nullius.
Apabila suatu wilayah daratan didiami oleh suku-suku atau rakyat yang
terorganisir, maka kedaulatan wilayah harus diperoleh dengan perjanjian perjanjian lokal
dengan penguasa-penguasa atau wakil-wakil suku atau rakyat tersebut. Dalam
menentukan apakah suatu okupasi telah dilakukan sesuai dengan hukum internasional
atau tidak, maka prinsip keefektifan (effectiveness) harus diterapkan. Permanent Court
Of Justice menetapkan bahwa okupasi agar dapat terlaksana secara efektif mensyaratkan
dua unsur di pihak negara yang melakukan :
a. Adanya suatu kehendak atau keinginan atau bertindak sebagai pihak yang berdaulat;b.
Melaksanakan atau menunjukkan kedaulatan secara pantas.
Diberikannya hak kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan kepada
Malaysia, menimbulkan kekecewaan bagi pihak Indonesia. Tujuan nasional Indonesia
untuk mempertahankan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan tidak dapat diwujudkan melalui
jalan diplomasi. Seharusnya pihak Indonesia tidak begitu saja menyerahkan sengketa
wilayah ini kepada Mahkamah Hukum Internasional dan berusaha untuk terlebih dahulu
menyelesaikannya secara bilateral dengan pihak Malaysia.
PEMBAHASAN
2.1KETERANGAN PULAU SIAPADAN DAN LIGITAN
Terletak di bagian utara Pulau Kalimantan, Pulau Sipadan dulunya menjadi
sengketa antara Indonesia dan Malaysia. Persisnya, berada di Selat Makassar. Puncaknya
terjadi di tahun 2002 yang diikuti dengan keputusan Mahkamah Internasional.Ketika itu
hasil voting 16 hakim, mayoritas akhirnya memilih Malaysia.
Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi sengketa karena wilayahnya yang berada di
dekat Indonesia dan Malaysia. Saat itu, keputusannya masih belum jelas serta diputuskan
menjadi wilayah sengketa. Namun, Malaysia membuat cottage atau penginapan
mengatasnamakan negaranya di sana. Ada beberapa faktor, kenapa pulau yang pernah
menjadi milik Indonesia ini dinobatkan sebagai yang terbaik di Asia.
Selain pasir putih dan air laut yang sebening kaca, berbagai macam terumbu
karang dan hewan laut dapat ditemukan di Pulau Sipadan. Dengan mata telanjang pun,
traveler sudah bisa melihat berbagai macam keindahan alam bawah lautnya.
Dengan lebih dari 3.000 jenis spesies hewan laut dapat ditemukan di sini, seperti
Penyu Agar, Penyu Karah, Ikan Alu-alu (Baracuda) dan Ikan Selar.
Tidak jarang, para diver atau penyelam akan melihat Ikan Selar yang membentuk
formasi seperti pusaran angin. Tidak heran mengapa orang senang diving dan scuba
diving di Pulau Sipadan.
Kebersihannya dan kelestariannya pun juga terjaga dengan baik.bermalampun juga
banyak penginapan yang berada di sekitar Pulau Sipadan. Bahkan, beberapa diantaranya
adalah water villa atau villa di atas air. Meskipun, luas pulaunya memang terbilang
kecil, hanya 12 hektar dengan ketinggian 700 meter dari dasar laut.
Harga penginapan pun bervariasi, traveler bisa memilih untuk menginap di hostel
yang berada dekat Tawau dan menyebrang ke Sipadan, atau menginap di Pulau Sipadan
itu sendiri.Untuk hostel, kisaran harganya mulai dari RM 35-100 atau setara Rp 100-300
ribu, sedangkan untuk water villa terdapat beberapa pilihan resort, seperti Pom Pom
Island Resort & Spa atau Sipadan Kapalai Dive Resort yang harganya dimulai dari 800 RM
(Rp 2,4 juta) sampai 1500 RM (Rp 4,6 juta).
Keindahan pulau Sipadan dan Ligitan sudah mendunia. Dua pulau ini bahkan
disebut-sebut sebagai salah satu destinasi wisata selam terbaik di dunia. Salah satu
media Inggris yang terkenal bahkan memasukkan Sipadan dan Ligitan menjadi salah
satu dari 10 tempat wisata terbaik dunia, sejajar dengan Pulau Cocos di Costa Rika.
Berlibur Ligitan
Sipadan dan Ligitan merupakan dua pulau yang kini dikenal di mata dunia.
Bukan sebagai destinasi berlibur biasa. Di mata turis dunia, kedua pulau ini termasuk
salah satu dari 10 spot menyelam terbaik di dunia. Keindahan bawah laut Sipadan
memang memukau. Tujuan utama para turis datang ke pulau cantik ini adalah untuk
scuba diving
Penduduk di Sipadan dan Ligitan pun kini menjadi warga negara Malaysia.
