Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH “KORUPSI”

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3
Aris Kau’ (2220423013)
Mutmainnah Rahman (2220423002)
Yulia Angriani Syarif (2220423007)
Siti Nurul Alyssa Kahar (2220423008)

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS FAJAR
MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
atas semua limpahan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dengan tepat waktu dalam rangka memenuhi tugas
dalam Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi sebagai salah satu
aspek penilaian dalam Mata Kuliah tersebut. Berikut ini penyusun
mempersembahkan sebuah makalah dengan judul "Korupsi” yang semoga dapat
memberikan manfaat bagi pembaca.
Namun tidak lepas dari semua itu, penyusun menyadari sepenuhnya
bahwa ada kekurangan baik dari segi penyusunan bahasanya maupun segi
lainnya. Sesuai dengan kata pepatah “tiada gading yang tak retak,” penyusun
mengharapkan saran dan kritik. Kebenaran dan kesempurnaan hanyalah milik
Allah-lah Yang Maha Kuasa. Melalui kata pengantar ini penyusun lebih dahulu
meminta maaf dan memohon pemakluman apabila isi makalah ini masih
terdapat kekurangan maupun tulisan yang kami buat kurang tepat atau
menyinggung perasaan pembaca.
Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa
terima kasih. Penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat
sebagaimana mestinya dan dapat memenuhi salah satu tugas penyusun. Aamiin.

Makassar, 06 Desember 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A. Latar Belakang.............................................................................................. 1
B. Rumusan masalah........................................................................................ 2
C. Tujuan Penelitian......................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................... 4
A. Pengertian Korupsi....................................................................................... 4
B. Ciri-ciri Korupsi............................................................................................. 8
C. Bentuk dan Jenis Korupsi ............................................................................ 9
D. Penyebab Korupsi ..................................................................................... 11
E. Dampak Korupsi ........................................................................................ 14
BAB III PENUTUP............................................................................................ 16
A. Kesimpulan................................................................................................. 16
B. Saran.......................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan


keberhasilannya dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagai
suatu proses perubahan yang direncanakan mencakup semua aspek
kehidupan masyarakat. Efektifitas dan keberhasilan pembangunan terutama
ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumber daya manusia, yakni (orang-orang
yang terlibat sejak dari perencanaan samapai pada pelaksanaan) dan
pembiayaan. Diantara dua faktor tersebut yang paling dominan adalah faktor
manusianya.
Indonesia merupakan salah satu negara terkaya di Asia dilihat dari
keanekaragaman kekayaan sumber daya alamnya. Tetapi ironisnya, negara
tercinta ini jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia bukanlah
merupakan sebuah negara yang kaya melainkan termasuk negara yang miskin.
Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusianya.
Kualitas tersebut bukan hanya dari segi pengetahuan atau intelektualnya,
tetapi juga menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya. Rapuhnya moral
dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara negara
menyebabkan terjadinya korupsi.
Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan penyakit sosial yang
sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian materil
keuangan negara yang sangat besar. Hal itu merupakan cerminan rendahnya
moralitas dan rasa malu, sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan dan
kekuasaan. Korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini, sudah dalam posisi yang
sangat parah dan begitu mengakar dalam setiap sendi kehidupan.
Perkembangan praktek korupsi dari tahun ke tahun semakin meningkat, baik

