Anda di halaman 1dari 3

PARADOKS KEADILAN DALAM PENALARAN HUKUM

Abdil Haq Aqimuddin Qowi

150710101419

Fakultas Hukum Universitas Jember

Sebagai pakar hukum atau minimal sebagai orang yang berkecimpung


dalam dunia hukum mengharuskan seseorang untuk memahami penalaran hukum
(legal reasoning), karena tidak dapat dipungkiri dalam setiap perbuatan yang akan
dilakukan harus berpatokan pada hal tersebut. Pembuatan akta jual-beli,
penyusunan surat kuasa, hingga pembuatan tuntutan adalah beberapa contoh hal-
hal yang mewajibkan pemahaman penalaran hukum dalam pembuatannya.
Sehingga memang penalaran hukum harusnya melekat pada setiap insan-insan
hukum.

Penalaran hukum (legal reasoning) sendiri dapat didefinisikan sebagai


”Suatu kegiatan untuk mencari dasar hukum yang terdapat di dalam suatu
peristiwa hukum,baik yang merupakan perbuatan hukum (perjanjian, transaksi
perdagangan, dll) ataupun yang merupakan kasus pelanggaran hukum (pidana,
perdata,ataupun administratif) dan memasukkannya ke dalam peraturan hukum
yang ada.”1 Sedangkan tujuan terbesar dari penalaran hukum ialah tercapainya
pemahaman hukum yang mampu bersikap adil. Memang tidak dapat dipungkiri
bahwa grand design dari setiap produk hukum adalah tercapainya keadilan,
namun hal itu sulit tercapai dengan tidak dibarengi oleh penalaran hukum yang
baik dan benar. Bahkan justru dengan penalaran hukum yang salah dan sesat
menjadikan produk-produk hukum sebagai alat pembungkam dan pembunuh
keadilan. Oleh karena itu maka penalaran hukum adalah satu hal yang penting

1
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/2125_Legal%20Reasoning_Bp.%20Wasis
%20Susetio.ppt%20%5BCompatibility%20Mode%5D.pdf
untuk menjadikan hukum sebagai alat yang benar-benar dapat menyajikan
keadilan yang nyata.

Keadilan adalah nilai (value) yang selama ini dicari dalam setiap lahirnya
produk hukum, sehingga keadilan sendiri sangat sulit untuk ditentukan. Teori
keadilan sendiri tidak pasti dan berbeda-beda menurut berbagai tokoh dan ahli
hukum dan filsafat. Seperti halnya menurut Aristoteles, keadilan terjadi ketika
seseorang tidak melanggar hukum yang berlaku, sehingga keadilan berarti sesuai
hukum atau (lawfull), yaitu hukum tidak boleh dilanggar dan aturan hukum harus
diikuti, serta seseorang tidak boleh mengambil lebih dari haknya, sehingga
keadilan berarti persamaan hak (equal).2 Sehingga Aristoteles menyimpulkan
keadilan adalah lawfull dan equal. Padahal menurut Jimly Asshiddiqie Keadilan
adalah pemenuhan keinginan individu dalam suatu tingkat tertentu. Keadilan yang
paling besar adalah pemenuhan keinginan sebanyak-banyaknya orang.
Pemenuhan keadilan sehingga suatu keadaan layak disebut adil adalah sesuatu
yang sulit. Hal tersebut tidak dapat dijawab berdasarkan pengetahuan rasional.
Jawaban pertanyaan tersebut adalah suatu pembenaran nilai. 3 Dari pendapat dua
tokoh itu saja dapat dilihat bahwa pendefinisian keadilan sudah mulai muncul
dimana Aristoteles mengatakan bahwa keadilan adalah suatu hal yang rasional
yakni dapat dinilai dari kepatuhan pada hukum dan penempatan hak yang sesuai,
sedangkan menurut Jimly keadilan adalah hal yang sulit dijawab dengan
pengetahuan rasional karena keadilan ditentukan oleh pembenaran nilai. Dari
perbedaan tersebut akan memunculkan paradoks keadilan pada produk-produk
hukum serta penalaran-penalaran hukum.

Berkaca pada produk-produk hukum yang telah ada, paradoks keadilan


tersebut jelas sekali terlihat. Penyamarataan subjek-subjek hukum dalam setiap
produk hukum sendiri adalah salah satu paradoks keadilan yang benar-benar
terlihat. Summun jus summa injuria. Apabila semua orang diperlakukan sama
menurut bunyi teks hukum positif, maka perlakuan itu justru akan melukai orang

2
Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 93
3
Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi,
Jakarta, 2006, hlm. 18
itu sedalam-dalamnya. Hal ini dapat dipahami karena pendekatan tekstual
terhadap hukum akan mengorbankan kontekstualitasnya. Teks mengedepankan
kesamaan, sementara konteks menonjolkan ketidaksamaan.4 Sehingga adil dalam
pengertian undang-undang dapat juga dikatakan tidak adil karena semua subjek
hukum disamaratakan, padahal setiap subjek hukum memiliki perbedaan situasi
dan kondisi dalam setiap melaksanakan perbuatan hukum.

Paradoks-paradoks terhadap konsep keadilan yang ada adalah masalah


yang sangat besar dalam penalaran hukum, karena keadilan memang harus
mengedepankan kedua sisi, yakni penalaran sesuai hukum positif dan sesuai nilai-
nilai kemasyarakatan. Jika penalaran hukum hanya mengacu pada hukum positif
maka hanya akan melahirkan ahli-ahli hukum yang hanya paham dan mampu
menafsirkan hukum dari sisi hukum positif. Seperti yang dikatakan oleh Satjipto
Rahardjo bahwa pandangan hukum yang demikian itu menjadi bersifat optik
perskriptif, yaitu memandang hukum hanya sebagai sistem kaidah yang
penganalisisnya terlepas dari landasan kemasyarakatannya. Ilmu hukum hanya
dipandang sebagai sebuah norma untuk menghasilkan pola problem solving yang
hanya menciptakan kemahiran sebagai ahli-ahli hukum yang mahir menafsirkan
dan menerapkan hukum positif.5

Maka dari itu paradoks-paradoks akan keadilan ini harus dapat


diselesaikan dengan menggabungkan kedua pengertian tentang keadilan yakni
secara teks dan konteks, sehingga dalam penalaran hukum dapat dicapai suatu
keadilan yang sesuai dengan keadilan yang sebenarnya. Dari penyelesaian
paradoks akan konsep keadilan diharapkan dapat menimbulkan suatu penalaran
hukum yang benar-benar adil sehingga ahli-ahli hukum dapat menafsirkan hukum
sebagaimana mestinya, yakni memberikan keadilan kepada masyarakat, sehingga
konsep kemanfaatan akan hukum terpenuhi adanya.

4
https://business-law.binus.ac.id/2016/08/06/logika-keseimbangan-dan-relativitas-dalam-
perspektif-hukum/
5
Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan IImu-ilmu Sosial Bagi Pengembangan IImu Hukum, Alumin,
bandung, 1977, hlm. 35

Anda mungkin juga menyukai