DI SUSUN OLEH :
NPM : P07124111022
Tingkat/Semester : I / II
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan yang telah melimpahkan berkat-Nya kepada kita, sehingga
kita masih dapat menghirup nafas kaislaman sampai sekarang ini.
Dengan mengucap syukur kami dapat menyusun makalah yang berjudul “STRATEGI
DAN UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI”. Kami ucapkan banyak terima kasih kepada
Dosen Pembimbing yang telah membimbing kami dalam setiap materi tentang PBAK, tidak
lupa teman-teman yang senantiasa kami banggakan yang semoga kita selalu dalam
lindungan Tuhan.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, maka dari itu kami mohon
saran dan kritik yang sifatnya membangun. Akhirnya kami mengucapkan terima kasih dan
mohon maaf apabila dalam penulisan masih terdapat kalimat yang kurang dapat dipahami.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sering kita mendengar kata yang satu ini yaitu “KORUPSI” ada di sekeliling
kita, mungkin terkadang kita tidak menyadari itu. Korupsi bisa terjadi di rumah,
sekolah, masyarakat, maupun di instansi tertinggi dan dalam pemerintahan.
Mereka yang melakukan korupsi terkadang menganggap remah hal yang
dilakukannya itu. Hal ini sangat mengkhawatirkan sebab bagaimana pun apabila
suatu organisasi dibangun dari korupsi akan dapat merusak. Korupsi saat ini sudah
mulai menjadi budaya dan hampir di semua lapisan masyarakat ada yang
melakukan korupsi baik dalam skala kecil maupun besar. Tetapi tidak hanya saat
ini saja, dahulu pada saat orde baru penyakit korupsi ini sudah menjangkit bangsa
Indonesia. Saat itu sangat memprihatinkan karena berkembangnya budaya
korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) yang mengakar dan menjangkit pada pejabat
pemerintah negara, sehingga konsekuensinya identitas nasional saat itu dikenal
dengan bangsa yang “KORUP”.
Pancasila yang seharusnya sebagai sumber nilai dasar moral dan etika bagi
negara dan aparat pelaksana negara dalam kenyataannya digunakan sebagai alat
legitimasi politik. Semua kebijakan dan tindakan penguasa mengatasnamakan
pancasila bahkan kebijakan yang bertentangan sekalipun diistilahkan sebagai
pelaksanaan pancasila yang murni dan konsekuen. Sehingga kebijakan yang ada
saat itu terlihat berpihak pada rakyat tetapi sebenarnya hanya untuk mendapatkan
keuntungan pribadi oknum tertentu saja tanpa memikirkan nasib para rakyat.
Berbagai upaya pemberantasan sejak dulu ternyata tidak mampu mengikis habis
kejahatan korupsi. Karena dalam Masalah pembuktian dalam tindak pidana korupsi
memang merupakan masalah yang rumit, karena pelaku tindak pidana korupsi ini
melakukan kejahatannya dengan rapi. Sulitnya pembuktian dalam perkara korupsi
ini merupakan tantangan bagi para aparat penegak hukum untuk tetap konsisten
dengan penuh rasa tanggung jawab. Jika mantan presiden Alm. Presiden
Abdurrahman Wahid menyatakan cara pemberantasan korupsi adalah dengan
cara pembuktian terbalik terhadap tindak pidana korupsi.Korupsi bukan hal yang
baru bagi bangsa Indonesia. Tanpa disadari, korupsi muncul dari kebiasaan yang
dianggap lumrah dan wajar oleh masyarakat umum. Seperti memberi hadiah
kepada pejabat/pegawai Negeri atau keluarganya sebagai imbal jasa sebuah
pelayanan (KPK, 2006: 1).
Korupsi telah dianggap sebagai hal yang biasa, dengan dalih “sudah sesuai
prosedur”. Koruptor tidak lagi memiliki rasa malu dan takut, sebaliknya
memamerkan hasil korupsinya secara demonstratif.Politisi tidak lagi mengabdi
kepada konstituennya. Partai Politik bukannya dijadikan alat untuk
memperjuangkan kepentingan rakyat banyak, melainkan menjadi ajang untuk
mengeruk harta dan ambisi pribadi. Padahal tindak pidana korupsi merupakan
masalah yang sangat serius, karena tindak pidana korupsi dapat membahayakan
stabilitas dan keamanan Negara dan masyarakat, membahayakan pembangunan
sosial, politik dan ekonomi masyarakat, bahkan dapat pula merusak Nilai-nilai
Demokrasi serta moralitas bangsa karena dapat berdampak membudayanya
tindak pidana korupsi tersebut. Sehingga harus disadari meningkatnya tindak
pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa dampak yang tidak hanya
sebatas kerugian Negara dan perekonomian Nasional tetapi juga pada kehidupan
berbangsa dan bernegara. Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak hak ekonomi masyarakat, sehingga
tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa
(ordinary crimes) melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra-ordinary
crimes). Sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan
“secara biasa”,tetapi dibutuhkan “cara-cara yang luar biasa” (extra-ordinary
crimes).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan
jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah pemerintahan
rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda dari yang paling
ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan
menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan
sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harfiahnya
pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada
sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau
berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal
seperti penjualan narkotika, pencucian uang dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak
terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat
solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas
kejahatan. Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan
antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan Partai Politik
ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
lembaga yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna
terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu KPK juga
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002. Mereka para koruptor bisa dikatakan
pemberani, karena tidak takut dengan sanksi yang akan mereka dapatkan. Sanksi
dibuat agar memberikan efek jera dan tidak akan mengulangi korupsi lagi. Dalam
masih saja banyak ditemukan kasus korupsi, seakan-akan mereka tidak takut
dengan hukuman atau sanksi yang akan mereka dapat setelah terbukti sebagai
koruptor nantinya. Hukuman dan sanksi yang telah dirumuskan untuk para pelaku
korupsi rasanya hanya dianggap sebagai angin lalu saja. Karena hal tersebut muncul
gagasan mengenai hukuman mati bagi koruptor untuk memberikan efek jera, namun
gagasan tersebut menimbulkan pro dan kontra. Kondisi Negara yang menderita
korupsi dengan membebankan sanksi yang berat kepada koruptor belum juga
Karena mencegah lebih baik dari pada mengobati. Selain itu bila hanya menekankan
pada hukuman yang diberikan pada koruptor tidak akan ada habisnya. Kasus korupsi
orang tentu saja berbeda. Tetapi bila dilihat dari banyaknya kasus korupsi yang ada,
bisa disimpulkan bahwa kesadaran hukum warga Indonesia cukup rendah. Perlu
adanya penanaman kesadaran serta nilai-nilai positif lain sejak dini, agar generasi
muda nantinya akan mampu membawa bangsa Indonesia menjadi lebih baik.
langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan
undangan, administrasi yang lamban; Sikap mental para pegawai yang ingin cepat
kaya dengan cara yang haram, tidak ada kesadaran bernegara, tidak ada
kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan
politik yang normal; Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.;
Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”;
yang sangat kecil; Rakyat yang apatis, masa bodoh, tidak tertarik, atau mudah
mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan
karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau
dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi
toleransi.
dan ketidakefisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos
niaga karena kerugian dari pembayaran illegal, ongkos manajemen dalam negosiasi
dengan pejabat korup dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan.
baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga,
Indonesia, sebagai salah satu Negara yang telah merasakan dampak dari
tindakan korupsi, terus berupaya secara konkrit, dimulai dari pembenahan aspek
hukum, yang sampai saat ini telah memiliki banyak sekali rambu-rambu berupa
peraturan – peraturan, antara lain Tap MPR XI tahun 1980, kemudian tidak kurang
Tahun 2002, yang menjadi dasar hukum pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi
masyarakat tersebut akan semakin menjauhkan sikap dan pikiran kita dari tindak
korupsi.
Masyarakat Indonesia bahkan dunia terus menyoroti upaya Indonesia dalam
mengakui, bahwa hal tersebut merupakan sebuah prestasi, dan juga harus jujur
mengatakan, bahwa prestasi tersebut, tidak terlepas dari kiprah KPK sebagai
Setelah membaca makalah ini diharapkan mahasiswa dapat mengerti dan paham
tentang strategi pemberantasan korupsi.
PEMBAHASAN
Istilah korupsi berasal dari perkataan Latin coruptio atau corruptus2 yang berarti
kerusakan atau kebobrokan. Di samping itu diberbagai negara, dipakai juga untuk
menunjukan keadaan dan perbuatan yang busuk. Korupsi juga banyak dikaitkan dengan
ketidakjujuran seseorang di bidang keuangan. Arti harfiah dari kata itu ialah tidak
bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau
memfitnah dan lain sebagainya. Kemudian arti kata korupsi yang telah diterima dalam
perbendaharaan kata bahasa Indonesia itu, dapat disimpulkan bahwa korupsi ialah
perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan
sebagainya.
Tindak pidana korupsi merupakan masalah yang sangat serius, karena tindak pidana
korupsi dapat membahayakan stabilitas dan keamanan negara dalam masyarakatnya,
membahayakan pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat, politik, bahkan dapat pula
merusak nilai-nilai demokrasi serta moralitas bangsa karena dapat berdampak
membudayannya tindak pidana korupsi tersebut. Hal tersebut sebagaimana tercantum
dalam Preambul Ke-4 United Nation Convention Against Corruption, 2003 yang berbunyi
sebagai berikut yaitu Meyakini bahwa korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal,
melainkan suatu fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan
ekonomi yang mendorong kerja sama Internasional unruk mencegah dan mengontrollnya
esensial. Kegiatan pemberantasan korupsi akan selalu tetap menjadi bahan yang aktual
untuk disajikan sebagai persoalan jenis kejahatan yang rumit penanggulangannya, karena
korupsi mengandung aspek yang majemuk dalam kaitannya dengan politik, ekonomi, dan
sosial budaya. Perbuatan korupsi membentuk aneka ragam pola perilaku dalam suatu
siklus pertumbuhan negara, perkembangan sistem sosial dan keserasian struktur
pemerintahan. Bentuk perbuata korupsi yang beraneka ragam dan berbagai faktor
penyebab timbulnya korupsi itu dalam pertumbuhannya makin meluas, sehingga batasan
dari ciri perbuatan korupsi dan ciri perbuatan yang tidak korupsi tetapi berciri sangat
merugikan negara atau masyarakat menjadi sukar dibedakan, serta mengakibatkan
ketidakpastian cara memformulasikan kelompok kejahatannya, korupsi dewasa ini selain
menggerogoti keuangan (kekayaan negara), juga sekaligus dapat merusak sendi-sendi
kepribadian bangsa. Tidak mengherankan kalau korupsi dimasa kini dapat
menghancurkan negara, menjatuhkan pemerintah atau minimal menghambat
pembangunan untuk kesejahteraan rakyat.
