YANG BERTANGGUNGJAWAB
i
Undang-Undang Republik Indonesia No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Pasal 2:
1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaanya, yang timbul secara otomatis setelah
suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 72:
ii
KREATIVITAS
YANG BERTANGGUNGJAWAB
Penerbit:
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
iii
Kreativitas yang Bertanggungjawab
Dr. O. Notohamidjojo, S.H.
Penata Letak:
Trifosa Widoningsih
Ilustrasi Sampul:
Michael Bezaleel Wenas
Derry A. Raditya
Desain Sampul:
Bayu Karina
iv
Sambutan Rektor
v
Buku ini adalah dokumen garis-garis haluan yang telah ditoreh
Pak Noto. Tujuh belas tahun beliau butuhkan bukan saja untuk
menorehkan garis-garis haluan itu, akan tetapi juga menjadi
jurumudi bahtera tersebut. Mungkin peralatan yang dimiliki bahtera
itu sederhana saja, yaitu program studi sarjana muda, sehingga garis-
garis itu terasa jauh sekali dari kenyataan. Pada usianya yang ke 55
tahun, 50 tahun kedua, sudahlah waktunya bagi UKSW betul-betul
mewujudkan pelayarannya mengikuti garis-garis haluan tersebut
dengan setia, terutama ketika UKSW sudah memiliki program studi
doktor yang dipandu oleh para guru besarnya. Sudah waktunyalah
UKSW yang adalah universitas magistrorum et scholarium betul-
betul menjadi universitas scientiarum.
Tujuh belas tahun bukanlah waktu yang cukup untuk
mewujudkan garis-garis haluan tersebut. Tetapi 17 tahun adalah
waktu yang cukup untuk menorehkan garis-garis haluan itu secara
bertanggungjawab. Oleh karena itulah penerbitan ulang pikiran-
pikiran Pak Noto di usia ke 55 UKSW adalah tindakan yang tepat,
agar generasi penerus UKSW tahu arah dan tujuan bahtera itu.
“Universitas ini Tuhan yang punya,” demikian Pak Noto sering
mengatakannya. Karena itu, kepadaNyalah saja segala kegiatan dan
tindakan sivitas akademika, terutama para guru besarnya, patutlah
dipertanggungjawabkan. Kiranya pekerjaan yang dipercayakan
kepada seluruh sivitas akademika dapat dilakukan dengan penuh
tanggungjawab kepada Pemilik Universitas ini.
Kepada Panitia Lustrum XI UKSW yang telah bekerja keras
untuk menerbitkan ulang buku ini, patutlah diucapkan terima kasih
yang tulus. Tali penghubung antar generasi telah ditarik, sehingga
mudah-mudahan tidak ada generasi UKSW yang tersesat. Kalau itu
terjadi, universitas ini bukan lagi Satya Wacana, Setia Firman.
vi
Kata Pengantar
vii
kata atau istilah dalam bahasa asing (Inggris, Belanda, Jerman,
Perancis, Arab, Latin dan Bahasa Jawa) dicetak miring. Sebagai
contoh: Sovereignty, Universiteit, Aufklärung, Sans peur, Khalik,
Magistrorum dan Ngelmu. Sementara untuk kata/istilah campuran
Inggris-Indonesia atau Belanda-Indonesia, kami tidak mengubah,
tetap ditulis apa adanya. Sebagai contoh, “Selfkritik,” “Kulturil,”
Buku ini juga dibuat dengan ukuran lebih kecil dari ukuran buku
terbitan tahun 1993, dan menampilkan wajah Dr. O. Notohamidjojo
yang dilukis mengikuti foto asli beliau sebagai cover buku.
Hanya karena anugerahNyalah, maka penerbitan ulang buku
ini dapat dirampungkan. Oleh karena itu patut kita panjatkan rasa
syukur ini kepada Tuhan. Selain itu kami juga mengucapkan terima
kasih yang tulus kepada sejumlah individu, dan lembaga, termasuk
Yayasan Bina Darma, yang telah berpartisipasi dalam upaya
peluncuran kembali buku ini.
Terima kasih yang tulus kepada Arif Sajiarto, Bambang
Susanto, Ferry Karwur, Jubhar Mangimbulude, dan ibu Trifosa
Widoningsih sebagai tim editor, serta rekan-rekan di Lembaga
Kemahasiswaan terutama: Illona, Godfrey, Ivone, Fitri, Jily, Tri,
Anne, Meland, Ones, Jitran, Jimran, Julius, Mose, Rio, Randy, Eben,
Fandy, Risco, Arwyn, Eva, Christina Noviolla, Arnold Karundeng,
sebagai tim pengetikan naskah, dan atas rasa memilikinya, sehingga
hanya dalam waktu yang sangat singkat naskah buku ini dapat
dirampungkan dan diterbitkan kembali.
Dalam keterbatasan kami, kami menyadari kemungkinan
adanya kesalahan redaksional, namun demikian, kami yakin itu
tidak mengubah makna sesungguhnya. Harapan kami, buku ini
dapat menginspirasi, menguatkan, dan menyatukan UKSW
melangkah dan berkarya dalam perjalanan 50 tahun kedua UKSW.
Viva UKSW!
viii
Sekapur Sirih
ix
siapkan pemindahan makam Dr. O. Notohamidjojo, SH dari makam
Cungkup ke makam khusus yang terletak di samping Gedung
Perpustakaan, yang peresmiannya direncanakan bertepatan dengan
ulang tahun wafat almarhum, 2 Mei 1994.
Nama Notohamidjojo tidak hanya diperkenalkan lewat nama
sebuah gedung perpustakaan tingkat tujuh, lewat patung maupun
makam yang dapat disaksikan untuk mengenang kembali perjuangan
merintis Universitas Kristen Satya Wacana, tetapi juga pemikiran-
pemikiran almarhum yang tercermin dalam karangan-karangan,
pidato-pidato Dies Natalis maupun berbagai tulisan yang mencer-
minkan visi dan misi kehidupan yang diembannya, tidak hanya
perlu diketahui tetapi sangat berharga untuk dipelajari.
Lembaga Penelitian Ilmu Sosial UKSW pada tahun 1973 telah
berhasil mengumpulkan dan menerbitkannya, dan kini 20 tahun
kemudian, saat Universitas Kristen Satya Wacana berkembang
dengan pesat. Panitia Notohamidjojo, menerbitkan kembali dua
buku kumpulan karangan dan pidato-pidato almarhum dalam judul
dan isi yang tidak mengalami perubahan:
x
Universitas Kristen Satya Wacana yang telah dicetuskan oleh Dr. O.
Notohamidjojo, SH yang juga pencipta nama “SATYA WACANA”,
setia kepada Firman, dengan lambang gulungan buku yang ber-
lukiskan Salib, Alfa dan Omega, serta nyala api dalam bentuk tujuh
lidah api yang melambangkan Roh Kudus, dapat dihayati oleh
segenap warga sivitas akademika UKSW, yang pada awal tahun 1993
memiliki 424 orang tenaga edukatif (doktor, master magister,
sarjana), 300 orang tenaga non edukatif, 6500 mahasiswa dan lebih
dari 15.000 alumni yang tersebar di segenap pelosok tanah air,
mampu mewujudkan apa yang oleh almarhum disebut sebagai
“Creative Minority”, gudang ide dan sumber gagasan yang tak
pernah kering dalam mengabdi gereja, bangsa dan negara.
Soli Deo Gloria!
Panitia Notohamidjojo
S. Subanu, MA. (Ketua)
Sumbada (Sekretaris)
xi
Kata Pengantar
xii
Karya beliau yang ditulis dalam bahasa Belanda terbanyak
telah diusahakan untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,
sedangkan tulisan-tulisan dalam bahasa Inggris dipertahankan seba-
gaimana adanya. Oleh karena beberapa pertimbangan terdapat juga
beberapa karangan yang dimuat dalam bahasa Belanda dan sebuah
karangan berbahasa Inggris yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. Di samping karangan-karangan disajikan pula biografi
beliau.
Terbitan telah dapat berwujud oleh karena kesediaan dan
kerjasama dari banyak pihak. Pertama-tama LPIS berterima kasih
kepada Dr.O. Notohamidjojo, SH yang menyetujui dan merangsang
usaha ini; Pengurus Yayasan Satya Wacana yang membantu penye-
lenggaraannya; Saudara-saudara N.L. Kana, N.G. Schulte Nordholt,
J.D. Zacharias dan N. Daldjoeni yang secara khusus memberikan
perhatian kepada segi perencanaan maupun pengaturan terbitan ini;
seluruh staf peneliti, pelayanan, administrasi dan pekarya LPIS dan
tenaga-tenaga lain yang membantu pelaksanaan sehingga maksud
menerbitkan karya Dr.O. Notohamidjojo, SH dapat diselesaikan pada
waktunya.
Terkandung harapan kiranya usaha ini dapat dimanfaatkan
oleh seluruh Civitas Academica Satya Wacana khususnya dan
mereka yang mendambakan perubahan.
Direktur
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
Sambutan Rektor ................................................................. i
Kata Pengantar ..................................................................... iii
Sekapur Sirih ........................................................................ v
Kata Pengantar ..................................................................... viii
Buku I :
1 : Menyegani Tuhan Itulah Pangkal Segala
Pengetahuan ................................................... 1
2 : Tugas Perguruan Tinggi Pendidikan Guru di
Indonesia dalam Masyarakat Peralihan ........ 7
3 : Iman Kristen dan Kebudayaan ...................... 20
4 : Pimpinan dan Pembinaan Pemimpin ........... 27
5 : Pengakuan FKIP Swasta ................................ 40
6 : Tugas Ilmiah Universitas Kristen Satya
Wacana ........................................................... 52
7 : Dasar Filsafat Universitas Kristen Satya
Wacana ........................................................... 59
8 : Universitas Kristen Satya Wacana antara
Ilmu dan Masyarakat ..................................... 68
9 : Kekristenan yang Revolusioner .................... 74
10 : Panggilan Kristen yang Tritunggal dalam
Masa Revolusioner ......................................... 79
11 : Relasi Ilmu Pengetahuan dan Kepercayaan.. 87
12 : Universitas Kristen Satya Wacana sebagai
Pusat Persiapan bagi Suatu Masyarakat Baru 97
13 : Harapan tentang Hari Depan ........................ 101
14 : Quid Est Homo ............................................... 107
15 : Memanusiakan Manusia dalam Orde Baru.... 120
16 : Fungsi, Dasar dan Tujuan Mata Kuliah-Mata
Kuliah Dasar dan Matakuliah-Matakuliah
Bantu ............................................................... 147
17 : Satya Wacana Membangun Negara Hukum
di Indonesia .................................................... 167
xiv
18 : Beberapa Bahan untuk Dipertimbangkan
dalam Penyusunan Kurikulum pada Satya
Wacana ........................................................... 188
19 : Intensifikasi Pembentukan Kader Kristen di
Jawa Tengah dengan Pembagian Pekerjaan
yang Jelas dan Kerjasama yang Erat antara
Lembaga Pendidikan Kader, Duta Wacana
dan Satya Wacana .......................................... 218
20 : Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana
adalah Lembaga untuk Berlatih Hidup yang
Berpikir ........................................................... 234
21 : Pembentukan Minorita yang Berdayacipta
Sumbangan Satya Wacana kepada Pemba-
ngunan Republik Indonesia ........................... 242
22 : Penganugerahan Gelar Doctor Honoris
Causa kepada Bapak O. Notohamidojo, S.H.
Rektor Magnifikus Universitas Kristen
Satya Wacana ................................................. 284
23 : Pidato Penyerahan Rektorat Universitas
Kristen dan IKIP Kristen Satya Wacana ....... 342
Buku II
A : Kekristenan Umum
1. Analisa Hubungan Kita dengan Orang-
orang Islam dalam Rangka Pancasila
yang Sedang Membangun ........................ 351
2. Pemribumian Theologia di Indonesia ...... 355
3. Kepemimpinan dan Pemimpin Kristen di
Indonesia .................................................... 362
4. Vertikalisme dan Horisontalisme ............. 413
5. Fungsi Gereja dalam Modernisasi dan
Pembangunan ............................................ 419
6. Modernization, A Christian Perspective... 438
B : Universitas Kristen
7. The Basis of The Christian University ... 458
8. Leadership and Decision-Making in
Christian College and Universities ......... 482
9. The Christian Colleges and Current
Ideologies, with special reference of
democracy ................................................ 493
10. The Religious Witness of The Christian
University/College in Its Large
Community .............................................. 504
xv
11. Nationalism vs Internationalism The
Role of The Christian University ........... 513
C : Kebudayaan
12. Kesunyian Batin pada Manusia dan
Penginjilan di Tanah Jawa ...................... 536
13. Wedatama dalam Sorotan Masa Kini ..... 545
14. Filsafat Idea Hukum dan Problema
Mengenai Manusia .................................. 554
15. Minat Baru terhadap Ranggawarsita ...... 562
16. Cita-cita Ksatria dan Makna Kristen
tentang Kerja ........................................... 571
17. Lima Sembah dan Wibawa di antara
Manusia .................................................... 579
18. Pengertian Tapa pada Orang Jawa ......... 585
19. „Semu‟ di dalam Penulisan Sejarah Jawa. 590
20. Berita Kesukaan Natal dan Pandangan
Hidup Jawa .............................................. 603
21. Kesenian Melakukan Kritik pada Diri
Sendiri ...................................................... 608
D : Negara dan Bangsa
22. Pancasila, De Nationale Ideologie van
de Indonesische Republiek ..................... 612
23. Pembangunan dan Keadilan Sosial ......... 632
24. Sarjana Hukum yang Kita Cita-citakan
pada Zaman Pembangunan Dewasa Ini.. 643
25. Kepribadian Nasional .............................. 656
26. De Beroepsethiek van de Jurist ............... 663
27. Pembagian Fraksi dalam DPR Pemilu ... 698
28. Tinjauan Kembali terhadap Ajaran Trias
Politika ..................................................... 702
Bibliografi Sementara, Indeks menurut Judul Karangan ... 707
xvi
1. MENYEGANI TUHAN
ITULAH PANGKAL SEGALA
PENGETAHUAN )
)
Diucapkan pada Kebaktian Pembukaan P.T.P.G.-K.I. di Salatiga, Jl. Dr.
Sumardi 5, tanggal 17 Oktober 1956, Salatiga
1
berabad-abad lamanya dalam peribahasa yang indah, singkat lagi
padat dengan kearifan. Banyak juga diantara peribahasa-peribahasa
itu yang sama bunyinya. Tetapi kalau dua fihak mengatakan sesuatu
yang sama, belum berarti bahwa keduanya sama juga yang
dimaksudkannya.
Apa Sebabnya?
Oleh sebab itu latar-belakang berlainan. Pada umumnya dapat
dikatakan bahwa latar belakang dari himpunan-himpunan kearifan
di dunia timur itu: anthropocentrisme, pemusatan pada anthropos,
yaitu manusia. Anthropocentrisme, yang dengan sadar atau tidak,
mencari keagungan manusia.
2
Amsal 1:7a mengatakan bahwa pangkal, atau dengan istilah
terjemahan Moffat: the first thing, daripada segala pengetahuan
ialah: menyegani Tuhan” adalah “reverence for the Eternal”.
3
an itu memperoleh kemenangan-kemenangannya nya yang men-
takjubkan sehingga pada abad ke-19 merupakan suatu deretan
malam Sinterklas, oleh karena experimen, perhitungan analisa
semata-mata, terlepas dari iman dan kepercayaan?
Dikatakan: bukan demikian maksudnya!
Amsal tidak menyangkal atau mengganti metode-metode
yang ditempuh oleh ilmu-ilmu modern. Pengarang Amsal tidak
bermaksud supaya “menyegani Tuhan” itu menggantikan penyeli-
dikan ilmiah.
Alkitab bukanlah suatu ichtisar tentang ilmu pasti, alam,
hayat, ekonomi, hukum, sejarah, bahasa, pendidikan dan seterusnya.
Pengarang Amsal hanya mengatakan, bahwa menyegani
Tuhan itu harus menjadi pangkal menjadi awal, menjadi “the first
thing in knowledge”.
Perbedaan pangkal akan membawa perbedaan pandangan
dalam ilmu pengetahuan dan akan membawa perbedaan penggunaan
ilmu pengetahuan.
Ilmu umumnya mulai dengan meyelidiki fakta. Pada abad
yang lampau orang mengira bisa menetapkan fakta secara objektif,
artinya menurut keadaan fakta itu sendiri. Abad ke-20, mengakui
bahwa hal itu tidak mungkin. Fakta sebagai material daripada
“scientific occupation” itu senantiasa ditaruh dalam bingkai tertentu,
diletakkan dalam perspektif yang tertentu dan dipilih menurut
criteria yang tertentu. Sebab itu benarlah apa yang dikatakan oleh
Goethe: “Alles Faktischeist Ischon Theorie”. Bagaimana pun juga
usaha kita untuk menetapkan fakta itu seobyektif-obyektifnya, tapi
yang kita capai sebenarnya: “reference to facts” penunjukkan akan,
verwijzing – akan, fakta. Pemaknaan fakta, memberi makna kepada
fakta itu tergantung daripada titik pangkal kita. Kalau diperkenan-
kan memberi contoh: Sarjana Anthropologi mis. berhadapan dengan
anthropos/manusia sebagai fakta. Seorang sarjana evolusionis me-
mandang manusia itu sebagai keturunan primata atau kera.
Seorang sarjana yang menyegani Tuhan, yang berpangkal pada
Alkitab beranggapan bahwa manusia itu makhluk yang dijadikan
oleh Allah menurut citraNya.
4
Teranglah bahwa sarjana anthropologi ini akan berbeda dalam
jalan fikiran dan perincian ilmunya.
Perbedaan titik pangkal tidak hanya akan membawa perbeda-
an pandangan dan hasil, melainkan akan mengakibatkan perbedaan
penggunaan ilmu.