Dengan pulau yang dijadikan tempat wisata, makan banyak lapangan pekerjaan yang
terbuka. Baik di resor, maupun yang memutuskan untuk membuka usaha kuliner,
atau oleh-oleh.
Lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan menjadi milik Malaysia pada tanggal 16
Desember 2002 lalu Mahkamah Internasional (International Court of Justice), merupakan
peristiwa buruk bagi Indonesia khususnya dalam penegakan wilayah peraian
Indonesia.1Dilihat dari letak kedua pulau ini dapat disebut sebagai zona perbatasan
(frontiers)yangseharusnya bisa digunakan sebagai titik pangkal garis pangkal kepulauan
Indonesia.
Hal itu seharusnya tidak perlu terjadi karena secara hukum Internasional
Indonesia telah berhasil memperjuangkan Indonesia sebagai negara kepulauan melalui
Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982.3
Putusan yang memenangkan Malaysia sebagai pemilik sah Pulau Sipadan dan
Ligitan oleh Mahkamah Internasional didasarkan pada pertimbangan lain yakni prinsip
pengendalian dan penguasaan efektif (effective occupation).Putusan yang diambil
Mahkamah Internasional atas pertimbangan banyaknya aktivitas yang dilakukan kedua
negara di Pulau Sepadan dan Pulau Ligitan.
Adanya pelanggaran Malaysia dalam melakukan klaim atas wilayah ZEE Indonesia
di laut Sulawesi juga didasarkan pada penandatanganan Perjanjian Tapal Batas Kontinen
Indonesia-Malaysia pada tanggal 27 Oktober 1969, yang ditandatangani di Kuala Lumpur
dan telah diratifikasi pada tanggal 7 November 1969.
Wilayah ZEE di laut Sulawesi sebagai milik Indonesia juga dijelaskan dalam UU
No.17/1985 tentang pengesahan UNCLOS dimana dalam Undang-undang tersebut
adanya pengakuan atas kedaulatan penuh laut territorial. Hal berdaulat atas wilayah ZEE
tersebut untuk tujuan eksploirasi, eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber
kekayaan serta segala sesuatu yang terkandung di dalamnya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dijelaskan bahwa lepasnya Pulau Sipadan dan
Ligitan menjadi milik Malaysia memiliki implikasi yang luas seperti munculnya klaim-klaim
baru atas sejumlah wilayah perbatasan oleh Malaysia. Dari pihak pemerintah Indonesia
itu sendiri telah melakukan protes secara terus-menerus atas pelanggaran yang dilakukan
Malaysia terhadap perairan Indonesia. Akan tetapi, niat Malaysia untuk kembali
melanggar sejumlah wilayah perbatasan seperti wilayah ZEE di laut Sulawesi tidak pernah
berkurang.
1. Apa implikasi yuridis lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan terhadap Zona Ekonomi
Ekslusif (ZEE) Indonesia di laut Sulawesi?
2. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan Indonesia terkait dengan adanya duplikasi
(overlapping) klaim di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di laut Sulawesi?
Penelitian ini merupakan studi yuridis normatif.
Penelitian secara yuridis adalah penelitian yang akan menjadikan hukum sebagai
dasar menganalisis permasalahan yang ada yakni menggunakan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan hukum laut internasional (UNCLOS) serta hal-hal yang
berkaitan dengan batas-batas teritorial kedua negara yang diatur menurut konvensi
hukum internasional. Sementara penelitian secara normatif dimaksudkan adalah
penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka dan bahan hukum.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2007,
hlm. 142.
Soerjono Soekanto.Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Yogyakarta, 1986, hlm.
52.
Soerjono Soekanto, Op.cit.hlm. 264.
Sehubungan dengan jenis penelitian ini adalah yuridis normatif, maka pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan konsep (conceptual approach) dan pendekatan
perundang-undangan (statute approach).12 Bahan hukum primer adalah bahan hukum
yang bersifat autoritatif yaitu mempunyai otoritas yang terdiri dari perundang-undangan.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi yakni
dengan mencari data mengenai hal-hal atau variabel seperti berupa catatan, transkrip,
buku, surat kabar, majalah, jurnal-jurnal hukum, yang berhubungan dengan konvensi
hukum laut internasional. Metode analisis data yang digunakan untuk menganalisis data
bahan hukum primer adalah menggunakan analisis deskriptif analitis13.
2.3 Implikasi yuridis lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan terhadap Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di laut Sulawesi
Hal itu dikarenakan adanya klaim yang sama atas suatu objek yang sama sehingga
membingungkan dalam penetapan batas-batas wilayah kedua negara khususnya dalam
hal penetapan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) baik untuk Malaysia maupun Indonesia.
Penetapan batas landas kontinen merupakan salah satu cara dalam pemecahan
permasalahan yang terjadi di sekitar ZEE Indonesia khususnya yang ada di laut Sulawesi.
Secara yuridis, batas landas kontinen diatur dalam Pasal 76 UNCLOS 1982 yang
menetapkan bahwa landas kontinen suatu Negara pantai.
