Anda di halaman 1dari 8

TUGAS RESUME

“HUKUM ACARA PIDANA DAN PRAKTIK PERADILAN”

NAMA : MELVIN J. SAMUSAMU


NIM : 2016-21-453
KELAS : R4G

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON 2022
RESUME HUKUM ACARA PIDANA DAN PRAKTEK PERADILAN

“Strategi Pengembalian dan Pemulihan Aset Tindak Pidana Korupsi di


Indonesia”

Materi Pertama

PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA KORUPSI.

Tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Kerugian Keuangan Negara.

a. Melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri dan dapat merugikan keuangan
negara (Pasal 2).
b. Menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri dan dapat
merugikan keuangan negara (Pasal 3).

2. Suap – menyuap.

a. Menyuap pegawai negeri (Pasal 5 ayat 1 huruf a dan b).


b. Memberi hadiah kepada pegawai karena jabatannya (Pasal 13).
c. Pegawai negeri menerima suap (Ppasal 5 ayat 2, Pasal 12 huruf a dan b).
d. Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya (Ps 11)
e, .Menyuap hakim (Pasal 6 ayat 1 huruf a).
f. Menyuap advokat (Pasal 6 ayat 1 huruf b).
g. Hakim dan advokat menerima suap (Pasal 6 ayat 2).
h. Hakim menerima suap (Pasal 12 huruf c).
i. Advokat menerima suap (Pasal 12 huruf d).

3. Penggelapan dalam jabatan


a.Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan (Pasal 8).
b.Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi (Pasal 9).
c.Pegawai negeri merusak bukti (Pasal 10 huruf a).
d.Pegawai negeri membiarkan orang lain merusak bukti (Pasal 10 huruf b).
e.Pegawai negeri membantu orang lain merusak bukti (Pasal 10 huruf c).
4. Pemerasan

a.Pegawai negeri memeras (Pasal 12 huruf e dan g).


b.Pegawai negeri memeras pegawai negeri yang lain (Pasal 12 huruf f).

5. Perbuatan curang

a. Pemborong berbuat curang (pasal 7 ayat 1 huruf a).


b. Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang (pasal 7 ayat 1 huruf b).
c. Rekanan TNI atau Polri berbuat curang (pasal 7 ayat 1 huruf c).
d. Pengawas rekanan TNI atau Polri membiarkan perbuatan curang (pasal 7 ayat 1 huruf d).
e. Penerima barang TNI atau Polri membiarkan perbuatan curang (pasal 7 ayat 2).
f. Pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang lain (pasal 12 huruf h).
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan.
Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya (Pasal 12 huruf i).
7. Gratifikasi
Pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak lapor KPK (Pasal 12 B jo Pasal 12 C).

Materi Kedua
HAKIKAT PENEGAKAN HUKUM
 Karakteristik penegakan hukum (pidana) di wilayah kepulauan tidak berbeda dengan
penegakan hukum wilayah daratan pada umumnya. Artinya, penegakan hukum harus dilihat
sebagai sebuah aktivitas penerapan norma oleh lembaga berwenang  Ada akitivitas
penegakan hukum dalam arti aplikatif, dimulai dari tahapan penyidikan hingga putusan
pengadilan dengan melibatkan bekerjanya Sistem Peradilan Pidana (SPP).
 Sebagai salah satu wilayah kepulauan, Kepulauan di Propinsi Maluku memiliki karateristik
wilayah yang cukup berpengaruh pada proses penegakan hukum, seperti keadaan geografis,
iklim dan cuaca, kebutuhan biaya, waktu dsb  bandinkang teori Total Enforcement (are of
no enforcement)  Full Enforcement  Actual Enforcement dari Joseph Goldstein.
 Sama halnya dengan penegakan hukum terhadsap TIPIKOR di Maluku, dimana beberapa
objek yang menjadi substansi tindak pidana korupsi berada.berlokasi di 9 (sembilan)
kabupaten/kota se Maluku dengan berbagai beban permasalahan yang dihadapi.

a. BEBERAPA KASUS KORUPSI YANG SEMENTARA MENJADI PERHATIAN


MASYARAKAT MALUKU.
Sejumlah Pimpinan Daerah dan Mantan Pimpinan Daerah (Kabupaten/Kota), Kadis dan Kades di
Maluku, yang sementara terjerat kasus Korupsi, seperti :
 Mantan Bupati Kabupaten Buru Selatan (TS) diduga menerima suap, gratifikasi, dan
tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam proyek pekerjaan infrastruktur di KBS tahun
2011-2016.
 Mantan Walikota Ambon (RL)  terlibat kasus gratifikasi pengadaan gerai Alfamidi di
Kota Ambon dan beberapa proyek hasil pemeriksaan KPK di Dinas Penanaman Modal
Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan beberapa Pimpinan OPD.
 Mantan Sekda dan 4 (empat) pejabat di Kab Seram Bagian Barat (MT)  penggunaan dana
tahun 2016 dengan dugaan kerugian negara 7 milyar rupiah.
 Beberapa kasus korupsi, seperti keterlibatan Kepala Dinas dengan sejumlah proyek yang
terbengkalai dan asal-asalan padahal 100% dana sudah cair, serta sejumlah kasus
penyalahgunaan Dana Desa di Maluku oleh Kepala Desa, Sekdes maupun Bendes.