Seorang sarjana yang tidak percaya kepada Tuhan akan
mempergunakan ilmunya menurut untung ruginya sendiri saja, yang
akan membawa dia kepada kesia-siaan atau nihilisme saja.
Seorang sarjana yang menyegani norma-norma Tuhan akan
menundukkan diri kepada norma-norma keagamaan dan kesusilaan
yang dinyatakan oleh Tuhan dalam kasih kepada Allah dan sesama
manusia.
Pada saat sekarang dari pelbagai sudut, baik dari fihak sarjana
yang beriman, maupun dari fihak sarjana yang humanis, terdengar
suara-suara tentang krisis universitas, terdengar peringatan-
peringatan, bahwa perguruan tinggi itu merosot menjadi lembaga
yang tidak berkaidah lagi,
Moberly, mengatakan dalam karangannya: the Crisis of the
university, bahwa universitas menjadi tempat dimana segala sesuatu
dapat dipelajari, kecuali hal-hal yang terpenting bagi hidup manusia
Van der Leeuw menyerukan supaya universitas kembali lagi
kepada principialiteit apabila ingin mengatasi krisisnya.
Di dalam keadaan sedemikian ini baiklah kita mendengarkan
dan memperhatikan kata-kata Amsal Sulaiman.
Amsal 1:7a berseru kepada para mahasiswa dan para dosen:
Saudara harus mulai dari pangkal. Saudara harus mulai dengan
mendengarkan firman Tuhan dan mentaati norma-normanya dalam
segala lapangan hidup, juga dalam lapangan ilmu.
Plato mengatakan bahwa segala pengetahuan itu berpangkal
pada keheranan. Memang ucapan itu banyak benarnya.
Tetapi Alkitab menggali dasar yang lebih dalam dan segala
ilmu harus berpangkal pada pengakuan kedaulatan Allah dan
ketaatan kepada firman dan normanya. Hanya dalam terang firman
Allah kita dapat melihat dengan jelas pada segala lapangan ilmu
5
pengetahuan. Hanya dalam terang firman Allah kita boleh berharap,
memperoleh kebenaran yang sejati.
Barangsiapa dapat memahami ini, dapat mengerti juga bahwa
iman dan ilmu pengetahuan tidaklah dapat dipisah-pisahkan secara
dualistis.
Menyegani Tuhan itu berarti menerima norma-norma dari
Tuhan, yang memberikan arah yang tertentu dalam penyelidikan
ilmiah.
Oleh sebab itu bagi penjelidikan ilmiah diperlukan: tobat,
repentance. Oleh sebab itu Gereja Kristen kuno berkata sepatah kata
yang penuh kearifan: yaitu bahwa scientia (ilmu) tidak dapat
diceraikan dari “conscientia” (yaitu hati nurani atau keinsafan batin).
Pada saat kita mulai kuliah-kuliah pertama PTPG Kristen
pertama di Indonesia ini, hendaknya kita tanamkan sekali lagi dalam
hati sanubari kita:
“The first thing in knowledge is reverence for the Eternal ”
Dengan jalan demikian kita boleh mengharapkan kebenaran
yang sebenarnya dan boleh kita menempatkan penyelidikan ilmiah
dalam lingkungan usaha untuk menantikan dan menyegerakan
kedatangan kerajaan Allah.
________
Beberapa sumber:
1. Dr. J. Verkuyl: Khotbah tentang Amsal Sulaiman bab I:1-7
2. Moberly: The crisis of the university
3. Van der Leew: De crisis der universiteit, Wending Universities
nummer 1951.
6
2. TUGAS PERGURUAN TINGGI
PENDIDIKAN GURU INDONESIA
DALAM MASYARAKAT PERALIHAN
Pendahuluan
Hadirin yang mulia,
Perhubungan antara suatu periode dengan perguruan tinggi
oleh almarhum Profesor van der Leeuw dalam suatu “artikel
Wending dirumuskan dengan kalimat: “Elke tijd heeft de
Diucapkan pada pembukaan PTPG-KI di Salatiga tanggal 30 Nopember
1956
7
universiteit, die hij verdient of die hij verdragen kan” (Tiap jaman
mempunyai Perguruan Tinggi yang layak dipunyainya, atau yang
dapat dibebaninya).
Pandangan historis ini menurut saya dapat diubah menjadi
pandangan sosiologis. Tanpa mengurangi kebenaran yang tercantum
di dalam-nya, dapat kita katakan, bahwa: “Tiap-tiap masyarakat
mempunyai perguruan tinggi yang layak dipunyainya”.
Dengan ucapan ini diperlihatkan segi-pasif perhubungan
funksionil antara perguruan tinggi dan masyarakat dan diakui pen-
cerminan masyarakat dalam kontinuiteitnya dan diskontinuiteitnya,
dalam kebaikan dan cacadnya, dalam tata dan nirtata-nya (orde dan
disorder), pada perguruan tingginya. Ini adalah suatu pengakuan,
yang disertai pengertian yang makin mendalam sejak perkembangan
“Wissenssoziologie”, yang menunjukkan pengaruh sosial-kulturil
terhadap ilmu pengetahuan dan pemikiran ilmiah.
Sebaliknya dengan kata-kata yang hampir sama, dapat juga
kita tunjukkan segi-aktif atau tugas perguruan tinggi terhadap
masyarakat, yaitu dengan pengkalimatan: “Tiap-tiap masyarakat
harus layak mempunyai perguruan tinggi yang ada padanya” (Elke
maatschappij moet verdienen, de universiteit die zij heeft). Artinya,
perguruan tinggi wajib berdaya-upaya, supaya jangan hanya menjadi
bunglon yang bersama warna dengan masyarakatnya, melainkan
supaya bercorak sendiri. Ia wajib mengusahakan diri supaya menjadi
perintis dan pedoman, baik di lapangan ilmu maupun kesusilaan
sehingga patut dianut dan dikejar oleh masyarakat. Dengan ketiga
rumusan tersebut sebenarnya telah terbayangkan serba ringkas
perhubungan-fungsionil antara perguruan tinggi dan masyarakat
dalam periode yang tertentu, sedangkan dalam rumusan yang
terakhir telah dikatakan in abstracto tugas perguruan tinggi terhadap
masyarakat pada umumnya.
8
Tiap-tiap masyarakat senantiasa berubah dan dalam peralihan
demikian juga masyarakat Indonesia. Tetapi seperti air sungai sekali-
kali melalui katarak-katarak dalam perjalanannya, demikian pula
suatu masyarakat dapat mengalami diskontinuiteit dan pergolakan
dalam sejarahnya. Situasi sedemikian itu biasanya timbul dalam
pertemuan dengan kebudayaan lain
Masa peralihan seperti itu oleh masyarakat-masyarakat
Indonesia pada waktu-historis dialaminya dalam pertemuannya
dengan Kebudayaan Hindu.
Van Naerseen dalam: “Cultuur-contacten en Sosiale conflicten
in Indonesie”, menguraikan perubahan-perubahan dalam proses-
akulturasi pada zaman Hindu itu, yang mengakibatkan perten-
tangan-pertentangan sosial a.l. antara lingkungan istana Jawa-Hindu
dan Mendala, yaitu persekutuan-persekutuan autonoom di bawah
keperbawaan kewikuan.
Juga pada zaman kedatangan agama islam dialami perubahan-
perubahan. Pada waktu itu tumbuhlah disamping kerajaan-kerajaan
Islam persekutuan-persekutuan tasawuf, yaitu tarikah-tarikah dan
pesantren-pesantren dan mulai nampak pencetusan gerakan-gerakan
ratu-adil, sebagai reaksi terhadap pemerintahan, yang tak terderita.
Lebih daripada zaman Hindu berkembanglah pertentangan antara
kaum adat dan penganut hukum baru, inklusif hukum fikih, yang
antara lain memuncak dalam gerakan padri terhadap kaum adat di
Minangkabau. Sampai saat sekarang ini di seluruh Indonesia
pertentangan antara adat dan fikih belum mendapat penyelesaian,
bahkan menjadi akut, karena terbawa dalam suasana pengaruh
“revival” dunia Islam.
Betapa pentingnya juga pengaruh kebudayaan Hindu dan
agama Islam terhadap masyarakat-masyarakat Indonesia, tetapi
boleh dikatakan, bahwa ada pariteit dalam cultuur-niveau antara
masyarakat-masyarakat Indonesia dan kebudayaan luaran itu.
Bertalian dengan pariteit itu soal-dasar yang dicampakkan oleh van
Leur dalam disertasinya: “Some observations concerning early Asian
trade”, adalah: “Apakah pariteit dalam taraf-kebudayaan masih dapat
dipertahankan oleh masyarakat-masyarakat Indonesia terhadap
invasi barat!“.
9
Fundamentil dalam uraian dan pembuktian van Leur ialah,
bahwa pada pertemuan yang pertama dalam abad ke-16 antara timur
dan barat i.c. bangsa Portugis di Indonesia, tidak ada perbedaan taraf
sedikitpun dalam lapangan kemiliteran, tehnik pelayaran dan
perdagangan. Juga dalam abad ke-17. V.O.C. hanyalah salah satu
badan perdagangan yang harus menyesuaikan diri dalam lalu-lintas
di antara ragam pedagang Indonesia, Asia dan Eropa. Bahkan
berbagai dalam abad ke-18 sekalipun, tidak mungkin dikatakan ada
Campaignies Indie, oleh karena kekuasaan Mataram dan Tanah Jawa
belum terpatahkan, sedangkan Sumatra, Kalimantan, Makassar dan
Sulawesi masih tegak sendiri dengan megahnya. Sampai sekeliling
tahun 1800 masih ada “interaction” yang setaraf antara timur dan
barat di Indonesia. Baru sesudah tahun 1800 terpatahkan
continuiteit dalam perkembangan kebudayaan Indonesia menurut
pola-pola (pattern)-nya sendiri, oleh modern-kapitalisme barat.
Perubahan-perubahan sejak abad ke-19 adalah mendalam dan
mendasar.
Setelah revolusi tehnik dan industrialisasi Eropa barat oleh
kapitalisme modern makan dunia dibanjiri barang-barang industri
secara massal. Indonesia turut terbawa dalam suasana selintang bujur
bumi dari activiteit ekonomi yang ekspansif dengan rumah-tangga-
uang dan lalu-lintas modern. Bersama-sama dengan daerah-daerah
Asia lain, Indonesia menjadi pasar industri-raksasa dari Barat dan
dijadikan tempat-produksi bahan-dasar dan bahan perkebunan.
Pengaruh barat sejak abad ke-19 itu terasa “lain“, terasa “asing“,
tetapi tak tertahan dan menyebabkan dis-continuiteit dalam
perkembangan kebudayaan masyarakat Indonesia. Proses akulturasi
ini pada zaman kemerdekaan tidak terhenti, melainkan makin
menghebat karena bertambahnya perhubungan internasional dan
kurangnya bimbingan dari pihak kita terhadap proses akulturasi itu.
These daripada van Leur, - walaupun benar pula Romein me-
nempatkan penyimpangan barat dari Algemeen Menselijk Patroon
pada akhir abad pertengahan – adalah bahwa pengaruh barat yang
prinsipil lain, kepada Indonesia baru mulai sekelililing 1800. Garis
yang ditarik van Leur itu dilanjutkan oleh Burger dan Wertheim
(Indonesia Society in transition), sedangkan Resink, memberikan
penghalusan dalam garis-kasar van Leur itu dengan menunjukkan,
bahwa di Indonesia sampai akhir abad ke-19 masih terdapat
10
“volkenrechtelijke berhoudingen”. Baru pada tahun 1910 dengan
adanya “Wet op het Nederlands onderdaanschap“, mulailah “colonie
d’encadrement” yang sebenarnya. Usaha sarjana-sarjana tersebut
wajib dilanjutkan. Seperti dalam ajaran “onrechmatige daad”, harus
diadakan “rechtsverijning”, demikian pula these van Leur ini me-
merlukan “historische verfijning” dengan penyelidikan-detail oleh
historici Indonesia.
Menurut Kraemer pengaruh barat kepada timur hanya dapat
dicandra istilah bencana alam: “earthquake” sebagai “the only
approciate one to suggest what was happened to East by penetration
of the West”.
Untuk mengerti tepatnya istilah Kraemer ini kita harus
beralih dari tinjauan historis ke pandangan sosiologis.
Baik kaum sosiolog maupun ahli-adat mengetahui bahwa
masyarakat Indonesia asli bukanlah sewarna, melainkan pancawarna
dan terdiri dari ribuan masyarakat-hukum yang kecil-kecil yang
dapat digabungkan lagi dalam lebih kurang duapuluh lingkungan
hukum adat. Masyarakat-masyarakat hukum itu bersikap dan ber-
buat terhadap alam-gaib, dunia-luar dan dunia-kebendaan sebagai
kesatuan. Masyarakat-masyarakat itu merupakan kelompokan-
kelompokan manusia hidup menurut peraturan-peraturan yang
tetap dibawah pemerintahan sendiri dan mempunyai milik materiil
dan immateriil sendiri. Untuk memahami masyarakat-masyarakat
ini, baik yang bersifat genealogis territorial diperlukan pengetahuan
tentang “verwantschaps-systeemnya”.
Dalam semua segi-hidup, perkawinan, harta-bersama,
kewarisan, jual-beli, terutama jual-beli tanah dan transaksi yang
menyangkut tanah, nampaklah corak komunal, dimana kepentingan
umum didahulukan dan kepentingan seseorang dikemudiankan.
Tetapi sejak abad ke-19, lebih-lebih pada abad ke-20 penetrasi barat
makin meluas dan makin intensif.
Perekonomiannya dengan lalu-lintas dan Geldwirtschaft
dengan zakelijkheid-nya dan kontraknya, yang menggantikan jual-
beli yang berlainan sifatnya, pemerintah Ned. Indie, dengan per-
undang-undangannya, pengadilan, pajak, pengajaran, dan sebagainya
menembuskan pengaruhnya sampai ke dusun yang sekecil-kecilnya,
menguakkan dan membongkar bingkai-bingkai dari persekutuan
11
komunal kita. Akibat dari gempa-pengaruh itu adalah penanggalan
kelamin (gezin) dan individu dari ikatan verwantengroep, sehingga
tumbuhlah ketegangan antara kelamin dan individu terhadap
keluarga (familie) dan suku.
Gempa pengaruh itu pada zaman kemerdekaan makin
menghebat lebih-lebih dikota-kota. Dilihat dari sudut sosiologis,
akibatnya adalah rontoknya individu dari ikatan-ikatannya yang
organis semula, sehingga manusia Indonesia sekarang, dalam roh dan
jiwanya banyak berkeliaran seperti “kleyang kabur kanginan”.
Proses individualisasi yang sekarang berlangsung di Indonesia ini
dapat kita perbandingkan dengan masa Renaissance di Eropa. Saya
sendiri berkeyakinan baiklah kita bercermin pada Renaissance itu
menginsyafi situasi kita dan menyingkiri cela dan perderitaan yang
tidak perlu.
Dalam hubungan ini baik dikemukakan, bahwa penyelidikan
hukum adat, yang oleh van Vollenhoven dan Ter Haar disetarafkan
dengan tingkat etnologi pada zamannya akan ketinggalan, apabila
tidak memperhatikan proses-akulturasi dan individualisasi itu.
Masyarakat-masyarakat hukum asli tersebut, dipandang dari
sudut sosiologis mewujudkan “Gameinschaft”, merupakan struktur
yang tertutup, suatu susunan masyarakat yang bulat.
Dipandang dari segi ekonomis, masyarakat-masyarakat asli itu
menyelenggarakan rumah-tangga yang tertutup dimana peredaran
barang mungkin menyertai berjenis lembaga sosial.
Lain daripada itu, masyarakat-masyarakat tersebut merupakan
kesatuan-kesatuan yuridis-politik yang tunduk kepada keperbawaan
yang tradisionil.
Religieus-ethis masyarakat-masyarakat itu tunduk kepada
hormensysteem yang bulat, totaliter, homogin, tradisionil yang
berlaku dengan kepastian hukum alam.
Intisari sistem norma itu bersifat religius, bersangkutan
dengan kebaktian kepada pendasar masyarakat hukum itu. Di sini
kita lihat deifikasi daripada kelompok itu, disini kelompok berbakti
kepada diri sendiri. Barangsiapa dapat melihat esensi ini, akan
mengerti juga, bahwa norma-norma sosial dalam masyarakat adalah
imanen, tertujukan kepada keselamatan kelompok, kommunal,
12
mendahulukan kepentingan marga, suku atau keluarga terhadap
kepentingan anggotanya.
Dapat kita mengerti dari sifat imanen dan kommunal itu,
bahwa tidak mungkin ada sikap prinsipil-tajam, tidak mungkin pula
pertentangan yang mutlak, sehingga senantiasa diusahakan mufakat
dalam masyarakat,
Norma-norma religius-sosial yang merupakan suatu sistim
yang bulat itu, berfungsi dalam bermacam-macam lembaga social
dari generasi di bawah pengawasan kepala-adat dengan kepastian
kodrat alam. Tiap-tiap anggota masyarakat tunduk kepada kehendak
golongannya menurut norma-norma yang tradisionil dalam milieu
yang homogin.
Dalam proses akulturasi dan proses individualisasi anggota
kelompok itu tertanggal dari ikatannya yang organis dan tercampak-
kan kepada diri sendiri.
Jika mulakala kelompok yang memutuskan segala sesuatu bagi
anggotanya menurut norma-norma yang tradisionil dalam lingkung-
an yang homogin, maka individu yang terlepas, sekarang ini
berhadapan dengan bermacam-macam norma yang heterogin dan
bertentangan. Dari kriminologi kita mengetahui betapa bahayanya
“conflict of norma” itu.
Dari sudut ilmu jiwa kita dapat mengikuti istilah Romein,
yang mempergunakan “geestelijke gespletenheid” dari pada orang
Indonesia, karena mendua di antara norma-norma timur dan barat –
norma-norma lamadan norma-norma baru.
