Anda di halaman 1dari 117

KREATIVITAS

YANG BERTANGGUNGJAWAB

Dr. O. Notohamidjojo, S.H.

i
Undang-Undang Republik Indonesia No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta

Pasal 2:

1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaanya, yang timbul secara otomatis setelah
suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana

Pasal 72:

1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp.1.000.000,00 (Satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (Lima milyar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memerkan, mengedarkan, atau menjual


kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak
Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta
rupiah).

ii
KREATIVITAS
YANG BERTANGGUNGJAWAB

Dr. O. Notohamidjojo, S.H.

Penerbit:
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga

iii
Kreativitas yang Bertanggungjawab
Dr. O. Notohamidjojo, S.H.

Cetakan, November 2011

Penata Letak:
Trifosa Widoningsih

Ilustrasi Sampul:
Michael Bezaleel Wenas
Derry A. Raditya

Desain Sampul:
Bayu Karina

Kreativitas yang Bertanggungjawab Dr. O. Notohamidjojo, S.H.


Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana
xvi + 709 hal.; 15 cm x 23 cm
ISBN: 978 - 979 – 729 – 058 - 0

iv
Sambutan Rektor

Memasuki Lustrum XI tahun 2011 ini, bahtera Universitas


Kristen Satya Wacana (UKSW) dengan anugerah dan pertolongan
Tuhan Yang Maha Pengasih berhasil mengembangkan layarnya
terus mengarungi samudra yang bergolak dengan tiupan angin
perubahan menyapa masa depannya yang gemilang. Badai dan topan
silih berganti menerpa bahtera dalam pelayaran itu. Walaupun
demikian, UKSW tetap tegak berlayar terus. Pada waktunyalah,
Gereja-Gereja Pendukung dan seluruh sivitas akademika UKSW
beserta para alumninya perlu menundukkan kepala di hadapan
Tuhan Yang Maha Kuasa bersama menghaturkan puji dan syukur
atas anugerahNya itu.
Tuhan, Kepala Gereja, itu telah berkarya dengan ajaibnya
memimpin dan menghantar UKSW tiba di usia yang ke 55 melalui
berbagai kepala, tangan dan kaki, dari yang tertinggi sampai dengan
terendah, yang mulia sampai yang hina. Semua pihak dilibatkannya,
dosen, pegawai bukan dosen dan mahasiswa. Semua turut mengam-
bil bagian di dalam Karya yang mulia ini melalui tenaga dan pikiran-
nya masing-masing. Kepada orang-orang yang Tuhan pakai itulah
pula, ucapan terima kasih patutlah dihaturkan.
Dr. O. Notohamidjojo, Rektor Magnifikus UKSW tahun 1956-
1973, adalah salah satu di antara sekian banyak orang yang Tuhan
pakai itu. Seluruh hidup dan karyanya telah dibaktikan bagi
pelayaran bahtera UKSW itu. Keberadaan 50 tahun pertama UKSW
dengan pertolongan Tuhan adalah hasil dan kerja keras beliau. Itu
terbukti dari datangnya terpaan-terpaan besar terhadap bahtera itu
di sekitar tahun 1965 dan 1993-1995. Bahtera itu tegak tegar.
Walaupun kepemimpinan beliau “hanya” berlangsung 17 tahun,
tidak mencapai 50 tahun, akan tetapi garis-garis haluan yang beliau
tarik pada awal pelayaran dalam rencana pelayaran bahtera itu
kokoh menatap jauh ke seberang lautan luas. Dari sudut pandang
inilah Pak Noto perlu dipahami.

v
Buku ini adalah dokumen garis-garis haluan yang telah ditoreh
Pak Noto. Tujuh belas tahun beliau butuhkan bukan saja untuk
menorehkan garis-garis haluan itu, akan tetapi juga menjadi
jurumudi bahtera tersebut. Mungkin peralatan yang dimiliki bahtera
itu sederhana saja, yaitu program studi sarjana muda, sehingga garis-
garis itu terasa jauh sekali dari kenyataan. Pada usianya yang ke 55
tahun, 50 tahun kedua, sudahlah waktunya bagi UKSW betul-betul
mewujudkan pelayarannya mengikuti garis-garis haluan tersebut
dengan setia, terutama ketika UKSW sudah memiliki program studi
doktor yang dipandu oleh para guru besarnya. Sudah waktunyalah
UKSW yang adalah universitas magistrorum et scholarium betul-
betul menjadi universitas scientiarum.
Tujuh belas tahun bukanlah waktu yang cukup untuk
mewujudkan garis-garis haluan tersebut. Tetapi 17 tahun adalah
waktu yang cukup untuk menorehkan garis-garis haluan itu secara
bertanggungjawab. Oleh karena itulah penerbitan ulang pikiran-
pikiran Pak Noto di usia ke 55 UKSW adalah tindakan yang tepat,
agar generasi penerus UKSW tahu arah dan tujuan bahtera itu.
“Universitas ini Tuhan yang punya,” demikian Pak Noto sering
mengatakannya. Karena itu, kepadaNyalah saja segala kegiatan dan
tindakan sivitas akademika, terutama para guru besarnya, patutlah
dipertanggungjawabkan. Kiranya pekerjaan yang dipercayakan
kepada seluruh sivitas akademika dapat dilakukan dengan penuh
tanggungjawab kepada Pemilik Universitas ini.
Kepada Panitia Lustrum XI UKSW yang telah bekerja keras
untuk menerbitkan ulang buku ini, patutlah diucapkan terima kasih
yang tulus. Tali penghubung antar generasi telah ditarik, sehingga
mudah-mudahan tidak ada generasi UKSW yang tersesat. Kalau itu
terjadi, universitas ini bukan lagi Satya Wacana, Setia Firman.

Salatiga, 17 November 2011


Pimpinan
Universitas Kristen Satya Wacana

Prof. Pdt. John A. Titaley, Th.D.


Rektor

vi
Kata Pengantar

Peluncuran kembali buku Kreativitas Yang Bertanggungjawab


yang merupakan kumpulan tulisan Dr. O. Notohamidjojo, SH, rektor
pertama UKSW adalah salah satu dari serangkaian kegiatan ilmiah
yang diselenggarakan dalam perayaan LUSTRUM UKSW ke XI yang
jatuh pada 30 Nopember tahun 2011.
Peredaran buku Kreativitas Yang Bertanggungjawab di kalanan
sivitas kampus sangatlah terbatas. Hanya beberapa orang saja di
kampus ini yang memilikinya. Padahal buku tersebut memuat
dokumen-dokumen penting pidato dan karangan dari “Pak Noto”
yang mengandung nilai-nilai fundamental kesejarahan UKSW yang
ia tulis dalam rentang perjalanan 17 tahun sebagai Rektor UKSW
(1956 – 1973), dan yang telah menjadi suluh bagi perjalanan UKSW
sampai saat ini.
Buku Kreativitas Yang Bertanggungjawab yang diterbitkan
UKSW pertama kali tahun 1973 dan diterbitkan ulang tahun 1993
dicetak dalam 2 buku terpisah (bagian 1 dan 2). Agar pembaca dapat
menikmati dan memahami dokumen-dokumen penting itu secara
utuh, maka Panitia Peluncuran Ulang Buku Kreativitas yang Ber-
tanggungjawab mengetik kembali kedua buku itu dan menggabung-
kannya menjadi satu buku yang utuh. Yang menjadi acuan dalam
pengetikan kembali buku ini adalah buku Kreativitas yang Ber-
tanggungjawab bagian 1 dan bagian 2, terbitan Universitas Kristen
Satya Wacana tahun 1993.
Untuk menjaga keaslian naskah tulisan pada buku ini, maka
panitia hanya mengetikkan kembali kedua buku tersebut sesuai
dengan naskah versi acuan. Kalaupun ada perubahan, itu hanya
dilakukan untuk kata-kata yang jelas-jelas salah tulis, atau kata yang
hurufnya kurang atau lebih. Sebagai contoh: dalam versi acuan
tertulis ”degnan” diubah menjadi “dengan”, tertulis ”masi” diubah
menjadi ”masih,” tertulis ”leebih” diubah menjadi ”lebih.” Untuk

vii
kata atau istilah dalam bahasa asing (Inggris, Belanda, Jerman,
Perancis, Arab, Latin dan Bahasa Jawa) dicetak miring. Sebagai
contoh: Sovereignty, Universiteit, Aufklärung, Sans peur, Khalik,
Magistrorum dan Ngelmu. Sementara untuk kata/istilah campuran
Inggris-Indonesia atau Belanda-Indonesia, kami tidak mengubah,
tetap ditulis apa adanya. Sebagai contoh, “Selfkritik,” “Kulturil,”
Buku ini juga dibuat dengan ukuran lebih kecil dari ukuran buku
terbitan tahun 1993, dan menampilkan wajah Dr. O. Notohamidjojo
yang dilukis mengikuti foto asli beliau sebagai cover buku.
Hanya karena anugerahNyalah, maka penerbitan ulang buku
ini dapat dirampungkan. Oleh karena itu patut kita panjatkan rasa
syukur ini kepada Tuhan. Selain itu kami juga mengucapkan terima
kasih yang tulus kepada sejumlah individu, dan lembaga, termasuk
Yayasan Bina Darma, yang telah berpartisipasi dalam upaya
peluncuran kembali buku ini.
Terima kasih yang tulus kepada Arif Sajiarto, Bambang
Susanto, Ferry Karwur, Jubhar Mangimbulude, dan ibu Trifosa
Widoningsih sebagai tim editor, serta rekan-rekan di Lembaga
Kemahasiswaan terutama: Illona, Godfrey, Ivone, Fitri, Jily, Tri,
Anne, Meland, Ones, Jitran, Jimran, Julius, Mose, Rio, Randy, Eben,
Fandy, Risco, Arwyn, Eva, Christina Noviolla, Arnold Karundeng,
sebagai tim pengetikan naskah, dan atas rasa memilikinya, sehingga
hanya dalam waktu yang sangat singkat naskah buku ini dapat
dirampungkan dan diterbitkan kembali.
Dalam keterbatasan kami, kami menyadari kemungkinan
adanya kesalahan redaksional, namun demikian, kami yakin itu
tidak mengubah makna sesungguhnya. Harapan kami, buku ini
dapat menginspirasi, menguatkan, dan menyatukan UKSW
melangkah dan berkarya dalam perjalanan 50 tahun kedua UKSW.

Viva UKSW!

Salatiga, 17 November 2011

Panitia Lustrum UKSW XI

viii
Sekapur Sirih

Dies Natalis Universitas Kristen Satya Wacana yang ke


XXXVII, ditandai dengan peresmian pemugaran gedung perpusta-
kaan tahap pertama, dengan nama “PERPUSTAKAAN PUSAT
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA NOTOHAMIDJOJO”
yang juga ditandai dengan pembukaan selubung patung almarhum
yang pernah menjabat Rektor pertama selama masa jabatan 17 tahun
(1956-1973).
Tiada berlebihan kiranya kalau Willi Toisuta, SP. Ph.D. yang
pernah menjadi anak didik untuk kemudian meneruskan tongkat
kepemimpinan UKSW selaku Rektor dua periode berturut-turut
(1983-1993), memilih nama untuk diabadikan dalam bentuk gedung
perpustakaan yang dibangun pada tahun 1969 dan diperluas dan
direnovasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang berkem-
bang.
Tiada berlebihan pula kalau arsitek Yahya Kurnia Winata dari
Sapto Argo Puro yang diberi kepercayaan merenovasi, melengkapi
keindahan gedung dengan menambahkan lambang berupa kaca patri
(Stained Glass) yang menggambarkan empat figur wanita terkenal
yang diangkat dari cerita pewayangan, kebajikan yang paling didam-
bakan manusia: Pengetahuan, Persahabatan, Pengertian dan Kearif-
an dalam diri Dewi Saraswati, Dewi Kamaratih, Dewi Sri dan Dewi
Kunti, yang diilhami bangunan gedung perpustakaan kuno di kota
Efesus, yang juga disenangi oleh almarhum.
Sebuah panitia (beranggotakan: S. Subanu, MA; Sularso, SH;
Drs. Siliwoeloe Djoeroemana, MA; Sumbada, SM.Th; Sukarno, B.Sc;
Dra. Astiah; Drs. Kusyadi, MBA; Drs. O. Tjahjakartana, M.Sc.; Arief
Sajiarto, SE; Dr. John Titaley; Utoyo Mardi, BA) yang ditugasi oleh
Pengurus Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana dan
Pimpinan Universitas Kristen Satya Wacana kini tengah memper-

ix
siapkan pemindahan makam Dr. O. Notohamidjojo, SH dari makam
Cungkup ke makam khusus yang terletak di samping Gedung
Perpustakaan, yang peresmiannya direncanakan bertepatan dengan
ulang tahun wafat almarhum, 2 Mei 1994.
Nama Notohamidjojo tidak hanya diperkenalkan lewat nama
sebuah gedung perpustakaan tingkat tujuh, lewat patung maupun
makam yang dapat disaksikan untuk mengenang kembali perjuangan
merintis Universitas Kristen Satya Wacana, tetapi juga pemikiran-
pemikiran almarhum yang tercermin dalam karangan-karangan,
pidato-pidato Dies Natalis maupun berbagai tulisan yang mencer-
minkan visi dan misi kehidupan yang diembannya, tidak hanya
perlu diketahui tetapi sangat berharga untuk dipelajari.
Lembaga Penelitian Ilmu Sosial UKSW pada tahun 1973 telah
berhasil mengumpulkan dan menerbitkannya, dan kini 20 tahun
kemudian, saat Universitas Kristen Satya Wacana berkembang
dengan pesat. Panitia Notohamidjojo, menerbitkan kembali dua
buku kumpulan karangan dan pidato-pidato almarhum dalam judul
dan isi yang tidak mengalami perubahan:

“KREATIVITAS YANG BERTANGGUNG JAWAB”

Bagian Pertama dan Kedua


Panitia menyampaikan penghargaan atas ijin yang diberikan
oleh Direktur LPU, Dr. S. Richard Hutapea, juga palilah dari Ibu
S. Notohamidjojo selaku pemegang hak cipta, demikian pula
dukungan yang diberikan oleh Yahya Kurnia Winata, M. Ars, se-
hingga dimungkinkan tebaran cita-cita terwujud.
Kepada Drs. N. Daldjoeni yang dengan tekun mengoreksi
naskah, demikian juga bantuan Ibu Moneta S. Prince, Ph.D., Drs.
Nico Likumahua, MA, T. Purwadi, BSc., Drs. Bintoro MA, yang
membantu beberapa bagian, kami menyampaikan penghargaan.
Terima kasih juga kami sampaikan kepada Drs. F.X. Budhi
Herlianto, Direktur PT. Alegori Semarang (Alumnus FKSS-Bahasa
Inggris, 1977) yang dengan sukacita mendesain sampul buku.
Melalui penerbitan ini, yang diharapkan juga akan disusul
dengan tulisan-tulisan lain sebagai penjabaran atas ideal-ideal

x
Universitas Kristen Satya Wacana yang telah dicetuskan oleh Dr. O.
Notohamidjojo, SH yang juga pencipta nama “SATYA WACANA”,
setia kepada Firman, dengan lambang gulungan buku yang ber-
lukiskan Salib, Alfa dan Omega, serta nyala api dalam bentuk tujuh
lidah api yang melambangkan Roh Kudus, dapat dihayati oleh
segenap warga sivitas akademika UKSW, yang pada awal tahun 1993
memiliki 424 orang tenaga edukatif (doktor, master magister,
sarjana), 300 orang tenaga non edukatif, 6500 mahasiswa dan lebih
dari 15.000 alumni yang tersebar di segenap pelosok tanah air,
mampu mewujudkan apa yang oleh almarhum disebut sebagai
“Creative Minority”, gudang ide dan sumber gagasan yang tak
pernah kering dalam mengabdi gereja, bangsa dan negara.
Soli Deo Gloria!

Salatiga, 30 November 1993

Panitia Notohamidjojo
S. Subanu, MA. (Ketua)
Sumbada (Sekretaris)

xi
Kata Pengantar

Usaha untuk menerbitkan “kreativitas Yang Bertanggung-


jawab” pertama-tama dimaksudkan sebagai tanda penghargaan dari
pihak Lembaga Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial (LPIS) menugaskan
stafnya yang terdiri dari N. L. Kana, N. G. Schulte Nordholt, J. D.
Zacharias, dan N. Daldjoeni sebagai konsultan di LPIS untuk memi-
kirkan bentuk, isi dan sistematika terbitan ini. Team ini mengusaha-
kan diri sebaik mungkin untuk mendapatkan dan mengumpulkan
tulisan-tulisan yang banyak itu, berpedomankan bibliografi yang
telah disusun oleh Drs. Towa Pala Hamakonda, MLS, Direktur
Perpustakaan Pusat. Bilamana di dalam terbitan ini ada tulisan-
tulisan yang tak dimasukkan hal itu semata-mata disebabkan oleh
karena sulitnya memperoleh karya yang bersangkutan dan pertim-
bangan untuk mencegah terjadinya pengulangan-pengulangan.
Atas dasar hasil kerja team tersebut di atas dan dengan per-
setujuan Dr.O. Notohamidjojo SH, LPIS memutuskan untuk mener-
bitkan karya beliau dalam dua bagian dengan bentuk, isi dan susun-
an seperti yang sekarang ada.
Bagian pertama: memuat semua pidato Dies Natalis Satya
Wacana dan pidato-pidato lain yang diucapkan beliau, tersusun
secara chronologis.
Bagian kedua: memuat tulisan-tulisan beliau, tersusun secara
thematis, meliputi:
- Universitas Kristen dalam arti umum
- Kekristenan umum
- Pandangan mengenai negara, bangsa dan kebudayaan
- Lain-lain.
Kedua bagian ini merupakan satu kesatuan yang tak ter-
pisahkan satu dengan yang lain.

xii
Karya beliau yang ditulis dalam bahasa Belanda terbanyak
telah diusahakan untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,
sedangkan tulisan-tulisan dalam bahasa Inggris dipertahankan seba-
gaimana adanya. Oleh karena beberapa pertimbangan terdapat juga
beberapa karangan yang dimuat dalam bahasa Belanda dan sebuah
karangan berbahasa Inggris yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. Di samping karangan-karangan disajikan pula biografi
beliau.
Terbitan telah dapat berwujud oleh karena kesediaan dan
kerjasama dari banyak pihak. Pertama-tama LPIS berterima kasih
kepada Dr.O. Notohamidjojo, SH yang menyetujui dan merangsang
usaha ini; Pengurus Yayasan Satya Wacana yang membantu penye-
lenggaraannya; Saudara-saudara N.L. Kana, N.G. Schulte Nordholt,
J.D. Zacharias dan N. Daldjoeni yang secara khusus memberikan
perhatian kepada segi perencanaan maupun pengaturan terbitan ini;
seluruh staf peneliti, pelayanan, administrasi dan pekarya LPIS dan
tenaga-tenaga lain yang membantu pelaksanaan sehingga maksud
menerbitkan karya Dr.O. Notohamidjojo, SH dapat diselesaikan pada
waktunya.
Terkandung harapan kiranya usaha ini dapat dimanfaatkan
oleh seluruh Civitas Academica Satya Wacana khususnya dan
mereka yang mendambakan perubahan.

