Anda di halaman 1dari 14

FORENCIC ACCOUNTING

FRAUD THEORY

Penyusun :
Galan Priyambudi
Mustika Adinda
Nurul Istiqomah

MAGISTER AKUNTANSI KELAS BPS


FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2019
1. White collar crime

White collar crime (kejahatan kerah putih) adalah berbeda dengan kejahatan
konvensional yang melibatkan para pelaku jalanan (street crime, blue collar crime, blue
jenas crime). Pihak yang terlibat dalam white collar crime (WCC) adalah mereka yang
merupakan orang -orang terpandang di masyarakat dan biasanya berpendidikan tinggi.
Modus operandi dalam WCC ini seringkali memepergunakan cara-cara yang canggih, dan
bahkan bercampur baur dengan teori-teori di bidang ilmu pengetahuan, seperti akunting
dan statistic.
Black’s Law Dictionary menerangkan bahwa “white collar crime is a nonviolent
crime usu. involving cheating or dishonesty in commercial matters, i.e. include fraud,
embezzlement, bribery, and insider trading”.
Motif suatu WCC umumnya untuk mencari keuntungan finansial dan mendapat
jabatan pemerintahan.
White collar crime adalah suatu perbuatan (atau tidak berbuat) dalam kejahatan
yang bersifat khusus yang bertentangan dengan hukum pidana dan ketentuan hukum
lainnya, dilakukan oleh pihak profesional, baik individu, organisasi atau sindikat kejahatan
yang terorganisasi, maupun badan hukum.

Konsep dan Teori ‘White Collar Crime’

a. Pengertian ‘White Collar Crime’ secara etimologi (Sutherland, 1955:75)


Pada dasarnya, istilah ‘White Collar Crime’ mempunyai pengertian kejahatan kerah
putih. Kerah putih merupakan simbol dari jabatan. Pada kemunculannya, kejahatan
kerah putih dilakukan oleh orang yang mempunyai jabatan, berpakaian rapi (dengan
jas dan kerah putih), sehingga “kerah putih” disimbolkan sebagai jabatan yang
melekat oleh orang tersebut. Para Ahli Kriminologi yang mengemukakan tentang
White Collar Crime, diantaranya:
1) E. A Ross (1907) tentang criminaloid. Orang yang memperoleh kemakmuran
dengan melakukan tindakan yang memalukan, tetapi belum merupakan tindakan
yang dilarang oleh masyarakat. Sesungguhnya Mereka bersalah menurut
kacamata hukum, namun karena di mata masyarakat dan menurut dirinya sendiri
adalah tidak bersalah, tindakannya tidak lagi disebut sebagai kejahatan. Pelanggar
hukum ini dapat saja menyatakan tindakannya yang tidak benar tersebut sebagai
kejahatan, namun karena moralitas berpihak kepadanya, Mereka luput dari
hukuman dan celaan.
2) Penjahat Kelas Atas, Albert Morris (1935). Penjahat kelas atas adalah
kelompok penjahat yang tidak pernah secara jelas teridentifikasi karena posisi
sosial, intelegensia dan teknik kejahatannya membolehkannya untuk dapat
bergerak bebas di antara warga masyarakat lainnya, yang tak pelak lagi luput dari
sorotan dan punishment sebagai penjahat. Antara masyarakat dan penjahat kelas
atas tidak terdapat jurang perbedaan, hanya ada wilayah abu-abu yang
membentuk bayangan ketidaksadaran, perbedaan antara hitam dan putih. Di
wilayah bayangan tersebut terdapat orang-orang bukan penjahat tetapi yang
standar etikanya diragukan. Diantara Mereka juga terdapat orang- orang yang
nyaris dapat disebut sebagai penjahat, yang walaupun selalu tunduk hukum,
bekerja dengan cara-cara yang menyebabkan penderitaan seperti para pelaku
kejahatan konvensional (misalnya: pencopet dan rampok)
3) Shuterland (1940), White Collar Crime. Melalui Teori Differential Assotiation,
Shuterland mengemukakan bahwa kejahatan merupakan proses belajar. Ketika
para pelanggar tersebut belajar bisnis, maka mereka juga belajar teknik-teknik
melanggar hukum. Dari sini, timbullah penyelewengan hukum.
4) M.B. Clinard dan P.C Yeager (1980). Kejahatan korporasi. Korporasi harus dilihat
sebagai organisasi berskala besar yang melakukan tingkah laku yang
melanggar hukum. Luasnya tanggung jawab dan menyebarnya tanggung
jawab, struktur organisasi korporasi yang luas mendorong adanya
penyimpangan oleh organisasi. Selain lingkungan ekonomi yang saling
berhubungan dengan kejahatan korporasi, lingkungan politik juga saling
bergantung dengan kejahatan korporasi.

