Anda di halaman 1dari 24

TUGAS MATA KULIAH

PENEMUAN HUKUM

DOSEN : Prof. Dr. Sri Gambir Melati Hatta, S.H

Ringkasan Buku Penemuan Hukum Sebuah Pengantar


PENULIS : Prof. Dr. Sutikno Mertokusumo, SH

Dibuat oleh :

Mokhamad Aris
NIM : 2202220020
BAB 3
PEMECAHAN MASALAH HUKUM

Untuk apa bekal pengetahuan ilmu hukum atau materi yang diperoleh di
Fakultas Hukum itu? Kalau sudah menguasai kaidah hukum, sistem hukum dan
penemuan hukum lalu apa yang harus kita lakukan ? Bagaimanakah
menggunakannya, bagaimana harus mengoperasikannya? Apakah tujuan ilmu
hukum itu ? Jawaban inilah yang harus dikuasai oleh setiap lulusan Fakultas Hukum
atau sarjana hukum.
Sebagaimana ilmu pada umumnya, baik yang eksak maupun yang sosial
tujuannya adalah untuk memecahkan masalah, tujuannya adalah untuk "problem
solving", untuk mencari jawaban "apa'", "mengapa", dan "bagaimananya". Dalam
ilmu hukum yang harus dipecahkan adalah masalai-t masalah hukum, konflik hukum
atau kasus hukum. Jad setiap lulusan Fakultas Hukum atau sarjana hukum haru
menguasai "the power of solving legal problem", harus menguasa kemampuan untuk
memecahkan masalah-masalah hukum. Kedengarannya memang sederhana dan
mudah, tetapi dalam kenyataannya tidaklah semudah kedengarannya.
Di dalam masyarakat terdapat banyak masalah social. Dari sekian banyak
masalah sosial itu kita harus mampu menemukan atau masalah hukumnva untuk
kemudian dirumuskan dan dipecahkan. Bukanlah pekerjaan yang mudah untuk
menyeleksi masaiah hukum dari masalah masalah sosial lainnya, yang sering
tumpang tindih dengan masalah hukum dan sukar untuk dicari batasnya, seperti
masalah politik, masalah kesusilaan, masalah agama, dan sebagainya. Maka
kemampuan atau ketrampilan untuk menyeleksi dan kemudian merumuskan
masalah hukum harus dikuasai dengan berbekalkan limu hukum yang diperoleh dari
Fakultas Hukum. Setelah diseleksi maka masalah hukumnya harus dirumuskan
(legal problem identification). Sebagai contoh konkret, dapat dikemukakan kegiatan
hakim dalam memeriksa perkara. Setelah peristiwa konkretnya diseleksi melalui
proses tanya jawab, maka kemudian peristiwa konkret itu dibuktikan untuk
dikonstalasi (dan sekaligus dirumuskan dan diidentifikasi) bahwa benar-benar telah
terjadi.
Kalau masalah hukumnya telah diketemukan dan dirumuskan, masih perlu
diketahui masalah hukum itu masalah hukum yang mana : hukum perdata, hukum
dagang, hukum agraria, hukum pidana, dan sebagainya. Antara masalah hukum
perdata dengan masalah hukurn pidana sering tidak tajam batasnya : antara ingkar
janji, perbuatan melawan hukum dan perbuatan pidana, antara penggelapan dan
pencurian.
Setelah diketemukan masalah hukumnya dengan menggunakan penemuan
hukum, harus dicari pemecahannya (legal problem solving). Kalau misalnya sudah
diketahui bahwa masalah itu merupakan utang piutang, harus dipecahkan siapakah
yang bersalah atau bertanggung jawab dan dicari hukumnya untuk diterapkan. Kalau
terjadi pembunuhan harus dicari siapa pelakunya dan hukumnya untuk diterapkan.
Dalam kita mempelajari hukum kita dihadapkan pada peristiwa konkret, kasus atau
konflik yang memerlukan pemecahan dengan mencari hukumnya. Adapun bekal
untuk memecahkan konflik itu adalah pengetahuan tentang kaidah hukum, sistem
hukum, dan penemuan hukum. Setelah pemecahan masalah hukum perlu diberi
hukumnya, haknya atau hukumannya. Di sini harus diambil keputusan (decision
making).
Tidaklah dapat diharapkan bahwa setiap lulusan Fakultas Hukum itu siap
pakai dalam arti langsung dapat dipekerjakan di bidang profesional tertentu seperti
sebagai hakim, jaksa, di lingkungan bank, dan sebagainya. Tidaklah mungkin
seorang satjana hukum, yang baru saja lulus langsung disuruh menjalankan
pekerjaan sebagai hakim dengan memeriksa dan mengadili perkara, karena
memerlukan kesiapan mental dan keterampilan khusus. Untuk itu perlu latihan,
penataran, atau magang selama beberapa bulan terlebih dahulu.
Tetapi pada hakikatnya penting dan mutlak untuk dikuasai ialah "the power of
solving legal problems", karena di bidang profesi hukum manapun seorang sarjana
hukum bekerja nantinya selalu akan dihadapkan pada masalah hukum yang harus
dipecahkannya. Jadi kaidah hukum, sistem hukum, dan penemuan hukum adalah
bekal yang digunakan dalam memecahkan masalah hukum.
Tidak boleh dilupakan bahwa di samping apa yang disebutkan di atas
seorang sarjana hukum harus jeli dan tanggap mengikuti perkembangan
masyarakat. Janganlah bersikap konservatif formalistis dan apriori menutup mata
terhadap perkembangan dalam masyarakat. Seorang sarjana harus bekerja sesuai
dengan profesinya terutama dalam hal penegakan hokum , harus mempunyai sikap
ilmiah, jujur, berani mencari dan mempertahankan kebenaran serta berani mengakui
kesalahan dan memperbaikinya.
BAB 4
PENEMUAN HUKUM

A. Peristilahan
Sering dipermasalahkan mengenai istilah "penemuan Hukum": apakah tidak
lebih tepat istilah pelaksanaan hukum, penerapan hukum, pembentukan hukum,
atau penciptaan hukum.
Pelaksanaan hukum dapat berarti menjalankan hukum tanpa adanya
sengketa atau pelanggaran. Ini meliputi pelaksanaan hukum oleh setiap warga
negara setiap hari yang sering tidak disadarinya dan juga oleh aparat negara, seperti
seorang polisi yang berdiri di perempatan jalan mengatur lalu lintas (law
enforcement). Di samping itu, pelaksanaan hukum dapat terjadi kalau ada sengketa,
yaitu yang dilaksanakan oleh hakim. Ini sekaligus merupakan penegakan hukum.
Penerapan hukum tidak lain berarti menerapkan (peraturan) hukum ynng
abstrak sifatnya pada peristiwanya. Menerapkan (peraturan) hukum pada peristiwa
konkret secara langsung tidak mungkin. Peristiwa konkret itu hams dijadikan
peristiwa hukum terlebih dahulu agar peraturan hukum.
Sedangkan istilah penciptaan hukum kiranya kurang tepat, karena memberi
kesan bahwa hukumnya itu sama sekali tidak ada, kemudian diciptakan : dari tidak
ada menjadi ada. Hukum bukanlah selalu berupa kaidah baik tertulis maupun tidak
tetapi dapat juga berupa perilaku atau peristiwa. Di dalam perilaku itulah terdapat
hukumnya. Dari perilaku itulah harus diketemukan atau digaii kaidah atau
hukumnya (lihat pas 5 (1) UU no 48 th 2009). Maka kiranya istilah penemuan
hukumlah yang tepat.

