Anda di halaman 1dari 27

Bahan Kuliah Penemuan Hukum

PENEMUAN HUKUM

Penemuan Hukum = Pelaksanaan Hukum = Penerapan Hukum

Pembentukan Hukum adalah Penciptaan Hukum

Pelaksanaan Hukum adalah; Menjalankan Hukum tanpa adanya sengketa maupun adanya
subjek.

Penerapan Hukum adalah : Menerapkan peraturan hukum yang sifatnya abstrak pada suatu
peristiwa.

Pembentukan Hukum adalah : Merumuskan peraturan – peraturan umum yang berlaku umum
pada setiap orang.Ini biasanya dilakukan oleh pembentuk hukum.

Penciptaan Hukum adalah : Istilah yang kurang tepat, seolah – olah menyatakan bahwa
hukum itu tidak ada, tetapi diciptakan. Hukum itu tidak ada tetapi, sesudah diciptakan sudah
ada hukum.

Apa yang dimaksud dengan Penemuan Hukum?

Penemuan Hukum lazimnya adalah Proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat
hukum lainnya yang ditugaskan kepada penerapan hukum yang umum pada peristiwa hukum
konkrit.

Penemuan Hukum adalah : Proses konkrituisasi atau individualisasi peraturan hukum yang
bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit tertentu. ( Das Sollen and Das
Sein ).
Penemuan Hukum

Hakim Ilmuwan Hukum


Mengkonstatir Mengkontituir

Mengkualifisir Mengsistematisir

Mengkonstituir Menganalisis

Hukum Doktrin Menyimpulkan


Doktrin itu bukan hukum, tetapi kalau dipakai oleh hakim, baru doktrin dikatakan sebagai
hukum.

Mengapa diperlukan Penemuan Hukum adalah :

- diperlukan karena tidak adanya peraturan hukum ( adanya kekosongan didalam hukum).

- Ruang lingkupnya peraturan /Ruang lingkupnya peraturan /peristiwa hukum yang luas.

- Peraturan hukum tidak jelas.

Apa dasar hukum adanya Penemuan Hukum Yaitu :Undang – undang Pokok Kehakiman UU
No. 14 Tahun 1970. UU ini tidak dicabut tetapi dirubah pasal- pasal tertentu saja.

UU Nomor 35 tahun 1999 atas perubahan UU No. 14 tahun 1970

UU No. 4 tahun 2004 ( tentang Kekuasaan kehakiman )

Pasal 8 bunyinya Hakim tidak boleh menolak suatu perkara yang diajukan padanya.

Pasal 1 bunyinya : Kekuasaan kehakiman adalah bebas dalam meyelenggarakan peradilan


( Bebas adari eksekutif ).

Pasal 2 ayat 1 Bunyinya : Tugas pokok kekuasaan kehakiman menerima, memriksa, dan
mengadili.

UU No. 14 tahun 1970, pasal 27 bunyinya : Hakim sebagai penegak hukum, wajib
memahami nilai – nilai yang ada dalam masyarakat.

1. Pengetahuan tentang Kaidah Hukum.

2. Pengetahuan Sistem Hukum.

3. Pengetahuan tentang Penemuan Hukum

Kaidah Hukum diartikan Sebagai peraturan hidup menentukan manusia seharusnya


berprilaku didalam masyarakat agar kepentingannya dan kepentingan orang lain terlindungi.
Kaidah pada hakikatnya merupakan suatu perumusan pandangan objektif mengenai penilaian
atau sikap yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan yang dilarang atau dianjurkan
untuk dilakukan.

@. Fungsi kaidah hukum pada hakikatnya untuk melindungi kepentingan manusia atau
kelompok manusia.

@. Kalau kepentingan manusia itu terlindungi, maka keadaan masyarakat akan tertib.

@. Kaidah hukum bertugas mengusahakan keseimbangan tatanan didalam masyarakat dan


memberikan kepastian hukum agar tujuannya tercapai.

Ada 10 hal yang perlu kita ketahui tentang kaidah hukum, ke 10 hal tersebut adapat
digolongkan kedalam 2 golongan yaitu :

A. Kaidah hukum sebagai kenyataan ideal.

1. Macam – macam kaidah

2. daya cakap kaidah hukum

3. Isi dan sifat kaidah hukum

4. Perumusan kaidah hukum

5. Tugas kaidah hukum

6. Esensialia kaidah hukum

7. Penyimpangan dari kaidah hukum

B. Kaidah Hukum didalam kenyataan Riil

1. Penyataan kaidah hukum

2. Tanda – tanda penyataan kaidah hukum


3. Kekuatan kaidah hukum

1. Kaidah dibagi dalam 4 macam :

1. Kaidah Agama

2. Kaidah Kesusilaan

3. Kaidah Kesopanan

4. Kaidah Hukum

2. Daya cakap kaidah hukum dibedakan dalam dua macam :

1. Kaidah hukum yang abstrak ( umum )

2. Kaidah hukum yang konkrit ( Individual )

3. Kaidah – kaidah hukum ada berisi suruhan dan ada juga larangan dan ada juga berisi
perkenan ( Dibolehkan ).

Sifat kaidah hukum yaitu :

1. Ada imperatif

2. Ada Fakultatif ( tidak terikat )

4. Perumusan kaidah hukum yang dilakukan oleh ilmuwan hukum terdapat dua pandangan :

1. Pandangan Hipotetis ( bersyarat )

2. Pandangan Kategoris

Didalam pandangan hipotetis terdapat hubungan antara kondisi dan konsekuensi atau
akibat.Kalau dalam pandangan kategoris hanya terdapat kondisi tanpa konsekuensi.
5. Tugas kaidah hukum berhubungan erat dengan tujuannya

Tujuan Kaidah Hukum adalah : Kedamaian hidup antar pribadi.

Kedamaian tersebut meliputi 2 hal yaitu :

1. Ketertiban eksteren antar pribadi

2. Ketenangan interen pribadi

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka kaidah hukum bertugas : Memberikan kepastian
hukum dan keadilan.

6. Esensialia kaidah hukum tidak terletak pada sifatnya yang memaksa, melainkan pada
sifatnya yang membatasi atau memberikan pedoman pada manusia untuk berprilaku atau
bersikap dalam hidup bermasyarakat.