Inti dari seluruh pemandangan kita bermaksud minta
perhatian terhadap manusia Indonesia, yang dalam proses akulturasi
tercampakkan kepada diri sendiri dalam milieu yang heterogeen,
berhadapan dengan norma-norma yang bertentangan. Seakan-akan
ada dua aku atau lebih yang bersarang dalam hatinya dan seolah-
olah berbelahlah jiwanya dengan tiada berketentuan haluannya.
Discontinuiteit dalam masa peralihan ini hanya dapat kita
tunjuk beberapa seginya dan nampak antara lain terletak pada ter-
kuaknya struktur masyarakat yang bulat, hancurnya rumah tangga
tertutup, tertanggalnya kelamin dan individu dari verwantengroep-
nya, devaluasi norma-norma social semula, tercampaknya individu
13
dalam suasana heterogin yang menjemukan dia dengan roh yang
berbelah terhadap “conflict of norms”.
TUGAS PTPG – KI
Apakah tugas PTPG-KI dalam masyarakat berlainan ini dan di
antara semua manusia Indonesia ini?
Seperti tiap-tiap perguruan tinggi tugasnya yang pertama
ialah: memelihara dan mengembangkan ilmu, mencari kebenaran
berdaulat, yang mentransendensikan manusia, bangsa dan negara.
Mencari dan menyelidiki kebenaran dalam segala jurusan
yang sekarang ada: jurusan ilmu pendidikan, ilmu sejarah, bahasa
inggris, hukum-negara, ekonomi dan yang terbayang dalam angan-
angan: bahasa indonesia dan pasti-alam, sebagai suatu nilai yang
tegak sendiri dalam kejujuran, kekhidmatan, kerendahan hati dan
kebenaran. Dalam waktu yang tidak terlampau lama kami berharap
mempersembahkan hasil-hasil penyelidikan itu kepada masyarakat.
Disamping studi dan penyelidikan para guru sendiri, tugas
kedua yang amat penting adalah mendidik para studen menjadi
pengabdi kebenaran menurut syarat-syarat yang kami taati.
Kami usahakan menggiatkan hasrat studi murid-murid kami,
membangkitkan budi yang kritis dengan kemauan membangun
ilmu.
Tugas yang ketiga yang biasanya disebut: mendidik pemim-
pin-pemimpin akademis.
Dengan tegas tugas ini kami rumuskan: mendidik guru
pengabdi masyarakat dan warganegara yang jujur.
Kita sudah cukup memimpin, tetapi kekurangan pengabdi
yang menyumbangkan dirinya secara diam-diam untuk kepentingan
dan kesejahteraan sesama kita.
Cita-cita kami adalah supaya dapat dikatakan tentang
PTPG-KI sebagai keseluruhan, bahwa ia dalam masyarakat Indonesia
yang mengalami pancaroba, adalah sebagai satu, yang mengabdi.
Tugas Keempat adalah melanjutkan kebudayaan (transmission
of culture). Sari usaha pengajaran dan pendidikan, dimana dan di
14
zaman manapun juga, adalah mewariskan kebudayaan. Tugas ini
dalam masa peralihan ini menjadi delikat, karena kita berada:
“Between two worlds – one dead the other not yet born”.
Terutama tugas guru dalam proses akulturasi yang menggelora
ini, menjadi delikat. Memang guru itu dari zaman ke zaman
perantara dan penimbang dalam pertemuan-pertemuan kebudayaan.
Hal itu dapat kita saksikan baik pada zaman Hindu, Islam,
Ned. Indie maupun pada zaman Kemerdekaan. Hanya saja, disalur-
kan melalui “Nederlandse Trechter” (yang oleh fihak Indonesia
kerapkali dianggap sebagai anti acculturatie-politic) pada zaman
kemerdekaan ini, dimana Indonesia menyelenggarakan kontak
internasional yang tak terbatas, proses akulturasi itu dibiarkan tak
terpimpin, sehingga pemuda dan warganegara Indonesia tiada yang
siap serta berdaya menghadapi pengaruh luaran itu.
Tugas catur rupa tersebut oleh PTPG-KI dilaksanakan di atas
dasar-dasar tertentu:
15
sering ia hanya memilih menurut norma sosial immanent yang
satu atau menurut norma sosial immanent yang lain, tanpa
kriterium norma transcenden-universil.
Di sinilah letak kepentingan dasar normativiteit, bagi kami.
Dalam pengajaran dan pendidikan akan kami tunjukkan dan
hidupkan norma-norma transcenden-universil sebagai kriterium
bagi pemilihan dan pemutusan pribadi dalam milieu yang
heterogin beserta norma-norma yang bertentangan. Kami ber-
keyakinan bahwa proses akulturasi hanya dapat kita atasi dan
perkembangan kebudayaan Indonesia dapat kita langsungkan
dengan mendidik manusia dan guru Indonesia yang “norm-
bewust”. Keinsyafan norma, yang memungkinkan sikap yang
kritis dan selektif terhadap segala apa yang menjajakan diri se-
bagai kongres kebudayaan, yang mau merancangkan kemajuan
kebudayaan Indonesia. Jalannya kebudayaan tidaklah mungkin
dibendung menurut ketetapan suatu kongres. Kami belum begi-
tu defaitis, sehingga tiada menaruh kepercayaan akan planning
dan pengaturan masyarakat. Kami yakin akan harganya tata-
hukum dan tata-masyarakat dengan perantaraan organisasi.
Tetapi di samping itu kami percaya kepada kemungkinan
ketobatan manusia (de bekering van de mens), yang bersedia
mengatur hidupnya menurut norma transcenden-universil.
3. Dasar yang ketiga adalah: actualiteit.
Yang kami maksud ialah mencari kebenaran dan dalam melaku-
kan penyelidikan ilmiah kami tidak akan berjanjang naik ke
panggung-gading, untuk mendistansikan diri dari pada masya-
rakat.
Dalam semua jurusan kami usahakan dengan kesungguhan
untuk menyangkutkan pelajaran kami pada problematik
masyarakat aktuil, yang pada hakekatnya adalah problematik
nasional. Di sini dasar aktualiteit yang dibebankan kepada tiap-
tiap perguruan tinggi bertemu dengan pembangunan ilmu
nasional (oleh karena bahan nasional yang aktuillah yang di-
olah), walaupun ilmu itu pada hakekatnya bersifat internasional.
16
4. Dasar yang keempat adalah: sociabiliteit.
Yang kami maksud ialah bahwa pekerja ilmiah harus mempu-
nyai rasa tanggung-jawab terhadap masyarakat. Dalam proses
peralihan dan diskontinuiteit ini, guru yang berilmu tidak boleh
beridiri di pinggir sebagai “penonton”. Kita masing-masing
adalah “pemain” dalam suatu drama, sedangkan terhadap jalan
dan hasilnya kita masing-masing turut bertanggung-jawab.
Betapapun ruwet dan menggemparkan drama itu dan betapapun
sulit menentukan pendirian di dalamnya, semuanya itu dalam
situasi yang konkrit dapat disederhanakan dengan ketaatan
kepada titah Tuhan Yesus yang kedua: “Hendaklah engkau
mengasihi sesamamu manusia, seperti dirimu sendiri”.
Demikian tugas dan dasar PTPG-KI dalam masyarakat peralihan
sepanjang penglihatan kami secepat-lewat. Nyatalah bahwa
kami datang dengan program yang tertentu.
Syarat Kebebasan
Tinggalah kini menyatakan bahwa pelaksanaan program itu
memerlukan syarat yaitu kebebasan. Kami minta kebebasan, bukan
untuk kebebasan, melainkan untuk mendapat kesempatan menunai-
kan tugas kami.
Yang kami minta, bukan “gedulde vrijheid”, melainkan
kebebasan yang sama-hak untuk bersama-sama dengan perguruan
tinggi lainnya memberikan sumbangan kepada pembangunan
nasional, menurut iman dan konsiensi kami.
Rancangan pemerintah untuk memberikan autonomi kepada
perguruan tinggi akan mendapat dukungan sepenuhnya dari fihak
kami.
Terima kasih.
17
Gereja Kristen Djawi Wetan, Gereja Kristen Jawa Tengah,
Gereja Kristen Tata Injil Sekitar Muria, Gereja Kristen Indonesia
Jawa Tengah, Gereja Hervormeerd Indonesia, Gereja Kalimantan
Evangelie, Gereja Kristen Toraja, Gereja Kristen Pasundan, dan
Gereja Kristen Sumba. PTPG-KI berbentuk yayasan yang diasuh
oleh Dewan Pengurus, Dewan Kurator, dan Dewan Pengajar.
Dewan Pengurus dipimpin oleh Ds. S. Djojodihardjo dan
Dewan Kurator dipimpin oleh S. Poerbosoesanto yang bertanggung
jawab dalam bidang administrasi Perguruan Tinggi, sedang Dewan
Pengajar yang dipimpin oleh O. Notohamidjojo dipercayakan untuk
mertanggung jawab dalam kebijaksanaan Akademis keluar maupun
ke dalam.
Pada mulanya PTPG-KI terdiri dari lima jurusan yakni: ilmu
mendidik, sejarah budaya, bahasa Inggris, ekonomi dan hukum.
Kelima jurusan tersebut, diasuh oleh 23 tenaga pengajar
masing-masing terdiri dari seorang dari United States of America,
dua orang dari New Zealand, 8 orang dari Negeri Belanda dan 12
orang berkebangsaan Indonesia.
Selain itu terdapat pula 107 mahasiswa yang diseleksi dari 316
calon mahasiswa.
Jumlah mahasiswa tersebut di atas tidak hanya berasal dari
pulau Jawa sendiri, tetapi juga berasal dari seluruh penjuru Indonesia
seperti: Batak, Kalimantan, Toraja, Menado, Ambon, Maluku, Timor,
Sumba, Tionghoa WNI dan antar WNI.
Situasi seperti ini tetap berkembang hingga sekarang dan ini
menyebabkan kemudian Universitas Kristen Satya Wacana terkenal
sebagai “Mini Indonesia” (Indonesia kecil).
Minat O. Notohamidjojo untuk mendirikan satu Perguruan
Tinggi rupa-rupanya diilhami oleh apa yang pernah dikemukakan
oleh Prof. van der Leeuw:
Elke tijd heeft de Universiteit, die hij verdient, of die hij
verdragen kan.
(tiap masyarakat mempunyai Perguruan Tinggi yang layak
dipunyainya, atau yang dapat dibebaninya).
18
Ucapan van de Leeuw semakin berfungsi sebagai pendorong
baginya, apa bila dilihat dari keadaan masyarakat Indonesia sebagai
“masyarakat peralihan”, yang amat membutuhkan pengabdian
sebuah Perguruan Tinggi.
19
3. IMAN KRISTEN DAN KEBUDAYAAN
(Latar-Belakang Usaha Satu Tahun PTPG Kristen
Indonesia)
Diucapkan pada perayaan Dies Natalis I PTPGKI, 30 Nopermber 1957.
20
Kami akui bahwa ini daripada usaha perguruan tinggi adalah
pengembangan ilmu dengan penyelidikan, tetapi pada kenyataannya
pengembangan ilmu dan pendidikan pemimpin tiada mungkin
dipisahkan daripada pemeliharaan kebudayaan pada umumnya.
21
Dalam pandangan Abraham Kuyper segi lahir cultuur itu ter-
letak di lapangan “Uitwendige werking van de Algemene Genade.”
Di samping itu mengenal “inwendige werking van de Algemene
Gratie”, yaitu bidang keagamaan dan kesusilaan (godsdienstig en
zedelijk terrein). Istilah kebudayaan tepat benar untuk menter-
jemahkan: cultuur. Perkataan kebudayaan berasal dari kata “budi”.
Kebudayaan adalah “segala usaha budi manusia dan segala sesuatu
yang diciptakan budi manusia”. Seperti cultuur, perkataan kebuda-
yaan, meliputi baik aksi (usaha) maupun resultat (hasil) daripada
usaha manusia.
Mungkin dengan uraian yang singkat ini agak jelas apa yang
kita maksud dengan kebudayaan. Cultuur memang “beheersen van
natuur”, termasuk juga “menselijke natuur”. Di samping itu perlu
dikemukakan bahwa cultuur mula-mula tiada terpisahkan dari
cultus, daripada kebaktian kepada Allah atau ilah.
Terutama J. Huizinga dalam “In de schaduwen van morgen”:
mengingatkan kita bahwa: “cultuur is geritchtheid”. Cultuur itu
bertujuan. Cultuur atau kebudayaan itu bukan wilayah yang netral
melainkan wilayah perjuangan. Kebudayaan itu dapat bertujuan
kepada Babylon, kota kebinasaan dari Wahyu 18 atau bertujuan ke
Yerusalem Baru. Artinya: Semua aksi dan hasil budi dan roh kita itu
pada akhirnya kita persembahkan kepada suatu ideal, kepada Allah
atau ilah yang tertentu.
Perguruan tinggi, tempat dimana dibina kebudayaan dan
dimana calon pemimpin yang berkebudayaan dididik pertama-tama
harus menginsyafi, bahwa kebudayaan bukan lapangan netral dan
harus menentukan sikapnya terhadap dan untuk mengembangkan
kebudayaan itu.
22
pertama, di sini iman Kristen justru diduniawikan, disesuaikan
dengan kebudayaan. Dalam pendirian ini “One feels no great tension
between church and world, the social laws and the Gospel, the
workings of divine grace and human effort, the ethics of salvation
and the ethics of social conservation or progress”.
Pendirian yang ketiga: Christ above Culture. Dalam pendirian
ini iman Kristen ditempatkan diatas kebudayaan dan merendahkan
nilai kebudayaan. Pendirian yang keempat: Christ and Culture in
paradox. Menurut paham ini, orang Kristen, senantiasa menghadapi
dilema karena adanya dualisme daripada dunia Kristus dan dunia
Kaisar. Kepada keduanya orang Kristen wajib bersetia pada waktu
yang berlainan dan cara berlainan. Pendirian yang kelima: Christ
transforming culture. Menurut kepercayaan ini, maka Kristus ber-
kuasa, rela dan berkehendak membaharui manusia dan masyarakat
sesempurnanya. Berfikir concretiserend dan relativerend, maka kita
kini bertanya: Bagaimanakah pendirian PTPG-KI. kita terhadap
kebudayaan Indonesia? Sebelumnya menjawab pertanyaan ini,
perkenankan kiranya saya mengutip sitat yang agak panjang dari
bukunya yang terbaru Hendrik Kraemer: “ Religion and the Christian
faith”. Membicarakan pokok yang amat dicintainya, yaitu.
Synkretisme, seperti nampak dari “Wortelen van het Syncretisme”,
buku Tambaram “Christian massage in a non-Christian world”, ia
dalam Religion and the Christian faith” p. 410, mengetengahkan
dengan terus terang:
23
Beberapa garis kemudian penulis sarjana melanjutkan:
“It means that the Church has to live, to witnees, to grow
there, in that specific world where God has placed it.
Adaption therefore does not signity compromise, or
“interesting experiment”, but as I made clear in my Tambaram
book, expression of the Christian faith in a style, which is, as
D.T. Niles has often remarked, not that of a potplant, but of a
seed sown in a specific soil”
24
Iman Kristen mengandung norma-norma yang memungkin-
kan berlaku selektif terhadap kebudayaan kita.
Iman Kristen adalah akar baru, yang membuat zat baru dan
menghayati dengan gaya baru, unsur-unsur kebudayaan yang sudah
dipilihnya. Selanjutnya iman Kristen menunjukan kebudayaan yang
dibaharui itu kearah yang tertentu, yaitu ke Yerusalem Baru, mana
seperti dikalimatkan dalam Wahyu 21, “Bangsa-bangsa akan mem-
bawa kemuliaan dan kehormatan kebudayaannya masing-masing”.
“Iman Kristen, yang membaharui dan menghayati kebudaya-
an Indonesia” itulah pedoman dan sumber inspirasi dalam usaha
kami di PTPG-KI. kita.
Dalam mata-pelajaran dasar: agama, filsafat, etika, diperkenal-
kan norma-norma yang memungkinkan bersikap selektif dan kreatif
terhadap kebudayaan kita. Dalam mata-pelajaran Anthropologi
kebudayaan dan sosiologi diperkenalkan masyarakat dan perubahan
masyarakat, yang menjadi pendukung kebudayaan. Sedangkan mata-
pelajaran kejuruan yang berlainan dalam tiap-tiap jurusan, kami
coba memberikannya dari situasi hic et nunc, ditinjau dari sudut
eriteris yang tertentu. Untuk memberikan satu contoh: Hukum bagi
kami bukanlah semata-mata kebiasaan atau adat. Hukum bagi kami
adalah sistem norma. Suatu sistem norma yang melindungi:
1) die Institutionen, yaitu lembaga-lembagadalam masyarakat se-
perti: hak-milik, tukar-menukar perkawinan negara;
2) die Menschenrechte, yaitu hak-hak asasi manusia: kebebasan
keagamaan, pengajaran, mempunyai dan mengeluarkan panda-
pat, perlindungan diri dan sebagainya;
3) dengan melaksanakan sejauh-jauhnya die Garechtigkeit, yaitu
keadilan, yang sesuai dengan kehendak Tuhan.
25
kami usahakan jangan sampai pendidikan terlalu menyebelah, dan
mengharapkan perkembangan kepribadian yang selaras.
Menurut rancangan yang tertentu kami ingin memberikan
sumbangan kepada masyarakat dan kebudayaan Indonesia.
Yang kami perlukan menurut paham kami adalah:
a) kebebasan untuk melaksanakan rancangan kami,
b) menolak suatu politik kebudayaan yang bersifat paksa,
c) bantuan dari fihak penguasa kepada tiap-tiap usaha yang
membangun (konstruktif) dalam masyarakat dan ke-
budayaan.