Salatiga, 11 Oktober 1973


Lembaga Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial

Direktur

xiii
DAFTAR ISI

Halaman
Sambutan Rektor ................................................................. i
Kata Pengantar ..................................................................... iii
Sekapur Sirih ........................................................................ v
Kata Pengantar ..................................................................... viii

Buku I :
1 : Menyegani Tuhan Itulah Pangkal Segala
Pengetahuan ................................................... 1
2 : Tugas Perguruan Tinggi Pendidikan Guru di
Indonesia dalam Masyarakat Peralihan ........ 7
3 : Iman Kristen dan Kebudayaan ...................... 20
4 : Pimpinan dan Pembinaan Pemimpin ........... 27
5 : Pengakuan FKIP Swasta ................................ 40
6 : Tugas Ilmiah Universitas Kristen Satya
Wacana ........................................................... 52
7 : Dasar Filsafat Universitas Kristen Satya
Wacana ........................................................... 59
8 : Universitas Kristen Satya Wacana antara
Ilmu dan Masyarakat ..................................... 68
9 : Kekristenan yang Revolusioner .................... 74
10 : Panggilan Kristen yang Tritunggal dalam
Masa Revolusioner ......................................... 79
11 : Relasi Ilmu Pengetahuan dan Kepercayaan.. 87
12 : Universitas Kristen Satya Wacana sebagai
Pusat Persiapan bagi Suatu Masyarakat Baru 97
13 : Harapan tentang Hari Depan ........................ 101
14 : Quid Est Homo ............................................... 107
15 : Memanusiakan Manusia dalam Orde Baru.... 120
16 : Fungsi, Dasar dan Tujuan Mata Kuliah-Mata
Kuliah Dasar dan Matakuliah-Matakuliah
Bantu ............................................................... 147
17 : Satya Wacana Membangun Negara Hukum
di Indonesia .................................................... 167

xiv
18 : Beberapa Bahan untuk Dipertimbangkan
dalam Penyusunan Kurikulum pada Satya
Wacana ........................................................... 188
19 : Intensifikasi Pembentukan Kader Kristen di
Jawa Tengah dengan Pembagian Pekerjaan
yang Jelas dan Kerjasama yang Erat antara
Lembaga Pendidikan Kader, Duta Wacana
dan Satya Wacana .......................................... 218
20 : Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana
adalah Lembaga untuk Berlatih Hidup yang
Berpikir ........................................................... 234
21 : Pembentukan Minorita yang Berdayacipta
Sumbangan Satya Wacana kepada Pemba-
ngunan Republik Indonesia ........................... 242
22 : Penganugerahan Gelar Doctor Honoris
Causa kepada Bapak O. Notohamidojo, S.H.
Rektor Magnifikus Universitas Kristen
Satya Wacana ................................................. 284
23 : Pidato Penyerahan Rektorat Universitas
Kristen dan IKIP Kristen Satya Wacana ....... 342
Buku II
A : Kekristenan Umum
1. Analisa Hubungan Kita dengan Orang-
orang Islam dalam Rangka Pancasila
yang Sedang Membangun ........................ 351
2. Pemribumian Theologia di Indonesia ...... 355
3. Kepemimpinan dan Pemimpin Kristen di
Indonesia .................................................... 362
4. Vertikalisme dan Horisontalisme ............. 413
5. Fungsi Gereja dalam Modernisasi dan
Pembangunan ............................................ 419
6. Modernization, A Christian Perspective... 438
B : Universitas Kristen
7. The Basis of The Christian University ... 458
8. Leadership and Decision-Making in
Christian College and Universities ......... 482
9. The Christian Colleges and Current
Ideologies, with special reference of
democracy ................................................ 493
10. The Religious Witness of The Christian
University/College in Its Large
Community .............................................. 504

xv
11. Nationalism vs Internationalism The
Role of The Christian University ........... 513
C : Kebudayaan
12. Kesunyian Batin pada Manusia dan
Penginjilan di Tanah Jawa ...................... 536
13. Wedatama dalam Sorotan Masa Kini ..... 545
14. Filsafat Idea Hukum dan Problema
Mengenai Manusia .................................. 554
15. Minat Baru terhadap Ranggawarsita ...... 562
16. Cita-cita Ksatria dan Makna Kristen
tentang Kerja ........................................... 571
17. Lima Sembah dan Wibawa di antara
Manusia .................................................... 579
18. Pengertian Tapa pada Orang Jawa ......... 585
19. „Semu‟ di dalam Penulisan Sejarah Jawa. 590
20. Berita Kesukaan Natal dan Pandangan
Hidup Jawa .............................................. 603
21. Kesenian Melakukan Kritik pada Diri
Sendiri ...................................................... 608
D : Negara dan Bangsa
22. Pancasila, De Nationale Ideologie van
de Indonesische Republiek ..................... 612
23. Pembangunan dan Keadilan Sosial ......... 632
24. Sarjana Hukum yang Kita Cita-citakan
pada Zaman Pembangunan Dewasa Ini.. 643
25. Kepribadian Nasional .............................. 656
26. De Beroepsethiek van de Jurist ............... 663
27. Pembagian Fraksi dalam DPR Pemilu ... 698
28. Tinjauan Kembali terhadap Ajaran Trias
Politika ..................................................... 702
Bibliografi Sementara, Indeks menurut Judul Karangan ... 707

xvi
1. MENYEGANI TUHAN
ITULAH PANGKAL SEGALA
PENGETAHUAN )

Kitab Amsal Sulaiman ini hendak mengajar kita hikmat hidup


atau kebijaksanaan hidup.
Sulaiman sebagai seorang penghimpun Amsal dapat kita ban-
dingkan dengan kaum hukama yang sebelum dan sesudah Kristus, di
daerah timur mengajar kearifan terutama kepada angkatan muda. Di
lingkungan Israil, Asia-Minor kita menjumpai kaum sophist yang
mengajar kepada pemuda-pemuda Junani. Pada jaman lahirnya
Tuhan Jesus, datanglah orang Madjuz dari benua Timur. Di tanah
Jawa kita mengenal kaum bhukjangga, yang bekerja dalam
lingkungan kraton.
Mereka itu merumuskan kebijaksanaan yang diperoleh dari
pengalaman yang berabad-abad lamanya, dalam Amsal, atau peri
bahasa. Amsal-amsal itu dihimpun menjadi Kitab.
Di samping Amsal Sulaiman, Kitab Alchatib, sebagian
Mazmur, dari Israel, kita mengenal misalnya:
- Kitab Amen – En – Ope dari Mesir
- Kata-kata Achikam dari Assyria
- Niticastta dari dari Jawa Kuno
- Wulang-reh karangan Pakubuwana IV dari Jawa Baru.

Satu hal adalah sama dalam kitab-kitab ini. Semuanya


mencoba mencakup, merumuskan kebijaksanaan yang diperdapat

)
Diucapkan pada Kebaktian Pembukaan P.T.P.G.-K.I. di Salatiga, Jl. Dr.
Sumardi 5, tanggal 17 Oktober 1956, Salatiga

1
berabad-abad lamanya dalam peribahasa yang indah, singkat lagi
padat dengan kearifan. Banyak juga diantara peribahasa-peribahasa
itu yang sama bunyinya. Tetapi kalau dua fihak mengatakan sesuatu
yang sama, belum berarti bahwa keduanya sama juga yang
dimaksudkannya.

Apa Sebabnya?
Oleh sebab itu latar-belakang berlainan. Pada umumnya dapat
dikatakan bahwa latar belakang dari himpunan-himpunan kearifan
di dunia timur itu: anthropocentrisme, pemusatan pada anthropos,
yaitu manusia. Anthropocentrisme, yang dengan sadar atau tidak,
mencari keagungan manusia.

Latar Belakang Amsal Sulaiman adalah:


Theocentrisme, pemusatan pada Theos, Allah, suatu
Theocentrisme, yang mencari kemuliaan Allah.
Sebab itu ayat kita Amsal 1:7a dapat kita pandang sebagai
motto, atau anak kunci untuk memahami Amsal Solaiman itu.
“Reverence for the Eternal is the first thing in knowledge ”.
“Menyegani Tuhan adalah pangkal pengetahuan”.
Pengertian yang penting dalam ayat kita adalah pengetahuan.
Yang dimaksud dengan pengetahuan, bukanlah kecakapan teknis,
seperti kecakapan seorang tukang. Bukan juga: pengalaman yang
banyak, sehingga dapat mencari jalan yang tepat untuk mencapai
tujuannya. Yang dimaksud dengan pengetahuan adalah
“Knowledge”, kennis, pengetahuan pada umumnya. Istilah ini
meliputi segala lapangan ilmu, yang menjadi objek penyelidikan
daripada Jurusan Perguruan Tinggi kita. Pengetahuan di sini boleh
kita hubungkan baik dengan Naturwissenschaft maupun
Geistewissenschaft, baik ilmu alam, kimia, pasti, maupun ilmu
theologia, filsafat, sastra, sejarah, bahasa, hukum, sosiologi, ekonomi,
pendidikan dan sebagainya
Apakah yang harus menjadi titik pangkal, titik keberang-
katan segala penyelidikan ilmu itu?

2
Amsal 1:7a mengatakan bahwa pangkal, atau dengan istilah
terjemahan Moffat: the first thing, daripada segala pengetahuan
ialah: menyegani Tuhan” adalah “reverence for the Eternal”.

Apakah Artinya: Menyegani Tuhan?


Artinya, bahwa kita harus percaja dan mengakui, bahwa Allah
adalah Al-Khalik, yang menjadikan langit dan bumi. Dan oleh
karena Allah itu Al-Khalik, Ia juga satu-satunya yang berdaulat di
atas segala sesuatu. Menyegani Tuhan berarti, mengakui “the
sovereignity of God” di atas segala makhluk. Berarti pula mengakui
Tuhan sebagai: wetgever, pemberi Hukum dan mentaati norma-
norma itu yang telah diwahyukannya dalam Alkitab itu dalam segala
lapangan hidup: baik di lingkungan ilmu, maupun di lingkungan
kesusilaan, kebudayaan pada umumnya, kemasyarakat-an, pemerin-
tahan, keagamaan.
Saya ulang: menyegani Tuhan dilapangan pengetahuan ber-
arti: mengakui kedaulatan Allah, mentaati norma-norma kebenaran-
nya dan norma-norma kesusilaannya di lapangan penyelidikan
ilmiah dan penggu-naan ilmu.
Itu berarti bahwa barang siapa ingin mendapat pengetahuan
yang sejati, haruslah ia menundukkan diri kepada Allah dan kaidah-
kaidahnya. Jika tidak, maka ia tidak akan sampai kepada pengeta-
huan, hanya kebebalan dan kesia-siaanlah yang akan diperolehnya.
Bukan kebenaran, bukan truth, melainkan kesesatan yang akan
menjadi bagiannya. Dalam hal ini penulis Amsal tidak ada keragu-
raguan sedikit pun juga.
Apakah “reverence for the Eternal” ini berarti sumber
perkembangbiakan didalam lapangan penyelidikan ilmiah, sehingga
barangsiapa menyegani Tuhan, dengan bekal itu saja memperoleh
hasil ilmiah yang melebihi penyelidik-penyelidik lain.
Bukan demikian maksudnya dan bukan demikian pula
kenyataannya.
Dikatakan: bukan demikian kenyataannya. Bukanlah per-
kembangan ilmu pengetahuan modern itu mulai pada jaman
Renaissance, mulai dengan emansipasi atau pembebasan ilmu penge-
tahuan dari pada ikat-bimbingan gereja? bukankah ilmu pengetahu-

3
an itu memperoleh kemenangan-kemenangannya nya yang men-
takjubkan sehingga pada abad ke-19 merupakan suatu deretan
malam Sinterklas, oleh karena experimen, perhitungan analisa
semata-mata, terlepas dari iman dan kepercayaan?
Dikatakan: bukan demikian maksudnya!
Amsal tidak menyangkal atau mengganti metode-metode
yang ditempuh oleh ilmu-ilmu modern. Pengarang Amsal tidak
bermaksud supaya “menyegani Tuhan” itu menggantikan penyeli-
dikan ilmiah.
Alkitab bukanlah suatu ichtisar tentang ilmu pasti, alam,
hayat, ekonomi, hukum, sejarah, bahasa, pendidikan dan seterusnya.
Pengarang Amsal hanya mengatakan, bahwa menyegani
Tuhan itu harus menjadi pangkal menjadi awal, menjadi “the first
thing in knowledge”.
Perbedaan pangkal akan membawa perbedaan pandangan
dalam ilmu pengetahuan dan akan membawa perbedaan penggunaan
ilmu pengetahuan.
Ilmu umumnya mulai dengan meyelidiki fakta. Pada abad
yang lampau orang mengira bisa menetapkan fakta secara objektif,
artinya menurut keadaan fakta itu sendiri. Abad ke-20, mengakui
bahwa hal itu tidak mungkin. Fakta sebagai material daripada
“scientific occupation” itu senantiasa ditaruh dalam bingkai tertentu,
diletakkan dalam perspektif yang tertentu dan dipilih menurut
criteria yang tertentu. Sebab itu benarlah apa yang dikatakan oleh
Goethe: “Alles Faktischeist Ischon Theorie”. Bagaimana pun juga
usaha kita untuk menetapkan fakta itu seobyektif-obyektifnya, tapi
yang kita capai sebenarnya: “reference to facts” penunjukkan akan,
verwijzing – akan, fakta. Pemaknaan fakta, memberi makna kepada
fakta itu tergantung daripada titik pangkal kita. Kalau diperkenan-
kan memberi contoh: Sarjana Anthropologi mis. berhadapan dengan
anthropos/manusia sebagai fakta. Seorang sarjana evolusionis me-
mandang manusia itu sebagai keturunan primata atau kera.
Seorang sarjana yang menyegani Tuhan, yang berpangkal pada
Alkitab beranggapan bahwa manusia itu makhluk yang dijadikan
oleh Allah menurut citraNya.

4
Teranglah bahwa sarjana anthropologi ini akan berbeda dalam
jalan fikiran dan perincian ilmunya.
Perbedaan titik pangkal tidak hanya akan membawa perbeda-
an pandangan dan hasil, melainkan akan mengakibatkan perbedaan
penggunaan ilmu.
Seorang sarjana yang tidak percaya kepada Tuhan akan
mempergunakan ilmunya menurut untung ruginya sendiri saja, yang
akan membawa dia kepada kesia-siaan atau nihilisme saja.
Seorang sarjana yang menyegani norma-norma Tuhan akan
menundukkan diri kepada norma-norma keagamaan dan kesusilaan
yang dinyatakan oleh Tuhan dalam kasih kepada Allah dan sesama
manusia.
Pada saat sekarang dari pelbagai sudut, baik dari fihak sarjana
yang beriman, maupun dari fihak sarjana yang humanis, terdengar
suara-suara tentang krisis universitas, terdengar peringatan-
peringatan, bahwa perguruan tinggi itu merosot menjadi lembaga
yang tidak berkaidah lagi,
Moberly, mengatakan dalam karangannya: the Crisis of the
university, bahwa universitas menjadi tempat dimana segala sesuatu
dapat dipelajari, kecuali hal-hal yang terpenting bagi hidup manusia
Van der Leeuw menyerukan supaya universitas kembali lagi
kepada principialiteit apabila ingin mengatasi krisisnya.
Di dalam keadaan sedemikian ini baiklah kita mendengarkan
dan memperhatikan kata-kata Amsal Sulaiman.
Amsal 1:7a berseru kepada para mahasiswa dan para dosen:
Saudara harus mulai dari pangkal. Saudara harus mulai dengan
mendengarkan firman Tuhan dan mentaati norma-normanya dalam
segala lapangan hidup, juga dalam lapangan ilmu.
Plato mengatakan bahwa segala pengetahuan itu berpangkal
pada keheranan. Memang ucapan itu banyak benarnya.
Tetapi Alkitab menggali dasar yang lebih dalam dan segala
ilmu harus berpangkal pada pengakuan kedaulatan Allah dan
ketaatan kepada firman dan normanya. Hanya dalam terang firman
Allah kita dapat melihat dengan jelas pada segala lapangan ilmu

5
pengetahuan. Hanya dalam terang firman Allah kita boleh berharap,
memperoleh kebenaran yang sejati.
Barangsiapa dapat memahami ini, dapat mengerti juga bahwa
iman dan ilmu pengetahuan tidaklah dapat dipisah-pisahkan secara
dualistis.
Menyegani Tuhan itu berarti menerima norma-norma dari
Tuhan, yang memberikan arah yang tertentu dalam penyelidikan
ilmiah.
Oleh sebab itu bagi penjelidikan ilmiah diperlukan: tobat,
repentance. Oleh sebab itu Gereja Kristen kuno berkata sepatah kata
yang penuh kearifan: yaitu bahwa scientia (ilmu) tidak dapat
diceraikan dari “conscientia” (yaitu hati nurani atau keinsafan batin).
Pada saat kita mulai kuliah-kuliah pertama PTPG Kristen
pertama di Indonesia ini, hendaknya kita tanamkan sekali lagi dalam
hati sanubari kita:
“The first thing in knowledge is reverence for the Eternal ”
Dengan jalan demikian kita boleh mengharapkan kebenaran
yang sebenarnya dan boleh kita menempatkan penyelidikan ilmiah
dalam lingkungan usaha untuk menantikan dan menyegerakan
kedatangan kerajaan Allah.

________

Beberapa sumber:
1. Dr. J. Verkuyl: Khotbah tentang Amsal Sulaiman bab I:1-7
2. Moberly: The crisis of the university
3. Van der Leew: De crisis der universiteit, Wending Universities
nummer 1951.