1
dari kuantitas atau jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi
kualitas yang semakin sistematis, canggih serta lingkupnya sudah meluas
dalam seluruh aspek masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang
tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan
perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara
pada umumnya.
Maraknya kasus tindak pidana korupsi di Indonesia, tidak lagi mengenal
batas-batas siapa, mengapa, dan bagaimana. Tidak hanya pemangku jabatan
dan kepentingan saja yang melakukan tindak pidana korupsi, baik di sektor
publik maupun privat, tetapi tindak pidana korupsi sudah menjadi suatu
fenomena. Penyelenggaraan negara yang bersih menjadi penting dan sangat
diperlukan untuk menghindari praktek-praktek korupsi yang tidak saja
melibatkan pejabat bersangkutan, tetapi juga oleh keluarga dan kroninya,
yang apabila dibiarkan, maka rakyat Indonesia akan berada dalam posisi yang
sangat dirugikan. Sementara itu, penanganan tindak pidana korupsi di
Indonesia masih dihadapkan pada beberapa kondisi, yakni masih lemahnya
upaya penegakkan hukum tindak pidana korupsi, kualitas SDM aparat
penegak hukum yang masih rendah, lemahnya koordinasi penegakkan hukum
tindak pidana korupsi, serta masih sering terjadinya tindak pidana korupsi
dalam penanganan kasus korupsi. Berdasarkan fakta tersebut, sangat
diperlukan pengkajian khusus yang membahas mengenai korupsi beserta
dampaknya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dibahas, dapat dirumuskan


beberapa masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengertian korupsi dalam berbagai perspektif ?
2. Bagaimana ciri, bentuk dan jenis korupsi ?
3. Apa penyebab dan dampak korupsi ?

2
C. Tujuan

1. Untuk memahami pengertian korupsi dalam berbagai perspektif.


2. Untuk mengetahui ciri, bentuk dan jenis korupsi.
3. Untuk mengetahui penyebab dan dampak korupsi.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa Latin corruption atau corruptus. Corruptio
berasal dari kata corrumpere. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa
Eropa, seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Perancis yakni corruption dan
Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari bahasa Belanda inilah kata corruptie
diserap ke dalam bahasa Indonesia, yaitu korupsi. Dalam bahasa Muangthai,
korupsi dinamakan gin moung, artinya makan bangsa; dalam bahasa China,
tanwu, artinya keserakahan bernoda; dan dalam bahasa Jepang, oshuku, yang
berarti kerja kotor (KPK, 2007).
Menurut World Bank (1997), definisi paling sederhana dari korupsi
adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau kelompok.
Berdasarkan pandangan hukum, dikatakan korupsi apabila memenuhi unsur-
unsur perbuatan yang melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan,
kesempatan atau sarana, memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi,
dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi berasal dari kata korup
artinya: buruk, rusak, busuk; suka memakai barang (uang) yang dipercayakan
kepadanya; dapat disogok (memakai kekuasaannya untuk kepentingan
pribadi. Dalam kamus tersebut, korupsi diartikan sebagai penyelewengan atau
penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan
pribadi atau orang lain (Depdiknas, 2002). Dari istilah-istilah tesebut, korupsi
dipahami sebagai perbuatan busuk, rusak, kotor, menggunakan uang atau
barang milik lain (perusahaan atau negara) secara menyimpang yang
menguntungkan diri sendiri.

4
Adapun pengertian korupsi dari berbagai perspektif sebagai berikut :
1. Perspektif Hukum
korupsi merupakan perilaku yang muncul dari kebiasaan yang
dianggap lumrah dan wajar oleh masyarakat umum, seperti memberi
hadiah kepada pejabat/pegawai negeri atau keluarganya sebagai imbal jasa
sebuah pelayanan. Kebiasaan itu dipandang lumrah dilakukan sebagai
bagian dari budaya ketimuran. Kebiasaan ini lama-lama menjadi bibit-bibit
korupsi yang nyata (KPK, 2006). korupsi pada situasi yang demikian sudah
dianggap sebagai budaya bangsa (Sahlan, 2005).
Dalam perspektif demikian, kalaupun pada akhirnya dapat dibuktikan
legalitasnya, korupsi sebenarnya bukanlah korupsi, melainkan mempunyai
makna lain seperti komisi, kompensasi, hadiah, insentif, return fee, tali
asih, asuransi, jasa keringat, dan istilah-istilah lain yang berkonotasi serupa
(Sugiharto, 2005).
2. Perspektif Politik
Korupsi politik merupakan korupsi yang dilakukan oleh presiden,
kepala negara, ketua atau anggota parlemen dan pejabat tinggi
pemerintahan. Korupsi ini terjadi ketika pembuat keputusan politik
menggunakan kekuasaan politik yang mereka pegang untuk
mempertahankan kekuasaan, status, dan kekuasaan mereka. Pelaku
korupsi politik memanipulasi institusi politik dan prosedur sehingga
mempengaruhi pemerintahan dan sistem politik. Undang-undang dan
regulasi disalahgunakan, tidak dilakukan secara prosedural, diabaikan, atau
bahkan dirancang sesuai dengan kepentingan mereka (Artidjo, 2015).
3. Perspektif Budaya
Menurut Indriati (2014), korupsi seringkali didefinisikan dengan
mengacu pada standar nilai yang ditentukan oleh masyarakat itu sendiri.
Sedangkan standar nilai dalam satu masyarakat, tentu akan berbeda
dengan standar nilai di kelompok masyarakat lainnya. Artinya, apa yang