Perbuatan korupsi dari segi bentuknya dapat dibagi sebagai berikut: pertama, yang lebih
banyak menyangkut penyelewengan di bidang materi (uang) yang dikategorikan korupsi
materi. Kedua, berupa perbuatan memanipulasikan pungutan suara dengan cara
penyuapan, intimidasi, paksaan, dan/atau campur tangan yang dapat mempengaruhi
kebebasan memilih. Ketiga, yang memanipulasikan ilmu pengetahuan. Keberadaan
tindak pidana korupsi dalam hukum positif Indonesia sebenarnya telah cukup lama, yaitu
sejak Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berlaku sebagai kodifikasi atau
unifikasi di Indonesia. Dalam keadaan mendesak dan perlu diaturnya tindak pidana
korupsi ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diganti dengan
Undang-Undang No. 3 Tahun 1971. Terjadinnya perkembangan mengenai
pemberantasan tindak pidana korupsi yang melibatkan penyelenggara dan pengusaha,
Undang-Undang tersebut dirasa tidak sesuai lagi sehingga ditetapkan bahwa Undang-
Undang tersebut tidak berlaku lagi dan diganti menjadi Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang tersebut telah
mengalami perubahan dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan
atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Di Indonesia pemberian hadiah yang dilakukan oleh para pejabat atau pemegang
kekuasaan negara sering diidentikkan dengan korupsi, namun tidak semua pemberian
hadiah merupakan korupsi. Hadiah yang sah biasanya dapat dibedakan dengan uang
suap (korupsi). Hadiah dapat diberikan secara terbuka di depan orang ramai sedangkan
uang suap (korupsi) tidak. Pembedaan ini dilakukan karena orang biasanya berkelit ketika
dipaksa mengaku telah memberikan suap kepada orang lain maka alasan yang digunakan
supaya lebih aman adalah bahwa yang diberikan adalah hadiah.
J.s.Nye berpendapat bahwa korupsi adalah Perilaku yang menyimpang dari atau
melanggar peraturan kewajiban normal peran,instansi pemerintah dengan jalan
melakukan atau mencari pengaruh, status dan gengsi untuk kepentingan pribadi.
Carl J fresrich, berpendapat bahwa Korupsi dari kepentingan umum apabila seseorang
yang memegang kekuasaan atau yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu
mengharapkan imbalan uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan
Undang-Undang Membujuk untuk mengambil langkah atau menolong siapa saja yang
menyediakan hadiah sehingga benar-benar membahayakan kepentingan umum.
Selo Sumardjan merumuskan korupsi yaitu : Korupsi,kolusi dan nepotisme adalah dalam
suatu napas karena ketigannya elanggar kaidah kejujuran dan norma hukum adapun
faktor pendukung korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) adalah
Adapula pengertian dan ciri-ciri korupsi menurut para pakar lainnya seperti Menurut
Robert Klitgaard, Pengertian Korupsi adalah Suatu tingkah laku yang meyimpang dari
tugastugas resmi jabatannya dalam negara, dimana untuk memperoleh keuntungan status
atau uang yang menyangkut diri pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri),
atau melanggar aturan pelaksanaan yang menyangkut tingkah laku pribadi. Pengertian
korupsi yang diungkapkan oleh Robert yaitu korupsi dilihat dari perspektif administrasi
negara.
Korupsi menurut Gunnar Myrdal adalah Suatu masalah dalam pemerintahan karena
kebiasaan melakukan penyuapan dan ketidakjujuran membuka jalan membongkar
korupsi dan tindakantindakan penghukuman terhadap pelanggar. Tindakan
pemberantasan korupsi biasanya dijadikan pembenar utama terhadap KUHP Militer.
Korupsi menurut Mubyarto adalah Suatu masalah politik lebih dari pada ekonomi yang
menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah di mata generasi muda, kaum elite terdidik
dan para pegawai pada umumnya. Akibat yang ditimbulkan dari korupsi ini ialah
berkurangnya dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat provinsi dan
kabupaten.
Pengertian korupsi yang diungkapkan Mubyarto yaitu menyoroti korupsi dari segi politik
dan ekonomi.
Syeh Hussein Alatas mengemukan pengertian korupsi sebagai berkut. Menurut beliau
korupsi ialah subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan pribadi yang
mencakup pelanggaran norma, tugas dan kesejahteraan umum, yang dilakukan dengan
kerahasian, penghianatan, penipuan dan kemasabodohan akan berakibat panjang yang
akan diderita oleh rakyat itu sendiri .
Pengertian Korupsi menurut Fockema Andreae, Kata "korupsi" berasal dari bahasa latin
yaitu "corruptio atau corruptus". Namun kata "corruptio" itu berasal pula dari kata asal
"corrumpere", yaitu suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin ini
kemudian turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, Prancis yaitu
corruption, Belanda yaitu corruptie. Dari bahasa Belanda inilah yang kemudian turun ke
bahasa Indonesia, sehingga menjadi korupsi.