CATATAN
Menjelang tahun kedua PTPG-KI. menunjukkan adanya
perkembangan fisik sebagai berikut: bertambahnya empat tenaga
pengajar, seorang Inggris, seorang Pilipina, dan dua orang Indonesia,
di samping adanya kepergian dua orang penting yang berjasa bagi
peletakan dasar PTPG-KI. Satya Wacana. Kedua orang tersebut
adalah Dr. John D. Hayes yang meninggal dunia pada 4 Maret 1957,
dan Tuan Joc van der Waals yang kembali ke Nederland.
Menjelang akhir tahun kuliah 1956-1957 terbentuklah
organisasi massa mahasiswa (extra-kurikuler) seperti GMNI. dan
GMKI dan Senat Mahasiswa (intra-kurikuler) pada 16 Maret 1957.
Segi positif dari perkembangan fisik di atas dihadapkan pula
dengan kesulitan-kesulitan phisik lainnya i soal aula kuliah dan
asrama yang dibutuhkan untuk penampungan mahasiswa.
Di balik perkembangan fisik serta kesulitan-kesulitan di atas,
dalam pidato ilmiah seperti tersaji di bawah ini, O. Notohamidjojo
mengemukakan suatu tanggung jawab yang lebih besar dari PTPG-
KI yakni: menciptakan satu “Educational Policy” yang sesuai dengan
Iman Kristen tanpa melepaskan diri dari Kebudayaan Indonesia.
26
4. PIMPINAN DAN PEMBINAAN
PEMIMPIN
Suatu Pedoman Dalam Pendidikan Di PTPG-KI
Diucapkan pada Dies Natalis II, Desember 1958.
27
“Hendaklah kita bersuka-cita senantiasa, dan berdoa dengan
tiada berkeputusan, dan mengucapkan syukur di dalam segala
sesuatu”.
Izinkanlah kiranya saya sekarang melukiskan perkembangan
Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Kristen Indonesia kita di
atas uraian tentang:
28
Menurut Enciclopaedia of the Social Sciences pengertian
pimpinan ini hendaknya dibedakan daripada keperbawaan atau
authority yang menyandarkan kekuasaannya terhadap pihak atau
golongan yang diperintahnya pada kekuatan adat, atau hukum.
Hendaknya pimpinan atau leadership jangan-jangan sampai
dijumbuhkan pula dengan demagogi, yaitu kesanggupan untuk
merangsang instink dan membakar emosi daripada massa.
Pimpinan yang kami maksud adalah perhubungan antara
pemimpin dan golongan penganutnya yang berdasarkan pemilihan
yang bebas, bukan berdasarkan paksaan, bukan pula karena
dorongan daripada instink yang buta melainkan karena keutuhan
kepribadian yang diterangi oleh akal.
Pada umumnya yang kami maksud dengan leadership adalah
perhubungan, yang beralaskan pertimbangan yang sadar antara
penganut terhadap kepribadian pemimpin, dan sebaliknya antara
pemimpin terhadap kepribadian penganut.
Lengkapnya:
the “rule of law” lastly, may be used as a formula for
expressing the fact that with us the law of the constitution are not
29
the source but the consequence of the rights of individuals . Ingin
menjalin nilai khusus atau subyect daripada manusia, juga terhadap
pemimpin.
Sebab itu betapa pun juga bentuk demokrasi terpimpin nanti,
secara materiil kita mengharapkan penjaminan “die Institutionen”
dan “die Menschenrechte” yang dilaksanakan menurut
“gerechtigkeit”. Penjaminan nilai khusus, daripada kepribadian dan
hak-hakmanusia Indonesia adalah principiel bagi kami. Kami
menentang faham yang menganggap manusia adalah obyek.
Sekali lagi: soal pokok dalam masalah pimpinan adalah
maksud dan tujuan daripada pemimpin dan bagaimana sikap
pemimpin itu terhadap penganutnya seorang demi seorang untuk
melaksanakan maksud dan tujuan itu.
Kebesaran seorang pemimpin tergantung pada keutamaan
maksud dan tujuannya dan kesanggupan untuk mewujudkannya.
Pemimpin yang sungguh agung, menurut faham kami, adalah
pemimpin yang dapat memperkaya kepribadian penganut-penganut-
nya.
2. Pengabdi
Sifat kedua dari-pada seorang pemimpin adalah sifat pengabdi.
“Barang siapa di antara kamu yang hendak menduduki tempat yang
pertama (artinya: hendak menjadi pemimpin) ia patut menjadi
hamba atau abdi kepada sekalian” (Markus. 10:44).
30
3. Message
Di samping kedua sifat pokok tersebut, I. W. Moomaw dalam
bukunya “Deep furrows” dalam fasal “Qualities of real leadership”,
menyebutkan suatu deretan sifat-sifat, di antaranya kami pilih:
Pemimpin yang sesungguhnya harus mempunyai “a sense of
mission” dan harus mempunyai “message”. Lebih-lebih dalam masa
dan keadaan golongan yang dipimpin dihinggapi rasa kekhawatiran,
diombang-ambingkan oleh keragu-raguan, disitu pemimpin harus
melihat dengan jernih apakah rancangan, apakah ide, apakah
messagenya dan ia harus sanggup menguraikan “wartanya” dengan
sederhana serta mudah difahami.
31
8. Keinsyafan akan kewajiban dan disiplin pada diri sendiri.
Pemimpin harus bisa menguasai dan membatasi diri sendiri, ia harus
bisa tunduk kepada peraturan. Baginya berlaku, bahwa dalam
disiplin dan pembatasan diri sendiri nampaklah keulungannya.
Disiplin pada diri sendiri harus dibarengi oleh keinsyafan akan
kewajiban.
Perintah Nelson pada tahun. 1805 di Trafalgar bukan ber-
bunyi:
“England expects every man will be a hero”, melainkan
“England expects every man will do his duty”.
32
IV. Jenis Pimpinan
Pembagian pimpinan dalam beberapa jenis tergantung
daripada kriterium yang dipergunakan. Baik juga dikemukakan,
bahwa tiap-tiap pembagian hanya mempunyai arti yang nisbi,
karena kenyataan pimpinan dan pemimpin adalah demikian pelik
dan muskilnya, sehingga tidak mungkin memasukkannya dalam
kotak-kotak yang tertentu.
33
b. Pembagian Richard Schmidt
Di samping pembagian Max Weber ini Richard Schmidt
dalam Encyclopaedia of the Social sciences membedakan dua type
pimpinan:
1. yang satu : representative atau symbolic leadership
2. yang lain : dynamic atau creative leadership
34
V. Pembinaan Pemimpin
1. Pemimpin karena pembinaan atau kelahiran
Pertanyaan yang penting dalam pemandangan terhadap
pimpinan dan pemimpin adalah soal, apakah pemimpin itu karena
kelahiran atau pembinaan?
Soal ini menurut faham kami adalah pengkhususan perta-
nyaan: apakah pendidikan atau pembinaan pada umumnya ada
gunanya atau tidak.
Kami yakin, bahwa pendidikan itu bukan mahakuasa,
sehingga bisa mengubah seorang bodoh menjadi cerdas-pandai, atau
seseorang yang lemah wataknya menjadi pemimpin yang tegas dan
agung. Tetapi kami yakin pula akan kebenaran teori konvergensi,
yang mengatakan bahwa perkembangan seseorang itu karena bakat
dan pengaruh luaran, termasuk pendidikan, dalam interactionnya
Keyakinan tentang kemungkinan berhasilnya pembinaan dan
pendidikan adalah keyakinan yang ada pada tiap-tiap orang tua,
guru, guru besar dan siapa pun yang melakukan tugas mendidik dan
pimpinan.
35
Setelah itu semuanya, dapat kita kemukakan bahwa seluruh
usaha kami di PTPG kita, dalam berjenis-jenis seginya, adalah
mempersiapkan calon pemimpin:
a) Dengan matakuliah dasar: pelajaran agama, etika dan filsafat,
kami mencoba menunjukkan dan
1) Mengalamkan hukum kasih dalam hubungan antar-manusia
2) Dan menginsyafi bahwa pemimpin sejati adalah pengabdi
kepada sesamanya,
b) Dengan matakuliah dasar itu pun kami mencoba menginsyafkan
para mahasiswa akan message dan norma-norma baru untuk
menilai dan untuk menjadi pedoman dalam menghadapi dan
mengatasi persoalan dalam masyarakat yang akan dimasukinya.
c) Selanjutnya dengan penyelenggaraan pelajaran yang luas dan
komprehensif dan dengan cara memandang pelajaran secara
prinsipiil kami mencoba memberikan vision dan insight kepada
para mahasiswa.
d) Dengan mempertahankan taraf pelajaran yang setinggi-tinggi-
nya, dalam kenyataan Indonesia yang bergumul dengan keku-
rangan buku pelajaran dan pengajar-ahli, maka para mahasiswa
kami paksa untuk membiasakan diri bekerja keras, membatasi
diri (self-dicipline), tahan uji dan sabar dalam usaha mencapai
tujuan.
e) Dengan memberi petunjuk tentang kebiasaan studi yang
berdaya guna, maka kami mencoba melatih para mahasiswa
untuk menguasai bahannya secara cepat, sebab pemimpin yang
baik harus dengan lekas dapat memperoleh orientasi dalam
bahan/keadaan yang dihadapinya.
f) Dengan research dan pelajaran yang praktis, kami berusaha
untuk mengenalkan mahasiswa dengan masyarakat, persoalan
dan penderitaan dalam masyarakat. Sebab pemimpin harus
bukan hanya idealis melainkan juga realis.
g) Di luar suasana kuliah dan ujian para mahasiswa diberi kesem-
patan untuk memimpin dalam senat dengan seksi-seksinya;
penyelenggaraan Dies Natalis II ini adalah pekerjaan senat baru;
dalam organisasi-organisasi mahasiswa; GMKI dan GMNI.
36
Amat kami sayangkan, bahwa karena jumlah pengajar full
time hanya 9 saja, dan hanya 10 dosen yang diam di Salatiga, dan
belum adanya asrama kampus yang kami perlukan, maka kami
belum bisa menciptakan college community yang seharusnya.
Pergaulan pengajar dan pelajar itu sebenarnya yang mempunyai
pengaruh pendidikan yang sebesar-besarnya.
Dalam rangka kemungkinan pada masa sekarang kami
berusaha membina dan memupuk bakat yang ada. Apakah para
tamatan PT kita akan sungguh-sungguh menjadi pemimpin, tergan-
tung pula dari bakat masing-masing dan kesempatan yang diperoleh-
nya nanti.
Dari sejarah dan sosiologi kita mengetahui bahwa apabila
kebutuhan akan perubahan yang besar bertemu dengan seorang ber-
bakat yang terpanggil untuk memenuhinya, maka di situ tumbuhlah
seorang pemimpin.
Betapa besarnya kebutuhan akan perubahan, tapi kalau tiada
bisa menyangkut pada seseorang yang berbakat, maka tiada akan
muncullah seorang pemimpin.
Sebaliknya betapa agung pun bakat seseorang, tapi apabila ia
tiada menjumpai kesempatan untuk mengembangkannya, tidak
terhasilkan pula seorang pemimpin yang besar.
Dikatakan secara abstrak dan umum: antara pemimpin dan
kenyataan sekelilingnya ada interaction, tetapi pertemuan dua pihak
sehingga menimbulkan interaction bukan terletak di tangan
manusia.
Walaupun luas dan beraneka ragam segi pekerjaan kami
dalam lapangan persiapan pemimpin, tetapi tugas itu adalah tugas
yang minta kerendahan hati.
Kami hanyalah laksana penyiram bunga; layu atau berbuah-
nya bunga itu bukan terletak di tangan kami.
Tetapi kami tetap yakin, bahwa dengan studi dan bimbingan,
para tamatan kita akan dapat memberi pimpinan yang lebih baik
kepada lingkungannya. Kami berharap dan berdoa supaya nanti di
antara pemuda-pemuda/pemudi-pemudiyang kami sumbangkan ke-
pada masyarakat Indonesia ada beberapa juga bukan hanya
37
menunjukkan representative leadership melainkan juga creative
leadership, yang dengan kasih mengabdikan diri kepada sesamanya.
Uraian ini bukanlah terlepas dari pada pidato peringatan,
bahkan merupakan inti daripadanya tentang sebagian dari
“educational policy” yang kami tuntut.
Catatan:
Tahun 1958-1959 PTPG-KI memasuki tahun kuliah dengan
kepergian beberapa Guru Besar. Mereka adalah: Prof. Dr. Mr. de
Heer, kembali ke Universitas Gajah Mada, setelah memberi kuliah
Ekonomi dan Ds. Matthysen yang kembali ke tanah airnya setelah
memberi mata kuliah Agama. Di pihak lain, Satya Wacana menga-
lami beberapa kemajuan akademis, baik untuk kepentingan keluar
maupun dalam Satya Wacana sendiri.
Untuk kepentingan keluar tercatat:
1. Terjalinnya hubungan dengan Kementrian P & K khususnya
Koordinasi Perguruan Tinggi.
2. Dengan Akademi Theologia di Yogyakarta, PTPG. Sanata
Dharma dan Universitas-universitas Negeri.
3. Perjalanan Dekan ke New Zealand dan Australia yang mem-
perkenalkan Satya Wacana kepada NCC dan seluruh gereja-
gerejanya dan juga kepada Australian Council of the World, C
of C yang berpusat di Melbourne dan Sydney.
4. Menghadiri konferensi antar Universitas Kristen Asia Timur
dan Tenggara di Silliman University, Dumaquete di Philipina,
International Christian University di Tokio, yang menghasilkan
kemungkinan para lulusan PTPG-KI untuk melanjutkan studi
ke sana.
38
4. Menyiapkan persiapan-persiapan untuk memperalihkan bentuk
PTPG. ke Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan sebagai
bagian dari Universitas Kristen sebagai suatu perguruan tinggi.
39
5. PENGAKUAN FKIP SWASTA
Diucapkan pada musyawarah F.K.I.P. Swasta tanggal 19, 20 Juni 1959 di
Salatiga.
40
Dapat dikatakan, bahwa tiap-tiap ilmu tersebut menyelidiki
satu segi, lingkungan, aspek yang tertentu daripada kenyataan. Ilmu-
ilmuyang kita sebut merupakan ilmu-vak (vakwetenschap). Seorang
ahli ilmu-vak itu memusatkan pikiran dan penyelidikannya pada
satu segi yang tertentu daripada kenyataan dengan mengesamping-
kan semua segi lain daripada kenyataan dari perhatian akalnya.
Hendaknya kita mengambil suatu contoh yang konkrit: pohon
jati. Seorang ekonom akan menunjukkan semua perhatiannya
kepada segi atau aspek ekonomi daripada pohon jati itu. Ia tidak
menghiraukan susunan molekul, tidak memperhatikan pula peranan
pohon jati dan sejarah kesenian Indonesia. Yang diperhatikan
hanyalah harga dan nilai pohon itu, produksi, industri, penjualan
dan sebagainya. Seorang ahli ilmu hayat sebaliknya tidak menye-
lidiki harga pohon dan kayunya, melainkan hanya mementingkan
aspek hayat, (hidup), pertumbuhan dan kembang-biaknya etc.
Nampaklah kiranya bahwa ilmu-vak itu membina pengetahu-
an yang berwates, karena hanya memperhatikan segi atau aspek
yang tertentu daripada kenyataan.
Sebab itu terbitlah sekarang pertanyaan: apakah ilmu-vak itu
autonom, atau apakah ahli ilmu-vak itu dapat terhindar dari segala
prasangka (voor-oordeel, bukan voor-oordel). Menurut faham kami:
tidak mungkin. Tiap-tiap ilmu vak itu dalam usahanya menghadapi
soal-soal yang tidak mungkin diselesaikan dengan memakai penge-
tahuan dari vaknya sendiri. Tiap ilmu-vak menjumpai soal-soal
dasar/pokok, yang melangkahi batas-batas kompetensi ilmu-vak
yang bersangkutan. Misalnya: soal mengenai batas-batas lapangan
dari-pada ilmu-vak; dimanakah letak batas aspek (segi) yang menjadi
lapangan penyelidikan ilmu-vak tertentu dalam keseluruhan ke-
nyataan/kosmos?
Contoh lain:
Apakah hukum kausalitas alami itu hanya berlaku untuk ilmu
alam/kimia saja, ataukah berlaku juga bagi aspek hayat, psychis,
historis, sosial, ekonomis, juridis dan sebagainya.
Untuk menjawab soal-soalpokok/dasar itu ilmu-vak memerlu-
kan bantuan daripada instansi lain, yang memperhatikan struktur
41
atau susunan daripada kosmos, yang melihat kosmos dalam aspek-
aspeknya.
Instansi yang demikian itu memang ada, yaitu ilmu filsafat.
Ilmu filsafatlah yang mencoba menjawab pertanyaan mengenai
hakikat seluruh kenyataan dalam struktur/bouwplan-nya. Bukan
hanya struktur kenyataan saja yang diselidiki oleh ilmu filsafat,
melainkan juga misalnya: susunan pengetahuan. Jawab yang diper-
oleh dari ilmu filsafat itu memperngaruhi secara diinsafi atau tidak
diinsafi usaha daripada ahli-ahli ilmuvak. Pertanyaan yang berikut
dalam rangkaian fikiran ini ialah:
Ilmu-filsafat sendiri, apakah itu otonom, dalam arti: apakah
ilmu filsafat itu dapat diusahakan dengan mempergunakan akal
(ratio) manusia saja. Pertanyaan ini amat pelik dan pentingnya.
Seumpama ilmu filsafat itu ilmu yang autonom, yang bersifat akal
murni, maka boleh kita simpulkan, bahwa pada akhirnya: ilmu
pengetahuan (sebab ilmu filsafat pun adalah ilmu pengetahuan) itu
memang autonom.
Betapa sukarnya untuk menjawab pertanyaan: apakah ilmu
filsafat itu autonom atau tidak, nampaklah dari pelbagai ragam jawab
dari para kaum filsuf sendiri. Aliran rasionalisme jawabnya berlainan
daripada irrasionalisme.