5
bagi seseorang adalah korupsi, bagi orang lain dianggap sebagai hal yang
wajar, ataupun bentuk silaturahmi agar relasi atau hubungan lebih dekat.
ada pula orang yang menyatakan bahwa korupsi merupakan bagian
dari kebudayaan. Di banyak negara berkembang, muncul pandangan
bahwa korupsi merupakan bagian dari kebudayaan. Rakyat mau membayar
uang semir (pelicin) yang jumlahnya tidak besar dengan senang hati,
misalnya untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM), Kartu Tanda
Penduduk (KTP), dan lainnya. Perbuatan tersebut dipandang sebagai
sebuah kebiasaan. Hal ini tidak berarti bahwa mereka menyetujui
tindakannya, sebab memberi uang semir bagi mereka dipandang sebagai
cara yang paling praktis untuk memperoleh apa yang mereka inginkan dan
butuhkan (Handoyono, 2009).
4. Perspektif Agama
Islam memandang korupsi sebagai perbuatan keji. Perbuatan korupsi
dalam konteks agama islam sama dengan fasad, yakni perbuatan yang
merusak tatanan kehidupan yang pelakunya dikategorikan melakukan dosa
besar. Korupsi dalam islam adalah perbuatan yang melanggar syariat islam
yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia. Di
antara kemaslahatan yang ingin dituju adalah terpeliharanya harta (hifdzul
maal) dari berbagai bentuk pelanggaran dan penyelewengan. Islam
mengatur dan menilai harta sejak perolehannya hingga pembelanjaannya.
Islam memberikan tuntunan agar dalam memperoleh harta dilakukan
dengan cara-cara yang bermoral dan sesuai dengan hukum islam yaitu
dengan tidak menipu, tidak memakan riba, tidak berkhianat, tidak
menggelapkan barang milik orang lain, tidak mencuri, tidak curang dalam
takaran timbangan, tidak korupsi dan sebagainya.
Dalam sumber hukum agama islam, kedudukan dan fungsi Al-Qur’an
adalah sebagai sumber hukum yang pertama. Terminologi korupsi dalam
perspektif Al-Qur'an merupakan bentuk-bentuk tindakan pidana yang ada

6
dalam islam. Namun penyebutan yang secara eksplisit tidak ditemukan di
dalam Al-Qur’an. Misalnya, term perampokan (al-harb), pencurian (al-
sarq), term penghianatan (al-ghulul), dan penyuapan (as-suht). Namun,
melihat perkembangan definisi korupsi yang semakin bervariatif, maka
term-term tersebut juga mengalami pergeseran makna yang cukup
signifikan, yaitu ketika term-term tersebut masuk dalam ranah kajian
korupsi (Millah & Alfina, 2016).
Sebagaimana dijelaskan dalam beberapa ayat yang menjelaskan
korupsi, yaitu; term ghulul (penghianatan) dalam Q.S Ali Imran [3] ayat 161

“Dan tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta


rampasan perang). Barangsiapa berkhianat, niscaya pada hari Kiamat dia
akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu. Kemudian setiap
orang akan diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang
dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi.”

Term hirabah (perampokan) dalam Q.S Al-Maidah [5] ayat 33


“Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya
dan membuat kerusakan di bumi hanyalah dibunuh atau disalib, atau
dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari
tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di dunia,
dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar.”

Term syariqah (pencurian) dalam Q.S Al-Maidah [5] ayat 38


“Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang
mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa,
Mahabijaksana.”

7
Term suht (penyuapan) dalam Q.S Al-Maidah [5] ayat 42

“Mereka sangat suka mendengar berita bohong, banyak memakan


(makanan) yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu
(Muhammad untuk meminta putusan), maka berilah putusan di antara
mereka atau berpalinglah dari mereka, dan jika engkau berpaling dari
mereka maka mereka tidak akan membahayakanmu sedikit pun. Tetapi
jika engkau memutuskan (perkara mereka), maka putuskanlah dengan adil.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.”

Sedangkan dalam agama Hindu, korupsi merupakan perbuatan


adharma atau menyimpang dari ajaran agama (Kuntoro, 2006). Dharma
yang benar adalah jika segala perbuatan manusia bertujuan untuk
memberi kesejahteraan, sebab sebagaimana dalam ajaran Hindu,
kesentosaan umat manusia dan kesejahteraan masyarakat datang dari
dharma. Dalam ajaran agama Hindu, korupsi merupakan perbuatan
menyimpang dari nilai-nilai agama (dharma), nilainilai kebenaran dan
kejujuran (satyam), kebajikan (siwam), dan keharmonisan atau keindahan
hidup (sundaram). Oleh karenanya, ajaran Hindu mengingatkan, mereka
yang tertipu sifat guna (seperti rajas dan tamas) terikat pada keinginan
yang dihasilkan olehnya; tetapi yang mengerti jangan sampai menyesatkan
mereka yang pengetahuannya tidak sempurna (Warta, 2006).

B. Ciri-ciri Korupsi
Dalam memahami konsep korupsi secara komprehensif, Alatas (1986)
mengemukakan ciri-ciri korupsi sebagai berikut:
1. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang;
2. Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan;
3. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik;

8
4. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk
menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran
hukum;
5. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan
publik atau masyarakat umum;
6. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan;
7. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif;
8. Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan
pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.

C. Bentuk dan Jenis Korupsi


Terdapat 6 bentuk atau perwujudan utama korupsi menurut Andvig et
al. (2000), yaitu:
1. Suap atau penyuapan (Bribery) adalah sebuah perbuatan kriminal yang
melibatkan sejumlah pemberian kepada seseorang dalam bentuk uang
atau barang yang diberikan atau diambil dalam hubungan korupsi dengan
sedemikian rupa sehingga bertentangan dengan tugas dan
tanggungjawabnya. Suap merupakan jumlah yang tetap, persentase dari
sebuah kontrak, atau bantuan dalam bentuk uang apapun. Biasanya
dibayarkan kepada pejabat negara yang dapat membuat perjanjuan atas
nama negara atau mendistribusikan keuntungan kepada perusahaan atau
perorangan dan perusahaan.
2. Penggelapan (Embezzlement) adalah suatu bentuk korupsi yang melibatkan
pencurian uang, properti, atau barang berharga. Oleh seseorang yang
diberi amanat untuk menjaga dan mengurus uang, properti atau barang
berharga tersebut. Pencurian sumber daya oleh pejabat yang diajukan
untuk mengelolanya. Penggelapan merupakan salah satu bentuk korupsi
ketika pejabat pemerintah yang menyalahgunakan sumber daya publik atas
nama masyarakat. Contoh korupsi terkait penggelapan dalam jabatan yaitu

9
Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi dan
Pegawai negeri membiarkan atau membantu orang lain merusakkan bukti.
3. Penipuan (Fraud) adalah kejahatan ekonomi yang melibatkan jenis tipu
daya, penipuan atau kebohongan. Penipuan melibatkan manipulasi atau
distorsi informasi oleh pejabat publik. Penipuan terjadi ketika pejabat
pemerintah mendapatkan tanggungjawab untuk melaksanakan perintah.
Memanipulasi aliran informasi untuk keuntungan pribadi.
4. Pemerasan (Extortion) adalah sumber daya yang diekstraksi dengan
menggunakan paksaan, kekerasan atau ancaman. Pemerasan adalah
transaksi korupsi dimana uang diekstraksi oleh mereka yang memiliki
kekuatan untuk melakukannya. Dalam hal ini pemangku jabatan dapat
menjadi pemeras atau korban pemerasan. Contoh korupsi terkait
pemerasan yaitu pegawai negeri menyalahgunakan kekuasaan untuk
memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima
pembayaran dengan potongan, atau mengerjakan sesuatu untuk dirinya.
5. Favoritisme adalah kecende-rungan diri dari pejabat negara atau politisi
yang memiliki akses sumber daya negara dan kekuasaan untuk
memutuskan pendistribusian sumber daya tersebut. Favoritisme juga
memberikan perlakuan istimewa kepada kelompok tertentu. Selain itu,
favoritisme juga mengembangkan mekanisme penyalahgunaan kekuasaan
secara privatisasi.
6. Nepotisme adalah bentuk khusus dari favoritism, mengalokasikan kontrak
berdasarkan kekerabatan atau persahabatan.

Adapun tujuh macam bentuk dan jenis korupsi menurut Kusumah


(2001), yaitu sebagai berikut :
1. Korupsi transaktif (transactive corruption), jenis korupsi yang menunjuk
adanya kesepakatan timbal balik atau transaksi antara pihak pemberi dan
pihak penerima demi keuntungan kepada kedua belah pihak demi

10
tercapainya keuntungan yang biasanya melibatkan dunia usaha atau bisnis
dengan pemerintah.
2. Korupsi pengkerabatan (nepotistic corruption), yakni yang menyangkut
penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk berbagai keuntungan
bagi teman, sanak saudara ataupun golongan.
3. Korupsi yang memeras (extortive coruption), adalah suatu korupsi yang
dipaksakan kepada suatu pihak yang biasanya disertai ancaman, teror,
penekanan (pressure) terhadap kepentingan orang-orang dan hal yang
dimilikinya. Biasanya hal ini dilakukan oleh pihak ketiga untuk kemudian
memudahkan langkah pihak kedua dihadapan pihak pertama.
4. Korupsi investif (investive corruption), yakni memberikan jasa atau barang
tertentu kepada pihak lain demi keuntungan pribadi dimasa depan dalam
bentuk jabatan ataupun kemudahan dalam bekerja.
5. Korupsi defensive (defensive corruption), adalah pihak yang akan dirugikan
terpaksa ikut terlibat didalamnya atau bentuk ini membuat terjebak
bahkan menjadi korban perbuatan korupsi. Hal ini biasanya memunculkan
idiom untuk merasa lebih baik korupsi lebih dulu dari orang lain atau mau
dikorupsi.
6. Korupsi otogenik (autogenic corruption) yaitu korupsi yang dilakukan
seorang diri (single fighter), tidak ada orang lain atau pihak lain yang
terlibat, yang lebih sering dalam bentuk penggelapan.
7. Korupsi suportif (supportive corruption) adalah korupsi dukungan atau
support dan tidak ada orang lain atau pihak lain yang terlibat. Biasanya
dilakukan oleh orang yang memiliki kedudukan tinggi.

D. Penyebab Korupsi
Dalam kaitan dengan korupsi, kecurangan bisa mendorong perbuatan
korupsi. Hal ini dapat terjadi karena adanya 3 (tiga) tiang penyangga korupsi,
yaitu tekanan (pressure), kesempatan (opportunity), dan rasionalisasi

11
(rationalize). Tekanan seperti mengikuti gaya hidup modern, kerugian materi
atau uang, terbelit hutang, akan menyebabkan seseorang berbuat curang atau
korupsi. Orang yang memiliki kedudukan, jabatan, pangkat, dan pendidikan
yang lebih tinggi biasanya memiliki kesempatan untuk berbuat korupsi.
Kesempatan itu dimiliki karena pihak. koruptor memiliki pengetahuan yang
memadai mengenai kondisi departemen, kantor, atau lingkungannya. Selain
itu, karena mereka memiliki otoritas untuk mengendalikan kegiatan atau
pekerjaan. Demikian pula, mereka mengetahui kelemahan di lingkungan
departemen, kantor, dan pekerjaannya, sehingga dapat dimanipulasi yang
menyebabkan pihak lain tidak tahu bahwa mereka telah melakukan korupsi.
Perbuatan curang atu korupsi dikemas sedemikian rupa, sehingga apa yang
dilakukan seolah bukan tindakan korupsi. Inilah yang disebut dengan
rasionalisasi perilaku korupsi. Ditambah oleh tidak adanya moral atau etika
yang baik dari pelaku korupsi, menyebabkan perbuatan curang tersebut
mempermudah orang melakukan korupsi (Handoyono, 2009).
Korupsi dapat terjadi karena berbagai sebab atau faktor. Faktor-faktor
itu diantaranya politik, ekonomi, sosial, dan budaya sebagai berikut :
1. Korupsi yang berkaitan dengan politik sering disebut dengan korupsi
politik. Dalam pandangan De Asis (2000), korupsi politik terjadi, misalnya
money politic dalam pemilihan anggota legislatif dan pejabat eksekutif,
dana ilegal untuk pembiayaan kampanye, penyelesaian konflik parlemen
melalui cara-cara ilegal dan teknik lobi yang menyimpang.
2. Faktor hukum menjadi penyebab korupsi, dikarenakan banyak produk
hukum yang tidak jelas aturannya, pasal-pasalnya multitafsir, dan ada
kecenderungan aturan hukum dibuat untuk menguntungkan pihak-pihak
tertentu meskipun orang awam tidak bisa melihatnya. Demikian pula,
sanksi yang tidak ekuivalen dengan perbuatan yang dilarang, sehingga tidak
tepat sasaran dan dirasa terlalu ringan atau terlalu berat (Hamzah, 2004).

12
3. Faktor ekonomi menjadi penyebab korupsi, terutama di negara-negara
yang sistem ekonominya sangat monopolistik. Kekuasaan negara dirangkai
dengan informasi orang dalam turut menciptakan kesempatan-kesempatan
bagi pegawai pemerintah untuk mempertinggi kepentingan mereka
beserta sekutusekutunya. Serangkaian faktor tersebut berkaitan dengan
faktor birokrasi, di mana dalam suasana demikian kebijakan ekonomi
pemerintah diimplementasikan, dikembangkan, dan dimonitor dengan cara
yang tidak partisipatif, tidak transparan dan tidak akuntabel (Sulistyantoro,
2004).
4. Faktor transnasional amat terkait dengan perkembangan hubungan
ekonomi lintas negara yang tidak jarang menambah lahan sumber bagi
tumbuhnya korupsi di kalangan birokrasi pemerintahan. Korupsi mudah
terjadi, karena perusahaan-perusahaan asing (transnasional) dapat
beroperasi di suatu negara tanpa harus masuk ke lini birokrasi pusat.
Mereka bisa masuk ke lini birokrasi pemerintah daerah dengan cara
memberi uang pelicin agar dapat berinvestasi di daerah. Korupsi
berlangsung bagai simbiosis mutualisme, di mana pengusaha asing
memiliki uang yang dapat digunakan untuk menyogok pejabat agar
memperoleh izin untuk melakukan usaha di daerah, sedangkan elit daerah
mempunyai otoritas untuk memutuskan (Tunggal, 2000).

Mashal (2011) memberikan pandangan yang tidak jauh berbeda


mengenai penyebab korupsi yang menyebutkan ada enam hal yang
menyebabkan korupsi bisa berlangsung, yaitu :
1. Motivasi untuk mencari penghasilan dengan cara yang ekstrim,
berhubungan dengan kondisi kemiskinan, upah yang rendah, dan resiko
tinggi dari pekerjaan (karena penyakit, kecelakaan, dan pengangguran).
2. Kesempatan untuk terlibat dalam korupsi, karena disebabkan oleh banyak
regulasi yang mendorong kesempatan tinggi untuk melakukan korupsi.

13
3. Sistem legislatif dan peradilan yang lemah.
4. Penduduk sedikit dengan jumlah sumber daya alam yang melimpah.
5. Hukum dan prinsip-prinsip etik yang lemah.
6. Instabilitas politik dan lemahnya kemauan politik.
Kata sebagian orang, kemiskinan merupakan akar masalah korupsi. Hal
ini tidak benar sepenuhnya, sebab banyak negara kaya dan makmur penuh
dengan skandal yang sedikit sekali melibatkan orang yang dapat dikategorikan
ke dalam kelompok miskin atau kekurangan. Banyak korupsi dilakukan oleh
para pemimpin Asia dan Afrika, dan mereka tidak tergolong orang miskin.
Jadi, korupsi bukan disebabkan oleh kemiskinan, tetapi justru sebaliknya,
kemiskinan disebabkan oleh korupsi (Pope, 2007).

E. Dampak Korupsi
Meskipun dalam beberapa hal perbuatan korupsi mendatangkan
manfaat, tetapi dampak negatif korupsi lebih besar daripada kegunaannya.
Dampak negatif korupsi tidak hanya merugikan keuangan dan perekonomian
negara, tetapi juga menyengsarakan rakyat dan merusak sendi-sendi
kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
Korupsi memiliki dampak besar, utamanya terhadap ekonomi.
Sebagaimana dituturkan Mashal (2011), bahwa korupsi menyebabkan enam
hal berikut:
1. Investasi menjadi rendah, termasuk investasi langsung dari luar negeri.
2. Mengurangi pertumbuhan ekonomi.
3. Mengubah komposisi belanja pemerintah dari aktivitas sangat produktif
menjadi aktivitas kurang produktif.
4. Ketidaksamaan dan kemiskinan menjadi lebih besar.
5. Mengurangi efisiensi bantuan.
6. Menyebabkan negara mengalami krisis

14
Korupsi memiliki daya rusak yang cukup tinggi. Korupsi itu merusak,
alasannya sederhana, yakni karena keputusan-keputusan penting diambil
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan pribadi tanpa memperhitungkan
akibat-akibatnya bagi publik (Pope, 2007). Korupsi yang dilakukan secara
sistemik memiliki dampak langsung dan tidak langsung terhadap kehidupan
masyarakat. Dampak langsung dari perbuatan korupsi, misalnya rakyat harus
membayar mahal untuk jasa pelayanan publik yang buruk dan ekonomi biaya
tinggi; sedangkan dampak korupsi tidak langsung di antaranya pencemaran
dan kerusakan lingkungan, penumpukan aset negara di tangan segelintir
orang, ketimpangan dalam pemerataan hasil-hasil pembangunan ekonomi,
diskriminasi hukum, demokratisasi tertunda dan kehancuran moral. “tidak ada
penyebab ketidakadilan dan kekejaman yang lebih besar daripada korupsi,
karena penyuapan menghancurkan baik iman maupun negara” (Sudjana,
2008).
korupsi juga berdampak pada upaya mengatasi kemiskinan dan
pemenuhan hak asasi manusia. Banyak keluarga miskin yang tidak bisa
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari secara layak. Demikian pula, banyak
di antara mereka yang anak-anaknya tidak bisa meneruskan pendidikan,
utamanya di sekolah dasar dan sekolah menengah. Itulah sebabnya,
pemerintah mengeluarkan kebijakan afirmatif untuk membantu keluarga
miskin. Dalam bidang budaya, hak penduduk juga terancam. Yang
memprihatinkan, dana ibadah haji pun dikorupsi oleh oknum yang tidak
bertanggung jawab. (Harman, 2012). Korupsi betapapun menimbulkan akibat
yang merusak bagi sendi-sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara
(KPK, 2007).