b. Pengertian ‘White Collar Crime’ secara yuridis


White Collar Crime secara ius constitutum telah diatur dalam Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 Pasal 3 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (Satu Miliar Rupiah)”.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI WCC

Data menunjukkan bahwa:


1. Kumulasi dari nilai uang yang terlibat dalam kejahatan yang tergolong WCC jauh lebih
besar dari jumlah uang yang terlibat dalam kejahatan konvensional;
2. Hukuman penjara pelaku kejahatan konvensional jauh lebih sering daripada pelaku
WCC. 91% dari pelaku kejahatan konvensional masuk penjara, sementara hanya 17%
dari pelaku WCC yang masuk penjara;
3. Hukuman penjara bagi pelaku kejahatan konvensional jauh lebih berat dibandingkan
hukuman penjara bagi pelaku kejahatan WCC.

Hal-hal tersebut terjadi karena beberapa faktor berikut:


1. Pelaku WCC memiliki banyak uang, sehingga memungkinkan pelakunya untuk
menyewa pengacara besar;
2. Kecenderungan konspirasi dengan lembaga peradilan. Penyidik, penuntut, dan hakim
dapat dibayar, karena tidak ada independensi dan komitmen yang kuat dari lembaga-
lembaga tersebut;
3. Dampak WCC kepada korban individual biasanya tidak terlalu besar, namun dampak
kepada masyarakat secara keseluruhan cukup besar. Sedangkan kejahatan
konvensional sangat besar dampaknya terhadap individual, misal pembunuhan,
perampokan, dll.;
4. Menangkap pelaku WCC jauh lebih sulit dibanding pelaku kejahatan konvensional.

KARAKTERISTIK

Beberapa hal berikut merupakan ciri atau karakteristik dari WCC:


1. Pelakunya adalah orang-orang terpandang yang termasuk ke dalam kelompok kelas
menengah ke atas;
2. Penggunaan teknologi canggih. Misalnya, pelakunya menggunakan komputer,
telepon seluler, internet, perdagangan/transaksi elektronik, dll. Sedangkan penegak
hukumnya juga biasanya menggunakan teknologi canggih pula, misalnya, metode
sidik jari, laser, rekaman video rahasia, tes DNA, analisis rambut, sadap telepon, satelit
pengintai, dll.;
3. Penggunaan ilmu dan profesi yang canggih. Misalnya menyewa lawyer yang terampil
dalam menggunakan celah-celah hukum untuk menyelamatkan kliennya, akuntan
publik yang bersedia untuk merekayasa laporan keuangan dan dokumen
akuntansinya/pembukuan perusahaan;
4. Perbuatan WCC dapat merupakan tindak pidana ataupun bukan merupakan tindak
pidana;
5. Perbuatan WCC dapat merupakan perbuatan yang dilakukan untuk kepentingan
pribadi ataupun untuk kepentingan perusahaannya;
6. WCC seringkali dapat ditutupi oleh prinsip dan kewajiban menjaga kehasiaan.
Misalnya dalam hubungan dokter-pasien, lawyer-klien, bank-nasabah, dll.;
7. Motif WCC dapat merupakan upaya untuk mendapatkan uang ataupun jabatan
tertentu;
8. Seringkali perbuatan WCC bukan perbuatan yang sekali jadi, namun serangkauan
perbuatan yang dilakukan serial, dan bahkan terus menerus;
9. Aftermath (dampak buruk yang luar biasa) dari WCC biasanya berkaitan dengan
aspek-aspek keuangan, kesehatan, dan keamanan dalam masyarakat;