Menurut rasionalisme akal manusia itu memadai untuk
menjelaskan semua soal, memadai untuk meraih kebenaran yang
terakhir. Akallah yang menyusun kembali semua gejala setelah
kenyataan diremuknya, akallah yang menggalang kesatuan dalam
kejamakan. Akal manusia dianggapnya mewujudkan alat-pembuka
semua rahasia.
Akan tetapi, keyakinan rasionalisme itu didasarkan atas apa?
Dengan perumusan lain: dengan alasan apa aliran rasionalisme itu
memilih akal sebagai alat pembuka semua rahasia? Mengapa oleh
rasionalisme akal dianggap kompeten menyelesaikan semua soal
pengetahuan.
Terpilihnya akal sebagai dasar dan pangkal daripada ilmu
pengetahuan/ilmu filsafat itu berdasarkan suatu pemilihan yang
bukan bersifat akali. Rasionalisme memilih akal; karena percaya
kepada akal. Dan kepercayaan itu tidak diperoleh dengan jalan
fikiran akal, melainkan kepercayaan itu adalah suatu keyakinan.
42
Atas dasar keyakinan itu rasionalisme memilih akal sebagai dasar
dan alat penyelesaian semua soal ilmu pengetahuan. Keyakinan itu
dapat dipahami, dapat dihormati, tapi tidak bisa dibuktikan dengan
akal. Akal tak dapat mendasarkan diri sendiri atas diri sendiri (vide:
Dr. Mr. D. C. Mulder: Iman dan Ilmu pengetahuan).
Dengan perkataan lain: kami tidak percaya akan
“Voraussetzungslosigkeit” der Wissenschaft. Itu disebabkan, oleh
karena bukan akal in abstracto (akal terlepas dari segala sesuatu),
yang berfikir dan mengusahakan ilmu pengetahuan, melainkan
manusia dalam totaliteitnya yang berfikir dan mengusahakan ilmu
pengetahuan itu, yaitu manusia dengan kepercayaan dan keyakin-
annya, dengan simpati dan antipatinya, manusia sebagai keseluruh-
an, yang mempunyai sikap tertentu terhadap dunia dan hidup. Ilmu
pengetahuan adalah salah-satu hasil daripada sikap tertentu
(bepaalde houding) terhadap kenyataan dan hidup.
Penyelidikan dan pengusahaan ilmu pengetahuan tidak dapat
dilakukan secara autonom atau voraussetzungslos.
Lebih jelas lagi hubungan antara ilmu pengetahuan dan
pandangan dunia/hidup apabila kita bertanya tentang: maksud (zin)
daripada ilmu pengetahuan. Pertanyaan ini sungguh hanya dapat
dijawab menurut pandangan dunia/hidup masing-masing. Ada
sarjana (Max Scheler) yang membedakan antara:
Herrschaftwissen (Ilmu pengetahuan untuk menguasai kenya-
taan).
Bildungswissen (Ilmu pengetahuan untuk membentuk manu-
sia ke arah kesempurnaan).
Erlossungswissen (Ilmu pengetahuan keagamaan untuk mem-
bahagiakan).
43
Konsekuensi daripada keyakinan ini adalah, bahwa:
a) Manusia tidak boleh dikorbankan untuk ilmu pengetahuan.
b) Ilmu pengetahuan hanya berguna, bila memperkaya manusia
secara rohani.
44
b) FKIP swasta, tempat pendidikan guru/pendidik
Usaha mendidik adalah usaha yang mempunyai “gerichtheid”.
Tujuan mana yang dianut tergantung daripada tujuan pendidikan,
dan tujuan pendidikan ini tergantung daripada pandangan terhadap
hakikat-manusia, dan oleh karenanya tidak terpisahkan daripada
keyakinan masing-masing.
Untuk menjelaskannya, perkenankan memberikan contoh
sebagai berikut: Eggersdorfer membedakan dalam aliran normatieve
pedagogiek empat golongan yang terpenting:
a) Individual Auffassung, yang mengutamakan hubungan indi-
viduil antara pendidik-terdidik.
b) Soziale Auffassung, yang menganggap masyarakat sebagai tujuan
terakhir bagi usaha pendidikan.
c) Kulturphilosophische Auffassung, yang menganggap kebuda-
yaan (kultur) sebagai unsur essensiel dalam pendidikan.
d) Theistisch – metaphysiche Auffassung, yang mencari tujuan
bukan dalam alam immanensi melainkan dalam alam transen-
densi.
45
asas demokrasi, sudah sewajarnya, bahwa pada asasnya, FKIP swasta
itu dengan syarat-syarat tertentu, mendapat pengakuan dari
Pemerintah.
c) Kesamaan kewarganegaraan
Mahasiswa, yang dibina dalam FKIP swasta adalah warga-
negara Indonesia yang penuh, yang tak ada bedanya daripada warga-
negara Indonesia lainnya, yang kesamaan haknya diperlindungi oleh
UUDS, antara lain dalam:
fs. 7
(1) setiap orang diakui sebagai manusia pribadi terhadap
undang-undang.
(2) sekalian orang berhak menuntut perlakuan dan per-
lindungan yang sama oleh Undang-undang.
(3) sekalian orang berhak menuntut perlindungan yang sama
terhadap pembelakangan dan terhadap tiap-tiap peng-
hasutan untuk melakukan pembelakangan demikian.
fs. 18
Setiap orang berhak atas kebebasan agama, ke-insyafan batin
dan pikiran.
fs. 30
(1) Tiap warganegara berhak mendapat pengajaran.
(2) Memilih pengajaran yang akan diikuti adalah bebas.
(3) Mengajar adalah bebas dengan tidak mengurangi penga-
wasan penguasa yang dilakukan terhadap itu menurut
peraturan undang-undang.
46
II. Apakah Pengakuan?
Yang kita maksud dengan:
Pengakuan ialah penunjukan oleh pemerintah terhadap FKIP/
Perguruan Tinggi swasta berwenang sama dengan FKIP/PT. negara,
dalam pemberian ijazah, gelar-gelar dan sebutan-sebutan univer-
siter, yang disebut dengan tegas dalam penunjukan itu.
Pemberian ijazah, gelar-gelar dan sebutan-sebutan yang di-
sebut dengan tegas itu, berdasarkan kelulusan dalam ujian yang
diadakan oleh FKIP/PT swasta itu sendiri.
Kepada FKIP/PT swasta yang diakui itu tiap-tiap tahun diberi
sokongan oleh Pemerintah.
Pemberian sokongan itu diatur dalam Peraturan Pemerintah.
FKIP/PT swasta, yang bersubsidi adalah FKIP/PT swasta yang
diakui oleh Pemerintah, dan yang diberi hak-hak yang sama dengan
FKIP/PT negara.
Pengakuan ini didasarkan:
fs. 30. UUDS (lihat di atas).
fs. 40.
Penguasa melindungi kebebasan mengusahakan kebudayaan
serta kesenian dan ilmu pengetahuan.
Dengan menjunjung asas ini maka penguasa memajukan
sekuat tenaganya perkembangan kebangsaan dalam kebuda-
yaan serta kesenian dan ilmu pengetahuan.
fs. 41.
(1) Penguasa wajib memajukan rakyat baik rohani maupun
jasmani.
Undang-undang No. 4 tahun. 1950, tentang Dasar-Dasar
Pendidikan dan Pengajaran disekolah untuk seluruh
Indonesia.
fs. 13
(1) Atas dasar kebebasan tiap-tiap warganegara menganut
sesuatu agama atau keyakinan hidup maka kesempatan
leluasa diberikan untuk mendirikan dan menyelenggara-
kan sekolah-sekolah partikelir.
47
fs. 14
(1) Sekolah-sekolah partikelir yang memenuhi syarat-syarat
dapat menerima subsidi dari Pemerintah untuk pembia-
yaannya.
III. Tingkat-tingkatPengakuan
Pengakuan itu oleh Pemerintah hendaknya diberikan menu-
rut tingkat-tingkat yang berikut, sehingga Pemerintah (Kem. PP dan
K) berkesempatan mengikuti perkembangan FKIP swasta masing-
masing sebaik-baiknya.
48
Pemerintah (sebagai pelaksana Undang-undang tentang
Perguruan Tinggi).
Tingkat 2. Tingkat pengesahan ujian
Pada tingkat ini ujian Sarjana Muda dan sarjana FKIP
swasta dihadiri oleh panitia-peninjau dari FKIP negara.
Panitia Peninjau ini melalui fakultas/universitasnya
memberikan laporan kepada bagian Biro Koordinasi
Perguruan Tinggi Kem. PP dan K dan mengusulkan
pengesahan ujian dan pemberian ijazah, gelar dan
sebutan.
Tingkat 3. Tingkat Pengakuan.
Berdasarkan laporan tersebut dalam 2, Pemerintah
dapat menunjuk FKIP swasta berwenang memberi
ijazah, gelar dan sebutan yang sama dengan FKIP nega-
ra, tanpa dihadiri panitia peninjau dari FKIP negara.
Pengakuan ini berlaku surut sampai waktu ijazah, gelar
dan sebutan yang pertama diberikan oleh FKIP swasta
yang bersangkutan.
Tingkat 4. Tingkat subsidi.
FKIP swasta yang bersubsidi adalah FKIP swasta yang
diakui dan mendapat pembiayaan penuh dari pemerin-
tah seperti FKIP negara.
IV. Syarat-syaratPengakuan
Mestinya pihak Pemerintah untuk mencegah pertumbuhan
FKIP./PT swasta yang membelukar tak beraturan, harus menetapkan
syarat-syaratyang tertentu dalam pengakuan FKIP/PT swasta itu.
Syarat-syarat itu hendaknya menjamin:
a) Kepastian usaha dalam dukungan hukum.
b) Kepastian organisasi.
c) Kepastian taraf ilmiah yang diselenggarakan FKIP swasta.
ad a. FKIPswasta harus didukung/dibina oleh suatu badan hukum
yang mempunyai modal – dalam bentuk apapun – yang
49
tertentu. Jumlah ditentukan dengan undang-undang
(peraturan pemerintah).
V. Peraturan Peralihan
Tiap-tiap undang-undangbaru senantiasa disertai peraturan
peralihan untuk menampung keadaan sebelum undang-undang itu
berlaku.
Undang-undang tentang perguruan tinggi hendaknya disertai
peraturan peralihan sebagai berikut:
“Kepada FKIP/PT swasta yang ada pada saat pengundangan
undang-undang tentang PT telah menunjukkan kemampuan
berkembang ke arah penyempurnaan, diberi hak yang sama
dengan FKIP/PT negara mengenai pemberian ijazah, gelar-
gelar dan sebutan-sebutan universiter, walaupun belum
semua syarat perlengkap-an/jumlah mahaguru tetap dipenuhi,
dengan ketentuan bahwa kalau dalam waktu sepuluh tahun
setelah pengundangan itu syarat-syarat tersebut belum juga
dipenuhi, penunjukan kesamaan wenang itu akan dicabut
seluruhnya oleh Pemerintah. Sokongan FKIP/PT swasta
tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
50
Berhubung dengan mendesaknya keadaan untuk menjamin
kepastian hukum bagi tamatan FKIP/PT swasta, maka apabila
undang-undang tentang perguruan tinggi hanya dapat diselesaikan
dalam jangka waktu yang lama, peraturan peralihan yang diusulkan
ini, hendaknya secepat-cepatnya ditetapkan oleh YM Menteri PPK
untuk kemudian dimasukkan sebagai peraturan peralihan ke dalam
undang-undang tentang perguruan tinggi.
Catatan:
Tahun 1959, membawa Satya Wacana ke arah perkembangan
yang lebih meyakinkan, dengan adanya pengakuan FKIP Swasta
pada Musyawarah FKIP Swasta tanggal 19, 20 Juni 1959.
Hal ini merupakan suatu peristiwa penting bagi kelangsungan
Satya Wacana selanjutnya dalam rangka usaha mengabdi dan me-
ngembangkan ilmu pengetahuan bagi kepentingan masyarakat
Indonesia.
Kemajuan seperti ini semakin diperkuat pula dengan bertam-
bahnya jumlah mahasiswa sebanyak 342 orang dari lima jurusan
FKIP Sedang tenaga pengajar berjumlah menjadi 41orang, setelah
keluarga G. Brewster (New Zealand), Miss Cruz (Pilipina) dan Drs.
Steenwinkel pada awal 1960 (Nederland), meninggalkan Satya
Wacana.
51
6. TUGAS ILMIAH UNIVERSITAS
KRISTEN SATYA WACANA
Saudara-saudara sekalian,
Pada pembukaan PT kita pada 30 Nopember 1956 diumum-
kan dasar perguruan tinggi kita.
1. Pengakuan: Souvereiniteit (kedaulatan) Tuhan terhadap kosmos,
Ia bertahta di atas batas yang mutlak, di atas makhluknya. Batas
yang mutlak itu adalah nomos, yaitu Hukum, hukum Tuhan.
2. Normativiteit, yaitu pengakuan bahwa Tuhan yang berdaulat itu
Pengundang-undangan yang menitahkan norma-norma-Nya
kepada sekalian makhluk dalam lapangan mana dan hubungan
mana pun juga.
diucapkan pada Dies Natalis IV FKIP
52
3. Aktualiteit, yaitu dasar, bahwa penyelidikan dan pengajaran,
kami sangkutkan kepada problematik yang aktuil, yang pada
hakekatnya adalah problematik Nasional.
4. Sociabiliteit, yaitu dasar pengabdian kepada sesama manusia dan
masyarakat dalam arti seluas-luasnya.
I. Universitas
Perkataan Universitas itu mula-mula berarti collectivitas atau
persekutuan. Arti itu ternyata dari ungkapan: “Universitas
magistrorum et scholarium” persekutuan para magistri (ahli) dan
para siswa. Baru kemudian pengertian universitas sebagai perse-
kutuan, terdesak oleh pengertian Studium Generale yaitu lembaga
dimana diajarkan artes liberales (de zeven vrije kunsten yang ter-
gabung dalam trivium dan quadrivium) sebagai dasar studi theologia,
hukum dan medicina. Sejak itu universitas menjadi lembaga dimana
diselidiki dan diajarkan semua ilmu. Tugas ilmiah menjadi tugas
yang terpenting bagi universitas. Bagaimana sikap dan pandangan
Universitas Kristen kita terhadap ilmu itu?
II. Ilmu
Ilmu adalah apa yang dimaklumi, adalah keseluruhan penge-
tahuan, yang teratur secara sistematis. Ilmu adalah hasil daripada
pemikiran.
Pemikiran itu dilakukan bukan oleh akal in abstracto melain-
kan oleh manusia dalam totalitasnya, yaitu manusia dengan
pandangan dunia dan hidupnya, dengan sikap yang tertentu ter-
hadap kenyataan dan hidup.
53
Sikap (attitude) manusia terhadap kosmos dan hidup itu
berjenis-jenis.
Di sini hanya kami sebut tiga macam:
1. Monisme.
2. Dualisme.
3. Theistis monistis dualisme.
III. Monisme
Yang kami maksudkan dengan monisme di sini adalah faham
yang mengembalikan (mereduksikan) keberaneka-warnaan kosmos
kepada satu asal, satu prinsip.
Bagi kami yang terpenting dalam monisme ini ialah bahwa
kepada manusia tidak diberikan tempat tersendiri dalam kosmos.
Manusia hanyalah satu gejala yang tidak ada perbedaan asasi
daripada fenomena lainnya
54
secara intens totalitas itu; dalam mystik, extase, mimpi, alam
kematian.
Ilmu di sini adalah sesuatu yang gaib, adalah “ngelmu”, yang
dimiliki oleh yang tajam intuisinya dan hidup dekat pada
sumber-sumber penyataan totalitas itu. Tujuan pemikiran
adalah kesatuan dengan totalitas, sifatnya bukan obyektif-
kritis melainkan subyektif-participerend.
IV. Dualisme
Dualisme ini faham, dimana manusia diberi tempat tersendiri,
yang pada asasnya lain daripada gejala-gejala lain dalam kosmos.
Manusia adalah roh, yang bebas dan bertanggung-jawab, yang
berhadapan dengan kosmos, yang menganggap kosmos sebagai
obyek untuk diselidiki.
55
”Nomouniversale”, de vrije koningsmens, die de wereld zal
beheersen en in eigen souverine levensdrang zijn levenshouding
bepaalt” (Dr. H. Dooyeweerd: De betekenis der wetsideevoor
rechtswetenschap en rechtsphilosophie pag. 6), dengan perkataan
lain: budaya pendewaan manusia yang berdaulat dan tidak mau
terikat oleh norma-norma yang heteronom.
1. Kenyataan
Menurut paham kami kenyataan/kosmos dijadikan oleh Tuhan.
Tuhan adalah asal yang absolut dan integral daripada segala
sesuatu.
2. Manusia
Manusia adalah makhluk yang dijadikan oleh Tuhan menurut
wajahnya “in God’s image, in God’s likeness”
Sentrum daripada manusia bukan terletak dalam akal, melain-
kan dalam hatinya. Dalam hati itu diambil keputusan-keputusan
56
yang terpenting dalam hati itu ditentukan sikap terhadap
Tuhan.
Jatuh ke dalam dosa adalah keruntuhan daripada hati, kerun-
tuhan itu keruntuhan yang radikal, yang menghanyutkan
seluruh kosmos. Sebaliknya penyelamatan adalah pembaharuan
pada asasnya daripada hati dan seluruh kosmos.
3. Pemikiran
Pemikiran dalam theistismonistisdualisme ini adalah pemikiran
daripada seorang saksi.
Catatan:
Kemajuan Satya Wacana baik dalam perkembangannya phisik
ditahun sebelumnya (1956-1958) ditambah dengan kemajuan
akademis 1958, menunjukkan bahwa pengakuan yang diperoleh
1959 tidak merupakan suatu pengakuan semu belaka. Namun, apa
yang dapat ditunjukkan sebelumnya lebih berdasarkan pada kemam-
puan Satya Wacana untuk memenuhi persyaratan phisik bagi adanya
satu Perguruan Tinggi.
Untuk memperoleh suatu pengakuan yang lebih berarti harus
pula dibuktikan dengan kemampuan intelektual para mahasiswanya.
Kesempatan untuk hal ini diberikan oleh pemerintah kepada Satya
Wacana pada tahun 1960. 64 mahasiswa dari 5 jurusan FKIP Satya
Wacana diperkenankan menempuh ujian Negara, Sarjana Muda
pada FKIP Universitas Bandung. Dari 64 mahasiswa peserta ujian
ternyata 48 orang dapat berhasil, berarti 75% dari jumlah seluruh-
57
nya. Sedang jumlah seluruh mahasiswa (tingkat I-III) sebesar 342
orang.
Pada permulaan tahun 1960-1961, jumlah tersebut bertambah
menjadi 383 orang. Di pihak lain terjadi pula perubahan struktur
FKIP Satya Wacana yang sebelumnya merupakan bagian dari satu
struktur yang lebih besar, ke dalam Universitas Kristen Satya
Wacana (UKSW). Perubahan ini diadakan atas keputusan Dewan
Kurator pada tanggal 4 desember 1959. Selain FKIP sebagai bagian
dari UKSW dibuka pula dua fakultas, yakni Fakultas Hukum dengan
jumlah mahasiswa 22 orang dan Fakultas Ekonomi dengan 26
mahasiswa. Jumlah seluruhnya menjadi 431 orang. Sebagai konse-
kuensi dari jumlah mahasiswa tersebut di atas, terdapat pula pertam-
bahan jumlah pengajar sebanyak 49 orang dari 41 orang pada tahun
1959.
Dapat disebutkan Prof. F. De Stock untuk fakultas Ekonomi
(ketua jurasan), Ny. Stock untuk Jurusan Bahasa Inggris, S.W Tanya
dan Ir. Gan Than Gie (Kwee Tik Liang, Tan Tjong Swan dalam
Jurusan dan Fakultas Hukum/Ekonomi. Drs. M. Hutagalung
Hadiutomo untuk Jurusan Pendidikan, Busrodin untuk Mata Kuliah
Bahasa Indonesia dan pengangkatan 6 asisten dosen tamatan FKIP
Satya Wacana Salatiga.
Seperti biasanya UKSW senantiasa mengusahakan hubungan
yang lebih luas dengan Perguruan-perguruan Tinggi Negeri/Islam/
Kristen dan Yayasan-yayasan Kristen didalam dan diluar negeri.
Tercatat jalinan hubungan dengan FKIP Muhammadiyah Solo,
dengan Dewan Gereja Indonesia Jakarta; Universitas Nommensen
Pematang Siantar, dan perhubungan dengan Universitas Kristen se
Asia melalui United Board for Christian Higher Education in Asia.
Semuanya diusahakan tanpa menyampingkan hubungan intim
dengan Badan-badan pemerintah, khususnya pejabat-pejabat sipil
dan militer di Kotamadya Salatiga.
Tugas ilmiah Universitas Kristen Satya Wacana yang diucap-
kan pada Dies Natalis I, 1960 dilengkapi dengan pidato tentang
Dasar Filsafat UKSW pada Dies Natalis 1961.
58
7. DASAR FILSAFAT UNIVERSITAS
KRISTEN SATYA WACANA
Diucapkan pada Dies Natalis II, Universitas Kristen Satya Wacana, 30
Nopember 1961.
59
2. Universitas Kristen Satya Wacana adalah Universitas
Magistrorum et Scolarium, suatu persekutuan antara
magistri (ahli) dan mahasiswa, dengan perkataan lain suatu
lembaga pendidikan.
3. Universitas Kristen Satya Wacana adalah lembaga pem-
binaan ahli-ahli, pelayan-pelayan masyarakat Indonesia.
60
Kekuasaan negara/pemerintah baru bersifat susila apabila di-
abdikan kepada pemeliharaan keadilan dan kasih.
Keadilan pada umumnya adalah: “suum cuique tribuere” =
“memberikan kepada masing-masing apa yang menjadi bagian-
nya”.
Mengenai keadilan kita mengenal:
b 1) Keadilan vindikatif, yaitu keadilan yang menghukum/
membalas, yaitu keadilan dalam bidang hukum pidana,
dimana negara/ pemerintah menghukum kejahatan dan
pelanggaran sesuai dengan “suum cuique tribuere”.
b 2) Kita mengenal keadilan distributife, dalam bidang hukum
publik, dimana pemeliharaan “suum cuique tribuere”
dilaksanakan dengan memperhitungkan perbedaan kuali-
tatif antara warganegara (misalnya hanya orang-orang
yang berbakat dan belajar untuk menjadi dokter; ditetap-
kan sebagai dokter; akan tidak adil apabila tiap-tiap
warganegara dijadikan dokter).
b 3) Kita mengenal keadilan kommutatif dalam perhubungan
kontrak dan pertukaran, dimana prestasi dan kontra-
prestasi, rugi dan gantirugi didasarkan atas kesamaan.
b 4) Akhirnya kita mengenal keadilan kreatif yang memberi
kesempatan menciptakan kepada orang-seorang dan
golongan-golongan dalam masyarakat untuk mengem-
bangkan kepribadian dan kebudayaan.
Kedaulatan negara/pemerintah wajib dipergunakan untuk me-
melihara keempat keadilan tersebut. Di samping itu kedaulatan
negara/pemerintah wajib diabdikan kepada pernyataan kasih.
Kekuasaan negara/pemerintah harus ditujukan kepada publicum
bohum, kesejahteraan umum, dipergunakan untuk melayani
warganegara, golongan-golongan, lapisan-lapisan masyarakat,
dan daerah-daerah yang miskin, kelaparan menderita dan
terpencil.
c) Batas horisontal kedua terletak dalam lingkungan-lingkungan
yang masing-masing dikaruniai kedaulatan dalam lingkungan-
nya sendiri.
61
a. Lingkungan orang-seorang yang dikaruniai oleh Tuhan hak-
hak asli, supaya mampu bertindak sebagai pihak dalam
perjanjian (Bund, Verbond) dengan Tuhan, hak-hak asli itu
misalnya: hak hidup, hak milik, hak kebebasan konsiensi/
agama, hak kebebasan mendidik dan mengajar, hak menya-
takan diri dalam ilmu, kesenian, kebudayaan, hak mempu-
nyai dan melahirkan pendapatan dan sebagainya.
b. Lingkungan keluarga juga mendapat kedaulatan langsung
dari Tuhan bagi pemeliharaan keluarga itu. Orang tualah
yang misalnya bertanggungjawab langsung kepada Tuhan
tentang pendidikan/pengajaran anak-anaknya.
c. Lingkungan Gereja/golongan agama, yang dalam lingkungan
dan pengembangan iman mendapat kedaulatan daripada
Tuhan.
d. Lingkungan ilmu pengetahuan, seperti universitas, yang
diberi tugas dan kedaulatan untuk mencari kebenaran
menurut norma-norma ilmu pengetahuan yang tidak dapat
dicampuri oleh pihak mana pun.
e. Lingkungan kesenian diberi tugas dan kedaulatan untuk
menciptakan keindahan menurut norma-norma lingkung-
annya sendiri. Menghormat lingkungan-lingkungan ter-
sebut sesuai dengan dasar/tujuan Revolusi Indonesia yang
menurut Manifesto Politik Republik Indonesia adalah
kongruen dengan Social Consciance of Man.
62
Sub 2. Dasar Normativitas
Dasar ini berarti pengakuan bahwa Tuhan yang berdaulat itu
juga pengundang-undang yang tertinggi, yang menitahkan hukum/
normanya kepada seluruh makhluk dalam lapangan mana dan
perhubungan mana pun juga, Bagi Universitas Kristen Satya
Wacana, dasar normativitas itu berlaku baginya.
a) Sebagai Lembaga ilmiah
Penelitian ilmiah dan pengajaran ilmu menurut paham kami
adalah tugas yang diterima daripada Tuhan.
Norma-norma untuk menunaikan tugas ini ialah:
a.1. Hormat akan Tuhan adalah pangkal segala pengetahuan
Plato mengatakan bahwa keheranan itu pangkal ilmu.
Alkitab mengatakan:Irad Jahwe (Reverence of the Lord) itu
permulaan daripada Daath (Knowledge).
a.2. Bagi lapangan ilmu pengetahuan berlaku juga hukum ke-8
daripada Dekalog: engkau jangan berdusta. Dengan jujur kita
harus mencari dan merumuskan kebenaran diseluruh bidang
ilmu.
a. 3. Pengabdi ilmu harus menunaikan tugasnya dengan rendah hati,
karena ia insaf, bahwa “ia sekarang ini nampak didalam cermin
muka kelam” dan “baru kelak pengetahuannya akan disem-
purnakan”
a. 4. Kebenaran ilmiah itu mentransendensikan batas-batas golongan,
masyarakat dan negara, serta meliputi suluruh alam semesta/
umat manusia. Sebab itu dilapangan ilmu wajib kita terbuka bagi
kerjasama internasional.
a.5. Penyelidik dan pengabdi ilmiah sebenarnya adalah saksi dari-
pada kerja Tuhan yang besar, yang terbentang dalam kosmos.
Dalam penyelidikan dan pekerjaannya, ia akan terpesona oleh
kemuliaan Al-Khalik, yang kemahakuasaannya terbaca sebagai
buku terbuka dalam alam semesta.
Dengan demikian ilmu pengetahuan yang berawal dengan
khidmat kepada Tuhan berakhir dengan bakti-puji kepada
Tuhan.
63
b) Dasar normativitas itu menyangkut pula pada Universitas
Kristen kita yang sebagai Lembaga pendidikan. Pendidikan
adalah bimbingan secara sadar yang diberikan untuk perkem-
bangan kepribadian supaya sanggup melihat dan menunaikan
tugasnya sebagai manusia.
Teranglah bahwa pendidikan itu aktivitas yang bertujuan.
Tujuan dalam pendidikan tergantung daripada pandangan ter-
hadap manusia. Tujuan dalam pendidikan kita di sini adalah:
dalam doa dengan memohon berkat dari Tuhan membentuk
manusia-pengabdi Tuhan dalam pelayanan kepada sesama-
manusia dan masyarakat.
c) Dasar nomativitas itu mengait pula pada Universitas Kristen kita
sebagai Lembaga pembina pekarya-pekarya akademis.
Di bidang ini berlakulah norma-norma diakonia (=pelayanan)
Kristen.
Menurut Alkitab dapat dibedakan antara:
C 1. Diakonia kharismatis
C 2. Diakonia sosial.
64
Kristen Satya Wacana menyangkutkan penelitian/pengajaran,
pendidikan dan pembinaan pada soal-soal masyarakat yang aktuil,
pada masalah hangat daripada bangsa dan negara kita, menyang-
kutnya pada perkembangan kebudayaan nasional.
Di ini bertemu asas aktualitas persoalan nasional dan kebu-
dayaan kebangsaan.
65
IV. Kesimpulan
Dasar filsafat Universitas Kristen Satya Wacana tak lain
daripada rangka principial daripada Pancasila, Undang-Undang
Dasar 1945 dan Manifesto Politik Republik Indonesia. Sumbangan
kita sebagai Universitas Kristen adalah memberikan isi dari sudut
paham Kristen kepada Pancasila, UndangUndang Dasar 1945 dan
Manifesto Politik Republik Indonesia..
B. Laporan
Perkembangan Lembaga
1. Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Kristen Indonesia (PTPG-
KI).
Kami mulai perguruan tinggi kita sebagai PTPG-KI di jalan Dr.
Sumardi 5 Salatiga pada tanggal 17 Oktober 1956.
Pembukaan resmi dilakukan di hotel Kalitaman (sekarang
Kaloka) pada 30 November1956. PTPG-KIberlangsung tiga
tahun lamanya.
2. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Kristen Indonesia
(FKIPKI)
Dalam pada itu pemerintah mengubah PTPG-nya menjadi FKIP
dan memasukkannya sebagai fakultas ke dalam universitas
negara. Perkembangan ini menghadapkan kepada kenyataan
yang tak dapat kami hindari.Pada tanggal 17 Juli 1959, ber-
samaan dengan pemberian ijazah Sarjana Muda yang pertama
kali, Ketua Dewan Pengurus mengumumkan bahwa PTPG-KI
diubah menjadi FKIP-KI.
3. Universitas Kristen Satya Wacana
Suatu fakultas, juga fakultas FKIP tidak bisa berdiri sendiri.
Tindakan pada 17 juli 1959 harus diikuti oleh pembangunan
Universitas. Konsekuensi itu ditarik pula oleh Dewan Pengurus
dan Dewan Kurator. Pada tanggal 5 Desember 1959 dalam
perayaan Dies Natalis III FKIP dan peresmian pembukaan
gedung-gedung di jalan. Tuntang 54-56 (sekarang Jalan
Diponegoro 54-56) oleh Dewan Pengurus dan Dewan Kurator
66
(yang diwakili oleh Ds. S. Djojodihardjo dan Sdr. S.
Poerbosoesanto, ketua dan sekretaris Dewan Pengurus, Ds.
Poerbowijogo-ketua Dewan Kurator) diumumkan, bahwa rapat
gabungan mereka tanggal 4 Desember 1959, dengan suara bulat
memutuskan untuk mendirikan Universitas Kristen yang
kemudian dinamakanUniversitas Kristen Satya Wacana.
Catatan:
Isi pidato diatas dimaksudkan untuk dapat mengisi kemajuan-
kemajuan UKSW yang telah menjulang ke depan. Betapa tidak!
Pertambahan mahasiswa bertambah menjadi 514 orang,
menghasilkan 90 SM swasta, 72 orang di antaranya berhasil lulus
dalam ujian negara. Segi positip dari keberhasilan ini dan kemajuan
yang senantiasa diperoleh, menambah penghargaan dan dukungan
dari pihak luar. Hal ini terbukti dari angka pertambahan gereja
pendukung yakni: Gereja Kristen Isa Almasih, Gereja Masehi Injili
Indonesia, Gereja Maluku dan Gereja Bali, di samping Gereja
Gereformeerd yang mengundurkan diri dari pendukung sejak 1958.
Mulai dipikirkan langkah-langkah persiapan untuk menjadi Pergu-
ruan Tinggi yang diakui sesuai UU Perguruan Tinggi yang baru di-
kemukakan dengan menjalin hubungan yang lebih erat dengan
universitas/akademi dari pemerintah dan juga meningkatkan diri
dalam aspek perkuliahan. Keyakinan akan adanya kemungkinan-
kemungkinan untuk berkembang diusahakan pula dengan membuka
tingkat doktoral jurusan ekonomi dan hukum, sedang jurusan bahasa
Inggris dan mendidik telah dimulai pada tahun 1960.
67
8. UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
ANTARA ILMU DAN MASYARAKAT
*
Para tamu yang mutabir,
Dewan Pengurus,
Dewan Kurator dan
Dewan Pengajar yang terhormat,
Para mahasiswa yang kekasih,
Hadirin yang mulia.
Diucapkan pada Pidato Dies Natalis VI, 30 November 1962
68
subyek dan obyek, lebih tepat: antara subyek dan Gegenstand-nya,
berfungsi dalam horison suatu kebudayaan yang tertentu. Atau
dengan perumusan lain: relasi timbal balik yang hidup antara
penyelidik dan sasarannya itu berlangsung, disadari atau tidak,
dalam cakrawala Welt-und Lebensanschauung. Ilmu adalah orientasi
existensiil. Sehingga hakikat dan tujuan ilmu dalam Monisme,
berlainan daripada dalam Dualisme, berlainan pula dalam
Monotheistis monistis dualisme. Sebagai keseluruhan Universitas
Kristen Satya Wacana bekerja dalam horison Monotheistis monistis
dualisme, yang pada akhirnya mengatasi segala nama. Ia Raja segala
raja, yang diberi kuasa, termasuk kuasa pengundang-undang di
langit dan dibumi.
Dalam horison Monotheistis monistis dualisme itu, ilmu
bukan tujuan yang terakhir. Kita menolak semboyan “la science pour
la science”. Bagi kita logos itu tunduk kepada ethos, dan ethos
kepada Theos. Ilmu itu dilayankan kepada sesama manusia, dan
melalui diakonia kepada sesama manusia itu kepada Tuhan, yang
bertakhta di Kerajaan Allah.
Universitas Kristen Satya Wacana menginyafi tanggung jawab
sosial daripada karyawan-ilmiah karena motif yang dalam, yaitu
agape, kasih yang mengorbankan diri.
Di samping itu Satya Wacana berdiri dan memang mau
berdiri di tengah-tengah masyarakat Indonesia, yang menggelom-
bang bergolak, yang menuntut pengaturan, penyelenggaraan dan
penenangan dari ilmu dan karyawan ilmiah. Masyarakat kita
gandrung akan hasil karya para cerdik-cendikiawan.
Berfungsi sebagai lembaga-penghubung antara ilmu dan
masyarakat, yang kedua-duanya bergerak secara dynamis, Satya
Wacana menjawab tantangan ini secara formil dan materiil.
Secara formil response kita, kita wujudkan dalam perluasan:
dengan dua fakultas exakta:
Fakultas ilmu hayat, dan fakultas ilmu pasti-alam.
Kita harus mengakui, bahwa pembukaan kedua fakultas
exakta itu kita lakukan dengan menggerakkan semua tenaga yang
ada dan tidak-ada pada kita, tidak hanya untuk memenuhi tuntutan
undang-undang tentang Perguruan Tinggi no. 22/Th.1961, melain-
69
kan karena keinsyafan bahwa masyarakat Indonesia memerlukan
scientist-scientistyang cakap dan bertanggung jawab untuk menggali
kekayaan alam Indonesiam bagi kemakmuran rakyatnya.