6
2. TUGAS PERGURUAN TINGGI
PENDIDIKAN GURU INDONESIA
DALAM MASYARAKAT PERALIHAN

Hadirin yang mulia,


Seperti dalam lingkungan hukum adat, suatu perbuatan
hukum itu harus terang, artinya harus dilakukan di muka kepala-
adat dan penghuni dusun, supaya dapat mengakibatkan perubahan,
yang dikehendaki dalam tata-hukum, demikian pula pembukaan
PTPG – KI ini, wajib kita langsungkan di hadapan para pemuncak-
pemuncak penguasa negara dan ilmu pengetahuan, para wakil-wakil
gereja dan khayalak ramai, agar lembaga kami ini memperoleh
pengesahan dan turut mengambil bagian dalam pertumbuhan dan
pergaulan ilmu.
Bukan pada tempatnya pada saat memperkenalkan diri PTPG-
KI tampil ke depan dengan menunjukkan artinya bagi masyarakat
Indonesia, oleh karena artinya itu masih harus dibuktikan dalam
perjalanan hidupnya.
Tapi sudah sepatutnya apabila ia sekarang ini memaparkan
dengan serba-singkat cita-citanya, yang dianggap sebagai tugas
untuk dikejar dan diwujudkan pada hari-depan.

Pendahuluan
Hadirin yang mulia,
Perhubungan antara suatu periode dengan perguruan tinggi
oleh almarhum Profesor van der Leeuw dalam suatu “artikel
Wending dirumuskan dengan kalimat: “Elke tijd heeft de


Diucapkan pada pembukaan PTPG-KI di Salatiga tanggal 30 Nopember
1956

7
universiteit, die hij verdient of die hij verdragen kan” (Tiap jaman
mempunyai Perguruan Tinggi yang layak dipunyainya, atau yang
dapat dibebaninya).
Pandangan historis ini menurut saya dapat diubah menjadi
pandangan sosiologis. Tanpa mengurangi kebenaran yang tercantum
di dalam-nya, dapat kita katakan, bahwa: “Tiap-tiap masyarakat
mempunyai perguruan tinggi yang layak dipunyainya”.
Dengan ucapan ini diperlihatkan segi-pasif perhubungan
funksionil antara perguruan tinggi dan masyarakat dan diakui pen-
cerminan masyarakat dalam kontinuiteitnya dan diskontinuiteitnya,
dalam kebaikan dan cacadnya, dalam tata dan nirtata-nya (orde dan
disorder), pada perguruan tingginya. Ini adalah suatu pengakuan,
yang disertai pengertian yang makin mendalam sejak perkembangan
“Wissenssoziologie”, yang menunjukkan pengaruh sosial-kulturil
terhadap ilmu pengetahuan dan pemikiran ilmiah.
Sebaliknya dengan kata-kata yang hampir sama, dapat juga
kita tunjukkan segi-aktif atau tugas perguruan tinggi terhadap
masyarakat, yaitu dengan pengkalimatan: “Tiap-tiap masyarakat
harus layak mempunyai perguruan tinggi yang ada padanya” (Elke
maatschappij moet verdienen, de universiteit die zij heeft). Artinya,
perguruan tinggi wajib berdaya-upaya, supaya jangan hanya menjadi
bunglon yang bersama warna dengan masyarakatnya, melainkan
supaya bercorak sendiri. Ia wajib mengusahakan diri supaya menjadi
perintis dan pedoman, baik di lapangan ilmu maupun kesusilaan
sehingga patut dianut dan dikejar oleh masyarakat. Dengan ketiga
rumusan tersebut sebenarnya telah terbayangkan serba ringkas
perhubungan-fungsionil antara perguruan tinggi dan masyarakat
dalam periode yang tertentu, sedangkan dalam rumusan yang
terakhir telah dikatakan in abstracto tugas perguruan tinggi terhadap
masyarakat pada umumnya.

Masyarakat dalam Peralihan


Marilah kita sekarang dari taraf abstrak dan absolut turun ke
tingkat konkrit dan relatif, untuk melukiskan tugas PTPG-KI ter-
hadap masyarakat Indonesia yang sedang dalam peralihan.

8
Tiap-tiap masyarakat senantiasa berubah dan dalam peralihan
demikian juga masyarakat Indonesia. Tetapi seperti air sungai sekali-
kali melalui katarak-katarak dalam perjalanannya, demikian pula
suatu masyarakat dapat mengalami diskontinuiteit dan pergolakan
dalam sejarahnya. Situasi sedemikian itu biasanya timbul dalam
pertemuan dengan kebudayaan lain
Masa peralihan seperti itu oleh masyarakat-masyarakat
Indonesia pada waktu-historis dialaminya dalam pertemuannya
dengan Kebudayaan Hindu.
Van Naerseen dalam: “Cultuur-contacten en Sosiale conflicten
in Indonesie”, menguraikan perubahan-perubahan dalam proses-
akulturasi pada zaman Hindu itu, yang mengakibatkan perten-
tangan-pertentangan sosial a.l. antara lingkungan istana Jawa-Hindu
dan Mendala, yaitu persekutuan-persekutuan autonoom di bawah
keperbawaan kewikuan.
Juga pada zaman kedatangan agama islam dialami perubahan-
perubahan. Pada waktu itu tumbuhlah disamping kerajaan-kerajaan
Islam persekutuan-persekutuan tasawuf, yaitu tarikah-tarikah dan
pesantren-pesantren dan mulai nampak pencetusan gerakan-gerakan
ratu-adil, sebagai reaksi terhadap pemerintahan, yang tak terderita.
Lebih daripada zaman Hindu berkembanglah pertentangan antara
kaum adat dan penganut hukum baru, inklusif hukum fikih, yang
antara lain memuncak dalam gerakan padri terhadap kaum adat di
Minangkabau. Sampai saat sekarang ini di seluruh Indonesia
pertentangan antara adat dan fikih belum mendapat penyelesaian,
bahkan menjadi akut, karena terbawa dalam suasana pengaruh
“revival” dunia Islam.
Betapa pentingnya juga pengaruh kebudayaan Hindu dan
agama Islam terhadap masyarakat-masyarakat Indonesia, tetapi
boleh dikatakan, bahwa ada pariteit dalam cultuur-niveau antara
masyarakat-masyarakat Indonesia dan kebudayaan luaran itu.
Bertalian dengan pariteit itu soal-dasar yang dicampakkan oleh van
Leur dalam disertasinya: “Some observations concerning early Asian
trade”, adalah: “Apakah pariteit dalam taraf-kebudayaan masih dapat
dipertahankan oleh masyarakat-masyarakat Indonesia terhadap
invasi barat!“.

9
Fundamentil dalam uraian dan pembuktian van Leur ialah,
bahwa pada pertemuan yang pertama dalam abad ke-16 antara timur
dan barat i.c. bangsa Portugis di Indonesia, tidak ada perbedaan taraf
sedikitpun dalam lapangan kemiliteran, tehnik pelayaran dan
perdagangan. Juga dalam abad ke-17. V.O.C. hanyalah salah satu
badan perdagangan yang harus menyesuaikan diri dalam lalu-lintas
di antara ragam pedagang Indonesia, Asia dan Eropa. Bahkan
berbagai dalam abad ke-18 sekalipun, tidak mungkin dikatakan ada
Campaignies Indie, oleh karena kekuasaan Mataram dan Tanah Jawa
belum terpatahkan, sedangkan Sumatra, Kalimantan, Makassar dan
Sulawesi masih tegak sendiri dengan megahnya. Sampai sekeliling
tahun 1800 masih ada “interaction” yang setaraf antara timur dan
barat di Indonesia. Baru sesudah tahun 1800 terpatahkan
continuiteit dalam perkembangan kebudayaan Indonesia menurut
pola-pola (pattern)-nya sendiri, oleh modern-kapitalisme barat.
Perubahan-perubahan sejak abad ke-19 adalah mendalam dan
mendasar.
Setelah revolusi tehnik dan industrialisasi Eropa barat oleh
kapitalisme modern makan dunia dibanjiri barang-barang industri
secara massal. Indonesia turut terbawa dalam suasana selintang bujur
bumi dari activiteit ekonomi yang ekspansif dengan rumah-tangga-
uang dan lalu-lintas modern. Bersama-sama dengan daerah-daerah
Asia lain, Indonesia menjadi pasar industri-raksasa dari Barat dan
dijadikan tempat-produksi bahan-dasar dan bahan perkebunan.
Pengaruh barat sejak abad ke-19 itu terasa “lain“, terasa “asing“,
tetapi tak tertahan dan menyebabkan dis-continuiteit dalam
perkembangan kebudayaan masyarakat Indonesia. Proses akulturasi
ini pada zaman kemerdekaan tidak terhenti, melainkan makin
menghebat karena bertambahnya perhubungan internasional dan
kurangnya bimbingan dari pihak kita terhadap proses akulturasi itu.
These daripada van Leur, - walaupun benar pula Romein me-
nempatkan penyimpangan barat dari Algemeen Menselijk Patroon
pada akhir abad pertengahan – adalah bahwa pengaruh barat yang
prinsipil lain, kepada Indonesia baru mulai sekelililing 1800. Garis
yang ditarik van Leur itu dilanjutkan oleh Burger dan Wertheim
(Indonesia Society in transition), sedangkan Resink, memberikan
penghalusan dalam garis-kasar van Leur itu dengan menunjukkan,
bahwa di Indonesia sampai akhir abad ke-19 masih terdapat

10
“volkenrechtelijke berhoudingen”. Baru pada tahun 1910 dengan
adanya “Wet op het Nederlands onderdaanschap“, mulailah “colonie
d’encadrement” yang sebenarnya. Usaha sarjana-sarjana tersebut
wajib dilanjutkan. Seperti dalam ajaran “onrechmatige daad”, harus
diadakan “rechtsverijning”, demikian pula these van Leur ini me-
merlukan “historische verfijning” dengan penyelidikan-detail oleh
historici Indonesia.
Menurut Kraemer pengaruh barat kepada timur hanya dapat
dicandra istilah bencana alam: “earthquake” sebagai “the only
approciate one to suggest what was happened to East by penetration
of the West”.
Untuk mengerti tepatnya istilah Kraemer ini kita harus
beralih dari tinjauan historis ke pandangan sosiologis.
Baik kaum sosiolog maupun ahli-adat mengetahui bahwa
masyarakat Indonesia asli bukanlah sewarna, melainkan pancawarna
dan terdiri dari ribuan masyarakat-hukum yang kecil-kecil yang
dapat digabungkan lagi dalam lebih kurang duapuluh lingkungan
hukum adat. Masyarakat-masyarakat hukum itu bersikap dan ber-
buat terhadap alam-gaib, dunia-luar dan dunia-kebendaan sebagai
kesatuan. Masyarakat-masyarakat itu merupakan kelompokan-
kelompokan manusia hidup menurut peraturan-peraturan yang
tetap dibawah pemerintahan sendiri dan mempunyai milik materiil
dan immateriil sendiri. Untuk memahami masyarakat-masyarakat
ini, baik yang bersifat genealogis territorial diperlukan pengetahuan
tentang “verwantschaps-systeemnya”.
Dalam semua segi-hidup, perkawinan, harta-bersama,
kewarisan, jual-beli, terutama jual-beli tanah dan transaksi yang
menyangkut tanah, nampaklah corak komunal, dimana kepentingan
umum didahulukan dan kepentingan seseorang dikemudiankan.
Tetapi sejak abad ke-19, lebih-lebih pada abad ke-20 penetrasi barat
makin meluas dan makin intensif.
Perekonomiannya dengan lalu-lintas dan Geldwirtschaft
dengan zakelijkheid-nya dan kontraknya, yang menggantikan jual-
beli yang berlainan sifatnya, pemerintah Ned. Indie, dengan per-
undang-undangannya, pengadilan, pajak, pengajaran, dan sebagainya
menembuskan pengaruhnya sampai ke dusun yang sekecil-kecilnya,
menguakkan dan membongkar bingkai-bingkai dari persekutuan

11
komunal kita. Akibat dari gempa-pengaruh itu adalah penanggalan
kelamin (gezin) dan individu dari ikatan verwantengroep, sehingga
tumbuhlah ketegangan antara kelamin dan individu terhadap
keluarga (familie) dan suku.
Gempa pengaruh itu pada zaman kemerdekaan makin
menghebat lebih-lebih dikota-kota. Dilihat dari sudut sosiologis,
akibatnya adalah rontoknya individu dari ikatan-ikatannya yang
organis semula, sehingga manusia Indonesia sekarang, dalam roh dan
jiwanya banyak berkeliaran seperti “kleyang kabur kanginan”.
Proses individualisasi yang sekarang berlangsung di Indonesia ini
dapat kita perbandingkan dengan masa Renaissance di Eropa. Saya
sendiri berkeyakinan baiklah kita bercermin pada Renaissance itu
menginsyafi situasi kita dan menyingkiri cela dan perderitaan yang
tidak perlu.
Dalam hubungan ini baik dikemukakan, bahwa penyelidikan
hukum adat, yang oleh van Vollenhoven dan Ter Haar disetarafkan
dengan tingkat etnologi pada zamannya akan ketinggalan, apabila
tidak memperhatikan proses-akulturasi dan individualisasi itu.
Masyarakat-masyarakat hukum asli tersebut, dipandang dari
sudut sosiologis mewujudkan “Gameinschaft”, merupakan struktur
yang tertutup, suatu susunan masyarakat yang bulat.
Dipandang dari segi ekonomis, masyarakat-masyarakat asli itu
menyelenggarakan rumah-tangga yang tertutup dimana peredaran
barang mungkin menyertai berjenis lembaga sosial.
Lain daripada itu, masyarakat-masyarakat tersebut merupakan
kesatuan-kesatuan yuridis-politik yang tunduk kepada keperbawaan
yang tradisionil.
Religieus-ethis masyarakat-masyarakat itu tunduk kepada
hormensysteem yang bulat, totaliter, homogin, tradisionil yang
berlaku dengan kepastian hukum alam.
Intisari sistem norma itu bersifat religius, bersangkutan
dengan kebaktian kepada pendasar masyarakat hukum itu. Di sini
kita lihat deifikasi daripada kelompok itu, disini kelompok berbakti
kepada diri sendiri. Barangsiapa dapat melihat esensi ini, akan
mengerti juga, bahwa norma-norma sosial dalam masyarakat adalah
imanen, tertujukan kepada keselamatan kelompok, kommunal,

12
mendahulukan kepentingan marga, suku atau keluarga terhadap
kepentingan anggotanya.
Dapat kita mengerti dari sifat imanen dan kommunal itu,
bahwa tidak mungkin ada sikap prinsipil-tajam, tidak mungkin pula
pertentangan yang mutlak, sehingga senantiasa diusahakan mufakat
dalam masyarakat,
Norma-norma religius-sosial yang merupakan suatu sistim
yang bulat itu, berfungsi dalam bermacam-macam lembaga social
dari generasi di bawah pengawasan kepala-adat dengan kepastian
kodrat alam. Tiap-tiap anggota masyarakat tunduk kepada kehendak
golongannya menurut norma-norma yang tradisionil dalam milieu
yang homogin.
Dalam proses akulturasi dan proses individualisasi anggota
kelompok itu tertanggal dari ikatannya yang organis dan tercampak-
kan kepada diri sendiri.
Jika mulakala kelompok yang memutuskan segala sesuatu bagi
anggotanya menurut norma-norma yang tradisionil dalam lingkung-
an yang homogin, maka individu yang terlepas, sekarang ini
berhadapan dengan bermacam-macam norma yang heterogin dan
bertentangan. Dari kriminologi kita mengetahui betapa bahayanya
“conflict of norma” itu.
Dari sudut ilmu jiwa kita dapat mengikuti istilah Romein,
yang mempergunakan “geestelijke gespletenheid” dari pada orang
Indonesia, karena mendua di antara norma-norma timur dan barat –
norma-norma lamadan norma-norma baru.
Inti dari seluruh pemandangan kita bermaksud minta
perhatian terhadap manusia Indonesia, yang dalam proses akulturasi
tercampakkan kepada diri sendiri dalam milieu yang heterogeen,
berhadapan dengan norma-norma yang bertentangan. Seakan-akan
ada dua aku atau lebih yang bersarang dalam hatinya dan seolah-
olah berbelahlah jiwanya dengan tiada berketentuan haluannya.
Discontinuiteit dalam masa peralihan ini hanya dapat kita
tunjuk beberapa seginya dan nampak antara lain terletak pada ter-
kuaknya struktur masyarakat yang bulat, hancurnya rumah tangga
tertutup, tertanggalnya kelamin dan individu dari verwantengroep-
nya, devaluasi norma-norma social semula, tercampaknya individu

13
dalam suasana heterogin yang menjemukan dia dengan roh yang
berbelah terhadap “conflict of norms”.

