BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, seyoyanya menempatkan hukum
sebagai panglima, dalam makna bahwa negara wajib memberikan perlindungan yang
proporsional yang mencerminkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi
seluruh masyarakat. Negara hukum harus dapat memberikan jaminan kepada masyarakat
pencari keadilan. Peradilan sebagai benteng terakhir pencari keadilan, seyogyanya
mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap
badan peradilan. Realitas menunjukan bahwa terjadinya main hakim sendiri,
peningkatan kualitas dan kuantitas kriminalitas, serta enggannya masyarakat
menyelesaikan sengketa perdata melalui badan peradilan menunjukkan bahwa sedang
terjadi degradasi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum di Republik ini.
Salah satu pengejawantahan negara hukum tersebut terdeskripsi pada Peradilan
yang bebas dan tidak memihak. Ujud dari output peradilan adalah keputusan hakim.
Hakim memiliki tugas pokok yakni mengadili, memeriksa dan memutuskan suatu
perkara dengan alasan hukumnya tidak jelas atau belum ada. Bagi hakim, memutuskan
setiap perkara yang diajukan kepadanya merupakan kewajiban.
Hukum itu berawal dan berakhir pada putusan pengadilan. Keberadaan hukum
baru terasa jika ada sengketa, dan sarana terakhir untuk menyelesaikan suatu
persengketaan hukum tertentu saja melalui pranata pengadilan yang berwujud putusan
hakim. Hakim berkewajiban untuk menerapkan hukum pada kasus konkret. Dan dalam
kepustakaan hukum upaya penerapan hukum dalam kasus konkret tersebut disebut
sebagai seni. Hal tersebut selaras dengan Will Durant (Suriasumantri, 2001:24-25) yang
menyatakan bahwa Tiap ilmu dimulai dengan Filsafat dan diakhiri dengan seni. Disisi
lain Apeldoorn (2005:377) menyatakan bahwa hukum sebagai kesenian hidup adalah
primair; takkan ada pergaulan manusia dengan tiada hukum. Lebih lanjut dinyatakan
bahwa dalam abad menengah seni rupa acapkali mengabdi pada hukum: seni lukis dan
seni gambar lebih-lebih seni miniatur berusaha memperlihatkan pandangan-pandangan
hukum dengan wujud yang hidup. Penerapan seni juga terdeskripsi melalui penerapan
tujuan hukum.dalam keputusan hakim. Idealnya suatu keputusan hakim harus
mengandung ketiga unsur yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum secara
proporsional.
Seni mengandung makna luas yakni penggunaan budi pikiran untuk
mengahsilkan karya yang menyenangkan bagi roh manusia. Ini meliputi pengungkapan
khayali yang jelas mengenai benda-benda(atau pikiran tentang benda-benda) seperti
dalam pahatan, lukisan, gambar. Tetapi khayalan juga memperoleh pengungkapan dalam
seni musik, drama, tari, sajak dan arsitektur, dan daftar hal itu dapat diperpanjang.(The
Liang Gie, 2005:13).
