Anda di halaman 1dari 9

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER

LOGIKA DAN PENALARAN HUKUM

Pertemuan 2
Pengertian dan Kedudukan Logika dan Penalaran Hukum dalam Filsafat
dan Ilmu Hukum
A. Tujuan Pembelajaran

Dari hasil pertemuan pertama ini, diharapkan mahsiswa akan mengerti


dan memahami tentang :
1. Pengertian Logika dan penalaran Hukum
2. Kedudukan Logika dan Penalaran Hukum dalam Filsafat Hukum
3. Kedudukan Logika dan Penalaran Hukum dalam ilmu Hukum

B. Materi

1. Pengertian Logika dan penalaran Hukum


Logika berasal dari Bahasa Yunani ‘logikos’ yang berarti “berhubungan
dengan pengetahuan”, “berhubungan dengan bahasa”. Adapun Logika dalam
Kata Latin logos (logia) berarti ‘perkataan atau sabda’. Kedudukan Logika
dan Penalaran Hukum dalam filsafat. Dalam bahasa Indonesia sendiri kata
Logika diartikan sebagai “jalan pikiran yang masuk akal”.
Pendapat Para ahli tentang logika.
a. Edwin W. Patterson, 1942. Logika sebagai “aturan tentang cara berpikir
lurus” (the rules of straight thinking).
b. David Stewart dan H. Gene Blocker, 1996. dalam buku Fundamentals of
Philosophy merumuskan logika sebagai ‘thinking about thinking’.
c. Irving M. Copi & Cohen Carl , 1997, dalam buku Introduction to Logic
merumuskan logika sebagai ‘ilmu yang mempelajari metode dan hukum-
hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dari
penalaran yang salah’.
d. Aristoteles. Logika diartikan sebagai ajaran tentang berpikir yang secara
ilmiah yang membicarakan tentang bentuk pikiran itu sendiri serta hukum-
hukum yang menguasai pikiran tersebut. Berdasarkan Logika Aristoteles,
seperti yang dikatakan di atas, berpusat dengan apa yang di namakan
silogisme. Jadi, Silogisme memiliki arti berupa argumentasi yang di
dalamnya terdiri dari 3 proposisi, kemudian dibedakan dari 2 unsur yakni :
1) Berbagai hal tentang sesuatu yang di namakan “subjek”,
2) Kemudian beberapa hal yang di namakan “predikat”. Berdasarkan dari
Argumentasi silogisme akan menciptakan proposisi ketiga dari dua
proposisi tersebut atau telah di ketahui. Sehingga kunci utama agar
dapat mengerti apa itu silogisme adalah berupa term yang digunakan
pada suatu keputusan pertama atau kedua.
e. Poespoprodjo, Ek. T. Gilarso, dalam pandangan beliau logika diartikan
sebagai ilmu dan kecakapan menalar, berpikir dengan tepat.
f. Jan Hendrik Rapar, Logika diartikan sebagai sebuah pertimbangan akal
atau pikiran yang diatur lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa.
g. Soekadijo, mengemukakan pandangan beliau tentang logika. Menurut
beliau Logika diartikan sebagai suatu metode atau teknik yang diciptakan
untuk meneliti ketepatan menalar.
h. William Alston, Logika diartikan sebagai studi tentang penyimpulan, secara
lebih cermat usaha untuk menetapkan ukuran-ukuran guna memisahkan
penyimpulan yang sah dan tidak sah.
Logika adalah alat untuk memperjelas dan mengevaluasi penalaran serta
bisa dibuat jalan dari premis menuju kesimpulan. Logika mempelajari bentuk-
bentuk penalaran yang seperti contoh matematika, fisika, etika, hukum dll.
Logika merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang objek materialnya
adalah berpikir dengan penalaran. Dimana penalaran sendiri merupakan
proses berfikir manusia yang bertolak dari indera dengan menghubung
hubungkan dan atau fakta yang ada dalam menarik kesimpulan yang
nantinya akan menghasilkan konsep dan pengertian yang rasional.
Logika dan penalaran hukum merupakan kegiatan berfikir yang
problematikanya terstruktur dari subjek hukum atau manusia sebagai mahluk
individu dan mahluk sosial di lingkungan kebudayaannya. Logika dan
penalaran hukum berbeda dengan logika dan penalaran umum. Logika dan
penalaran hukum memiliki karakteristik tersendiri, Sebab Hukum merupakan
seperangkat peraturan berupa norma-norma yang bersifat mengikat serta
memaksa dalam mengatur tingkah laku manusia yang mengandung sanksi
bagi pelanggarnya.
Logika adalah suatu cabang filsafat yang membahas tentang aturan-
aturan, asas-asas, hukum-hukum dan metode atau prosedur dalam mencapai
pengetahuan secara rasional dan benar, juga merupakan suatu cara untuk
mendapatkan suatu pengetahuan dengan menggunakan akal pikiran, kata
dan bahasa yang dilakukan secara sistematis.
Logika dapat disistematisasikan menjadi beberapa golongan hal tersebut
tergantung dari perspektif mana kita melihatnya dilihat dari kualitasnya logika
dapat dibedakan menjadi dua yakni logika naturalis (logika alamiah) dan
logika artifisialis (logika ilmiah).
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu
kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan
makhluk yang berpikir, merasa, bersikap, dan bertindak. Sikap dan
tindakannya yang bersumber pada pengetahuan yang didapatkan melalui
kegiatan merasa atau berpikir.
Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan
berpikir. Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu
kesimpulan yang berupa pengetahuan. Jadi penalaran merupakan salah satu
atau proses dalam berpikir yang menggabungkan dua pemikiran atau lebih
untuk menarik sebuah kesimpulan untuk mendapatkan pengetahuan baru.
Dalam melakukan penalaran hukum maka langkah (metode) utama yang
digunakan adalah dengan mencari inti dari suatu permasalahan, untuk
mengetahui inti dari permasalahan tersebut maka diperlukan kemampuan
mengidentifikasi problema hukum. Untuk dapat melakukan identifikasi
permasalahan hukum, subjek hukum (manusia) harus mengerti konsep-
konsep dalam hukum serta proporsi dalam hukum, agar dapat memilah fakta
yang relevan dan yang kurang relevan. Sehingga bisa
menghubungkan sumber hukum dan struktur kasus yang ada dengan begitu
suatu permasalahan dapat terpecahkan.