b. REALITA PENEGAKAN HUKUM TIPIKOR DI WILAYAH KEPULAUAN


 Pendekatan penegakan hukum terhadap Kasus Tipikor selama ini dengan
memfungsionalkan Sistem Peradilan Pidana (SPP) Indonesia merupakan salah satu
pendekatan yurudis yang masih dianggap ampuh, mengingat dampak korupsi yang
menimbulkan kerugian negara dan perekonomian negara yang besar, sementara para
pelaku/calon pelaku tidak pernah kapok/jerah;
 Fakta bahwa ketimpangan antara pemenuhan kesejahteraan dan perekonomian masyarakat
dengan besarnya pengeluaran negara untuk pembiayaan pembangunan tidak mampu
menstabilkan rasa keadilan masyarakat, sehingga memicu konflik yang berujung pada
“kecurigaan” antara masyarakat dan aparat penegak hukum dan tidak ada kejelasan
penyelesaiannya.
 Beberapa penyelesaian kasus Dana Desa (DD) dugaan penyalahgunaan uang negara hasil
pemeriksaan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) Kabupaten/Kota sering
mengendap di inspektorat daerah tanpa kejelasan. Pada lain pihak, apparat Kepolisian
maupun Kejaksaan tidak bisa berbuat banyak ketika hasil APIP belum direkomendasikan
Pemda untuk ditindak-lanjuti, padahal jelas-jelas sudah ada indikasi kerugian negara.

Materi Ketiga

Restorative Justice.
 This is not a new approach.
 Restorative justice has historic roots that can be traced in most societies prior to the
development of modern criminal justice systems.
 It continues to be practised through indigenous and customary approaches to justice and
conflict resolution.
 Restorative justice processes can be adapted to various cultural contexts and the varying
needs of different communities.

Restorative justice itu apa?


 Restorative justice is a problem-solving approach to crime which involves the parties
themselves, and the community generally, in an active relationship with statutory agencies
(Marshall, 1998)
 [Keadilan restoratif adalah pendekatan pemecahan masalah kejahatan yang melibatkan para
pihak itu sendiri, dan masyarakat pada umumnya, dalam hubungan aktif dengan badan
hukum] (Marshall, 1998)

Latar belakang yang berkaitan dengan restorative justice?


Problem kejahatan :
 Kebutuhan masyarakat: penanggulangan kejahatan (crime control) dan jika kejahatan
terjadi, keadilan ditegakkan (justice be done).
 Hal itu, utamanya, merupakan tugas dari Sistem Peradilan Pidana (demikian pula di
Indonesia).
 Sistem Peradilan Pidana  memproses kasus kejahatan dan pada ujungnya menjatuhkan
putusan pidana bagi terdakwa yang terbukti bersalah  seringnya dan tampaknya
meningkat yakni dengan pidana penjara.
 Hal ini didukung dengan terus meningkatnya legislasi berupa UU Pidana Khusus maupun
UU Administrasi yang bermuatan ketentuan pidana.

Bagaimana di Indonesia?
Kesalahan memahami RJ.
 Pemahaman tentang Restorative Justive yang kurang tepat, misalnya dianggap sama dengan
penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan
 Padahal, tidak sama antara Restorative Justive dengan Penyelesaian Perkara di Luar
Pengadilan (afdoening buiten proces) atau transactie seperti di Belanda, atau suspended
prosecution, dll
 Aturan-aturan acara pidana ( seperti penyelidikan, penyidikan, penuntutan, upaya paksa,
penghentian perkara, pemeriksaan di pengadilan, pembuktian, putusan, upaya hukum) harus
dilakukan dengan undang-undang (wet), tidak bisa dengan sembarang peraturan.
 Jika RJ dianggap = penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, maka ada yang berfikir
bahwa kejahatan tanpa korban (victimless) seperti narkotika, ataupun mass victim seperti
korupsi, tindak pidana Pemilu dll bisa menggunakan RJ.
 Penekanan pada peranan korban dalam penyelesaian perkara pidana yang menimpanya,
serta hubungan pelaku dan korban, dll kurang mendapat perhatin, lebih ditonjolkan
”penyelesaian perkara di luar pengadilan” (ada istilah “DI RJ-KAN”).