Dalam UU No.31 Tahun 1999, Pengertian korupsi yaitu Setiap orang yang dengan
sengaja secara melawan hukum untuk melakukan perbuatan dengan tujuan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang mengakibatkan kerugian keuangan
negara atau perekonomian negara. Black’s Law Dictionaryi Pengertian Korupsi adalah
Merupakan suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan
keuntungan yang tidak resmi dengan mempergunakan hak-hak dari pihak lain, yang
secara salah dalam menggunakan jabatannya atau karakternya di dalam memperoleh
suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, yang berlawanan dengan
kewajibannya dan juga hak-hak dari pihak lain.
Alatas mengatakan ada tiga tipe fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi yaitu:
Penyuapan (bribery),
pemerasan (exortion) dan
nepotisme.
Dari Ketiga tipe tersebut berbeda, namun dapat ditarik benang merah yang
menghubungkan ketiga tipe korupsi itu yaitu menempatkan kepentingan publik di bawah
kepentingan pribadi dengan pelanggaran norma-norma tugas dan kesejahteraan, yang
dilakukan dengan keserbarahasiaan, pengkhianatan, penipuan dan juga pengabaian atas
kepentingan publik.
Korupsi adalah penyakit kambuhan bangsa Indonesia. Akar sejarah korupsi lewat
pungutan liar (pungli) bermula sejak kerajaan Nusantara eksis. Selanjutnya, pejabat
kongsi dagang Belanda, VOC mengikuti.
Berdasarkan sejarah, korupsi adalah bagian dari tindakan yang telah ada hampir setua
peradaban itu sendiri. Di Indonesia, pungli mulai tercatat sejak abad 13. Asal mulanya
berasal dari sistem pembiayaan tradisional Kerajaan Majapahit, Mataram hingga kerajaan
lainnya di Nusantara.
Lewat catatan itulah jejak mereka yang mengusai jabatan tertentu dalam memperoleh
keuntungan besar mulai terlihat. Sejarawan Ong Hok Ham pun turut menjelaskan hal itu.
Ia mengungkap pungli langgeng karena pejabat dalam kerajaan tradisional ini tak digaji
oleh raja.
Alhasil, mereka harus berdikari dalam hal keuangan. Raja hanya memberi pejabat tanah
dan sejumlah petani, atau hak-hak untuk memungut bea cukai. Sesudahnya, pejabat itu
meminta denda dan upeti ke rakyat. Dari sumber keungan inilah urusan jabatan dibiayai.
Tak cuma satu dua jabatan saja yang mencari gajinya sendiri. Ong Hok Ham mencatat
mulai dari jabatan menteri di keraton, bupati, pengawas pengairan, jagal, pencatat
penduduk, penarik pajak, kepala desa, dan lain sebagainya telah berdiri sendiri dalam
keuangan.
Bahkan, raja sendiri sebenarnya masuk dalam sistem ini. Sebab, seorang raja menerima
sebagian dari upeti rakyat yang diberikan oleh pejabat. Akan tetapi, jumlah yang diberikan
relatif kecil. Masih jauh lebih besar upeti yang masuk kantong pribadi pejabat.
“Dalam sejarah kita terdapat contoh di mana seorang bawahan dapat menjamu rajanya
secara lebih mewah daripada raja itu sendiri menjamu para tamunya. Atau si penarik pajak
dapat meremehkan para abdi dalem kareton tertinggi, juga para menteri, bahkan
pangeran, sebab penghasilannya jauh melebihi penghasilan mereka – dan mereka semua
berhutang padanya,” ujar Ong Hok Ham dalam buku Wahyu yang Hilang, Negeri yang
Guncang (2018).
Kala Hindia-Belanda
Kebiasaan pungli semakin langgeng kala sistem tanam paksa (cultuur stelsel) diresmikan
oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Johannes van den Bosch (1830–1833) pada
1830. Aturan itu mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami
komoditas ekspor, khususnya kopi, tebu, dan teh. Kebijakan itu pun menjadi ladang subur
berlangsungnya aksi pungli paling hebat.
“Dapat dikatakan bahwa masa Cultuur Stelsel merupakan masa ‘aksi pungli’ yang paling
hebat di satu pihak mengalirkan berjuta-juta gulden ke kas Negara Belanda serta
menggemukkan para bupati. Sedangkan rakyat jelata menjadi semakin kurus kering dan
melarat. Anehnya rakyat pada waktu itu tetap diam saja, tidak mau memberitahukan
kesengsaraan mereka untuk minta diringankan. Semuanya dijalankan saja dengan penuh
ketaatan,” ungkap Soegeng Reksodihardjo dalam buku Dr. Cipto Mangunkusumo (2012).
Selebihnya, para bupati sendiri kelihatannya hanya menutup mata terhadap penderitaan
dan kesengsaraan rakyat. Mereka hanya berlomba-lomba memeras rakyat untuk dapat
dipuji sebagai bupati yang baik dan diberi bintang jasa oleh penjajah, sembari tetap
melanggeng pungli.
Seperti yang pernah diungkap oleh Multatuli atau Eduard Douwer Dekker dalam novel
legendarisnya Max Havelaar (1860). Lewat novel itu, Multatuli kemudian menelanjangi
kejamnya pejabat bumiputra dan kolonialisme Belanda.
Runtuhnya VOC
Pungli yang dilanggengkan kongsi dagang VOC pun tak kalah hebat dari pejabat
bumiputra yang korup. VOC zaman itu hanya memberikan gaji nominal, sekedar uang
pengikat.
Seorang Gubernur Pantai Utara Jawa, misalnya hanya digaji 80 gulden sebulan. Oleh
sebab itu, kebanyakan di antaranya melakukan praktik curang. Mereka harus berdagang
demi kepentingan majikannya, justru berusaha berdagang demi keuntungan sendiri.
Menurut penuturan seorang komisioner VOC, Dirk van Hogendorp (1761-1822), ia melihat
sendiri pungutan yang diambil oleh pejabat VOC banyak berasal dari denda barang-
barang yang overweight (melampaui batas) milik orang-orang China dan Jawa,
keuntungan penjualan opium, hadiah-hadiah dan sebagainya.
“Dirk menyebutkan jenis-jenis hadiah yang didapat dari para pejabat pribumi, bupati,
misalnya hadiah pada penunjukkan pejabat baru, hadiah setiap tahun baru, hadiah buat
istri pejabat yang melahirkan, pungutan setiap kali mau menghadap Gubernur di
Semarang, setiap menghadap Gubernur Jenderal di Hindia-Belanda, setiap kali
mendatangi penobatan bupati pribumi yang baru terpilih dan sebagainya,” cerita Dirk
dikutip Sri Margana dalam buku Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia (2016).
Selain terjadi manipulasi harga, pejabat VOC juga melakukan penjualan kedudukan dan
penjualan monopoli seperti candu, garam, serta hasil alam lainnya. Dampaknya, para
pejabat VOC semakin kaya raya. Sedangkan, VOC sendiri semakin miskin.
Gambaran itu terlihat dari orang Belanda di Nusantara yang sering kali hidup di atas
kemewahan. Mereka suka pamer, berpesta pora, dan feodal. Sikap itu tumbuh lewat sikap
para gubernur jenderal yang dikenal royal dan suka pesta karena melimpahnya hasil
pungli.
Lebih lengkapnya terkait foya-foya pejabat VOC, kami pernah mengulasnya dalam
artikel “Pesta Gila dan Foya-Foya Para Gubernur Jenderal Hindia-Belanda”. Pada
akhirnya, sejarah mencatat keruntuhan kongsi dagang Belanda VOC, salah satunya gara-
gara keseringan korupsi. Pejabat VOC yang seharusnya berdagang demi kepentingan
majikan, justru bekerja hanya demi keuntungan sendiri.
“Tepat setelah dibubarkan, sejak 1 Januari 1800 seluruh kekuasaan, keputusan dan
wewenang VOC dilimpahkan kepada otoritas kerajaan Belanda, termasuk hutang dan
saldo 134,7 juta gulden. Sejak saat itu, kawasan Nusantara bernama Hindia Belanda,
yang diakui oleh dunia baik secara de jure maupun de facto,” tutup Miftakhuddin dalam
buku Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembangunan Menuju Hegemoni (2019).
Ciri-ciri Korupsi
1. Ciri korupsi selalu melibatkan lebih dari dari satu orang. Inilah yang membedakan antara
korupsi dengan pencurian atau penggelapan.
2. Ciri korupsi pada umumnya bersifat rahasia, tertutup terutama motif yang
melatarbelakangi perbuan korupsi tersebut.
3. Ciri korupsi yaitu melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban
dan keuntungan tersebut tidaklah selalu berbentuk uang.
5. Ciri korupsi yaitu mereka yang terlibat korupsi ialah mereka yang memiliki kekuasaan
atau wewenang serta mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
6. Ciri korupsi yaitu pada setiap tindakan mengandung penipuan, biasanya pada badan
publik atau pada masyarakat umum.
7. Ciri korupsi yaitu setiap bentuknya melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari
mereka yang melakukan tindakan tersebut.
Dari pernyataan ini dapat dipahami bahwa sangat penting untuk menghubungkan
starategi atau upaya pemberantasan korupsi dengan melihat karakteristik dari
berbagai pihak yang terlibat serta lingkungan di mana mereka bekerja atau beroperasi.
Tidak ada jawaban, konsep atau program tunggal untuk setiap negara atau organisasi.
Ada begitu banyak strategi, cara atau upaya yang kesemuanya harus disesuaikan
dengan konteks, masyarakat maupun organisasi yang dituju. Setiap negara,
masyarakat maupun organisasi harus mencari cara mereka sendiri untuk menemukan
solusinya.
Upaya yang paling tepat untuk memberantas korupsi adalah dengan memberikan
pidana atau menghukum seberat-beratnya pelaku korupsi. Dengan demikian bidang
hukum khususnya hukum pidana akan dianggap sebagai jawaban yang paling tepat
untuk memberantas korupsi.
Korupsi di Indonesia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an bahkan
sangat mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah melalui Undang-undang
Nomor 24 PRP 1960 yang diikuti dengan dilaksanakannya “Operasi Budhi” dan
pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi berdasarka Keputusan Presiden Nomor 28
tahun 1967 yang dipimpin langsung oleh Jaksa Agung, belum membuahkan hasil
nyata.
Pada Orde Baru, muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 dengan “Operasi
Tertib” yang dilakukan komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Kopkamtib), namun dengan kemajuan Iptek, modus operandi kurupsi semakin
canggih dan rumit sehingga Undang-Undang tersebut gagal dilaksanakan.
Selanjutnya dikeluarkan kembali Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.
Rakyat kecil yang tidak memiliki alat pemukul guna melakukan koreksi dan
memberikan sanksi pada umumnya bersikap acuh tak acuh. Namun yang paling
menyedihkan adalah sikap rakyat menjadi apatis dengan semakin meluasnya praktik-
praktik korupsi oleh be-berapa oknum pejabat lokal, maupun nasional.
KPK yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi, dan
memberan-tas korupsi, merupakan komisi independen yang diharapkan mampu
menjadi “martir” bagi para pelaku tindak KKN.
Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah politik
kriminal atau Criminal Policy oleh G. Petter Hoefnagels dibedakan sebagai berikut
(Nawawi Arief : 2008):
1. Kebijakan penerapan hukum pidana (Criminal Law Application)
2. Kebijakan pencegahan tanpa hukum pidana (Prevention Without Punishment)
3. Kebijakan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejatahatan
dan pemidanaan lewat mass media (Influencing Views Of Society on Crime and
Punishment/mass media) (atau media lainnya seperti penyuluhan, pendidikan dll).
Sifat preventif memang bukan menjadi fokus kerja aparat penegak hukum. Namun
untuk pencegahan korupsi sifat ini dpaat ditemui dalam salah satu tugas dari Komisi
Pemberantasan Korupsi yang memiliki Deputi Bidang Pencegahan yang di dalamnya
terdapat Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat.
Upaya yang kedua adalah upaya penal dengan memanggil atau menggunakan hukum
pidana atau dengan menghukum atau memberi pidana atau memberikan penderitaan
atau nestapa bagi pelaku korupsi.
Ada hal penting yang patut dipikirkan dalam menggunakan upaya penal. Hal ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa sarana penal memiliki ‘keterbatasan’ dan
mengandung beberapa ‘kelemahan’ (sisi negatif) sehingga fungsinya seharusnya
hanya digunakan secara ‘subsidair’. Pertimbangan tesebut (Nawawi Arief; 1998)
adalah:
Dilihat secara Dogmatis, sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling
tajam dalam bidang hukum, sehingga harus digunakan sebagai ultimum
remedium (obat yang terakhir apabila cara lain atau bidang hukum lain sudah
tidak dapat digunakan lagi).
Dilihat secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya menuntut
biaya yang tinggi.
Sanksi pidana mengandung sifat kontradiktif/paradoksal yang mengandung
efek sampingan yang negatif. Hal ini dapat dilihat, dari kondisi overload
Lembaga Pemsyarakatan.
Penggunaan Hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya
merupakan ‘kurierenam symptom’ (meyembuhkan gejala), ia hanya merupakan
pengobatan simptomatik bukan pengobatana kausatif karena sebab-sebab
kejahatan demikian kompleks dan berada diluar jangkauan hukum pidana.
Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub sistem) dari sarana kontrol
sosial lainnya yang tidak mungkin mengatasi kejahatan sebagai masalah
kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks.
Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal; tidak bersifat
struktural
Atau fungsional.
Efektifitas pidana (hukuman) bergantung pada banyak faktor dan masih sering
diperdebatkan oleh para ahli.
Salah satu langkah nyata dalam upaya pemberantasan korupsi secara represif
adalah dengan ditetapkannya UU No. 46 Tahun 2003 tentang Pengendalian Tindak
Pidana Korupsi. Hakim dalam pengadilan tindak Pidana Korupsi terdiri dari hakim ad
hoc yang persyaratan dan pemilihan serta pengangkatannya berbeda dengan hakim
pada umumnya. Keberadaan hakim ad hoc diperlukan karena keahliannya sejalan
dengan kompleksitas perkara tindak pidana korupsi, baik yang menyangkut modus
operandi, pembuktian, maupun luasnya cakupan tindak pidana korupsi yang antara
lain di bidang keuangan dan perbankan, perpajakan, pasar modal , pengadaan barang
dan jasa pemerintah.
Dalam putusan yang dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Antonius Wididjantono,
Diah dianggap terbukti melanggar pasal 3 dan 5 Undang-undang Nomor 31 tahun
1999 yang telah diubah dan ditambahkan dengan Undang-undang Nomor 20 tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Terdakwa juga dijatuhi hukuman denda sebesar Rp100 juta. Jika tidak dibayarkan
maka akan diganti dengan hukuman kurungan selama dua bulan kurungan," kata
Wididjantono saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Semarang,
Jumat, 21 Oktober 2016.
Hakim beranggapan, Diah Ayu yang merupakan mantan personel banker Bank
Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) cabang Semarang, terbukti secara sah dan
meyakinkan telah menyalahgunakan wewenang dan jabatannya saat menjadi
karyawan bank tersebut.
Kasus yang menjerat perempuan cantik dan berjilbab tersebut terjadi dalam sejak
2008 hingga 2015. Di bank swasta nasional itu, Dyah Ayu bertugas untuk mengurusi
simpanan dana hasil dari pajak dan retribusi Pemkot Semarang.
