Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

”TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA”

DISUSUN OLEH :
ANITA CAROLINA
21270063P

PROGRAM STUDI ILMU KEBIDANAN (S1)


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS DEHASEN
BENGKULU 2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdullilah, dengan segenap kerendahan hati dan ketulusan jiwa, kami
panjatkan kepada hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat karunia dan
hidayah-Nya, sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan judul “Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia”. Shalawat serta salam semoga terlimpah curah kepada Rasul kita
Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan pencerahan kepada kita dengan agama
rahmatan lil’alamin, agama islam.
Dengan selesainya penulisan makalah ini tidak lepas dari bantuan serta dukungan dari
semua pihak baik moril ataupun materil sehingga makalah ini dapat terselesai dengan baik.
Tentunya semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua terlebih – lebih
bagi kami yang mengerjakan makalah ini. Karena keterbatasan kami, makalah inimasih jauh
dari sempurna, maka saran dan kritik sangat dibutuhkan demi penyempurnaanya. Akhir kata,
sekian dari kami. Kurang lebihnya kami mohon maaf yang sebesar – besarnya.

Mukomuko, 25 Maret
2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………….................................i

DAFTAR ISI …………………………………………………………………...................ii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.................................................................................................................1

1.2 Tujuan .............................................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................5

2.1 Pengertian Tindak Pidana Korupsi................................................................................5

2.2 Pengembalian Kerugian Keuangan Negara...................................................................7

2.3 Pelaku Tindak Pidana Korupsi .....................................................................................11

2.4 Pertimbangan Hakim pada Tindak Pidana Korupsi.......................................................14

2.5 Putusan Hakim pada Tindak Pidana Korupsi................................................................16

BAB III PENUTUP.............................................................................................................20

3.1 Kesimpulan....................................................................................................................20

3.2 Saran..............................................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................22

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini, sudah dalam posisi yang sangat parah dan begitu
mengakar dalam setiap sendi kehidupan. Perkembangan praktek korupsi dari tahun ke tahun
semakin meningkat, baik dari kuantitas atau jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi
kualitas yang semakin sistematis, canggih serta lingkupnya sudah meluas dalam seluruh aspek
masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana
tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan
bernegara pada umumnya. Maraknya kasus tindak pidana korupsi di Indonesia, tidak lagi
mengenal batas-batas siapa, mengapa, dan bagaimana. Tidak hanya pemangku jabatan dan
kepentingan saja yang melakukan tindak pidana korupsi, baik di sektor publik maupun privat,
tetapi tindak pidana korupsi sudah menjadi suatu fenomena.

Penyelenggaraan negara yang bersih menjadi penting dan sangat diperlukan untuk
menghindari praktek-praktek korupsi yang tidak saja melibatkan pejabat bersangkutan, tetapi
juga oleh keluarga dan kroninya, yang apabila dibiarkan, maka rakyat Indonesia akan berada
dalam posisi yang sangat dirugikan. Menurut Nyoman Serikat Putra Jaya menyebutkan bahwa
tindak pidana korupsi tidak hanya dilakukan oleh penyelenggara negara, antar penyelenggara
negara, melainkan juga penyelenggara negara dengan pihak lain seperti keluarga, kroni dan para
pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
serta membahayakan eksistensi negara. 1 Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang
bukan saja dapat merugikan keuangan negara akan tetapi juga dapat menimbulkan
kerugiankerugian pada perekonomian rakyat. Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa, tindak
pidana korupsi merupakan perbuatan yang sangat tercela, terkutuk dan sangat dibenci oleh
sebagian besar masyarakat; tidak hanya oleh masyarakat dan bangsa Indonesia tetapi juga oleh
masyarakat bangsa-bangsa di dunia.

Perkembangan korupsi di Indonesia masih tergolong tinggi, sedangkan pemberantasannya


masih sangat lamban. Romli Atmasasmita menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah
merupakan virus flu yang menyebar ke seluruh tubuh pemerintahan sejak tahun 1960-an

1
langkah-langkah pemberantasannya pun masih tersendat-sendat sampai sekarang. Selanjutnya,
dikatakan bahwa korupsi berkaitan pula dengan kekuasaan karena dengan kekuasaan itu
penguasa dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, keluarga dan
kroninya.

Korupsi di Indonesia terjadi secara sistemik, massif dan terstruktur sehingga bukan saja
merugikan kondisi keuangan Negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak social dan ekonomi
masyarakat secara luas. Sesuai pendapat Lord Acton (John Emerich Edward Dalberg Acton)
dalam suratnya kepada Bishop Mandell Creihgton menulis sebuah ungkapan yang
menghubungkan antara Korupsi dengan Kekuasaan yakni “Power tends to corrupt, and absolut
Power corrupts absolutely” bahwa kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang
absolut cenderung korupsi absolut.Ungkapan tersebut adalah kondisi yang terjadi saat ini di
Indonesia. Jika melihat perjalanan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi saat ini, maka tidak
dapat kita pisahkan dari peran penting Lembaga Peradilan dalam penegakan hukum di Indonesia.

Hakim sebagai penegak hukum mempunyai tugas pokok di bidang yudisial, yaitu menerima,
memeriksa, memutusakan dan menyelesaiakan setiap perkara yang ditujukan kepadanya, tugas
seperti itu dapat dinyatakan bahwa Hakim merupakan pelaksanaan inti yang secara fungsional
melaksanakan kekuasaan kehakiman sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2008 tentang Kekuasaan Kehakiman. Barda Nawawi Arief mengemukakan gagasan
tentang konsep kekuasaan dalam arti luas yaitu “Kekuasaan negara untuk menegakan hukum dan
keadilan demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia”, dengan pengertian seperti
ini, maka kekuasaan kehakiman tidak hanya berarti “kekuasaan mengadili” (kekuasaan
menegakan hukum dalam seluruh proses penegakan hukum).