Materi Keempat.
Realitas Korupsi di Indonesia.
Berdasarkan Surat Nomor : 002/PNT-SNHP/EKS/V/2022, Ambon 3 Juni 2022 dari Dekan
Fakultas Hukum Universitas Patimura, dalam Seminar Nasional dengan tema ’’Strategi
Pengembalian dan Pemulihan Aset Tindak Pidana Korupsi di Indonesia’’, pada hari Kamis
tanggal 6 Juli 2022 .

• BUKAN LAGI “CORRUPTION BY NEED, PETTY CORRUPTION OR SPORADIC


CORRUPTION”,
• TETAPI MERUPAKAN “POLITICAL CORRUPTION” YANG BERSIFAT SISTEMIK,
ENDEMIK, TRANSAKSIONAL DAN “BERSIFAT ABUSE OF POWER“.
• BAHKAN DAPAT DIKATAKAN BAHWA TIPIKOR MERUPAKAN “A CRIME OF
CALCULATION”

Karakteristik dan Dimensi Korupsi.


• Terkait dengan berbagai kompleksitas masalah -> kausa dan kondisi kriminogen : “multi
dimensi”
• Korupsi tidak hanya mengandung aspek ekonomis, tetapi juga korupsi nilai-nilai moral,
korupsi jabatan/kekuasaan, korupsi politik dan nilai-nilai demokrasi dsb.
• Terkait dgn “economic crimes”, “organized crimes”, “white collar crime”, “political
crime”, “top hat cime” (“crime of politician in office”), dan bahkan “transnational crime”;
• Mengandung dua fenomena kembar (“twin phenomena”) : “penalisasi politik”
(“penalization of politics”) dan “politisasi proses peradilan pidana” (“politicising of the
criminal proceedings”).
Karakteristik Hukum Pidana (Keterbatasan/Kelemahan).
 Sebab-sebab korupsi sangat kompleks, tdk dapat diatasi dgn HP dan berada di luar
jangkauan HP;
 HP bagian kecil (sub-sistem) dari sarana kontrol sosial ;
 HP hanya "kurieren am symptom“; "pengobatan simptomatik" dan bukan "pengobatan
kausatif";
 Sanksi HP: mengandung sifat paradoksal dan unsur-unsur / efek samping yang negatif;
 Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/ personal, tidak bersifat
struktural/fungsional;
 Berfungsinya HP memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan "biaya
tinggi".

UNCAC dan Perubahan Paradigma Pemberantasan Korupsi.


• Perubahan paradigma, dari paradigma penghukuman dan penjeraan kepada paradigma
menitikberatkan pengembalian atau pemulihan aset hasil korupsi
• Merupakan isu strategis dan terobosan besar dalam pemberantasan korupsi, Perubahan
paradigma ini dimuat dalam Bab V Konvensi PBB Antikorupsi tahun 2003
• Upaya pemulihan aset hasil kejahatan menjadi salah satu kaidah yang diatur dalam United
Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) tahun 2003 dengan memaksimalkan
upaya perampasan aset hasil kejahatan tanpa tuntuan pidana.

Metode Pendekatan Penangan TPK Berdasar Orientasi Tujuan


• Pertama, pendekatan konvensional, Follow the suspect, yakni penanganan tindak pidana
yang berprioritas kepada pelaku kejahatan (Penghukuman).
• Kedua, follow the money and follow the asset, yaitu penanganan tindak pidana yang
berprioritas kepada hasil kejahatan (Pengembalian Kerugian).
• Metode ketiga, adalah gabungan dari kedua metode diatas, yang sampai saat ini dianggap
paling efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi (Penghukuman dan
Pengembalian Kerugian).

Keunggulan dan Keleluasaan NCB.


• NCB Asset Forfeiture adalah alat penting dalam pengembalian aset (asset recovery),
khususnya dalam mengungkap kekayan yang tidak wajar di negara-negara berkembang yang
tingkat korupsinya tinggi.
• Di beberapa yurisdiksi, NCB Asset Forfeiture ini juga disebut sebagai “civil forfeiture”, “in
rem forfeiture”, atau “objective forfeiture”, adalah tindakan melawan aset itu sendiri
(misalnya, Negara vs. $100.000), bukan terhadap individu (in personam).
• NCB Asset Forfeiture adalah tindakan yang terpisah dari setiap proses pidana, dan
membutuhkan bukti bahwa suatu “properti” (harta kekayaan) itu “tercemar” (ternodai) oleh
tindak pidana.

Anda mungkin juga menyukai