7. Penyimpangan dari kaidah hukum sebagai patokan dan pedoman sikap dan prilaku dapat
berupa pengecualian dan dispensasi dan dapat berupa penyelewengan / delik.

Pengecualian sebagai bentuk penyimpangan dan kaidah hukum mempunyai dasar yang sah
dikenal 2 macam pengecualian yaitu :

1. Perbuatan – perbuatan yang dibenarkan

2. Perbuatan – perbuatan yang dibebaskan dari kesalahan.

Perbuatan atau tingkah laku yang dilakukan merupakan penyimpangan dari kaidah hukum
namun tidak dikenakan sanksi karena dibenarkan. Atau perbuatan yang mempunyai dasar
pembenaran yang sah, termasuk dalam perbuatan ini. Perbuatan – perbuatan yang dilakukan
dalam keadaan darurat, pembelaan, terpaksa, melaksanakan ketentuan UU dari perintah
jabatan.

Perbuatan – perbuatan yang pada hakikatnya merupakan penyimpangan kaidah hukum, tetapi
tidak dikenakan sanksi karena si pelaku dibebaskan dari kesalahan.

Penyelewengan terhadap kaidah hukum merupakan tingkah laku


Delik dalam arti luas meliputi :

1. On Recht Matige Daad ( Perbuatan Melawan Hukum Perdata )

2. Weder Recht Delr Daad ( Perbuatan Melawan Hukum Pidana )

3. Deternemen De Provoir ( Perbuatan Melawan Hukum Tata Usaha Negara ).

4. Exist De Provoir ( Perbuatan Melawan Hukum Tata Negara ).

8. Pernyataan atau perwujudan kaidah hukum mungkin bersifat konstruktif / kreatif dan
mungkin juga bersifat eksekutif tergantung pada hubungan kaidah hukum yang bersangkutan
dengan kebiasaaan.

Jika pernyataan kaidah hukum itu yang lebih adanya kemudian baru diikuti dengan
kebiasaan,maka pernyataan kaidah hukum itu konstruktif kreatif. Sebaliknya apabila
kebiasaan yang lebih dulu adanya, kemudian baru diikuti untuk pernyataan kaidah hukum,
maka sifat pernyataan dikatakan bersifat eksekutif artinya Melaksanakan apa saja yang telah
ada di dalam kenyataan.

9. Pernyataan kaidah hukum dapat berupa tanda – tanda berwujud dan tidak berwujud. Bahan
– bahan resmi yang tertulis, rambu – rambu lalu lintas, benda – benda tertentu dan kebiasaan
merupakan tanda – tanda yang berwujud. Sedangkan bunyi suara, hikmat kata – kata yang
diucapkan secara lisan serta perintah. Lisan adalah pernyataan kaidah hukum yang tidak
berwujud.Hukum dapat diketemukan dalam berbagai bentuk perwujudannya.

10. Kekuatan berlakunya kaidah hukum dapat dilihat dari 2 segi :

1. Segi landasannya

2. Segi lingkungan kuasanya

Dari sudut landasanny, kekuatan berlaku kaidah hukum dibedakan atas landasan Yuridis,
Sosiologis dan Filosofis.

Menurut Hans Kelsen, Suau kaidah hukum dikatakan mempunyai kekuatan yuridis jika
penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya.
W. Severbegen = Berpendapat bahwa kaidah hukum mempunyai kekuatan berlaku secara
yuridis jika kaidah tersebut terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan.

Logeman yang mengatakan bahwa kaidah hukum mengikat secara yuridis apabila
menunjukkan hubungan antara suatu kondisi dengan konsekuensinya.

Pendapat pertama dengan melihat subtansinya., Pendapat kedua dilihat dari segi prosedur
pembentukan kaidah hukum. Pendapat ketiga didasarkan pada pandangan yang terkandung
dalam kaidah hukum yaitu pandangan hipotetis.

Secara sosiologis kekuatan berlaku kaidah hukum dapat disimaki dari efektifitas kaidah
hukum itu didalam masyarakat ditentukan oleh 2 hal yaitu kekuasaan dan pengakuan.

Jika kaidah hukum itu sesuai sengan cita hukum dan cita moral maka dikatakan bahwa
kekuatan berlaku kaidah hukum itu berdasarkan filosofis.

Cita hukum dan cita moral dalam masyarakat dan suatu bangsa merupakan nilai positif
tertinggi yang ditegakkan dan dihormati dalam khidupan masyarakat/ bangsa.

Dilihat dari segi lingkungan kuasanya maka dapat dikatakan bahwa kaidah hukum
mempunyai kekuatan berlaku terhadap person tertentu dalam wilayah tertentu, dalam masa
tertentu dan mengatur soal – soal tertentu.

Asas – Asas Hukum

1. Asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar umum
dan abstrak atau merupakan latar belakang peraturan yang konkrit yang terdapat didalam dan
dibelakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam setiap peraturan Per UU an dan putusan
hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat – sifat
atau ciri –ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa asas hukum adalah Pikiran- pikiran dasar yang
melatarbelakangi peraturan hukum konkrit.Sebagai Contoh pasal 1365 BW = Yang
menentukan bahwa tiap perbuatan yang melawan hukum yang meyebabkan orang lain
menderita kerugian mewajibkan orang yang bersalah harus mengganti kerugian.

Asas hukum mempunyai 2 landasan :

1. Berakar dalam kenyataan masyarakat


2. Berlandaskan nilai – nilai yang dipilih sebagai pedoman oleh dan untuk kehidupan
bersama.

Asas hukum mempunyai fungsi, baik dalam hukum maupun dalam ilmu hukum yaitu :

A. Dalam Hukum.

Fungsi asas hukium, melegalisasikan / mensahkan mempunyai pengaruh yang normatif dan
mengikat para pihak.Disamping itu fungsi asas hukum dalam hukum adalah melengkapi
sistem hukum.

Sebagai sarana yang melengkapi sistem hukum, maka asas hukum membuat sistem hukum
luwes tidak kaku. Aas hukum berfungsi sebagai sarana / alat untuk mempertahankan
konsistensi dalam sistem hukum.

