Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

UPAYA PEMBERATASAN KORUPSI JALUR PENAL DAN NON PENAL


Dosen : Suryagustina, Ners.,M.Kep

Disusun :
Aldi Jinarko : 2020-01-14401-005
Diana Safitri : 2020-01-14401-009
Emylya : 2020-01-14401-012

YAYASAN EKA HARAP PALANGKARAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI DIII KEPERAWATAN
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur atas kehadiran Tuhan yang maha esa. Yang telah melimpahkan
rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada seluruh umat manusia, sehingga penulisan makalah
yang berjudul ” Upaya Pemberatasan Korupsi Jalur Penal Dan Non penal” ini dapat
terselesaikan. Penyusunan makalah ini ditunjukan untuk memenuhi tugas yang telah diberikan
dari Dosen pembimbing mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi. Dalam kesempatan ini penulisan
menyampaikan terima kasih kepada:

1. Ibu Suryagustina, Ners.,M.Kep. selaku Dosen pengajar kami


2. Rekan-rekan yang telah membantu hingga selesainya makalah ini.

Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena
kesempurnaan hanya milik Tuhan Yang Maha Esa. Untuk itu kritik dan saran sangat kami
harapkan dari para pembaca demi perbaikan dan pengembangan makalah ini.

Demikianlah makalah ini dibuat, semoga dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan
pembaca pada umumnya.

Palangka Raya, 26 Mei 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................4
1.2 Perumusan masalah..........................................................................................................5
1.3 Tujuan...............................................................................................................................5
BAB II........................................................................................................................................6
Pembahasan................................................................................................................................6
2.1 Definisi Korupsi...............................................................................................................6
2.2 Upaya Penal dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi............................................7
2.3 Upaya Non Penal dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi....................................8
BAB III.....................................................................................................................................10
PENUTUP................................................................................................................................10
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Kejahatan korupsi yang berkembang di dunia pada umumnya pada khususnya di
Indonesia sangat memprihatinkan, sehingga sangat diperlukan hukum sebagai penegak
keadilan guna menyelamatkan negara dari kerugian dan menjunjung hak rakyat untuk
mendapatkan hasil yang baik dari pembangunan yang bebas dari korupsi.
Indonesia adalah negara hukum dimana setiap tindakan penguasa maupun
rakyatnya harus berdasarkan atas hukum, dan sekaligus dicantumkan mengenai tujuan
negara hukum yaitu menjamin hak-hak asasi rakyatnya. Republik Indonesia sebagai
Negara hukum artinya Negara akan tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum
berlaku pula bagi segala badan dan alat-alat perlengkapan Negara. Negara hukum
menjamin adanya tertib hukum dalam masyarakat dan antara hukum dan kekuasaan ada
hubungan timbal balik.
Dalam perspektif kriminologi (ilmu tentang kejahatan), bahwa terjadinya
kejahatan atau tindak pidana bukan hanya disebabkan oleh faktor ekonomi dan
lingkungan, tetapi faktor-faktor lain yang bisa memudahkan seseorang dalam melakukan
kejahatan dan salah satu faktornya adalah kedudukan atau jabatan tertentu. Hal ini selaras
dengan anggapan bahwa korupsi hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu yang
memiliki jabatan dan peran tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan. Oleh
karena itu dapat diartikan bahwa korupsi terjadi karena penyalahgunaan wewenang
dalam konteks jabatan.
Dalam hukum pidana itu terkandung aturan-aturan yang menentukan perbuatan-
perbuatan yang tidak boleh dilakukan dengan disertai ancaman berupa pidana (nestapa)
dan menentukan syarat-syarat pidana dapat dijatuhkan. Sifat publik yang dimiliki hukum
pidana menjadikan konsekuensi bahwa hukum pidana itu bersifat nasional. Dengan
demikian, maka hukum pidana Indonesia diberlakukan ke seluruh wilayah negara
Indonesia.
Pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilakukan oleh Polri dalam khususnya
dalam hal penyidikan hal ini diatur dalam Pasal 14 ayat (1g) UU No.2 Tahun 2002
tentang Kepolisian RI. Penyidikan tindak pidana korupsi tidak hanya dimiliki oleh Polri,
namun Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga memiliki kewenangan
penyidikan.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa definisi dari Korupsi ?
2. Bagaimana Upaya Penal dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ?
3. Bagaiman Upaya Non-Penal dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ?