Makna lain dari Seni adalah suatu kegiatan (proses) dan sekaligus juga sebuah
hasil kegiatan (produk). Kedua hal itu dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan
(The Liang Gie, 2005:14). Sedangkan pandangan lain menyatakan bahwa Seni adalah
segenap kegiatan budi pikiran seseorang (seniman) yang secara mahir menciptakan
sesuatu karya sebagai pengungkapan perasaan manusia hasil ciptaan dari kegiatan itu
ialah suatu kebulatan organis dalam sesuatu bentuk tertentu dari unsur-unsur bersifat
ekspresif yang termuat dalam suatu medium inderawi (The Liang Gie, 2005:18). Dari
berbagai pemaknaan secara teoretis tersebut, mendorong penulis untuk membedah
eksistensi suatu putusan hakim disebut se
ni.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang menjadi fokus dalam makalah ini berkenaan dengan keputusan
hakim pada Badan Peradilan. Di media, terurai jelas bahwa berbagai keputusan hakim
yang menurut awam kontroversial. Bahkan acapkali berbagai keputusan hakim
menimbulkan kesemrawutan. Apakah upaya hakim menuangkan
pemikiran dan
kreativitasnya dalam menerapkan hukum dalam kasus kongkret, dapat disebut sebagai
seni?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dalam makalah ini adalah: untuk mengetahui eksistensi putusan hakim
dalam menuangkan kreativitasnya dalam menerapkan hukum pada kasus kongkret
adalah seni
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aliran-Pemikiran Tentang Hubungan Tugas Hakim dan Undang-Undang
Timbulnya berbagai aliran pemikiran tentang hubungan antara tugas hakim dengan
eksistensi undang-undang, tidak lain karena penghubungan antara: Peraturan perundangundangan di satu pihak, dengan fakta konkrit yang diperiksa oleh hakim.Menurut
Achmad Ali (2002:129) yang menjadi pertanyaan adalah : apakah di antara peraturan
tesebut dengan fakta konkret yang diperiksa oleh hakim, masih ada sesuatu atau
tidak? Atau dengan lain kata, yang berlaku di dalam penyelesaian fakta konkrit yang
diadili oleh pengadilan itu, aturan hukum atau undang-undangnya ataukah hasil dari
penilaian hakimnya.
Menurut Achmad Ali (2002:129) Pada dasarnya ada 2 jawaban tentang pertanyaan
itu, yaitu:
1. Bagi kaum dogmatik, hukum adalah peraturan (tertulis), yaitu undang-undang.
Dalam hal ini, tugas hakim adalah menghubungkan antara fakta konkrit yang
diperiksanya dengan ketentuan undang-undang. Kaum dogmatik melihat adanya 2
kemungkinan, adanya sesuatu proses di antara dua elemen tadi (peraturan dan
fakta ) fakta :
a. proses penerapan hukum oleh hakim,
Disini hakim hanya menggunakan hukum-hukum logis, yaitu sillogisme.
b. Proses pembentukan hukum oleh hakim,
Disini hakim tidak lagi sekedar menggunakan hukum-hukum logika melaikan
sudah memberikan penilaian. Ini yang disebut interprestasi dan kontruksi yang
oleh kaum legis tidak dibolehkan.
2. Bagi kaum non-dogmatik yang melihat hukum tidak sebagai sekedar kaidah, tetapi
juga kenyataan dalam masyarakat, maka undang-undang bukan satu-satunya hukum.
Bagi kaum non-dogmatik, undang-undang bukan satu-satunya sumber hukum, tetapi
masih sumber hukum yang lain yaitu : kebiasaan, traktat, yurisprudensi, doktrin,
kaidah agama, bahkan nilai-nilai kepatutan yang hidup di dalam masyarakat. Dalam
pandangan kaum non-dogmatik ini, tugas hakim adalah konkrit yang diperiksanya.
Dalam penghubungan antara sumber hukum dan fakta konkrit itu, kahim melakukan
penilaian.
Prof. Paul Scolten mengemukakan bahwa:
Hukum itu ada, akan tetapi harus ditemukan, dalam apa yang ditemukan itulah
terletak yang baru. Hanya orang yang mengidentikkan hukum dengan peraturanperaturan m harus memilih atau penciptaan atau penerapan. Apabila ada faktorfaktor yang lain, maka dilema itu hapus...(Achmad Ali, 2002:134).
Sudikno Mertokusumo (dalam bukunya: Bab-bab tentang Penemuan Hukum,
1993:12) menyatakan bahwa:
Ketentuan undang-undang tidak dapat diterapkan begitu saja secara langsung
pada peristiwanya. Untuk dapat menerapkan ketentuan undang-undang yang
berlaku umum dan abstrak sifatnya itu pada peristiwanya yang konkrit dan
khusus sifatnya, ketentuan undang-undang itu harus diberi arti, dijelaskan atau
ditafsirkan dan diarahkan atau disesuaikan dengan peristiwanya untuk kemudian
baru diterapkan pada peristiwanya. Peristiwa hukumnya harus dicari lebih dahulu
dari peristiwa konkritnya kemudian undang-undangnya ditafsirkan untuk dapat
diterapkan.
Lebih lanjut, Sudikno Mertokusumo (1993:12) mengemukakan bahwa:
Setiap peraturan hukum ini bersifat abstrak dan pasif. Abstrak karena umum
sifatnya dan pasif karena tidak akan menimbulkan akibat hukum kalau tidak
terjadi peristiwa konkrit. Peraturan hukum yang abstrak itu memerlukan
rangsangan agar dapat aktif, agar dapat diterapkan pada peristiwa yang cocok.
Selama berabad-abad, hubungan antara perudang-undangan dengan putusan hakim
menimbulkan polimik yang tak putus-putusnya dan melahirkan berbagai aliran
pemikiran dalam ilmu hukum.
Mula-mula dikenal aliran legis, yang cendrung memandang hakim tidak lain hanya
sekedar terompet undang-undang (bouche de la loi). Kemudian muncul aliran penemuan
hukum oleh hakim, yang memandang hakim dapat mengisi kekosongan perundangundangan dengan cara konstruksi hukum atau interprestasi. Terakhir muncul lagi aliran
realis di Amerika Serikat dan Skandinavia, yang pada pokoknya memandang hakim
tidak sekadar menemukan hukum melainkan membentuk hukum melalui
putusannya. Bagi aliran realis, kaidah-kaidah hukum yang berlaku memang ada
pengaruhnya terhdap putusan hakim, akan tetapi hanya berlaku salah satu unsur
pertimbangan. Selain unsur kaidah hukum itu, putusan hakim juga dipengaruhi oleh
prasangka politik ekonomi ataupun moral.
Bahkan perasaan simpati dan antipati pribadi turut mempengaruhi putusan hakim.
Dalam hubungan tugas hakim dan perudang-undangan terdapat beberapa aliran sebagai
berikut:
1. Aliran Legis
Pada saat Hukum Kebiasaan mendominasi, di saat itu terasa betapa ketidakpastian
berlangsung di dunia hukum. Akhirnya muncul masa dimana kepercayaan sepenuhnya
dialihkan pada undang-undang untuk mengatasi ketidakpastian dari hukum tak tertulis.
Tetapi terjadilah kepercayaan yang berlebihan akan kemampuan undang-undang.
Kepastian hukum memang mungkin terwujud dengan undang-undang, tetapi dipihak
lain muncul kelemahan undang-undang, khususnya sifatnya, khususnya sifatnya yang
statis dan kaku.
Beberapa abad lampau, kalangan hukum pernah sangat mendewakan eksistensi dan
kemampuan undang-undang. Montesquieu pernah mengemukakan bahwa : Hakimhakim rakyat tidak lain hanya corong yang mengucapkan teks undang-undang. Jika teks itu tidak
berjiwa dan tidak manusiawi, para hakim tidak boleh mengubahnya, baik tentang kekuatannya
maupun tentang keketatannya.
Juga Rousseau (Achmad Ali, 2002: 133) dalam teori kedaulatan rakyat yang
dianutnya berpendapat bahwa yang merupakan kekuasaan tertinggi dalam satu negara
adalah kehendak bersama rakyat, dan kehendak bersama itu diwujudkan dalam undangundang. Oleh karena itu undang-undanganlah satu-satunya hukum dan sumber hukum,
dan hakim tidak boleh melakukan pekerjaan pembuat undang-undang
Legisme ini, menurut Sudikno Mertokusumo (1993 : 42):
Pada abad pertengahan timbullah aliran berpendapat bahwa satu-satunya
sumber hukum adalah undang-undang, sedangkan peradilan berarti sematamata penerapan undang-undang pada peristiwa yang konkrit (pasal 20,21
Peraturan Umum mengenai Perudang-undangan untuk Indonesia /S. 1847-23).
Hakim hanyalah subsumptie automaat, sedangkan metode yang dipakai adalah
geometri yuridis. Kebiasaannya hanya mempunyai kekuatan hukum apabila
ditunjuk oleh undang-undang (pasal 3 Peraturan Umum tersebut di atas).
Hukum dan undang-undang adalah identik, yang dipentingkan disini adalah
kepastian hukum.
Padangan legis semakin lama semakin ditinggalkan orang, karena semakin lama
semakin disadari bahwa undang-undang tidak perna lengkap dan tidak selamanya jelas,
bagaimanapun undang-undang menentukan kaidah secara umum, tidak tertentu pada
suatu kasus tertentu. Sifat undang-undang yang abstrak dan umum itu, menimbulkan
kesulitan dalam penerapannya secara in-kokreto oleh para hakim di pengadilan. Tidak
mungkin hakim mampu menyelesaikan persengketa, jika hakim hanya
berfungsi
10
11
pertimbangan budi yang kadang-kadang sifatnya memang irrasional. agi penganut aliran
ini, keadilan dan kemanfaatan hukum bagi warga masyarakat diabaikan.
Salah satu contoh cara berpikir begriffsjurisprudenz adalah yang dicontohkan oleh
Achmad Sanusi sebagai berikut:
Perhatikan apa yang disimpulkan oleh Mr. Heinsius dari suatu ketentuan Toelating en
vestigingsbesluit, Zij op wie de bepalingen Indie gevestigd te zijn dan na daartoe
schriftelijke vergunning te hebben bekomen, bahwakatanya oleh karena peraturan ini
tidak juga memuat pengecualian bagi orang-orang Indonesia, yang sudah turun-temurun
berada di sini, maka siapa saja yang tidak mempunyai izin tertulis untuk menetap di sini,
ia harus dipandang sebagai bukan penduduk Indonesia. Atau putusan Hogeraad 18 Juni
1910 berkenan dengan kekuasaan orang tua dan perwalian yang sifatnya utuh dan tidak
dapat dipecah-pecah, sehinggakatanyaseorang bapa atau ibu yang sesudah
berlangsung perceraian tidak diserahi hak perwalian, tidak berhak untuk melihat anakanaknya atau untuk bergaul dengan mereka. Atau Putusan Hogeraad 17 Desember 1909
juga, tatkala menolak adanya hak waris bagi Vereniging tot uitbreiding der Museum te
Haarlem, dari seorang Druyvestein, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan, bahwa
tatkala orang yang membuat wasiat itu meninggal (2 April 1905), vereniging tersebut
karena pengurusnya lupa meminta pengakuan yang baru harus dianggap belum ada
sebagai badan hukum sebab pengakuan lama sudah berakhir pada tanggal 31 Mei
1904(Achmad Ali, 2002:138).
b.
kritik
terhadap
aliran
begriffsjurisprudenz,
muncul
aliran
12
teori tujuan hukum, maka jelas aliran ini penganut utilitarisme. Hakim mempunyai
freies Ermessen.
Ukuran-ukuran tentang mana ketentuan undang-undang yang sesuai dengan
kesadaran hukum dari keyakinan hukum warga masyarakat, tergantung pada ukuran dari
keyakinan hakim (overtuiging), di mana kedudukan hakim bebas mutlak. Bagaimanapun
aliran ini membuka peluang kesewenang-wenangan karena hakim adalah manusia biasa
yang takkan mungkin terlepas dari berbagai kepentingan dan pengaruh sekelilingnya,
termasuk pengaruh kepentingan pribadi, keluarga dan sebagainya. Faktor subjektif yang
ada pada diri hakim sebagai manusia biasa, akan sangat mudah menciptakan
kesewenang-wenangan putusan hakim.
Sehubungan dengan itu, Sudikno
bahwa:
Aliran ini sangatlah berlebih-lebihan karena berpendapat bahwa hakim tidak
hanya boleh mengisi kekosongan undang-undang saja, tetapi bukan boleh
menyimpang.
Namun demikian, Sudikno Mertokusumo (1993:45) juga melihat hikmah dari
pandangan aliran ini, sebagai berikut:
Walau bagaimanapun juga aliran bebas tersebut di atas telah menanamkan
dasar bagi pandangan yang sekarang berlaku tentang undang-undang dan
fungsi hakim.
13
14
sangat menekankan betapa perlunya para hakim memiliki wawasan pengetahuan yang
luas, bukan sekedar ilmu hukum dogmatik belaka, tetapi seyogianya juga mendalammi
ilmu-ilmu sosial lain seperti: sosiologi, antropologi, politik, ekonomi, dan sebagainya.
(Achmad Ali, 2002:140).
Seorang hakim seyogianya adalah orang yang memiliki wawasan ilmu dan
pengetahuan yang cukup luas, bukan sekadar menguasai peraturan-peraturan hukum
yang tertuang dalam berbagai perundang-undangan, melainkan juga menguasai ilmu
ekonomi, sosiologi, politik, antropologi, dan lain-lain. Untuk memperoleh hakim yang
berkualitas semacam itu, banyak ditentukan pula oleh proses rekrutmen calon hakim.
Seyogianya yang diterima sebagai calon hakim adalah lulusan-lulusan terbaik dari
fakultas-fakultas hukum serta yang memiliki mentalitas yang cukup baik. (Achmad Ali,
2002:146).
Peningkatan kualitas bagi para hakim sendiri juga harus senantiasa dilakukan,
baik dengan penataran atau kursus-kursus, maupun dengan sering-sering mengikutkan
para hakim dalam pertemuan-pertemuan ilmiah, seperti seminar, simposium, dan
sebagainya. (Achmad Ali, 2002:141).
Pengikut lain dari aliran ini diantaranya adalah: J. Valkhof (dalam
karangannya: Een eeuw rechtsotwikkeling dan juga Grondwet en Maatschappij in
Nederland), A. Auburtin (dalam karangannya: Amerik, Rechtsauffassung und die
neueren Amerik. Theorien der Rechtssoziologie und des Rechtsrealismus), dan G.
Gurvitch (dalam karnagannya: Lidee du Droit social) (Achmad Ali, 2002:141).
15
Scholten, guru besar Universitas Amsterdam, dewa pemikiran hukum dari Belanda, di
mana Scholten mengemukakan pandangannya secara sangat terinci dalam bukunya yang
berjudul: Mr. C. Assers Handleiding Tot De Beoefening van Het Nederlandsch
Burgerlijk Recht: Algemeen Deel, tentang apa yang ia maksudkan sebagai penemuan
hukum oleh hakim dan bagaimana permasalahannya (Achmad Ali, 2002:141).
Bagi Scholten, hukum merupakan satu sistem, yang berarti semua aturan saling
berkaitan, aturan-aturan itu dapat disusun secara mantik, dan untuk yang bersifat khusus
dapat dicarikan aturan-aturan umumnya, sehingga tiba pada asas-asasnya. Namun
tidaklah berarti bahwa hakim hanya bekerja secara mantik semata-mata. Hakim juga
harus bekerja atas dasar penilaian, dan hasil dari penilaian itu menciptakan sesuatu yang
baru. Paul Scholten melihat bahwa sistem hukum itu logis, tetapi tidak tertutup. Inilah
ajarannya yang disebut open systeem van het recht. Sistem hukum itu tidak statis, karena
sistem hukum itu membutuhkan putusan-putusan atau penetapan-penetapan yang
16
senantiasa menambah luasnya sistem hukum tersebut. Karena itu lebih tepat jika kita
menyatakan bahwa sistem hukum itu sifatnya terbuka (Achmad Ali, 2002:141).
Paul Scholten melihat bahwa penilaian hakim itu dilakukan dalam wujud
interprestasi dan kontruksi. Undang-undang mempunyai kebebasan yang lebih primer,
sedangkan hakim mempunyai keadaan terikat pada yang lebih primer itu. Pandangan
Scholten pada beberapa segi memiliki kemiripan dengan ajaran Stufenbau des Rechts
baik dari A. Merki maupun Hans Kelsen. Mirip tetapi tidak sama pada segi lainnya.
Menurut Pitlo, Scholten menekankan setiap pengucapan putusan sekaligus merupakan
sumbangan dalam pembentukan hukum, dan bahwa setiap putusan adalah menciptakan
hukum. (Achmad Ali, 2002:141).
e. Penemuan Hukum Heteronom dan Otonom
Dengan mengacu juga pada pandangan Knottenbelt (dalam karangannya:
Inleiding in het Nederlandse Recht, hal. 98), Sudikno menuliskan bahwa yang dimaksud
dengan penemuan hukum yang heteronom, adalah jika dalam penemuan hukum hakim
sepenuhnya tunduk pada undang-undang. Penemuan hukum ini terjadi berdasarkan
peraturan-peraturan di luar diri hakim. Pembentuk undang-undang membuat peraturan
umumnya, sedangkan hakim hanya mengkonstatir bahwa undang-undang dapat
diterapkan pada peristiwanya, kemudian hakim menerapkan menurut bunyi undangundang. Dengan demikian, maka penemuan hukum yang heteronom ini tidak lain
merupakan penerapan undang-undang yang terjadi secara logis terpaksa sebagai
silogisme (Achmad Ali, 2002:142).
17
18
membutuhkan
kreativitas
hakim,
pula
menyimpulkan
19
2).
20
sesuatu yang tidak dapat diabaikan. Berpikir tajam adalah merumuskan secara
tajam. Dengan demikian siapa saja yang mengatakan: saya tahu, tetapi saya tidak
dapat mengatakannya dengan baik adalah merupakan omong kosong. Mengapa?
Karena kalau seseorang mengatakan ia tahu, berarti ia telah menjelaskan pada
dirinya sendiri dengan kata-kata. Jadi tepatlah kalau kita tiba pada kesimpulan
bahwa bahasa senantiasa terlalu miskin bagi pikiran manusia yang sangat
bernuansa. Satu kata sering mempunyai seratus makna. Apa yang dimaksud kalau
kita mengatakan seseorang itu miskin? 1001 arti bisa muncul. Apakah miskin
secara ekonomis? Ataukah miskin secara akhlak ? Ataukah miskin secara
ilmu? dan seterusnya. Lantas miskin akan berkelanjutan, apa kriteria miskin
secara ekonomis? Apa kriteria miskin secara akhlak ? Apa kriteria miskin
secara ilmu? dan seterusnya. Tampaklah bahwa bahasa merupakan alat yang
sering telah menimbulkan kekacauan dalam pembicaraan yang dilakukan terhadap
diri sendiri, karena sering kita mengakui bahwa kita, diluar kesadaran, telah
menggunakan satu kata untuk menyatakan lebih dari satu pengertian, sehingga
pikiran kita tetap saja keruh. Belum lagi kalau kita dengan perantaraan bahasa lisan
maupun tulisan berusaha memindahkan pikiran kita kepada orang lain yang
mungkin memberi nilai pada kata yang bersangkutan, yang ternyata bertentangan
dengan apa yang dimaksudkan oleh pembicara atau penulis. Hal ini penulis sering
saksikan bahkan alami ketika menyajikan makalah dalam forum yang pesertanya
terdiri dari berbagai kalangan. Dengan satu kalimat yang sama yang penulis
kemukakan, diartikan berbeda-beda oleh berbagai peserta (Achmad Ali,
2002:145).
21
22
b.
a.
tahap konstatir: di sini hakim mengkonstatir benar atau tidaknya peristiwa yang
diajukan. Misalnya benarkah si A telah memecahkan jendela rumah si B, sehingga
si B menderita kerugian? Di sini para pihak (dalam perkara perdata) dan penuntut
umum (dalam perkara pidana) yang wajib untuk membuktikan melalui penggunaan
alat-alat bukti. Dalam tahap konstatir ini kegiatan hakim bersifat logis. Penguasaan
hukum pembuktian bagi hakim, sangat dibutuhkan dalam tahap ini.
tahap kualifikasi: di sini hakim kemudian mengkualifikasir termasuk hubungan
hukum apakah tindakan si A tadi? Dalam hal ini dikualifikasir sebagai perbuatan
melawan hukum (Pasal 1365 BW).
tahap konstituir: di sini hakim menetapkan hukumnya terhadap yang
bersangkutan (para pihak atau terdakwa). Di sini hakim menggunakan sillogisme,
yaitu menarik suatu simpulan dari premis mayor berupa aturan hukumnya (dalam
contoh ini pasal 1365 BW) dan premis minor berupa tindakan si A memecahkan
kaca jendela si B.