B. Batasan
Kegiatan kehidupan manusia itu sangat luas, tidak terhitung jumlah dan
jernisnya sehingga tak mungkin tercakup dalam satu peraturan perundang-
undangan yang tuntas dan jelas, sehingga tak ada peraturan perundang-undangan
yang lengkap selengkap-iengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya. Oleh karena
hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas, harus dicari dan diketemukan.
Perhatian dan kesadaran akan sifat dan tugas peradilan telah berlangsung
lama dan ajaran penemuan hukum, ajaran penafsiran hukum, atau metode yuridis ini
dalam abad 19 dikenal dengan hermeneutik yuridis (hermeneutika = ilmu
penafsiran).
Apa yang dimaksud dengan penemuan hukum lazimnya adalah proses
pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk
penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkret. Lebih lanjut
dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau
individualisasi peraturan hukum (das Sollen) yang bersifat umum dengan mengingat
akan peristiwa konkret (das Sein) tertentu (baca juga van Eikema Hornmes, tanpa
tahun: 25, 32). Hakim selalu dihadapkan pada peristiwa konkret, konflik, atau kasus
yang harus diselesaikan atau dipecahkannya dan untuk itu perlu dicarikan
hukumnya.
Jadi dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan
atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkret. Menurut ajaran hukum
fungsional dari Ter Heide yang penting ialah pertanyaan bagaimana dalam situasi
tertentu dapat diketemukan pemecahannya yang paling baik yang sesuai dengan
kebutuhan kehidupan bersarna dan dengan harapan yang hidup di antara para
warga masyarakat terhadap "permainan kemasyarakatan" yang dikuasai oleh
"aturan permainan" (Wiarda, 1988:40). Di sini bukan hasil kegiatan penemuan
hukum yang rnerupakan titik sentral, walaupun tujuannya adalah menghasilkan
putusan, melainkan metode yang digunakan, bahwa hakim menghadapi perstiwa
konkret atau konflik, sedangkan pembentuk undang-undang tidak. Yang dihadapi
oleh pembentuk undang-undang bukanlah pertanyaan "Bagaimanakah saya
memecahkan konflik konkret ini?" melainkan pertanyaan "Bagaimanakah saya
seyogianya menyelesaikan atau memecahkan peristiwa abstrak tertentu (yang
belumterjadi,tetapibesar kemungkinannya akan terjadi) di waktu mendatang?". Jadi
sifatnya adalah preskriptif. HasiI penemuan hukum oleh pembentuk undang-undang
inipun merupakan hukum karena mempunyai kekuatan, mengikat sebagai hukum
sebab dituangkan dalam bentuk undang-undang sekaligus merupakan sumber
hukum.
Selanjutnya dosen serta peneliti hukum di dalam penulisan dan
pembahasannya melakukan penemuan hukum juga yang sifatnya teoritis, sehingga
hasil penemuan hukumnya bukan merupakan hukum, karena tidak mempunyai
kekuatan mengikat, melainkan merupakan sumber hukum (doktrin).
Kecuali itu yang melakukan penemuan hukurn juga adalah notaris. Notaris
menghadapi masalah hukum yang diajukan oleh kliennya untuk dibuatkan akta.
Notaris harus menemukan hukumnya dari peristiwa konkret yang diajukan oleh klien
untuk kemudian dibuatkan aktanya. Hasil penemuan hukum oleh notaris adalah
hukum karena berbentuk akta yang berisi kaidah-kaidah hukum dan mempunyai
kekuatan mengikat serta sekaligus rnerupakan sumber hukum. Uraian tentang
penernuan hukum ini dibatasi pada penemuan hukum oleh hakim.

C. Sistem Penemuan Hukum


Apa pada hakikatnya yang dilakukan oleh hakirn apabila ia menghadapi
peristiwa konkret, kasus, atau konflik ? la harus rnemecahkan atau
menyelesaikannya dan untuk itu ia harus tahu, mencari atau menemukan
hukumnya, untuk diterapkan pada kasusnya.
Menurut pandangan Klasik yang dikemukakan nleh Montesquieu dan Kant,
hakim dalam menerapkan undang-undang terhadap peristiwa hukum
sesungguhnya tidak menjalankan peranannya secara mandiri. Hakim hanyalah
penyambung lidah atau corong undang-undang (bouche de la loi), sehingga tidak
dapat mengubah kekuatan hukum undang-undang, tidak dapat menambah dan tidak
pula dapat menguranginya. Ini disebabkan karena menurut Montesquieu undang-
undang adalah satu-satunya sumber hukum positif. Oleh karena itu, demi kepastian
hukum, kesatuan hukum, serta kebebasan warga negara yang terancam oleh
kebebasan hakim, hakim harus ada di bawah undang-undang. Berdasarkan
pandangan ini, peradilan tidak Iain hanyalah bentuk silogisme. Silogisme adalah
bentuk berpikir logis dengan mengambil kesimpulan dari hal yang umum (premis
mayor) dan hal yang khusus (premis minor). Premis mayomya adalah undang-
undang ("Barangsiapa mencuri dihukum"), premis minornya adalah peristiwa atau
kasusnya (Suto mencuri), sedangkan putusannya merupakan kesimpulan yang Iogis
(Karena Suto mencuri, harus dihukum). Karena kesimpulan logis itu tidak prnah
berisi lebih darl isi premis, undang-undang tidak akan berisi lebih dari yang terdapat
dalam undang-undang dalam hubungannya dengan peristiwa hukum. Demikian pula
suatu putusan hakim tidak akan berisi atau meliputi lebih dari apa yang terdapat
dalam undang-undang yang berhubungan dengan peristiwa konkret.

D. Dasar Hukum Positif


Telah diuraikan diatas mengenai landasan dan system penemuan hukum.
Adakah kiranya dasar hukum positif. Dalam pasal 1 (1) UU no. 48 tahun 2009
ditentukan bahwa kekuasan kehakiman adalah kekuasan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
“Merdeka” disini berarti bebas. Jadi kekuasaan kehakiman adalah bebas untuk
menyelenggarakan peradilan. Kebebasan kekuasaan
kehakiman atau kebebasan peradilan atau kebebasan hakim merupakan atau
asas universal yang terdapat dimana-mana, baik dinegara-negara Eropa Timur,
maupun di Amerika, Jepang, Indonesia dan sebagainya. Asas kebebasan peradilan
merupakan dambaan setiap bangsa. Yang dimaksud dengan kebebasan peradilan
atau hakim ialah bebas untuk mengadili dan bebas dari campur tangan dari pihak
ekstra yudisiil.
BAB 5
SUMBER DAN METODE PENEMUAN HUKUM