Dari total Rp26,7 miliar yang disimpan, terdakwa rupanya menggondol uang senilai
Rp21,7 miliar. Sementara itu, uang Rp4,9 miliar sudah dikembalikan terdakwa ke
rekening Pemkot Semarang. Tapi pengembalian itu bukan dari Dyah Ayu, melainkan
bagian dari sistem penyimpanan dana kas daerah di sebuah bank tersebut
Terdakwa juga terbukti memberikan suap senilai Rp152 juta kepada mantan
Kepala UPTD Kasda Suhantoro. Adapun Suhartono kini telah divonis 2,5 tahun bui
atas perkara yang sama beberapa waktu lalu
Usai pembacaan vonis, perempuan yang mengenakan jilbab merah muda itu
seketika meneteskan air mata. Tangis haru itu terlihat sesaat ia membalikkan badan
dan cepat-cepat meninggalkan ruang persidangan
Atas vonis hakim tersebut, baik terdakwa maupun jaksa penuntut umum (JPU)
masih menyatakan pikir-pikir.
KPK menetapkan Siti Fadilah sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan
alat kesehatan (alkes) buffer stock, April 2014. Pengadaan untuk kebutuhan Pusat
Penanggulangan Krisis Depkes dari dana Daftar Isian Pelaksana Anggaran (DIPA)
Revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun anggaran 2007. Fadilah
diduga mendapatkan dapat Mandiri Traveller's Cheque (MTC) senilai Rp1,275 miliar.
Semula, kasus ini ditangani oleh Polri. Dalam perjalanan, kasus diambilalih oleh
KPK. Fadilah dijerat Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 15 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 56 ayat 2 KUHP.Pemenang
tender dalam pengadaan alat kesehatan adalah PT Prasasti Mitra. Dirut PT Prasasti
Mitra Bambang Tanoesoedibjo diduga bermain dengan Fadilah dan mantan Dirjen
Bina Pelayanan Medik Kemenkes Ratna Dewi Umar. Akibat dari tindakanya ini, negara
merugi hingga miliaran rupiah.
Hal tersebut diungkapkan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana,
dalam sambutan pada acara lokakarya (workshop) internasional bertajuk
"International Cooperation and Mutual Legal Assistance” yang menjadi rangkaian
pertemuan tahunan South East Asia Parties Againts Corruption (SEA-PAC), Senin (10
/9) di Yogyakarta
Denny mengakui fakta bahwa efektivitas kerja sama internasional masih harus
ditingkatkan, khususnya terkait masalah perjanjian ekstradiksi, perjanjian transfer
orang yang sudah dihukum, dan perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah
pidana. "Sudah sama-sama kita pahami, dalam pelaksanaan mutual legal assistance
(MLA), misalnya, seringkali muncul persoalan karena tiga hal utama, yaitu perbedaan
sistem hukum antarnegara, ketidakjelasan mekanisme pelaksanaannya, dan
perbedaan struktur organisasi pemerintahan dari negara yang terlibat perjanjian
tersebut," ungkapnya.
Terkait dengan MLA, Indonesia telah memiliki UU Nomor 1 tahun 2006, yang
dalam pelaksanaannya memberikan mandat kepada Kementerian Hukum dan HAM,
sebagai Central Authority. Dalam hal ini, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia telah
memerintahkan jajaran Central Authority untuk terus meningkatkan profesionalisme
dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai otoritas pusat, terutama dalam
penanganan MLA dan ekstradisi.
Namun, menurut Denny, pendekatan yang terlalu formal dan berbasis perjanjian
seringkali memakan waktu karena harus taat hukum, wajib taat prosedur, dan harus
dalam kerangka kerja diplomatik yang ketat. Karenanya, harus terus dibuka
pendekatan yang lebih informal yang berbasis pada hubungan baik dan saling percaya
antara negara yang bekerja sama untuk mengantisipasi pergerakan pelarian koruptor
dan asetnya yang sangat cepat.
“Untuk membangun relasi yang akrab demikian, pembuatan nota kesepahaman
(MoU) bisa menjadi salah satu pembuka jalan yang tidak terlalu rumit, namun cukup
efektif untuk membangun kesepahaman, khususnya dalam upaya bersama
memberantas kejahatan transnasional, lebih khusus lagi dalam melawan korupsi,”
papar Denny
Sementara itu, Ketua KPK Abraham Samad menilai kerja sama internasional MLA
sangat penting karena hal tersebut relevan dan kontekstual dengan situasi saat ini,
khususnya korupsi yang melibatkan pihak asing atau antarnegara. Korupsi sudah
menjadi musuh bersama di dunia. Menurutnya, kemana pun, di mana pun koruptor
bersembunyi dan melakukan aksinya, maka di situ akan ada penegak hukum yang
menangkapnya. “Singkatnya, tidak ada tempat yang aman bagi koruptor di dunia ini,”
tegas Abraham.
Selain itu, terkait pertukaran saksi, KPK pernah mengirimkan saksi warga negara
Indonesia ke Brunei Darussalam, Singapura, dan Malaysia. “Sebaliknya, KPK
menerima bantuan terkait pemeriksaan saksi di Malaysia, Brunei Darussalam dan
Singapura, baik terhadap warga negara sendiri maupun warga negara setempat,”
tandas Abraham.