Proses penemuan hukum oleh hakim dimulai pada tahap kualifikasi dan berakhir
pada tahap konstituir. Hakim menemukan hukum melalui sumber-sumber hukum yang
tersedia. Dalam hal ini tidak menganut pandangan legisme yang hanya menerima
undang-undang saja sebagai satunya-satunya hukum dan sumber hukum. Sebaliknya di
sini, hakim dapat menemukan hukum melalui sumber-sumber hukum: undang-undang,
kebiasaan, traktat, yurisprudensi, putusan desa, doktrin, hukum agama, dan bahkan
keyakinan hukum yang dianut oleh masyarakat.
Dalam kaitan ini, Cardozo menyatakan bahwa:
My duty as judge say be to objectify in law, not my own aspirations and
convictions and philosophies, but the aspirations and convictions and
23
philosophies of the men and women of my time. Hardly shall I do this well if
my own symphathies and beliefs and passionate devotions are with a time that
is past. Jadi bagi Cardozo, kewajibannya sebagai hakim untuk menegakkan
objektivitas melalui putusan-putusannya. Bagi Cardozo, putusan-putusannya
tidaklah merupakan perwujudan aspirasi pribadinya, tidak merupakan
manifestasi dari pendirian pribadinya dan tidak merupakan penerapan falsafah
pribadinya; malahan perwujudan dari aspirasi, pendirian dan falsafah warga
masyarakat pada waktu dan di mana putusan itu dijatuhkan (Achmad Ali,
2002:146)
Kreativitas dalam melaksanakan tugas hakim, yang merupakan seni dalam
mengkonstatir, mengkualifikasi dan mengkonstituir tidak hanya berdasarkan fakta dan
keyakinan hakim semata, melainkan harus dapat diterima umum, yakni sesuai dengan
living law. Di Republik ini banyak Putusan Hakim yang kontroversial. Misalnya
bandingkan vonis Tomy Soeharto dengan Maulawarman dan Noval Hadad. Mereka
yang hanya jadi eksekutor di lapangan, diganjar pidana penjara seumur hidup oleh
hakim yang sama. Mengapa Tommy Soeharto yang kejahatannya berakumulasi, hanya
diganjar 15 tahun penjara, serta berbagai putusan hakim yang kontroversial mengenai
pembalakan liar.
Dalam memilih putusan mana yang akan dijatuhkan yang penting bukan
sekedar dipenuhi tidaknya prosedur tertentu menurut undang-undang, tetapi yang
penting menurut Apeldoorn ialah justru setelah putusan itu dijatuhkan yaitu dapat
tidaknya putusan yang akan dijatuhkan itu diterima, baik menurut persyaratan keadilan
maupun persyaratan konsistensi sistem. Pilihan itu ditentukan oleh pandangan pribadi
hakim tentang pertanyaan putusan mana yang paling dapat diterima terutama oleh para
pihak yang bersangkutan dan oleh masyarakat. (Sudikno Mertokusumo, 1996:91).