Adapun sasaran penyelenggaraan kekuasan kehakiman adalah untuk menumbuhkan


kemandirian para penyelenggara kekuasaaan kehakiman dalam rangka mewujudkan peradilan
yang berkualitas. Kemandirian para penyelenggara dilakukan dalam meningkatkan integritas,
ilmu pengetahuan dan kemampuan. Peradilan yang berkualitas merupakan produk dari kinerja
para penyelenggara peradilan tersebut. Dalam menjatuhkan Putusan, Hakim seyogyanya harus
berpedoman kepada ketentuan yang sudah diatur di dalam Undang-Undang. Sebagaimana diatur
dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang

2
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.6 Mengenai ancaman pidana minimum khusus, pidana
denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana,
pemberian acaman pidana minimal khusus dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi adalah untuk memberikan efek jera kepada koruptor dan mencegah potensi terjadinya
Tindak Pidana Korupsi

Oleh karena itu, tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa
melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Hal ini dikarenakan,
metode konvensional yang selama ini yang digunakan, terbukti tidak bisa menyelesaikan
persoalan korupsi yang ada di masyarakat. Dengan demikian, dalam penanganannya pun juga
harus menggunakan cara-cara luar biasa (extra-ordinary). Sementara itu, penanganan tindak
pidana korupsi di Indonesia masih dihadapkan pada beberapa kondisi, yakni masih lemahnya
upaya penegakkan hukum tindak pidana korupsi, kualitas SDM aparat penegak hukum yang
masih rendah, lemahnya koordinasi penegakkan hukum tindak pidana korupsi, serta masih sering
terjadinya tindak pidana korupsi dalam penanganan kasus korupsi.

Pada era reformasi sekarang ini, terwujudnya good governance antara lain harus didukung
dengan penegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Hal ini selaras dengan tujuan yang
diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang
bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Selanjutnya, beberapa peraturan
perundang-undangan dibentuk dalam upaya memberantas korupsi tersebut, yaitu: Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya, Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang
Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa, karena dapat merusak sendi-
sendi kehidupan bernegara. Namun demikian, pada kenyataannya, penjatuhan hukuman kepada
pelakunya sangat ringan dibanding dengan ancaman pidananya, sehingga menimbulkan
anggapan bahwa meningkatnya kejahatan dikarenakan para Hakim memberikan hukuman ringan
atas pelaku koruptor. Oleh karena itu, sebaiknya tindakan yang diambil pengadilan merupakan
“ultimum remedium” terhadap pelanggar/pelaku kejahatan khususnya korupsi.

3
Putusan pengadilan pada umumnya masih jauh di bawah batas maksimum dari pidana yang
ditetapkan dalam undang-undang. Hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan terkait kasus
korupsi menerapkan pidana yang cukup jauh di bawah ketentuan maksimum pemidanaan dalam
UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lebih jauh lagi, pengadilan dalam
menjatuhkan putusan pemberian sanksi pidana kepada para koruptor, ternyata memberikan
hukuman yang berbeda-beda antara pelaku yang satu dengan pelaku yang lain. Dengan kata lain,
terjadi suatu disparitas pemidanaan, yaitu penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak
pidana yang sama.

Oleh karena itu, masalah penjatuhan hukuman tidak hanya penting bagi Hakim dan proses
peradilan. Pola penjatuhan hukuman tersebut sangat penting bagi proses hukum secara
menyeluruh terutama dalam hal penegakan hukum. Salah satu unsur yang harus dipegang agar
proses penegakan hukum berjalan lancar adalah kepercayaan dan penghargaan yang tinggi
terhadap hukum. Kemungkinan besar hal itu tidak akan tercapai apabila penjatuhan hukuman
terlalu besar variasinya. Hal ini juga menyangkut masalah keadilan (kesebandingan), yang
biasanya diharapkan akan datang dari pengadilan sebagai lembaga atau peradilan sebagai suatu
proses. Selama lembaga tersebut tidak memperhatikan akibat dan penjatuhan hukuman, maka
akan sulit untuk menumbuhkan kepercayaan warga masyarakat kepada pengadilan. Harapan
sebagian besar masyarakat adalah bahwa hukuman yang dijatuhkan benarbenar menimbulkan
perubahan yang signifikan dalam kasus-kasus korupsi yang telah memporak-porandakan sendi-
sendi dalam bermasyarakat dan bernegara.

1.2 Tujuan

Tujuan Penulisan makalah ini adalah:

1. Untuk memenuhi tugas kuliah S1 Kebidanan Universitas Dehasen Bengkulu.


2. Untuk menambah wawasan tentang makna unsur memperkaya dan/atau menguntungkan
dalam tindak pidana korupsi.
3. Untuk menjelaskan batasan-batasan nilai kerugian negara yang masuk dalam kategori
memperkaya dan/atau menguntungkan dalam tindak pidana korupsi.
4. Untuk menjelaskan penerapan unsur memperkaya dan/atau menguntungkan oleh hakim
dalam pemidanaan tindak pidana korupsi di masa yang akan datang.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Menurut Ensiklopedia Antikorupsi Indonesia, “Korupsi” (dari bahasa Latin: corruption =


penyuap; corruptore = merusak) merupakan gejala dimana pejabat, badan-badan negara
menyalahgunakan wewenangnya dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan
lainnya. Korupsi merupakan penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan
sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain .

Menurut Lubis dan Scott, korupsi adalah tingkah laku yang menguntungkan kepentingan diri
sendiri dengan merugikan orang lain, oleh para pejabat pemerintah yang langsung melanggar
batas-batas hukum atas tingkah laku tersebut.

Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan merusak. Jika
membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan seperti itu karena korupsi
menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang buruk, jabatan dalam instansi atau aparatur
pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan
politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan dibawah kekuasaan
jabatannya.