1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui definisi dari korupsi
2. Untuk mengetahui upaya penal dalam pemberantasan tindak pidana korupsi
3. Untuk mengetahui upaya non-penal dalam pemberantasan tindak pidana korupsi
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Korupsi


Korupsi menjadi salah satu masalah besar yang dihadapi Indonesia, bahkan telah
kronis. Zainuri mengungkapkan bahwa korupsi di negeri ini merambah semua lini
bagaikan gurita. Penyimpangan ini bukan saja merasuki kawasan yang sudah dipersepsi
publik sebagai sarang korupsi, tetapi juga menyusuri lorong-lorong instansi yang tidak
terbayangkan sebelumnya bahwa di sana ada korupsi. Satu per satu skandal keuangan di
berbagai instansi negara terbongkar.
Usaha rasional dalam menanggulangi kejahatan dapat dilakukan dengan
menggunakan 2 (dua) sarana, yaitu dengan sarana penal (hukum pidana), dan non-penal
(non hukum pidana), yang dalam pelaksanaannya merupakan satu kesatuan integratif dan
bersinergi dengan kebijakan yang lebih besar yaitu kebijakan sosial. Terkait dengan
penelitian ini adalah penggunaan sarana penal, yakni pembuatan dan perumusan hukum
pidana (UU PTPK) yang baik, diharapkan tindak pidana korupsi dapat ditanggulangi
dengan baik pula.
Kelemahan-kelemahan formulasi tindak pidana korupsi saat ini ialah Kebijakan
hukum pidana dalam hal pemberantasan tidak pidana korupsi, masih tersebar di beberapa
perundang-undangan, hal ini dapat menimbulkan persoalan terutama dalam aspek
keadilan.
Ekspektasi rakyat kepada pemerintah bukan hanya membentuk suatu aturan-
aturan normatif semata, akan tetapi eksistensi pemerintah secara aktif dalam menciptakan
suasana pemerintahan yang terbuka, berintegritas, dan segala kebijakan yang hasilnya
untuk kepentingan rakyat. Oleh karena itu jabatan-jabatan penting di dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia harus dijabat oleh orang-orang yang mempunyai softskill dan
hardskill yang baik, serta tidak menyalahgunakan otoritasnya untuk kepentingan pribadi.
Pemerintah dalam hal penanganan tindak pidana korupsi mempunyai usaha
rasional melalui pendekatan upaya penal (represif) dengan pemberian sanksi kepada
subjek hukum yang melakukan tindak pidana. Sehingga, pemberian sanksi terhadap
tindak pidana korupsi merupakan reaksi atas perbuatan korupsi yang dilakukan. Namun
demikian dalam proses penanggulangan tindak pidana termasuk tindak pidana korupsi
tidak hanya menggunakan upaya penal yang cenderung reaktif, akan tetapi juga harus ada
upaya non-penal dengan pendekatan preventif dengan jalan pencegahan seseorang
melakukan tindak pidana.

2.2 Upaya Penal dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


Pemerintah dalam hal penanganan tindak pidana korupsi mempunyai usaha
rasional melalui pendekatan upaya penal (represif) dengan pemberian sanksi kepada
subjek hukum yang melakukan tindak pidana. Sehingga, pemberian sanksi terhadap
tindak pidana korupsi merupakan reaksi atas perbuatan korupsi yang dilakukan. Namun
demikian dalam proses penanggulangan tindak pidana termasuk tindak pidana korupsi
tidak hanya menggunakan upaya penal yang cenderung reaktif, akan tetapi juga harus ada
upaya non-penal dengan pendekatan preventif dengan jalan pencegahan seseorang
melakukan tindak pidana.
upaya penal dengan memanggil atau menggunakan hukum pidana atau dengan
menghukum atau memberi pidana atau memberikan penderitaan atau nestapa bagi pelaku
korupsi.
Ada hal penting yang patut dipikirkan dalam menggunakan upaya penal. Hal ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa sarana penal memiliki ‘keterbatasan’ dan
mengandung beberapa ‘kelemahan’ (sisi negatif ) sehingga fungsinya seharusnya hanya
digunakan secara ‘subsidair’. Pertimbangan tersebut (Nawawi Arief : 1998) adalah :
1) dilihat secara dogmatis, sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam
dalam bidang hukum, sehingga harus digunakan sebagai ultimum remedium (obat
yang terakhir apabila cara lain atau bidang hukum lain sudah tidak dapat digunakan
lagi)
2) dilihat secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya menuntut biaya
yang tinggi
3) sanksi pidana mengandung sifat kontradiktif/paradoksal yang mengadung efek
sampingan yang negatif. Hal ini dapat dilihat dari kondisi overload Lembaga
Pemasyarakatan
4) penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan
‘kurieren am symptom’ (menyembuhkan gejala), ia hanya merupakan pengobatan
simptomatik bukan pengobatan kausatif karena sebab-sebab kejahatan demikian
kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana
5) hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub sistem) dari sarana kontrol sosial
lainnya yang tidak mungkin mengatasi kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan
kemasyarakatan yang sangat kompleks
6) sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal; tidak bersifat
struktural atau fungsional
7) efektifitas pidana (hukuman) bergantung pada banyak faktor dan masih sering
diperdebatkan oleh para ahli.