A. Sumber Penemuan Hukum


Sumber penemuan hukum tidak lain adalah sumber atau tempat terutama
bagi hakim dapat menemukan hukumnya. Telah dikemukakan bahwa peraturan
perundang- undangan itu tidak lengka dan tidak jelas. Tidak ada peraturan
perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas-
jelasnya. Peraturan perundang-undangan dimak.sudkan untuk mengatur kegiatan
kehidupan manusia. Kegiatan kehidupan manusia itu sedemikian luasnya, sehingga
tidak terhitung lagi jenis dan jumlahnya. Dengan demikian, tidak mungkin satu
peraturan perundang-undangan mengatur atau mencakup seluruh kegiatan
kehidupan manusia. Wajarlah kalau tidak ada peraturan perundang-undangan yang
lengkap selengkap-lengkapnya atau selalu jelas sejelas-jelasnya.
Sumber utama penemuan hukum adalah peraturan perundang-undangan,
kemudian hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian intemasional, barulah doktrin.
Jadi terdapat hierarkhi atau kewerdaan dalam sumber hukum.
Seperti telah diketahui, undang-undang itu terdiri dari konsiderans, batang
tubuh, dan ketentuan peralihan. Konsiderans berisi_pertimbangan mengapa
diterbitkan undang-undang yang bersangkutan. Pada umumnya, alinea-alinea dalam
konsiderans diawali dengan Menimbang…. ", Membaca .....", "Mengingat ......." atau
"Berpendapat ". Yang akhir ini disebut desideratum. Di dalam konsiderans sering
juga dimuat tentang pencabutan peraturan perundang-undangan (lihat UUPA).
Batang tubuh merupakan bagian utama undang-undang yang berisi pasal-pasal.
Bagian-terakhir undang-undang ialah Ketentuan Peralihan, yang fungsinya untuk
memelihara kesinambungan berlakunya kaidah hukum, mencegah terjadinya
kekosongan hukum (rechtsvacuum). Undang-undang merupakan sumber hukum
yang penting dan utama. Akan tetapi, perlu diingat bahwa undang-undang dan
hukum tidaklah identik.
Tidaklah mudah membaca undang-undang, karena tidak hanya membaca
bunyi kata-katanya saja ("naar de letter van de wet"), tetapi harus pula mencari arti,
makna, atau tujuannya. Selain itu, apa yang dalam undang-undang berlaku sebagai
hukum bagi peristiwa konkret tertentu tidak secata langsung dapat dilihat dengan
mudah dalam undang-undang. Di sini masalahnya bukanlah tahu atau hafal isi
undang-undangnya, tetapi masalahnya ialah bagaimana menggunakannya.
Oleh karena itu, membaca undang-undang tidaklah cukup dengan membaca
pasal-pasalnya saja, tetapi harus pula dibaca penjelasan-penjelasannya dan juga
konsideransnya. Bahkan, mengingat bahwa hukum itu adalah satu sistem, maka
untuk memahami suatu pasal dalam undang-undang atau untuk memahami suatu
undang-undang sering harus dibaca juga pasal-pasal lain dalam satu undang-
undang itu atau peraturan perundang-undangan yang lain. Hakim itu tidak
sepantasnya ditanggung oleh yang diputus bebas dengan membuka kemungkinan
untuk mengajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembaIi bagi pihak kejaksaan,
yang akan memgjkan bagi yang diputus bebas. Bahkan ada ungkapan lain yang
berbunyi, bahwa lebih baik membebaskan orang yang bersalah dari pada
menghukum orang yang tidak bersalah.
Kalau ternyata dalam peraturan perundang-undangan tidak ada ketentuannya
atau jawabarmya, barulah kita mencari dalam hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan
adalah hukum yang tidak tertulis. Untuk menemukan harus dengan cara bertanya
kepada warga atau tokoh masyarakat yang dianggap tahu. Kebiasaan adalah
perilaku yang diulang. Tidak setiap kebiasaan mempunyai kekuatan hukum atau
mengikat. Kebiasaan merupakan hukum kebiasaan apabila kebiasaan itu dianggap
mengikat. Dalarn hal ini, perilaku itu harus diu]ang yang berlangsung untuk
beberapa waktu lamanya. Untuk dapat menjadi hukum kebiasaan, suatu perilaku itu
harus berlangsung dalam waktu lama, berulang-ulang (longa et inveterate
consuetudo), dan harus menimbulkan keyakinan umum (opinio neccessitatis) bahwa
perilaku yang diulang itu memmang patut secara objektif dilakukan, bahwa dengan
melakukan perilaku itu berkeyakinan melakukan suatu kewajiban hukum (die
normatieve Kraft ties Faktischen = kekuatan normatif dari perilaku yang diulang).
Hukum kebiasaan pada umumnya melengkapi undang-unddang dan tidak
dapat mengesampingkan undang-undang (pas. 15 AB). Akan tetapi, dalam keadaan
tertentu, hukum kebiasaan mengalahkan undang-undang : hukum kebiasaan
mengalahkan undang-undang yang bersifat pelengkap.
Membaca dan menganalisis putusan pengadilan tidak selalu mudah, karena
pada umllmnya bahasa .atau konstruksi kalimatnya panjang-panjang dan berputar-
putar, sehingga diperlukan kesabaran, ketekunan, dan ketelitian untuk
membacanya. Itu semuanya pada hakikatnya adalah demi kepastian hukum.
Membaca putusan tidak cukup hanya membaca dictum atau amarnya saja,
tetapi pertimbangan mengenai duduk perkaranya dan pertimbangan hukumnya tidak
kurang pcntingnya untuk dibaca, karena peristiwa konkret merupakan dasar
penemuan hukum yang harus diterjemahkan dalam bahasa hukum, kemudian
dicarikan hukumnya dan akhimya diputuskan. Bahkan membaca kaidah hukumnya
saja yang telah diseleksi dan dimuat tersendiri dan diletakkan dalam suatu bingkai
daldm buku-buku kumpulan yurisprudensi tidaklah cukup. Kecuali itu membaca
putusan dalam tingkat peradilan pertama saja, tetapi tidak cukup hanya membaca
putusan dalam peradilan pertama saja tetapi harus pula dilengkapi dengan
membaca putusan dalam tingkat banding atau kasasi kalau ada.
Apa yang harus diperhatikan dalam menganalisis putusan ialah siapa para
pihaknya dan apa peranannya (sebagai penggugat, tergugat, pemohon banding,
terbanding, dan sebagainya), peristiwa yang menjadi sengketa (untuk ini perlu
dipelajari upaya-upaya hukum yang digunakan), kemudian penerapan hukumnya.
Pada dasarnya yang dicari dalam membaca putusan ialah kaidah hukum
yang terdapat dalam putusan itu. Membaca putusan Mahkamah Agung pada
umumnya sukar dan melelahkan dibandingkan dengan membaca putusan-pulusan
pengadilan negeri, karena pertimbangan Mahkamah Agung lebih dipusatkan pada
masalah-masalah penafsiran yang sangat rinci.
Doktrin merupakan sumber penemuan hukum iuga. Mengenai definisi
perjanjian misalnya memang terdapat dalam pasal 1313 KUHPerd, tetapi karena
terlalu umum dan tidak jelas, maka doktrin membantu dengan mernberi batasan
tentang perjanjian.
Telah diketengahkan di muka bahwa hukum tidak hanya berwujud norm atau
kaidah saja, tetapi dapat berwujud perilaku juga. Pada perilaku manusia terdapat
hukumnya. Dari perilaku manusia lahir hukum. Oleh karena itu, di samping sumber
sumber hukum seperti yang telah diuraikan di atas masih ada sumber hukum yang
berupa perilaku baik yang bersifat aktif (perbuatan konkret) maupun yang bersifat
pasif seperti sikap (iktikad).
Perilaku manusia itu didorong oleh kepentingan manusia, sedangkan
kepentingan manusia merupakan objek perlindungan hukum. Oleh karena itu, tidak
boleh dilupakan bahwa kepentingan manusia merupakan sumber hukum juga.

B. Metode Penemuan Hukum


Telah dikemukakan bahwa peraturan perundang-undangan itu tidak jelas dan
tidak pula lengkap. Oleh karena itu harus diketemukan hukumnya dengan
menjelaskan, menafsirkan, atau melengkapi peraturan perundang-undangannya.
Untuk menemukan hukumnya tersedia beberapa metode penemuan hukum.
Dalam hal peraturan perundang-undangannya tidak jelas, tersedialah metode
interpretasi atau metode penafsiran. Telah lama ajaran interprestasi atau penemuan
hukum ini dikenal, yang disebul hermeneutik yuridis atau metode yuridis.
Penafsiran tidak hanya dilakukan oleh hakim, tetapi jugu oleh peneliti hukum,
dan mereka yang berhubungan dengan kasus atau konflik dan peraturan-peraturan
hukum. Yang akan diuraikan di sini adalah penafsiran oleh hakim, karena
penafsirannya itu mempunyai wibawa karena dituangkan dalam putusan.
Kalau kita bicara tentang penafsiran oieh hakim, yang dimaksudkan tidak lain
adalah penafsiran atau penjelasan yang harus menuju kepada penerapan (atau
tidak menerapkan) suatu peratu.ran hukum umum terhadap perisliwa konkret yang
dapat diterima oleh masyarakat. Ini bukan berarti sekadar menerapkan peraturan,
bukan sekadar melakukan subsumpsi.
Lazimnya dibedakan antara pelbagai metode-metode interpretasi, tetapi tidak mudah
dapat dipisahkan satu sama lain. Mengenai batasan atau definisi masing-masing,
metode tidak_ada kata sepakat.
Pelbagai motode interpretasi itu merupakan argumentasi yang membenarkan
formulasi (rumusan) suatu peraturan. Disamping itu, metode interpretasi itu dapat
digunakan juga untuk membenarkan analogi penyempitan hukum.
Metode penafsiran sejak semula dibagi menjadi 4, yaitu : Interpretassi
Gramatikal, Sistematis, Historis, dan Teleologis. Disamping itu dikenal interpretasi
Komparatif dan intepretasi Antisipatif

Interpretasi Gramatikal
Hukum memerlukan Bahasa, hukum tak mungkin ada tanpa Bahasa. Oleh
karena itu Bahasa merupakan sarana penting bagi hukum : peraturan perundang-
undangan ditungkan dalam bentuk Bahasa tertulis, putusan pengadilan disusun
dalam Bahasa yang logis dan systematis, untuk mengadakan perjanjianpun
diperlukan Bahasa.