B. Dalam Ilmu Hukum

Asas hukum berfungsi mempermudah kita mempelajari ilmu hukum dengan memberi
ikhtisar,\. Fungsi asas hukum dalam ilmu hukum hanya bersifat mengatur dan ekstikatif
( Menjelaskan ).

Disamping itu asas hukum berfungsi menyatukan faktor riil dan ideal. Asas hukum bersifat
abstrak, sebab itu asas hukum pada umumnya tidak dituangkan dalam bentuk pasal secara
konkrit. Disini letak perbedaan antara peraturan hukum konkrit dengan asas hukum.

Peraturan hukum konkrit itu, dapat secara langsung diterapkan pada peristiwa hukum yang
konkrit, yang membutuhkan penyelesaian secara yuridis, sedangkan asas hukum karena sifat
nya abstrak tidak dapat diterapkan secara langsung untuk meyelesaikan peristiwa konkrit.

Beberapa asas hukum yang tidak dituangkan dalam bentuk peraturan hukum yang konkrit
antara lain :

A. Barang siapa yang mempunyai kepentingan hukum dapat melakukan gugatan.

B. Pengembalian pada keadaan semula.

C. Dalam hal hakim ragu – ragu, maka ia harus memberikan putusan yang mengantungkan
terdakwa.

D. Apa yang diputus oleh hakim, harus dianggap benar.

E. Setiap orang dianggap mengetahui undang – undang ini adalah fiksi hukum / anggapan.

F. Perlindungan terhadap pihak ketiga yang beritikad baik.


Ada pula asas hukum yang telah dituangkan dalam bentuk peraturan hukum konkrit atau
dalam pasal UU, sebagi contoh :

A. Dalam pasal 1 ayat 1 KUHP asas Nullum Delictum Nullam Poena.( Tidak ada satu
perbuatan yang dapat dipidanan kecuali atas kekuatan peraturan hukum pidana dalam
peraturan UU yang telah ada sebelumnya.

B. Pasal 8 UU Kehakiman Nomor 4 Tahun 2004.Setiap orang yang disangka, ditangkap,


ditahan dan dihadapkan didepan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah, sebelum adanya
oputusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan oleh kekuatan hukum yang tetap.

C. Pasal 5 ayat I UU Nomor 4 tahun 2004. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan
tidak membeda – bedakan orang.

D. Pasal 1338 KUH Perdata ayat 1. Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku
sebagai UU bagi mereka yang membuatnya. ( Asas kebebasan berkontrak ).

E. Pasal 1 KUHD. KUH Perdata berlaku juga bagi hal – hal yang diatur dalam KUHD
sekedar dalam KUHD tidak diatur secara khusus, pasal ini merupakan ( Penuangan dari asas
Lex Specialis Derogat Lex Generalis ).

Asas hukum pada umumnya bersifat dinamis, berkembang menurut kaidah hukumnya.
Sedangkan kaidah hukum akan berubah mengikuti perkembangan masyarakat. Sekalipun
demikian menurut Scolten ada asas hukum yang bersifat universal, yang berlaku kapan saja
dan dimana saja tidak terpengaruh oleh tempat.

Ada lima asas hukum yang berlaku universal yaitu :

1. Asas kepribadian

2. Asas persekutuan

3. Asas kesamaan

4. Asas kewibawaan

5. Asas pemisahan antara baik dan buruk


Empat asas yang disebut pertama terdapat dalam setiap sistem hukum. Masing – masing dari
ke 4 asas universal tersebut, ada kecendrungan untuk menonjol dan mendesak yang lain.
Kecendrungan tersebut terjadi sebagai bawaab dari tuntutan kebutuhan masyarakat. Keempat
asas hukum universal yang pertama didukung oleh pikirab bahwa dimungkinkan dari asas
antara baik dan buruk.

Kaidah hukum adalah pedoman tentang apa seharusnya dilakukan dan yang tidak dilakukan.
Ini berarti pemisahan antara baik dan buruk.

Dilihat dari segi sifatnya asas hukum dapat dibedakan :

1. Asas hukum umum dan asaa hukum khusus.

Asas hukum umum adalah : Asas hukum yang berhubungan dengan seluruh bidang hukum
umum.

Sedangkan asas hukum khusus berfungsi dalam bidang hukum yang lebih sempit.seperti
dalam bidang hukum perdata, pidana. Asas hukum khusus sering merupakan penjabaran dari
asas hukum umum.

Contoh : 1. Asas Konsensus

2. Asas praduga tidak bersalah

3. Asas pacta sun servanda

Asas hukum merupakan sarana yang menyediakan material atau bahan untuk menafsirkan
peraturan hukum dalam arngka untuk melakukan penemuan hukum.

Bekal Pengetahuan :

A. Pengetahuan tentang kaedah

B. Pengetahuan tentang Asas – asas hukum

C. Pengetahuan tentang Sistem hukum.

Istilah sistem pada umumnya berasal dari bahasa Yunani yaitu Systema yang mempunyai
pengertian sebagai berikut :

1. Suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian


2. Hubungan yang berlangsung diantara satuan – satuan dan komponen – komponen secara
teratur.

Jika kedua pengertian tersebut kita gabungkan maka sistem dapat dirumuskan sebagai
sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur yang merupakan
satu keseluruhan.

Sistem mempunyai 2 pengertian yang penting harus dikenal Yaitu kedua pengertian itu dalam
kehidupan sehari – hari secara campur yaitu :

1. Pengertian sistem sebagai satu jenis satuan yang cirinya adalah bahwa satuan itu
mempunyai tatanan tertentu. Tatanan tersebut menunjuk adanya suatu susunan struktural
yang terurai kedalam bagian – bagian.

2. Sistem sebagai suatu rencana metode atau prosedur untuk mengerjakan sesuatu.

Pemahaman yang umum mengenai sistem mengatakan bahwa suatu sistem adalah Suatu
kesatuan yang bersifat kompleks yang terdiri dari bagian – bagian yang berhubunan satu
sama lain.Pemahaman yang demikian itu hanya menekankan pada ciri keterhubungan pada
bagian – bagian unsurnya, namun mengabaikan ciri yang lain. Bahwa bagian – bagian atau
unsur – unsur tersebut bekerja sama secara aktif untuk mencapai tujuan pokok dari kesatuan
tersebut.

Pendapat Van Vollenhoven “ Suatu sistem adalah “ Kesatuan atau kebulatan yang
didalamnya setiap permasalahan baru yang timbul dapat ditemukan jawabannya”.

Ada enam ciri pokok sistem ( pendapat William yaitu :

1. Sistem itu mempunyai tujuan sehingga prilaku atau kegiatannya mengarah kepada
tujuannya tersebut. Dengan demikian sistem berorientasi pada tujuan.

2. Suatu sistem merupakan suatu keseluruhan yang bulat dan utuh.Keseluruhan bulat dan
utuh, lebih dari sekedar penjumlahan bagian –bagian atau unsur – unsurnya.

3. Bersifat terbuka, suatu sistem berorientasi dengan sistem yang lain yang lebih besar, luas,
yang biasa disebut lingkungan sistem.

4. Suatu sistem mempunyai atau melakukan kegiatan transformasi, sistem


mentransformasikan atau mengubah input menjadi output.

5. Keterkaitan dalam sistem terdapat saling berkaitan, ada interaksi antara bagian – bagian
atau unsur – unsur, satu sama lain saling tergantung dan juga terjadi interaksi antara sistem
dengan lingkungannya.
6. Mekanisme kontrol, sistem mempunyai mekanisme kontrol, didalam sistem ada kekuatan
pemersatu, sehingga sistem itu satu kesatuan yang terpadu, satau sama lain terikat menjadi
satu dan sistempun mampu mengatur dirinya sendiri.

Hukum Sebagai Suatu Sistem

Menurut Sudikno Merto Kusumo = Sistem merupakan tatanan atau kesatuan yang utuh yang
terdiri – dari bagian – bagian atau unsur – unsur yang saling berkaitan yang erat satu sama
lain yaitu kaidah atau satu sama lain yaitu kaidah atau penyerahan apa yang seharusnya,
sehingga sistem hukum merupakan sistem hukum Normatif.

Dengan kata lain Sistem Hukum adalah Suatu kumpulan unsur – unsur yang ada dalam
interaksi satu sama lain yang merupakan suatu kesatuan yang terorganisasi dan bekerjasama
kearah tujuan kesatuan.

Dengan demikian sistem hukum merupakan keseluruhan unsur – unsur seperti, peraturan,
putusan pengadilan, lembaga atau organisasi dan nilai – nilai.

Mengapa hukum dikatakan sebagai suatu sistem?

Hukum dikatakan sebagai suatu sistem dengan alasan – alasan sebagai berikut :” Peraturan
hukum yang berdiri sendiri tanpa ikatan itu, sesungguhnya diikat oleh beberapa pengertian
yang lebih umum sifatnya yang mengutarakan suatu tuntutan etis”.

1. Paul Scholten mengemukakan bahwa Asas hukum dengan tuntutan etisnya terdapat
didalam hukum positif, tetapi sekaligus ia melampaui hukum positif dengan cara mernunjuk
kepada penilaian etis. Karena adanya kaitan oleh asas – asas hukum, maka hukumpun
merupakan suatu sistem, peraturan – peraturan hukum yang nampaknya berdiri sendiri oleh
asas hukum diikat dalam suatu kesatuan disebabkan karena peraturan – peraturan itu
bersumber pada suatu induk penilaian etis tertentu.

2. Teori Sufenbau yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, dengan jelas menunjukkan adanya
kesatuan hukum.Adanya Groudnorm / maka semua peraturan hukum itu, merupakan satu
kesatuan dengan demikian hukum sebagai suatu sistem.

3. Keabsahan. Peraturan – peraturan diterima sah apabila diterima dari sumber – sumber atau
sumber yang sama.Seperti peraturan hukum yurisprudensi dan kebiasaan.Sumber – sumber
yang demikian itu dengan sendirinya melibatkan kelembagaan seperti lembaga legislatif.

4. Ikatan sistem itu tercipta pula melalui praktek penerapan peraturan – peraturan hukum itu.
Praktek ini menjamin

terciptanya susunan kesatuan dari peraturan – peraturan tersebut dalam dimensi waktu.
Sarana yang dipakai untuk menjalankan peraturan yaitu penafsiran atau pola – pola
penafsiran yang seragam, menyebabkan terciptanya ikatan sistem tersebut.

Disamping alasan – alasan yang dikemukakan diatas. Puler mengemukakan 8 prinsipel Of


Legaliti untuk mengukur apakah kita pada suatu saat dapat berbicara mengenai adanya suatu
sistem hukum :

A. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan – peraturan. Jadi tidak boleh
mengandung sekedar keputusan yang bersifat ad hoc ( sementara ).

B. Peraturan – peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan.

C. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut.

D. Peraturan – peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.

E. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan – peraturan yang bertentangan satu sama
lain.

F. Peraturan – peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat
dilakukan.

G. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering merubah peraturan sehingga menyebabkan orang
kehilangan orientasi

H. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari –
hari.
Puler mengatakan bahwa ke 8 asas yang dikemukakan itu sebetulnya lebih dari sekedar
persyaratan bagi adanya suatu sistem hukum, melainkan memberikan pengkualifikasian
terhadap sistem hukum, sebagai suatu sistem yang mengandung suatu moralitas tertentu.

Faktor yang harus dipenuhi bagi adanya suatu sistem hukum adalah :

1. Unsur pembentuk peraturan hukum terdiri – dari :

a. Badan legislatif

b. Peradilan

c. Masyarakat

2. Unsur pembagian hukum

3. Konsitensi ( pertentangan ).

4. Kompulseri ( Sifat lengkap ).

5. Konsep fundamental.

PENEGAKAN HUKUM ATAU PELAKSANAAN HUKUM

Dilihat dari segi fungsinya hukum sebagai sarana perlindungan kepentingan manusia.agar
kepentingan manusia itu terlindungi, maka hukum harus dilaksanakan.Pelaksanaan hukum
dapat berlangsug secara normal, damai, tetapi juga dapat terjadi karena adanya
pelanggaran.Hukum yang telah dilanggar itu ditegakkan melalui penegakan.Hukum itulah
hukum menjadi kenyataan dalam masyarakat.

Dalam menegakkan hukum ada 3 hal yang harus diperhatikan :

1. Kepastian hukum.

2. Kemanfaaatan / kefaedahan

3. Keadilan

Ad. 1. Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan dalam hal terjadi peristiwa konkrit, setiap
orang diharapkan dapat ditetapkan hukum.Itulah yang diinginkan oleh kepastian
hukum.Kepastian hukum berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang
diharapkan dalam keadaan tertentu.

Masyarakat mengharapkan terwujudnya kepastian hukum, karena dengan kepastian hukum


masyarakat akan lebih tertib.Sebaliknya masyarakat mengharapkan akan memperoleh
manfaat dalam penegakan hukum.

Hukum adalah untuk manusia,bukan sebaliknya, sebab itu penegakan hukum harus memberi
manfaat pada masyarakat.

Masyarakat sangat berkepentingan, bahwa dalam pelaksanaan hukum keadilan harus


diperhatikan.Hal ini berarti bahwa dalam pelaksanaan penegakan itu harus adil.

Dalam pelaksanaan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur
tersebut harus mendapat perhatian secara proposional yang seimbang. Dalam praktek tidak
mudah mengadakan kompromi dalam ketiga unsur tadi itu.Jika dalam menegakkan hukum
hanya diperhatikan kepastian hukum saja maka unsur – unsur lain dikorbankan.

Sebaliknya kalau diperhatikan kemanfaatn saja maka kepastian hukum dan keadilan
dikorbankan.Tanpa kepastian hukum dan kepastian hukum orang tidak tau apa yang harus
diperbuatnya dan akhirnya timbullah keresahan.Terlalu dititik beratkan kepada kepastian
hukum, terlau ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa
tidak aman.

Namun apapun yang terjadi, peraturannya menghendaki demikian, oleh karenanya harsu
ditaati dan dilaksanakan.Peraturan hukum ada kalanya tidak lengkap / jelas.Meskipun
demikian aturan

hukum harus dilaksanakan.Untuk itu ia melakukan penemukan hukum.Penegakan hukum dan


pelaksanaan hukum sering merupakan penemuan hukum bukan hanya sekedar penerapan
hukum.

Ada 4 hal mengenai pemecahan masalah hukum :

1. The Power Of Solving Legal Probleme( Kemampuan untuk memecahkan masalah


hukum ).

2. Sifat tanggap terhadap perkembangan

3. Sikap ilmiah

4. Cara berpikir

Ad. 1 . Kemampuan unutk memecahkan masalah hukum.


Seorang sarjana hukum dituntut untuk memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah
hukum.Untuk itu ia harus mempunyai ketrampilan dan keahlian dalam 3 hal yaitu :

a. Merumuskan masalah hukum

b. Memecahkan masalah hukum

c. Mengambil keputusan

Didalam masyarakat terdapat banyak masalah sosial.Dari sekian banyak masalah sosial itu,
seorang sarjana hukum, harus mampu menemukan atau menseleksi masalah
hukumnya.Untuk kemudian merumuskan dan memecahkan.Sebab itu kemampuan atau
ketrampilan untuk menseleksi dan kemudian merumuskan masalah hukum harus dikuasai.

Ilmu hukum merupakan bekal bagi seseorang, agar ia mempunyai kemampuan atau
ketrampilan untuk menyeleksi atau merumuskan masalah hukum. Setelah diketemukan dan
dirumuskan masalah hukumnya, maka langkah selanjutnya mencari pemecahannya. Dalam
mempelajari hukum tidak dapat tidak, kita dihadapkan pada peristiwa konkrit atau kasus atau
konflik yang bertentangan yang memerlukan pemecahan dengan cara mencari atau
menemukan hukumnya.Bekal kemampuan untuk memecahkan masalah hukum itu,
pengetahuan tentang kaedah hukum, asas hukum dan sistem hukum dan penemuan
hukum.Pada akhirnya setelah masalah dapat dipecahka, maka harus diambil
keputusan.Keputusan itu disebut keputusan hukum.

Ad.Sifat Tanggap Terhadap Perkembangan.

Kemajuan pesat dalam ilmu dan teknologi tidak saja telah melahirkan peristiwa atau kasus –
kasus yang sebelumnya tidak dikenal, tetapi paralel dengan itu akan melahirkan tuntutan baru
dalam kehidupan masyarakat sebagai akibat terjadinya pengeseran nilai – nilai di berbagai
bidang kehidupan.

Ad. 3. Sikap Ilmiah.


Dalam pelaksanaan dan penegakan hukum, seorang sarjana hukum harus mempunyai sikap
ilmiah, dalam memecahkan masalah hukum.Objektifitas senantiasa harus dikedepankan.
Hakim tidak boleh memihak dalam mengambil keuputusan.Sebab itu ia harus mendengarkan
kedua belah pihak.

Sikap ilmiah lainnya harus dimiliki oleh sistem hukum adalah :

a. Jujur.

b. Berani mencari dan mempertahankan kebenaran serta berani mengakui kesalahan dan
memperbaikinya.

c. Bersikap terbuka untuk pendapat atau kritik orang lain, dan tidak egois, emosional, kritis
dan kreatif.

Ad.3. Cara berpikir, inilah yang disebut Silogisme.

Silogisme adalah Cara berpikir dengan mengetengahkan satu premis kemudian disusul
dengan premis lainnya, dan atas dasar kedua premis itu, lalu diambil kesimpulan.

Secara singkat dapat dikatakan Syllogisme adalah Suatu proses pengambilan kesimpulan dari
dua premis yaitu premis mayor, premis minor, kemudian dari ke 2 premis itu diambil
Conclusi ( Kesimpulan ).

Peradilan pada hakikatnya merupakan suatu bentuk syllogisme terutama pada zaman
Montesqiu. Tetapi kemudian timbul pendapat bahwa hakim bukan lagi terompet Undang –
undang. Sejak saat itu hakim tidak lagi menggunakan logika semata – mata tetapi juga
pembentukan secara yuridis terhadap asas hukum materil.

Dalam menggunakan Syllogisme perlu diketahui bahwa ada 4 macam bentuk silogisme
adalah Subjek ( S ) – Prediket ( P ) – Termtengah ( M ):

1.- Semua kejahatan adalah perbuatan pidana, ini adalah M – P.