TUGAS PTPG – KI
Apakah tugas PTPG-KI dalam masyarakat berlainan ini dan di
antara semua manusia Indonesia ini?
Seperti tiap-tiap perguruan tinggi tugasnya yang pertama
ialah: memelihara dan mengembangkan ilmu, mencari kebenaran
berdaulat, yang mentransendensikan manusia, bangsa dan negara.
Mencari dan menyelidiki kebenaran dalam segala jurusan
yang sekarang ada: jurusan ilmu pendidikan, ilmu sejarah, bahasa
inggris, hukum-negara, ekonomi dan yang terbayang dalam angan-
angan: bahasa indonesia dan pasti-alam, sebagai suatu nilai yang
tegak sendiri dalam kejujuran, kekhidmatan, kerendahan hati dan
kebenaran. Dalam waktu yang tidak terlampau lama kami berharap
mempersembahkan hasil-hasil penyelidikan itu kepada masyarakat.
Disamping studi dan penyelidikan para guru sendiri, tugas
kedua yang amat penting adalah mendidik para studen menjadi
pengabdi kebenaran menurut syarat-syarat yang kami taati.
Kami usahakan menggiatkan hasrat studi murid-murid kami,
membangkitkan budi yang kritis dengan kemauan membangun
ilmu.
Tugas yang ketiga yang biasanya disebut: mendidik pemim-
pin-pemimpin akademis.
Dengan tegas tugas ini kami rumuskan: mendidik guru
pengabdi masyarakat dan warganegara yang jujur.
Kita sudah cukup memimpin, tetapi kekurangan pengabdi
yang menyumbangkan dirinya secara diam-diam untuk kepentingan
dan kesejahteraan sesama kita.
Cita-cita kami adalah supaya dapat dikatakan tentang
PTPG-KI sebagai keseluruhan, bahwa ia dalam masyarakat Indonesia
yang mengalami pancaroba, adalah sebagai satu, yang mengabdi.
Tugas Keempat adalah melanjutkan kebudayaan (transmission
of culture). Sari usaha pengajaran dan pendidikan, dimana dan di

14
zaman manapun juga, adalah mewariskan kebudayaan. Tugas ini
dalam masa peralihan ini menjadi delikat, karena kita berada:
“Between two worlds – one dead the other not yet born”.
Terutama tugas guru dalam proses akulturasi yang menggelora
ini, menjadi delikat. Memang guru itu dari zaman ke zaman
perantara dan penimbang dalam pertemuan-pertemuan kebudayaan.
Hal itu dapat kita saksikan baik pada zaman Hindu, Islam,
Ned. Indie maupun pada zaman Kemerdekaan. Hanya saja, disalur-
kan melalui “Nederlandse Trechter” (yang oleh fihak Indonesia
kerapkali dianggap sebagai anti acculturatie-politic) pada zaman
kemerdekaan ini, dimana Indonesia menyelenggarakan kontak
internasional yang tak terbatas, proses akulturasi itu dibiarkan tak
terpimpin, sehingga pemuda dan warganegara Indonesia tiada yang
siap serta berdaya menghadapi pengaruh luaran itu.
Tugas catur rupa tersebut oleh PTPG-KI dilaksanakan di atas
dasar-dasar tertentu:

Dasar Souvereiniteit, yang berpangkal Pengakuan:


1. “Menyegani Tuhan adalah pangkal segala pengetahuan” (surat
Amsal Sulaiman 1:7)
Dasar ini berisi pengakuan bahwa Allah adalah Khallik seluruh
kosmos, Tuhan yang berdaulat (souverein), yang bertakhta di
atas batas yang mutlak di atas makhluknya. Batas yang itu
adalah nomos, wet.
2. Dasar kedua adalah: normativiteit. Dasar ini akibat dari dasar
pertama. Pengakuan, bahwa Tuhan itu berdaulat, berisi pula
pengakuan bahwa Tuhan adalah Pengundang-undang, yang
menitahkan normanya kepada sekalian makhluk dalam lapang-
an mana dan perhubungan mana pun juga.
Dengan dasar normativiteit ini kami mengakui ketundukan
akan norma-norma yang Theonom, transcenden dan universil,
di lapangan ilmu dan kebenaran, dalam pergaulan dan kesusila-
an
Dalam bermacam-macam bentuk “Vergesellschaftung” yang
dimasuki, manusia Indonesia acapkali menghadapi kepentingan-
kepentingan yang bertentangan, karena inersi yang ada padanya

15
sering ia hanya memilih menurut norma sosial immanent yang
satu atau menurut norma sosial immanent yang lain, tanpa
kriterium norma transcenden-universil.
Di sinilah letak kepentingan dasar normativiteit, bagi kami.
Dalam pengajaran dan pendidikan akan kami tunjukkan dan
hidupkan norma-norma transcenden-universil sebagai kriterium
bagi pemilihan dan pemutusan pribadi dalam milieu yang
heterogin beserta norma-norma yang bertentangan. Kami ber-
keyakinan bahwa proses akulturasi hanya dapat kita atasi dan
perkembangan kebudayaan Indonesia dapat kita langsungkan
dengan mendidik manusia dan guru Indonesia yang “norm-
bewust”. Keinsyafan norma, yang memungkinkan sikap yang
kritis dan selektif terhadap segala apa yang menjajakan diri se-
bagai kongres kebudayaan, yang mau merancangkan kemajuan
kebudayaan Indonesia. Jalannya kebudayaan tidaklah mungkin
dibendung menurut ketetapan suatu kongres. Kami belum begi-
tu defaitis, sehingga tiada menaruh kepercayaan akan planning
dan pengaturan masyarakat. Kami yakin akan harganya tata-
hukum dan tata-masyarakat dengan perantaraan organisasi.
Tetapi di samping itu kami percaya kepada kemungkinan
ketobatan manusia (de bekering van de mens), yang bersedia
mengatur hidupnya menurut norma transcenden-universil.
3. Dasar yang ketiga adalah: actualiteit.
Yang kami maksud ialah mencari kebenaran dan dalam melaku-
kan penyelidikan ilmiah kami tidak akan berjanjang naik ke
panggung-gading, untuk mendistansikan diri dari pada masya-
rakat.
Dalam semua jurusan kami usahakan dengan kesungguhan
untuk menyangkutkan pelajaran kami pada problematik
masyarakat aktuil, yang pada hakekatnya adalah problematik
nasional. Di sini dasar aktualiteit yang dibebankan kepada tiap-
tiap perguruan tinggi bertemu dengan pembangunan ilmu
nasional (oleh karena bahan nasional yang aktuillah yang di-
olah), walaupun ilmu itu pada hakekatnya bersifat internasional.

16
4. Dasar yang keempat adalah: sociabiliteit.
Yang kami maksud ialah bahwa pekerja ilmiah harus mempu-
nyai rasa tanggung-jawab terhadap masyarakat. Dalam proses
peralihan dan diskontinuiteit ini, guru yang berilmu tidak boleh
beridiri di pinggir sebagai “penonton”. Kita masing-masing
adalah “pemain” dalam suatu drama, sedangkan terhadap jalan
dan hasilnya kita masing-masing turut bertanggung-jawab.
Betapapun ruwet dan menggemparkan drama itu dan betapapun
sulit menentukan pendirian di dalamnya, semuanya itu dalam
situasi yang konkrit dapat disederhanakan dengan ketaatan
kepada titah Tuhan Yesus yang kedua: “Hendaklah engkau
mengasihi sesamamu manusia, seperti dirimu sendiri”.
Demikian tugas dan dasar PTPG-KI dalam masyarakat peralihan
sepanjang penglihatan kami secepat-lewat. Nyatalah bahwa
kami datang dengan program yang tertentu.

Syarat Kebebasan
Tinggalah kini menyatakan bahwa pelaksanaan program itu
memerlukan syarat yaitu kebebasan. Kami minta kebebasan, bukan
untuk kebebasan, melainkan untuk mendapat kesempatan menunai-
kan tugas kami.
Yang kami minta, bukan “gedulde vrijheid”, melainkan
kebebasan yang sama-hak untuk bersama-sama dengan perguruan
tinggi lainnya memberikan sumbangan kepada pembangunan
nasional, menurut iman dan konsiensi kami.
Rancangan pemerintah untuk memberikan autonomi kepada
perguruan tinggi akan mendapat dukungan sepenuhnya dari fihak
kami.
Terima kasih.

O. Notohamidjojo termasuk seorang yang ingin mengabdikan


diri untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Keinginannya dapat diwujudkan dengan mendirikan Perguru-
an Tinggi Pendidikan Guru Kristen Indonesia (PTPG-KI) pada awal
17 Oktober 1956 di Salatiga, dengan mendapat dukungan dari 9
Gereja pendukung yakni:

17
Gereja Kristen Djawi Wetan, Gereja Kristen Jawa Tengah,
Gereja Kristen Tata Injil Sekitar Muria, Gereja Kristen Indonesia
Jawa Tengah, Gereja Hervormeerd Indonesia, Gereja Kalimantan
Evangelie, Gereja Kristen Toraja, Gereja Kristen Pasundan, dan
Gereja Kristen Sumba. PTPG-KI berbentuk yayasan yang diasuh
oleh Dewan Pengurus, Dewan Kurator, dan Dewan Pengajar.
Dewan Pengurus dipimpin oleh Ds. S. Djojodihardjo dan
Dewan Kurator dipimpin oleh S. Poerbosoesanto yang bertanggung
jawab dalam bidang administrasi Perguruan Tinggi, sedang Dewan
Pengajar yang dipimpin oleh O. Notohamidjojo dipercayakan untuk
mertanggung jawab dalam kebijaksanaan Akademis keluar maupun
ke dalam.
Pada mulanya PTPG-KI terdiri dari lima jurusan yakni: ilmu
mendidik, sejarah budaya, bahasa Inggris, ekonomi dan hukum.
Kelima jurusan tersebut, diasuh oleh 23 tenaga pengajar
masing-masing terdiri dari seorang dari United States of America,
dua orang dari New Zealand, 8 orang dari Negeri Belanda dan 12
orang berkebangsaan Indonesia.
Selain itu terdapat pula 107 mahasiswa yang diseleksi dari 316
calon mahasiswa.
Jumlah mahasiswa tersebut di atas tidak hanya berasal dari
pulau Jawa sendiri, tetapi juga berasal dari seluruh penjuru Indonesia
seperti: Batak, Kalimantan, Toraja, Menado, Ambon, Maluku, Timor,
Sumba, Tionghoa WNI dan antar WNI.
Situasi seperti ini tetap berkembang hingga sekarang dan ini
menyebabkan kemudian Universitas Kristen Satya Wacana terkenal
sebagai “Mini Indonesia” (Indonesia kecil).
Minat O. Notohamidjojo untuk mendirikan satu Perguruan
Tinggi rupa-rupanya diilhami oleh apa yang pernah dikemukakan
oleh Prof. van der Leeuw:
Elke tijd heeft de Universiteit, die hij verdient, of die hij
verdragen kan.
(tiap masyarakat mempunyai Perguruan Tinggi yang layak
dipunyainya, atau yang dapat dibebaninya).

18
Ucapan van de Leeuw semakin berfungsi sebagai pendorong
baginya, apa bila dilihat dari keadaan masyarakat Indonesia sebagai
“masyarakat peralihan”, yang amat membutuhkan pengabdian
sebuah Perguruan Tinggi.

19
3. IMAN KRISTEN DAN KEBUDAYAAN
(Latar-Belakang Usaha Satu Tahun PTPG Kristen
Indonesia)

Para tamu yang mulia,


Dewan Pengurus,
Dewan Kurator dan
Dewan Pengajar yang mutabir,
Para mahasiswa, anak-anakku yang kekasih,

Dengan hati yang penuh rasa terima-kasih dan jantung yang


berdebar gembira saya ucapkan selamat datang kepada hadirin
sekalian pada Perayaan Dies Natalis I – PTPG-KI kita ini.
Pada penilaian kami usia satu tahun yang pertama adalah
masa yang tersulit dalam sejarah sesuatu perguruan tinggi.
Kenyataan itu akan lebih-lebih kita insyafi apabila kita mengingat
akan banyaknya ”kindersterfte” dalam lingkungan perguruan tinggi
di Indonesia. Maka sudah wajiblah kita pada saat ini menaikkan puji
“Ebenhaezer” “sampai di sini kita ditolong oleh Tuhan juga”.
Kemudian daripada itu perkenankanlah saya memaparkan
ikhtisar singkat tentang perkembangan satu tahun PTPG-KI kita.
Ijinkanlah kiranya perkembangan itu saya lukiskan di atas latar-
belakang, yang menjadi sumber inspirasi yaitu,
Fungsi perguruan tinggi dalam suatu masyarakat yang tertentu
dalam garis besarnya ada dua:
a. Perguruan tinggi itu tempat persemaian kebudayaan;
b. Perguruan tinggi itu tempat calon pemimpin


Diucapkan pada perayaan Dies Natalis I PTPGKI, 30 Nopermber 1957.

20
Kami akui bahwa ini daripada usaha perguruan tinggi adalah
pengembangan ilmu dengan penyelidikan, tetapi pada kenyataannya
pengembangan ilmu dan pendidikan pemimpin tiada mungkin
dipisahkan daripada pemeliharaan kebudayaan pada umumnya.

Apakah yang Kita Maksud dengan Kebudayaan?


Istilah kebudayaan di sini kita pergunakan sebagai terjemahan
adekwat daripada perkataan “Cultuur.”
Menurut Dr. Zoetmulder dalam bukunya: Cultuur, Oost en
West, perkataan cultuur perkataan Cultuur berasal dari “colo” yang
berarti “membalikkan tanah dengan bajak.” Substantif cultura mula-
mula bermakna “penanaman atau pemeliharaan tanah.” Cultuur
dapat dirumuskan dengan “pemeliharaan/pengembangan oleh
manusia yang berbudi (Rede) kemungkinan-kemungkinan dan
kekuatan-kekuatan alami yang ada pada manusia, sehingga merupa-
kan keseluruhan yang selaras. Dalam jalan fikiran ini maka secara
konkritnya dapat kita uraikan demikian: pengembangan kekuatan
fikiran, menumbuhkan pelbagai ilmu. Pemeliharaan rasa keindahan
menciptakan berjenis-jenis kesenian, pemeliharaan bakat efficiency
menciptakan teknik, rasa keadilan menumbukan hukum dan
sebagainya. Biasanya orang beranggapan, bahwa cultuur itu sesuatu
yang abstrak, yang hanya patut direnungkan oleh para sarjana yang
ngalamun. Tetapi pada hakekatnya tiada sesuatu hal yang demikian
konkrit dan hari-hari seperti cultuur. Ketentuan Dawson “Culture is
way of life” mungkin bisa membuka jalan kepada pengertian yang
sewajarnya. “Cultuur adalah cara hidup.” Cultuur adalah Umwelt
yang diciptakan oleh manusia. Marilah kita konkritkan cara hidup
dan Umwelt kita itu dan membayangkan sebentar apa yang terjadi
pagi tadi. Pagi tadi ketika kita bangun menyingkirkan selimut
(cultuur) yang menghangati badan dalam malam yang dingin, turun
dari tempat tidur (cultuur) sambil mengantuk-ngantuk meraba-raba
dengan kaki akan sandal (cultuur), mengambil anduk (cultuur) dan
sabun (cultuur) pergi tergegas-gegas ke kamarmandi (cultuur).
Kemudian bersisir (cultuur), berhias dan bersolek (cultuur), dan
sebagainya. Demikianlah manusia itu dari detik ke detik hidup
dalam cultuur.

21
Dalam pandangan Abraham Kuyper segi lahir cultuur itu ter-
letak di lapangan “Uitwendige werking van de Algemene Genade.”
Di samping itu mengenal “inwendige werking van de Algemene
Gratie”, yaitu bidang keagamaan dan kesusilaan (godsdienstig en
zedelijk terrein). Istilah kebudayaan tepat benar untuk menter-
jemahkan: cultuur. Perkataan kebudayaan berasal dari kata “budi”.
Kebudayaan adalah “segala usaha budi manusia dan segala sesuatu
yang diciptakan budi manusia”. Seperti cultuur, perkataan kebuda-
yaan, meliputi baik aksi (usaha) maupun resultat (hasil) daripada
usaha manusia.
Mungkin dengan uraian yang singkat ini agak jelas apa yang
kita maksud dengan kebudayaan. Cultuur memang “beheersen van
natuur”, termasuk juga “menselijke natuur”. Di samping itu perlu
dikemukakan bahwa cultuur mula-mula tiada terpisahkan dari
cultus, daripada kebaktian kepada Allah atau ilah.
Terutama J. Huizinga dalam “In de schaduwen van morgen”:
mengingatkan kita bahwa: “cultuur is geritchtheid”. Cultuur itu
bertujuan. Cultuur atau kebudayaan itu bukan wilayah yang netral
melainkan wilayah perjuangan. Kebudayaan itu dapat bertujuan
kepada Babylon, kota kebinasaan dari Wahyu 18 atau bertujuan ke
Yerusalem Baru. Artinya: Semua aksi dan hasil budi dan roh kita itu
pada akhirnya kita persembahkan kepada suatu ideal, kepada Allah
atau ilah yang tertentu.
Perguruan tinggi, tempat dimana dibina kebudayaan dan
dimana calon pemimpin yang berkebudayaan dididik pertama-tama
harus menginsyafi, bahwa kebudayaan bukan lapangan netral dan
harus menentukan sikapnya terhadap dan untuk mengembangkan
kebudayaan itu.

Sikap Iman Kristen terhadap Kebudayaan


Bagaimanakah pendirian iman Kristen terhadap Kebudayaan?
Richard Niebuhr dalam bukunya: “Christ and Culture”, menerang-
kan bahwa, dalam perjalanan sejarah ada kemungkinan lima
pendirian. Pendirian yang pertama diringkas, sebagai Christ against
Culture. Dalam pendirian ini iman Kristen menolak kebudayaan,
yang dianggapnya sebagai Keduniawian. Pendirian yang kedua:
Christ of Culture. Ini pendirian yang berlawanan benar dengan yang

22
pertama, di sini iman Kristen justru diduniawikan, disesuaikan
dengan kebudayaan. Dalam pendirian ini “One feels no great tension
between church and world, the social laws and the Gospel, the
workings of divine grace and human effort, the ethics of salvation
and the ethics of social conservation or progress”.
Pendirian yang ketiga: Christ above Culture. Dalam pendirian
ini iman Kristen ditempatkan diatas kebudayaan dan merendahkan
nilai kebudayaan. Pendirian yang keempat: Christ and Culture in
paradox. Menurut paham ini, orang Kristen, senantiasa menghadapi
dilema karena adanya dualisme daripada dunia Kristus dan dunia
Kaisar. Kepada keduanya orang Kristen wajib bersetia pada waktu
yang berlainan dan cara berlainan. Pendirian yang kelima: Christ
transforming culture. Menurut kepercayaan ini, maka Kristus ber-
kuasa, rela dan berkehendak membaharui manusia dan masyarakat
sesempurnanya. Berfikir concretiserend dan relativerend, maka kita
kini bertanya: Bagaimanakah pendirian PTPG-KI. kita terhadap
kebudayaan Indonesia? Sebelumnya menjawab pertanyaan ini,
perkenankan kiranya saya mengutip sitat yang agak panjang dari
bukunya yang terbaru Hendrik Kraemer: “ Religion and the Christian
faith”. Membicarakan pokok yang amat dicintainya, yaitu.
Synkretisme, seperti nampak dari “Wortelen van het Syncretisme”,
buku Tambaram “Christian massage in a non-Christian world”, ia
dalam Religion and the Christian faith” p. 410, mengetengahkan
dengan terus terang:

“There is much justification for saying that one of the


frustating features in the life of the “younger churches” is that
they are, in spite of all self-determination and independence
or autonomy, still to a great extent, in their structure and style
of expression, spiritual colonies of the West, copies of
something, but not grown-up. There even seem to be
“younger churches” that unfortunately feel quite confortable
in it, and look upon it already as cherished tradition. It should
be realized that this “nice” disposition makes them blind to
their real task and deaf to their real calling, to be salve and
light right here and now”.

23
Beberapa garis kemudian penulis sarjana melanjutkan:
“It means that the Church has to live, to witnees, to grow
there, in that specific world where God has placed it.
Adaption therefore does not signity compromise, or
“interesting experiment”, but as I made clear in my Tambaram
book, expression of the Christian faith in a style, which is, as
D.T. Niles has often remarked, not that of a potplant, but of a
seed sown in a specific soil”

Kata-kata peringatan, yang dilancarkan dengan jujur dan terus


terang itu kami terima dengan penuh terima-kasih, dengan maksud
untuk dilaksanakan.
PTPG-KI memang benih yang ditanam dibumi yang khusus,
bumi Indonesia, dan dipelihara dalam kebudayaan yang khusus,
kebudayaan Indonesia
Bagaimanakah pendirian PTPG-KI untuk mengulang perta-
nyaan, secara konkrit, terhadap kebudayaan Indonesia? Kami ingin
mengikuti paham “adaption”, yang bukan merupakan kompromi,
melainkan suatu tanaman dari pada iman Kristen dengan suatu gaya,
bukan dari tumbuhanpot, melainkan gaya daripada suatu benih yang
ditanam dalam bumi yang khusus. Atau dengan perumusan Richard
Niebuhr, kami bukan menghendakkan:
Christ against culture
Christ of culture
Christ above culture
Christ and culture in paradox,

melainkan: Christ transforming culture. Kami tidak akan menolak


kebudayaan Indonesia, tidak akan menjumbuhkan iman Kristen dan
kebudayaan Indonesia, tidak akan memandang hina kebudayaan
Indonesia, tidak akan mengikuti sikap dualisme terhadap Kebuda-
yaan Indonesia, melainkan kami akan menerima dan membaharui,
mentransformasikan kebudayaan Indonesia kita.
Iman Kristen percaya kepada panggilan berkebudayaan,
seperti dititahkan dalam Genesis 1:26, 28 untuk menguasai dan
melihara alam.

24
Iman Kristen mengandung norma-norma yang memungkin-
kan berlaku selektif terhadap kebudayaan kita.
Iman Kristen adalah akar baru, yang membuat zat baru dan
menghayati dengan gaya baru, unsur-unsur kebudayaan yang sudah
dipilihnya. Selanjutnya iman Kristen menunjukan kebudayaan yang
dibaharui itu kearah yang tertentu, yaitu ke Yerusalem Baru, mana
seperti dikalimatkan dalam Wahyu 21, “Bangsa-bangsa akan mem-
bawa kemuliaan dan kehormatan kebudayaannya masing-masing”.
“Iman Kristen, yang membaharui dan menghayati kebudaya-
an Indonesia” itulah pedoman dan sumber inspirasi dalam usaha
kami di PTPG-KI. kita.
Dalam mata-pelajaran dasar: agama, filsafat, etika, diperkenal-
kan norma-norma yang memungkinkan bersikap selektif dan kreatif
terhadap kebudayaan kita. Dalam mata-pelajaran Anthropologi
kebudayaan dan sosiologi diperkenalkan masyarakat dan perubahan
masyarakat, yang menjadi pendukung kebudayaan. Sedangkan mata-
pelajaran kejuruan yang berlainan dalam tiap-tiap jurusan, kami
coba memberikannya dari situasi hic et nunc, ditinjau dari sudut
eriteris yang tertentu. Untuk memberikan satu contoh: Hukum bagi
kami bukanlah semata-mata kebiasaan atau adat. Hukum bagi kami
adalah sistem norma. Suatu sistem norma yang melindungi:
1) die Institutionen, yaitu lembaga-lembagadalam masyarakat se-
perti: hak-milik, tukar-menukar perkawinan negara;
2) die Menschenrechte, yaitu hak-hak asasi manusia: kebebasan
keagamaan, pengajaran, mempunyai dan mengeluarkan panda-
pat, perlindungan diri dan sebagainya;
3) dengan melaksanakan sejauh-jauhnya die Garechtigkeit, yaitu
keadilan, yang sesuai dengan kehendak Tuhan.

Dalam mata-pelajaran keguruan, kami coba meninjau per-


soalan pengajaran dan pendidikan di Indonesia dari kriteria yang
tertentu.
Dengan bermacam-macam usaha kami coba mempertinggi
teanspirit diantara para mahasiswa dan mempererat perhubungan
mahasiswa dengan dosen. Dengan memperhatikan sport dan musik

25
kami usahakan jangan sampai pendidikan terlalu menyebelah, dan
mengharapkan perkembangan kepribadian yang selaras.
Menurut rancangan yang tertentu kami ingin memberikan
sumbangan kepada masyarakat dan kebudayaan Indonesia.
Yang kami perlukan menurut paham kami adalah:
a) kebebasan untuk melaksanakan rancangan kami,
b) menolak suatu politik kebudayaan yang bersifat paksa,
c) bantuan dari fihak penguasa kepada tiap-tiap usaha yang
membangun (konstruktif) dalam masyarakat dan ke-
budayaan.

CATATAN
Menjelang tahun kedua PTPG-KI. menunjukkan adanya
perkembangan fisik sebagai berikut: bertambahnya empat tenaga
pengajar, seorang Inggris, seorang Pilipina, dan dua orang Indonesia,
di samping adanya kepergian dua orang penting yang berjasa bagi
peletakan dasar PTPG-KI. Satya Wacana. Kedua orang tersebut
adalah Dr. John D. Hayes yang meninggal dunia pada 4 Maret 1957,
dan Tuan Joc van der Waals yang kembali ke Nederland.
Menjelang akhir tahun kuliah 1956-1957 terbentuklah
organisasi massa mahasiswa (extra-kurikuler) seperti GMNI. dan
GMKI dan Senat Mahasiswa (intra-kurikuler) pada 16 Maret 1957.
Segi positif dari perkembangan fisik di atas dihadapkan pula
dengan kesulitan-kesulitan phisik lainnya i soal aula kuliah dan
asrama yang dibutuhkan untuk penampungan mahasiswa.
Di balik perkembangan fisik serta kesulitan-kesulitan di atas,
dalam pidato ilmiah seperti tersaji di bawah ini, O. Notohamidjojo
mengemukakan suatu tanggung jawab yang lebih besar dari PTPG-
KI yakni: menciptakan satu “Educational Policy” yang sesuai dengan
Iman Kristen tanpa melepaskan diri dari Kebudayaan Indonesia.

26
4. PIMPINAN DAN PEMBINAAN
PEMIMPIN
Suatu Pedoman Dalam Pendidikan Di PTPG-KI

Para Tamu yang mutabir,


Dewan Pengurus,
Dewan Kurator dan
Dewan Pengajar yang terhormat,
Para mahasiswa yang kekasih,
Hadirin yang mulia.

Pertama-tama saya ucapkan selamat datang dan terima kasih


kepada para tamu sekalian. Kehadiran saudara-saudara yang kami
hargai setinggi-tingginya, menandakan minat saudara-saudara terha-
dap usaha kami dan merupakan perwujudan komunikasi masyarakat
dengan Perguruan Tinggi kami.
Ketika pada tanggal 30 Nopember 1957, kami menyebut pera-
yaan ulang-tahun sebagai Dies Natalis pertama, maka penyebutan itu
sebenarnya prematur dan memang penyebutan itu kami lakukan
atas dasar keyakinan iman.
Perayaan ulang-tahun pada tahun yang lalu baru secara hak
dapat disebut Dies Natalis pertama, apabila sudah ada Dies Natalis
kedua.
Syukurlah Tuhan telah memperkenankan kami mencapai saat
itu pada waktu sekarang ini. Ia telah melimpahkan berkatNya,
sehingga kita bersama-sama dengan Rasul Paul dalam I Tesalonika 5:
16-18, dapat bersaksi:


Diucapkan pada Dies Natalis II, Desember 1958.

27
“Hendaklah kita bersuka-cita senantiasa, dan berdoa dengan
tiada berkeputusan, dan mengucapkan syukur di dalam segala
sesuatu”.
Izinkanlah kiranya saya sekarang melukiskan perkembangan
Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Kristen Indonesia kita di
atas uraian tentang:

”PIMPINAN DAN PEMBINAAN PEMIMPIN”

Hadirin yang mulia,


Pada upacara pembukaan tanggal 30 Nopember 1956 telah
diuraikan, bahwa tugas Perguruan Tinggi kita ada empat:
1. Menjadi pusat penyelidikan ilmu,
2. Mendidik para mahasiswa menjadi pengabdi kebenaran,
3. Membina pemimpin,
4. Mewariskan kebudayaan (transmission of culture).

Pada Dies Natalis pertama telah kita bentangkan, betapa


paham iman Kristen terhadap kebudayaan Indonesia dan betapa
kami mencoba melaksanakan pewarisan kebudayaan Indonesia itu.
Perkenankanlah saya sekarang memaparkan bagaimana
paham kami mengenai “Pimpinan dan Pembinaan Pemimpin”.
Di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang mengalami
transkulturasi dan transisi dalam semua pola hidupnya serta norma-
normanya, pokok yang menjadi tugas kami di sini, adalah pokok
yang lebih pelik dan aktuil.

I. Apakah sebenarnya Pimpinan atau Leadership?


Menurut Enciclopaedia Britannica, leadership dapat didefini-
sikan sebagai penggunaan pengaruh terhadap pihak lain untuk
pelaksanaan maksud dan tujuan daripada yang mempergunakan
pengaruh itu. Definisi seluas ini meliputi baik pimpinan autokratis
maupun demokratis, baik pimpinan intelektuil dan ilmiah, maupun
pimpinan keagamaan, militer, artistik, dan mencakup pula perhu-
bungan langsung muka lawan muka antara pemimpin dan yang
dipimpin dalam perkara-perkara yang khusus.

28
Menurut Enciclopaedia of the Social Sciences pengertian
pimpinan ini hendaknya dibedakan daripada keperbawaan atau
authority yang menyandarkan kekuasaannya terhadap pihak atau
golongan yang diperintahnya pada kekuatan adat, atau hukum.
Hendaknya pimpinan atau leadership jangan-jangan sampai
dijumbuhkan pula dengan demagogi, yaitu kesanggupan untuk
merangsang instink dan membakar emosi daripada massa.
Pimpinan yang kami maksud adalah perhubungan antara
pemimpin dan golongan penganutnya yang berdasarkan pemilihan
yang bebas, bukan berdasarkan paksaan, bukan pula karena
dorongan daripada instink yang buta melainkan karena keutuhan
kepribadian yang diterangi oleh akal.
Pada umumnya yang kami maksud dengan leadership adalah
perhubungan, yang beralaskan pertimbangan yang sadar antara
penganut terhadap kepribadian pemimpin, dan sebaliknya antara
pemimpin terhadap kepribadian penganut.

Ruas kedua ini, menurut kami, amat penting artinya.


Seorang pemimpin wajib menginsyafi sedalam-dalamnya dan
wajib mengakui nilai khusus daripada manusia-dalam-masyarakat.
Baik Jacques Ellul dalam “die theologische Begrundung des
Rechtes”, yang menyatakan bahwa pengertian hukum harus meli-
puti tiga unsur:
1. die Institution,
2. die Menschenrechte,
3. die Gerechtigeit

Maupun Dicey dalam “Law of the constitution” yang


menyebut tiga arti dari pada rule of Law yakni:
1. the absolute supremacy of regular law,
2. equality before the law,
3. the rights of individuals,

Lengkapnya:
the “rule of law” lastly, may be used as a formula for
expressing the fact that with us the law of the constitution are not

29
the source but the consequence of the rights of individuals . Ingin
menjalin nilai khusus atau subyect daripada manusia, juga terhadap
pemimpin.
Sebab itu betapa pun juga bentuk demokrasi terpimpin nanti,
secara materiil kita mengharapkan penjaminan “die Institutionen”
dan “die Menschenrechte” yang dilaksanakan menurut
“gerechtigkeit”. Penjaminan nilai khusus, daripada kepribadian dan
hak-hakmanusia Indonesia adalah principiel bagi kami. Kami
menentang faham yang menganggap manusia adalah obyek.
Sekali lagi: soal pokok dalam masalah pimpinan adalah
maksud dan tujuan daripada pemimpin dan bagaimana sikap
pemimpin itu terhadap penganutnya seorang demi seorang untuk
melaksanakan maksud dan tujuan itu.
Kebesaran seorang pemimpin tergantung pada keutamaan
maksud dan tujuannya dan kesanggupan untuk mewujudkannya.
Pemimpin yang sungguh agung, menurut faham kami, adalah
pemimpin yang dapat memperkaya kepribadian penganut-penganut-
nya.

II. Sifat-sifat Seorang Pemimpin


1. Kasih
Perhubungan antar-manusia itu harus dikuasai oleh hukum
kasih, seperti difirmankan dalam Matius 22:39: “Hendaklah engkau
mengasihi sesama manusia seperti dirimu sendiri”. Demikian pula
hukum dasar dalam relasi antara pimpinan dan yang dipimpin
adalah Kasih. Hukum Kasih ini yang menjamin perlakuan yang di-
pimpin sebagai subyek (seperti diri sendiri) dan bukan sebagai
obyek.

2. Pengabdi
Sifat kedua dari-pada seorang pemimpin adalah sifat pengabdi.
“Barang siapa di antara kamu yang hendak menduduki tempat yang
pertama (artinya: hendak menjadi pemimpin) ia patut menjadi
hamba atau abdi kepada sekalian” (Markus. 10:44).

30
3. Message
Di samping kedua sifat pokok tersebut, I. W. Moomaw dalam
bukunya “Deep furrows” dalam fasal “Qualities of real leadership”,
menyebutkan suatu deretan sifat-sifat, di antaranya kami pilih:
Pemimpin yang sesungguhnya harus mempunyai “a sense of
mission” dan harus mempunyai “message”. Lebih-lebih dalam masa
dan keadaan golongan yang dipimpin dihinggapi rasa kekhawatiran,
diombang-ambingkan oleh keragu-raguan, disitu pemimpin harus
melihat dengan jernih apakah rancangan, apakah ide, apakah
messagenya dan ia harus sanggup menguraikan “wartanya” dengan
sederhana serta mudah difahami.

4. Vision dan insight


Pemimpin harus mempunyai vision and insight, Ia harus bisa
melihat lebih jauh ke depan dari lain-laindan harus bisa membeda-
bedakan lebih terang daripada golongan yang dipimpinnya.

5. Strong convictions and self-confidence


Pemimpin yang kerapkali berhadapan dan berlawanan
dengan kenyataan yang harus diubahnya dan bersemuka dengan
orang-orang yang harus diputar pandangan dan haluannya, harus
mempunyai strong convictions, keyakinan yang tak gentar, dan self-
confidence, kepercayaan kepada diri sendiri

6. Persistence, patience, and enthusiasm


Pemimpin harus tahan uji, sabar dan mempunyai semangat
yang tak kunjung padam. Ia harus mempunyai keteguhan jiwa dan
kesetiaan untuk mewujudkan apa yang menjadi panggilan dan
suruhannya. Di Indonesia pada masa sekarang, hampir disemua
lapangan hidup, bertaburanlah rancangan-rancangan yang hebat dan
mengagumkan, tapi yang kandas di jalan karena kekurangan ke-
teguhan jiwa dan kesabaran untuk menyelesaikannya.

7. Willingness to work hard.


Orang lain, penganut bisa malas, tetapi seorang pemimpin
tidak boleh malas. Ia harus bekerja keras dan harus mempunyai
kecakapan menggiatkan orang lain untuk bekerja.

31
8. Keinsyafan akan kewajiban dan disiplin pada diri sendiri.
Pemimpin harus bisa menguasai dan membatasi diri sendiri, ia harus
bisa tunduk kepada peraturan. Baginya berlaku, bahwa dalam
disiplin dan pembatasan diri sendiri nampaklah keulungannya.
Disiplin pada diri sendiri harus dibarengi oleh keinsyafan akan
kewajiban.
Perintah Nelson pada tahun. 1805 di Trafalgar bukan ber-
bunyi:
“England expects every man will be a hero”, melainkan
“England expects every man will do his duty”.

Hendaknya itu sudah cukup: melakukan kewajiban dengan disiplin


terhadap diri sendiri.
Demikianlah astadarma, tugas delapan daripada pemimpin
sejati.

III. Fungsi Pemimpin


Sepanjang pengetahuan saya belum ada perumusan fungsi
pemimpin yang demikian singkat, tepatnya bagi Indonesia seperti
yang dianjurkan oleh Dr. Ki Hajar Dewantara bagi Taman Siswa.
“Tut wuri andayani”
“Mengikuti dan mempengaruhi”
“Follow and guide”

Pemimpin hendaknya mengikuti orang-orangyang dipimpin,


sebagai subyek yang penuh dan mengembangkan tanggung jawab-
nya.
Di samping itu seorang pemimpin harus “andayani”, mem-
berikan pengaruh dan bimbingan kepada yang dipimpinnya untuk
melihat maksud dan tujuan yang dituntutnya, harus membesarkan
hati dan menilai kemajuan penganutnya, serta tiap-tiap kali
memberikan tanggung-jawab baru untuk mewujudkan taraf dan
tujuan yang lebih tinggi.

32
IV. Jenis Pimpinan
Pembagian pimpinan dalam beberapa jenis tergantung
daripada kriterium yang dipergunakan. Baik juga dikemukakan,
bahwa tiap-tiap pembagian hanya mempunyai arti yang nisbi,
karena kenyataan pimpinan dan pemimpin adalah demikian pelik
dan muskilnya, sehingga tidak mungkin memasukkannya dalam
kotak-kotak yang tertentu.

a. Pembagian Max Weber


Dipandang dari legitimasi dari pada pimpinan, maka Max
Weber membaginya dalam tiga jenis:
1) pimpinan charismatis
2) tradisionil
3) rasionil
1.1. Legitimasi dari pada pimpinan yang bersifat kharismatis
berdasarkan pengakuan terhadap kesaktian dan kepahlawan-
an seorang pemimpin. Penganut-penganutnya yakin akan
charisma atau anugerah istimewa yang dilimpahkan kepada-
nya dan yang dimiliki oleh pemimpin yang diikutinya.
1.2. Legitimasi dari pada pimpinan yang bersifat tradisionil ber-
dasarkan pada kepercayaan dan adat, yang sejak dahulu ber-
kuasa secara turun-temurun. Raja-raja pada zaman kuno, di
Mesir, Tiongkok, di Indonesia itu menjabat pimpinan yang
tradisionil. Biasanya pimpinan tradisionil ini dijalani unsur
kharismatis.
1.3. Legitimasi pimpinan yang bersifat rasionil itu kita jumpai,
apabila pengakuan terhadap pimpinan itu berdasarkan pera-
turan-peraturan yang ditetapkan dan pemimpin itu ditunjuk
menurut ketentuan-ketentuan peraturan-peraturan tersebut.
Hendaknya kita memperhatikan peringatan Max Weber,
bahwa ketiga jenis pimpinan itu adalah “Idealtypen”, yang dalam
kenyataan tidak kita temui dalam bentuk yang murni, melainkan
senantiasa bercampuran. Lain dari pada itu pembagian Max Weber
ini, terutama mengingat pimpinan puncak dilapangan politik atau
kenegaraan.

33
b. Pembagian Richard Schmidt
Di samping pembagian Max Weber ini Richard Schmidt
dalam Encyclopaedia of the Social sciences membedakan dua type
pimpinan:
1. yang satu : representative atau symbolic leadership
2. yang lain : dynamic atau creative leadership

1.1. Representative leadership yaitu pimpinan yang memuaskan


harapan golongannya dengan melakukan perbuatan untuk
golongan sesuai dengan nilai-nilai dan haluan kemajuan
golongan itu.
1.2. Creative leadership yaitu pimpinan yang menjadi gaya pen-
dorong untuk nilai-nilaiatau program baru, yang mengubah
faham dan haluan golongan penganut.
Dalam kenyataan, pembagian Max Weber mestinya kerapkali
dipertepat serta dilengkapi oleh pembedaan Richard Schmidt. Kita
misalnya menjumpai: pimpinan yang rasionil kharismatis dan kreatif
dari pada Bung Karno. (Rasionil karena ditunjuk menurut peraturan-
peraturanyang tertentu, kharismatis, karena oleh banyak orang di
Indonesia dianggap bahwa Bung Karno dikaruniai anugerah pimpin-
an yang istimewa, dan kreatif, karena beliau membawa nilai-nilai
dan haluan baru) dan seterusnya.

c. Kriterium terhadap Pemimpin


Seperti telah kami kemukakan kriterium penilaian pemimpin
yang kami pergunakan adalah: pengakuan nilai khusus atau subyek
dari pada yang dipimpin.
Pemimpin yang baik yaitu pemimpin yang memperkaya
kepribadian yang dipimpin.
Pemimpin yang buruk adalah pemimpin yang memperalat
yang dipimpin untuk kepentingan diri sendiri.
Kami mengetahui bahwa dalam kenyataan tidak mudah di-
bedakan dengan tegas, karena dalam kenyataan egoisme atau
altruisme itu bercampur baur tak terpisahkan.

34
V. Pembinaan Pemimpin
1. Pemimpin karena pembinaan atau kelahiran
Pertanyaan yang penting dalam pemandangan terhadap
pimpinan dan pemimpin adalah soal, apakah pemimpin itu karena
kelahiran atau pembinaan?
Soal ini menurut faham kami adalah pengkhususan perta-
nyaan: apakah pendidikan atau pembinaan pada umumnya ada
gunanya atau tidak.
Kami yakin, bahwa pendidikan itu bukan mahakuasa,
sehingga bisa mengubah seorang bodoh menjadi cerdas-pandai, atau
seseorang yang lemah wataknya menjadi pemimpin yang tegas dan
agung. Tetapi kami yakin pula akan kebenaran teori konvergensi,
yang mengatakan bahwa perkembangan seseorang itu karena bakat
dan pengaruh luaran, termasuk pendidikan, dalam interactionnya
Keyakinan tentang kemungkinan berhasilnya pembinaan dan
pendidikan adalah keyakinan yang ada pada tiap-tiap orang tua,
guru, guru besar dan siapa pun yang melakukan tugas mendidik dan
pimpinan.

2. Bagaimana kami melakukan pembinaan calon pemimpin di


PTPG-KI kita?
Sebelumnya kami ingin mengemukakan bahwa kecuali kami
percaya akan kenisbian dari pada pembagian pimpinan, kami
percaya juga akan kenisbian gradasi antara pemimpin. Bukanlah
demikian kenyataan di dunia ini, bahwa umat manusia itu dapat
dibagi dalam dua golongan yang tegas: golongan pemimpin murni
pada satu pihak dan golongan penganut murni pada pihak lain. Maka
biasanya orang itu pada waktunya dan dalam lingkungannya pemim-
pin, sedangkan pada saat lain dan dalam lingkungan lain menjadi
penganut.
Dalam kenisbian-kenisbian itulah hendaknya kita melihat
pekerjaan kami di PTPG-KI apabila kita bicara tentang pembinaan
pemimpin: Orang itu pemimpin pada waktunya dan penganut pada
waktu lain.

35
Setelah itu semuanya, dapat kita kemukakan bahwa seluruh
usaha kami di PTPG kita, dalam berjenis-jenis seginya, adalah
mempersiapkan calon pemimpin:
a) Dengan matakuliah dasar: pelajaran agama, etika dan filsafat,
kami mencoba menunjukkan dan
1) Mengalamkan hukum kasih dalam hubungan antar-manusia
2) Dan menginsyafi bahwa pemimpin sejati adalah pengabdi
kepada sesamanya,
b) Dengan matakuliah dasar itu pun kami mencoba menginsyafkan
para mahasiswa akan message dan norma-norma baru untuk
menilai dan untuk menjadi pedoman dalam menghadapi dan
mengatasi persoalan dalam masyarakat yang akan dimasukinya.
c) Selanjutnya dengan penyelenggaraan pelajaran yang luas dan
komprehensif dan dengan cara memandang pelajaran secara
prinsipiil kami mencoba memberikan vision dan insight kepada
para mahasiswa.
d) Dengan mempertahankan taraf pelajaran yang setinggi-tinggi-
nya, dalam kenyataan Indonesia yang bergumul dengan keku-
rangan buku pelajaran dan pengajar-ahli, maka para mahasiswa
kami paksa untuk membiasakan diri bekerja keras, membatasi
diri (self-dicipline), tahan uji dan sabar dalam usaha mencapai
tujuan.
e) Dengan memberi petunjuk tentang kebiasaan studi yang
berdaya guna, maka kami mencoba melatih para mahasiswa
untuk menguasai bahannya secara cepat, sebab pemimpin yang
baik harus dengan lekas dapat memperoleh orientasi dalam
bahan/keadaan yang dihadapinya.
f) Dengan research dan pelajaran yang praktis, kami berusaha
untuk mengenalkan mahasiswa dengan masyarakat, persoalan
dan penderitaan dalam masyarakat. Sebab pemimpin harus
bukan hanya idealis melainkan juga realis.
g) Di luar suasana kuliah dan ujian para mahasiswa diberi kesem-
patan untuk memimpin dalam senat dengan seksi-seksinya;
penyelenggaraan Dies Natalis II ini adalah pekerjaan senat baru;
dalam organisasi-organisasi mahasiswa; GMKI dan GMNI.

36
Amat kami sayangkan, bahwa karena jumlah pengajar full
time hanya 9 saja, dan hanya 10 dosen yang diam di Salatiga, dan
belum adanya asrama kampus yang kami perlukan, maka kami
belum bisa menciptakan college community yang seharusnya.
Pergaulan pengajar dan pelajar itu sebenarnya yang mempunyai
pengaruh pendidikan yang sebesar-besarnya.
Dalam rangka kemungkinan pada masa sekarang kami
berusaha membina dan memupuk bakat yang ada. Apakah para
tamatan PT kita akan sungguh-sungguh menjadi pemimpin, tergan-
tung pula dari bakat masing-masing dan kesempatan yang diperoleh-
nya nanti.
Dari sejarah dan sosiologi kita mengetahui bahwa apabila
kebutuhan akan perubahan yang besar bertemu dengan seorang ber-
bakat yang terpanggil untuk memenuhinya, maka di situ tumbuhlah
seorang pemimpin.
Betapa besarnya kebutuhan akan perubahan, tapi kalau tiada
bisa menyangkut pada seseorang yang berbakat, maka tiada akan
muncullah seorang pemimpin.
Sebaliknya betapa agung pun bakat seseorang, tapi apabila ia
tiada menjumpai kesempatan untuk mengembangkannya, tidak
terhasilkan pula seorang pemimpin yang besar.
Dikatakan secara abstrak dan umum: antara pemimpin dan
kenyataan sekelilingnya ada interaction, tetapi pertemuan dua pihak
sehingga menimbulkan interaction bukan terletak di tangan
manusia.
Walaupun luas dan beraneka ragam segi pekerjaan kami
dalam lapangan persiapan pemimpin, tetapi tugas itu adalah tugas
yang minta kerendahan hati.
Kami hanyalah laksana penyiram bunga; layu atau berbuah-
nya bunga itu bukan terletak di tangan kami.
Tetapi kami tetap yakin, bahwa dengan studi dan bimbingan,
para tamatan kita akan dapat memberi pimpinan yang lebih baik
kepada lingkungannya. Kami berharap dan berdoa supaya nanti di
antara pemuda-pemuda/pemudi-pemudiyang kami sumbangkan ke-
pada masyarakat Indonesia ada beberapa juga bukan hanya

37
menunjukkan representative leadership melainkan juga creative
leadership, yang dengan kasih mengabdikan diri kepada sesamanya.
Uraian ini bukanlah terlepas dari pada pidato peringatan,
bahkan merupakan inti daripadanya tentang sebagian dari
“educational policy” yang kami tuntut.

Catatan:
Tahun 1958-1959 PTPG-KI memasuki tahun kuliah dengan
kepergian beberapa Guru Besar. Mereka adalah: Prof. Dr. Mr. de
Heer, kembali ke Universitas Gajah Mada, setelah memberi kuliah
Ekonomi dan Ds. Matthysen yang kembali ke tanah airnya setelah
memberi mata kuliah Agama. Di pihak lain, Satya Wacana menga-
lami beberapa kemajuan akademis, baik untuk kepentingan keluar
maupun dalam Satya Wacana sendiri.
Untuk kepentingan keluar tercatat:
1. Terjalinnya hubungan dengan Kementrian P & K khususnya
Koordinasi Perguruan Tinggi.
2. Dengan Akademi Theologia di Yogyakarta, PTPG. Sanata
Dharma dan Universitas-universitas Negeri.
3. Perjalanan Dekan ke New Zealand dan Australia yang mem-
perkenalkan Satya Wacana kepada NCC dan seluruh gereja-
gerejanya dan juga kepada Australian Council of the World, C
of C yang berpusat di Melbourne dan Sydney.
4. Menghadiri konferensi antar Universitas Kristen Asia Timur
dan Tenggara di Silliman University, Dumaquete di Philipina,
International Christian University di Tokio, yang menghasilkan
kemungkinan para lulusan PTPG-KI untuk melanjutkan studi
ke sana.

Sedang perkembangan ke dalam nampak dari:


1. Bangunan gedung kuliah oleh Dewan Pengurus / Kurator.
2. Dalam lapangan pengajaran, dengan melakukan research pere-
konomian di Dagan, Solo, September 1958.
3. Perjalanan ilmiah ke Borobudur.

38
4. Menyiapkan persiapan-persiapan untuk memperalihkan bentuk
PTPG. ke Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan sebagai
bagian dari Universitas Kristen sebagai suatu perguruan tinggi.

Dalam pidato ilmiah pada Dies Natalis ke II, yang berjudul:


Pimpinan dan Pembinaan Pemimpin, O. Notohamidjojo mengemu-
kakan satu hal penting sehubungan dengan perkembangan-perkem-
bangan di atas, yakni: hendaknya pemerintah menjamin perlakuan
yang sama antara universitas/perguruan tinggi negeri, dan universi-
tas/perguruan tinggi partikelir yang memenuhi syarat.

39
5. PENGAKUAN FKIP SWASTA

Hadirin yang arif -budiman,


Perkenankan kiranya untuk mendekati persoalan
“Pengakuan FKIP. Swasta”
dari sudut prinsipiil/asasi.

I. Pendekatan dari Sudut Prinsipil


a) FKIP Swasta adalah Fakultas, Tempat Penyelidikan Ilmiah
FKIP swasta bermaksud dan berusaha sebagai Fakultas. Istilah
fakultas (menurut J. Huizinga dalam “Verzameldewerken VIII, pag.
6 dls.) mula-mulaberarti kesanggupan (geschiktheid) atau kecakapan
(bekwaamheid). Kemudian bermakna: pengajaran dala suatu kesang-
gupan atau kecakapan. Lalu berarti “leervak” atau “suatu kelompok
matakuliah (groep van studien)”, dan akhirnya “suatu persekutuan
pengajar dan pelajar, yang pada suatu universitas mewakili kelom-
pok matakuliah-mata kuliah tersebut”.
FKIP swasta bermaksud dan berusaha menjadi persekutuan
dosen dan studen, yang mewakili “groep van studien”, dengan
perkataan lain ingin dan bekerja sebagai persekutuan ilmiah.
Sebagai persekutuan ilmiah FKIP swasta menunaikan tugas-
nya berdasarkan keyakinan, bahwa akal yaitu alat perlengkapan
manusia untuk melakukan penyelidikan dan pengajaran ilmiah, itu
bukan autonoom.
Hendaknya kita membayangkan sejenak pelbagai ragam ilmu
pengetahuan. Kita mengenal ilmu pasti, ilmu alam, ilmu hayat,
ekonomi, sosiologi, ilmu hukum, dan sebagainya.


Diucapkan pada musyawarah F.K.I.P. Swasta tanggal 19, 20 Juni 1959 di
Salatiga.

40
Dapat dikatakan, bahwa tiap-tiap ilmu tersebut menyelidiki
satu segi, lingkungan, aspek yang tertentu daripada kenyataan. Ilmu-
ilmuyang kita sebut merupakan ilmu-vak (vakwetenschap). Seorang
ahli ilmu-vak itu memusatkan pikiran dan penyelidikannya pada
satu segi yang tertentu daripada kenyataan dengan mengesamping-
kan semua segi lain daripada kenyataan dari perhatian akalnya.
Hendaknya kita mengambil suatu contoh yang konkrit: pohon
jati. Seorang ekonom akan menunjukkan semua perhatiannya
kepada segi atau aspek ekonomi daripada pohon jati itu. Ia tidak
menghiraukan susunan molekul, tidak memperhatikan pula peranan
pohon jati dan sejarah kesenian Indonesia. Yang diperhatikan
hanyalah harga dan nilai pohon itu, produksi, industri, penjualan
dan sebagainya. Seorang ahli ilmu hayat sebaliknya tidak menye-
lidiki harga pohon dan kayunya, melainkan hanya mementingkan
aspek hayat, (hidup), pertumbuhan dan kembang-biaknya etc.
Nampaklah kiranya bahwa ilmu-vak itu membina pengetahu-
an yang berwates, karena hanya memperhatikan segi atau aspek
yang tertentu daripada kenyataan.
Sebab itu terbitlah sekarang pertanyaan: apakah ilmu-vak itu
autonom, atau apakah ahli ilmu-vak itu dapat terhindar dari segala
prasangka (voor-oordeel, bukan voor-oordel). Menurut faham kami:
tidak mungkin. Tiap-tiap ilmu vak itu dalam usahanya menghadapi
soal-soal yang tidak mungkin diselesaikan dengan memakai penge-
tahuan dari vaknya sendiri. Tiap ilmu-vak menjumpai soal-soal
dasar/pokok, yang melangkahi batas-batas kompetensi ilmu-vak
yang bersangkutan. Misalnya: soal mengenai batas-batas lapangan
dari-pada ilmu-vak; dimanakah letak batas aspek (segi) yang menjadi
lapangan penyelidikan ilmu-vak tertentu dalam keseluruhan ke-
nyataan/kosmos?

Contoh lain:
Apakah hukum kausalitas alami itu hanya berlaku untuk ilmu
alam/kimia saja, ataukah berlaku juga bagi aspek hayat, psychis,
historis, sosial, ekonomis, juridis dan sebagainya.
Untuk menjawab soal-soalpokok/dasar itu ilmu-vak memerlu-
kan bantuan daripada instansi lain, yang memperhatikan struktur

41
atau susunan daripada kosmos, yang melihat kosmos dalam aspek-
aspeknya.
Instansi yang demikian itu memang ada, yaitu ilmu filsafat.
Ilmu filsafatlah yang mencoba menjawab pertanyaan mengenai
hakikat seluruh kenyataan dalam struktur/bouwplan-nya. Bukan
hanya struktur kenyataan saja yang diselidiki oleh ilmu filsafat,
melainkan juga misalnya: susunan pengetahuan. Jawab yang diper-
oleh dari ilmu filsafat itu memperngaruhi secara diinsafi atau tidak
diinsafi usaha daripada ahli-ahli ilmuvak. Pertanyaan yang berikut
dalam rangkaian fikiran ini ialah:
Ilmu-filsafat sendiri, apakah itu otonom, dalam arti: apakah
ilmu filsafat itu dapat diusahakan dengan mempergunakan akal
(ratio) manusia saja. Pertanyaan ini amat pelik dan pentingnya.
Seumpama ilmu filsafat itu ilmu yang autonom, yang bersifat akal
murni, maka boleh kita simpulkan, bahwa pada akhirnya: ilmu
pengetahuan (sebab ilmu filsafat pun adalah ilmu pengetahuan) itu
memang autonom.
Betapa sukarnya untuk menjawab pertanyaan: apakah ilmu
filsafat itu autonom atau tidak, nampaklah dari pelbagai ragam jawab
dari para kaum filsuf sendiri. Aliran rasionalisme jawabnya berlainan
daripada irrasionalisme.
Menurut rasionalisme akal manusia itu memadai untuk
menjelaskan semua soal, memadai untuk meraih kebenaran yang
terakhir. Akallah yang menyusun kembali semua gejala setelah
kenyataan diremuknya, akallah yang menggalang kesatuan dalam
kejamakan. Akal manusia dianggapnya mewujudkan alat-pembuka
semua rahasia.
Akan tetapi, keyakinan rasionalisme itu didasarkan atas apa?
Dengan perumusan lain: dengan alasan apa aliran rasionalisme itu
memilih akal sebagai alat pembuka semua rahasia? Mengapa oleh
rasionalisme akal dianggap kompeten menyelesaikan semua soal
pengetahuan.
Terpilihnya akal sebagai dasar dan pangkal daripada ilmu
pengetahuan/ilmu filsafat itu berdasarkan suatu pemilihan yang
bukan bersifat akali. Rasionalisme memilih akal; karena percaya
kepada akal. Dan kepercayaan itu tidak diperoleh dengan jalan
fikiran akal, melainkan kepercayaan itu adalah suatu keyakinan.

42
Atas dasar keyakinan itu rasionalisme memilih akal sebagai dasar
dan alat penyelesaian semua soal ilmu pengetahuan. Keyakinan itu
dapat dipahami, dapat dihormati, tapi tidak bisa dibuktikan dengan
akal. Akal tak dapat mendasarkan diri sendiri atas diri sendiri (vide:
Dr. Mr. D. C. Mulder: Iman dan Ilmu pengetahuan).
Dengan perkataan lain: kami tidak percaya akan
“Voraussetzungslosigkeit” der Wissenschaft. Itu disebabkan, oleh
karena bukan akal in abstracto (akal terlepas dari segala sesuatu),
yang berfikir dan mengusahakan ilmu pengetahuan, melainkan
manusia dalam totaliteitnya yang berfikir dan mengusahakan ilmu
pengetahuan itu, yaitu manusia dengan kepercayaan dan keyakin-
annya, dengan simpati dan antipatinya, manusia sebagai keseluruh-
an, yang mempunyai sikap tertentu terhadap dunia dan hidup. Ilmu
pengetahuan adalah salah-satu hasil daripada sikap tertentu
(bepaalde houding) terhadap kenyataan dan hidup.
Penyelidikan dan pengusahaan ilmu pengetahuan tidak dapat
dilakukan secara autonom atau voraussetzungslos.
Lebih jelas lagi hubungan antara ilmu pengetahuan dan
pandangan dunia/hidup apabila kita bertanya tentang: maksud (zin)
daripada ilmu pengetahuan. Pertanyaan ini sungguh hanya dapat
dijawab menurut pandangan dunia/hidup masing-masing. Ada
sarjana (Max Scheler) yang membedakan antara:
Herrschaftwissen (Ilmu pengetahuan untuk menguasai kenya-
taan).
Bildungswissen (Ilmu pengetahuan untuk membentuk manu-
sia ke arah kesempurnaan).
Erlossungswissen (Ilmu pengetahuan keagamaan untuk mem-
bahagiakan).

Bagaimana pun juga jawab terhadap pertanyaan tersebut,


salah satu jawab yang dapat kita setujui adalah, bahwa ilmu-
pengetahuan itu bermaksud memperoleh kesejahteraan manusia.
Paham ini beralaskan penilaian yang setinggi-tingginya terhadap
manusia, yang berarti keyakinan yang tertentu terhadap manusia.

43
Konsekuensi daripada keyakinan ini adalah, bahwa:
a) Manusia tidak boleh dikorbankan untuk ilmu pengetahuan.
b) Ilmu pengetahuan hanya berguna, bila memperkaya manusia
secara rohani.

Sebab itu hyperspecialisasi dan pengeringan (verschraling)


berfikir menurut faham kami, harus kita tolak.
Kesimpulan daripada uraian kami yang singkat dan tidak
lengkap ini ialah, bahwa: antara ilmu pengetahuan dan pandangan
dunia/hidup itu ada hubungannya, yang tak terhindari. Itu dise-
babkan oleh karena bukan akal in abstracto, yang mengusahakan
ilmu pengetahuan, melainkan manusia sebagai keutuhan yang
mempunyai sikap tertentu terhadap dunia/ hidup.
Sebab itu pula, menurut paham kami, maka ilimu pengeta-
huan itu, hanya dapat diusahakan dalam kebebasan. Hanya dalam
kebebasan yang terlepas dari semua paksaan, dapatlah ahli ilmu-
pengetahuan menunaikan tugas-panggilannya. Di situlah letak:
alasan daripada kebebasan ilmiah, kebebasan mimbar, academic
freedom, dan autonomy daripada fakultas swasta. Di sinilah letak
alasan daripada pengakuan:
FKIP swasta, sebagai fakultas, sebagai persekutuan ilmiah,
yang tegak sendiri.
FKIP swasta mengakui adanya: hubungan antara ilmu penge-
tahuan dan keyakinan hidup (Welt – und Labens-anschauung), dan
menolak diskrepansi antara keduanya. Hanya dalam integrasi dari-
pada keyakinan dan ilmu pengetahuan adalah kemungkinan untuk
membentuk integrasi dalam kepribadian para mahasiswa.
Di tengah-tengah disintegrasi dalam masyarakat dan negara
Indonesia, FKIP. swasta bekerja melaksanakan keyakinannya, yaitu:
“Disintegrasi dalam masyarakat dan negara itu pada asasnya, hanya
dapat mulai diatasi dari integrasi kepribadian warga-negara, yang
merupakan “kernen” dalam keudaran (ontbinding) dalam masya-
rakat dan negara”.

44
b) FKIP swasta, tempat pendidikan guru/pendidik
Usaha mendidik adalah usaha yang mempunyai “gerichtheid”.
Tujuan mana yang dianut tergantung daripada tujuan pendidikan,
dan tujuan pendidikan ini tergantung daripada pandangan terhadap
hakikat-manusia, dan oleh karenanya tidak terpisahkan daripada
keyakinan masing-masing.
Untuk menjelaskannya, perkenankan memberikan contoh
sebagai berikut: Eggersdorfer membedakan dalam aliran normatieve
pedagogiek empat golongan yang terpenting:
a) Individual Auffassung, yang mengutamakan hubungan indi-
viduil antara pendidik-terdidik.
b) Soziale Auffassung, yang menganggap masyarakat sebagai tujuan
terakhir bagi usaha pendidikan.
c) Kulturphilosophische Auffassung, yang menganggap kebuda-
yaan (kultur) sebagai unsur essensiel dalam pendidikan.
d) Theistisch – metaphysiche Auffassung, yang mencari tujuan
bukan dalam alam immanensi melainkan dalam alam transen-
densi.

Dari contoh tersebut, teranglah bahwa usaha pendidikan tidak


dapat dipisahkan dari tujuannya, tujuan tidak dapat dipisahkan dari
pandangan terhadap hakikat-manusia, dan yang akhir ini tidak
terpisahkan daripada keyakinan masing-masing.
Juga pendekatan dari sudut: tempat pendidikan guru/pendi-
dik, FKIP swasta berkeyakinan tidak dapat dipisahkan daripada
keyakinan dan Welt – und Lebensanschauung.
Dari dua jurusan tersebut kita ingin menunjukkan, bahwa
disintegrasi dalam masyarakat dan negara hanya dapat (mulai)
diatasi dengan integrasi kepribadian, yang kita coba mewujudkannya
baik dalam penuntutan ilmu maupun dalam usaha pendidikan
Di sinilah letak dasar-hukum daripada FKIP swasta. Pangkuan
terhadapnya berarti: memberi kans yang sewajarnya bagi pemba-
ngunan nusa dan bangsa.
Dalam negara Indonesia, yang baik dalam mukadimah,
maupun dalam fs. 1 UUDS dan dalam seluruh jiwa UUDS. mengakui

45
asas demokrasi, sudah sewajarnya, bahwa pada asasnya, FKIP swasta
itu dengan syarat-syarat tertentu, mendapat pengakuan dari
Pemerintah.

c) Kesamaan kewarganegaraan
Mahasiswa, yang dibina dalam FKIP swasta adalah warga-
negara Indonesia yang penuh, yang tak ada bedanya daripada warga-
negara Indonesia lainnya, yang kesamaan haknya diperlindungi oleh
UUDS, antara lain dalam:
fs. 7
(1) setiap orang diakui sebagai manusia pribadi terhadap
undang-undang.
(2) sekalian orang berhak menuntut perlakuan dan per-
lindungan yang sama oleh Undang-undang.
(3) sekalian orang berhak menuntut perlindungan yang sama
terhadap pembelakangan dan terhadap tiap-tiap peng-
hasutan untuk melakukan pembelakangan demikian.
fs. 18
Setiap orang berhak atas kebebasan agama, ke-insyafan batin
dan pikiran.
fs. 30
(1) Tiap warganegara berhak mendapat pengajaran.
(2) Memilih pengajaran yang akan diikuti adalah bebas.
(3) Mengajar adalah bebas dengan tidak mengurangi penga-
wasan penguasa yang dilakukan terhadap itu menurut
peraturan undang-undang.

Kesamaan hak itu menjadi ilusi apabila pengakuan, jika


syarat-syarat yang menjamin bonafiditeit FKIP swasta itu sudah
dipenuhi, tidak ditunaikan.

46
II. Apakah Pengakuan?
Yang kita maksud dengan:
Pengakuan ialah penunjukan oleh pemerintah terhadap FKIP/
Perguruan Tinggi swasta berwenang sama dengan FKIP/PT. negara,
dalam pemberian ijazah, gelar-gelar dan sebutan-sebutan univer-
siter, yang disebut dengan tegas dalam penunjukan itu.
Pemberian ijazah, gelar-gelar dan sebutan-sebutan yang di-
sebut dengan tegas itu, berdasarkan kelulusan dalam ujian yang
diadakan oleh FKIP/PT swasta itu sendiri.
Kepada FKIP/PT swasta yang diakui itu tiap-tiap tahun diberi
sokongan oleh Pemerintah.
Pemberian sokongan itu diatur dalam Peraturan Pemerintah.
FKIP/PT swasta, yang bersubsidi adalah FKIP/PT swasta yang
diakui oleh Pemerintah, dan yang diberi hak-hak yang sama dengan
FKIP/PT negara.
Pengakuan ini didasarkan:
fs. 30. UUDS (lihat di atas).
fs. 40.
Penguasa melindungi kebebasan mengusahakan kebudayaan
serta kesenian dan ilmu pengetahuan.
Dengan menjunjung asas ini maka penguasa memajukan
sekuat tenaganya perkembangan kebangsaan dalam kebuda-
yaan serta kesenian dan ilmu pengetahuan.
fs. 41.
(1) Penguasa wajib memajukan rakyat baik rohani maupun
jasmani.
Undang-undang No. 4 tahun. 1950, tentang Dasar-Dasar
Pendidikan dan Pengajaran disekolah untuk seluruh
Indonesia.
fs. 13
(1) Atas dasar kebebasan tiap-tiap warganegara menganut
sesuatu agama atau keyakinan hidup maka kesempatan
leluasa diberikan untuk mendirikan dan menyelenggara-
kan sekolah-sekolah partikelir.

47
fs. 14
(1) Sekolah-sekolah partikelir yang memenuhi syarat-syarat
dapat menerima subsidi dari Pemerintah untuk pembia-
yaannya.

Kami tidak dapat menyetujui apa yang tercantum dalam


RUU tentang Perguruan Tinggi,
fs. 47
(1) Perguruan Tinggi swasta dapat ditunjuk oleh Menteri
untuk:
a) menyelenggarakan pelajaran persiapan bagi ujian
pada Perguruan Tinggi Negara, disebut Perguruan
Tinggi Swasta yang diakui.
fs. 47 (1a) ini menurut faham kami bertentangan dengan autonomi
perguruan tinggi. Tuntutan kami, supaya fs. 47 (1a) diubah
menjadi:
Perguruan Tinggi swasta dapat ditunjuk oleh Menteri untuk
menyelenggarakan pelajaran pelajaran persiapan bagi ujian
yang setaraf dengan ujian yang sejenis yang diadakan oleh PT
negara. PT sedemikian disebut PT swasta yang diakui. Sebab
itu pula, kami tidak dapat menyetujui keputusan Dewan
Pertimbangan Antar Universitas, mengenai ujian negara, yang
harus ditempuh oleh FKIP swasta. Seperti telah dinyatakan,
keputusan itu, menurut faham kami, bertentangan dengan
autonomi PT.

III. Tingkat-tingkatPengakuan
Pengakuan itu oleh Pemerintah hendaknya diberikan menu-
rut tingkat-tingkat yang berikut, sehingga Pemerintah (Kem. PP dan
K) berkesempatan mengikuti perkembangan FKIP swasta masing-
masing sebaik-baiknya.

Tingkat 1. Tingkat bantuan


Pemberian bantuan tahunan oleh Pemerintah sebagai
pengakuan adanya suatu FKIP swasta. Syarat-syarat
pemberian bantuan dapat diatur dalam Peraturan

48
Pemerintah (sebagai pelaksana Undang-undang tentang
Perguruan Tinggi).
Tingkat 2. Tingkat pengesahan ujian
Pada tingkat ini ujian Sarjana Muda dan sarjana FKIP
swasta dihadiri oleh panitia-peninjau dari FKIP negara.
Panitia Peninjau ini melalui fakultas/universitasnya
memberikan laporan kepada bagian Biro Koordinasi
Perguruan Tinggi Kem. PP dan K dan mengusulkan
pengesahan ujian dan pemberian ijazah, gelar dan
sebutan.
Tingkat 3. Tingkat Pengakuan.
Berdasarkan laporan tersebut dalam 2, Pemerintah
dapat menunjuk FKIP swasta berwenang memberi
ijazah, gelar dan sebutan yang sama dengan FKIP nega-
ra, tanpa dihadiri panitia peninjau dari FKIP negara.
Pengakuan ini berlaku surut sampai waktu ijazah, gelar
dan sebutan yang pertama diberikan oleh FKIP swasta
yang bersangkutan.
Tingkat 4. Tingkat subsidi.
FKIP swasta yang bersubsidi adalah FKIP swasta yang
diakui dan mendapat pembiayaan penuh dari pemerin-
tah seperti FKIP negara.

IV. Syarat-syaratPengakuan
Mestinya pihak Pemerintah untuk mencegah pertumbuhan
FKIP./PT swasta yang membelukar tak beraturan, harus menetapkan
syarat-syaratyang tertentu dalam pengakuan FKIP/PT swasta itu.
Syarat-syarat itu hendaknya menjamin:
a) Kepastian usaha dalam dukungan hukum.
b) Kepastian organisasi.
c) Kepastian taraf ilmiah yang diselenggarakan FKIP swasta.
ad a. FKIPswasta harus didukung/dibina oleh suatu badan hukum
yang mempunyai modal – dalam bentuk apapun – yang

49
tertentu. Jumlah ditentukan dengan undang-undang
(peraturan pemerintah).

ad b. 1) FKIP swasta harus memajukan peraturan tentang


pengawasan tentang pengajaran oleh Dewan Kurator,
peraturan organisasi oleh Dewan Pengurus.
2) FKIP swasta harus memajukan peraturan tentang
penetapan/pengehentian dosen.
ad c. 1) Harus ditentukan syarat mengenai jumlah dosen
lengkap (qualified) bagi tiap-tiap jurusan.
2) Harus dimajukan peraturan-peraturan ujian-ujian yang
harus ditempuh untuk memperoleh ijazah, gelar dan
sebutan yang menjadi wenang FKIP swasta yang ber-
sangkutan.
3) Harus ada jaminan tentang pemberian kuliah-kuliah,
sehingga berlaku secara beraturan.

V. Peraturan Peralihan
Tiap-tiap undang-undangbaru senantiasa disertai peraturan
peralihan untuk menampung keadaan sebelum undang-undang itu
berlaku.
Undang-undang tentang perguruan tinggi hendaknya disertai
peraturan peralihan sebagai berikut:
“Kepada FKIP/PT swasta yang ada pada saat pengundangan
undang-undang tentang PT telah menunjukkan kemampuan
berkembang ke arah penyempurnaan, diberi hak yang sama
dengan FKIP/PT negara mengenai pemberian ijazah, gelar-
gelar dan sebutan-sebutan universiter, walaupun belum
semua syarat perlengkap-an/jumlah mahaguru tetap dipenuhi,
dengan ketentuan bahwa kalau dalam waktu sepuluh tahun
setelah pengundangan itu syarat-syarat tersebut belum juga
dipenuhi, penunjukan kesamaan wenang itu akan dicabut
seluruhnya oleh Pemerintah. Sokongan FKIP/PT swasta
tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

50
Berhubung dengan mendesaknya keadaan untuk menjamin
kepastian hukum bagi tamatan FKIP/PT swasta, maka apabila
undang-undang tentang perguruan tinggi hanya dapat diselesaikan
dalam jangka waktu yang lama, peraturan peralihan yang diusulkan
ini, hendaknya secepat-cepatnya ditetapkan oleh YM Menteri PPK
untuk kemudian dimasukkan sebagai peraturan peralihan ke dalam
undang-undang tentang perguruan tinggi.

Catatan:
Tahun 1959, membawa Satya Wacana ke arah perkembangan
yang lebih meyakinkan, dengan adanya pengakuan FKIP Swasta
pada Musyawarah FKIP Swasta tanggal 19, 20 Juni 1959.
Hal ini merupakan suatu peristiwa penting bagi kelangsungan
Satya Wacana selanjutnya dalam rangka usaha mengabdi dan me-
ngembangkan ilmu pengetahuan bagi kepentingan masyarakat
Indonesia.
Kemajuan seperti ini semakin diperkuat pula dengan bertam-
bahnya jumlah mahasiswa sebanyak 342 orang dari lima jurusan
FKIP Sedang tenaga pengajar berjumlah menjadi 41orang, setelah
keluarga G. Brewster (New Zealand), Miss Cruz (Pilipina) dan Drs.
Steenwinkel pada awal 1960 (Nederland), meninggalkan Satya
Wacana.

51
6. TUGAS ILMIAH UNIVERSITAS
KRISTEN SATYA WACANA

Para tamu yang mutabir,


Dewan Pengurus,
Dewan Kurator dan
Dewan Pengajar yang terhormat,
Para mahasiswa yang kekasih,
Hadirin yang mulia.

Atas nama keluarga Universitas Kristen Satya Wacana, kami


ucapkan selamat datang dan terima kasih sebesar-besarnya kepada
para tamu sekalian.
Perkenankanlah kami pada Dies Natalis IVdari FKIP dan
pembukaan resmi Universitas Kristen kita, sebelum menyampaikan
laporan tahunan, menyajikan uraian singkat tentang:

“Tugas Ilmiah Universitas Kristen Satya Wacana“

Saudara-saudara sekalian,
Pada pembukaan PT kita pada 30 Nopember 1956 diumum-
kan dasar perguruan tinggi kita.
1. Pengakuan: Souvereiniteit (kedaulatan) Tuhan terhadap kosmos,
Ia bertahta di atas batas yang mutlak, di atas makhluknya. Batas
yang mutlak itu adalah nomos, yaitu Hukum, hukum Tuhan.
2. Normativiteit, yaitu pengakuan bahwa Tuhan yang berdaulat itu
Pengundang-undangan yang menitahkan norma-norma-Nya
kepada sekalian makhluk dalam lapangan mana dan hubungan
mana pun juga.


diucapkan pada Dies Natalis IV FKIP

52
3. Aktualiteit, yaitu dasar, bahwa penyelidikan dan pengajaran,
kami sangkutkan kepada problematik yang aktuil, yang pada
hakekatnya adalah problematik Nasional.
4. Sociabiliteit, yaitu dasar pengabdian kepada sesama manusia dan
masyarakat dalam arti seluas-luasnya.

Di atas dasar-dasar tersebut pada perayaan dies-dies yang lalu


dipaparkan:
1. Tugas perguruan tinggi terhadap perkembangan kebudayaan
(transmission of culture)
2. Tugas perguruan tinggi terhadap pendidikan pemimpin, yang
sebenarnya adalah pengabdi.
3. Sekarang: tugas ilmiah Universitas Kristen kita.

I. Universitas
Perkataan Universitas itu mula-mula berarti collectivitas atau
persekutuan. Arti itu ternyata dari ungkapan: “Universitas
magistrorum et scholarium” persekutuan para magistri (ahli) dan
para siswa. Baru kemudian pengertian universitas sebagai perse-
kutuan, terdesak oleh pengertian Studium Generale yaitu lembaga
dimana diajarkan artes liberales (de zeven vrije kunsten yang ter-
gabung dalam trivium dan quadrivium) sebagai dasar studi theologia,
hukum dan medicina. Sejak itu universitas menjadi lembaga dimana
diselidiki dan diajarkan semua ilmu. Tugas ilmiah menjadi tugas
yang terpenting bagi universitas. Bagaimana sikap dan pandangan
Universitas Kristen kita terhadap ilmu itu?