24
25
korupsi kelas kakap, niscaya hanya kesia-sialah setiap hari segala pidato mengenai
pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa: Kalau wabah pandangan keliru seperti yang
telah menjangkiti semua penegak hukum itu, niscaya meskipun penguasa silih berganti,
tetapi penegakan hukum di Indonesia pasti akan semakin terpuruk. Dan jangan lupa,
suka atau tidak suka, keterpurukan hukum membawa dampak negatif terhadap sektor
kehidupan lain, termasuk sektor perekonomian. Semaksimal apapun yang diupayakan
dalam sektor ekonomi oleh para pakar ekonomi kita, toh akan sia-sia saja. Kalau filosofi
Hakim Amiruddin Zakaria yang dianut, maka menjadi kenyataanlah sinisme ayang
berasal dari abab 1 SM : Laws are spider webs; they hold the weak and delicate who
are caugh in their meshes, but are torn in pieces by the rich and powerful (Hukum
adalah jaringan laba-laba, yang hanya mampu menjerat yang lemah, tetapi akan robek
jika menjerat yang kaya dan kuat).
Dalam rangka aktualisasi putusan hakim sebagai upaya kratifitas yang
dikategorikan sebagai seni dalam membuat keputusan patut memperhatikan tugas
pengadilan sebagaimana dikemukakan oleh
26
27
keseimbangan antara ketiga unsur itu, merupakan seni tersendiri bagi hakim, apakah
lebih memperhatikan unsur keadilan atau yang lain. Oleh karena itu hakim dalam
memutuskan perkara dengan menggunakan rasional juga dengan kecerdasan
emosionalnya. Seni yang digunakan tersebut didasarkan pada ilmu hukum, namun hasil
putusannya bukan sebagai ilmu tetapi sebagaai hukum dan sumber hukum (Sudikno
Mertokusumo, 2007:2)
Kemampuan hakim menggunakan rasional dan kecerdasan emosional dalam
penerapan
kemampuan hakim tentunya dipengaruhi oleh faktor-faktor non hukum, seperti latar
belakang, pendidikan, dan lain-lain yang menurut Satjipto Rahardjo bahwa putusan
hakim ditentukan oleh sarapan paginya.
28
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kreativitas hakim dalam menerapkan hukum dan tujuan hukum dalam suatu
kasus konkret dalam Putusan,
merupakan seni yang didasarkan pada ilmu hukum, dengan demikian putusan hakim itu
adalah hukum dan sumber hukum.
B. Saran
Agar kreativitas seni yang digunakan hakim dalam putusannya memiliki
kualitas, maka seyogyanya hakim memperluas cakrawala wawasan dengan pemahaman
teori hukum dan perundang-undangan secara memadai, guna menghindari berbagai
kesalahan penerapan hukum dalam putusannya.
28
29
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali, 1999. Pengadilan dan Masyarakat. Hasanuddin University Press. Ujung
Pandang.
----------------, 2002,
29
30
Nama
: Roberth K.R. Hammar
Nomor Mahasiswa : 07/259215/SHK/98
Bidang Ilmu
: Hukum
Program
: Doktor
Makalah
Dalam Mata kuliah: Teori Hukum,
Dosen : Prof. Dr. RM. Sudikno Mertokusumo, SH
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2007
31
DAFTAR ISI
32
Makalah
Dalam Mata kuliah: Teori Hukum,
Dosen : Prof. Dr.R.M. Sudikno Mertokusumo, SH
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2007
33
ABSTRAK
Roberth Kurniawan Ruslak Hammar. Keputusan Hakim Dalam Perspektif Seni.
(Mata Kuliah: Teori Hukum, Dosen: Prof. Dr. RM. Sudikno Mertokusumo, SH.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui eksistensi putusan hakim dalam
menuangkan kreativitasnya dalam menerapkan hukum dan tujuan hukum pada kasus
konkret dan merupakan seni.tersendiri.
Hasil kajian menunjukkan bahwa Kreativitas hakim dalam menerapkan hukum dan
tujuan hukum dalam suatu kasus konkret dalam Putusan, menggunakan rasional juga
kecerdasan emosional merupakan seni yang didasarkan pada ilmu hukum, dengan
demikian putusan hakim itu adalah hukum dan sumber hukum.
Agar kreativitas seni yang digunakan hakim dalam putusannya memiliki kualitas, maka
seyogyanya hakim memperluas cakrawala wawasan dengan pemahaman teori hukum
dan perundang-undangan secara memadai, guna menghindari berbagai kesalahan
penerapan hukum dalam putusannya.