PERAN MAHASISWA
KETERLIBATAN MAHASISWA
Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti korupsi pada dasarnya dapat dibedakan
menjadi empat wilayah, yaitu: di lingkungan keluarga, di lingkungan kampus, di
masyarakat sekitar, dan di tingkat lokal/nasional. Lingkungan keluarga dipercaya
dapat menjadi tolok ukur yang pertama dan utama bagi mahasiswa untuk menguji
apakah proses internalisasi anti korupsi di dalam diri mereka sudah terjadi.
Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti korupsi di lingkungan kampus tidak bisa
dilepaskan dari status mahasiswa sebagai peserta didik yang mempunyai kewajiban
ikut menjalankan visi dan misi kampusnya. Sedangkan keterlibatan mahasiswa
dalam gerakan anti korupsi di masyarakat dan di tingkat lokal/nasional terkait dengan
status mahasiswa sebagai seorang warga negara yang mempunyai hak dan
kewajiban yang sama dengan masyarakat lainnya.
Sudah jelas kalangan elit kekuasaan harus memberi keteladanan bagi yang di
bawah. Untuk mencegah terjadinya korupsi besar-besaran, bagi pejabat yang
menduduki jabatan yang rawan korupsi seperti bidang pelayanan masyarakat,
pendapatan negar, penegak hukum, dan pembuat kebijaksanaan harus di
daftar kekayaannya sebelum menjabat jabatannya sehingga mudah diperiksa
pertambahan kekayaannya dibandingkan dengan pendapatannya yang resmi.
3. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan
efisien
dasar masyarakat.
sistem politik.
a. Strategi Preventif
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-hal
b. Strategi Deduktif
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar
dasar pemikiran ini banyak sistem yang harus dibenahi, sehingga sistem-
sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai aturan yang cukup tepat
memberikan sinyal apabila terjadi suatu perbuatan korupsi. Hal ini sangat
membutuhkan adanya berbagai disiplin ilmu baik itu ilmu hukum, ekonomi
c. Strategi Represif
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan
untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan tepat
kepada pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi. Dengan dasar pemikiran
ini proses penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk dapat
disempurnakan di segala aspeknya, sehingga proses penanganan tersebut
dapat dilakukan secara cepat dan tepat. Namun implementasinya harus
dilakukan secara terintregasi.
A. Kesimpulan
Dari makalah yang telah kami buat, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
a. Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (Uang negara atau
perusahaan) dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Perbuatan korupsi selalu megandung unsur “penyelewengan” atau dis-
honest (ketidakjujuran).
b. Adapun penyebabnya antara lain, ketiadaan dan kelemahan
pemimpin, kelemahan pengajaran dan etika, kolonialisme,
penjajahan rendahnya pendidikan, kemiskinan, tidak adanya
hukuman yang keras, kelangkaan lingkungan yang subur untuk
perilaku korupsi, rendahnya sumber daya manusia, serta struktur
ekonomi.
c. Korupsi dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu bentuk, sifat,
dan tujuan.
d. Dampak korupsi dapat terjadi di berbagai bidang diantaranya, bidang
demokrasi, ekonomi, dan kesejahteraan negara.
e. Ada beberapa upaya yang dapat menanggulangi kejahatan (korupsi
dengan menggunakan hukum pidana) yaitu: kebijakan penerapan
hukum pidana, kebijakan pencegahan tanpa hukum pidana,
pemindahan lewat mass media.
f. Beberapa strategi dan upaya pemberantasan korupsi diantaranya:
pembentukan lembaga anti korupsi, pencegahan korupsi di sektor
publik, pencegahan sosial dan pemberdayaan masyarakat,
pengembangan dan pembuatan berbagai instrumen hukum yang
mendukung pencegahan dan oemberantasan korupsi, monitoring dan
Evaluasi, dan kerjasama internasional.
B. Saran
Sebaiknya dilakukan proses penanaman (sosial dan internalisi) nilai-nilai
anti korupsi atau Budaya Anti Korupsi (BAK). Proses tersebut dilakukan
melalui proses pendidikan yang terencana, sistematis, terus menerus dan
terintegras, sejak usia dini hingga ke perguruan tinggi. Demikian juga
sosialisasi dan internalisasi nilai anti korupsi tersebut dilakukan kepada
seluruh komponen masyarakat dan aparatur pemerintah di pusat dan
daerah, lembaga tinggi negara, BUMN, BUMD, sehingga nilai sosail anti
korupsi atau Budaya Anti Korupsi (BAK) menjadi gerakan nasional dan
menjadi kebiasaan hidup seluruh komponen bangsa indonesia, menuju
kehidupan yang adil makmur dan sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA
Fijnaut, Cyrille and Leo Huberts (2002), Coruption, Integrity and Law Enforcement,
dalam Fijnaut, Cyrille and Leo Huberts (ed), (2002), Corruption, Integrity and Law
Enjorcement, The. Hague: Kluwer Law International.
Nawawi Arief, Barda (2008), Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta:
Kencana
United Nations (2004), the Global Program Againts: Corruption: United Nation Anti
Corruption Toolkit, Vienna: UNODC.
http://sarfaraazyusuf.blogspot.co.id/2016/03/pemberantasan-korupsi-konsep-
strategi.html
https://www.selasar.com/politik/5-kasus-korupsi-era-kpk-yang-sempat-heboh
http://www.boyyendratamin.com/2015/01/upaya-pencegahan-tindak-pidana-
korupsi.html