Tata cara penarikan batas luar dari landas kontinen dari suatu negara pantai yang
melebihi 200 mil laut seperti dijelaskan pada Pasal 76 UNCLOS 1982.
14Perserikatan Bangsa-Bangsa. Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum
Laut (UNCLOS 1982), Babinkum TNI, Jakarta, 2012, hlm. 43.
Adanya duplikasi (overlapping) klaim di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
Indonesia di laut Sulawesi dilihat dari konvensi hukum laut internasional atau UNCLOS
1982, seharusnya tidak perlu terjadi. Hal itu dikarenakan bahwa dalam UNCLOS 1982
sendiri sebenarnya sudah sangat jelas bahwa negara yang menjadi pemilik dari wilayah
perairan di Laut Sulawesi adalah Indonesia.
Hal tersebut dikuatkan dengan ciri-ciri negara kepulauan serta hak-haknya yang
dijelaskan dalam UNCLOS 1982. Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki hak-hak
khusus seperti dijelaskan dalam Pasal 4715.
Mengacu pada Pasal 47, maka wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di
laut Sulawesi jelas menjadi bagian dari wilayah Pemerintah Indonesia. Sementara
Malaysia sebagai negara pantai, dengan ketentuan hak-hak yang dimiliki negara pantai
seperti dijelaskan dalam UNCLOS 1982 dapat disimpulkan tidak memiliki hak atas wilayah
tersebut.
Dengan adanya penjelasan dan tata cara mengenai penetapan batas landas
kontinen, makaoverlapping klaim antara Indonesia dan Malaysia di wilayah ZEE laut
Sulawesi tidak bisa diterima. Pengaturan batas lantas kontinen sebagaimana yang
dijelaskan dalam
UNCLOS 1982 khususnya pada Pasal 76, 77, dan Pasal 78 dapat menjadi landasan
yuridis yang kuat dan mengikat sehingga semakin menguatkan 8 bahwa sebagai pemilik
dari Laut Sulawesi adalah Indonesia karena telah mendapat pengakuan secara
internasional.
Penegakan batas landas kontinen ini secara konsisten sesuai dengan UNCLOS
1982.Malaysia sebagai negara pantai dan Indonesia sebagai negara kepulauan mestinya
harus tunduk pada ketetapan yang diatur dalam UNCLOS 1982 mengenai hak-hak negara
pantai dan negara kepulauan.
Dalam UNCLOS 1982 juga dijelaskan tata cara penarikan batas luar dari landas
kontinen suatu negara pantai seperti Malaysia. Dalam UNCLOS 1982 dijelaskan mengenai
tata cara penarikan batas luar dari landas kontinen dari suatu negara pantai yang
melebihi 200 mil laut seperti dijelaskan pada Pasal 76 UNCLOS 1982.
Dalam menetapkan batas luar landas kontinennya, negara pantai mempunyai dua
macam pilihan, yaitu
(1) berdasarkan ketebalan dari batu-batuan endapan (sedimentary rocks) di luar
kaki lereng kontinen; atau
(2) deengan menarik garis yang tidak melebihi 60 mil laut di luar kaki dari lereng
kontinen tersebut. Mengacu pada ketentuan tersebut, maka apabila penarikan batas luar
dari landas kontinen Malaysia di wilayah perairan di Laut Sulawesi sulit atau tidak dapat
dilakukan.
Hal itu dikarenakan jarak wilayah Malaysia dengan wilayah yang diklaim sebagai
miliknya terlalu dekat. Apabila hal tersebut tetap dilaksanakan maka tidak tertutup
kemungkinan bahwa sebagian besar wilayah Indonesaia akan masuk menjadi wilayah
Malaysia.
Mendukung Pasal 76 UNCLOS 1982 mengenai hak negara pantai atas landas
kontinen juga dijelaskan pada Pasal 78 UNCLOS.16Pada pasal ini dijelaskan bahwa hak
negara pantai dalam hal ini Malayisa tidak boleh melanggar hak negara lainnya
sebagaimana yang ditentukan dalam Konvensi (Pasal 78 ayat 1). Oleh sebab itu, tindakan
Malaysia dengan mengklaim wilayah perairan di Laut Sulawesi sebagai miliknya jelas
merupakan pelanggaran terhadap hak negara Indonesia.
Hal yang sama juga terkait dengan penetapan batas ZEE oleh Malaysia.Pemecahan
permasalahan di wilayah ZEE laut Sulawesi didasarkan pada isi Pasal 55 yang mengatur
ZEE.Mengacu pada isi Pasal tersebut, maka dalam menentukan batas ZEE sebuah negara
pantai dalam hal ini Malaysia harus didasarkan pada ketentuan hak- 9.