2.3 Upaya Non-Penal dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


Penanggulangan kejahatan melalui non-penal harus dilakukan karena sarana penal
memiliki kelemahan atau ketidakmampuan hukum pidana dari sudut berfungsinya atau
bekerjanya hukum (sanksi) pidana itu sendiri. Sedangkan apabila ditinjau dari kejahatan
sebagai sosial, maka banyak faktor yang menyebabkan terjadinya suatu kejahatan.
Wajarlah hukum pidana mempunyai keterbatasan kemampuan untuk menanggulangi
seperti yang dikatakan sudarto bahwa penggunaan hukum pidana merupakan
penanggulangan secara gejala (Kuren am Symton) dan bukan suatu penyelesaian dengan
menghilangkan sebab-sebabnya.
Sasaran dari upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur non-penal adalah
menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan dalam hal ini korupsi,
yakni berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi baik politik, ekonomi maupun
sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau
menumbuhsuburkan kejahatan (korupsi; tambahan dari penulis). Dengan ini, upaya non-
penal seharusnya menjadi kunci atau memiliki posisi penting atau dalam istilah yang
digunakan oleh Barda Nawawi Arief ‘memiliki posisi strategis dari keseluruhan upaya
politik kriminal’.
Sarana non-penal memiliki nurani intelektual yang berfokus pada perbaikan
kondisi sosial, namun secara implisit mempunyai pengaruh previntif terhadap kejahatan.
Usaha-usaha non-penal ini, misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka
mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa
masyarakat melalui pendidikan moral, agama, atau yang bersifat moralistik lainnya,
peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan patroli dan
pengawasan lainnya. Tidak kalah pentingnya mengenai meningkatkan usaha-usaha yang
bersifat abolionistik, yaitu usaha-usaha yang dapat mengikis habis secara langsung
faktor-faktor kondusif penyebab kejahatan.
BAB III

PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diinferensikan yaitu upaya pemerintah dalam hal
penanganan tindak pidana korupsi mempunyai usaha rasional melalui pendekatan upaya penal
(represif) dengan pemberian sanksi kepada subjek hukum yang melakukan tindak pidana.
Sehingga, pemberian sanksi terhadap tindak pidana korupsi merupakan reaksi atas perbuatan
korupsi yang dilakukan. Namun demikian dalam proses penanggulangan tindak pidana termasuk
tindak pidana korupsi tidak hanya menggunakan upaya penal yang cenderung reaktif, akan tetapi
juga harus ada upaya non-penal dengan pendekatan preventif dengan jalan pencegahan seseorang
melakukan tindak pidana.

Sarana nonpenal memiliki nurani intelektual yang berfokus pada perbaikan kondisi
sosial, namun secara implisit mempunyai pengaruh previntif terhadap kejahatan.
Penanggulangan kejahatan melalui sarana non-penal harus dilakukan karena sarana penal
memiliki kelemahan atau ketidak mampuan hukum pidana dari sudut berfungsinya atau
bekerjanya hukum (sanksi) pidana itu sendiri. Meniscayakan langkah-langkah penanggulangan
kejahatan dengan sarana non-penal maka proses perwujudannya melalui pendidikan yang
mempunyai peran kunci.
DAFTAR PUSTAKA

Andi Febriansyah Al Sabah AZ, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Jurnal Al Daulah Vol 6 No 1, Universitas Islam Negeri Alaudin, 2017,
Makassar.

Eko Handoyono, “Pendidikan Anti Korupsi”, Ombak, 2013, Yogyakarta.

Fijnaut, Cyrille and Leo Huberts (ed), (2002), Corruption, Integrity and Law Enforcement, The
Hague: Kluwer Law International.

Herman, “Upaya Non Penal dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi”, Horlev Volume 2
Issue 1 March 2018, Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo, 2018, Kendari.

https://journals.usm.ac.id/index.php/jic/article/viewFile/2195/1720 (di akses pada 26 Mei 2021)

Pendidikan Anti Korupsi Untuk Perguruan Tinggi. (2011). Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jendral pendidikan Tinggi. Jakarta

Pratama.Mochamad Rahmdhan, Mas Putra Zenno Januarsyah. (2020). Upaya Non Penal Dalam
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Universitas Diponegoro;Semarang.

Rangga Jayanuarto, “Kebijakan Non Penal (Penanggulangan Korupsi) Berdimensi


Transendental”, Prosiding Seminar Nasional 2018, Universitas Muhammadiyah
Surakarta, 2018, Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai