Anda di halaman 1dari 50

MAKALAH

STRATEGI UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI

(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah PBAK)

DI SUSUN OLEH :

Nama : MARLINA UNIWALY

NPM : P07124111022

Tingkat/Semester : I / II

Dosen Pembimbing : Vina Dwi Wahyunita, M.Keb

POLTEKKES KEMENKES MALUKU

PRODI KEBIDANAN SAUMLAKI

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang telah melimpahkan berkat-Nya kepada kita, sehingga
kita masih dapat menghirup nafas kaislaman sampai sekarang ini.

Dengan mengucap syukur kami dapat menyusun makalah yang berjudul “STRATEGI
DAN UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI”. Kami ucapkan banyak terima kasih kepada
Dosen Pembimbing yang telah membimbing kami dalam setiap materi tentang PBAK, tidak
lupa teman-teman yang senantiasa kami banggakan yang semoga kita selalu dalam
lindungan Tuhan.

Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, maka dari itu kami mohon
saran dan kritik yang sifatnya membangun. Akhirnya kami mengucapkan terima kasih dan
mohon maaf apabila dalam penulisan masih terdapat kalimat yang kurang dapat dipahami.

Saumlaki, 09 Februari 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………..

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG …………………….…………………………………………………..

1.2 TUJUAN ………………………………….…………………………………………………..

1.3 RUANG LINGKUP MATERI …………..……………………………………………………

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Akar sejarah Korupsi di Indonesia ………..……………………………..


2.2 Persepsi Masyarakat Tentang Korupsi …………………………………………………….

2.3 Peranan KPK Dalam Pemberantasan Korupsi Di Indonesia …………………………….

2.4 Dampak korupsi ……………………………………………………………………………..

2.5 Cara pemberantasan korupsi ………………………………………………………….……

2.6 Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi……………….…………

BAB III PENUTUP

4.1 KESIMPULAN …………..……………………………………………………………………

4.2 KRITIK DAN SARAN …………..…………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sering kita mendengar kata yang satu ini yaitu “KORUPSI” ada di sekeliling
kita, mungkin terkadang kita tidak menyadari itu. Korupsi bisa terjadi di rumah,
sekolah, masyarakat, maupun di instansi tertinggi dan dalam pemerintahan.
Mereka yang melakukan korupsi terkadang menganggap remah hal yang
dilakukannya itu. Hal ini sangat mengkhawatirkan sebab bagaimana pun apabila
suatu organisasi dibangun dari korupsi akan dapat merusak. Korupsi saat ini sudah
mulai menjadi budaya dan hampir di semua lapisan masyarakat ada yang
melakukan korupsi baik dalam skala kecil maupun besar. Tetapi tidak hanya saat
ini saja, dahulu pada saat orde baru penyakit korupsi ini sudah menjangkit bangsa
Indonesia. Saat itu sangat memprihatinkan karena berkembangnya budaya
korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) yang mengakar dan menjangkit pada pejabat
pemerintah negara, sehingga konsekuensinya identitas nasional saat itu dikenal
dengan bangsa yang “KORUP”.

Pancasila yang seharusnya sebagai sumber nilai dasar moral dan etika bagi
negara dan aparat pelaksana negara dalam kenyataannya digunakan sebagai alat
legitimasi politik. Semua kebijakan dan tindakan penguasa mengatasnamakan
pancasila bahkan kebijakan yang bertentangan sekalipun diistilahkan sebagai
pelaksanaan pancasila yang murni dan konsekuen. Sehingga kebijakan yang ada
saat itu terlihat berpihak pada rakyat tetapi sebenarnya hanya untuk mendapatkan
keuntungan pribadi oknum tertentu saja tanpa memikirkan nasib para rakyat.

Berbagai upaya pemberantasan sejak dulu ternyata tidak mampu mengikis habis
kejahatan korupsi. Karena dalam Masalah pembuktian dalam tindak pidana korupsi
memang merupakan masalah yang rumit, karena pelaku tindak pidana korupsi ini
melakukan kejahatannya dengan rapi. Sulitnya pembuktian dalam perkara korupsi
ini merupakan tantangan bagi para aparat penegak hukum untuk tetap konsisten
dengan penuh rasa tanggung jawab. Jika mantan presiden Alm. Presiden
Abdurrahman Wahid menyatakan cara pemberantasan korupsi adalah dengan
cara pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi.Korupsi bukan hal yang
baru bagi bangsa Indonesia. Tanpa disadari, korupsi muncul dari kebiasaan yang
dianggap lumrah dan wajar oleh masyarakat umum. Seperti memberi hadiah
kepada pejabat/pegawai Negeri atau keluarganya sebagai imbal jasa sebuah
pelayanan (KPK, 2006: 1).

Korupsi telah dianggap sebagai hal yang biasa, dengan dalih “sudah sesuai
prosedur”. Koruptor tidak lagi memiliki rasa malu dan takut, sebaliknya
memamerkan hasil korupsinya secara demonstratif.Politisi tidak lagi mengabdi
kepada konstituennya. Partai Politik bukannya dijadikan alat untuk
memperjuangkan kepentingan rakyat banyak, melainkan menjadi ajang untuk
mengeruk harta dan ambisi pribadi. Padahal tindak pidana korupsi merupakan
masalah yang sangat serius, karena tindak pidana korupsi dapat membahayakan
stabilitas dan keamanan Negara dan masyarakat, membahayakan pembangunan
sosial, politik dan ekonomi masyarakat, bahkan dapat pula merusak Nilai-nilai
Demokrasi serta moralitas bangsa karena dapat berdampak membudayanya
tindak pidana korupsi tersebut. Sehingga harus disadari meningkatnya tindak
pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa dampak yang tidak hanya
sebatas kerugian Negara dan perekonomian Nasional tetapi juga pada kehidupan
berbangsa dan bernegara. Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak hak ekonomi masyarakat, sehingga
tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa
(ordinary crimes) melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra-ordinary
crimes). Sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan
“secara biasa”,tetapi dibutuhkan “cara-cara yang luar biasa” (extra-ordinary
crimes).

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan
jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah pemerintahan
rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda dari yang paling
ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan
menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan
sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harfiahnya
pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada
sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau
berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal
seperti penjualan narkotika, pencucian uang dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak
terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat
solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas
kejahatan. Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan
antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan Partai Politik
ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.

Korupsi ternyata dilakukan oleh orang yang berpendidikan tinggi. Rasanya


sungguh tidak pantas, seseorang yang berpendidikan melakukan hal yang
seharusnya tidak boleh dilakukan. Korupsi tidak boleh dilakukan karena akan
menimbulkan kerugian bagi pihak lain dan hanya memberikan keuntungan kepada
pihak yang korupsi atau biasa disebut dengan koruptor. Faktanya korupsi dilakukan
oleh orang yang mempunyai kekuasaan. Misalnya dalam pemerintahan, mereka
menyalahgunakan kekuasaan hanya untuk kepentingan pribadi. Bisa dilihat dari
kasus korupsi wisma atlet yang menjerat Angelina Sondakh, yang merupakan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Sebagai wakil rakyat seharusnya mengemban
baik-baik tugas dan amanah yang telah dipercayakan oleh rakyat. Namun pada
kenyataannya mereka mementingkan keinginan mereka sendiri, melupakan
tanggung jawab mereka sebagai wakil rakyat.

Dengan maraknya korupsi yang ada di Indonesia, maka dibentuklah Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah

lembaga yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna

terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu KPK juga

merupakan lembaga yang independen dan bebas dari pengaruh dalam

melaksanakan tugasnya, seperti yang tercantum pada Pasal 3 Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002. Mereka para koruptor bisa dikatakan

pemberani, karena tidak takut dengan sanksi yang akan mereka dapatkan. Sanksi

dibuat agar memberikan efek jera dan tidak akan mengulangi korupsi lagi. Dalam

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 telah dijelaskan


mengenai sanksi-sanksi dalam berbagai macam tindak korupsi. Pada kenyataannya

masih saja banyak ditemukan kasus korupsi, seakan-akan mereka tidak takut

dengan hukuman atau sanksi yang akan mereka dapat setelah terbukti sebagai

koruptor nantinya. Hukuman dan sanksi yang telah dirumuskan untuk para pelaku

korupsi rasanya hanya dianggap sebagai angin lalu saja. Karena hal tersebut muncul

gagasan mengenai hukuman mati bagi koruptor untuk memberikan efek jera, namun

gagasan tersebut menimbulkan pro dan kontra. Kondisi Negara yang menderita

kerugian akibat kasus korupsi sangat memprihatinkan. Ketika upaya pemberantasan

korupsi dengan membebankan sanksi yang berat kepada koruptor belum juga

mampu membuat korupsi lenyap, maka upaya pencegahan mulai dipertimbangkan.

Karena mencegah lebih baik dari pada mengobati. Selain itu bila hanya menekankan

pada hukuman yang diberikan pada koruptor tidak akan ada habisnya. Kasus korupsi

akan selalu muncul, dari generasi ke generasi.

Korupsi sangat berkaitan dengan kesadaran, kesadaran akan hukum tiap-tiap

orang tentu saja berbeda. Tetapi bila dilihat dari banyaknya kasus korupsi yang ada,

bisa disimpulkan bahwa kesadaran hukum warga Indonesia cukup rendah. Perlu

adanya penanaman kesadaran serta nilai-nilai positif lain sejak dini, agar generasi

muda nantinya akan mampu membawa bangsa Indonesia menjadi lebih baik.

Banyak faktor pendorong terjadinya korupsi di Indonesia, yakni diantaranya :

Konsentrasi kekuasan dipengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab

langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan

demokratis; Gaji yang masih rendah; kurang sempurnanya peraturan perundang-

undangan, administrasi yang lamban; Sikap mental para pegawai yang ingin cepat

kaya dengan cara yang haram, tidak ada kesadaran bernegara, tidak ada

pengetahuan pada bidang pekerjaan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah;


Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah; Kampanye-

kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan

politik yang normal; Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.;

Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”;

Lemahnya ketertiban hukum; Lemahnya profesi hukum; Gaji pegawai pemerintah

yang sangat kecil; Rakyat yang apatis, masa bodoh, tidak tertarik, atau mudah

dibohongi; Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan.

Korupsi memberikan dampak buruk bagi Negara. Korupsi menunjukan

tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi

mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan

cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan

legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan;

korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di

pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan

masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah,

karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau

dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi

mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan

toleransi.

Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi

dan ketidakefisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos

niaga karena kerugian dari pembayaran illegal, ongkos manajemen dalam negosiasi

dengan pejabat korup dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan.

Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga)

dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan


bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan

baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga,

korupsi juga mengacaukan “lapangan perniagaan”. Perusahaan yang memiliki

koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan

perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.

Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan

mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan

upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek

masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan

lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat

keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga

mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur dan menambahkan

tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.

Indonesia, sebagai salah satu Negara yang telah merasakan dampak dari

tindakan korupsi, terus berupaya secara konkrit, dimulai dari pembenahan aspek

hukum, yang sampai saat ini telah memiliki banyak sekali rambu-rambu berupa

peraturan – peraturan, antara lain Tap MPR XI tahun 1980, kemudian tidak kurang

dari 10 UU anti korupsi, diantaranya UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan

UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

kemudian yang paling monumental dan strategis, Indonesia memiliki UU Nomor 30

Tahun 2002, yang menjadi dasar hukum pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK). Dengan demikian pemberantasan dan pencegahan korupsi telah menjadi

gerakan Nasional. Seharusnya dengan sederet peraturan dan partisipasi

masyarakat tersebut akan semakin menjauhkan sikap dan pikiran kita dari tindak

korupsi.
Masyarakat Indonesia bahkan dunia terus menyoroti upaya Indonesia dalam

mencegah dan memberantas korupsi. Masyarakat dan bangsa Indonesia harus

mengakui, bahwa hal tersebut merupakan sebuah prestasi, dan juga harus jujur

mengatakan, bahwa prestasi tersebut, tidak terlepas dari kiprah KPK sebagai

lokomotif pemberantasan dan pencegahan korupsi di Indonesia.

B. Tujuan Instruksional Umum (TIU)

Setelah membaca makalah ini diharapkan mahasiswa dapat mengerti dan paham
tentang strategi pemberantasan korupsi.

C. Tujuan Instruksional Khusus (TIK)


1. Pengertian Korupsi
2. Mengetahui upaya pencegahan korupsi
3. Mengetahui upaya penindakan korupsi
4. Mengetahui kerjasama Internasional dalam pembrantasan korupsi
D. Manfaat
1. Mengetahui berbagai jenis upaya penindakan dan pencegahan dalam
pemberantasan korupsi
2. Mengetahui berbagai jenis kerjasama internasional yang dapat dilakukan dalam
pemberantasan korupsi
3. Untuk memperluas pengetahuan/ wawasan mahasiswa tentang berbagai strategi
dalam pemberantasan korupsi melalui contoh kasus-kasus korupsi yang ada
4. Memotivasi mahasiswa untuk tidak melakukan korupsi
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Akar sejarah Korupsi di Indonesia

Istilah korupsi berasal dari perkataan Latin coruptio atau corruptus2 yang berarti
kerusakan atau kebobrokan. Di samping itu diberbagai negara, dipakai juga untuk
menunjukan keadaan dan perbuatan yang busuk. Korupsi juga banyak dikaitkan dengan
ketidakjujuran seseorang di bidang keuangan. Arti harfiah dari kata itu ialah tidak
bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau
memfitnah dan lain sebagainya. Kemudian arti kata korupsi yang telah diterima dalam
perbendaharaan kata bahasa Indonesia itu, dapat disimpulkan bahwa korupsi ialah
perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan
sebagainya.

Tindak pidana korupsi merupakan masalah yang sangat serius, karena tindak pidana
korupsi dapat membahayakan stabilitas dan keamanan negara dalam masyarakatnya,
membahayakan pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat, politik, bahkan dapat pula
merusak nilai-nilai demokrasi serta moralitas bangsa karena dapat berdampak
membudayannya tindak pidana korupsi tersebut. Hal tersebut sebagaimana tercantum
dalam Preambul Ke-4 United Nation Convention Against Corruption, 2003 yang berbunyi
sebagai berikut yaitu Meyakini bahwa korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal,
melainkan suatu fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan
ekonomi yang mendorong kerja sama Internasional unruk mencegah dan mengontrollnya
esensial. Kegiatan pemberantasan korupsi akan selalu tetap menjadi bahan yang aktual
untuk disajikan sebagai persoalan jenis kejahatan yang rumit penanggulangannya, karena
korupsi mengandung aspek yang majemuk dalam kaitannya dengan politik, ekonomi, dan
sosial budaya. Perbuatan korupsi membentuk aneka ragam pola perilaku dalam suatu
siklus pertumbuhan negara, perkembangan sistem sosial dan keserasian struktur
pemerintahan. Bentuk perbuata korupsi yang beraneka ragam dan berbagai faktor
penyebab timbulnya korupsi itu dalam pertumbuhannya makin meluas, sehingga batasan
dari ciri perbuatan korupsi dan ciri perbuatan yang tidak korupsi tetapi berciri sangat
merugikan negara atau masyarakat menjadi sukar dibedakan, serta mengakibatkan
ketidakpastian cara memformulasikan kelompok kejahatannya, korupsi dewasa ini selain
menggerogoti keuangan (kekayaan negara), juga sekaligus dapat merusak sendi-sendi
kepribadian bangsa. Tidak mengherankan kalau korupsi dimasa kini dapat
menghancurkan negara, menjatuhkan pemerintah atau minimal menghambat
pembangunan untuk kesejahteraan rakyat.

Perbuatan korupsi dari segi bentuknya dapat dibagi sebagai berikut: pertama, yang lebih
banyak menyangkut penyelewengan di bidang materi (uang) yang dikategorikan korupsi
materi. Kedua, berupa perbuatan memanipulasikan pungutan suara dengan cara
penyuapan, intimidasi, paksaan, dan/atau campur tangan yang dapat mempengaruhi
kebebasan memilih. Ketiga, yang memanipulasikan ilmu pengetahuan. Keberadaan
tindak pidana korupsi dalam hukum positif Indonesia sebenarnya telah cukup lama, yaitu
sejak Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berlaku sebagai kodifikasi atau
unifikasi di Indonesia. Dalam keadaan mendesak dan perlu diaturnya tindak pidana
korupsi ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diganti dengan
Undang-Undang No. 3 Tahun 1971. Terjadinnya perkembangan mengenai
pemberantasan tindak pidana korupsi yang melibatkan penyelenggara dan pengusaha,
Undang-Undang tersebut dirasa tidak sesuai lagi sehingga ditetapkan bahwa Undang-
Undang tersebut tidak berlaku lagi dan diganti menjadi Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang tersebut telah
mengalami perubahan dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan
atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Berdasarkan latar belakang sejarahnya, pengertian korupsi itu nampaknya sangat


berkaitan erat dengan sistem kekuasaan dan pemerintahan di zaman dahulu maupun di
zaman modern ini. Adapun pengertian korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan,
pertama kali telah dipopulerkan oleh E. John Emerich Edward Dalberg Alton (Lord Alten).
Ia adalah seorang pakar sejarah Inggris yang mmperkenalkan kata-kata berupa dalil
korupsi yang termasyur: The Power Tends To Corrupt, But Absolute Power Corrupts
Absolutely (kekuasaan cenderung Korupsi, tetapi kekuasaan yang berlebihan
mengakibatkan korupsi berlebihan pula.

Di Indonesia pemberian hadiah yang dilakukan oleh para pejabat atau pemegang
kekuasaan negara sering diidentikkan dengan korupsi, namun tidak semua pemberian
hadiah merupakan korupsi. Hadiah yang sah biasanya dapat dibedakan dengan uang
suap (korupsi). Hadiah dapat diberikan secara terbuka di depan orang ramai sedangkan
uang suap (korupsi) tidak. Pembedaan ini dilakukan karena orang biasanya berkelit ketika
dipaksa mengaku telah memberikan suap kepada orang lain maka alasan yang digunakan
supaya lebih aman adalah bahwa yang diberikan adalah hadiah.

Transparency Internasional mendefinisikan korupsi sebagai menyalahgunakan


kekuasaan dan kepercayaan publik untuk kepentingan pribadi.

J.s.Nye berpendapat bahwa korupsi adalah Perilaku yang menyimpang dari atau
melanggar peraturan kewajiban normal peran,instansi pemerintah dengan jalan
melakukan atau mencari pengaruh, status dan gengsi untuk kepentingan pribadi.

Carl J fresrich, berpendapat bahwa Korupsi dari kepentingan umum apabila seseorang
yang memegang kekuasaan atau yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu
mengharapkan imbalan uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan
Undang-Undang Membujuk untuk mengambil langkah atau menolong siapa saja yang
menyediakan hadiah sehingga benar-benar membahayakan kepentingan umum.

Menurut Sudarto tindak pidana korupsi sebagai berikut Melakukan perbuatan


memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu badan, bersifat melawan hukum baik
secara formil maupun materildan perbuatan itu secara langsung atau tidak langsung
merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau perbuatan itu diketahui
atau patut disangka oleh si pembuat bahwa merugikan negara atau perekonomian negara.

Selo Sumardjan merumuskan korupsi yaitu : Korupsi,kolusi dan nepotisme adalah dalam
suatu napas karena ketigannya elanggar kaidah kejujuran dan norma hukum adapun
faktor pendukung korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) adalah

1) Pranata- pranata sosial kontrol tidak efektif lagi,

2) penyalahgunaan kekuasaan negara sebagai short cut mengumpulkan harta,

3) Pembangunan ekonomi menjadi panglima pembangunan bukan pembangunan


nasional

Adapula pengertian dan ciri-ciri korupsi menurut para pakar lainnya seperti Menurut
Robert Klitgaard, Pengertian Korupsi adalah Suatu tingkah laku yang meyimpang dari
tugastugas resmi jabatannya dalam negara, dimana untuk memperoleh keuntungan status
atau uang yang menyangkut diri pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri),
atau melanggar aturan pelaksanaan yang menyangkut tingkah laku pribadi. Pengertian
korupsi yang diungkapkan oleh Robert yaitu korupsi dilihat dari perspektif administrasi
negara.

Korupsi menurut The Lexicon Webster Dictionary adalah Kebusukan, keburukan,


kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian,
kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.

Korupsi menurut Gunnar Myrdal adalah Suatu masalah dalam pemerintahan karena
kebiasaan melakukan penyuapan dan ketidakjujuran membuka jalan membongkar
korupsi dan tindakantindakan penghukuman terhadap pelanggar. Tindakan
pemberantasan korupsi biasanya dijadikan pembenar utama terhadap KUHP Militer.
Korupsi menurut Mubyarto adalah Suatu masalah politik lebih dari pada ekonomi yang
menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah di mata generasi muda, kaum elite terdidik
dan para pegawai pada umumnya. Akibat yang ditimbulkan dari korupsi ini ialah
berkurangnya dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat provinsi dan
kabupaten.

Pengertian korupsi yang diungkapkan Mubyarto yaitu menyoroti korupsi dari segi politik
dan ekonomi.

Syeh Hussein Alatas mengemukan pengertian korupsi sebagai berkut. Menurut beliau
korupsi ialah subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan pribadi yang
mencakup pelanggaran norma, tugas dan kesejahteraan umum, yang dilakukan dengan
kerahasian, penghianatan, penipuan dan kemasabodohan akan berakibat panjang yang
akan diderita oleh rakyat itu sendiri .

Pengertian Korupsi menurut Fockema Andreae, Kata "korupsi" berasal dari bahasa latin
yaitu "corruptio atau corruptus". Namun kata "corruptio" itu berasal pula dari kata asal
"corrumpere", yaitu suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin ini
kemudian turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, Prancis yaitu
corruption, Belanda yaitu corruptie. Dari bahasa Belanda inilah yang kemudian turun ke
bahasa Indonesia, sehingga menjadi korupsi.

Dalam UU No.31 Tahun 1999, Pengertian korupsi yaitu Setiap orang yang dengan
sengaja secara melawan hukum untuk melakukan perbuatan dengan tujuan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang mengakibatkan kerugian keuangan
negara atau perekonomian negara. Black’s Law Dictionaryi Pengertian Korupsi adalah
Merupakan suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan
keuntungan yang tidak resmi dengan mempergunakan hak-hak dari pihak lain, yang
secara salah dalam menggunakan jabatannya atau karakternya di dalam memperoleh
suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, yang berlawanan dengan
kewajibannya dan juga hak-hak dari pihak lain.

Alatas mengatakan ada tiga tipe fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi yaitu:

 Penyuapan (bribery),
 pemerasan (exortion) dan
 nepotisme.

Dari Ketiga tipe tersebut berbeda, namun dapat ditarik benang merah yang
menghubungkan ketiga tipe korupsi itu yaitu menempatkan kepentingan publik di bawah
kepentingan pribadi dengan pelanggaran norma-norma tugas dan kesejahteraan, yang
dilakukan dengan keserbarahasiaan, pengkhianatan, penipuan dan juga pengabaian atas
kepentingan publik.

Akar Sejarah Korupsi di Indonesia

Korupsi adalah penyakit kambuhan bangsa Indonesia. Akar sejarah korupsi lewat
pungutan liar (pungli) bermula sejak kerajaan Nusantara eksis. Selanjutnya, pejabat
kongsi dagang Belanda, VOC mengikuti.

Seperti yang diungkap sastrawan Goenawan Mohamad, "Korupsi itu menghasilkan


sesuatu yang berlebihan —uang, kekuasaan, nama baik, juga kekejaman— yang secara
berlebihan pula merugikan orang lain yang sedang ada dalam status dan posisi lain. Bagi
Indonesia, korupsi tak pernah jadi masalah perseorangan. Melainkan korupsi jadi masalah
bersama-sama.

Berdasarkan sejarah, korupsi adalah bagian dari tindakan yang telah ada hampir setua
peradaban itu sendiri. Di Indonesia, pungli mulai tercatat sejak abad 13. Asal mulanya
berasal dari sistem pembiayaan tradisional Kerajaan Majapahit, Mataram hingga kerajaan
lainnya di Nusantara.
Lewat catatan itulah jejak mereka yang mengusai jabatan tertentu dalam memperoleh
keuntungan besar mulai terlihat. Sejarawan Ong Hok Ham pun turut menjelaskan hal itu.
Ia mengungkap pungli langgeng karena pejabat dalam kerajaan tradisional ini tak digaji
oleh raja.

Alhasil, mereka harus berdikari dalam hal keuangan. Raja hanya memberi pejabat tanah
dan sejumlah petani, atau hak-hak untuk memungut bea cukai. Sesudahnya, pejabat itu
meminta denda dan upeti ke rakyat. Dari sumber keungan inilah urusan jabatan dibiayai.

Tak cuma satu dua jabatan saja yang mencari gajinya sendiri. Ong Hok Ham mencatat
mulai dari jabatan menteri di keraton, bupati, pengawas pengairan, jagal, pencatat
penduduk, penarik pajak, kepala desa, dan lain sebagainya telah berdiri sendiri dalam
keuangan.

Bahkan, raja sendiri sebenarnya masuk dalam sistem ini. Sebab, seorang raja menerima
sebagian dari upeti rakyat yang diberikan oleh pejabat. Akan tetapi, jumlah yang diberikan
relatif kecil. Masih jauh lebih besar upeti yang masuk kantong pribadi pejabat.

“Dalam sejarah kita terdapat contoh di mana seorang bawahan dapat menjamu rajanya
secara lebih mewah daripada raja itu sendiri menjamu para tamunya. Atau si penarik pajak
dapat meremehkan para abdi dalem kareton tertinggi, juga para menteri, bahkan
pangeran, sebab penghasilannya jauh melebihi penghasilan mereka – dan mereka semua
berhutang padanya,” ujar Ong Hok Ham dalam buku Wahyu yang Hilang, Negeri yang
Guncang (2018).

Kala Hindia-Belanda

Kebiasaan pungli semakin langgeng kala sistem tanam paksa (cultuur stelsel) diresmikan
oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Johannes van den Bosch (1830–1833) pada
1830. Aturan itu mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami
komoditas ekspor, khususnya kopi, tebu, dan teh. Kebijakan itu pun menjadi ladang subur
berlangsungnya aksi pungli paling hebat.

“Dapat dikatakan bahwa masa Cultuur Stelsel merupakan masa ‘aksi pungli’ yang paling
hebat di satu pihak mengalirkan berjuta-juta gulden ke kas Negara Belanda serta
menggemukkan para bupati. Sedangkan rakyat jelata menjadi semakin kurus kering dan
melarat. Anehnya rakyat pada waktu itu tetap diam saja, tidak mau memberitahukan
kesengsaraan mereka untuk minta diringankan. Semuanya dijalankan saja dengan penuh
ketaatan,” ungkap Soegeng Reksodihardjo dalam buku Dr. Cipto Mangunkusumo (2012).

Selebihnya, para bupati sendiri kelihatannya hanya menutup mata terhadap penderitaan
dan kesengsaraan rakyat. Mereka hanya berlomba-lomba memeras rakyat untuk dapat
dipuji sebagai bupati yang baik dan diberi bintang jasa oleh penjajah, sembari tetap
melanggeng pungli.

Seperti yang pernah diungkap oleh Multatuli atau Eduard Douwer Dekker dalam novel
legendarisnya Max Havelaar (1860). Lewat novel itu, Multatuli kemudian menelanjangi
kejamnya pejabat bumiputra dan kolonialisme Belanda.

Runtuhnya VOC

Pungli yang dilanggengkan kongsi dagang VOC pun tak kalah hebat dari pejabat
bumiputra yang korup. VOC zaman itu hanya memberikan gaji nominal, sekedar uang
pengikat.

Seorang Gubernur Pantai Utara Jawa, misalnya hanya digaji 80 gulden sebulan. Oleh
sebab itu, kebanyakan di antaranya melakukan praktik curang. Mereka harus berdagang
demi kepentingan majikannya, justru berusaha berdagang demi keuntungan sendiri.

Menurut penuturan seorang komisioner VOC, Dirk van Hogendorp (1761-1822), ia melihat
sendiri pungutan yang diambil oleh pejabat VOC banyak berasal dari denda barang-
barang yang overweight (melampaui batas) milik orang-orang China dan Jawa,
keuntungan penjualan opium, hadiah-hadiah dan sebagainya.

“Dirk menyebutkan jenis-jenis hadiah yang didapat dari para pejabat pribumi, bupati,
misalnya hadiah pada penunjukkan pejabat baru, hadiah setiap tahun baru, hadiah buat
istri pejabat yang melahirkan, pungutan setiap kali mau menghadap Gubernur di
Semarang, setiap menghadap Gubernur Jenderal di Hindia-Belanda, setiap kali
mendatangi penobatan bupati pribumi yang baru terpilih dan sebagainya,” cerita Dirk
dikutip Sri Margana dalam buku Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia (2016).

Selain terjadi manipulasi harga, pejabat VOC juga melakukan penjualan kedudukan dan
penjualan monopoli seperti candu, garam, serta hasil alam lainnya. Dampaknya, para
pejabat VOC semakin kaya raya. Sedangkan, VOC sendiri semakin miskin.
Gambaran itu terlihat dari orang Belanda di Nusantara yang sering kali hidup di atas
kemewahan. Mereka suka pamer, berpesta pora, dan feodal. Sikap itu tumbuh lewat sikap
para gubernur jenderal yang dikenal royal dan suka pesta karena melimpahnya hasil
pungli.

Lebih lengkapnya terkait foya-foya pejabat VOC, kami pernah mengulasnya dalam
artikel “Pesta Gila dan Foya-Foya Para Gubernur Jenderal Hindia-Belanda”. Pada
akhirnya, sejarah mencatat keruntuhan kongsi dagang Belanda VOC, salah satunya gara-
gara keseringan korupsi. Pejabat VOC yang seharusnya berdagang demi kepentingan
majikan, justru bekerja hanya demi keuntungan sendiri.

“Tepat setelah dibubarkan, sejak 1 Januari 1800 seluruh kekuasaan, keputusan dan
wewenang VOC dilimpahkan kepada otoritas kerajaan Belanda, termasuk hutang dan
saldo 134,7 juta gulden. Sejak saat itu, kawasan Nusantara bernama Hindia Belanda,
yang diakui oleh dunia baik secara de jure maupun de facto,” tutup Miftakhuddin dalam
buku Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembangunan Menuju Hegemoni (2019).

Ciri-ciri Korupsi

Menurut Syed Hussein Alatas memberikan ciri-ciri korupsi, sebagai berikut :

1. Ciri korupsi selalu melibatkan lebih dari dari satu orang. Inilah yang membedakan antara
korupsi dengan pencurian atau penggelapan.

2. Ciri korupsi pada umumnya bersifat rahasia, tertutup terutama motif yang
melatarbelakangi perbuan korupsi tersebut.

3. Ciri korupsi yaitu melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban
dan keuntungan tersebut tidaklah selalu berbentuk uang.

4. Ciri korupsi yaitu berusaha untuk berlindung dibalik pembenaran hukum.

5. Ciri korupsi yaitu mereka yang terlibat korupsi ialah mereka yang memiliki kekuasaan
atau wewenang serta mempengaruhi keputusan-keputusan itu.

6. Ciri korupsi yaitu pada setiap tindakan mengandung penipuan, biasanya pada badan
publik atau pada masyarakat umum.
7. Ciri korupsi yaitu setiap bentuknya melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari
mereka yang melakukan tindakan tersebut.

8. Ciri korupsi yaitu dilandaskan dengan niat kesengajaan untuk menempatkan


kepentingan umum di bawah kepentingan pribadi.

B. Konsep Pemberantasan korupsi

“It is always necessary to relate anti-corruption strategies to characteristics of the


actors involved (and the environment they operate in). There is no single concept and
program of good govermance for all countries and organizations, there is no ‘one right
way’. There are many initiatives and most are tailored to specifics contexts. Saocieties
and organizations will have to seek their own solution”. (Fijnaut dan Hubers: 2002).

Dari pernyataan ini dapat dipahami bahwa sangat penting untuk menghubungkan
starategi atau upaya pemberantasan korupsi dengan melihat karakteristik dari
berbagai pihak yang terlibat serta lingkungan di mana mereka bekerja atau beroperasi.
Tidak ada jawaban, konsep atau program tunggal untuk setiap negara atau organisasi.
Ada begitu banyak strategi, cara atau upaya yang kesemuanya harus disesuaikan
dengan konteks, masyarakat maupun organisasi yang dituju. Setiap negara,
masyarakat maupun organisasi harus mencari cara mereka sendiri untuk menemukan
solusinya.

Upaya yang paling tepat untuk memberantas korupsi adalah dengan memberikan
pidana atau menghukum seberat-beratnya pelaku korupsi. Dengan demikian bidang
hukum khususnya hukum pidana akan dianggap sebagai jawaban yang paling tepat
untuk memberantas korupsi.

C. Gambarang Umum korupsi di Indonesia

Korupsi di Indonesia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an bahkan
sangat mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah melalui Undang-undang
Nomor 24 PRP 1960 yang diikuti dengan dilaksanakannya “Operasi Budhi” dan
pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi berdasarka Keputusan Presiden Nomor 28
tahun 1967 yang dipimpin langsung oleh Jaksa Agung, belum membuahkan hasil
nyata.
Pada Orde Baru, muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 dengan “Operasi
Tertib” yang dilakukan komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Kopkamtib), namun dengan kemajuan Iptek, modus operandi kurupsi semakin
canggih dan rumit sehingga Undang-Undang tersebut gagal dilaksanakan.
Selanjutnya dikeluarkan kembali Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.

Upaya-upaya hukum yang telah dilakukan pemerintahan sebenarnya sudah cukup


banyak dan sistematis. Namun korupsi di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997
saat negara mengalami krisis Politik, sosial, kepemimpinan, dan kepercayaan yang
pada akhirnya menjadi krisis multidimensi. Gerakan reformasi yang menumbangkan
rezim Orde Baru menuntut antara lain ditegakkannya supremasi hukum dan
pemberantasan Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut akhirnya
dituangkan di dalam ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 &Undang-Undang Nomor
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih & Bebas dari KKN.

D. Persepsi Masyarakat tentang Korupsi

Rakyat kecil yang tidak memiliki alat pemukul guna melakukan koreksi dan
memberikan sanksi pada umumnya bersikap acuh tak acuh. Namun yang paling
menyedihkan adalah sikap rakyat menjadi apatis dengan semakin meluasnya praktik-
praktik korupsi oleh be-berapa oknum pejabat lokal, maupun nasional.

Kelompok mahasiswa sering menanggapi permasalahan korupsi dengan emosi dan


de-monstrasi. Tema yang sering diangkat adalah “penguasa yang korup” dan “derita
rakyat”. Mereka memberikan saran kepada pemerintah untuk bertindak tegas kepada
para korup-tor. Hal ini cukup berhasil terutama saat gerakan reformasi tahun 1998.
Mereka tidak puas terhadap perbuatan manipulatif dan koruptif para pejabat. Oleh
karena itu, mereka ingin berpartisipasi dalam usaha rekonstruksi terhadap masyarakat
dan sistem pemerin-tahan secara menyeluruh, mencita-citakan keadilan, persamaan
dan kesejahteraan yang merata.

E. Fenomena Korupsi di Indonesia

Fenomena umum yang biasanya terjadi di negara berkembang contohnya Indonesia


ialah:
 Proses modernisasi belum ditunjang oleh kemampuan sumber daya manusia
pada lembaga-lembaga politik yang ada.
 Institusi-institusi politik yang ada masih lemah disebabkan oleh mudahnya “ok-
num” lembaga tersebut dipengaruhi oleh kekuatan bisnis/ekonomi, sosial,
keaga-maan, kedaerahan, kesukuan, dan profesi serta kekuatan asing lainnya.
 Selalu muncul kelompok sosial baru yang ingin berpolitik, namun sebenarnya
banyak di antara mereka yang tidak mampu,.
 Mereka hanya ingin memuaskan ambisi dan kepentingan pribadinya dengan
dalih “kepentingan rakyat”. Sebagai akibatnya, terjadilah runtutan peristiwa
sebagai berikut :
a. Partai politik sering inkonsisten, artinya pendirian dan ideologinya sering
beru-bah-ubah sesuai dengan kepentingan politik saat itu.
b. Muncul pemimpin yang mengedepankan kepentingan pribadi daripada
kepenting-an umum.
c. Sebagai oknum pemimpin politik, partisipan dan kelompoknya berlomba-
lomba mencari keuntungan materil dengan mengabaikan kebutuhan
rakyat.
d. Terjadi erosi loyalitas kepada negara karena menonjolkan pemupukan
harta dan kekuasaan. Dimulailah pola tingkah para korup.
e. Sumber kekuasaan dan ekonomi mulai terkonsentrasi pada beberapa
kelompok kecil yang mengusainya saja. Derita dan kemiskinan tetap ada
pada kelompok masyarakat besar (rakyat).
f. Lembaga-lembaga politik digunakan sebagai dwi aliansi, yaitu sebagai
sektor di bidang politik dan ekonomi-bisnis.
g. Kesempatan korupsi lebih meningkat seiring dengan semakin
meningkatnya ja-batan dan hirarki politik kekuasaan.
F. Peran Serta Pemerintah dalam Memberantas Korupsi

Partisipasi dan dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam mengawali


upaya-upaya pemerintah melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat
hukum lain.

KPK yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi, dan
memberan-tas korupsi, merupakan komisi independen yang diharapkan mampu
menjadi “martir” bagi para pelaku tindak KKN.

Adapun agenda KPK adalah sebagai berikut :

1. Membangun kultur yang mendukung pemberantasan korupsi.


2. Mendorong pemerintah melakukan reformasi public sector dengan
mewujudkan good governance.
3. Membangun kepercayaan masyarakat.
4. Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar.
5. Memacu aparat hukum lain untuk memberantas korupsi.

G. Upaya Penanggulangan Kejahatan (Korupsi) dengan Hukum Pidana.

Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah politik
kriminal atau Criminal Policy oleh G. Petter Hoefnagels dibedakan sebagai berikut
(Nawawi Arief : 2008):
1. Kebijakan penerapan hukum pidana (Criminal Law Application)
2. Kebijakan pencegahan tanpa hukum pidana (Prevention Without Punishment)
3. Kebijakan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejatahatan
dan pemidanaan lewat mass media (Influencing Views Of Society on Crime and
Punishment/mass media) (atau media lainnya seperti penyuluhan, pendidikan dll).

Melihat pembedaan tersebut, secara garis besar upaya penanggulangan kejahatan


dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni melalui jalur penal (dengan menggunakan hukum
pidana) dan jaluir non-penal (diselesaikan diluar hukum pidana dengan sarana-sarana
non-penal). Secara kasar menurut Barda Nawawi Aief, upaya penanggulangan
kejahatan melalui jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat repressive (penumpasan/
penindasan/pemberantasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non-penal
lebih menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan). Dikatakan secara kasar,
karena tindkaan represif juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas
(Nawawi Arif: 2008).

Sifat preventif memang bukan menjadi fokus kerja aparat penegak hukum. Namun
untuk pencegahan korupsi sifat ini dpaat ditemui dalam salah satu tugas dari Komisi
Pemberantasan Korupsi yang memiliki Deputi Bidang Pencegahan yang di dalamnya
terdapat Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat.

Sasaran dari upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur non-penal adalah


menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan dalam hal ini korupsi,
yakni berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi baik politik, ekonomi
maupun sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau
menumbuh suburkan kejahatan. Dengan ini, upaya non-penal seharusnya menjadi
kunci atau memiliki posisi penting atau dalam istilah yang digunakan oleh Barda
Nawawi Arief ‘memiliki poisis strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal’.

Upaya yang kedua adalah upaya penal dengan memanggil atau menggunakan hukum
pidana atau dengan menghukum atau memberi pidana atau memberikan penderitaan
atau nestapa bagi pelaku korupsi.

Ada hal penting yang patut dipikirkan dalam menggunakan upaya penal. Hal ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa sarana penal memiliki ‘keterbatasan’ dan
mengandung beberapa ‘kelemahan’ (sisi negatif) sehingga fungsinya seharusnya
hanya digunakan secara ‘subsidair’. Pertimbangan tesebut (Nawawi Arief; 1998)
adalah:

 Dilihat secara Dogmatis, sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling
tajam dalam bidang hukum, sehingga harus digunakan sebagai ultimum
remedium (obat yang terakhir apabila cara lain atau bidang hukum lain sudah
tidak dapat digunakan lagi).
 Dilihat secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya menuntut
biaya yang tinggi.
 Sanksi pidana mengandung sifat kontradiktif/paradoksal yang mengandung
efek sampingan yang negatif. Hal ini dapat dilihat, dari kondisi overload
Lembaga Pemsyarakatan.
 Penggunaan Hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya
merupakan ‘kurierenam symptom’ (meyembuhkan gejala), ia hanya merupakan
pengobatan simptomatik bukan pengobatana kausatif karena sebab-sebab
kejahatan demikian kompleks dan berada diluar jangkauan hukum pidana.
 Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub sistem) dari sarana kontrol
sosial lainnya yang tidak mungkin mengatasi kejahatan sebagai masalah
kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks.
 Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal; tidak bersifat
struktural
Atau fungsional.
 Efektifitas pidana (hukuman) bergantung pada banyak faktor dan masih sering
diperdebatkan oleh para ahli.

H. Strategi dalam Pemberantasan Korupsi


1. Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi
Dalam mencegah tindak pidana korupsi perlu adanya instropeksi diri masing-
masing supaya dalam pencegahan korupsi tersebut dapat diharapkan yang lebih
baik, dimana pribadi-pribadi kita sendiri harus menyadari bahwa korupsi ini dapat
merusak kepribadian diri sendiri maupun juga banyak orang.
Dalam pencegahan tindak pidana korupsi ini juga perlu ditingkatkan suatu
inovasi yang lebih baik dengan cara mendidik para generasi penerus untuk
menanamkan nilai-nilai kejujuran yang tinggi serta meningkatkan moral dengan
cara mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa agar moral etika dapat
terarah kepada hal yang lebih positif dan juga melatih generasi para penerus untuk
membuat kantin-kantin kejujuran dan bersatu padu secara bersama sama untuk
tidak memberikan sogokan maupun suap menyuap kepada para penegak hukum
dan juga kepada aparatur pemerintahan baik tingkat pusat, kabupaten, dan
daerah.
Dalam pencegahan (preventif) korupsi tentu perlu adanya suatu upaya-upaya
yang harus dilakukan terhadap pejabat-pejabat pemerintahan yang sedang
memegang suatu kekuasaan antara lain :
a. Menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan
pengabdian pada bangsa dan negara melalui pendidikan formal, informal dari
agama.
b. Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip ketrampilan teknis.
c. Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki
tanggung jawab yang tinggi.
d. Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada
jaminan masa tua.
e. Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang tinggi.
f. Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung jawab
tinggi dan dibarengi oleh sistem kontrol yang efisien.
g. Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang mencolok.
h. Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi organisasi pemerintah.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sesuai dengan ketetapan undang-


undang nomor 30 tahun 2002 tentang komisi tindak pidana korupsi memiliki peran
yang sangat penting dan kewenangan yag sangat besar dalam hal memberantas
korupsi, antara lain :

a. Membangun kultur yang mendukung pemberantasan korupsi


b. Mendorong pemerintah untuk melakukan reformasi publik sektor dengan
mewujudkan good governance
c. Membangun kepercayaan masyarakat
d. Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar
e. Memacu aparat hukum lain untuk memberantas korupsi

Upaya pencegahan korupsi (di Sekolah atau kampus)

a. Memperkenalkan atau menerapkan pendidikan anti korupsi dimulai dari


Sekolah Dasar
b. Membuat peraturan yang tegas agar ditaati oleh semua siswa
c. Menerapkan “Kantin Kejujuran” di sekolah agar terbiasa jujur untuk melakukan
segala sesuatu
d. Menciptakan lingkungan bebas dari korupsi

Upaya pencegahan korupsi (di Masyarakat)

a. Memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang bahaya melakukan


korupsi dengan melakukan penyuluhan
b. Meningkatkan kesadaran moral masyarakat untuk selalu menjaga
perbuatannya sehingga tidak terperosok pada perbuatan kejahatan yang
merugikan
2. Upaya Penindakan Tindak Pidana Korupsi
 Upaya Penindakan (Kuratif)
Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar
dengan diberikan peringatan, dilakukan pemecatan tidak terhormat dan dihukum
pidana. Beberapa contoh penindakan yang dilakukan oleh KPK :
a. Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov Rusia
milik Pemda NAD (2004).
b. Menahan Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, EM. Ia diduga
melekukan pungutan liar dalam pengurusan dokumen keimigrasian.
c. Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI
Jakarta (2004).
d. Dugaan penyalahgunaan jabatan dalam pembelian tanah yang merugikan
keuang-an negara Rp 10 milyar lebih (2004).
e. Dugaan korupsi pada penyalahgunaan fasilitas preshipment
dan placement deposito dari BI kepada PT Texmaco Group melalui BNI
(2004).
f. Kasus korupsi dan penyuapan anggota KPU kepada tim audit BPK (2005).
g. Kasus penyuapan panitera Pengadilan Tinggi Jakarta (2005).
h. Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo.
i. Menetapkan seorang bupati di Kalimantan Timur sebagai tersangka dalam
kasus korupsi Bandara Loa Kolu yang diperkirakan merugikan negara sebesar
Rp 15,9 miliar (2004).
j. Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005).
 Langkah-langkah Pemberantasan Korupsi:
a. Pemberlakuan berbagai UU yang mempersempit peluang korupsi
b. Pembentukan berbagai lembaga yang diperlukan untuk mencegah korupsi
c. Pelaksanaan sistem rekruitmen aparat secara adil dan terbuka
d. Peningkatan kualitas kerja berbagai lembaga independen masyarakat untuk
memantau kinerja para penyelenggara negara
e. Pemberian gaji dan kesejahteraan pegawai yang memadai.
 Cara yang kedua yang ditempuh untuk menindak lanjuti korupsi adalah :
a. Pemberian hukum secara sosial dalam bentuk isolasi kepada para koruptor
b. Penindakan secara tegas dan konsisten terhadap setiap aparat hukum yang
bersikap tidak tegas dan meloloskan koruptor dari jerat hukum
c. Penindakan secara tegas tanpa diskriminasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku terhadap para pelaku korupsi
d. Memberikan tekanan langsung kepada pemerintah dan lembaga-lembaga
penegak hukum untuk segera memproses secara hukum para pelaku korupsi.

Salah satu langkah nyata dalam upaya pemberantasan korupsi secara represif
adalah dengan ditetapkannya UU No. 46 Tahun 2003 tentang Pengendalian Tindak
Pidana Korupsi. Hakim dalam pengadilan tindak Pidana Korupsi terdiri dari hakim ad
hoc yang persyaratan dan pemilihan serta pengangkatannya berbeda dengan hakim
pada umumnya. Keberadaan hakim ad hoc diperlukan karena keahliannya sejalan
dengan kompleksitas perkara tindak pidana korupsi, baik yang menyangkut modus
operandi, pembuktian, maupun luasnya cakupan tindak pidana korupsi yang antara
lain di bidang keuangan dan perbankan, perpajakan, pasar modal , pengadaan barang
dan jasa pemerintah.

3. Kerjasama Internasional Dalam Pemberantasan Korupsi

Ada berbagai macam gerakan atau kerjasama internasional untuk memberantas


korupsi. Gerakan dan kerjasama ini dilakukan baik secara internasional melalui
Perserikatan Bangsa-Bangsa, kerjasama antar negara, juga kerjasama oleh
masyarakat sipil atau Lembaga Swadaya Internasional (International NGOs).

1. GERAKAN ORGANISASI INTERNASIONAL


a. Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations)
Pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan pendekatan multi-
disiplin (multi-disciplinary approach) dengan memberikan penekanan pada
aspek dan dampak buruk dari korupsi dalam berbagai level atau tingkat.
Pemberantasan juga dilakukan dengan mengeluarkan kebijakan
pencegahan korupsi baik tingkat nasional maupun internasional,
mengembangkan cara atau praktek pencegahan serta memberikan contoh
pencegahan korupsi yang efektif di berbagai negara.
Kesemuanya harus disertai dengan a) kemauan politik yang kuat dari
pemerintah (strong political will); b) adanya keseimbangan kekuasaan
antara badan legislatif, eksekutif dan peradilan; c) pemberdayaaan
masyarakat sipil; serta d) adanya media yang bebas dan independen yang
dapat memberikan akses informasi pada publik.
b. Bank Dunia (World Bank)
Program yang dikembangkan oleh Bank Dunia didasarkan pada premis
bahwa untuk memberantas korupsi secara efektif, perlu dibangun tanggung
jawab bersama berbagai lembaga dalam masyarakat. Lembaga-lembaga
yang harus dilibatkan diantaranya pemerintah, parlemen, lembaga hukum,
lembaga pelayanan umum, watchdog institution seperti public-auditor dan
lembaga atau komisi pemberantasan korupsi, masyarakat sipil, media dan
lembaga internasional. Oleh Bank Dunia, pendekatan untuk melaksanakan
program anti korupsi dibedakan menjadi 2 (dua) yakni pendekatan dari
bawah (bottom-up) dan pendekatan dari atas (top-down).
c. OECD (Organization for Economic Co-Operation and Development)
Pada tahun 1997, Convention on Bribery of Foreign Public Official in
International Business Transaction disetujui. Tujuan dikeluarkannya
instrumen ini adalah untuk mencegah dan memberantas tindak pidana
suap dalam transaksi bisnis internasional. Konvensi ini menghimbau
negara-negara untuk mengembangkan aturan hukum, termasuk hukuman
(pidana) bagi para pelaku serta kerjasama internasional untuk mencegah
tindak pidana suap dalam bidang ini.
d. Masyarakat Uni Eropa
Di negara-negara Uni Eropa, gerakan pemberantasan korupsi secara
internasional dimulai pada sekitar tahun 1996. Tahun 1997, the Council of
Europe Program against Corruption menerima kesepakatan politik untuk
memberantas korupsi dengan menjadikan isu ini sebagai agenda prioritas.
Hal yang dilakukan yaitu mengidentifikasi area-area yang rawan korupsi
dan meningkatkan cara-cara efektif dan strategi pemberantasannya. Pada
tahun 1998 dibentuk GRECO atau the Group of States against
Corruption yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas negara anggota
memberantas korupsi.
2. GERAKAN LEMBAGA SWADAYA INTERNASIONAL (INTERNATIONAL
NGOs)
a. Transparency International
Transparency International (TI) adalah sebuah organisasi internasional
non-pemerintah yang memantau dan mempublikasikan hasil-hasil
penelitian mengenai korupsi yang dilakukan oleh korporasi dan korupsi
politik di tingkat internasional.
Pada tahun 1995, TI mengembangkan Indeks Persepsi
Korupsi (Corruption Perception Index). CPI membuat peringkat tentang
prevalensi korupsi di berbagai negara, berdasarkan survei yang dilakukan
terhadap pelaku bisnis dan opini masyarakat yang diterbitkan setiap tahun
dan dilakukan hampir di 200 negara di dunia. CPI disusun dengan memberi
nilai atau score pada negara-negara mengenai tingkat korupsi dengan
range nilai antara 1-10. Nilai 10 adalah nilai yang tertinggi dan terbaik
sedangkan semakin rendah nilainya, negara dianggap atau ditempatkan
sebagai negara-negara yang tinggi angka korupsinya.
b. TIRI
TIRI (Making Integrity Work) adalah sebuah organisasi independen
internasional non-pemerintah yang memiliki head-office di London, United
Kingdom dan memiliki kantor perwakilan di beberapa negara termasuk
Jakarta. Salah satu program yang dilakukan TIRI adalah dengan membuat
jejaring dengan universitas untuk mengembangkan kurikulum Pendidikan
Integritas dan/atau Pendidikan Anti Korupsi di perguruan tinggi.
Jaringan ini di Indonesia disingkat dengan nama I-IEN yang
kepanjangannya adalah Indonesian-Integrity Education Network. TIRI
berkeyakinan bahwa dengan mengembangkan kurikulum Pendidikan
Integritas dan/atau Pendidikan Anti Korupsi, mahasiswa dapat mengetahui
bahaya laten korupsi bagi masa depan bangsa.
3. INSTRUMEN INTERNASIONAL PENCEGAHAN KORUPSI
a. United Nations Convention against Corruption (UNCAC).
Salah satu instrumen internasional yang sangat penting dalam rangka
pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah United Nations
Convention against Corruption yang telah ditandatangani oleh lebih dari
140 negara. Penandatanganan pertama kali dilakukan di konvensi
internasional yang diselenggarakan di Mérida, Yucatán, Mexico, pada
tanggal 31 Oktober 2003.

Beberapa hal penting yang diatur dalam konvensi adalah :


1) Masalah pencegahan
Salah satu pencegahan dengan mengembangkan model kebijakan
preventif seperti : pembentukan badan anti-korupsi, peningkatan
transparansi dalam pembiayaan kampanye untuk pemilu dan partai
politik, promosi terhadap efisiensi dan transparansi pelayanan
publik, transparansi dan akuntabilitas keuangan public, dll
2) Kriminalisasi
Hal penting lain yang diatur dalam konvensi adalah mengenai
kewajiban negara untuk mengkriminalisasi berbagai perbuatan yang
dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi termasuk
mengembangkan peraturan perundang-undangan yang dapat
memberikan hukuman (pidana) untuk berbagai tindak pidana korupsi.
Hal ini ditujukan untuk negara-negara yang belum mengembangkan
aturan ini dalam hukum domestik di negaranya. Perbuatan yang
dikriminalisasi tidak terbatas hanya pada tindak pidana penyuapan dan
penggelapan dana publik, tetapi juga dalam bidang perdagangan,
termasuk penyembunyian dan pencucian uang (money
laundring) hasil korupsi. Konvensi juga menitikberatkan pada
kriminalisasi korupsi yang terjadi di sektor swasta.
3) Kerjasama internasional
Kerjasama internasional dalam rangka pemberantasan korupsi adalah
salah satu hal yang diatur dalam konvensi. Negara-negara yang
menandatangani konvensi ini bersepakat untuk bekerja sama dengan
satu sama lain dalam setiap langkah pemberantasan korupsi,
termasuk melakukan pencegahan, investigasi dan melakukan
penuntutan terhadap pelaku korupsi. Negara-negara yang
menandatangani Konvensi juga bersepakat untuk memberikan
bantuan hukum timbal balik dalam mengumpulkan bukti untuk
digunakan di pengadilan serta untuk mengekstradisi pelanggar.
Negara-negara juga diharuskan untuk melakukan langkah-langkah
yang akan mendukung penelusuran, penyitaan dan pembekuan hasil
tindak pidana korupsi.
4) Pengembalian aset-aset hasil korupsi.
Salah satu prinsip dasar dalam konvensi adalah kerjasama dalam
pengembalian aset-aset hasil korupsi terutama yang dilarikan dan
disimpan di negara lain. Hal ini merupakan isu penting bagi negara-
negara berkembang yang tingkat korupsinya sangat tinggi. Kekayaan
nasional yang telah dijarah oleh para koruptor harus dapat
dikembalikan karena untuk melakukan rekonstruksi dan rehabilitasi,
terutama di negara-negara berkembang, diperlukan sumber daya serta
modal yang sangat besar. Modal ini dapat diperoleh dengan
pengembalian kekayaan negara yang diperoleh dari hasil korupsi.
Untuk itu negara-negara yang menandatangani konvensi harus
menyediakan aturan-aturan serta prosedur guna mengembalikan
kekayaan tersebut, termasuk aturan dan prosedur yang menyangkut
hukum dan rahasia perbankan.
b. Convention on Bribery of Foreign Public Official in International Business
Transaction
Convention on Bribery of Foreign Public Official in International
Business Transaction adalah sebuah konvensi internasional yang
dipelopori oleh OECD. pertama dan satu-satunya instrumen anti korupsi
yang memfokuskan diri pada sisi ‘supply’ dari tindak pidana suap Konvensi
Anti Suap ini menetapkan standar-standar hukum yang mengikat (legally
binding) negara-negara peserta untuk mengkriminalisasi pejabat publik
asing yang menerima suap (bribe)dalam transaksi bisnis internasional.
Konvensi ini juga memberikan standar-standar atau langkah-langkah yang
terkait yang harus dijalankan oleh negara perserta sehingga isi konvensi
akan dijalankan oleh negara-negara peserta secara efektif.

4. Contoh Kasus-Kasus Korupsi yang terjadi di Indonesia


 Kasus Simulator SIM, Libatkan Dua Jenderal Polisi
Pada 2011, KPK melakukan penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan alat
simulator Surat Izin Mengemudi (SIM) di Korlantas Polri. Penyidikan proyek senilai Rp
198 tersebut menyeret nama-nama petinggi Mabes Polri, salah satunya yakni Kepala
Korps Lalu Lintas Mabes Polri Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo. Djoko ditetapkan
sebagai tersangka bersama dengan beberapa orang lainnya, yakni Brigjen Didik
Purnomo, Direktur PT CMMA Budi Susanto, dan Direktur PT Inovasi Teknologi
Indonesia, Sukotjo Bambang.
Perbuatan tersebut menurut penghitungan BPK mengakibatkan kerugian
negara sebesar Rp121,3 miliar. Djoko, jenderal bintang dua yang juga Gubernur
Akademi Kepolisian itu diduga memperkaya diri sendiri (melalui tindak pidana
pencucian uang) atau orang lain atau korporasi sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi. Pada September 2013, Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi menjatuhkan vonis 10 tahun dan denda Rp500 juta bagi sang jenderal.
Djoko Susilo kemudian mengajukan permohonan banding atas vonis tersebut,
namun Pengadilan Tinggi Jakarta justru menambah hukuman Djoko dari 10 tahun
menjadi 18 tahun serta memerintahkan Djoko yang saat ini ditahan di Lapas
Sukamiskin, Bandung, membayar uang pengganti Rp32 miliar, dan sejumlah pidana
tambahan, antara lain: pencabutan hak untuk memilih dan dipilih dalam jabatan
publik.Sementara itu, tersangka lain yakni Brigjen Didik Purnomo, juga telah
ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Didik selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam proyek ini disebut
terbukti menerima Rp 50 juta dari pengusaha Budi Susanto untuk memuluskan PT
CMMA sebagai penggarap proyek simulator. Budi Santoso sendiri sempat dijatuhi
vonis 8 tahun penjara dan kewajiban membayar ganti rugi sebesar Rp 17,1 miliar pada
awal 2014 lalu. Di tingkat kasasi, MA mengabulkan upaya kasasi yang diajukan oleh
Jaksa KPK dan memvonis Direktur PT CMMA tersebut dengan hukuman lebih berat
berupa 14 tahun penjara serta kewajiban membayar ganti rugi ke negara hingga Rp
88,4 miliar.
Sementara itu, pada Mei 2012, Sukotjo Bambang divonis Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Bandung selama 3,5 tahun penjara sekitar Rp 38 miliar untuk
pengadaan simulator kemudi di Korlantas Polri. Putusan tingkat pertama ini lalu
diperberat menjadi 3 tahun dan 10 bulan oleh Pengadilan Tinggi Bandung. Atas dua
putusan tersebut, Bambang melakukan kasasi ke Mahkamah Agung per 8 Agustus
2012, namun ditolak.
 Kasus Hambalang
Penyelidikan KPK atas dugaan adanya aliran dana proyek Hambalang dilakukan
mulai pertengahan 2012. KPK telah menetapkan sejumlah tersangka, diantaranya
yakni Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Kabinet Indonesia Bersatu
II, Andi Alfian Mallarangeng, serta Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga
Kemenpora Deddy Kusdinar. Belakangan, KPK berhasil mengungkap keterlibatan
Anas Urbaningrum berdasarkan kesaksian mantan bendahara Partai Demokrat,
Muhammad Nazaruddin.
Dalam berbagai kesempatan, Nazaruddin mengaku uang hasil dugaan korupsi
proyek tersebut digunakan untuk biaya pemenangan Anas dalam Kongres Partai
Demokrat di Bandung pada 2010 lalu. Anas sempat membantah telah menerima
hadiah berupauang, barang, dan fasilitas senilai Rp 116, 8miliar dan US$ 5,26 juta.
Dia juga berulang kali menyebut dirinya sebagai pihak yang dikorbankan.
Namun demikian, dalam persidangan pada awal 2014, pria kelahiran 1969 ini
terbukti menerima hadiah dari berbagai proyek pemerintah serta melakukan
pencucian uang dengan membeli rumah di Jakarta dan sepetak lahan di Yogyakarta
senilai Rp 20,8 miliar. Anas juga disebut menyamarkan asetnya berupa tambang di
Kutai Timur, Kalimantan Timur. Amar putusan majelis hakim juga mengungkapkan,
uang yang diperoleh Anas sebagian disimpan di Permai Group untuk digunakan
sebagai dana pemenangan untuk posisi Ketua Partai Demokrat.
Atas kesalahannya tersebut, Anas Urbaningrum divonis hukuman 8 tahun pidana
penjara serta pidana denda sebesar Rp300 juta dan keharusan membayar uang
pengganti kerugian negara sedikitnya Rp 57,5 miliar. Putusan ini berbeda dengan
tuntutan jaksa yang menuntut Anas dihukum 15 tahun penjara, membayar uang
pengganti Rp 94,18 miliar, serta mencabut hak politiknya.
 Kasus Kuota Impor Daging Sapi
Penangkapan Ahmad Fathanah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada
Januari 2013 lalu mendapat perhatian besar dari publik. Saat itu, KPK menangkap
Fathanah ketika dirinya tengah berada di sebuah kamar hotel bersama seorang
perempuan muda bernama Maharani Suciyono. Sebelumnya Fathanah dikabarkan
bertemu Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishak pada pukul
12.30 di Komplek Parlemen, Senayan. Pada November 2013, Fathanah yang didakwa
gratifikasi penetapan kuota impor sapi dan pencucian uang, dijatuhi vonis 14 tahun
penjara serta denda Rp1 miliar oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Lima anggota Majelis Hakim sepakat bahwa Fathanah terbukti melakukan korupsi
dan bersama-sama melakukan tindak pencucian uang. Dalam sidang sebelumnya,
Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut terdakwa
dijatuhi vonis 7,5 tahun dan denda Rp500 juta untuk dugaan suap pengurusan kuota
impor daging sapi, dan 10 tahun penjara serta denda Rp 1 miliar untuk dugaan tindak
pidana pencucian uang.
Pria yang kemudian diketahui dekat dengan tokoh-tokoh PKS ini diduga menerima
gratifikasi sebesar Rp 1,3miliar rupiah daribos PT. Indoguna. Uang itu disebut akan
diberikan kepada Luthfi Hasan Ishak guna memuluskan pengurusan penetapan kuota
impor daging sapi dari Kementerian Pertanian. Tak lama setelah penangkapan Ahmad
Fathanah, KPK kembali mengumumkan penetapan status tersangka terhadap Luthfi
Hasan Ishak yang berujung pada pengunduran diri Luthfi dari posisi Presiden PKS.
Ia kemudian dijatuhi vonis 16 tahun penjara karena dianggap melanggar Pasal 12
huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
 Operasi Tangkap Tangan terhadap Rudi Rubiandini
Pertengahan 2013 lalu, KPK kembali menyita perhatian publik melalui aksi operasi
tangkap tangan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan
Gas Bumi (SKK Migas), Rudi Rubiandini. Sarjana Teknik Perminyakan Institut
Teknologi Bandung 1985 tersebut ditangkap saat menerima uang suap senilai US$
700 ribu (sekitar Rp 7,2 miliar). Rudi Rubiandini ditangkap di rumahnya bersama dua
kolega dari sebuah perusahaan swasta, tanpa perlawanan.
Dengan mengenakan baju lengan pendek warna putih tampak tersenyum kepada
para penangkapnya. Penyidik KPK juga menahan beberapa orang lainnya. Di
antaranya sopir Rudi Rubiandini. Dalam penangkapan itu, KPK juga memboyong tas
hitam, sejumlah kardus, dan sepeda motor gede BMW. Operasi tangkap tangan
terhadap Rudi memecahkan rekor operasi tangkap tangan yang pernah dilakukan
KPK sebelumnya.
Rekor sebelumnya dipegang Artalyta Suryani. Dalam operasi tangkap tangan itu,
KPK menyita uang US$ 660 ribu (Rp 6,8 miliar) yang diduga diberikan Artalyta atau
Ayin untuk menyuap Ketua Tim Jaksa Penyelidik kasus Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI), Urip Tri Gunawan. Penangkapan Rudi Rubiandini itu juga
mengalahkan operasi tangkap tangan lainnya, seperti penangkapan Ahmad Fathanah.
Fathanah ditangkap di Hotel Le Meridien seusai menerima uang Rp 1 miliar dari
importir daging, PT Indoguna Utama.Penangkapan Rudi itu mengejutkan banyak
kalangan, dari mulai pejabat hingga DPR.
Saat dilantik, Rudi Rubiandini menjadi tumpuan banyak orang untuk membenahi
SKK Migas. April lalu, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis Rudi tujuh tahun
penjara—lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut sebelumnya yaitu 10 tahun—
karena terbukti menerima suap dari perusahaan minyak asing, Karnel Oil. Rudi
dianggap tidak mendukung pemerintah dalam melakukan pemberantasan korupsi dan
menyalahgunakan wewenangnya terkait pelaksanaan proyek di Satuan Kerja Khusus
Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas). Pria yang sebelumnya
sempat sebagai Wakil Menteri ESDM itu juga diharuskan membayar denda sebesar
Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan.
 Korupsi Proyek Pengadaan Al Quran Kemenag
September 2013 lalu, KPK memeriksa Direktur Urusan Agama Islam dan
Pembinaan Syariah, Direktorat Jenderal Pembinaan Masyarakat (Bimas) Islam
Kementerian Agama, Ahmad Jauhari. Jauhari hari diperiksa terkait posisinya sebagai
tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan Al Quran dan laboratorium
periode 2011-2013 di Kementerian Agama.
KPK menetapkan Jauhari sebagai tersangka atas dugaan penyalahgunaan
wewenang untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, namun justru merugikan
keuangan Negara yang melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penetapan Jauhari sebagai tersangka merupakan pengembangan penyidikan
kasus dugaan penerimaan suap terkait kepengurusan anggaran proyek Al Quran dan
laboratorium Kementerian Agama (Kemenag) yang telah lebih dulu menjerat anggota
Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Zulkarnaen Djabar berserta putranya, Dendy
Prasetya.
Zulkarnen Djabar kemudian divonis 15 tahun penjara ditambah denda Rp 300 juta
subsider 1 bulan kurungan, sementara putranya, Dendy Prasetya, divonis 8 tahun
penjara ditambah denda Rp 300 juta subsider 1 bulan kurungan. Sementara itu, April
lalu, hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis
delapan tahun penjara bagi Ahmad Jauhari, serta kewajiban membayar denda Rp200
juta, subsider enam bulan kurungan penjara.
Kemudian, ia juga harus membayar uang ganti rugi kepada negara sebesar Rp100
juta dan USD15 ribu namun dikurangkan lantaran sudah mengembalikannya ke KPK.
Vonis ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK selama 13 tahun
penjara, denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan, serta dituntut membayar
uang pengganti sebesar Rp100 juta dan USD15 ribu. Usai vonis tersebut, Jauhari
sempat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, namun ditolak.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta bahkan menjatuhkan pidana penjara lebih berat
terhadap Ahmad Jauhari, dari delapan tahun menjadi 10 tahun penjara.
 Wanita Cantik Pembobol Kasda Semarang Divonis 9 Tahun Bui

Diah Ayu Kusumaningrum, perempuan cantik terdakwa pembobol dana kas


daerah milik Pemerintah Kota Semarang senilai Rp26,7 miliar akhirnya divonis
sembilan tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang.

Dalam putusan yang dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Antonius Wididjantono,
Diah dianggap terbukti melanggar pasal 3 dan 5 Undang-undang Nomor 31 tahun
1999 yang telah diubah dan ditambahkan dengan Undang-undang Nomor 20 tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Terdakwa juga dijatuhi hukuman denda sebesar Rp100 juta. Jika tidak dibayarkan
maka akan diganti dengan hukuman kurungan selama dua bulan kurungan," kata
Wididjantono saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Semarang,
Jumat, 21 Oktober 2016.

Hakim beranggapan, Diah Ayu yang merupakan mantan personel banker Bank
Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) cabang Semarang, terbukti secara sah dan
meyakinkan telah menyalahgunakan wewenang dan jabatannya saat menjadi
karyawan bank tersebut.

"Terdakwa juga diperintahkan untuk membayar uang pengganti kerugian negara


sebesar Rp21,5 miliar," ujar hakim.

Kasus yang menjerat perempuan cantik dan berjilbab tersebut terjadi dalam sejak
2008 hingga 2015. Di bank swasta nasional itu, Dyah Ayu bertugas untuk mengurusi
simpanan dana hasil dari pajak dan retribusi Pemkot Semarang.

Dari total Rp26,7 miliar yang disimpan, terdakwa rupanya menggondol uang senilai
Rp21,7 miliar. Sementara itu, uang Rp4,9 miliar sudah dikembalikan terdakwa ke
rekening Pemkot Semarang. Tapi pengembalian itu bukan dari Dyah Ayu, melainkan
bagian dari sistem penyimpanan dana kas daerah di sebuah bank tersebut
Terdakwa juga terbukti memberikan suap senilai Rp152 juta kepada mantan
Kepala UPTD Kasda Suhantoro. Adapun Suhartono kini telah divonis 2,5 tahun bui
atas perkara yang sama beberapa waktu lalu

Usai pembacaan vonis, perempuan yang mengenakan jilbab merah muda itu
seketika meneteskan air mata. Tangis haru itu terlihat sesaat ia membalikkan badan
dan cepat-cepat meninggalkan ruang persidangan

Atas vonis hakim tersebut, baik terdakwa maupun jaksa penuntut umum (JPU)
masih menyatakan pikir-pikir.

 KPK Periksa Siti Fadilah sebagai Tersangka

Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari diperiksa penyidik Komisi


Pemberantasan Korupsi (KPK). Fadilah akan dimintai keterangan terkait kasus
dugaan tindak pidana korupsi kegiatan pengadaan alat kesehatan untuk kebutuhan
pusat penanggulangan krisis Departemen Kesehatan dari dana DIPA.

"Yang bersangkutan diperiksa sebagai tersangka," kata Pelaksana Harian Kepala


Biro Humas KPK Yuyuk Andriati, Rabu (9/11/2016).

KPK menetapkan Siti Fadilah sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan
alat kesehatan (alkes) buffer stock, April 2014. Pengadaan untuk kebutuhan Pusat
Penanggulangan Krisis Depkes dari dana Daftar Isian Pelaksana Anggaran (DIPA)
Revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun anggaran 2007. Fadilah
diduga mendapatkan dapat Mandiri Traveller's Cheque (MTC) senilai Rp1,275 miliar.

Semula, kasus ini ditangani oleh Polri. Dalam perjalanan, kasus diambilalih oleh
KPK. Fadilah dijerat Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 15 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 56 ayat 2 KUHP.Pemenang
tender dalam pengadaan alat kesehatan adalah PT Prasasti Mitra. Dirut PT Prasasti
Mitra Bambang Tanoesoedibjo diduga bermain dengan Fadilah dan mantan Dirjen
Bina Pelayanan Medik Kemenkes Ratna Dewi Umar. Akibat dari tindakanya ini, negara
merugi hingga miliaran rupiah.

 Kerja sama internasional cegah koruptor lari dan hilangnya aset


Globalisasi menyebabkan perbatasan antara negara semakin kabur dan
perlintasan orang atau barang semakin cepat. Kerja sama internasional harus
ditingkatkan untuk mencegah bersembunyi dan larinya para koruptor serta lenyapnya
aset-aset hasil korupsi. Menghadapi kejahatan yang sedemikian dahsyat daya
rusaknya, tidak ada kekuatan lain yang paling efektif kecuali terus berikhtiar untuk
melawannya secara bersama-sama. Karenanya, masyarakat dunia tanpa henti harus
terus menguatkan kerja sama internasional melawan korupsi.

Hal tersebut diungkapkan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana,
dalam sambutan pada acara lokakarya (workshop) internasional bertajuk
"International Cooperation and Mutual Legal Assistance” yang menjadi rangkaian
pertemuan tahunan South East Asia Parties Againts Corruption (SEA-PAC), Senin (10
/9) di Yogyakarta

Denny mengakui fakta bahwa efektivitas kerja sama internasional masih harus
ditingkatkan, khususnya terkait masalah perjanjian ekstradiksi, perjanjian transfer
orang yang sudah dihukum, dan perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah
pidana. "Sudah sama-sama kita pahami, dalam pelaksanaan mutual legal assistance
(MLA), misalnya, seringkali muncul persoalan karena tiga hal utama, yaitu perbedaan
sistem hukum antarnegara, ketidakjelasan mekanisme pelaksanaannya, dan
perbedaan struktur organisasi pemerintahan dari negara yang terlibat perjanjian
tersebut," ungkapnya.

Terkait dengan MLA, Indonesia telah memiliki UU Nomor 1 tahun 2006, yang
dalam pelaksanaannya memberikan mandat kepada Kementerian Hukum dan HAM,
sebagai Central Authority. Dalam hal ini, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia telah
memerintahkan jajaran Central Authority untuk terus meningkatkan profesionalisme
dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai otoritas pusat, terutama dalam
penanganan MLA dan ekstradisi.

Namun, menurut Denny, pendekatan yang terlalu formal dan berbasis perjanjian
seringkali memakan waktu karena harus taat hukum, wajib taat prosedur, dan harus
dalam kerangka kerja diplomatik yang ketat. Karenanya, harus terus dibuka
pendekatan yang lebih informal yang berbasis pada hubungan baik dan saling percaya
antara negara yang bekerja sama untuk mengantisipasi pergerakan pelarian koruptor
dan asetnya yang sangat cepat.
“Untuk membangun relasi yang akrab demikian, pembuatan nota kesepahaman
(MoU) bisa menjadi salah satu pembuka jalan yang tidak terlalu rumit, namun cukup
efektif untuk membangun kesepahaman, khususnya dalam upaya bersama
memberantas kejahatan transnasional, lebih khusus lagi dalam melawan korupsi,”
papar Denny

Pada pertemuan yang diikuti kelompok lembaga antikorupsi di negara-negara


Asia Tenggara ini, Denny mengajak dunia internasional untuk meningkatkan
kesepahaman bahwa komitmen tegas dalam memberantas korupsi harus
dilaksanakan tidak hanya dengan taat pada prosedur dan birokrasi hukum yang ketat.
Tetapi juga harus terus mengingat bahwa tujuan akhir kerja sama internasional ini
adalah agar para koruptor tidak dapat lagi leluasa bersembunyi di balik kerumitan
hukum internasional. “Agar harta hasil korupsi tidak lagi cepat raib melalui
kecanggihan transaksi keuangan antar negara, yang tidak lain merupakan praktik
haram tindak pidana pencucian uang,” tandasnya

Sementara itu, Ketua KPK Abraham Samad menilai kerja sama internasional MLA
sangat penting karena hal tersebut relevan dan kontekstual dengan situasi saat ini,
khususnya korupsi yang melibatkan pihak asing atau antarnegara. Korupsi sudah
menjadi musuh bersama di dunia. Menurutnya, kemana pun, di mana pun koruptor
bersembunyi dan melakukan aksinya, maka di situ akan ada penegak hukum yang
menangkapnya. “Singkatnya, tidak ada tempat yang aman bagi koruptor di dunia ini,”
tegas Abraham.

Abraham mencontohkan, melalui mekanisme MLA dan atas bantuan lembaga-


lembaga penegak hukum setempat, proses pengejaran dan pengembalian buronan,
terutaman antaranggota SEA-PAC yang termasuk jarang dan sulit dilakukan, berhasil
mengembalikan beberapa tersangka buron KPK dari negara di Asia Tenggara melalui
upaya luar biasa. “MACC dan NACC juga pernah membantu upaya pengejaran
tersangka buronan KPK yang melarikan diri ke Malaysia dan Thailand,” imbuhnya.

Selain itu, terkait pertukaran saksi, KPK pernah mengirimkan saksi warga negara
Indonesia ke Brunei Darussalam, Singapura, dan Malaysia. “Sebaliknya, KPK
menerima bantuan terkait pemeriksaan saksi di Malaysia, Brunei Darussalam dan
Singapura, baik terhadap warga negara sendiri maupun warga negara setempat,”
tandas Abraham.
PERAN MAHASISWA

Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia tercatat bahwa mahasiswa mempunyai


peranan yang sangat penting. Peranan tersebut tercatat dalam peristiwa-peristiwa
besar yang dimulai dari Kebangkitan Nasional tahun 1908, Sumpah Pemuda tahun
1928, Proklamasi Kemerdekaan NKRI tahun 1945, lahirnya Orde Baru tahun 1996,
dan Reformasi tahun 1998. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam peristiwa-peristiwa
besar tersebut mahasiswa tampil di depan sebagai motor penggerak dengan
berbagai gagasan, semangat dan idealisme yang mereka miliki. Peran penting
mahasiswa tersebut tidak dapat dilepaskan dari karakteristik yang mereka miliki,
yaitu: intelektualitas, jiwa muda, dan idealisme. Dengan kemampuan intelektual yang
tinggi, jiwa muda yang penuh semangat, dan idealisme yang murni telah terbukti
bahwa mahasiswa selalu mengambil peran penting dalam sejarah perjalanan bangsa
ini. Dalam beberapa peristiwa besar perjalanan bangsa ini telah terbukti bahwa
mahasiswa berperan sangat penting sebagai agen perubahan (agent of change).
Dalam konteks gerakan anti-korupsi mahasiswa juga diharapkan dapat tampil di
depan menjadi motor penggerak. Mahasiswa didukung oleh kompetensi dasar yang
mereka miliki, yaitu: intelegensia, kemampuan berpikir kritis, dan keberanian untuk
menyatakan kebenaran. Dengan kompetensi yang mereka miliki tersebut mahasiswa
diharapkan mampu menjadi agen perubahan, mampu menyuarakan kepentingan
rakyat, mampu mengkritisi kebijakan-kebijakan yang koruptif, dan mampu menjadi
watch dog lembaga-lembaga negara dan penegak hukum.

KETERLIBATAN MAHASISWA

Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti korupsi pada dasarnya dapat dibedakan
menjadi empat wilayah, yaitu: di lingkungan keluarga, di lingkungan kampus, di
masyarakat sekitar, dan di tingkat lokal/nasional. Lingkungan keluarga dipercaya
dapat menjadi tolok ukur yang pertama dan utama bagi mahasiswa untuk menguji
apakah proses internalisasi anti korupsi di dalam diri mereka sudah terjadi.
Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti korupsi di lingkungan kampus tidak bisa
dilepaskan dari status mahasiswa sebagai peserta didik yang mempunyai kewajiban
ikut menjalankan visi dan misi kampusnya. Sedangkan keterlibatan mahasiswa
dalam gerakan anti korupsi di masyarakat dan di tingkat lokal/nasional terkait dengan
status mahasiswa sebagai seorang warga negara yang mempunyai hak dan
kewajiban yang sama dengan masyarakat lainnya.

I. Cara Memberantas Tindak Pidana Korupsi

Bertambah besar vulume pembengunan bertambah besar pula kemungkinan


kebocoran. Ditambah dengan gaji pegawai negeri yang memang sangat minim
di negara-negara berkembang seperti indonesia, pegawai negeri terdorong
untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang kadang-kadang menggunakan
kekuasaannya untuk menambah penghasilannya.

Memang terjadi pula korupsi besar-besaran bagi mereka yang telah


memperoleh pendapatan yang memadai disebabkan karena sifatnya yang
serakah, tetapi ini bukan hal yang menyeluruh.

Penulis menerima pendapat Gunner Myrdal sepenuhnya bahwa jalan untuk


memberantas korupsi di negara-negara berkembang ialah:

1. Menaikkan gaji pegawai rendah(dan menengah)


2. Menaikkan moral pegawai tinggi
3. Legalisasi pungutan liar menjadi pendapat resmi atau legal

Sudah jelas kalangan elit kekuasaan harus memberi keteladanan bagi yang di
bawah. Untuk mencegah terjadinya korupsi besar-besaran, bagi pejabat yang
menduduki jabatan yang rawan korupsi seperti bidang pelayanan masyarakat,
pendapatan negar, penegak hukum, dan pembuat kebijaksanaan harus di
daftar kekayaannya sebelum menjabat jabatannya sehingga mudah diperiksa
pertambahan kekayaannya dibandingkan dengan pendapatannya yang resmi.

Pemberantasan korupsi harus ditunjang pula dengan prinsip-prinsip


pemerintahan yang baik (good governance) dan pembangunan yang
berkelanjutan(sustainable n development)yang syaratnnya sebagai berikut.

 Ada cek terhadap kekuasaan eksekutif, perundang-undangan.


 Yang efektif, ada garis jelas akutabilitas antara pemimpin politik,
birokrasi dan rakyat.
 Sistem politik yang terbuka yang melibatakan masyarakat sipil yang
aktif.
 Sistem hukum yang tidak memihak, peradilan pidana dan ketertiban
umum yang menjunjung hak-hak politik dan sipil yang fundamental,
melindungi keamanan pribadi dan menyediakan aturan yang konsisten,
transparan untuk transaksi yang diperlukan dalam pembangunan
ekonomi dan sosial yang modern.
 Pelayanan publik ang profesional kompeten, kapabel dan jujur yang
bekerja dalam kerangka yang akuntabel dan memerintahdengan aturan
dan dalam prinsip merit dan kepentingan publik yang paling utama.
 Kpasitas untuk melaksanakan rencana fiskal, pengeluaran manajemen
ekonomi sistem akuntabilitas finansial dan evaluasi aktivitas sektor
publik.
 Perhatian bukan saja kepada lembaga-lembaga dan proses
pemerintah pusat tetapi juga kepada atribut dan kapasitas subnasional
dan penguasa pemerintah lokal dan soal-soal transfer politik dan
desentralisasi administratif, dan
 Setiap strategi antinkorupsi yang efektif harus mengakui hubungan
antara korupsi, etika, pemerintah yang baik dan pembangunan
berkesinambungan.

Ada beberapa sebab orang melakukan perbuatan korupsi di Indonesia


yang di himpun dari berbagai pendapat masyarakat, yaitu:

1. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan


dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat
Kurangnya gaji dan pendapatan pegawai negeri memang faktor
yang paling menonjol dalam arti merata dan meluasnya korupsi di
Indonesia. Patut diingat bahwa kurangnya gaji pegawai negeri di
bandingkan dengan kebutuhannya semakin meningkat dengan
kemajuan teknologi. Contoh: fenomena televisi dan handphone
yang dijadikan sebagai kebutuhan pokok bai di kota maupun di
pelosok-pelosok desa sekalipun.
2. Ada latar belakang kebudayaan atau Kultur indonesia yang
merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi
B.soedarso membahas tentang sejarah kultur indonesia dari zaman

Multatuli(douwes dekker), waktu penyalahgunaan jabatan

merupakan suatu sistem. Dowwes dekker melaporkan kejahatan-

kejahatan yang telah dilakukan oleh bupati lebak dan wedana

parangkujang(banten selatan) kepada atasannya dan meminta

supaya dilakukan pengusutan. Menurut douwes dekker,

bupatitersebut telah menggunakan kekuasaannya melebihi apa

yang di perbolehkan peraturan, untuk memperkaya diri. Dalam

keadaan sosial tentang hubungan penguasa dengan rakyat,

kejahatan yang timbul di antara penguasa dengan sendirinya

adalah penyalahgunaan untuk memperkaya diri dengan

memanfaatkan kebodohan rakyat. Yang di maksud dengan

penyalahgunaan adalah menurut ukuran modern, ukuran kultur

yang telah menelurkan KUHP sebab dalam rangka pandangan

kuno tidak ada penyalahgunaan kekuasaan.

3. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan

efisien

Terkenal ucapan Prof.Soemitro Alm. Yang di kutip oleh media cetak

bahwa kebocoran mencapai 30% dari anggaran. Ternyata usaha

pendidikan dan pelatihan seperti P4 dan SESPA tidak mempan

bukan saja untuk menguranginya. Korupsi semakin meningkat dari

tahun ke tahun hingga sekarang.

4. Penyebab korupsi adalah modernisasi


Perkembangan korupsi berkaitan dengan modernisasi sosial dan

ekonomi yang cepat.

Menurut Huntington, penyebab modernisasi dapat

mengembangbiakkan korupsi ialah:

a. Modernisasi membawa perubahan-perubahan pada nilai

dasar masyarakat.

b. Modernisasi juga ikut mengembangkan korupsi karena

membuka sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan baru.

c. Modernisasi merangsang korupsi karena perubahan-

perubahan yang di akibatkannya dalam bidang kegiatan

sistem politik.

a. Strategi Preventif

Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-hal

yang menjadi penyebab timbulnya korupsi. Setiap penyebab yang

terindikasi harus dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkan

penyebab korupsi. Disamping itu perlu dibuat upaya yang dapat

meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi dan upaya ini melibatkan

banyak pihak dalam pelaksanaanya agar dapat berhasil dan mampu

mencegah adanya korupsi.

b. Strategi Deduktif
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar

apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebut

akan dapat diketahui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan

seakurat-akuratnya, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan tepat. Dengan

dasar pemikiran ini banyak sistem yang harus dibenahi, sehingga sistem-
sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai aturan yang cukup tepat

memberikan sinyal apabila terjadi suatu perbuatan korupsi. Hal ini sangat

membutuhkan adanya berbagai disiplin ilmu baik itu ilmu hukum, ekonomi

maupun ilmu politik dan sosial.

c. Strategi Represif
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan
untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan tepat
kepada pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi. Dengan dasar pemikiran
ini proses penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk dapat
disempurnakan di segala aspeknya, sehingga proses penanganan tersebut
dapat dilakukan secara cepat dan tepat. Namun implementasinya harus
dilakukan secara terintregasi.

Bagi pemerintah banyak pilihan yang dapat dilakukan sesuai dengan


strategi yang hendak dilaksanakan. Bahkan dari masyarakat dan para
pemerhati / pengamat masalah korupsi banyak memberikan sumbangan

pemikiran dan opini strategi pemberantasan korupsi secara preventif maupun


secara represif antara lain :

1. Konsep “carrot and stick” yaitu konsep pemberantasan korupsi yang


sederhana yang keberhasilannya sudah dibuktikan di Negara RRC dan
Singapura. Carrot adalah pendapatan netto pegawai negeri, TNI dan Polri
yang cukup untuk hidup dengan standar sesuai pendidikan, pengetahuan,
kepemimpinan, pangkat dan martabatnya, sehingga dapat hidup layak
bahkan cukup untuk hidup dengan “gaya” dan “gagah”. Sedangkan Stick
adalah bila semua sudah dicukupi dan masih ada yang berani korupsi,
maka hukumannya tidak tanggung-tanggung, karena tidak ada alasan
sedikitpun untuk melakukan korupsi, bilamana perlu dijatuhi hukuman mati.
2. Gerakan “Masyarakat Anti Korupsi” yaitu pemberantasan korupsi di
Indonesia saat ini perlu adanya tekanan kuat dari masyarakat luas dengan
mengefektifkan gerakan rakyat anti korupsi, LSM, ICW, Ulama NU dan
Muhammadiyah ataupun ormas yang lain perlu bekerjasama dalam upaya
memberantas korupsi, serta kemungkinan dibentuknya koalisi dari partai
politik untuk melawan korupsi. Selama ini pemberantasan korupsi hanya
dijadikan sebagai bahan kampanye untuk mencari dukungan saja tanpa
ada realisasinya dari partai politik yang bersangkutan. Gerakan rakyat ini
diperlukan untuk menekan pemerintah dan sekaligus memberikan
dukungan moral agar pemerintah bangkit memberantas korupsi.

3. Gerakan “Pembersihan” yaitu menciptakan semua aparat hukum


(Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) yang bersih, jujur, disiplin, dan
bertanggungjawab serta memiliki komitmen yang tinggi dan berani
melakukan pemberantasan korupsi tanpa memandang status sosial untuk
menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini dapat dilakukan dengan
membenahi sistem organisasi yang ada dengan menekankan prosedur
structure follows strategy yaitu dengan menggambar struktur organisasi
yang sudah ada terlebih dahulu kemudian menempatkan orang-orang
sesuai posisinya masing-masing dalam struktur organisasi tersebut.

4. Gerakan “Moral” yang secara terus menerus mensosialisasikan bahwa


korupsi adalah kejahatan besar bagi kemanusiaan yang melanggar harkat
dan martabat manusia. Melalui gerakan moral diharapkan tercipta kondisi
lingkungan sosial masyarakat yang sangat menolak, menentang, dan
menghukum perbuatan korupsi dan akan menerima, mendukung, dan
menghargai perilaku anti korupsi. Langkah ini antara lain dapat dilakukan
melalui lembaga pendidikan, sehingga dapat terjangkau seluruh lapisan
masyarakat terutama generasi muda sebagai langlah yang efektif
membangun peradaban bangsa yang bersih dari moral korup.

5. Gerakan “Pengefektifan Birokrasi” yaitu dengan menyusutkan jumlah


pegawai dalam pemerintahan agar didapat hasil kerja yang optimal dengan
jalan menempatkan orang yang sesuai dengan kemampuan dan
keahliannya. Dan apabila masih ada pegawai yang melakukan korupsi,
dilakukan tindakan tegas dan keras kepada mereka yang telah terbukti
bersalah dan bilamana perlu dihukum mati karena korupsi adalah
kejahatan terbesar bagi kemanusiaan dan siapa saja yang melakukan

korupsi berarti melanggar harkat dan martabat kehidupan.


Pemerintah setiap negara pada umumnya pasti telah melakukan langkah-
langkah untuk memberantas korupsi dengan membuat undang-undang.
Indonesia juga membuat undang-undang tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi (undang-undang terlampir dihalaman belakang).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari makalah yang telah kami buat, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
a. Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (Uang negara atau
perusahaan) dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Perbuatan korupsi selalu megandung unsur “penyelewengan” atau dis-
honest (ketidakjujuran).
b. Adapun penyebabnya antara lain, ketiadaan dan kelemahan
pemimpin, kelemahan pengajaran dan etika, kolonialisme,
penjajahan rendahnya pendidikan, kemiskinan, tidak adanya
hukuman yang keras, kelangkaan lingkungan yang subur untuk
perilaku korupsi, rendahnya sumber daya manusia, serta struktur
ekonomi.
c. Korupsi dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu bentuk, sifat,
dan tujuan.
d. Dampak korupsi dapat terjadi di berbagai bidang diantaranya, bidang
demokrasi, ekonomi, dan kesejahteraan negara.
e. Ada beberapa upaya yang dapat menanggulangi kejahatan (korupsi
dengan menggunakan hukum pidana) yaitu: kebijakan penerapan
hukum pidana, kebijakan pencegahan tanpa hukum pidana,
pemindahan lewat mass media.
f. Beberapa strategi dan upaya pemberantasan korupsi diantaranya:
pembentukan lembaga anti korupsi, pencegahan korupsi di sektor
publik, pencegahan sosial dan pemberdayaan masyarakat,
pengembangan dan pembuatan berbagai instrumen hukum yang
mendukung pencegahan dan oemberantasan korupsi, monitoring dan
Evaluasi, dan kerjasama internasional.
B. Saran
Sebaiknya dilakukan proses penanaman (sosial dan internalisi) nilai-nilai
anti korupsi atau Budaya Anti Korupsi (BAK). Proses tersebut dilakukan
melalui proses pendidikan yang terencana, sistematis, terus menerus dan
terintegras, sejak usia dini hingga ke perguruan tinggi. Demikian juga
sosialisasi dan internalisasi nilai anti korupsi tersebut dilakukan kepada
seluruh komponen masyarakat dan aparatur pemerintah di pusat dan
daerah, lembaga tinggi negara, BUMN, BUMD, sehingga nilai sosail anti
korupsi atau Budaya Anti Korupsi (BAK) menjadi gerakan nasional dan
menjadi kebiasaan hidup seluruh komponen bangsa indonesia, menuju
kehidupan yang adil makmur dan sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA

Fijnaut, Cyrille and Leo Huberts (2002), Coruption, Integrity and Law Enforcement,
dalam Fijnaut, Cyrille and Leo Huberts (ed), (2002), Corruption, Integrity and Law
Enjorcement, The. Hague: Kluwer Law International.

Nawawi Arief, Barda (2008), Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta:
Kencana

Nawawi Arief, Barda (1998), Beberapa Aspek Kebijakan Penegakkan dan


Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti

Pope, Jeremy (2003), Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas


Nasional, Buku Panduan Transparency Internasional 2002, Jakarta:Yayasan Obor

United Nations (2004), the Global Program Againts: Corruption: United Nation Anti
Corruption Toolkit, Vienna: UNODC.

http://sarfaraazyusuf.blogspot.co.id/2016/03/pemberantasan-korupsi-konsep-
strategi.html

https://www.selasar.com/politik/5-kasus-korupsi-era-kpk-yang-sempat-heboh

http://www.boyyendratamin.com/2015/01/upaya-pencegahan-tindak-pidana-
korupsi.html

Anda mungkin juga menyukai