- Pencurian adalah kejahatan ( S – M )

Pencurian adalah perbuatan pidana ( S – P )

2. – Perbuatan yang bukan perbuatan pidana adalah perbuatan yang sah. ( P - M ).

- Beberapa perbuatan yang bersifat kekerasan adalah perbuatan yang sah ( S – M ).

- Beberapa perbuatan yang bersifat kekerasan adalah perbuatan

yang sah. ( S – P )

3. – Beberapa perjanjian bersifat timbal balik ( M – P ).


_ Semua perjanjian merupakan perbuatan hukum ( M – S ).

_ Beberapa perbuatan hukum bersifat timbal balik ( S - P ).

4.Semua bentuk pencurian merupakan delik terhadap kekayaan (P-M)

_ Tidak satupun delik terhadap harta kekayaan merupakan delik kesusilaan. ( M – S ).

Tidak satpun delik kesusilaan yang merupakan pencurian. ( S – P )

Metode Penemuan Hukum

Ada dua metode penemuan hukum yaitu :

1. Metode penafsiran

2. Metode Argumentasi / Konstruksi Hukum

Ad. I. Mengapa diperlukan penafsiran Hukum ?

1. Pendapat Utrecht adalah : Bahwa pekerjaan hakim merupakan salah satu faktor atau
kekuatan yang membentuk hukum.

Didalam UU Pokok Kehakiman ditentukan bahwa pengadilan tidak boleh menolak suatu
perkara, apabila perkara yang diajukan padanya dengan alasan hukum kurang jelas. Dapat
disimpulkan bahwa hakim wajib turut serta mana yang merupakan hukum dan mana yang
tidak.Bilamana UU tidak menyebut suatu peristiwa hukum, maka hakim harus bertindak atas
inisiatif sendiri. Hakim harus bertindak sebagai pembentuk hukum dalam hal UU tidak
menyebutkan suatu peristiwa konkrit yang dihadapinya. Demikian juga halnya jika ketentuan
UU tidak jelas, tidak lengkap, terlalu luas atau terlalu sempit.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa hakim perlu melakukan penafsiran hukum.pada dasarnya
hukum bersifat dianmis,oleh karena itu hakim sebagai penegak hukum memandang
kodifikasi sebagai suatu pedoman, agar ada suatu kepastian hukum.Sedangkan didalam
memberi keputusan, hakim harus juga mempertimbangkan dan mengugat perasaan keadilan
yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian maka, untuk menjamin kepastian hukum
harus ada kodifikasi.
Namun menurut Utrecht, akibat kodifikasi ialah peraturan hukum menjadi tercantum secara
resmi pada suatu sistem tertentu. Sedangkan Menurut Kansil, dengan adanya kodifikasi
hukum menjadi beku, statis, sukar berubah.

Perubahan nilai – nilai sosial dapat mengeser niali –nilai hukum, yang ada dalam masyarakat,
sehingga suatu kodifikasi yang dibuat pada suatu zaman, tidak dapat lagi meliputi seluruh
kehidupan sosial dikemudian hari.Akibatnya ialah timbul ketentuan – ketentuan hukum yang
baru, yang berada diluar kodifikasi atau terdapat perkembangan hukum baru diluar sistem
resmi yang menjadi tata hukum nasional.

Dengan melihat kodifikasi sebagai pedoman dan dengan mempertimbangkan perasaan


keadilan dalam masyarakat, maka akan terdapat keluwesan hukum, sehingga hukum
kodifikasi berjiwa hidup yang dapat diikuti perkembangan zaman. Jadi walaupun kodifikasi
telah dibuat selengkap – lengkapnya, namun tetap juga kurang sempurna dan masih banyak
kekurangannnya. Sejalan dengan itu Sudikno Mertokusumo menegemukakan bahwa UU itu
tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap. Dan tidak mungkin UU itu mengatur segala
kehidupan manusia secara lengkap dan tuntas,karena kehidupan manusia itu tidak terbilang
banyakknya.

Sudikno mengatakan bahawa ketentuan UU tidak dapat diterapkan begitu jugasecara


langsung pada peristiwanya. Untuk dapat menerapkan ketentuan UU yang berlaku umum dan
abstrak sifatnya itu ada peristiwa yang konkrit yang khusus sifatnya, ketentuan UU itu harus
diberi arti, dijelaskan atau ditafsirkan dan diarahkan atau disesuaikan dengan peristiwanya.
Hakim sebagai hukum dan keadilan, harus berusaha memberi suatu keputusan yang seadil –
adilnya,Tentunya dengan mengingat ketentuan hukum tertulis yang berlaku, maupun hukum
tidak tertulis serta nailai – nilai hukum yang hidup dikalangan masyarakat dan akhirnya
pendapat hakim itu sendiri ikut menentukan.Untuk itulah hakim diberi wewenang untuk
melakukan penafsiran hukum.

Interprestasi / penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberikan
penjelasan yang gamblang. Mengenai teks UU, agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan
sehubungan dengan peristiwa hukum tertentu. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan
yang harus menuju pada pelaksanaan hukum yang dapat diterima oleh masyarakat melalui
peraturan hukum , terhadap peristiwa yang konkrit.

Metode interprestasi adalah Sebagai salah satu alat untuk mengetahui makna UU.

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa hakim menafsiarkan undang-undang
termasuk perjanjian dimaksudakan untuk menemukan hukum dengan tujuan untuk
menyelesaikan peristiwa hukum konkrit yang diajukan padanya.
PENAFSIRAN

Macam – macam cara penafsiran :

A. Dilhat dari segi penafsiran dibedakan :

1. Penafsiran dalam pengertian Subjektif dan Objektif.

Dalam PENGERTIAN SUBJEKTIF apabila ketentuan UU ditafsirkan seperti yang dikendaki


oleh pembentuk UU. Dalam pengertian objektif apabila ketentuan Uuitu lepas dari pendapat
penbentuk UU, dan sesua dengan bahasa sehari-hari

2. Dalam pengertian sempit dan luas.

Dalam pengerian sempit yaitu apabila dalil yang ditafsirkan diberi pengetian yang sangat
dibatasi. Sebagai contoh penafsiran terhadap kata barang dalam pasal 362 KUHP diartikan
sebagai benda yangdapat dilihat atau diraba saja. Dalam penngertian luas yaitu apabila dalil
yang ditafsirkan diberi pengertian selua-luasnya. Contoh misalnya ditafsirkan terhadap hanya
benda yang dapat diliha atau diraba saja tetapi juga termasuk juga alirana listrik.