Interpretasi Sistematis atau logis


Suatu peraturan hukum atau undang-undang merupakan bagian dari
keseluruhan system hukum. Arti pentingnya suatu peraturan hukum terletak didalam
system hukum . Diluar system hukum, lepas dari hubungannya dengan peraturan-
peraturan hukum yang lain, suatu peraturan hukum tidak mempunyai arti. Dalam
penafsiran sistematis hukum dilihat oleh hakim sebagai suatu kesatuan, sebagai
suatu system peraturan. Satu peraturan tidak dilihatnya sebagai peraturan yang
berdiri sendiri, tetap merupakan suatu system.

Apakah Mayat Manusia Itu Merupakan Objek Pemilikan.


Menurut hukum perdata, benda adalah setiap barang dan hak yang dapat
dikuasai oleh hak milik, yang berarti dapat menjadi object pemilikan. Kita tidak
mengenal perbudakan sehingga manusia termasuk mayat dalam hukum perdata
tidak merupakan object perdata tidak merupakan object pemilikan. Seperti diketahui
pasal 1233 KUH Perdata berbunyai :” Tiap perikatan dilahirkan baik karena
perjanjian maupun undang-undang”. Akan tetapi, disamping perjanjian dan undang-
undang dikenal juga putusan pengadilan dan moral yang merupakan sumber
perikatan.

Interpretasi Historis
Interpretasi historis adalah penafsiran makna undang-undang menurut
terjadinya dengan jalan meneliti sejarah terjadinya. Interpretasi historis meliputi
penafsiran menurut sejarah hukumnya dan penafsiran menurut sejarah terjadinya
undang-undang. Metode interpretasi yang hendak memahami undang-undang
dalam konteks seluruh sejarah hukum disebut interpretasi menurut sejarah hukum.
Disini yang diteliti adalah ketentuan atau Lembaga hukum sepanjang sejarah. Disini
yang diteliti adalah sumber-sumber hukum yang digunakan oleh pembentuk undang-
undang. Dengan makin tuanya usia undang-undang, makin beralasan untuk
menggunakan interpretasi sosiologis.
Interpretasi Teleologis atau Sosiologis
Disini hakim menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan pementuk
undang-undang. Lebih diperhatikan tujuan dari undang-undang dari pada bunyi
kata-kata saja. Interpretasi telelogis terjadi apabila makna undang-undang itu
ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Peraturan perundang-
undangandisesuikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan
undang-undang yang sudah using digunakan sebagai sarana untuk memecahkan
atau menyelesaikan sengketa yang terjadi sekarang. MEtode ini baru digunakan
apabila kata-kata dalam undang-undang dapat ditafsirkan dengan pelbagai cara.

Interpretasi Komparatif
Pada interpretasi komparatif maka penafsiran peraturan itu dibenarkan
dengan mencari titik temu pada penyelesaian yang dikemukankan dipelbagai
negara. Terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian inetrenasional ini penting.
Diluar hukum internasional penggunaan metode ini terbatas.

Interpretasi Antispatif atau Futuristis


Pada penafsiran antisipatif maka dicari pemecahannya dalam peraturan-
peraturan yang belum memiliki kekuatan berlaku, yaitu dalam rancangan undang-
undang. Contohnya mengenai interpretasi ini kita jumpai dalam putusan mengenai
pencurian aliran listrik. Pada waktu HR pada tanggal 23 Mei 1921, memutuskan
bahwa listrik termasuk barang yang dapat dicari . Sudah direncanakan suatu
undang yang menyatakan perbuatan ini dinyatakan diancam pidana. Interpretasi ini
dapat dipertangungjawabkan sebagai metode teleogis dan fungsional, sedangkan
Langemeyer memandangnya sebagai interpretasi ekstensif.

Interpretasi Restriktif
Disini untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang, ruang lingkup
ketentuan undang-undang itu dibatasi. Ini adalah metode penafsiran dengan
mempersempit arti suatu peraturan dengan bertitik tolak pada artinya menurut
Bahasa. Menurut interpretasi gramatikal, kata “tetangga” dalam pasal 666 KUH
Perdata dapat diartikan setiap tetangga termasuk penyewa dari pekarangan
tetangga sebelah. Kalau tetangga ditafsirkan tidak termasuk tetangga penyewa
maka ini merupakan interpretasi restriktif.

Interpretasi Ekstensif
Disini dilampaui batas yang diberikan oleh penafsiran kata “menjual” dalam
pasal 1576 KUH Perdata. Sudah sejak 1906 kata menjual dalam pasal tersebut oleh
HT ditafsirkan luas, yaitu bukan hanya berarti jual beli saja, tatapi setiap peralihan
hak milik.
Menafsirkan bukan merupakan kegiatan yang rasionai logis. Dalanm
menggunakan pelbagai metode interpretasi hasilnya dapat berbeda. Hakim harus
mengambil pilihan. la harus menimbang-nimbang. la mempunyai kebebasan
menafsirkan yang harus dilakukannya, karena ia harus memutuskan yang tidak
boleh ditolaknya dan yang hanya dapal dijawabnya berdasarkan pandangan dan
penilaiannya. Ini masalah pilihan pribadi hakim. Dan pilihan itu ditentukan oleh
pandangan pribadinya tentang pertanyaan putusan manakah yang paling dapat
diterima oleh masyarakat : la harus rnendasarkan putusannya pada kelayakan dan
kepatutan. Hakim akhimya hanya akan menjatuhkan pilihannya berdasarkan
pertimbangan metode manakah yang paling meyakinkan dan yang hasilnya paling
memuaskan. Pada hakikatnya, telah mempertimbangkan untung ruginya.
Motivasi pemilihan metode interpretasi yang mana tidak pernah dijumpai
dalam yurisprudensi. Dalam pertimbangan dalam putusannya, hakim tidak pernah
mengemukakan alasan apakah yang menentukan untuk memilih metode tertentu.
Yang diutamakan adalah hasilnya, penyelesaian masalah, dan putusan yang
memuaskan. Oleh karena itu, penafsiran adalah alat bantu.
Metode-metode interpretasi itu sering digunakan bersama sama atau campur
aduk, sehingga batasnya tidak dapat ditarik secara tajam. Dapatlah dikatakan bahwa
dalam tiap interpretasi terdapat unsur-unsur gramatikal, sistematis, historis, dan
teleologis.
Tidak hanya dalam hal tidak jelasnya saja hakim harus menemukan
hukumnya, tetapi juga dalam hal hukumnya tidak lengkap atau ada kekosongan
hukum. Hakim dilarang menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih
tidak ada atau tidak lengkap hukumnya.
Untuk menemukan hukum sesuatu yang tidak diatur dalam undang-undang
harus pula diperhatikan tujuan pembentuk undang-undang dan harus pula
mengingat akan sistem. Jadi tidak "asal tidak diatur pasti dibolehkan atau dilarang".
Pasal 263 KUHAP mengatakan bahwa "terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengadukan permintaan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung''. Apakah karena jaksa tidak disebut
dalam pasal tersebut dapat ditafsirkan bahwa jaksa di samping terpidana dan ahli
warisnya boleh atau tidak dilarang mengajukan permintaan peninjauan kembali
kepada Mahkamah Agung? Memang tidak ada ketentuan tegas yang melarang
jaksa mengajukan permintaan peninjauan kembal kepada Mahkamah Agung,
sebaliknya tidak ada pula ketentuan yang tegas yang membolehkan jaksa
mengajukan permohonam peninjauan kembali, tetapi apa lalu harus otomatis
diartikan jaksa dibolehkan mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung? Yang harus dicari dalam hal ini adalah maksud pembentuk
undang-undang_Dikaitkan dengan pasal 266 KUHAP ayat (3) KUHAP yang
berbunyi, bahwa "pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjaunn kembali tidak
boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula".