Juga pembukaan jurusan Pendidikan Guru Agama sebagai ke-
enam dari FKIP bukan hanya untuk memenuhi ketetapan MPRS,
melainkan karena keinsyafan,bahwa kita dipanggil untuk turut
membangun dalam bidang rohaniah masyarakat Indonesia – yang
sekarang mengalami pergeseran dari sifat religieus kesifat sekuler –
unuk turut member pedoman dalam suasana norma heterogin.
Secara materiil kita menekankan pendidikan karakter, pendi-
dikan kepribadian, yang memperoleh keterbentukan (Bildung) sosial
– filosofis – ethis – religieus, tanpa mengabaikan keterbentukan
intelektuil theoritis. Di bidang kedua ini kita menggiatkan dengan
menggunakan studi terpimpin untuk merangsan auto-aktivitas dari-
pada para mahasiswa, membangkitkan berfikir yang kritis dengan
memberikan kriteria, yang diperlukan. Dengan studi terpimpin itu
kita menghendakkan keswastaan yang bertanggung-jawab.
Dalam fakultas dan jurusan, terutama di tingkat Sarjana,
dilakukan penelitian (research) walaupun masih sederhana, per-
tama-tama penelitian yang bertalian dengan penulisan thesis sarjana.
Masa Datang
Apabila diperkenankan meninjau kedepan, maka kami dengan
Satya Wacana akan mendidik kepribadian mahasiswa secara
religieus-ethis-filosofis-sosial dengan memperdalam dan memperluas
mutu ilmu yang penuh tanggungjawab sanggup mengabdi kepada
gereja dan masyarakat.
1. Pendidikan Tingkat Sarjana yang akan menyumbangkan
tenaga akademis kepada masyarakat akan minta perhatian
kita yang khusus.
2. Pembangunan laboratorium untuk fakultas-fakultas exakta,
wajib kita laksanakan, betapapun juga sulit dan mahalnya.
3. Penelitian dan lembaga penelitian, yang tiada hanya
membawa guna theoretis, melainkan juga praktis harus kita
selenggarakan.
70
4. Perpustakaan harus dibangun, dan harus kita usahakan
supaya perpustakaan dipergunakan oleh mahasiswa.
5. Majalah ilmiah, yang bermutu ilmiah dan berasakan iman
Kristen, wajib kita terbitkan, sebagai tempat hasil penelitian
kita dan sebagai sumbangan kepada dunia ilmiah Indonesia
dan masyarakat Indonesia.
Ini semua memerlukan pergedungan dan biaya yang kami
mintakan perhatian dari Dewan Pengurus, Dewan Kurator, Panitia
Keuangan.
Penutup
Ilmu dan universitas adalah usaha sosial yang memerlukan
kooperasi nasional, ekumenis dan internasional.
Sebab itu perkenankanlah kamimengakhiri laporan ini dengan
mohon terima kasih ke dalam:
Kepada para kawan pengajar yang dengan setia menunaikan
tugasnya.
kepada Dewan Mahasiswa, Pengurus GMKI, GMNI dan
semua mahasiswa yang memberikan bantuan yang
kompak dan beraneka warna pekerjaan kita.
kepada tata-usaha, yang senantiasa dengan giat mengikuti
gerakan cepat perkembangan universitas kita.
kepada Dewan Pengurus dan Dewan Kurator, Panitia
Keuangan, yang selalu dalam kerjasama yang erat,
mengusahakan perluasan Universitas Kristen Satya
Wacana.
kepada Gereja-Dunia, yang membantu kita dengan perto-
longan tenaga dan biaya,
kepada PT negeri/swasta yang bekerja sama dengan kami atas
kooperasi dan saling pengertian,
kepada masyarakat Salatiga, penguasa sipil/militer setempat,
panca tunggal Salatiga: Bp. Komres, Bp. Walikota/
Kepala daerah, Bp. Kodim, Bp. Kepala Polisi, Bp.
Kepala Kejaksaan dan Jawatan-jawatandi Salatiga,
kepada penguasa sipil/militer di Jawa Tengah, kepada
71
Dep. PTIP, PDK, Agama, Luar negeri yang membe-
rikan bantuan.
Terima kasih.
Catatan:
Tahun pelajaran 1962-1963 ditandai dengan perubahan yang
lebih berarti dalam Perguruan Tinggi Satya Wacana, terutama dalam
struktur akademisnya.
Perubahan struktur akademis dimaksud nampak dari dibuka-
nya beberapa fakultas seperti: fakultas Ilmu Hayat, fakultas Ilmu
Pasti/Alam dan menambah jurusan Pendidikan Guru Agama untuk
FKIP.
Dengan demikian UKSW mempunyai 5 fakultas yakni: Eko-
nomi, Hukum, Ilmu Hayat, Ilmu pasti dan alam serta FKIP dengan
enam buah jurusan. Perubahan ini diiringi pula dengan pertambahan
tenaga-tenaga pengajar, di antaranya Dr. FL. Cooley yang dipercaya-
kan menjabat Ketua Panitia matakuliah dasar dibantu oleh 3 orang
Sarjana Muda, 8 orang tenaga Sarjana dan seorang asisten untuk
fakultas/jurusan hukum, 5 orang Sarjana dan 5 orang Sarjana Muda,
pada fakultas exakta, seorang Sarjana dan 2 orang asisten untuk
jurusan Sejarah Budaya, 3 orang Sarjana dan 4 orang Sarjana Muda
untuk Fakultas Ekonomi.
Dengan bertambahnya 23 tenaga pengajar maka jumlah
pengajar bertambah dari 53 orang (1961) menjadi 83 orang yang
memberi kuliah kepada sejumlah 616 mahasiswa dari jumlah 514
pada tahun lalu. Kemajuan akademis terlihat dari diselenggarakan-
nya ujian sarjana pendidikan swasta untuk 5 orang, 92 Sarjana Muda
swasta, 81 di antaranya mengikuti ujian negara dan yang berhasil
sebanyak 70 orang. Diusahakan pula ujian Sarjana Muda fakultas
Hukum, Ekonomi di Universitas Diponegoro dan mengirimkan
beberapa tamatan Sarjana Muda UKSW untuk belajar di universitas
lain, di samping adanya 9 tenaga pengajar (Sarjana) yang mening-
galkan Satya Wacana.
2 buah ruang kuliah dapat selesai dibangun, satu student
centre, 6 rumah dosen, satu asrama mahasiswa putra, dua asrama
mahasiswa putri, dan memulai langkah-langkah persiapan untuk
72
membangun ruang kuliah, kantor tata usaha, ruang pengajar yang
oleh Prof. Mohammad Yamin diletakkan pertama pada 30 Agustus
1962.
Hal lain adalah pertambahan 4 Gereja pendukung yakni
Gereja Kristen Isa Almasih, Gereja Masehi Injili Minahasa, Gereja
Maluku dan Gereja Bali. Patut disebutkan pula adanya kunjungan
Prof. Mr. Poerbopranoto ketua FKIP Universitas Airlangga Malang,
Konsul Jenderal New Zealand untuk menyerahkan buku-buku
perpustakaan.
D. Roemainum, Ds. Prawar dari Dewan Gereja irian Barat.
Prof. Dr. Verkuyl memberi ceramah mengenai: Alkitab, Iman dan
Akal, Mr. Kuntoro Shiozuki dari World Federation Student
Movement, Jenewa, Wakil Gereja Australia dan D. N. Aidit yang
memberi kuliah Etika Komunis.
73
9. KEKRISTENAN YANG REVOLUSIONER
Khotbah pembukaan Kuliah, Senin 7 januari 1963.
74
dikaruniakan kepadanya suatu mahkota, dan keluarlah ia dengan
tanda kemenangan dan supaya ia menang lagi. Kuda putih dengan
pengendara yang berpanah itu adalah lambang daripada Evangelium
Christi, warta kesukaan Kristus. Evangelium itu menang, dan sedang
menang dan akhirnya menang.
Hanya saja untuk membuka jalan baginya di dunia di dalam
sejarah umat manusia, untuk membuka jalan ke dalam hati manusia,
maka Tuhan Allah melalui tangan Kristus, mengeluarkan: Kuda lain,
kuda yang merah menyala. Pengendaranya dikaruniai kuasa untuk
mengambil perdamaian dari bumi, sehingga orang berbunuh-bunuh-
an, dan sebilah pedang yang besar dikaruniakan kepadanya. Kuda
merah menyala beserta pengendaranya yang berpedang yang besar
adalah simbol daripada perang, revolusi perang dan akibat-akibatnya
yang dahsyat.
Kemudian dikeluarkan oleh Tuhan Allah dengan perantaraan
Kristus:
Kuda hitam, lalu terdengarlah suara: secupak gandum sedinar
harganya dan jelai tiga cupak sedinar harganya, artinya:
bahan makanan menjadi amat mahal harganya.
Secupak adalah takaran makanan orang sehari (1 liter), dan
sedinar adalah upah buruh sehari, sehingga seorang buruh
hanya bisa membeli makanan untuk diri sendiri dengan upah
yang diterimanya sehari. Ia dengan kerjanya tidak dapat
memperoleh makanan bagi keluarganya. Kuda hitam adalah
lambang kelaparan.
75
kelaparan dan maut serta kebinasaan. Tetapi tidak hanya dalam
Wahyu nampak bahwa Allah bukan hanya Allah daripada kosmos
melainkan juga daripada pergolakan. Kita melihat dalam pemba-
ngunan menara di Babel, bahwa Tuhan Allah mempergolakkan
bahasa dan persekutuan manusia, dalam kitab-kitab Zakaria, dimana
kedatangan revolusi dilambangkan sengan empat tanduk dan empat
pandai besi, dalam Detero Yesaya dimana Cyrus, raja Persia dititah-
kan untuk mempergolakkan kerajaan Babilonia. Allah itu Pengarang
revolusi di dunia.
76
Apakah Revolusioner?
Sikaprevolusioner berarti menghakimi (judge) situasi yang
berada atas nama kebenaran, yang belum berada (atau yang menda-
tang), sedangkan kita menganggap kebenaran yang menentang itu
lebih hakiki dan lebih nyata daripada kenyataan yang mengelilingi
kita sekarang.
Tindakan dan perbuatan yang revolusioner adalah tindakan
dan perbuatan yang dilakukan dalam kesadaran Parous dalam keha-
diran Kristus, dalam kedatangan kembalinya Kristus. Ditinjau dari
arti revolusi ini, maka semua revolusi duniawi, revolusi komunnis
atau revolusi apapun bukan revolusi, melainkan reformisme, oleh
karena revolusi dunia ini yang berdasarkan manusia yang lama.
Revolusi Kristen adalah revolusi yang radikal (radix= akar), revolusi
sampai ke akar, yaitu revolusi yang bersumberkan pembaharuan
daripada manusia lama menjadi manusia baru karena karya Tuhan
Yesus Kristus, kewarganegaraan kerajaan kegelapan menjadi ke-
warganegaraan baru daripada Kerajaan Allah, yang mengubah ke-
taatan kepada hukum yang lama yaitu hukum kebencian menjadi
ketaaatan kepada hukum kasih.
Kekristenan yang revolusioner ini bukan karena usaha
manusia, bukan anthropocentris, melainkan karunia daripada Allah
yang Tritunggal dan Theocentris adanya. Kekristenan yang revolu-
sioner ini harus merombak manusia dan alam lama dengan pelayan-
an dan kegiatan kasih.
Dengan wujud baru dan dengan hukum baru itu kita orang
Kristen terpanggil untuk mentransformasikan, untuk membaharui
masyarakat dan dunia. Kita dipanggil untuk memimpin semua
revolusi di dunia ini, yang dipandang orang Kristen hanya
reformisme saja. Kita orang Kristen kerap kali bersikap takut-takut
dan minggir-minggir karena kita tertegun memandang Sang Bayi di
Betlehem saja. Kita lupa bahwa Kristus kecuali berbaring di kandang
Betlehem, sudah disalib, sudah mati, sudah bangkit kembali dan
sudah naik di surga. Ia sekarang adalah Raja segala raja, Tuhan dari-
pada segala yang dipertuan, yang memegang tampuk pimpinan
sejarah dunia.
77
Marilah dalam masa revolusi ini ktia menginsyafi kekristenan
yang revolusioner dan berbuat serta bertindak dengan program kerja
di bidang: kegerejaan, politik, sosial, ekonomi, kebudaan (ilmu,
kesenian, pendidikan), yang jelas untuk mentransformasikan bangsa
dan masyarakat sambil meresapkan Wahyu 21: 5: “Maka Allah yang
duduk di atas arasy itu pun berfirman:
78
10. PANGGILAN KRISTEN
YANG TRITUNGGAL DALAM MASA
REVOLUSIONER
Khotbah Dies Natalis XII GMKI Cabang Salatiga 17 Februari 1963.
79
“Apakah yang harus kami perbuat. Apakah panggilan kami di
tempat kami ini dan pada masa kini?”
Tidak banyak nats dalam Alkitab yang dengan padat, singkat
dan lengkapnya menggambarkan panggilan orang Kristen.
“Supaya mereka itu bersama-sama dengan Dia, dan supaya
mereka itu disuruhnya pergi mengajar orang dan lagi akan
beroleh kuasa membuangkan setan”
Marilah pada pagi ini, dalam rangka peringatan Dies Natalis
GMKI XIII dan pada kebaktian Doa Sedunia, kita bicara tentang:
Panggilan Kristen yang tritunggal dalam masa revolusioner,
dengan perincian:
1. Supaya kita bersama-sama dengan Kristus
2. Pergi
3. Berbuat
80
“Barang seorang yang hidup didalam Kristus, ialah kejadian yang
baru; maka segala apa yang lama itu sudah lenyap, sedangkan
yang baru itu sudah terbit”
Bersama-sama dengan Kristus adalah perkenan daripada Allah
kepada kita manusia yang berdoa untuk turut mengambil bagian
dalam hidup baru, atas dasar karya Kristus yang melakukan
“Stellvertretende Gerechtigkeit” (keadilan yang menggantikan).
Ia yang tiada berdosa, dihisabkan sebagai berdosa untuk ke-
bahagiaan kita semua.
Hidup baru itu bukan hanya menyinggung segi tata lahir,
melainkan justru mendalam dan mengakar kepada tata-batin,
sampai kehati. Kita manusia yang berdosa dijadikan makhluk
yang baru sampai kehati kita, yang menentukan sikap dan
mewujudkan sumber fikiran dan perbuatan kita. Kristus adalah
Adam yang baru yang memulai perihal baru dalam sejarah dan
mengalaskan Kerajaan Baru, yakni Kerajaan Surga yang men-
cerahi dunia kita. Bersama-sama dengan Kristus berarti bahwa
kita dihisabkan dalam hidup Kerajaan Surga.
Supaya kita orang Kristen tetap hidup Kristen, kita harus
senantiasa hidup dalam Terang Pemerintahan Tuhan.
81
Tiap orang Kristen terpanggil untuk mendemonstrasikan hidup
baru, yang dipertanyakan oleh Kristus dalam hidupnya. Kita
terpanggil akan imitation Christy, untuk meneladan hidup
Kristus sesuai dengan norma dan Hukum Kerajaaan Allah.
Lain daripada itu, apabila kita hidup dalam Kristus maka
menurut 1 Yahya 1:7: “Jikalau kita berjalan di dalam terang se-
bagaimana Ia (Kristus) juga ada di dalam terang, maka berse-
kutulah kita seorang dengan seorang”
Apabila kita hidup dalam kristus kita merupakan persekutuan
(koinonia) yang kuat teguh yang tidak dapat dipecah-pecahkan
oleh roh gelap.
Hidup baru dan persekutuan antara orang Kristen merupakan
tanda-tanda daripada keberadaannya bersama-sama dengan
Kristus.
82
Tugas kita adalah pergi. Istilah pergi itu meliputi dua hal:
a. Berangkat dan meninggalkan alam yang lama
b. Memasuki lingkungan dan dunia baru.
Kita Pergi
Pada masa sekarang ini ketentuan-ketentuan hidup kita,
perlindungan-perlindungan yang mengamankan hidup kita seakan-
akan diambil oleh Allah dan kita dicampakkan dalam kenyataan
panggilan kita: Kita harus pergi, jangan mengikat pada satu tempat
atau satu siasat, kita harus menempuh avontuur Abraham di muka
bumi ini.
Pergi berarti berangkat, tetapi berarti juga memasuki dunia
dan lingkungan baru. Dunia dan lingkungan baru yang kita masuki
ialah dunia yang sekuler, dunia yang tidak mengenal Kristus, dunia
yang melawan Kristus.
Untuk dapat pergi mengajar orang dalam dunia sekarang itu
kita harus mengenalNya. Kita harus mengetahui bahwa dunia yang
mengingkari Kristus/Allah itu mengganti Kristus/Allah dengan
berhala-berhala ciptaannya sendiri. Manusia adalah manusia yang
83
religious. Dalam hatinya ditanamkan oleh Tuhan: semen religionis,
bibit keagamaan, sehingga apabila ia tiada berbakti kepada Allah,
lalu menyembah berhala. Dunia sekuler itu kecuali menyembah
berhala dikuasai oleh ideologi-ideologi yang pada hakikatnya dan
dalam intinya merupakan self-deification (pendewaan dari diri
pribadi) daripada manusia. Kita harus mempelajari, meneliti dan
mengenal dunia sekuler beserta ideologi-ideologinya, supaya kita
dapat mengajarnya tentang Kristus, sehingga ajaran kita memperoleh
tanggapan
Lain daripada itu kita wajib mempergunakan alat komunikasi,
harus memakai bahasa yang difahami oleh dunia. Pada masa ini,
bahasa revolusi yang difahami orang Indonesia. Kita orang Kristen
harus memakai bahasa revolusi untuk dapat dimengerti.
Sebenarnya tidak ada orang yang serevolusioner seperti kita
orang Kristen. Kita ingin merevolusikan/mentransformasikan
seluruh dunia/umat manusia atas dasar hidup baru dalam Kristus.
Semua revolusi yang dikehendakkan oleh ideologi-ideologi duniawi
hanyalah revormisme, revolusi tambalan, karena didasarkan pada
manusia lama yang berdosa.