Kejahatan Kerah Putih (White Collar Crime) Di Asia

Kejahatan kerah putih atau white collar crime merupakan suatu tindak kecurangan
yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki posisi dan wewenang cukup tinggi pada
sektor pemerintahan maupun sektor swasta, sehingga dapat mempengaruhi suatu
kebijakan dan keputusan. Bicara mengenai white collar crime memang cukup luas ranah
pembahasannya, dimana terkadang terjadi beberapa pendapat ahli yang berbeda terkait
scope dari masing-masing kejahatan apakah bisa diklasifikasikan sebagai white collar
crime atau bukan. Menurut Edwin H. Sutherland, white collar crime merupakan kejahatan
yang dilakukan oleh seseorang yang sangat terhormat dan berstatus social tinggi di dalam
pekerjaannya. Tindakan kejahatan ini dapat terjadi di dalam perusahaan, kalangan
professional, perdagangan maupun kehidupan politik.
Dalam memahami white collar crime, diperlukan pengetahuan terkait tipologi
pelaku kejahatan tersebut. Sebab, definisi terkait suatu tindak kejahatan dapat
digolongkan ke dalam white collar crime atau tidak dapat dilihat berdasarkan tipologi
pelakunya. Tipologi pertama dilihat dari status social pelaku, apakah berasal dari status
“terhormat” atau tidak. Status terhormat dalam hal ini merupakan suatu jabatan yang
dimiliki pelaku dalam instansi, baik negera maupun swasta, yang ia miliki. Selanjutnya,
tipologi yang dapat dilihat adalah tindak kejahatan yang dilakukan memerlukan keahlian
di bidang komputerisasi atau tidak. Jika, iya, maka kejahatan yang dilakukan dapat
digolongkan sebagai WCC dalam lingkup cyber crime. Terakhir, tindak kejahatan yang
dilakukan pelaku bertujuan untuk menguntungkan individu atau kelompok. Melalui ini,
dapat dilihat pola seleksi dan penggolongan dari kasus white collar crime yang terjadi.
Tipologi pelaku white collar crime dapat dilihat melalui gambar bagan berikut.
White collar crime ini pada umumnya terjadi pada negara-negara yang belum
memiliki hukum korporat yang matang. Sehingga para pelaku dapat dengan mudah
melakukan aksinya tanpa ragu terkait hukuman yang mungkin mereka akan peroleh.
Negara dengan kematangan hukum koorporat yang rendah ini banyak terdapat di wilayah
Asia, khususnya pada negara-negara berkembang. Meski demikian, tidak menutup
kemungkinan juga bahwa pelaku white collar crime berasal dari negara-negara dengan
ekonomi tinggi, seperti Jepang dan Cina misalnya. Jepang yang seringkali digambarkan
sebagai salah satu negara maju di Asia dengan tingkat kejahatan rendah justru memiliki
jumlah kasus white collar crime yang tidak sedikit. Hal ini mengindikasikan bahwa
kemungkinan besar, kejahatan umum (street crime) di Jepang ternilai sangat rendah
akibat dikalahkan oleh kuantitas kejahatan kerah putih dan korporat yang lebih tinggi dan
samar terlihat. Sedangkan di China yang merupakan negara dengan ekonomi tertinggi di
Asia, white collar crime lebih banyak dipengaruhi oleh faktor reformasi ekonomi yang
berimplementasi pada ketidakstabilan kehidupan ekonomi-politik negara tersebut.
Kasus white collar crime banyak tersebar di berbagai negara di Asia seiring dengan
tekanan yang dihasilkan dari kondisi ekonomi saat krisis. Krisis menyebabkan banyak
barang yang dipasarkan melebihi dari kapasitas pembeli. Sehingga perputaran uang tidak
dapat berjalan lancar. Di asia-pasific hal ini menyebabkan berkurangnya permintaan
untuk berbagai area ekspor, khususnya tourism, manufaktur dan komoditas. Dengan ini,
pendapatan pemerintah juga menurun drastis, terutama dari pekerja luar negeri. Di era
krisis ini, korupsi kemudian menjadi salah satu fenomena yang marak berkembang.
Terhambatnya arus perputaran uang di masa krisis menyebabkan banyaknya tawaran
hutang luar negeri. Tawaran hutang luar negeri inilah yang banyak dimanfaatkan oleh
pelaku white collar crime untuk menjalankan aksinya dengan berbagai bentuk modus
kejahatan. Berbagai bentuk white collar crime yang umumnya terjadi di Asia antara lain
seperti korupsi, penyuapan, penipuan, cuci uang, penggunaan asset publik untuk
kepentingan pribadi, penjualan gelap, dan penghindaran pajak.
Di wilayah Asia sendiri white collar crime dapat didefinisikan ke dalam beberapa
jenis. Berdasarkan beberapa sumber yang penulis peroleh dari jurnal dan portal berita
international, pengklasifikasian white collar crime di Asia seringkali dibedakan
berdasarkan ciri khas dari suatu regional tertentu. Misalnya, pada Asia Barat dimana
terdapat banyak negara-negara penghasil minyak bumi, kasus white collar crime yang
terjadi banyak terafiliasi dengan perusahaan-perusaan offshore tertentu. Misal seperti
yang terjadi di Khazakhstan dan Kyrgystan, dimana white collar crime yang banyak terjadi
seringkali disampul dalam bentuk fraud (penipuan) yang melibatkan kegiatan ekonomi
pada perusahaan-perusahaan offshore. Kemudian, pada negara-negara di wilayah Asia
Tenggara yang mayoritas merupakan negara berkembang yang sedang mengedepankan
ekonomi pasar terbuka, white collar crime cenderung melibatkan pelaku bisnis dan
usahawan, serta tidak sedikit yang berhubungan dengan pemerintah. Seperti yang terjadi
di Indonesia misalnya, dimana banyak usahawan yang memiki investasi tinggi melakukan
kecurangan berupa tax evasion (penghindaran pajak) yang melibatkan kerjasama dengan
oknum-oknum pada institusi pajak. Sedangkan pada negara-negara di kawasan Asia Timur
yang tergolong cukup mapan ekonominya, kasus white collar crime yang terjadi sedikit
banyak melibatkan perusahaan-perusahaan pendukung ekonomi negara. Misalnya pada
Jepang dan Korea Selatan, dimana pemimpin-pemimpin perusahaan ternama, seperti
Sharp, Nikon, dan Samsung seringkali terlibat ke dalam kasus tersebut.
Terakhir, pengklasifikasian white collar crime juga dapat dilihat dari peran atau
kontrol pemerintah dalam suatu negara. Hal ini berhubungan dengan ranah white collar
crime itu sendiri yang selalu terjadi di dalam sektor ekonomi — politik. Dimana pada
negara dengan kontrol pemerintah yang tinggi pada kegiatan ekonomi — politik,
termasuk produksi, maka white collar crime cenderung terjadi di institusi pemerintahan.
Bentuk ini banyak terjadi pada negara-negara berkembang di Asia Tenggara yang kegiatan
ekonominya banyak dikelola oleh negara. Sedangkan pada negara yang cenderung
melakukan penerapan free-trade dan liberalisasi ekonomi, sektor swasta memiliki peran
yang lebih besar dalam kegiatan ekonomi. Sehingga, white collar crime yang banyak
terjadi juga berasal dari sektor swasta dan jangkauannya dapat dikatakan sebagai
transnasional, terebih jika teknologi di negara tersebut telah maju dan berkembang.
Melalui berbagai pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa white collar crime
merupakan sebuah fenomena kejahatan yang cukup luas, baik terkait definisi maupun
pengklasifikasian tindakannya. Dalam memahami white collar crime diperlukan focus
pemahan terhadap tipologi pelakunya terlebih dahulu. Dengan ini suatu tindak kejahatan
dapat digolongkan ke dalam bentuk white collar crime atau bukan. Di Asia sendiri, white
collar crime sudah marak terjadi sejak terjadinya krisis ekonomi yang jelas berpengaruh
terhadap penurunan pendapatan negara dan peningkatan hutang yang menjadi lading
terjadinya tindak kejahatan ini. White collar crime di Asia juga dapat diidentifikasikan
berdasarkan ciri khas dari masing-masing region, seperti Asia Barat dengan white collar
crime yang kerap terafiliasi dengan perusahaan offshore dan Asia Tenggara yang kerap
melibatkan peran usahawan. Terakhir, white collar crime di Asia juga dapat dilihat
berdasarkan peran atau kontrol pemerintah di dalam kegiatan ekonomi dan politik.
Dimana pada negara yang kontrolnya tinggi pada kegiatan ekonomi politik, white collar
crime banyak terjadi di dalam instansi negara. Sedangkan pada negara yang kegiatan
ekonomi politiknya lebih banyak menggunakan peran swasta, white collar crime justru
seringkali terjadi pada perusahaan-perusahaan swasta.
2. Fraud Scale
Teori fraud scale merupakan perkembangan teori dari teori sebelumnya yaitu
teori fraud triangle. Dalam teori ini dapat mengetahui kemungkinan terjadinya tindakan
fraud atau kecurangan dengan cara mengamati tekanan, kesempatan dan integritas
pelaku yang akan melakukan fraud. Apabila seseorang memiliki tekanan yang tinggi,
kesempatan besar dan integritas pribadi yang rendah, maka dapat memungkinkan
terjadinya fraud yang tinggi, begitu pula sebaliknya. Tekanan disini terjadi karena masalah
keungan dan atau bisa karena masalah di lingkungannya. Adanya kesempatan untuk
melakukan tindak kecurangan disebabkan karena lemahnya pengendalian maupun
pengawasan organisasi. Sedangkan, integritas pribadi yang rendah disebabkan oleh
kebiasaan individu yang buruk. Fraud Scale mempunyai tujuan untuk mengukur terjadnya
pelanggaran etika, kepercayaan dan tanggung jawab. Kecurangan atau fraud ini biasanya
mengarah pada penipuan laporan keuangan.

Teori Fraud Scale dicetuskan oleh Dr.Steve Albrecht. Menurut Albrecht 3 faktor
penyebab seseorang melakukan fraud atau kecurangan dilihat dari karakteristik khusus
menurut teori fraud scale adalah
a. Hidup di luar kemampuan mereka
b. Keinginan yang besar untuk keuntungan
c. Hutang pribadi yang tinggi

Sedangkan faktor resiko terjadinya fraud menurut teori ini adalah dikarenakan
terlalu besar dalam menaruh kepercayaan kepada karyawan serta lemahnya
pengendalian dari atasan. Kecurangan paling sering terjadi ketika (i) tekanan pada situasi
sangat tinggi, (ii) Integritas pribadi yang rendah, serta (iii) adanya kesempatan atau
peluang yang tinggi untuk melakukan fraud.
3. The Acronym M.I.C.E
Kranacher (2011) menyatakan tekanan situasional dapat dibagi ke dalam 4
(empat) kelompok, yaitu uang (money), ideology (ideology), tekanan (coersion) dan ego,
atau yang lebih dikenal dengan singkatan MICE.
“M” berarti tekanan money (uang) yang merupkan motivasi untuk melakukan
tindakan kecurangan. Faktor uang mengacu pada tekanan finansial yang dialami pelaku
yang membuatnya melakukan kecurangan.
“I” berarti ideology (ideologi), yang berhubungan dengan keadaan pikiran
seseorang. Tindakan curang tidak sejalan dengan masalah ideologi yang sering terjadi,
contohnya adalah penggelapan pajak karena orang percaya mereka sudah membayar
cukup. Pelaku menganggap melakukan kecurangan merupakan hal yang benar apabila
dilakukan untuk kebaikan yang lebih besar.
“C” berarti coercion (paksaan), situasi di mana seorang individu tidak ingin
melakukan penipuan, tetapi tidak memiliki pilihan lain. Faktor paksaan ini terjadi karena
adanya pihak ketiga yang memberikan contoh, mengintimidasi atau mengancam untuk
melakukan kecurangan.
Sebagai contoh, mengacu lagi untuk kasus Walmart-Coughlin, Patsy Stephens
menggugat Thomas Coughlin mengklaim bahwa ia dipaksa mengirimkan voucher dan
pencucian uang melalui rekening bank sendiri (White 2008). Demikian pula, Betty Vinson,
seorang terpidana WorldCom tingkat menengah akuntan, melaporkan bahwa ia
diperintahkan untuk membuat entri akuntansi palsu (Pulliam 2003)
“E” berarti ego yang mengarah pada lebih banyak uang mengarah ke lebih banyak
kekuatan yang mungkin menjadi motivasi seseorang melakukan tindak kecurangan
tersebut. Pelaku merasa kecurangan yang dilakukannya tidak akan terdeteksi

4. Fraud diamond
Teori fraud diamond pertama kali dikemukakan oleh Wolfe dan Hermanson di CPA
Journal pada Desember 2004 yang merupakan versi pengembangan dari teori fraud
triangle. Wolfe dan Hermanson menyatakan:
"Peluang membuka pintu untuk tindak kecurangan, insentif (tekanan) dan
rasionalisasi dapat menarik seseorang ke arah tersebut. Tetapi orang itu harus
memiliki kemampuan untuk mengenali pintu yang terbuka sebagai peluang dan
memanfaatkannya dengan tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali.”

Ada 4 hal yang mendorong terjadinya sebuah upaya fraud, yaitu pressure
(dorongan), opportunity (peluang), rationalization (rasionalisasi) dan Individual
capability,
a. Pressure adalah dorongan yang menyebabkan seseorang melakukan fraud,
contohnya hutang atau tagihan yang menumpuk dan gaya hidup mewah. Pada
umumnya yang mendorong terjadinya fraud adalah kebutuhan atau masalah
financial. Tapi banyak juga yang hanya terdorong oleh kekerasan.
b. Opportunity adalah peluang yang memungkinkan fraud terjadi. Biasanya
desebabkan karena internal control satu organisasi yang lemah, kurang
pengawasan, dan atau penyalahgunaan wewenang. Di antara 3 elemen fraud
triangle, opportunity merupakan elemen yang paling memungkinkan untuk
diminimalisir melalui penerapan prosese, prosedur, dan control dan upaya deteksi
dini terhadap fraud.
c. Rationalization merupakan elemen yang paling penting dalam terjadinya fraud,
dimana pelaku mencari pembenaran atas tindakannya, misalnya :
 Bahwasanya tindakanya untuk membahagiakan keluarga atau orang-orang
yang dicintainya.
 Masa kerja pelaku cukup lama dan dia merasa seharusnya berhak
mendapatkan lebih dari yang telah didapatkan sekarang (gaji, posisi,
promosi).
 Perusahaan telah mendapatkan keuntungan yang sangat besar dan tidak
mengapa jika tidak mengambil bagian sedikit dari keuntungan tersebut.
d. Individual capability adalah sifat dan kemampuan pribadi seseorang yang
mempunyai peranan besar yang memungkinkan untuk melakukan suatu tindak
kecurangan. Individual capability mempunyai beberapa komponen kemampuan
(capability) untuk menciptakan fraud yaitu:
 Adanya posisi atau fungsi seseorang dalam perusahaan
 Kecerdasan
 Tingkat kepercayaan diri atau ego
 Kemampuan pemaksaan
 Kebohongan yang efektif dan kebebasan terhadap stress
Fraud Diamond merupakan adanya sifat-sifat dan kemampuan individu
memainkan peran utama dalam terjadinya fraud. Kecurangan-kecurangan besar tidak
akan terjadi tanpa orang-orang yang memiliki kemampuan individu/capability. Walaupun
peluang (opportunity) membuka jalan untuk melakukan fraud yang intensif dan
melakukan rasionalisasi dapat menarik orang kearah itu tapi seseorang harus memiliki
kemampuan untuk melihat celah dalam melakukan fraud sebagai kesempatan untuk
mengambil keuntungan dari itu, tidak hanya sekali, tetapi secara terus menerus. Dengan
demilkian fraud terjadi karena adanya kesempatan untuk melakukanya dan kemampuan
individu yang mampu merealisasikanya. Intinya Fraud Diamond adalah alasan seseorang
yang melakukan fraud karena danya kesempatan, tekanan dan rasionalitas dimana ketiga
alasan tersebut dapat terjadi jika seseorang memiliki kemampuan (capability). The Fraud
Diamond ini yang menjadi alasan seseorang melakukan kecurangan terhadap laporan
keuangan (Financial Statement).

5. Fraud Pentagon
Pertama adalah fraud triangle mengungkapkan bahwa tiga elemen berikut harus
ada untuk melakukan fraud: tekanan, peluang, dan rasionalisasi (Wells, 1997). Yang kedua
hanyalah perpanjangan dari fraud triangle yang menambahkan kemampuan untuk
menjadi elemen keempat, dengan demikian disebut sebagai fraud diamond (Wolfe &
Hermanson, 2004). Florenz C. Tugas termotivasi untuk mengeksplorasi lebih lanjut
tentang elemen-elemen dari fraud.
Incentive Opportunity

Rasionalization Capability

External Regulatory Influence

Sebelum membahas elemen kelima, pengamatan mengenai kolusi patut untuk


dibahas. Ketika individu dalam posisi kritis berkolusi, mereka menciptakan peluang untuk
mengontrol atau mendapatkan akses ke aset yang sebelumnya tidak ada. Auditor bisa
berpartisipasi dalam pelaksanaan kegiatan kecurangan. Selain itu, kolusi atau toleransi
yang disengaja oleh badan pengawas terhadap apa yang dilakukan organisasi bisnis juga
berkontribusi terhadap eksekusi sempurna kegiatan kecurangan. Dalam kasus BW
Resources, sebuah pertanyaan diajukan berhubungan dengan seberapa efektif peraturan
dan aturan dalam mencegah penyimpangan, ilegal, dan korupsi di pasar modal. Kasus BW
Resources menunjukkan kegagalan dalam memastikan kepatuhan terhadap peraturan
dan kebijakan yang sudah ada. Persyaratan pelaporan banyak, tetapi diperlukan juga
mekanisme yang secara kritis menilai akurasi, kebenaran kebenaran, dan kebenaran fakta
dan data yang dilaporkan.

Teori Froud Pentagon Oleh Crowe


Teori fraud pentagon yang dikembangkan oleh Crowe (2011) merupakan
gabungan dari teori fraud triangle dan teori fraud diamond dengan tambahan satu faktor,
yaitu arrogance (kesombongan). Kompetensi (competence yang dipaparkan dalam fraud
memiliki makna yang serupa dengan kapabilitas atau kemampuan (capability) yang
sebelumnya dijelaskan dalam teori fraud diamond. Kompetensi atau kapabilitas
merupakan kemampuan karyawan untuk mengabaikan control internal,
mengembangkan strategi penyembunyian, dan mengontrol sistuasi sosial untuk
keuntungan pribadinya. Menurut Crowe, arogansi adalah sikap superioritas atas hak yang
dimiliki dan merasa bahwa control internal atau kebijakan perusahaan tidak berlaku
untuk dirinya.
a. Pressure adalah dorongan yang menyebabkan seseorang melakukan fraud,
contohnya hutang atau tagihan yang menumpuk dan gaya hidup mewah. Pada
umumnya yang mendorong terjadinya fraud adalah kebutuhan atau masalah
financial. Tapi banyak juga yang hanya terdorong oleh kekerasan.
b. Opportunity adalah peluang yang memungkinkan fraud terjadi. Biasanya
desebabkan karena internal control satu organisasi yang lemah, kurang
pengawasan, dan atau penyalahgunaan wewenang. Di antara 3 elemen fraud
triangle, opportunity merupakan elemen yang paling memungkinkan untuk
diminimalisir melalui penerapan prosese, prosedur, dan control dan upaya deteksi
dini terhadap fraud.
c. Rationalization merupakan elemen yang paling penting dalam terjadinya fraud,
dimana pelaku mencari pembenaran atas tindakannya, misalnya :
 Bahwasanya tindakanya untuk membahagiakan keluarga atau orang-orang
yang dicintainya.
 Masa kerja pelaku cukup lama dan dia merasa seharusnya berhak
mendapatkan lebih dari yang telah didapatkan sekarang (gaji, posisi,
promosi).
 Perusahaan telah mendapatkan keuntungan yang sangat besar dan tidak
mengapa jika tidak mengambil bagian sedikit dari keuntungan tersebut.
d. Individual capability adalah sifat dan kemampuan pribadi seseorang yang
mempunyai peranan besar yang memungkinkan untuk melakukan suatu tindak
kecurangan. Individual capability mempunyai beberapa komponen kemampuan
(capability) untuk menciptakan fraud yaitu:
 Adanya posisi atau fungsi seseorang dalam perusahaan
 Kecerdasan
 Tingkat kepercayaan diri atau ego
 Kemampuan pemaksaan
 Kebohongan yang efektif dan kebebasan terhadap stress
e. Arrogance
Arrogance adalah sikap superioritas dan keserakahan dalam sebagian dirinya yang
menganggap bahwa kebijakan dan prosedur perusahaan sederhananya tidak
berlaku secara pribadi. Dengan sifat seperti ini, seseorang dapat melakukan
kecurangan dengan mudah karna merasa/menganggap dirinya paling unggul
diantara yang lain dan menganggap kebijakan tidak berlaku untuknya

Anda mungkin juga menyukai