2. Kedudukan Logika dan Penalaran Hukum dalam Filsafat Hukum


Menurut Suhartono Manusia mempunyai kemampuan menalar, artinya
berpikir secara logis dan analitis. Kelebihan manusia dalam kemampuannya
menalar dan karena mempunyai bahasa untuk mengkomunikasikan hasil
pemikirannya yang abstrak, maka manusia bukan saja mempunyai
pengetahuan, melainkan juga mampu mengembangkannya. Karena
kelebihannya itu maka Aristoteles memberikan identitas kepada manusia
sebagai “animal rationale”.1
Seiring dengan perkembangan zaman, manusia sering mengabaikan atau
bahkan melupakan logika dalam berfikir dan membuat aturan. Kebanyakan
orang-orang tersebut menganggap remeh tentang logika dan berfikir
seenaknya saja, mereka mengiginkan suatu hal yang mudah dan praktis.
Sehingga yang terjadi adalah kejanggalan-kejanggalan dalam komunitas
masyarakat banyak apabila ditinjau dari filsafat hukum.
Dalam Filsafat Hukum perlu disadari bahwa sesuatu yang logis biasanya
akan mudah dipahami oleh nalar kita tetapi sesuatu yang tidak logis kadang
bertentangan dengan pikiran dan hati kita. Dalam banyak hal kita sering
mengalami berbagai kejadian yang kita pikir tidak logis misalnya ada yang
jelas-jelas melakukan korupsi dengan uang milliaran rupiah bahkan triliunan