Pergilah memasuki dunia sekuler dan pergunakan bahasa
pengantarnya dalam mengajar mereka tentang Kristus, Tuhan kita.
84
Kita orang Kristen tidak mengetahui bahwa semboyan itu adalah
nats dari Alkitab, yang terdapat dalam II Tesalonika 3:10.
Semboyan lain:
“Dari masing-masing sesuai dengan kecakapannya kepada
masing-masing sesuai dengan kebutuhannya”.
Ini pun dikenal orang Rusia, tetapi tidak oleh kita. Ungkapan
ini berasal dari Calvin, yang hidup tiga abad sebelum Marx. Calvin
menyusun rumusan itu atas dasar II korintus 2.
Kelebihan kita orang Kristen adalah bicara, bicara terlalu
banyak. Kekurangan kita adalah aksi, perbuatan.
Kita harus mengidentifikasikan diri, menyaturagakan diri
dengan penderitaan dalam masyarakat kita. Kita harus menyusun
proyek kerja, program aksi.
Kita dipanggil untuk berbuat, untuk melayani, untuk mela-
wan dan membuang setan dan roh gelap, yang mempergunakan
kegiatan kerja untuk menentang Terang Kerajaan Surga.
Kita mengira bahwa sudah memadailah, jikalau kita bersama-
sama dengan Kristus dan pergi mengajar orang. Belum cukup!
Kita harus membuang setan, kita harus mentransformasikan
dunia. Kita harus membaharui bidang kegerejaan, bidang politik,
bidang sosial, bidang ekonomi, bidang kebudayaan (ilmu, kesenian,
pendidikan). Bagi orang Kristen bidang-bidang itu tidak terpisahkan
daripada koionia (sekutuan dengan Kristus) dan kerugma (prokla-
masi Kerajaan Surga).
Pemisahan pelayanan (diakonia) dalam bidang-bidang terse-
but dari koionia dan kerugma, bertentangan dengan panggilan tri-
tunggal daripada orang Kristen.
Sebab itu di lapangan diakonia yang beraneka warna itu
diharapkan daripada kita untuk melakukannya dalam horison
Kerajaan Surga dan mendasarkannya atas:
agape (kasih yang mengorbankan diri):
a – lethia - kebenaran (truth), (sebenarnya: tidak tertutup,
pembukaan rahasia)
85
dikajosune - keadilan (tapi bukan dengan cashnex melainkan
dijiwai oleh “personal touch”)
86
11. RELASI ILMU PENGETAHUAN DAN
KEPERCAYAAN
Diucapkan pada Perayaan Pengakuan persamaan Universitas Kristen Satya
Wacana Salatiga, 24 April 1963.
87
huan Republik Indonesia No.22 Tahun 1963 tertanggal 20
Maret 1963.
88
Terima kasih kepada para mahasiswa angkatan 59, 60, 61, 62
yang dengan taat menunjukkan prestasi yang tinggi dalam ujian
negara di Bandung.
Terima kasih kepada staf tata usaha yang tanpa memper-
hitungkan waktu menyertai kami dalam mengejar pengakuan/per-
samaan.
Terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebut di
sini atas semua bantuan dan simpati.
89
Satya Wacana dalam nama Universitas kita. Universitas pada
umumnya menunjukkan tiga aspek, yang masing-masing mewujud-
kan vocatio/panggilannya.
1. Universitas pertama-tama adalah uni-versitas scientiarum.
- Suatu persekutuan ilmiah, yang mengajarkan ilmu dan
melakukan ilmu dan melakukan penelitian ilmiah.
2. Universitas adalah universitas magis-trorum et scholarium.
- Persekutuan dosen dan studen, pergaulan mendidik
antara guru dan murid.
3. Universitas adalah persekutuan pembinaan untuk profesi-
profesi yang bertaraf akademis.
a. Ilmu Pengetahuan
Yang kita maksud: wetenschap, wissenschaft, sciences and the
humanities.
Pengetahuan mula-mula berarti apa yang kita ketahui dalam
perkembangan kebudayaan Yunani terbitlah differentiatie di bidang
pengetahuan: pengetahuan yang teoretis yang disebut ephisteme dan
pengetahuan yang praktis. Sehingga dapat dikatakan bahwa timbul-
lah perswastaan/daripada ilmu terhadap praxis. Kecuali perswastaan
(berdiri sendiri) terhadap praktek, ilmu pengetahuan itu mendapat
sifat khusus karena: metode yang khusus dan jenis pengetahuan
yang khusus.
Dalam menganalisa kenyataan maka subyek mengarahkan diri
pada yang umum supaya memperoleh pengetahuan yang berlaku
secara umum. Subyek berusaha bersikap untuk tidak memperhitung-
kan diri sendiri agar memperoleh pengetahuan yang seobyektif-
obyektifnya. Selanjutnya dalam usaha memperoleh pengetahuan
90
yang umum, maka subyek mengarahkan diri kepada yang umum
daripada suatu aspek kenyataan yang tertentu, sehingga tumbuhlah
ilmu-ilmu vak: pasti, alam, biologi, ekonomi, sosiologi, hukum dan
sebagainya.
Dengan perkataan lain, penguasaan ilmu pengetahuan disertai
tiga jenis abstraksi:
1. Absrtaksi daripada pengetahuan praktis
2. Abstraksi daripada subyek sejauh-jauhnya
3. Abstraksi fungsionil, yaitu memisahkan aspek kenyataan
yang tertentu daripada yang lain.
91
Pandangan Merleau-Ponty ini menunjuk kepada fenomeno-
logi daripada Edmond Husserl. Husserl mengemukakan bahwa tiap-
tiap fenomena itu menunjuk keluar diri sendiri. Penginderaan
daripada sesuatu barang hanya mengenai suatu aspek (Abschattung)
daripada barang yang bersangkutan. Misalnya dari kubus kita lihat
bidang atas, depan dan sisi. Tapi kita lihat bidang atas sungguh-
sungguh sebagai bidang atas. Ini berarti bahwa kita mengandaikan
keberadaannya bidang bawah. Dalam tiap aspek terletaklah tran-
sendensi daripada aspek itu. Dengan melihat aspek sesuatu barang,
sudah diintensikan/dimasksudkan/diartikan totalitas dari pada
barang itu.
Penunjukan transenden itu lebih daripada itu. Barang yang
konkrit itu sendiri menunjuk kepada yang umum. Penginderaan
yang individuil itu sudah mencakup lebih dari pada yang individuil
itu. Penginderaan kubus memberi pengertian bahwa itu adalah satu
eksemplar daripada kubus pada umumnya.
Bahkan fenomena menunjuk lebih luas lagi. Husserl bicara
tentang horiso luar. Kita melihat sesuatu gejala dalam keseluruhan.
Saya melihat segi depan daripada rumah, tapi saya antisipasikan juga
segi belakang daripada rumah itu. Rumah itu saya lihat bukan
berdiri dalam kekosongan, melainkan pada jalan kota yang tertentu.
Demikian juga halnya dengan horison waktu. Rumah kita inderakan
dalam waktu sejarah yang tertentu.
Lain daripada itu fenomena itu beradanya baik untuk saya
maupun untuk orang lain, sehingga ada inter subyektifitas, pada tiap
barang, yang diinderakan sebagai sesuatu yang obyektif. Obyek-
tivitas dan inter subyektivitas itu correlaat.
Subyek dan obyek daripada pengetahuan itu terletak dalam
horison arti. Tidak ada obyek tanpa subyek, tidak ada obyektifitas
tanpa inter subyektifitas, tidak ada kebenaran tanpa horison.
Pengetahuan dan ilmu pengetahuan itu tidak berdiri sendiri.
Senantiasa tercakup dalam zin horison daripada kebudayaan dan
pandangan dunia dan hidup. Sedangkan pandangan hidup/dunia ini
terletak dalam horison kepercayaan-sikap terakhir terhadap Allah.
Tidak hanya kaum filsuf, melainkan juga kaum sosiolog
menunjukkan ketergantungan pengetahuan dan ilmu dengan kebu-
dayaan, lingkungan sosialnya. Terutama Kaarl Manhein yang merin-
92
tis jalan bagi Wissensosiologie ini, dimana ia ingin menunjukkan
sampai dimana pemikiran ilmiah dan ilmu itu dipengaruhi ke-
nyataan sosial/kebudayaan.
Pengetahuan tentang suatu gejala/fenomena tergantung dari-
pada horison kebudayaan dan pandangan dunia/hidup/keper-cayaan.
Untuk memberikan contoh: matahari yang terbit itu bagi seorang
yang percaya kepada Bathara Surya, mempunyai arti lain daripada
yang mempunyai pengetahuan ilmu alam. Di belakang pencatatan-
pencatatan gejala terletaklah perbedaan horison, yang berwujud
kepercayaan akan materialisme, spritualisme, idealisme, vitalisme,
pantheisme atau kepercayaan Kristen.
Menurut faham ini ilmu pengetahuan bukan autonom. Hal ini
disebabkan karena akal budi itu bukan autonom. Bukan akal in
abstracto yang mengusahakan ilmu pengetahuan, melainkan manu-
sia sebagai keseluruhan. Dan manusia sebagai keseluruhan di
kemudikan oleh hatinya/akunya. Bahwa hati manusia itu pusatnya
sudah disebut dalam Amsal. Sulaiman 4 : 23: “Peliharakan hatimu
terlebih daripada segala sesuatu, karena dari dalamnya terpancarlah
segala hidup”.
Augustinus menyatakan: ”Non intratur inveritam nisi per
charitatem” (kita tidak akan memperoleh kebenaran kecuali melalui
kasih). Kasih ini pengetahuan daripada hati, yang mendahului
pengetahuan akali.
Pascal membedakan antara esprit de geometrie (pemikiran
matematis-logis) dan esprit de finesse (pemikiran dengan hati).
Dalam hati manusia itu ditentukan sikapnya yang terakhir terhadap
dunia dan hidup, terhadap Tuhan dan ilah. Hati itu sumber
kepercayaannya. Pense: Le coeur a ses raison que la raison ne
cannait point (hati mempunyai alasan, yang tiada dikenal oleh akal).
Pengetahuan hati itu mengenai kebenaran terdalam/terakhir menge-
nai Allah, kosmos, hidup, yang tiada dapat dirumuskan dengan akal.
Akal manusia itu di kemudikan oleh hatinya, juga dalam usaha ilmu
pengetahuan. Dapat kita simpulkan ilmu pengetahuan adalah orien-
tasi manusia dalam kosmos dan horison pandangan dunia dan hidup
serta kepercayaan.
93
c. Relasi Ilmu Pengetahuan dan Kepercayaan Kristen
Dalam perjalanan Sejarah, kita jumpai berjenis relasi antara
ilmu pengetahuan dan kepercayaan Kristen.
1. Ilmu pengetahuan mengalahkan kepercayaan
Misalnya dalam Rationalisme, yang mengajarkan bahwa pence-
rahan budi meniadakan kepercayaan religieus. Demikian pula:
Positivisme daripada Comte sesudah stadium theologis dan
metaphysis datanglah stadium positif, yang hanya memperhi-
tungkan fakta-fakta positif. Juga: dialektis-materialisme. Aliran-
aliran ini sendiri berpangkal pada kepercayaan: kesempurnaan
akal, dan keselamatan oleh ilmu pengetahuan, kepercayaan
bahwa Allah bukan asal daripada hidup/kebenaran.
2. Kebenaran yang rangkap
Misalnya kaum Averrose (abad XIII) mengajarkan bahwa apa
yang dipertanyakan oleh Alkitab itu benar, apa yang diajarkan
oleh ilmu pengetahuan juga benar. Dianut oleh cendekiawan
apabila hasil ilmu pengetahuannya selaras dengan kepercayaan.
Mereka terancam disitegrasi batin, yang membahayakan.
3. Kepercayaan mengalahkan ilmu pengetahuan
Kepercayaan dianggap tidak memerlukan ilmu-pengetahuan. Ini
faham daripada Fideisme. Apakah Athena (symbol daripada
pemikiran manusia) kena-mengena dengan Jerusalem (symbol
dari-pada revelasi).
4. Pemisahan kepercayaan dan ilmu
Misalnya Thomas Aquinas, yang membedakan antara kebe-
naran alami, yang dapat diperoleh dengan pemikiran akal-
kodrati, dan kebenaran supranatural yang hanya dapat diperoleh
dengan kepercayaan (Trinitas, Penyelamatan oleh Kristus). Tapi
pemisahan ini bukan mutlak. Karena pada Thomas Aquinas:
alam, walaupun tersendiri, rentan berbakat kepada (aangelegd
op), yang atas-alami.
5. Dua jenis ilmu-pengetahuan
Kepercayaan di sini dihubungkan dengan kepercayaan ilmu
pengetahuan. Kepercayaan Kristen akan menyebabkan usaha
94
ilmiah yang bersifat Kristen. Kepercayaan lain akan mengha-
silkan ilmu pengetahuan lain.
6. Kepercayaan horison bagi ilmu pengetahuan
Kepercayaan dan ilmu pengetahuan tidak boleh saling menia-
dakan. Tidak tertahan juga pemisahan kepercayaan dan ilmu
pengetahuan sehingga menimbulkan keretakan batin, disinter-
grasi batin. Harus diakui bahwa ada ketegangan antara keper-
cayaan dan ilmu pengetahuan. Penyesuaian kepercayaan dan
ilmu pengetahuan bukanlah suatu Gabe, melainkan suatu
Aufgabe, yang tidak akan memperoleh penyelesaian dalam
dunia ini. Relasi antara kedua adalah relasi yang dinamis, orang
yang percaya berdiri didunia ini dengan horison yang lain,
dengan horison pandangan dunia, hidup dan kepercayaan yang
lain. Tapi ia bertanggungjawab atas dunia dan sesama manusia,
juga dalam pemeliharaan ilmu pengetahuan. Pandangan-dunia/
hidup beserta kepercayaan adalah horison dalam usaha ilmiah-
nya, yang memberikan arah dan arti (Sinn) daripada pekerjaan-
nya. Orang Kristen terpanggil mengintegrasikan ilmu pengeta-
huannya dalam horison kepercayaan kepada Logos daripada
Trinitas. Logoslah yang menjadi dasar dunia dan hidup dan
dasar terakhir ilmu pengetahuannya.
95
2. Karena kepercayaannya kepada Allah yang souverein, ia dapat
melakukan de-sakralisasi dan de-idolisasi daripada alam dan
ilmunya.
3. Baginya ilmu bukanlah netral, semata-mata zakelijk obyektif,
positivistis, ia melihat zin, arti, werdinya dalam horison keper-
cayaannya.
4. Juga ia tidak perlu takut-takut bahwa hasil ilmunya berten-
tangan dengan kepercayaan. Integrasi ilmu dalam pandangan
hidup/dunia hanya mungkin dalam menunjuk kepada Sang
Logos (Sang Sabda), ialah Radix (Akar) daripada pengetahuan
dan dunia.
96
12. UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SEBAGAI PUSAT PERSIAPAN BAGI
SUATU MASYARAKAT BARU
Diucapkan pada Dies Natalis ke VII, Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga, 30 November 1963.
97
Kami ingin mengucapkan terima kasih kami yang setulus-
tulusnya kepada semua tamu kami.
Perkenankan kami sekarang memulai laporan kami kepada
Dewan Pengurus dengan pandangan sepintas tentang.
98
dunia dan masyarakat berdasarkan damai, kebenaran, kasih dan
keadilan.
Sebagai “universitas scientiarum”, kami harus mencari kebe-
naran, yang mentransenden batas-batas kelas, masyarakat dan
negara. Magistra dan scholaria dituntut tidak hanya menghafalkan
atau mereproduksi, tetapi untuk meningkatkan pengetahuan mereka
secara metodis demi mencapai cara berfikir kreatif dan kritis yang
dapat menilai tiap keadaan dan memecahkan persoalan-persoalan
dalam masyarakat.
Di samping apa yang tersebut di atas itu, Universitas Kristen
Satya Wacana dipanggil untuk membentuk hati nurani para pengajar
dan mahasiswa, mempertajamnya dengan norma-norma damai,
kebenaran, kasih dan keadilan. Tujuan kami dapat dirumuskan
sebagai mendidik, melatih dan membentuk ahli-ahli yang kreatif,
berhati murni dan bertanggungjawab. Untuk mencapai tujuan ini
maka mutlak bahwa staf dosen dan para mahasiswa mengetahui
kosmos, kemanusiaan, masyarakat, dan negara.
Dalam masyarakat Indonesia yang revolusioner staf dosen dan
para mahasiswa harus melihat kemanusiaan dan masyarakat dalam
kedua segiannya. Konsepsi yang berpendapat bahwa kemanusiaan
hanya individu mengandung kekurangan dan kesalahan daripada
individualisme dan liberalisme. Konsepsi yang berpendapat bahwa
masyarakat merupakan nilai satu-satunya adalah kesalahan daripada
universalisme. Kami menghargai anthropos dan societas dalam
keduasegiannya.
Dengan mendidik, melatih, dan membentuk staf dosen dan
para mahasiswa baik teori maupun praktek agar menjadi ahli yang
kreatif, berhati nurani dan bertanggungjawab, yang mengenal kema-
nusiaan dan masyarakat, kami Universitas Kristen Satya Wacana,
ingin menjadi salah satu pusat dimana kemanusiaan dan masyarakat
sekarang dinilai dan masyarakat masa depan direnungkan, direnca-
nakan, dan dipersiapkan.
Dengan pengorbanan dan kerja keras, yang adalah wajar bagi
setiap karya besar, Satya Wacana ingin menyiapkan suatu masyara-
kat baru yang lebih adil, lebih sejahtera, dengan membentuk
kepemimpinan yang kreatif, berhatinurani, bertanggungjawab, yang
99
akan mempertahankan kebenaran dan keadilan, dan mengantarkan
damai, dan melaksanakan kasih dalam cakrawala Kerajaan Allah.
100
101