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Korupsi dipahami sebagai perbuatan busuk, rusak, kotor, menggunakan
uang atau barang milik lain (perusahaan atau negara) secara menyimpang
yang menguntungkan diri sendiri. Korupsi identik dengan kerahasiaan dan
penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Ada berbagai jenis
bentuk-bentuk korupsi seperti suap, penggelapan, penipuan, pemerasan,
favoritisme dan nepotisme yang disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya
politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Korupsi memiliki daya rusak yang cukup
tinggi yang mengakibatkan rusaknya sendi-sendi kehidupan masyarakat,
bangsa, dan negara.

B. Saran
Dalam upaya pemberantasan korupsi, selain meninjau kembali dunia
pendidikan perlu juga adanya penegasan hukum khususnya pada pelaku
korupsi agar tidak diberikan sanksi yang ringan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Alatas, S. H. (1986). Sosiologi Korupsi. Jakarta: LP2ES.

Andvig, J., Fjeldtad, O., Amundsen, I., Sissener, T., & Soreide, T. (2000). Research
on Corruption : A Policy Riented Survey. Norwegia: [NORAD] Norwegian
Agency for Development Co-operation.

Artidjo, A. (2015). Korupsi Politik Di Negara Modern. Yogyakarta: UII Press.

De Asis, G. M. (2000). "Coalition Building to Fight Corruption". paper. prepared


for the anti corruption summit. World Bank Institute.

Depdiknas., P. B. (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Hamzah, A. (2004). Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara.


Jakarta: Sinar Grafika.

Handoyono, E. (2009). Pendidikan Anti Korupsi. Semarang: Widya Karya.

Harman, B. K. (2012). Negeri Mafia Republik Koruptor Menggugat Peran DPR


Reformasi. Yogyakarta: Lamalera.

Indriati, E. (2014). Pola dan Akar Korupsi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

KPK. (2006). Memahami untuk Membasmi. Jakarta: Komisi Pemberantasan


Korupsi.

KPK. (2007). Buku Saku Untuk Memahami Pandangan Islam terhadap Korupsi :
Koruptor Dunia Akhirat Dihukum. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi.

Kuntoro, S. B. (2006). Penanggulangan Korupsi Dalam Perspektif Hindu. Jakarta:


Departemen Komunikasi dan Informatika.

Kusumah, M. (2001). Tegaknya Supremasi Hukum. Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya.

Mashal, A. M. (2011). Corruption and Resource Allocation Distortion for "ESCWA"


Countries in International Journal of Economics and Management
Sciences. Vol. 1 No. 4, 2011. Pp. 71-83.

Millah, Alimatul, dan Alfina, Tahta. (2016). Korupsi Dalam Perspektif Al-Qur'an.
Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir, Vol. II No. 02.

Pope, J. (2007). Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas


Nasional. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

17
Sahlan, H. (2005). Aplikasi Statistika dan Metode Penelitian untuk Administrasi
dan Manajemen. Bandung: Dewa Ruchi.

Sudjana, E. (2008). Republik Tanpa KPK Koruptor Harus Mati. Surabaya: JP Books.

Sugiharto, T. (2005). Mengebor Sumur Tanpa Dasar. Jurnal Demokrasi Volume II


No. 7.

Sulistyantoro, H. (2004). Etika Kristen Dalam Menyikapi Korupsi. Senis. Kompas.

Tunggal, I. T. (2000). Audit Kecurangan dan Akuntansi Forensik. Jakarta:


Harvarindo.

Warta, I. N. (2006). Mengapa Korupsi. Jakarta: Departemen Komunikasi dan


Informatika.

World Bank. (1997). Helping Countries Combat Corruption. The Role of The World
Bank. Pp-8.

18

Anda mungkin juga menyukai