1
Suparlan Suhartono, Sejarah Pemikiran Filsafat Modern, Ar Ruzz Media, Yogyakarta, 2005. Hlm. 1.
rupiah tapi di mata hukum disamakan dengan seorang pencuri seekor ayam.
Ada juga yang jelas terbukti bersalah tetapi tidak tersentuh oleh hukum. Atas
dasar realitas tersebut diperlukan suatu logika dalam kehidupan manusia
agar kita mengetahui kapan saatnya berpikir logis, kapan saatnya berpikir
tidak logis, setiap tempat dan waktu ada logikanya, setiap logika ada waktu
dan tempatnya. Memahami hakikat keduanya haruslah dengan baik dan
benar justru kita menempatkan diri dalam segala keadaan serta proporsional
di tengah manusia yang bervariasi tingkat logika dan pemikirannya.
Peristiwa yang terjadi pasti menimbulkan penalaran, apakah sesuai dengan
kehendak berpikir atau tidak sesuai sama sekali. Maka dengan demikian
penggunaan logika dalam konteks filsafat hukum sangat dibutuhkan, hal ini
menunjukkan sejauh mana kapasitas individu tersebut dalam memanfaatkan
dan memaksimalkan potensi diri.
Secara sederhana, berfikir filosofis adalah berpikir secara kritis, mendalam
sampai akar-akarnya serta dapat dipertanggungjawabkan. Pengertian
sederhana tersebut dapat ditarik kesimpulan sederhana bahwasannya
peranan logika dalam berfikir filosofis menduduki peranan sentral.
Meskipun demikian, para filosof klasik tidak memperkenalkan logika dalam
bangunan konsep yang dia bangun. Seperti Aristoteles, meski membuat
karya tentang dasar-dasar logika, berpendapat bahwa logika bukan termasuk
dari bagian Filsafat (berfikir secafar filosofis, red), namun merupakan bagian
sebelum dari filsafat itu sendiri, logika adalah sebuah persiapan sebelum
memasuki dunia berpikir secara filosofis.

3. Kedudukan Logika dan Penalaran Hukum dalam Ilmu Hukum


Ilmu Hukum (Jurisprudence) dalam filsafat ilmu pengetahuan termasuk
dalam ilmu yang menyandarkan diri pada ratio sehingga kebenaran yang
dicari harus berdasar penggunaan logika deduktif dan perolehan kebenaran
harus “koherensi”. Koherensi adalah keserasian atau perpaduan gagasan,
ide, dan fakta yang terbentuk menjadi untaian yang logis.
Hukum itu bukanlah sesuatu wujud yang menampak tersimak, melainkan
suatu konsep. Sebagai suatu konsep, hukum akan berada di suatu ranah
abstrak, yang sains empirik macam apapun tak akan mungkin dapat
menggapainya begitu saja. Berada di ranah yang abstrak, wacana tentang
hukum tentulah merupakan wacana falsafati, atau setidak-tidaknya mesti
bermula dari suatu wacana yang falsafati sifatnya.
Konsep itu sesungguhnya merupakan hasil persepsi, namun memproses
hasil persepsi (yang individual dan subjektif) menjadi suatu konsep (yang
kolektif dan intersubjektif) harus berdasar pada suatu paradigma yang
diterima sebagai pangkal atau dasar pemikiran bersama, betapapun
asumtifnya. Dengan demikian menjadi jelas bahwa hukum yang bersifat
preskriptif atau normatif menyandarkan dirinya pada ratio, yang terbentuk
berdasar konsep yang terpersepsi. Penalaran yang dilakukan harus
menggunakan logika deduktif sedangkan kebenaran yang diperoleh adalah
“koherensi”. Hukum sebagai suatu konsep maka akan berada di suatu ranah
nomenon dan bukan ranah phenomenon. Nomenon berarti yang tersembunyi
dan ” phenomenon” adalah yang tampak.
Apakah persyaratan agar suatu jalan pikiran menghasilkan kesimpulan
yang benar? Secara teoritik dikenal kriteria untuk menghasilkan kesimpulan
yang benar yaitu (1) Teori Koherensi, teori ini menyatakan bahwa suatu
pernyataan dianggap benar jika pernyataan tersebut bersifat koheren atau
konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar;
(2) Teori Korespondensi, teori ini menyatakan suatu pernyataan adalah benar
jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi
dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut.
Penalaran yang berdasarkan penggunaan logika deduktif mempergunakan
teori kebenaran koherensi, sedangkan penalaran yang bertumpu pada
penggunaan logika induktif mempergunakan teori korespondensi.
Kedudukan Logika dan Penalaran Hukum dalam Ilmu hukum adalah
sebagai :
a. Aturan interpretasi (rules of interpretation) yang dipakai untuk
mengkonstruksi makna ekspresi hukum; misalnya aturan yang terkenal,
“clara non sunt interpretanda”,
b. Aturan-aturan penyimpulan (“rules of inference”) berguna untuk
menyimpulkan konsekuensi dari aturan-aturan hukum, aturan-aturan
penalaran: per analogiam (a simili), a contrario, a fortiori (a maiori ad
minus, a minori ad maius) merupakan jenis ini;
c. “Rules of collision” (aturan tentang kontradiksi) digunakan untuk
memecahkan kontradiksi aturan-aturan hukum; aturan dari jenis ini
misalnya lex posterior derogate legi priori;
d. aturan yang dipakai untuk menentukan lingkungan faktual, aturan dari jenis
ini: in dubio pro reo (in dubio pro libertate).
e. Aturan- aturan prosedur, aturan bahwa hakim seharusnya
mempertimbangkan argumen dari kedua belah pihak, adalah jenis dari
aturan ini. Sistem aturan penalaran hukum ini, oleh sejumlah pemikir
disebut sebagai “logika hukum” (legal logic). Logika hukum pun dianggap
sebagai model logika heuristik karena pertimbangan dan argumentasi
dalam penalaran hukum tidak hanya memperhitungkan sisi logis melainkan
juga faktor-faktor lain yang menentukan makna hukum itu sendiri.
Kegunaan Logika
a. Bagi Para Hakim, berguna dalam mengambil pertimbangan untuk
memutuskan suatu kasus
b. Bagi Para Praktisi Hukum, untuk mencari dasar bagi suatu peristiwa atau
perbuatan hukum dengan tujuan untuk menghindari terjadinya pelanggaran
hukum di kemudian hari dan untuk menjadi bahan argumentasi apabila
terjadi sengketa mengenai peristiwa ataupun perbuatan hukum tersebut
c. Bagi Para Penyusun Undang-undang Dan Peraturan, mencari dasar
mengapa suatu undang-undang disusun dan mengapa suatu peraturan
perlu dikeluarkan.
d. Bagi akademisi, mencari pengertian yang mendalam tentang suatu
undang-undang atau peraturan agar tidak hanya menjalankan tanpa
mengerti maksud dan tujuannya.