Tindak Pidana Korupsi merupakan suatu perbuatan untuk memperkaya diri sendiri atau suatu
golongan merupakan suatu tindakan yang sangat merugikan orang lain, bangsa dan negara.
Korupsi merupakan penyakit yang telah menjangkit negara Indonesia. Layaknya penyakit, orupsi
ini harus disembuhkan agar tidak menyebar ke bagian tubuh yang lainnya. Terhadap bagian
tubuh yang sudah membusuk dan tidak bisa diselamatkan lagi, maka bagian tubuh itu harus
diamputasi agar virus tidak menyebar ke bagian lainnya yang dapat membahayakan jiwa si
penderita. Demikian juga dengan tindak pidana korupsi ini.

Korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara
karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat,
kelompok sendiri), atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.

5
Unsur tindak pidana korupsi tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi yang bunyinya
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya dirisendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negaraatau perekonomian
negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup ataupidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahundan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyakRp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Korupsi adalah suatu tindakan pidana yang memperkaya diri sendiri dengan secara langung
atau tidak merugikan keuangan dan perekonomian negara. Tindak pidana korupsi (Tipikor)
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat, baik ekonomi maupun sosial. Tindak
pidana korupsi pun tidak lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crimes), melainkan
telah menjadi kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes). Akibat dari korupsi, penderitaan
selalu dialami oleh masyarakat, terutama yang berada dibawah garis kemiskinan. Adapun unsur-
unsur dominan yang melekat pada tindakan korupsi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Setiap korupsi bersumber pada kekuasaan yang didelegasikan (delegated power, derived
power). Pelaku-pelaku korupsi adalah orang-orang yang memperoleh kekuasaan atau
wewenang dari perusahaan atau negara dan memanfaatkannya untuk
kepentingankepentingan lain.
2. Korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari pejabatpejabat yang
melakukannya.
3. Korupsi dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan pribadi, link, atau kelompok. Oleh
karena itu, korupsi akan senantiasa bertentangan dengan keuntungan organisasi,
kepentingan negara atau kepentingan umum.
4. Orang-orang yang mempraktikkan korupsi, biasanya berusaha untuk merahasiakan
perbuatannya. Ini disebabkan karena setiap tindakan korupsi pada hakikatnya
mengandung unsur penipuan dan bertentangan dengan hukum.
5. Korupsi dilakukan secara sadar dan disengaja oleh para pelakunya. Dalam hal ini tidak
ada keterkaitan antara tindakan korup dengan kapasitas rasional pelakunya. Dengan
demikian, korupsi jelas dapat diberkan dari mal-administrasi atau salah urus.

6
Kelihaian manusia untuk menghindari sistem yang dirancang untuk melinddungi integritas
lembaga dan proses tampak tidak ada habishabisnya. Bila dibiarkan saja dan tidak dibendung,
korupsi kemungkinan besar akan meningkat. Hal tersebut diakibatkan oleh rasa malu yang sudah
kian menjadi barang langka di negeri ini.

2.2 Pengembalian Kerugian Keuangan Negara

Keuangan negara merupakan urat nadi dalam pembangunan suatu negara dan amat
menentukan kelangsungan perekonomian, baik sekarang maupun yang akan datang.

Pengembalian dilakukan apabila terjadi penyimpangan kekuasaan yang dilakukan oleh


pejabat yang tujuannya untuk memperkaya diri sendiri atau korporasi dan mengakibatkan
kerugian kepada keuangan negara.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa, pengembalian ialah proses,
cara perbuatan mengembalikan, pemulangan, pemulihan. Kata Kerugian menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa diartikan sebagai menanggung atau menderita rugi;
sesuatu yang di anggap mendatangkan rugi.

Menurut Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, merumuskan


pengertian keuangan negara ialah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan
uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Kerugian keuangan negara adalah berkurangnya kekayaan negara yang disebabkan oleh

penyalahgunaan wewenang atau kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena

jabatan dan kedudukannya.

Kerugian keuangan negara dapat terjadi pada dua tahap, yaitu pada tahap dana akan masuk

pada kas negara dan pada tahap dana akan keluar dari kas negara. Pada tahap dana yang akan

masuk ke kas negara, kerugian bisa terjadi melalui konspirasi pajak, denda, pengembalian

kerugian negara dan penyeludupan, sedangkan pada tahap dana akan keluar dari kas negara

kerugian terdai akibat mark up, korupsi, pelaksanaan kegiatan yang tidak sesuai dengan

7
program, dan lain-lain. Perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan perekonomian negara ialah

pelanggaran-pelanggaran pidana terhadap peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh

pemerintah dalam bidang kewenangannya.

Teori pengembalian kerugian keuangan negara adalah teori hukum yang menjelaskan sistem

hukum pengemmbalian kerugian keuangan negara berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial

yang memberikan kemampuan, tugas dan tanggungjawab kepada institusi negara dan institusi

hukum untuk memberikan perlindungan dan peluang kepada individu-individu dalam

masyarakat dalam mencapai kesejahteraan. Teori ini dilandaskan pada prinsip dasar “Berikan

kepada negara yang menjadi hak negara.” Di dalam hak negara terkandung kewajiban negara

yang merupakan hak individu masyarakat, sehingga prinsip tersebut setara dan sebangun

dengan prinsip “berikan kepada rakyat apa yang menjadi hak rakyat”22.