Haknya sebagai negara pantai sesuai dengan yang diatur dalam UNCLOS
khususnya pada Pasal 56.18Pada Pasal 56 dijelaskan mengenai batas-batas wilayah ZEE
dari negara Malaysia sebagai negara pantai.Mengacu pada pasal-pasal tersebut, Malaysia
sebagai negara pantai harus tunduk pada penetapan batas wilayah ZEE yang dimilikinya.
Hal itu sesuai dengan landasan yuridis yang diatur dalam hukum laut internasional
UNCLOS 1982.
18Ibid.
Implikasi yuridis lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan terhadap wilayah Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di laut Sulawesi juga menimbulkan masalah
ekonomi.Melihat konflik yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia di wilayah Ambalat,
sebenarnya tidak lepas dari persaingan perebutan lahan ekonomi di antara kedua negara.
Perebutan terhadap cadangan minyak yang ada di Blok Ambalat yang diperkirakan
mencapai Rp. 4,200 triliun membuat Malaysia dan Indonesia sama-sama bersikeras
melakukan klaim atas wilayah tersebut.
Secara ekonomi, negara yang akan menguasai wilayah perairan di Laut Sulawesi
akan sangat diuntungkan khususnya dalam jangka panjang. Besarnya kandungan sumber
daya alam yang terdapat di Laut Sulawesi, merupakan alasan mendasar bagi Malaysia
melakukan berbagai upaya untuk menguasai wilayah tersebut. Hal itu sangat kelihatan
dari batas-batas klaim Malaysia sebagai wilayah kerja pertambangan minyak dan gas
bumi di Laut Sulawesi oleh Malaysia mencakup wilayah Blok Y yang di dalamnya terdapat
Blok Ambalat.
Hal ini memperlihatkan bahwa lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan tidak hanya
menyebabkan Indonesia kehilangan atas kedua pulau tersebut, tetapi juga berimbas pada
sulitnya pemerintah Indonesia dalam memanfaatkan 10 sumber daya ekonomi yang ada
di wilayah perairan di Laut Sulawesi.
Hal itu seiring dengan digunakannya Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai dasar klaim
perbatasan wilayah Malaysia dengan Indonesia.Lainnya yang ditimbulkan pasca lepasnya
Pulau Sipadan dan Ligitan di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di laut
Sulawesi adalah problematika pelaksanaan administrasi pemerintahan di wilayah
tersebut.
Artinya, merujuk pada konvensi hukum laut internasional ini, wilayah Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di laut Sulawesi merupakan wilayah administrasi dari
Indonesia. Sebagai pemilik wilayah, Indonesia seharusnya dapat dengan leluasa untuk
melaksanakan administrasi pemerintahan di wilayah tersebut. Meskipun demikian, hal itu
tidak dapat dilakukan Indonesia karena adanya duplikasi (overlapping) klaim di wilayah
Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di laut Sulawesi.
Sementara dari pihak Malaysia yang juga merasa mempunyai hak atas wilayah
tersebut, negara ini sudah beberapa kali mencoba melakukan atau melaksanakan
administrasi pemerintahan misalnya dengan menanam rumpon. Penanaman rumpon
tersebut merupakan salah satu upaya untuk membuat landasan administrasi
Pemerintahan sehingga bila hal tersebut berhasil, maka Malaysia dengan mudah
akan melaksanakan administrasi pemerintahan secara terbuka dan terang-terangan.
Upaya Malaysia ini mendapat perlawanan dari TNI AL dengan memotong dan merusak
rumpon yang telah ditanami.
Problematika yang terjadi terkait dengan pelaksanaan administrasi pemerintahan
di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di laut Sulawesi adalah di lokasi ini
seakan-akan ada suatu kekosongan aktivitas atau kegiatan baik dari pemerintah
Indonesia maupun Malaysia. Kevakuman administrasi pemerintahan ini, dapat
memunculkan upaya yang lebih besar dari Malaysia untuk berjuang merebut wilayah ini.
Upaya ini dilakukan untuk menambah perluasan wilayahnya yakni Pulau Sipadan
dan Ligitan yang sudah lebih dulu diperolehnya melalui 11
keputusan ICJ. Bila hal tersebut terjadi, maka Indonesia kemungkinan akan kehilangan
lagi wilayah administrasinya.
Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan berimbas pada sulitnya pengembangan dan
pengelolaan wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di laut Sulawesi. Hal itu
dikarenakan kepemilikan atas kedua pulau ini turut memberi andil dalam mendorong
Malaysia gencar melakukan klaim atas wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di
laut Sulawesi.
Dengan penerimaan usulan tersebut akan memberikan angin segar bagi Malaysia
mengenai keberadaan wilayah perairan di Laut Sulawesi yang di dalamnya terdapat Blok
Ambalat yang akan dijadikan sebagai ”daerah milik bersama”. Hal tersebut justru akan
menjadi bumerang bagi Indonesia, karena kerjasama di Wilayah Ambalat akan
memberikan pembenaran akan kepemilikan Malaysia terhadap wilayah tersebut.