B. Dilihat dari segi sumber penafsiran.

Dilihat dari segi sumbernya, penafsiran dapat bersifat:

a. Autentik ialah penafsiran seperti yang diberikan oleh pembentuk UU sendiri, sebagai mana
yang dicantumkan dalam penjelasan UU. Penfsiran autentik mengikat umum.

b. Doktriner (ilmiah) ialah penafsiran yang didapat dalam buku-buku dan lain-lain hasil karya
para ahli. Hakim tidak terikat dengan panafsiran doktriner, karena penafsiran ini hanya
mempunyai nilai teoritis.

c. Hakim ( Penafsiran yang bersumber dari hakim atau peradilan, hanya mengikat pihak –
pihak yang bersangkutan dan berlaku bagi jasusu teretntu.Sebagai contoh pasa 1917 ayat 1
Kuh Perdata yang menyatakan kekuatan suatu putusan hakim yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap tidaklah lebih luas dari sekedar mengenai perkara yang telah
diputuskan itu
Metode penafsiran ada beberapa :

1. Penafsiran Gramatikal adalah penafsiran menurut tata bahasa atau kata – kata bahasa dan
kata – kata merupakan alat bagi pembentuk UU untuk menyatakan maksud atau
kehendaknya.

Kata – kata itu atau susunan kalimat harus singkat jelas dan tepat. Untuk memoergunakan
kata – kata itu tidaklah mudah. Oleh karena itu apabila hakim ingin mengetahui apa yang
dimaksud atau apa yang dikehendaki oleh pembentuk UU, hakim harus menafsirkan kat a-
kata didalam ketentuan Uu yang bersangkutan ia harus mencari arti kata – kata didalam
kamus atau mintak penjelasan dari ahli bahasa.Inipun sering tidak cukup dan hakim harus
mencari jalan lain misalnya mencari sejarah penggunaan kata – kata tersebut, pada waktu UU
itu ditetapkan.

2. Penafsiran Historis ( Sejarah ).

Adalah penafsiran makna ketentuan UU menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah
terjadinya, Menurut peraturan Per UU an , tentu mempunyai sejarah dan dari sejarah per UU
an ini hakim mengetahui maksud dari pembentuknya. Penafsiran historis ini dibedakan dalam
2 macam yaitu :

A. Penafsiran menurut sejarah terjadinya UU.

Dinamakan penafsiran sempit, hanya menyelidiki apakah maksud pembentuk UU, dalam
menetapkan peraturan per UU an itu atau sipa yang membuat rancangan UU itu, apa dasar –
dasarnya, apa yang diperdebatkan dalam sidang – sidang DPR, sehingga UU dapat ditetapkan
secara resmi.

Apabila penelitian tersebut telah menunjukkan bahwa peraturan per UU an itu mengambil
asas – asas sistem hukum terdahulu atau pada sistem hukum yang lain. Maka hakim
menafsirkan menurut sejarah terbentuknya UU terlebih dahulu dan kemudian baru diadakan
penelitian menurut sejarah hukum.

Bagi hakim penafsiran historis adalah kepentingan praktek, maka penafsiran menurut sejarah
hukum dan penetapan UU tidak ada perbedaan.

Menurut Scolten , mengetahui maksud dan kehendak UU belum cukup bagi hakim sebab
hakim harus menerapkan peraturan – peraturan itu sesuai dengan asas keadilan masyarakat
sekarang. Hukumitu dinamis, selalu berubah – rubah sesuai dengan perkembangan
masyarakat. Dengan demikian arti peraturan per UU an positif, belum tentu cocok dengan
kenyataan. Maka Scolten juga berpendapat bahwa penafsiran historis dengan sendirinya
membimbing hakim kearah penafsiran sosiologis. Penafsiran Scholten ini sesuai dengan
praktek hakim di indonesia.

Dalam yurisprudensi jarang dijumpai adanya hubungan yang didasarkan kepada penafsiran
sejarah hukum seperti zaman VOC, Romawi dsb :

B. Penafsiran menurut sejarah hukum.

Penafsiran historis ini, dinamakan penafsiran yang luas, karena penafsiran terbentuknya UU
termasuk didalamnya. Penafsiran ini meyelidiki apakah asal usul peraturan hukum itu, dari
suatu sistem hukum yang dahulu pernah berlaku dari negara lain.

Misalnya KUH Perdata yang berasal dari BW Belanda, BW ini berasal dari Kode Sipil
Perancis atau Kode napolleon. Masuknya kode sipil Perancis ke Belanda berdasarkan asas
konkordansi sam halnya masuknya BW ke indonesia sebagai negara jajahan.

C. Penafsiran Sistematis.

Yaitu penafsiran yang menghubungkan ketentuan yang satu dengan ketentuan yang lain
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga kita mengerti apa yang
dimaksud.

Contoh: Pasal 1330 KUH Perdata mengemukakan “tidak cakap berbuat perjanjian antara lain
adalah orang yang belum dewasa” sedangkan untuk mengetahui apakah yang dimaksdu
dengan dewasa kita melakukan penafsiran sistematis dengan melihat pasal 330 KUH Perdata
yang menentukan batas dibawah umum belum dewasa adalah 21 tahun dan tidak lebih dulu
telah kawin.

D. Penafsiran Teleologis-Sosiologis.

Adalah penafsiran kata-kata atau kalimat dalam ketentuan undang-undang dengan maksud
dan tujuan pembentuk undang-undang. Tujuan itu ditentukan secara objektif. Terjadi apabila
makna UU itu diterapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Peraturan perUUan
disesuaikan dengan situasi sosial yang baru. Ketentuan UU yag telah using digunakan
sebagai sarana untuk memecahkan masalah yang terjadi sekarang.

Uttrecth, setiap penafsiran UU yang dimulai dengan penafsiran menurut bahasa harus diakhiri
dengan penafsiran sosiologis, jika tidak maka tidak terjamin dibuatnya suatu putusan hakim
yang sungguh-sungguh sesuai dengan keadaan masyarakat.

Bagi hakim penafsiran ini penting meningat banyak peraturan yang dibuat jauh dari waktu
yang dipergunakan. Yang tidak berlaku lagi BW, WvK, WvS diganti dengan:
UU no. 5 tahun 1960 UUPA, pengganti ketentuan berhubungan dengan tanah dalam buku II
BW.

UU no. 1 tahun 1974, menggantikan perkawinan Buku I BW.

UU no. 4 tahun 1971, menggantikan pasal 54 WvK tentang perubahan hak suara pada PT.

UU No. 11 tahun 1953 tentang BI menggantikan UU de Javasche Bank Srb. 180 tahun 1922.

Barang dalam 362 KUHP.

E. Penafsiran Ekstensif dan Restriktif.

Ekstensif adalah metode penafsiran yang memperluas arti kata-kata dalam UU sehingga suatu
peristiwa konkrit yang terjadi dapat dimasukkan ke dalam ketentuan UU tersebut. Mis listrik
termasuk benda. Perkataan menjual dalam pasal 1576 KUH Perdata ditafsirkan luas sehingga
meliputi setiap perbuatan memperalihkan hak.

Penafsiran restriktif adalah metode penafsiran hukum dengan membatasi atau mempersempit
arti kata-kata dalam UU. Misalnya kata kerugian tidak termasuk kerugian yang tidak
berwujud seperti sakit, cacat.

ARGUMENTASI

1. Argumentum Per Analogium.

Kadang-kadang peraturan perundang-undangan terlalu sempit ruang lingkupnya, dalam hal


ini untuk dapat menerapkan UU pada peristiwa konkritnya, hakim akan memperluas daya
cakup ketentuan yang sempit dengan metode argumentum peranalogium atau metode berfikir
analogi (kias, ibarat) maka peristiwa yang serupa, sejenis, mirip dengan yang diatur dalam
UU diperlakukan sama. Penemuan hukum dengan jalan analogi terjadi dengan mencari
peraturan umumnya dari peraturan khusus dan akhirnya menggali asas yang terdapat di
dalamnya. Dengan analogi ketentuan peraturan peraturan perundang-uandangan yang khusus
dijadikan peraturan yang bersifat umum tidak tertulis dalam UU, diterapkan terhadap suatu
peristiwa khusus tertentu, sedangkan peraturan perUUan tersebut sesungguhnya tidak
meliputi peristiwa khusus tertentu, tetapi peristiwa mirip atau serupa dengan peristiwa yang
diatur dalam perUUan.

Contoh: Pasal 1576 KUHPerdata: penjualan barang yang disewa tidak memutuskan
perjanjian sewa-menyewa, kecuali telah diperjanjikan. Dengan jalak analogi pengertian jual
dalam ketentuan khusus dijadikan ketentuan umum yang tidak terdapat dalam KUH Perdata,
sehingga mencakup setiap bentuk peralihan hak, dengan demikian pasal 1576 yang bersifat
khusus dapat diterapkan juga pada peristiwa hibah, tukar-menukar.
Metode argumentum peranalogium digunakan apabila hakim mendapati peristiwa-peristiwa
hukum konkrit yang mirip. Menurut Zevenbergen analogi dipergunakan tidak hanya sekedar
kalau perkara yang akan diputus oleh hakim itu mirip dengan peristiwa yang diatur dalam
dalam UU, tetapi juga apabila kepentingan masyarakat hukum menuntut penilaian yang
sama. Lamaire mengemukakan bahwa analogi merupakan salah satu metode penemuan yang
sekaligus juga merupakan penciptaan sesuatu hal yang baru. Analogi ini dapat juga disebut
interprestasi ekstensif karena memperluas makna ketentuan UU.

Didalam Hukum pidana analodi dilarang sedangkan interprestasi ekstensif


diperbolehkan/larangan tersebut berkaitan dengan ketentuan pasal 1 KHUP.

2. Argumantum A Contrario.

Adakala suatu peristiwa tidak secara khusus diatur tetapi kebalikan dari suatu peristiwa
tersebut diatur dalam UU. Penemuan hukum bagi peristiwa tersebut tidak diatur secara
khusus itu dilakukan dengan menggunakan metode argumentum a contrario, yang merupakan
cara penafsiran terhadap ketentuan UU yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara
peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam UU. Jika dalam suatu
ketentuan UU diatur secara tegas suatu peristiwa tertentu tetapi peristiwa lain yang mirip
tidak diatur, maka untuk peristiwa yang mirip itu berlaku kebalikan. Berbeda dengan pada
argumentum peranalogian yang menitik berat pada kemiripan. Contoh: Pasal 39 PP No. 9
Tahun 1975 yang menetukan bahwa waktu tunggu bagi seorang janda yang hendak kawin
lagi setelah bercerai ditetapkan 130 hari, pasal ini khusus untuk janda, untuk duda berlaku
kebalikannya.

C. Rechsverfijning.

Kadang-kadang perUUan itu ruang lingkupnya terlalu umum atau luas, maka perlu
dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap peristiwa tertentu. Dengan menggunakan
metode Rechtsverfijning atau penyempitan hukum dibentuklah pengecualian-pengecualian
atau penyimpangan-penyimpangan baru dari peraturan-peraturan yang bersifat umum.
Peraturan yang bersifat umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang
khusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan member ciri-ciri.

Contoh:

Penyempitan hukum dapat dikemukakan ketentuan pasal 1365 HUK Perdata yang
menentukan:

Tiap perbuatan melawan hukum, yang mengakibatkan kerugian pada orang lain, mewajibkan
orang yang bersalah untuk menggantikan kerugian.

UU tidak tidak menjelaskan apakah kerugian yang harus diganti juga oleh pihak yang
dirugikan yang juga ikut bersalah menimbulkan kerugian itu.
Misalnya: jika terjadi tabrakan A dan B. Kedua kenderaan sama-sama rusak, saling tuntut
ganti rugi dan timbul kompensasi.

Anda mungkin juga menyukai