Terdapat ada 2 cara untuk penyelesaian ganti kerugian atau pengembalian uang negara yang

dikenal didalam hukum pidana, antara lain:

1. Penuntutan Berdasarkan Hukum Pidana Umum


Kerugian negara bukan kekurangan perbendaharaan yang memenuhi unsur ketentuan
hukum pidana umum, sebagaimana ditentukan dalam KUHP, seperti pencurian,
perampokan, penggelapan dan pemalsuan.
Kerugian negara yang memenuhi unsur pidana umum sekali-kali tidak dianggap selesai
begitu saja,walaupun pegawai negeri yang bersangkutan telah mengganti sepenuhnya
kerugian negara dan/atau telah dikenai hukuman disiplin berdasarkan ketentuan yang
berlaku.
Kepala Kantor Urusan/Satuan Kerja membantu penyelesaian kerugan negara tersebut
membuat laporan tertulis dan menyampaikan kepada kepolisian. Kemudian mengadakan
penelitian lebih lanjut mengenai kejadian, macam dan jumlah kerugian. Hasil penelitian
dan langkah tindak tersebut dilaporkan kepada meneteri dengan tembusan kepada pejabat
terkait. Selanjutnya melakukan pemantauan atas perkembangan penyelesaian kasus

8
tersebut dan melaporkan hasilnya kepada menteri.

2. Penuntutan Berdasarkan Hukum Pidana Khusus.


Dalam hal suatu peristiwa kerugian neegara mengandung unsur tindak pidana khusus
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-
undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN,
dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, maka kepala
kantor atau satuan kerja didalam laporannya wajib menyatakan adanya unsur tindak
pidana khusus tersebut, sedangkan penyerahan perkaranya kepada kejaksaan dilaukan
setelah diperoleh petunjuk dari menteri c.q. kepala biro hukum dan humas.
Pengembalian Kerugian Keuangan Negara telah diatur dengan 4 (empat) cara yang biasa

digunakan, antara lain:

1. Perampasan Barang Bergerak


Perampasan barang bergerak diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Perampasan barang bergerak ini dilakukan apabila terpidana
tidak melaksanakan putusan hakim untuk membayarkan uang pengganti.
2. Pembayaran Uang Pengganti
Dalam Undang-undang tindak pidana korupsi yang pernah berlaku di Indonesia,
penerapan uang pengganti pertama kali terdapat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1971. Menurut undang-undang tersebut, pembayaran uang pengganti harus sama seperti
jumlah uang yang dikorupsi.
Terdapat kelemahan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tersebut tentang uang
pengganti, pasalnya dalam undang-undang tersebut tidak menentukan kapan batas waktu
pembayaran uang pengganti tersebut, sehingga pada Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 dimuat batas maksimal pembayaran uang pengganti tersebut.Pembayaran uang
Peng ganti diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.

9
Pada dasarnya terdapat 2 (dua) model pembebanan yang selama ini diterapkan oleh
hakim yang memutus perkara korupsi untuk mengembalikan kekayaan negara yang telah
dikorupsi. Model pembebanan tersebut terdiri dari:
a. Pembebanan Tanggung-Renteng
Tanggung-renteng (tanggung-menanggung bersama) yang lebih dikenal dalam ranah
hukum perdata, adalah cara terjadinya suatu perikatan dengan jumlah subjek yang
banyak. Dalam konteks hukum perdata, dikenal ada 2 (dua) bentuk tanggung-renteng
yakni aktif dan pasif. Tanggung-renteng dapat dikatakan aktif apabila jumlah pihak
yang berpiutang (kreditur) lebih dari satu, dan sebaliknya, tanggung-renteng pasif
terjadi apabila jumlah pihak yang berutang (debitur) lebih dari satu.
Dengan model tanggung-renteng, majelis hakim dalam putusannya hanya
menyatakan para terdakwa dibebani pidana uang pengganti sekian rupiah dalam
jangka waktu tertentu. Majelis Hakim sama sekali tidak menghiraukan bagaimana
cara para terdakwa mengumpulkan sejumlah uang pengganti tersebut, entah itu
ditanggung sendiri oleh salah satu terdakwa atau urunan dengn porsi tertentu. Sesuai
dengan spirit yang melatarbelakangi konsep pemidanaan uang pengganti, negara
hanya peduli bagaimana uang negara yang telah dikorupsi dapat kembali lagi.
b. Pembebanan Secara Proporsional
Pembebanan secara proporsional adalah pembebanan pidana uang pengganti dimana
majelis hakim dalam amarnya secara definitif menentukan berapa besar beban
masing-masing terdakwa. Penentuan jumlah uang pengganti tersebut didasarkan pada
penafsiran hakim atas kontribusi masing-masing terdakwa dalam tindak pidana
korupsi terkait.
c. Pidana Denda
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Denda adalah hukuman yang berupa
keharusan membayar dalam bentuk uang (karena melanggar aturan, undang-undang,
dan sebagainya).
Jenis pidana denda berbeda dengan jenis pidana lainnya karena pidana selain denda
merupakan pidana perampasan kemerdekaan. Dan ditujukan pada jiwa orang,
sedangkan pidana denda ditujukan pada harta benda si terpidana. Dalam tindak pidana
korupsi pidana denda merupakan pidana wajib dan tidak dapat digantikan dengan

10
jenis pidana lainnya.
Pada umumnya penerapan pidana uang pengganti dengan pidana denda dilakukan
bersamaan. Pidana uang pengganti digunakan untuk mengembalikan seluruh asset
negara yang hilang, sedangkan pidana denda diterapkan sebagai bentu hukuman
tambahan bagi pelaku tindak pidana korupsi yang apabila tidak dibayarkan maka akan
diganti dengan pidana kurungan.
d. Gugatan Secara Perdata
Gugatan perdata sangat perlu dilakukan. Jaksa sebagai pengacara negara perlu
memperbanyak gugatan secara perdata kalau syarat-syarat untuk melakukan gugatan
perdata memang sudah cukup terpenuhi. Gugatan yang dilakukan jaksa sebagai
pengacara negara tentunya tidak sekedar hanya untuk memenuhi unsur menggugat,
akan tetapi juga harus memenuhi syarat formil dan materil.
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 telah diatur pula kemungkinan penggunaan gugatan perdata, yakni dalam Pasal
32, Pasal 33, Pasal 34 dan Pasal 38 huruf c, dalam hal terdakwa atau tersangka
meninggal dunia atau tidak bisa dilanjutkannya penuntutan karena tidak cukup bukti
meskipun sudah terdapat kerugian negara.
Gugatan perdata perlu ditempatkan sebagai upaya hukum yang utama di samping
upaya secara pidana, bukan sekedar bersifat fakultatif atau komplemen dari hukum
pidana, sebagaimana diatur dalam Undang- Undang.
2.3 Pelaku Tindak Pidana Korupsi

“Pelaku tindak pidana (Dader) menurut doktrin adalah barang siapa yang melaksanakan
semua unsur-unsur tindak pidana sebagai mana unsurunsur tersebut dirumuskan di dalam
undang-undang menurut KUHP”.