Argumentatum Per Analogiam (Analogi)


Ada kalanya peraturan perundang-undangan terlalu sempit ruang Iingkupnya,
sehingga untuk dapat menerapkan undang-undang pada peristiwanya hakim akan
memperluasnya dengan metode argumentum per analogiam atau analogi. Dengan
analogi peristiwa yang serupa, sejenis, atau mirip dengan yang diatur dalam
undang-undang diperlakukan sama.

Argumentum a Contrario (a contrario)


Ada kalanya suatu peristiwa tidak secara khusus diatur oleh undang-undang, tetapi
kebalikan dari peristiwa tersebut diatur oleh undang-undang. Bagaimanakah
menemukan hukumnya? Cara menemukan hukumnya ialah dengan pertimbangan
bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu,
maka peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan -untuk peristivva di
luamya berlaku kebalikannya. Ini merupakan metode a contrario. Ini merupakan
cara penafsiran atau penjelasan undang-undang yang didasarkan pada pengertian
sebaliknya dari peristiwa konkret yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam
undang-undang. Apabila suatu peristiwa tertentu diatur, tetapi peristiwa lainnya yang
mirip tidak, maka untuk yang terakhir ini berlaku haI yang sebaliknya : dilarang
berjualan di sini, jadi parkir kendaraan boleh; pemulung dilarang masuk daerah ini,
jadi pengemis boleh; dilarang merokok; kalau begitu meludah boleh. Persoalannya
ialah apakah berdasarkan adanya unsur-unsur yang sama pada dua peristiwa.
Seringkali analogi dan a contrario dikategorikan dalam metode interpretasi.
Analogi dan a contrario merupakan bentuk penalaran (reasoning, redenering,
argumentasi). Analogi dan a contrario bukan merupakan argumentasi untuk
membenarkan rumusan peraturan tertentu, tetapi untuk mengisi kekosongan atau
ketidak-lengkapan undang-undang.
Baik argumentum per analogiam maupun argumentum a contrario berakar
pada asas keadilan: peristiwa yang sama diperlakukan sama (analog), peristiwa
yang tidak sama diperlakukan tidak sama.

Penyempitan Hukum (Rechtsverfijning)


Penyempitan hukum adalah teremahan dari kata dalam bahasa Belanda
"rechtsverfijning". "Fijn" berarti halus. Oleh karena itu, ada yang menterjemahkannya
dengan penghalusan hukum. Dalam tulisan ini digunakan terjemahan penyempitan
hukum dengan alasan seperti berikut.
Penyempitan hukum bukan merupakan argumentasi untuk membenarkan rumusan
peraturan perundangundangan. Rumusan ini terdiri dari rumusan pengecualian
terhadap peraturan perundang-undangan, karena kalau tidak maka dirumuskan
terlalu luas.
Kadang-kadang peraturan perundang-undanganitu ruang lingkupnya terlalu
umum atau luas, maka perlu dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap peristiwa
konkret tertentu.
Dalam penyempitan hukum dibcntuklah pengecualian pengecualian atau
penyimpangan-pcnyimpangan baru dari peraturan-peraturan yang bersifat umurn.
Peraturan yang bersifat umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum
yang khusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciri-ciri.
Rumusan "perbuatan meiawan hukum" dalam pasal 13,65 KUHPerd itu Iuas dan
umum ruang lingkupnya. merupakan norma kabur, sehingga untuk dapat diterapkan
pada peristiwa konkretnya harus terlebih dahulu dipersempit (penyempitan hukum)
ruang lingkupnya, harus dikonkertisasi dan dihubungkan dengan peristiwa konkret
yang bersangkutan. Agar "perbuatan melawan hukum" (onrechtmatige daad ex
pasal 1401 BWN) dapat diterapkan pada peristiwa konkret Cohen lawan Lindebaum,
HR dalam yurisprudensinya tanggal 31 Januari 1919 (W 10365) perbuatan melawan
hukum ditafsirkan sempit menjadi berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak
seseorang atau bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku atau bertentangan
dengan kesusilaan atau sikap berhati-hati yang seyogianya di dalam masyarakat
terhadap seseorang atau benda seseorang. Yurisprudensi HR tersebut merupakan
yurisprudensi tetap dan sejak itu sampai sekarang diikuti oleh pengadilan di
Indonesia. Rumusan perbuatan melawan hukum.

Metode Eksposisi
Di samping metode-metode penemuan hukum tersebut di atas masih dikenai
metode penemuan hukum lain, yaitu metode eksposisi. Metode eksposisi tidak lain
adalah metode konstruksi hukum. Metode eksposisi atau konstruksi hukum adalah
metode untuk menjelaskan kata-kata atau membentuk pengertian, bukan untuk
menjelaskan barang (Bos, 1967:134).
Metode eksposisi dibagidua, pembagian pertama meliputi metode eksposisi
verbaldan yang tidak verbal. Metode eksposisi verbal dibagi Iebih lanjut menjadi
verbal prinsipal dan verbal melengkapi.
Metode eksposisi verbal prinsipal dibagi menjadi dua, yang pertama
diterapkan pada kata-kata individual, yaitu metode individuasi. Metode individuasi
adalal penjelasan nama-nama kesatuan-kesatuan individual. Suatu nama dijelaskan
dengan individuasi, apabila diberi suatu indikasi dengan membedakan nama yang
bersangkutan dari nama lain yang mungkin mengacaukan. Pada individuasi sering
digunakan tempat atau waktu. Metode eksposisi verbal prinsipal yang kedua
diterapkan pada kata-kata lain, termasuk dalam metode ini ialah parafrase dan
definisi.
Denotatived definition ada tiga macam, yaitu pertama dengan memberi
contoh-contoh, kedua dengan menyebutkan sub class atau klas-klas yang lebih
rendah (misalnya: orang tua adalah ayah atau ibu), dan ketiga dengan menunjuk
pada suatu benda.
Connotative definition ada tiga macam yaitu pertama synonymous definition,
yaitu dengan menunjuk kata lain yang mempunyai arti yang sama, operational
definition, yaitu dengan menetapkan arti kata dengan menjelaskan apabila dilakukan
tindakan tertentu akan membuahkan suatu hasil (sebagai contoh: benda disebut
rapuh apabila benda itu hancur atau pecah hanya karena disentuh dengan ringan),
dan definitie per genus et differentiam, yaitu bahwa dalam membuat definisi
disebutkan kelas yang tertinggi (genus) terlebih dahulu bau kemudian kelas yang
lebih rendah (species) dengan, ciricirinya yang esensial. Dalarn hal membuat
definitie per genus et diferentiam ini tidak boleh terlalu luas atau sempit. Di samping
itu, tidak boleh negative dalam arti harus menetapkan secara positif definiendum dan
tidak boleh berwayuh arti serta harus menyebutkan atribut esensial dari spesies
(baca a.I. Ballard, 1972: 54).

Sinonimasi
Sebuah kata "X" dijelaskan dengan sinonimasi apabila sebuah kata ''Y"
disebut yang mempunyai arti yang sama. Metode parafrase menuju kepada
sinonimasi kalimat-kalimat penuh.
Sebagai contoh: wajah berarti (adalah, sama dengan) rupa, marah berarti murka,
cemas berarti khawatir.

Terjemahan
Terjemahan meupakan bentuk khusus sinonimasi kata "X" dan "Y" yang
berasal dari dua bahasa. Sebagai contoh: hukum materiil - substantive law,
penyalahgunaan keadaan - undue influence, kata sepakat - meeting of the minds.

Antitese
Kata "X" dijelaskan dengan antitese apabila disebut kata "Y" yang artinya
contradictoir dengan "X". Metode parafrase menuju kepada antitese kalimat-kalimat
penuh.

Restriksi
Kata "X" dijelaskan dengan restriksi apabila kepada "X" diberi arti yang lebih
sempit daripada kepada "Y".
Ampliasi
Kata "X" dijelaskan dengan ampliasi apabila kepada "X" diberi arti yang lebih
luas daripada kepada "Y".
Restriksi dan ampliasi banyak digunakan baik dalam ilmu hukum maupun
dalam praktik hukum. Sebual, "barang" itu disebut "benda" apabila mempunyai nilai
bagi manusia dan oleh hukurn dianggap sebagai satu kesatuan: ini merupakan
restriksi. Sebaliknya terjadi ampliasi apabila termasuk "benda" adalah "hak".

Paraleli
Kata "X" dijelaskan dengan paraleli apabila dibandingkan dengan kata ''Y"
dan ditunjukkan perbedaan dan persamaannya. Paraleli banyak digunakan untuk
menjelaskan kata-kata dengan arti immateriil.

Deskripsi
Suatu kata dijelaskan ddengan deskripsi apabila genus yang tertinggi dan
terdekat disebutkan dan suatu rangkaian sifat-sifat yang membedakan dari klas yang
sama.

Enunerasi
Sebuah kata dijelaskan dengan enumerasi apabila klas atau individu
disebutkan semuanya yang termasuk didalamnya.

Archetipasi
Sebuah kata dengan arti immaterial dijelaskan dengan archetipasi apabila
ditambahkan gambaran tertentu tentang dunia benda.

Ilustrasi
Ilustrasi adalah setiap metode verbal untuk menjelaskan arti kata.

Eksemplifikasi
Metode ini menjelaskan dengan memberi contoh-contoh. Yang merupakan
metode eksposisi tidak verbal ialah metode representasi. Metode representasi
hanya dapat diterapkan pada eksistensi sebuah kata. Oleh karena itu, metode ini
dapat digunakan di antara orang-orang yang tidak mempunyai satu bahasa (anak
dengan orang tua). Sekalipun lemah, metode representasi merupakan metode yang
paling banyak digunakan untuk menjelaskan nama dan barang.

BAB 6
PROSEDUR PENEMUAN HUKUM

Hukum acara pada umumnya, baik perdata maupun pidana, dapat dibagi
dalam garis besamya menjadi tiga tahap, yaitu tahap pendahuluan atau permulaan,
tahap penentuan, dan tahap pelaksanaan. Tahap pendahuluan adalah tahap
sebelum acara pemeriksaan di persidangan. Dalam acara perdata pada tahap
pendahuluan ini tidak berapa banyak kegiatan dilakukan, seperti memasukkan
gugatan, memajukan pemohonan penyitaan, jaminan, dan pencabutan gugatan.
Lain halnya dalam acara pidana, pada tahap ini lebih banyak kegiatan yang
dilakukan : pemeriksaan pendahuluan yang lakukan oleh kepolisian dan kejaksaan.
Tahap penentuan adalah tahap pemeriksaan dipersidangan, dimulai dari jawab-
menjawab (pemeriksaan terdakwa), pembuktian peristiwa, sampai pada putusan.
Tahap pelaksanaan meliputi pelaksanaan putusan sampai selesai.
Kegiatan hakim yang utama dan yang paling banyak adalah pada tahap
penentuan, yaitu pemeriksaan di persidangan. Pada dasamya apa yang dilakukan
oleh hakim di persidangan adalah mengkonstatasi peristiwa konkret, yang sekaligus
berarti merumuskan peristiwa konkret, mengkualifikasi peristiwa konkret, yang
berarti menetapkan peristiwa hukumnya dan peristiwa konkret dan mengkonstitusi
atau memberi hukum atau hukumannya, yang pada dasarnya semua itu tidak
ubahnya dengan kegiatan seorang sarjana hukum yang dihadapkan pada suatu
konflik atau kasus dan harus memecahkannya, yaitu legal problem identification,
legal problem solving, dan decision making. Setiap sarjana hukum yang bekerja di
bidang hukum, terutama hakim, selalu dihadapkan pada peristiwa konkret, suatu
kasus atau konflik, yang harus dicarikan atau hukumnya dan dipecahkan atau
diselesaikan.
Bagaimankah prosedur penemuan hukum itu ? Bagaimanakah tepatnya
langkah-langkah operasional yang dilakukan oleh hakim dalam penemuan hukum?
Telah dikemukakan bahwa penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum
oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan
hukum terhadap peristiwa-peristiwa konkret. Lebih konkret lagi dapat dikatakan
bahwa penemuan hukum adalah konkretisasi, kristalisasi, atau individualisasi
peraturan hukum atau das sollen, yg bersifat umum dengan mengingat peristiwa
konkret atau das sein.
Penemuan hukum merupakan proses atau rangkaian kegiatan yang bersifat
kompleks yang pada ddsarnya dimulai sejak jawab-menjawab sampai dijatuhnya
putusan. Kegiatan-kegiatan atau langkah-langkah itu pada umumnya tidaklah
terpisahkan satu sama lain, terjalin satu sama lain, bahkan sering tidak berurutan.
Akan tetapi, momentum dimulainya penemuan hukum ialah setelah peristiwa
konkretnya dibuktikan atau dikonstatasi. Pada saat itulah peristiwa konkret yang
telah dikonstatasi itu harus dicarikan atau diketemukan hukumnya.
Untuk mengetahui prosedur penemuan hukum dapat diikuti tahap-tahap dalam
pemeriksaan perkara perdata.
Penggugat mengajukan gugatan yang berisi peristiwa konkret yang dijawab
oleh tergugat dalam jawabannya yang berisi peristiwa konkret pula. Sering terjadi
bahwa peristiwa konkret yang diajukan oleh tergugat dalam jawabannya ada yang
sama atau ada yang tidak sama dengan peristiwa konkret yang diajukan oleh
penggugat dalam gugatannya. Maka, hakim perlu mengetahui apa yang sekiranya
menjadi sengketa bagi kedua belah pihak. Untuk itu, diadakan prosedur jawab
menjawab antara kedua belah pihak. Dari jawab menjawab itu akhirnya akan
diketahui oleh hakim peristiwa manakah yang sekiranya menjadi sengketa.
Dikatakan "sekiranya" karena peristiwa konkret itu masih harus dibuktikan
kebenarannya.
Hakim hanya memperoleh kepastian tentang sengketa atau peristiwa konkret
yang telah tetjadi. Peristiwa konkret atau kasus yang diketemukan dari jawab-
menjawab itu merupakan kompleks peristiwa a.tau kejadian-kejadian yang harus
diurai, harus diseleksi: peristiwa yang pokok dan yang relevan bagi hukum
dipisahkan dari yang tidak relevan, untuk kemudian disusun secara sistematis dan
kronologis teratur agar hakim dapat memperoleh ikhtisar yang jelas tentan peristiwa
konkretnya, tentang duduk perkaranya, dan akhlrnya dibuktikan serta dikonstatasi
atau dinyatakan benar-benar telah terjadi.
Membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim akan kebenaran
peristiwa konkret yang disengketakan. Walaupun peristiwa konkretlah yang hams
dikonstatasi atau dirumuskan, karena hanya peristiwa konkret yang relevan sajalah
yang harus dibuktikan, di sini hakim sudah mulai menyentuh atau berhubungan
dengan peraturan hukumnya. Kapankah suatu peristiwa konkret itu relevan?
Peristiwa konkret yang telah dibuktikan itu dikonstatasi ofeh hakim sebagai
peristiwa kon.kret yang benar-benar telah terjadi. Tanpa pembuktian, peristiwa
konkret yang diperkirakan menjadi sengketa kedua belah pihak, hakim tidak boleh
mengkonstatasinya sebagai telah benar-benar terjadi. Konstatasi peristiwa konkret
berarti uraian tentang Judul perkaranya. Disini diperoleh suatu ikhtisar yang
sistemalis dan kronologis jelas, suatu gambaran menyeluruh tentang duduk
perkaranya.
Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum mutlak diperlukan. Hanya
dengan pengetahuan tentang peraturan peraturan hukum dimungkinkan untuk
melakukan seleksi peristiwa-peristiwa yang yuridis relevan dan kualifikasi.
Hubungan antara dasSein dan das Sollen itu erat. Das Sein membutuhkan das
Solien, sebaliknya das Sollen membutuhkan das Sein. Agar das Sein mempunyai
akibat hukum, memerlukan das Sollen. Agar das Sollen itu aktif, hidup, dan dapat
dilaksanakan, membutuhkan terjadinya suatu peristiwa konkret (das Sein). Das Sein
merupakan aktivator das Sollen. Ada saling hubungan antara peristiwa konkret (das
Sein) dan peraturan hukumnya (das Sollen). Peristiwanya yang konkre menentukan
peraturan hukumnya yang relevan. Sebaliknya, peraturan hukumnya menentukan
sekaligus peristiwa mana yang relevan.
Tahap kualifikasi ini berakhir dengan diketemukan atau dirumuskan masalah
hukumnya (legal problem). Kemudian harus dicari peraturan hukumnya yang dapat
diterapkan terhadap peristiwa hukum yang telah diketemukan. Untuk itu harus
diseleksi peraturan-peraturan hukum yang relevan bagi peristiwa hukum yang
bersangkutan. Bagairnanakah menemukan peraturan hukumnya, di mana dapat
diketemukan peraturan hukumnya dan bagaimana cara menerapkannya?
Kalau peraturan hukumnya telah diketemukan, hams dibahas, ditafsirkan,
atau dijelaskan isinya kalau sekiranya tidak jelas (interpretasi), atau dilengkapi kalau
sekiranya terdapat kekosongan atau ketidak-lengkapan hukum (argumentum) atau
diadaka,., konstruksi hukum kalau diperlukan pembentukan pengertian hukum. Oleh
karena peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi sebagai sumber
penemuan hukum itu kompleks sifatnya rnaka harus dianalisis.
Hukumnya, terutama yang tercantum dalarn peraturan penmdang-undangan
tidak se!alu dirumuskan dengan jeias dan pada umumnya tidak lengkap. Telah
berulang kali dikemukakan bahwa tidak ada peraluran perundang-undangan yang
selalu jelas sejelas-jelasnya dan lengkap selengkaplengkapnya. Tidak, mudah
membaca undang-undang, karena kecuali undang-undang itu sifatnya kompleks,
tidak selalu mudah memahami maksud pembentuk undang-undang, sekalipun
dalam penjelasannya dinyatakan "cukup jelas".
Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan ini harus dibaca dengan hati-
hati dan cermat. Harus dapat ditangkap apa yang tersirat dalam peraturan
perundang-undangan.
Apakah (peraturan) hukurrmya bagi Ahm.ad, yang duda, yang hendak kawin
Iagi? Untuk peristiwa hukum "duda yang hendak kawin lagi" tidak ada (peraturan)
hukumnya, maka harus dicari!ah peraturan hukurnnya. Dalam mencari peraluran
hukumnya diketemukan pasal 39 PP nomor 9 tahun 1975 yang disediakan untuk
perishwa hukum abstrak tertentu lain, ialah "janda yang hendak kawin lagi harus
menunggu masa indah lebih dulu". Peraturan hukum untuk peristiwa hukum yang
tidak sama (janda hendak kawin lagi) diperlakukan secara kebalikannya (a contrario)
pada peristiwa hukum(dudahendak kawin lagi) yangdicarikan hukumnya, yang
berarti bahwa duda yang hendak kawin lagi tidak perlu melewati masa tunggu.
Kalau peraturan hukurrmya sudah diketemukan, peraturan hukum itu
kemudian diterapkan pada peristiv,ra hukumnya. Kalau ada pelbagai kemungkinan
kualifikasi atau terjemahan yuridis dari peristiwa konkretnya, maka pada penerapan
peraturan hukumnya terdapat pula pelbagai kemungkinan konstruksi yang harus
dipertimbangkan mana yang akan dipilih. Kalau tidak sampai pada mengambil
pilihan,
Untuk menerapkan (peraturan) bukumnya disusun silogisme: Barang siapa mencuri,
dihukum. Abu mencuri, Abu harus dihukurn. Di sini ditentukan akibat yuridis dari
peraturan hukum yang diterapkan (lihat Bagan 8). Jadi hakim harus menafsirkan
undang-undangnya lebih dulu, baru rnenetapkan maknanya lebih dulu berhubung
dengan perisliwa konkret, barulah ia dapat menyusun silogismenya. Akan tetapi,
penemuan hukum itu lebih dari sekadar menumuskan silogisme, kesulitannya
terletak dalam hal menetapkan arti peraturan hukum dan peristiwa konkret dalam
hubungannya satu sama lain.
Setelah peraturan hukumnya diterapkan pada peristiwa hukurnnya, harus
diambil putusan. Mengambil atau menjatuhkan putusan bukanlah sekadar
menerapkan peraturan. Haruslah direnungkan, dipertimbangkan, dan kemudian
dievaluasi secara cermat kemungkinan atau altematif putusan mana yang akan
diambil"atau dijatuhkan. Tugas hakim adalah memeriksa, mengadili, dan
menyelesaikan perkara.
Dalam memilih putusan mana yang akan dijatuhkan yang penting bukan
sekadar dipenuhi tidaknya prosedur tertentu menurut undang-undang, tetapi yang
penting ialah justru setelah putusan ini dijatuhkan, yaitu dapat tidaknya putusan yang
akan dijatuhkan ini diterima, baik menurut persyaratan keadilan maupun persyaratan
konsistensi sistem (van Apeldoorn, 1985: 474). Pilihan itu diterapkan oleh
pandangan pribadi hakim tentang pertanyaan putusan mana yang paling dapat
diterima terutama oleh para pihak yang bersangkutan clan oleh masyarakat. Oleh
karena itu, sasaran pertama adalah para pihak yang bersengketa.
Tidak dapat dipungkiri bahwa latar belakang kehidupan hakim seperti
pendidikan, agama, dan juga lingkungannya akan memengaruhi hakim dalam
menjatuhkan putusannya, karena hakim adalah produk dari zamannya.
Di dalam perkara perdata pihak yang dikalahkan, karena merasa dirugikan,
pada umumnya menganggap putusannya tidak ada. Hal ini tidak mengherankan,
karena pada umumnya manusia itu mencari benarnya sendiri. Apa yang adil bagi
Suto belum tentu dirasakan adil bagi Noyo. Bagi hakim pada urnumnya tidak
mungkin memuaskan kedua belah pihak sekaligus dengan memenuhi kepentingan
baik penggugat maupun tergugat yang sering bukan sekadar berbeda, tetapi juga
bertentangan.
Hakim harus mengadili menurut hukum. Oleh karena itu, putusannya harus
berdasarkan hukum, harus mengandung atau menjamin kepastian hukum, yang
berarti bahwa ada jaminan bahwa hokum dijalankan, bahwa yang berhak menurut
hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusaimya dilaksanakan. Juga
bahwa perkara yang serupa harus diputus serupa pula.
Di samping itu, putusan hakim harus bermanfaat, baik bagi yang
bersangkutan maupun bagi masyarakat. Masyarakat dalam hal iniberkepentingan,
karena masyarakatmenginginkan adanya keseimbangan tatanan dalam masyarakat.
Dengan adanya sengketa, keseimbangan tatanan di daiam masyarakat itu
terganggu, dan keseimbangan yang terganggu itu harus dipulihkan kembali.
Ketiga unsur itu seberapa dapat harus ada dalam putusan secara
proporsionai, yaitu kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan
(Zweckmassigkeit), dan keadilan (Gerechtigkeit). Itu adalah idealnya. Akan tetapi, di
dalam praktiknya jarang terdapat putusan yang mengandung tiga unsur itu secara
proporsional. Kalau tidak dapat diusahakan kehadirannya secara proporsional,
paling tidak ketiga faktor itu seyogianya ada dalam putusan.
Tidak jarang terjadi kepastian hukum bertentangan dengan keadilan.
"Hukumnya demikian bunyinya, maka harus dijalankan (kepastian hukum)", tetapi
kalau dijalankan dalam keadaan tertentu akan dirasakan tidak adil (lex dura sed
tamen scripta: hukum itu kejam, tetapi demikianlah bunyinya). Kalau dalam pilihan
putusan sampai terjadi konflik antara keadilan dan kepastian hukum serta
kemanfaatan, keadilannyalah yang harus didahulukan.
Tidak kurang pentingnya untuk diperhatikari ialah bahwa putusan itu bukan
hanya sekadar harus selesai saja, tetapi harus pula tuntas. Tidak jarang ada
putusan yang tidak dapat dijalankan, karena isi putusannya terlalu fonnalistis: yuridis
formal tepat, tetapi tidak dapat dilaksanakan. Tidak sedikit pula putusan yang
sekalipun dapat dijalankan menimbulkan perkara baru.
BAB 7
ALIRAN-ALIRAN PENEMUAN HUKUM

Sejak manusia menyadari bahwa kepentingan-kepentingannya selalu


terancam atau terganggu oleh bahaya atau serangan, baik dari alam maupun oleh
sesamanya dan memerlukan perlindungan terhadap kepentingankepentingannya,
maka dikenal hukum.
Sebelum dikenal hukum tertulis, satu-satunya sumber hukum adalah hukum
kebiasaan. Oleh karena hukum kebiasaan itu sifatnya tidak tertulis, dapat
dibayangkan bahwa tidak ada kepastian atau keseragaman hukum.
Kemudian dikenal hukum tertulis. Undang-undang pertama, dalam sejarah
adalah undang-undang Hamurabi (1950 SM).
Sebelum 1800 sebagian hukum adalah hukum kebiasaan. Sebagai reaksi
terhadap ketidakpastian dan ketidakseragaman hukum, timbullah usaha untuk
penyeragaman hukum dengan jalan kodefikasi yakni menuangkan hukum kedalam
kitab-kitab undang-undang (codex). Lambat laun timbullah masalah tentang apa
yang merupakan satu-satunya sumber hukum.
Lahirlah aliran-aliran penemuan hukum, yang pada dasarnya bertitik tolak
pada pandangan mengenai apa yang merupakan satu-satunya sumber hukum. Jadi
aliran-aliran itu merupakan aliran-aliran tentang ajaran sumber hukum.

Legisme
Sebagai reaksi terhadap ketidakpastian dan ketidakseragaman hukum
kebiasaan pada abad ke 19 di Eropa usaha untuk penyeragaman hukum dengan
jalan kodifikasi dengan menuangkan semua hukum secara lengkap dan sistematis
dalam suatu kita undang-undang.
Pandangan dalam abad ke 19 ini ialah bahwa satau-satunya sumber hukum
adalah undang-undang, yang dianggap cukup jelas dan lengkap, yang berisi semua
jawaban terhadap semua persoalan hukum.
Aliran ini berpendapat bahwa semua hukum ini berasal dari kehedak
penguasa tertinggi, dalam hal ini kehendak pembentuk undang-undang, jadi semua
hukum terdapat dalam undang-undang. Berasarkan pandangan ini bahwa hanya
undang-undang yang dapat menjadi sumber hukum, karena pengakuan kebiasaan
sebagai sumber hukum berarti mengakui kekuasaan tertinggi lain disamping
kekuasaan negara tertinggi.
Tidak dapat disangkal bahwa ada hukum kebiasaan disamping undang-
undang itu merupakan suatu kenyataan. Berhubung dengan ini untuk
mempertahankan teori bahwa undang-undang adalah satu-satunya sumber hukum,
dicari jalan keluar bahwa berlakunya hukum kebiasaan itu karena ditunjuk oleh
undang-undang (baca pas 15 AB). Apabila tidak ada penegasan mengena i
penunjukan seperti bunyi pasa115 AB, maka hukum kebiasaan dianggap berlaku
secara diam-diam dan diciptakanlah fiksi bahwa hukum kebiasaan mempunyai
kekuatan mengikat bukan karena kebiasaan, yaitu bahwa perilaku yang diulang
mempunyai kekuatan mengingat, tetapi karena kehendak pembenluk undang-
undang, baik yang tegas maupun secara diam-diam.

Mazab Historis
Kemudian dalam abad ke 20 disadari bahwa undang undang tidaklah
lengkap. Nilai-nilai yang dituangkan dalam undang-undang tidak lagi sesuai dengan
perkembangan kehidupan bersama.Temyata terdapat kekosongan-kekosongan dan
ketidak-jelasan dalam undang-undang. Perkembangan ini di Nederland dinilai pada
akhir abad ke 19. Judge-made-law dan hukum kebiasaan dapat melengkapi undang-
undang. Sejak itu pula hukum kebiasaan dan yurisprudensi dianggap sebagai unsur-
unsur sistem hukum.

Begriffsjurisprudenz
Ketidakmampuan pembentuk undang-undang meremajakan undang-undang
pada waktunya merupakan alasan untuk memberi peran aktif kepada hakim. Dari
hakim diharapkan seberapa dapat menyesuaikan undang-undang pada keadaan
barn. Yurisprudensi mulai memperoleh peranan sebagai surnber hukum. Demikian
pula hukum kebiasaan memperoleh kembali peranannya sebagai sumber hukum.
Sebaliknya para sarjana mulai bersikap kritis terhadap undang undang.
Dalam pertengahan abad 19 lahirlah aliran yang dipelopori oleh Rudolf von Jhering
(1818-1890) yang menekankan pada sistematik hukum.Setiap putusan baru dari
hakim harus sesuai dengan sistem hukum. Berdasarkan kesatuan yang dibentuk
oleh sistem hukum, setiap ketentuan undang-undang harus diJelaskan dalam
hubungannya dengan ketentuan undang undang yang lain, sehingga ketentuan-
ketentuan undang undang itu merupakan satu kesatuan yang utuh. Menurut aliran
ini yang ideal ialah apabila sistem yang ada itu berbentuk suatu piramida dengan
pada puncaknya suatu asas utama. Dari situ dapat dibuat pengertian-pengertian
baru (Begriff).

Freirehtbewgung
Reaksi yang tajam terhadap legisme baru muncul sekitar 1900 di Jerman.
Reaksi ini dimulai oleh Kantorowicz (1977-1940). Menulis “Der Kempf un die
Rechtswissenchaft”. Aliran baru ini disebut “ Freirechtlich” (bebas) dan dari situlah
timbul istilah “ Freirechtbewegung”.
Aliran ini menantang pendapat bahwa kodfikasi itu lengkap dan bahwa hakim
dalam proses penemuan hukum tidak mempunyai sumbangan kreatif. Tidak seluruh
hukum terdapat dalam undang-undang. Disamping undang-undang masih terdaat
sumber-sumber lain yang dapat digunakan oleh hakim untuk menemukan
hukumnya.
Freirechtbewegung mencoba mengarahkan perhatiannya kepada sifat-sifat
yang khusus pada peristiwa konkrit dan kepentingan yang berkaitan. Rasa hukum
hakim harus dipusatkan pada hal-hal ini dan juga pada tujuan yang tersirat dalam
peraturan.

Penemuan Hukum Modern


Sesudah perang dunai ke 2 timbul lagi kretik terhadap padangan hakim
sebagai subsumptie automaat. Ini terjadi dibawah pengaruh exsistensialisme
(komen, 1982). Kritik mendasar terhadap positivisme undang-undang atau legisme
terletak pada pandangan bahwa model subsumptie itu tidak dapat dipertahankan.
Sebagai penemu hukum tidak dapat menetapkan secara objectif apa peristiwanya,
apa peraturannya dan kemudian menghubungkannya secara logis.
Salah satu pokok pandangan modern itu adalah bahwa bukan sistem
perundang-undangan yang merupakan titik tolak, tetapi masalah kemasyarakatan
yang konkret yang harus dipecahkan. Undang-undang bukanlah penuh dengan
kebenaran dan jawaban, yang paling tidak membutuhkan beberapa penafsiran untuk
dapat dilaksanakan dalam situasi konkret, tetapi lebih merupakan usulan untuk
penyelesaian.

************************

Anda mungkin juga menyukai