Sebagai negara yang lebih dahulu mengelola Blok Ambalat posisi Indonesia cukup
kuat, akan tetapi terlepasnya pulau Sipadan dan Ligitan telah membuat perbedaan besar
dalam hal penetapan batas wilayah perbatasan. Hal ini yang menjadi tantangan terbesar
bagi pemerintah dalam melakukan pengembangan dan pengelolaan sumber daya alam
yang ada di wilayah tersebut.
Hal itu dikarenakan dengan menerapkan cara penarikan batas wilayah perbatasan
khususnya melalui peta yang diterbitkan Malaysia tahun 1979, maka wilayah Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di laut Sulawesi menyebabkan terjadinya duplikasi klaim
dari kedua negara.
Implikasi yuridis lainnya terhadap Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di laut
Sulawesi dengan lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan adalah munculnya masalah
pertahanan dan keamanan di wilayah tersebut. Sejak tahun 2005 sampai saat ini 12
kawasan wilayah perairan di Laut Sulawesi yang di dalamnya terdapat blok Ambalat
benar-benar menjadi idola dan menjadi bahan perbincangan yang hangat di kalangan
masyarakat baik di Indonesia maupun Malaysia. Belum adanya batas-batas yang jelas di
sekitar Laut Sulawesi, menyebabkan Indonesia hanya dapat melakukan tindakan
pencegahan, kegiatan patroli, dan pemantauan terhadap adanya Kapal Malaysia yang
mencoba masuk ke wilayah tersebut tanpa ijin.
Pertahanan Lapis Ketiga yakni yang berada di ruang wilayah pertahanan daratan,
lautan dan udara yang terletak mulai dari garis batas teritorial ke dalam. Hal itu tidak
dapat dilakukan karena selain terbatasnya sarana yang dimiliki TNI AL, juga dikarenakan
adanya klaim yang sama dari pihak Malaysia.
Hasil kajian ini memperlihatkan bahwa upaya yang dapat dilakukan dalam
penyelesaian duplikasi (overlapping) klaim di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
Indonesia di Laut Sulawesi adalah upaya politik hukum secara damai, jalur diplomasi, jalur
Mahkamah Internasional atau ICJ, jalur Mahkamah Internasional Hukum Laut
(International Tribunal for the Law Of Seal/ITLOS), dan penyelesaian dengan cara
mengambang atau membiarkan.
Sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia bermula dari pertemuan kedua
delegasi dalam penetapan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di Kuala
Lumpur pada tanggal 22 September 1969. Pada waktu pembicaraan landas kontinen di
laut Sulawesi, kedua delegasi sama-sama mengklaim Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
sebagai miliknya. Pulau Sipadan terletak 15 mil laut sekitar 24 kilometer dari pantai
daratan Sabah Malaysia dan 40 mil laut sekitar 64 kilometer dari pantai timur Pulau
Sebatik dimana bagian utara merupakan wilayah Malaysia dan bagian timur selatan
merupakan wilayah Indonesia.
posisi Pulau Ligitan terletak 21 mil laut sekitar 34 kilometer dari pantai daratan
Sabah Malaysia dan 57,6 mil laut sekitar 93 kilometer dari pantai timur Pulau Sebatik.
Luas Pulau Sipadan adalah 10,4 hektar dan Pulau Ligitan adalah 7,9 hektar. Disinilah titik
sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.
Titik awal klaim pemerintah Indonesia tampaknya lemah dan tidak
mencantumkan kedua pulau tersebut dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang yakni, Perpu No. 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Di pihak lain,
kelemahan Malaysia tampak pada peta yang diterbitkan hingga tahun 1970-an tidak
pernah mencantumkan kedua pulau tersebut.
Dalam meja perundingan kedua belah pihak baik pemerintah Indonesia maupun
pemerintah Malaysia sepakat untuk menetapkan sebagai status quo atas kedua pulau
tersebut. Sehubungan dengan masalah ini, kedua negara pada tanggal 22 September
1969 menyetujui Memorandum of Understanding (MOU) yang menetapkan Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan dalam status quo yang berarti tidak boleh ditempati, diduduki
maupun dimanfaatkan baik oleh Indonesia maupun Malaysia.
Namun, mulai tahun 1979 Malaysia berubah sikap dan mengambil langkah-
langkah secara unilateral dengan menerbitkan peta-peta yang menunjukkan kedua pulau
sebagai bagian dari Malaysia, memberikan sejumlah izin kepada sejumlah perusahaan
swastanya untuk menyelenggarakan kegiatan pariwisata di Pulau Sipadan dan mendirikan
instalansi-instalansi listrik di pulau tersebut. Indonesia menganggap bahwa kegiatan-
kegiatan tersebut melanggar kesepakatan yang telah dicapai dalam status quo.