Pelaku tindak pidana korupsi adalah perilaku tidak mematuhi prinsip, dilakukan oleh
Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara dan setiap orang adalah orang perseorangan
termasuk korporasi keputusan dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga, korupsi
akan timbul, termasuk juga konflik kepentingan dan nepotisme.

Tindak pidana korupsi dalam UU Tipikor dirumuskan dalam Pasal:


2,3,5,6,7,8,9,11,12,12B,13,15,16,21,22,23,dan Pasal 24. Dari pasal-pasal tersebut ada 44

11
rumusan tindak pidana korupsi yang atas dasar-dasar tertentu dapat juga dibedakan dan
dikelompokkan sebagai berikut:
1. Atas Dasar Substansi Objek Tindak Pidana Korupsi
Atas dasar substansi objeknya, tindak pidana korupsi dapat dibedakan menjadi beberapa
jenis:
a. Tindak Pidana Korupsi Murni
Tindak pidana korupsi yang substansi objeknya mengenai hal yang berhubungan
dengan perlindungan hukum terhadap kepentingan umum yang menyangkut
keuangan negara, perekonomian negara, dan kelancara pelaksanaan tugas/ pekerjaan
pegawai negara atau pelaksanaan pekerjaan yang bersifat publik. Kelompok ini
dirumuskan dalam Pasal 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10 , 11, 12, 12B, 13, 15, 16, dan Pasal
23 (yang mengadopsi norma didalam Pasal 220, 231, 421, 422, 429, 430 KUHP).
Diantara pasal- pasal tersebut ada 20 (dua puluh) pasal yang memuat 38 (tiga puluh
delapan) rumusan tindak pidana korupsi murni. Tindak pidana kelompok ini
merupakan kejahatan jabatan, artinya subjek hukumnya adalah pegawai negeri atau
orang selain pegawai negeri (disamakan dengan pegawai negeri) yang menjalankan
tugas-tugas pekerjaan yang menyangkut kepentingan publik dengan
menyalahgunakan kedudukannya.
b. Tindak Pidana Korupsi Tidak Murni
Tindak pidana korupsi tidak murni ialah tindak pidana yang substansi objeknya
mengenai perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum bagi kelancaran
pelaksanaan tugas-tugas penegak hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi. Tindak pidana yang dimaksud disini hanya diatur dalam tiga pasal, yakni
Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 24 UU TIPIKOR.
2. Atas Dasar Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi
Atas dasar subjek hukum si pembuatnya, maka tindak pidana korupsi dapat dibedakan
menjadi dua kelompok, yaitu:
a. Tindak Pidana Korupsi Umum
Tindak pidana korupsi umum ialah bentuk korupsi yang ditujukan tidak terbatas
kepada orang-orang yang berkualitas sebagai pegawai negeri, akan tetapi ditujukan
kepada setiap orang termasuk korporasi. Rumusan norma ini berlaku untuk semua

12
orang. Yang termasuk dalam kelompok tindak pidana korupsi umum ini terdapat
dalam pasal 2, 3, 5, 6, 7, 13, 15, 16, 21, 22, 24 UU Tipikor, Pasal 220 dan Pasal 231
KUHP jo Pasal 23 UU Tipikor.
b. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri dan atau Penyelenggara Negara
Tindak pidana korupsi pegawai negeri dan atau penyelenggara negara adalah tindak
pidana korupsi yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas sebagai
pegawai negeri atau penyelenggara negara. Artinya, tindak pidana yang dirumuskan
itu semata-mata dibentuk untuk pegawai negeri atau penyelenggara negara. Rumusan
tindak pidana pegawai negeri ini terdapat dalam Pasal 8, 9, 10, 11, 12, 12B, dan Pasal
23 UU Tipikor (yang mengadopsi Pasal 421, 422, 429, dan Pasal 430 KUHP).
Tindak pidana korupsi ini merupakan bagian dari kejahatan jabatan atau dapat disebut
sebagai kejahatan jabatan khusus. Sedangkan kejahatan jabatan umum ditempatkan
dalam pasal-pasal Bab XXVIII Buku II KUHP yang tidak ditarik atau dirumuskan ke
dalam tindak pidana korupsi.
3. Atas Dasar Sumbernya
Atas dasar sumbernyam, korupsi dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok sebagai
berikut:
a. Tindak pidana korupsi yang bersumber pada KUHP Dibedakan menjadi 2 (dua)
macam, yaitu sebagai berikut:
- Tindak pidana korupsi yang dirumuskan tersendiri dalam UU Tipikor,
rumusan tersebut berasal atau bersumber dari rumusan tindak pidana
dalam KUHP. Formula rumusannya agak berbeda dengan rumusan
aslinya dalam Pasal KUHP yang bersangkutan, tetapi substansinya
sama. Kelompok ini antara lain tindak pidana korupsi sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan Pasal 12 UU Tipikor.
- Tindak pidana korupsi yang menunjuk pada pasal-pasal tertentu dalam
KUHP dan ditarik menjadi tindak pidana korupsi dengan mengubah
ancaman dan sistem pemidanaannya. Kelompok ini antara: Pasal 23 UU
Tipikor yang merupakan hasil saduran dari Pasal 220, 231, 421, 422,
429 dan Pasal 430 KUHP menjadi tindak pidana korupsi.
b. Tindak pidana korupsi yang oleh UU Tipikor dirumuskan sendiri sebagai tindak

13
pidana korupsi.
Tindak pidana ini berupa tindak pidana asli yang dibentuk oleh UU Tipikor. Yang
termasuk ke dalam kelompok ini ialah tindak pidana korupsi sebagaimana yang
dirumuskan dalam Pasal 2, 3, 12B, 13, 15, 16, 21, 22 dan Pasal 24 UU Tipikor.
4. Atas Dasar Tingkah Laku/Perbuatan
Tindak pidana korupsi atas dasar tingkah laku dalam rumusan tindak pidana, maka dapat
dibedakan antara tindak pidana korupsi aktif dan tindak pidana korupsi pasif.
a. Tindak pidana korupsi aktif atau tindak pidana korupsi positif Ialahtindak pidana
korupsi yang dalam rumusannya mencantumkan unsur perbuatan aktif.
Perbuatan aktif atau perbuatan materiil yang bisa disebut juga perbuatan jasmani
adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan gerakan tubuh atau
bagian dari tubuh orang. Tindak pidana korupsi ini terdapat dalam beberapa
pasal, antara lain Pasal 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12B, 13, 15, 16, 21, dan
Pasal 22 UU Tipikor serta Pasal 220, 231, 421, 422, 429, dan Pasal 430 KUHP.
b. Tindak pidana korupsi pasif atau Tindak pidana korupsi negative Tindak pidana
korupsi pasif adalah tindak pidana yang unsur tingkah lakunya dirumuskan secara
pasif. Sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana pasif itu adalah tindak pidana
yang melarang untuk tidak berbuat akrif (disebut perbuatan pasif). Apabila dia
tidak menuruti kewajiban hukumnya untuk berbuat (aktif) tertentu tersebut,
artinya dia telah melanggar kewajiban hukumnya untuk berbuat tadi, maka dia
dipersalahkan melakukan sesuatu tindak pidana pasif tertentu. Tindak pidana pasif
korupsi terdapat dalam pasal-pasal berikut, antara lain Pasal 7, 10, 23, 24.
2.4 Pertimbangan Hakim

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Hakim
adalah merupakan pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
mengadili.

Menurut Kamus Hukum, dalam Bahasa belanda hakim disebut rechter belanda hakim
disebut rechter yang artinya adalah petugas pengadilan yang mengadili perkara.

Pada dasarnya hakim dapat diartikan sebagai orang yang bertugas untuk menegakkan
keadilan dan kebenaran, menghukum orang yang berbuat salah dan membenarkan orang yang

14
benar. Dan, didalam menjalankan tugasnya, ia tidak hanya bertanggung jawab kepada pihak-
pihak yang berpekara saja, dan menjadi tumpuan harapan pencari keadilan, tetapi juga
mempertanggung jawabkannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bukankah dalam tiap-tiap amar
putusan hakim selalu didahului kalimat: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”.

Dalam menjalankan tugasnya, hakim tentu saja memiliki hak dan kewajiban yang harus dia
laksanakan. Baik itu yang bersifat melindungi hakim itu sendiri, maupun yang memaksa hakim
tersebut.

Hakim dalam menjalankan tugasnya berdasarkan asas Ius Curia Novit dijelaskan tidak
boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada hukumnya maupun tidak terdapat
hukumnya, karna menurut asas tersebut dijelaskan bahwa hakim dianggap mengetahui semua
hukum, sehingga pengadilan (dalam hal ini hakim) tidak boleh menolak suatu perkara. Asas
tersebut juga diperkuat dengan adanya pasal 10 ayat (1) Undang - Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang
No. 48 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa: dalam sidang pemusyawaratan, setiap hakim
wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang
diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Hakim ketua dalam memeriksa perkara di
sidang pengadilan harus menggunakan bahasa Indonesia yang dimengerti oleh para penggugat
dan tergugat atau terdakwa dan saksi (Pasal 153 KUHAP). Di dalam praktek ada kalanya hakim
menggunakan bahasa daerah, jika yang bersangkutan masih kurang paham terhadap apa yang
diucapkan atau ditanyakan si hakim.

Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 yang
menyatakan bahwa: dalam sidang pemusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian
yang tidak terpisahkan. Argumentasi pada dasarnya adalah penampilan proses kegiatan
berpikir. Argumentasi dan penalaran adalah dua istilah yang sering ditautkan; penalaran adalah
kegiatan berpikir. Berpikir secara yuridis adalah berpikir secara normatif.

Argumentasi hukum dihasilkan oleh proses penalaran. Penalaran selalu bersangkut paut
dengan logika dan bahasa. Penalaran hukum menggunakan prinsip-prinsip logika. Penalaran

15
hukum bagi hakim merupakan kegiatan berpikir untuk menghasilkan pendapat hukum yang
berangkat dari kasus konkret yang dihadapi dengan mengacu pada sistem hukum positif. Tugas
hakim dalam mengadili suatu perkara yaitu sangat berkaitan dengan persoalan normatif dan
filsafat hukum sebab tugas mengadili berkaitan dengan keadilan, kepastian hukum, dan
kemanfaatan.

Setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat hukum tertulis terhadap
suatu perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
Pendapat hukum yang dirumuskan menjadi diktum putusan harus memuat alasan (fakta) dan
dasar putusan (legitimasi), juga memuat pasal-pasal dari peraturan perundang- undangan atau
sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Menurut ketentuan Pasal 14
ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan
bahwa, “Dalam hal dsidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat
hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.46” Hal tersebut disebut Dissenting Opinion.
2.5 Putusan Hakim (Vonis)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi II Cetakan IX, dicantumkan
pengertian “pidana” yaitu hukum kejahatan (hukum untuk perkara kejahatan / kriminal).
Tindakan mengadili merupakan persoalan terpenting dan merupakan pusat dari sistem peradilan
pidana. Dikatakan demikian, karena pada tahap ini diputuskan apakah terdakwa dipandang
bersalah dan oleh karenanya dipidana, atau tidak bersalah dan oleh karenanya dilepaskan dari
segala tuntutan hukum.