C. Soal dan Tugas

Jelaskan Kembali tentang :

1. Pengertian Logika dan penalaran Hukum


2. Kedudukan Logika dan Penalaran Hukum dalam Filsafat Hukum
3. Kedudukan Logika dan Penalaran Hukum dalam ilmu Hukum

D. Daftar Pustaka

1. Abintoro Prakoso, Hukum, Filsafat, Logika, dan Argumenytasi Hukum,


LaksBang Justitia, Surabaya, 2015
2. Sukarno Aburaera, Filsafat Hukum, Teori dan Praktek, Fajar Interpratama
Mandiri, 2016
3. Soetjipto Wirosardjono, Dialog Dengan Kekuasaan, Mizan 1995
4. Amsal Bakhtiar, Filsafa Ilmu, Raja grafindo Persada, 2016
5. Muhamad Syukri Albani Nasution dan Zul Fahmi Lubis, Hukum Dalam
pendekatan Filsafat, Fajar Interpratama Mandiri, 2017
6. Zainudin Ali, Filsafat Hukum, Sinar Grafika 2011
7. Budiono Kusumo Hadidjojo, Filsafat Hukum, Problematika Ketertiban Yang
Adil, Manda Maju,, Bandung, 2011
8. Deskartez, Spinoza, Berkeley, Menguak Tabir Pemikiran Filsafat, Sociality
Bandung, 2017
9. Bernard L.Tanya, Yoan N. Simajuntak, dan Markus Y. Huge, Teori Hukum,
Strategi Tertib Manusia, Lintas Ruang dan Generasi, Genta, 2013
10. Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT.
Gramdia Pustaka UItama, Jakarta, 2008
11. Fokky Fuad Wasitaamadja, Filsafat Hukum, Akar Religiositas Hukum,
Kharisma Putera Utama, 2015
12. Suri Ratnapala, Jurisprudence, Camridge University, 2009
13. The Liang Gie, Teori-Teori Keadilan, Super, Yogyakarta, 1979
14. I Dewa Gede Atmadja, Perdebatan Akan Derajat Keilmuan Dari Ilmu
Hukum, Suatu Renungan Filsafat Hukum, Dalam Kartha Patrikha, No.58
Tahun XVIII, Maret 1992
15. Sudikno Martokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra
Aditya Bhakti 1993
16. Punadi Purwacaraka dan Soerjono Soekanto,Perihal Kaedah Hukum,
Alumni Bandung, 1979.

Anda mungkin juga menyukai