Di negara dengan sistem sosial yang besar harus mengetahui terlebih dahulu
mengenai pilihan individu dimana nantinya pilihan mereka menjadi suatu suara
kolektif. Kepentingan nasional dapat diindikasikan sebagai nilai yang utama ataupun
tujuan akhir dari kebanyakan penduduk suatu negara seperti keamanan,
kemakmuran, dan juga perdamaian. Kemampuan pemerintah untuk mengontrol
penduduknya serta kemampuan penduduk untuk
12 Dari paparan diatas ada keterkaitan antara kepentingan nasional dan negosiasi.
Kepentingan nasional merupakan hal-hal yang dianggap penting oleh suatu negara,
menjadi landasan bagi kebijakan luar negeri yang berfungsi sebagai media untuk
memperoleh kepentingan nasional tersebut. Sedangkan alat untuk dapat menjalankan
kebijakan tersebut digunakan negosiasi. yang dapat menimbukan kecemasan dan
berpendapat bahwa perimbangan kekuatan tidak dapat dipercaya dan tidak dapat
dikendalikan pada pelaksanaannya. Bahwa perimbangan kekuatan hanya dapat dikaitkan
dengan hubungan militer dan mengabaikan efek dari suatu kemajuan yaitu moral dan
pembangunan material. Rasionalis mempercayai dan mengkonsentrasikan kepada nilai
dari elemen kerjasama internasional dalam kondisi yang unggul pada anarki
internasional. Rasionalis bersifat tradisional dari hukum alam, dan dapat disebut sebagai
naturalis. Penulis hukum internasional tradisional membagi ke dalam naturalis, positivis,
dan Grotians.
Naturalis melihat hanya kepada hukum dari suatu bangsa yaitu hukum alam,
positivis melihat kepada kebalikannya yaitu hanya kepada hukum suatu bangsa dengan
adanya perjanjian dan hukum alam adalah non-legal. Grotians merupakan kombinasi dari
keduanya, dimana hal yang terpenting dari keduanya adalah hukum kebangsaan. Grotian
tidak menitikberatkan kepada strategi dan kekuatan militer dan lebih melihat
kepada keamanan dalam kerjasama dan aliansi pertahanan karena masyarakat
internasional tidak selalu menggunakan kekuatan (power), melihat kepada pengaturan
perdamaian dibandingkan kepada kekuatan agresif (aggresive power). Realis
menitikberatkan hubungan internasional merupakan elemen anarki, kekuatan politik dan
juga perang.
Realis penuh dengan kekerasan, dosa, penderitaan dan juga konflik. Machiavelli
merupakan salah satu tokoh yang mempunyai pemikiran realisme. Bagi Machiavelli
karakteristik konsep realis yaitu pada perimbangan kekuatan (balance of power) dan
menekankan bahwa tidak adanya
masyarakat internasional, yang ada hanya perang antara negara terhadap negara
lainnya. Konsep perimbangan kekuatan menjadi sesuatu hal yang fundamental pada
semua teori internasional sedangkan tidak adanya masyarakat internasional
(international society) membuat negara menjadi sebuah “tubuh” yang memiliki
perlindungan dan dapat mengatur kemakmuran dari setiap anggotanya (society).
Machiavelli tidak pernah percaya dengan adanya masyarakat internasional dan
mengabaikan adanya sebuah institusi.
Secara klasikal diplomasi dapat dikaitkan dengan pemikiran Grotian yang
memandang secara kondisi objektif demi tercapainya negosiasi-diplomasi yaitu adanya
pihak yang mengadakan transaksi (dealing) pada persamaan tingkatan dan Penyelesaian
sengketa
Wilayah ini rawan terorisme dan penyelundupan. 37 Pulau yang sangat banyak
dan sumberdaya alam yang melimpah tentunya sangat menguntungkan Indonesia,
namun sebaliknya juga, dapat menjadi ancaman. Ancaman itu seperti, kasus pencaplokan
pulau, dan pelanggaran batas laut oleh Negara tetangga.
Indonesia harus belajar dari kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, pemerintah
tidak boleh kecolongan lagi. Maka, perhatian kepada pulau terluar (pulau terdepan) dan
daerah perbatasan Indonesia harus diperkuat. Apalagi kesenjangan sosial masyarakat di
pulau terluar sangat mengkhawatirkan. Sangat kompleks persoalan di perbatasan
Indonesia yang harus mendapat perhatian serius pemerintah.
Para akademisi juga turut prihatin dengan kondisi pulau terluar, sehingga mereka
berusaha membantu pemerintah dengan melakukan penelitian di pulau terluar, agar hasil
penelitian itu dapat dijadikan pedoman untuk mengelola pulau
36 M. Mas’ud Said. "Perbatasan Negara dan Integrasi Bangsa." 37 Danar
widiyanta. Upaya Mempertahankan Kedaulatan dan Meberdayakan Pulau-Pulau Terluar
Indonesia Pasca Lepasnya Sipadan dan Ligitan (2002-2007).
Terluar dengan cara yang lebih efektif. Beberapa penelitian yang telah dilakukan,
yaitu oleh Danar Widiyanta dengan penelitian berjudul “Upaya Mempertahankan
Kedaulatan dan Meberdayakan Pulau-Pulau Terluar Indonesia Pasca Lepasnya Sipadan
dan Ligitan (2002-2007)” Dengan kesimpulan, antara lain: Masalah ketidakjelasan batas
negara dan status wilayah, Penerapan prinsip yang berbeda terhadap batas-batas landas
kontinen antar negara bertetangga,
Hal ini perlu dukungan politis dari pemerintah pusat, daerah dan legislatif
terutama untuk pembangunan infrastruktur dan kebijakan pendukungnya.Selanjutnya
Penelitian Oleh Chairil N. Siregar dari FSRD-ITB dengan judul Analisis Potensi Daerah
Pulau-Pulau Terpencil Dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan, Keamanan Nasional, dan
Keutuhan Wilayah NKRI di Nunukan-Kalimantan Timur.
Penelitian ini berkesimpulan bahwa potensi daerah yang dimiliki oleh Kabupaten
Nunukan dan Sebatik adalah agro industri (perkebunan dan kehutanan), kelautan,
pertambangan, jasa pelabuhan, perdagangan internasional, dan pariwisata.
Selanjutnya penelitian oleh Ayub Torry Satriyo Kusumo dengan judul Optimalisasi
Pengelolaan dan Pemberdayaan Pulau-Pulau Terluar dalam rangka mempertahankan
Keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia. Dengan kesimpulan bahwa pulau-pulau
terluar merupakan sumber kekayaan yang belum tergarap sekaligus garda depan
ketahanan dan keamanan negara. Tanpa pengelolaan dan perlindungan yang optimal,
kekayaan negara sangat mudah dicuri oleh pihak luar dan keamanan negara pun
terancam. Sehingga usaha-usaha perlindungan dan pengelolaan harus segera dilakukan.
Pulau Miangas (Las Palmas) sempat menjadi sengketa antara Indonesia dan
Filipina, namun pada tahun 1976 telah di sepakati protokol ekstradisi (Lihat lampiran).
Kepemilikan atas pulau Miangas belum menjadi keuntungan besar bagi Indonesia di
karenakan pemanfaatan potensi laut dan darat di pulau Miangas belum tersentuh
pemerintah Indonesia. “Tak kenal maka tak sayang” pepatah ini mempunyai makna
bahwa kita harus mengenal objek untuk dapat menyayanginya.
Bila pepatah ini dikaitkan dengan pengelolaan pulau terluar, maka pemerintah
harus melakukan upaya-upaya untuk “mengenal” seperti mendatangi dan mengamati lalu
kemudian pemerintah “menyayangi” dengan mengelolanya. Seperti kata filsuf China,
Meng-Tse ''Hanya orang berjiwa besar yang dapat melakukan langkah besar” pemerintah
harus berjiwa besar untuk dapat mengelola potensi pulau terluar agar dapat
berkontribusi pada pembangunan nasional.
Pengelolaan pulau terluar saat ini perlu diperhatikan mengingat isu strategis
perbatasan, yaitu diantaranya:
Kerjasama antar negara juga sangat penting dalam pemecahan dan penangkalan
berbagai pelanggaran hukum dan kedaulatan negara, seperti transboundary illegal
trading, illegal logging, illegal fishing, human trafficking, dan berbagai kegiatan
penyelundupan lainnya. Hingga saat ini masih sering terjadi berbagai kejadian tersebut
baik melalui perbatasan darat maupun perbatasan laut menandakan belum optimalnya
kerjasama antar negara ini.40
Secara teoritis dikatakan bahwa sebuah bangsa terwujud dan kuat apabila
memiliki syarat apa yang disebut oleh Soekarno—mengikuti pendapat Ernest Renan—“le
desire d‟etre ensemble” atau kehendak akan bersatu. Dalam pandangan kredo Tentara
Nasional Republik Indonesia (TNI), “serangan atas suatu titik di wilayah Indonesia
diartikan sebagai serangan kepada seluruh wilayah negara”.
Untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan wilayah negara, perlu adanya
suatu penekanan kembali mengenai pemahaman cara pandang dan sikap bangsa
mengenai diri dan lingkungannya yang disebut dengan wawasan nasional atau Wawasan
Nusantara dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa
41 M. Mas’ud Said. Op. Cit.
Untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan negara seperti yang diamanatkan UUD
1945, maka perlu diperhatikan nilai-nilai yang terkandung dalam Wawasan Nusantara.42
Dari sekian banyak komleksitas permasalahan di pulau terluar, peneliti ingin
mendeskripsikan bagaimana kinerja pemerintah dalam mengelola pulau terluar. Maka
peneliti mengambil judul: Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan pulau terluar
Indonesia (Studi di Pulau Miangas Kabupaten Kepulauan Talaud Provinsi Sulawesi Utara).