Di Indonesia berlaku asas yang disebut Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege
Poenali, yang artinya bahwa segala perbuatan yang diancam dengan pidana harus terlebih
dahulu dicantumkan dalam Undang-Undang Pidana, seperti tercantum pada pasal 1 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Roeslan Salah berpendapat bahwa pidana adalah reaksi
atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik
itu.
Sedangkan Sudarto berpendapat bahwa pidana dapat diartikan sebagai aturan hukum yang
mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang akibatnya
berupa pidana.

16
Di Indonesia terdapat dua jenis pidana yang berlaku, yaitu Pidana Pokok dan Pidana
Tambahan. Dalam Pasal 10 KUHP terjemahan Moeljatno disebutkan bahwa Pidana terdiri atas:
1. Pidana Pokok
a. Pidana Mati;
b. Pidana Penjara;
c. Pidana Kurungan; dan
d. Pidana Denda.
2. Pidana Tambahan
a. Pencabutan hak-hak tertentu;
b. Perampasan barang-barang tertentu; dan
c. Pengumuman putusan hakim.

Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi terdapat juga dua jenis pidana, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana
pokok menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi terdapat dalam pasal 2 sampai pasal 16. Sedangkan pidana tambahan menurut
Undang-Undang tersebut antara lain:
1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak
bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk
perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari
barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta
benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; dan
4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau
sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada
terpidana.

Terdapat tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana. Antara lain:
1. Teori Absolut

17
Teori absolut berpendapat bahwa pidana dijatuhkan semata-mata karena seseorang telah
melakukan suatu tindakan pidana atau kejahatan (quia peccatum est). Pidana merupakan
akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan
kejahatan. Jadi, dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya
kejahatan itu sendiri.
2. Teori Relatif
Teori ini berpedapat bahwa memidana seseorang bukanlah untuk memuaskan tuntutan
absolut dari keadilan, karena pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya
sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.
Menurut J. Andeanaes, teori relatif daat disebut teori perlindungan masyarakat (the
theory of social defence). Sedangkan menurut Nigel Walker, teori relatif ini lebih tepat
disebut teori atau aliran reduktif, karena dasar pembenaran pidana menurut teori ini
adalah mengurangi frekuensi kejahatan.
3. Teori Gabungan
Teori ini muncul akibat dari tidak adanya hasil yang memuaskan yang dihasilkan oleh
teori absolut dan teori relatif. Teori ini menjabarkan bahwa tetap menganggap
pembalasan sebagai asas dari pidana dan beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu
pembalasan yang adil. Namun, teori ini berpendirian bahwa pidana mempunyai berbagai
pengaru, antara lain perbaikan suatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general.

Berkaitan dengan pemidanaan maka pedoman pemidanaan dapat diartikan ketentuan dasar
yang memberi arah/ melaksanakan pemidanaan atau pemberian pidana atau penjatuhan pidana.
Dengan demikian “ketentuan dasar” pemidanaan harus ada terlebih dahulu sebelum penjatuhan
pidana atau dapat diartikan bahwa ketentuan dasar untuk pemidanaan tertuang secara ekplisit
dalam sistem pemidanaan, sedangkan sistem pemidanaan dilihat dari sudut normatif-substantif
(hanya dilihat dari norma hukum pidana substantif) diartikan sebagai keseluruhan aturan/norma
hukum pidana materiil untuk pemidanaan atau keseluruhan aturan/norma hukum pidana
materiil untuk pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan pidana.

Ketentuan dasar yang dijadikan arah, pegangan, petunjuk untuk melaksanakan pemidanaan /
pemberian pidana menjadi bagian dari keseluruhan aturan / norma hukum pidana materiil untuk
pemidanaan. Membicarakan ketentuan dasar pemidanaan sama dengan membicarakan asas-asas

18
yang menjadi dasar pemidanaan dan yang merupakan asas yang fundamental yaitu asas
legalitas dan asas culvabilitas.

KUHP (WvS) sebagai ius constitutum yang memuat prinsip-prinsip umum (general
principle) hukum pidana dan pemidanaan tidak secara ekplisit mencantumkan kedua asas di
atas. Hal ini dipertegas oleh Sudarto yang menyatakan:

“KUHP kita tidak memuat pedoman pemberian pidana (straftoemetingsleiddraad) yang


umum ialah suatu pedoman yang dibuat oleh pembentuk undang-undang yang memuat asas-
asas yang perlu diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana, yang ada hanya aturan
pemberian pidana (straftoemetingsregels)”

Dari pendapat di atas secara implisit menyatakan bahwa pedoman pemidanaan merupakan
kebijakan legislatif yang “seharusnya” ada dalam aturan atau norma hukum pidana materiil
yang harus diperhatikan dalam pemberian pidana.

19
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Korupsi adalah suatu tindak perdana yang memperkaya diri yang secara langsung
merugikan negara atau perekonomian negara. Jadi, unsur dalam perbuatan korupsi meliputi dua
aspek. Aspek yang memperkaya diri dengan menggunakan kedudukannya dan aspek
penggunaan uang Negara untuk kepentingannya.Adapun penyebabnya antara lain, ketiadaan
dan kelemahan pemimpin,kelemahan pengajaran dan etika, kolonialisme, penjajahan rendahnya
pendidikan, kemiskinan, tidak adanya hukuman yang keras, kelangkaan lingkungan yang subur
untuk perilaku korupsi, rendahnya sumber daya manusia, serta struktur ekonomi.Korupsi dapat
diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu bentuk, sifat,dan tujuan.Dampak korupsi dapat terjadi
di berbagai bidang diantaranya, bidang demokrasi, ekonomi, dan kesejahteraan negara.  

Tindak pidana korupsi biasanya merupakan bentuk kejahatan yang dilakukan secara
sistematis dan terorganisir dengan baik, serta dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai
kedudukan dan peranan yang penting dalam tatanan sosial masyarakat. Oleh karena itu
kejahatan ini sering disebut white collar crime atau kejahatan kerah putih. Dalam praktiknya,
korupsi yang telah sedemikian rupa tertata dengan rapi modus kejahatan dan kualitasnya,
menjadikan korupsi ini sulit diungkap. Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi, maka
pemberantasannya harus dengan cara yang luar biasa melalui keseimbangan langkah-langkah
yang tegas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat, khususnya
pemerintah dan aparat penegak hukum.

Pemberantasan korupsi merupakan masalah paling mendesak yang harus dilakukan karena
telah menghambat kemajuan suatu bangsa. Kebiasaan korupsi terlihat begitu besar dan diluar

20
kontrol pemerintah. Akan tetapi langkah untuk memberantas korupsi ini sering terhalang
berbagai masalah yang kompleks. Namun semua elemen bangsa harus bisa menghentikan
perbuatan tercela terebut.

Di Indonesia segala upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk memberantas korupsi
akan tetapi berdasarkan hasil penelitian dan evaluasi dari beberapa lembaga memperlihatkan
kecenderungan yang sangat memprihatinkan, umumnya mereka memiliki kesimpulan yang
sama bahwa Indonesia merupakan Negara paling korup di dunia. Korupsi di Indonesia telah
berkembang dan mengakar pada lembaga perwakilan rakyat bahkan dalam sistem peradilan
pidana yaitu kepolisian, kejaksaan dan lembaga peradilan yang seharusnya menjadi ujung
tombak bagi upaya pemberantasan korupsi justru dipandang oleh banyak kalangan sebagai
institusi publik yang paling korup dan paling banyak melakukan penyalahgunaan kewenangan.

3.2 SARAN

Sikap untuk menghindari korupsi seharusnya ditanamkan sejak dini.Dan pencegahan


korupsi dapat dimulai dari hal yang kecil. Diperlukan suatu kemauan dan keinginan yang kuat
(political will) dari lembaga pemerintahan seperti legislatif, eksekutif, maupun yudikatif dalam
melakukan pencegahan Tindak Pidana korupsi. Kebijakan pemerintah maupun KPK yang telah
diatur serta disusun sebagai strategi untuk mencegah dan memberantas korupsi yang diterapkan
akan percuma dan sia-sia jika upaya tersebut tidak dibarengi dengan niat serta kemauan yang
kuat dari para Penyelenggara Negara. Oleh karena itu sebuah political will yang kuat akan
sangat berharga dalam melawan korupsi dalam mewujudkan pemerintahan yang bebas dari
korupsi.

Konsistensi dari lembaga penegak hukum dan juga para aparatur negara dalam menangani
pencegahan tindak pidana korupsi yang terjadi dalam pelaksanaan tata pelayanan pemerintahan.
Karena jika melakukan upaya tersebut hanya berorientasi pada jangka pendek maka
dikhawatirkan gejala tindak pidana korupsi dapat semakin bertumbuh.
Pemerintah dalam hal mendukung pemberantasan tindak pidana korupsi yang ada di
Indonesia harus membuat suatu aturan yang mengatur secara terperinci mengenai dasar
pengangkatan Penyelidik dan Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Norma umum yang
berkaitan dengan Penyelidik dan Penyidik didalam Undang-Undang Komisi Pemberantasan

21
Korupsi harus lebih dipertegas. Pemerintah juga harus membuat suatu peraturan pelaksana yang
mengatur secara terperinci dalam sebuah Peraturan Pemerintah. Penegak Hukum dalam hal
menafsirkan peraturan perundang-undangan juga tidak boleh hanya berfokus pada satu
peraturan perundang-undangan.

DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah. 2001. Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Wewenang Kepolisian
dan Kejaksaan di Bidang Penyidikan. Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI.

Deni Setyawati. 2008. KPK Pemburu Koruptor: Kiprah Komisi Pemberantasan


Korupsi dalam Memberangus Korupsi. Pustaka Timur, Yogyakarta.

Ermansjah Djaja. 2002. Memberantas Korupsi bersama KPK: Kajian Yuridis


Normatif UU Nomor 31 Tahun 1999 junto UU Nomor 20 Tahun 2001 Versi UU
Nomor 30 Tahun 2002. Sinar Grafika, Jakarta.

Ermansjah Djaja. 2010. Mendesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: Implikasi


Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PPU- IV/2006. Sinar
Grafika, Jakarta.

Ermansjah Djaja. 2013. Memberantasan Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan


Korupsi Edisi Kedua. Sinar Grafika. Jakarta.

Komisi Pemberantasan Korupsi. 2015. Laporan Tahun 2015 Menolak Surut.

KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI. Jakarta.

22
Leden Marpaung. 2004. Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan.
Sapdodadi, Jakarta.

O.C. Kaligis. 2006. Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana
Khusus Dalam Pemberantasasn Korupsi. P.T. Alumni, Bandung.

Wijayanto dan Ridwan Zachrie. 2009. Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat,
dan Prospek Pemberantasan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Hendra Pasuhuk, 2014, Indeks Korupsi: Peringkat Indonesia Membaik, tapi Masih
Buruk. http://www.dw.com/id/indeks-korupsi-peringkat- indonesia-membaik-
tapi-masih-buruk/a-18107694, diakses pada Jumat 1 April 2016.
http://acch.kpk.go.id/statistik-tindak-pidana-korupsi, diakses pada 28
September 2015.
http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/5a22c36e978d17a88acf9bb934a 5a8c1,
diakses pada Jumat 18 Maret 2016.
http://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/sekilas-kpk diakses pada tanggal 1 Mei 2016.

23
24

Anda mungkin juga menyukai