2.4 Manfaat dan Hikmah yang dapat di ambil lepasnya pulau sipadan dan
ligitan
1. Kegunaan Akademik
2. Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan menjadi acuan dan pedoman pemerintah dan pemerhati
pulau terluar dalam pengeloaan dan pengembangan pulau terluar di Indonesia, agar
dapat ditumbuhkembangkan sehingga dapat menguntungkan negara yang kemudian
digunakan untuk men-sejahterakan masyarakat Indonesia. Penelitian ini juga
diperuntukkan bagi pengelola lokal pulau terluar, yang terutama pemerintah kabupaten
Kabupaten Kepulauan Talaud, pemerintah provinsi Sulawesi Utara, dan daerah serta
provinsi lain yang juga mengurus pulau-pulau terluar perbatasan.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Konseptual dan kesimpulan
Definisi konseptual adalah unsur atau bagian penting dalam penelitian dan
merupakan definisi yang dipakai oleh para peneliti untuk menggambarkan secara abstrak
suatu fenomena sosial atau fenomena yang alami.44 Definisi konseptual ini dimaksudkan
untuk memberikan penegasan tentang makna arti dari kalimat yang ada dalam
permasalahan yang disajikan. Sehingga, dengan adanya penegasan arti tersebut akan
mempermudah dalam memahami maksud kalimat yang tercantum dalam penelitian.45
Maka dalam penelitian ini, peneliti membagi menjadi dua konsep yaitu
Singarimbun, Masri. 1982. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES. Hlm. 17. 45
Hamidi. 2004. Metode Penelitian Kualitatif, Aplikasi Praktis Pembuatan Proposal dan
Laporan penelitian. Malang: UMM Press. Hlm.
Pulau terluar adalah pulau yang berada di garis batas Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Menteri Pemuda dan Olahraga, Roy Suryo bahkan mengatakan pulau terluar
adalah pulau terdepan Nusantara. Pulau terluar juga diistilakan sebagai Pulau-Pulau Kecil
Terluar. Pulau Pulau Kecil Terluar (PPKT) adalah garis depan Nusantara. Posisinya sangat
strategis untuk menarik garis Batas Laut Teritorial, Zona Tambahan, Batas Landas
Kontinen, dan zona ekonomi Eksklusif. Indonesia yang telah diakui oleh UNCLOS, berhak
menentukan garis batasnya. Dari 183 Titik Dasar
(TD) yang menjadi patokan untuk menarik garis pangkal, tercatat ada 92 TD
berada di pulau-pulau kecil terluar. Hal ini berarti keberadaan PPKT sangat vital dalam
kerangka kedaulatan negara dan keamanan negara. Dipertegas lagi oleh PP No. 38 Tahun
2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.
Di situ disebutkan bahwa ada 92 PPKT yang menjadi acuan menarik garis pangkal.
Kurang lebih hanya sepertiga dari PPKT yang dihuni, selebihnya masih berupa hutan
bervegetasi lebat sampai jarang. Selain itu beberapa PPKT memiliki potensi wisata,
keanekaragaman terumbu karang, dan sumber daya perikanan (Retraubun et al 2005). 2.
Definisi Operasional
A Kebijakan Pemerintah
1) Perencanaan yang telah dilakukan pemerintah sebelum mengeluarkan
kebijakan
50 Suyanto, Bagong. dan Sutinah (Ed.). Op. Cit. Hlm. 76. 51 Ibid.
Dan merujuk pada hasil ini, pemerintah saat itu juga menerbitkan Keputusan
Presiden RI Nomor 49 Tahun 1997 tentang Pengesahan Special Agreement for Submission
to the International Court of Justice of the Dispute between Indonesia and Malaysia
concerning Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan.
Sipadan mempunyai luas kurang lebih 50.000 kilometer persegi. Sedangkan Pulau
Ligitan merupakan gugus pulau karang yang luasnya 18.000 meter persegi.
Perebutan klaim atas kedua pulau ini sudah timbul sejak 1967, ketika terselenggara
pertemuan teknis mengenai hukum laut antara Indonesia dan Malaysia.
Perundingan mengenai sengketa ini dilakukan pada tahun 1992, 1992, 1994, dan
1996. Kedua pihak masing-masing menyebutkan bukti historis berdasarkan peninggalan
saat masa penjajahan.
Diakibatkan perundingan tak pernah membawa hasil, maka pada 21 Juni 1996 di
Kuala Lumpur, perwakilan Indonesia, Moerdiono dan perwakilan Malaysia, Anwar
Ibrahim, menandatangani laporan bersama yang ditujukan pada Presiden Soeharto dan
Perdana Menteri Mahathir Mohammad.
Isi laporan itu adalah merekomendasikan agar sengketa kedua pulau ini dibawa ke
Mahkamah Internasional.
Mengutip dari buku Kamus Hubungan Internasional dan Diplomasi karya Khasan
Ashari, penyelesaian sengketa Pulau Ligitan dan Sipadan adalah dengan metode
adjudication.