II. Ilmu
Ilmu adalah apa yang dimaklumi, adalah keseluruhan penge-
tahuan, yang teratur secara sistematis. Ilmu adalah hasil daripada
pemikiran.
Pemikiran itu dilakukan bukan oleh akal in abstracto melain-
kan oleh manusia dalam totalitasnya, yaitu manusia dengan
pandangan dunia dan hidupnya, dengan sikap yang tertentu ter-
hadap kenyataan dan hidup.

53
Sikap (attitude) manusia terhadap kosmos dan hidup itu
berjenis-jenis.
Di sini hanya kami sebut tiga macam:
1. Monisme.
2. Dualisme.
3. Theistis monistis dualisme.

III. Monisme
Yang kami maksudkan dengan monisme di sini adalah faham
yang mengembalikan (mereduksikan) keberaneka-warnaan kosmos
kepada satu asal, satu prinsip.
Bagi kami yang terpenting dalam monisme ini ialah bahwa
kepada manusia tidak diberikan tempat tersendiri dalam kosmos.
Manusia hanyalah satu gejala yang tidak ada perbedaan asasi
daripada fenomena lainnya

Tiga hal yang kami kemukakan tentang monisme:


1. Pandangannya terhadap kenyataan
2. Pandangan terhadap manusia
3. Pandangan terhadap pemikiran

ad 1. Kenyataan dianggap sebagai suatu totalitasyang suci, yang


meliputi semuanya. Alam semesta adalah makro kosmos. Tiap
gejala mempunyai tempat yang tertentu di dalamnya menurut
klasifikasi yang tertentu. Tiap yang masuk dalam ikatan dan
berhubungan tertentu dengan gejala-gejala lainnya.
ad 2. Manusia adalah mikrokosmos, bagian yang mencerminkan
keseluruhan dan sejenis dengan gejala lain. Ia merupakan
sesuatu yang swasta (tegak sendiri) oleh karena hidupnya
terjalin dalam totalitas itu. Tugasnya adalah menyelenggara-
kan harmoni dengan totalitas, penyesuaian dengan kosmos
(=kata-kosmon)
ad 3. Pemikiran menuju kebijaksanaan dan pengertian tentang
perhubungan-perhubungan yang misteris dalam totalitas.
Kebijaksanaan/pengertian ini diperoleh dimana dapat dialami

54
secara intens totalitas itu; dalam mystik, extase, mimpi, alam
kematian.
Ilmu di sini adalah sesuatu yang gaib, adalah “ngelmu”, yang
dimiliki oleh yang tajam intuisinya dan hidup dekat pada
sumber-sumber penyataan totalitas itu. Tujuan pemikiran
adalah kesatuan dengan totalitas, sifatnya bukan obyektif-
kritis melainkan subyektif-participerend.

IV. Dualisme
Dualisme ini faham, dimana manusia diberi tempat tersendiri,
yang pada asasnya lain daripada gejala-gejala lain dalam kosmos.
Manusia adalah roh, yang bebas dan bertanggung-jawab, yang
berhadapan dengan kosmos, yang menganggap kosmos sebagai
obyek untuk diselidiki.

1. Kenyataan dianggap sebagai obyek yang terletak di luar roh


manusia, yang dianggap sebagai salah satu kemungkinan ciptaan
Roh. Kosmos itu diatur menurut hukum-hukum yang rasionil.
2. Manusia sebagai roh, terpisah secara asasi daripada kosmos.
Manusia memandang kosmos sebagai obyek untuk dikuasainya
dengan mendapatkan rasionalitasnya.
3. Pemikiran. Apabila pemikiran dalam monisme ditujukan kepada
partisipasi dengan totalitas maka pemikiran dalam dualisme
ditujukan kepada obyektivitas.

Pemikiran mencari perumusan semurni-murninya daripada


pengertian-pengertian. Cita-cita pemikiran ini diperkalimatkan oleh
Archimedes:
“Berilah tempat untuk berdiri (di luar kosmos) maka saya
akan menggerakkannya”

Di sini nampaklah gairah untuk menguasai segala sesuatu


yang menghasilkan ilmu, yang oleh Max Scheler disebut:
Herrschaftswissen. Dalam suasana pemikiran dualisme ini: ilmu
alam, ilmu tehnik, dan ilmu-ilmu lain di dunia Barat maju pesatnya.
Tetapi dalam pemikiran dualisme itu terletak bahaya yang
oleh Dooyeweerd disebut: “het persoonlijkheidsideaal van den

55
”Nomouniversale”, de vrije koningsmens, die de wereld zal
beheersen en in eigen souverine levensdrang zijn levenshouding
bepaalt” (Dr. H. Dooyeweerd: De betekenis der wetsideevoor
rechtswetenschap en rechtsphilosophie pag. 6), dengan perkataan
lain: budaya pendewaan manusia yang berdaulat dan tidak mau
terikat oleh norma-norma yang heteronom.

V. Theistis monistis dualisme


Sikap kami di universitas Kristen ini adalah sikap dualisme,
dalam arti bahwa kami memberi tempat tersendiri kepada manusia.
Manusia adalah makhluk yang mempunyai nilai tersendiri dan
tanggungjawab tersendiri, dan manusia itu wajib menyelidiki alam
semesta sebagai obyeknya.
Hanya saja dualisme ini bukan dualisme yang mutlak.
Berhadapan dengan Tuhan yang bertahta di atas nomos, kami
manusia merasa kongenial dengan makhluk yang lain. Di sini letak
segi monisme yang kami akui.

Paham kami adalah: monistis dualisme


Monistis dualisme ini suatu monistis dualisme yang khusus,
karena dipanggalkan pada pangkuan kedaulatan Tuhan, sebab itu:
Theistis monistis dualisme.
Inilah grondmotief daripada pemikiran kami, yaitu dasar
daripada pembinaan ilmu pada Universitas Kristen ini.

1. Kenyataan
Menurut paham kami kenyataan/kosmos dijadikan oleh Tuhan.
Tuhan adalah asal yang absolut dan integral daripada segala
sesuatu.
2. Manusia
Manusia adalah makhluk yang dijadikan oleh Tuhan menurut
wajahnya “in God’s image, in God’s likeness”
Sentrum daripada manusia bukan terletak dalam akal, melain-
kan dalam hatinya. Dalam hati itu diambil keputusan-keputusan

56
yang terpenting dalam hati itu ditentukan sikap terhadap
Tuhan.
Jatuh ke dalam dosa adalah keruntuhan daripada hati, kerun-
tuhan itu keruntuhan yang radikal, yang menghanyutkan
seluruh kosmos. Sebaliknya penyelamatan adalah pembaharuan
pada asasnya daripada hati dan seluruh kosmos.

3. Pemikiran
Pemikiran dalam theistismonistisdualisme ini adalah pemikiran
daripada seorang saksi.

Ilmu adalah Kesaksian


Sebagai seorang saksi pekerjaan ilmiah harus memberikan
fakta, yang diinderakan dan dialami, secara seobyektif-obyektifnya.
Tetapi ia baru seobyektif-obyektifnya apabila ia memperlakukan
kosmos dan gejala-gejalanya bukan in abstracto, melainkan in relatio
dengan Khaliknya, apabila ia memperhitungkan norma-norma yang
diwahyukannya, dan mempergunakan ilmu dan hasilnya bagi
kebahagiaan sesama manusia dan bagi Soli Deo Gloria, hanya untuk
kemuliaan Tuhan.

Catatan:
Kemajuan Satya Wacana baik dalam perkembangannya phisik
ditahun sebelumnya (1956-1958) ditambah dengan kemajuan
akademis 1958, menunjukkan bahwa pengakuan yang diperoleh
1959 tidak merupakan suatu pengakuan semu belaka. Namun, apa
yang dapat ditunjukkan sebelumnya lebih berdasarkan pada kemam-
puan Satya Wacana untuk memenuhi persyaratan phisik bagi adanya
satu Perguruan Tinggi.
Untuk memperoleh suatu pengakuan yang lebih berarti harus
pula dibuktikan dengan kemampuan intelektual para mahasiswanya.
Kesempatan untuk hal ini diberikan oleh pemerintah kepada Satya
Wacana pada tahun 1960. 64 mahasiswa dari 5 jurusan FKIP Satya
Wacana diperkenankan menempuh ujian Negara, Sarjana Muda
pada FKIP Universitas Bandung. Dari 64 mahasiswa peserta ujian
ternyata 48 orang dapat berhasil, berarti 75% dari jumlah seluruh-

57
nya. Sedang jumlah seluruh mahasiswa (tingkat I-III) sebesar 342
orang.
Pada permulaan tahun 1960-1961, jumlah tersebut bertambah
menjadi 383 orang. Di pihak lain terjadi pula perubahan struktur
FKIP Satya Wacana yang sebelumnya merupakan bagian dari satu
struktur yang lebih besar, ke dalam Universitas Kristen Satya
Wacana (UKSW). Perubahan ini diadakan atas keputusan Dewan
Kurator pada tanggal 4 desember 1959. Selain FKIP sebagai bagian
dari UKSW dibuka pula dua fakultas, yakni Fakultas Hukum dengan
jumlah mahasiswa 22 orang dan Fakultas Ekonomi dengan 26
mahasiswa. Jumlah seluruhnya menjadi 431 orang. Sebagai konse-
kuensi dari jumlah mahasiswa tersebut di atas, terdapat pula pertam-
bahan jumlah pengajar sebanyak 49 orang dari 41 orang pada tahun
1959.
Dapat disebutkan Prof. F. De Stock untuk fakultas Ekonomi
(ketua jurasan), Ny. Stock untuk Jurusan Bahasa Inggris, S.W Tanya
dan Ir. Gan Than Gie (Kwee Tik Liang, Tan Tjong Swan dalam
Jurusan dan Fakultas Hukum/Ekonomi. Drs. M. Hutagalung
Hadiutomo untuk Jurusan Pendidikan, Busrodin untuk Mata Kuliah
Bahasa Indonesia dan pengangkatan 6 asisten dosen tamatan FKIP
Satya Wacana Salatiga.
Seperti biasanya UKSW senantiasa mengusahakan hubungan
yang lebih luas dengan Perguruan-perguruan Tinggi Negeri/Islam/
Kristen dan Yayasan-yayasan Kristen didalam dan diluar negeri.
Tercatat jalinan hubungan dengan FKIP Muhammadiyah Solo,
dengan Dewan Gereja Indonesia Jakarta; Universitas Nommensen
Pematang Siantar, dan perhubungan dengan Universitas Kristen se
Asia melalui United Board for Christian Higher Education in Asia.
Semuanya diusahakan tanpa menyampingkan hubungan intim
dengan Badan-badan pemerintah, khususnya pejabat-pejabat sipil
dan militer di Kotamadya Salatiga.
Tugas ilmiah Universitas Kristen Satya Wacana yang diucap-
kan pada Dies Natalis I, 1960 dilengkapi dengan pidato tentang
Dasar Filsafat UKSW pada Dies Natalis 1961.

58
7. DASAR FILSAFAT UNIVERSITAS
KRISTEN SATYA WACANA

Para tamu yang mutabir,


Dewan Pengurus,
Dewan Kurator, dan
Dewan Pengajar yang terhormat,
Para mahasiswa yang kekasih,
Hadirian yang mulia,

Pada Lustrum FKIP dan Dies Natalis II Universitas Kristen


Satya Wacana sudah semestinya kita pertama-tama menaikkan
syukur kehadirat Tuhan, yang melindungi dan memberkati kita
sampai diperkenankan memasuki saat yang bersejarah bagi Perguru-
an Tinggi kita ini.
Terima kasih kami yang sebesar-besarnya kami ucapkan
kepada para tamu, yang berkenan hadir di sini untuk mengguyubi
perayaan dan kegembiraan kami keluarga Universitas Kristen Satya
Wacana.
Perkenankanlah kami sebelum memberikan laporan resmi
kepada Dewan Pengurus dan Dewan Kurator menegaskan kembali
secara singkat:

A. Dasar filsafat Universitas Kristen Satya Wacana


I. Universitas Kristen Satya Wacana
1. Universitas Kristen Satya Wacana adalah Universitas
Scientiarum, suatu persekutuan/lembaga ilmiah.


Diucapkan pada Dies Natalis II, Universitas Kristen Satya Wacana, 30
Nopember 1961.

59
2. Universitas Kristen Satya Wacana adalah Universitas
Magistrorum et Scolarium, suatu persekutuan antara
magistri (ahli) dan mahasiswa, dengan perkataan lain suatu
lembaga pendidikan.
3. Universitas Kristen Satya Wacana adalah lembaga pem-
binaan ahli-ahli, pelayan-pelayan masyarakat Indonesia.

Dalam ketiga segi usahanya ini Universitas Kristen kita ingin


menunaikan tugasnya dengan “Satya Wacana” = setia kepada firman,
setia kepada firman Tuhan.

II. Dasar-dasar Filsafat


Ada empat:
1. Pengakuan Souvereinitas Tuhan
2. Dasar Normativitas
3. Dasar Aktualitas
4. Dasar Sosiabilitas

Sub. 1. Pengakuan Souvereinitas Tuhan


Dasar pertama ini berarti, bahwa kami mengakui bahwa
Tuhan Allah adalah Al-Khalik langit dan bumi, dan oleh karenanya
berdaulat di atas langit dan bumi.
Pengakuan ini berarti pula bahwa semua kedaulatan dibumi
adalah kedaulatan karunia-pinjaman, sehingga tiap pendukung
kekuasaan di bumi bertanggungjawab kepada Tuhan, yang berdaulat
sebenarnya.
Dalam alam pengakuan ini kekuasaan negara/pemerintah
terbatas, dalam tiga penjuru:
a) Secara vertical kedaulatan negara/pemerintah adalah kedaulatan
karunia/pinjaman, yang harus dipertanggungjawabkan kepada
Yang mengaruniakan.
b) Secara horisontal pertama terbatas oleh: keadilan dan kasih.
Kekuasaan negara/pemerintah tidak boleh dipergunakan se-
mata-mata untuk berkuasa-kuasaan.

60
Kekuasaan negara/pemerintah baru bersifat susila apabila di-
abdikan kepada pemeliharaan keadilan dan kasih.
Keadilan pada umumnya adalah: “suum cuique tribuere” =
“memberikan kepada masing-masing apa yang menjadi bagian-
nya”.
Mengenai keadilan kita mengenal:
b 1) Keadilan vindikatif, yaitu keadilan yang menghukum/
membalas, yaitu keadilan dalam bidang hukum pidana,
dimana negara/ pemerintah menghukum kejahatan dan
pelanggaran sesuai dengan “suum cuique tribuere”.
b 2) Kita mengenal keadilan distributife, dalam bidang hukum
publik, dimana pemeliharaan “suum cuique tribuere”
dilaksanakan dengan memperhitungkan perbedaan kuali-
tatif antara warganegara (misalnya hanya orang-orang
yang berbakat dan belajar untuk menjadi dokter; ditetap-
kan sebagai dokter; akan tidak adil apabila tiap-tiap
warganegara dijadikan dokter).
b 3) Kita mengenal keadilan kommutatif dalam perhubungan
kontrak dan pertukaran, dimana prestasi dan kontra-
prestasi, rugi dan gantirugi didasarkan atas kesamaan.
b 4) Akhirnya kita mengenal keadilan kreatif yang memberi
kesempatan menciptakan kepada orang-seorang dan
golongan-golongan dalam masyarakat untuk mengem-
bangkan kepribadian dan kebudayaan.
Kedaulatan negara/pemerintah wajib dipergunakan untuk me-
melihara keempat keadilan tersebut. Di samping itu kedaulatan
negara/pemerintah wajib diabdikan kepada pernyataan kasih.
Kekuasaan negara/pemerintah harus ditujukan kepada publicum
bohum, kesejahteraan umum, dipergunakan untuk melayani
warganegara, golongan-golongan, lapisan-lapisan masyarakat,
dan daerah-daerah yang miskin, kelaparan menderita dan
terpencil.
c) Batas horisontal kedua terletak dalam lingkungan-lingkungan
yang masing-masing dikaruniai kedaulatan dalam lingkungan-
nya sendiri.

61
a. Lingkungan orang-seorang yang dikaruniai oleh Tuhan hak-
hak asli, supaya mampu bertindak sebagai pihak dalam
perjanjian (Bund, Verbond) dengan Tuhan, hak-hak asli itu
misalnya: hak hidup, hak milik, hak kebebasan konsiensi/
agama, hak kebebasan mendidik dan mengajar, hak menya-
takan diri dalam ilmu, kesenian, kebudayaan, hak mempu-
nyai dan melahirkan pendapatan dan sebagainya.
b. Lingkungan keluarga juga mendapat kedaulatan langsung
dari Tuhan bagi pemeliharaan keluarga itu. Orang tualah
yang misalnya bertanggungjawab langsung kepada Tuhan
tentang pendidikan/pengajaran anak-anaknya.
c. Lingkungan Gereja/golongan agama, yang dalam lingkungan
dan pengembangan iman mendapat kedaulatan daripada
Tuhan.
d. Lingkungan ilmu pengetahuan, seperti universitas, yang
diberi tugas dan kedaulatan untuk mencari kebenaran
menurut norma-norma ilmu pengetahuan yang tidak dapat
dicampuri oleh pihak mana pun.
e. Lingkungan kesenian diberi tugas dan kedaulatan untuk
menciptakan keindahan menurut norma-norma lingkung-
annya sendiri. Menghormat lingkungan-lingkungan ter-
sebut sesuai dengan dasar/tujuan Revolusi Indonesia yang
menurut Manifesto Politik Republik Indonesia adalah
kongruen dengan Social Consciance of Man.

“Keadilan sosial, kemerdekaan individu, kemerdekaan bangsa


dan lain sebagainya adalah pengejawantahan daripada Social
consciance of Man” (Manipol pag.)
Negara wajib mengakui dan melindungi kedaulatan ling-
kungan-lingkungan tersebut. Negara yang tidak menghormatinya
adalah negara- totaliter.
Negara yang mengakui dan melindungi kedaulatan ling-
kungan-lingkungan tersebut adalah negara hukum, seperti yang
dicita-citakan oleh Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan
Manifesto Politik Republik Indonesia.

62
Sub 2. Dasar Normativitas
Dasar ini berarti pengakuan bahwa Tuhan yang berdaulat itu
juga pengundang-undang yang tertinggi, yang menitahkan hukum/
normanya kepada seluruh makhluk dalam lapangan mana dan
perhubungan mana pun juga, Bagi Universitas Kristen Satya
Wacana, dasar normativitas itu berlaku baginya.
a) Sebagai Lembaga ilmiah
Penelitian ilmiah dan pengajaran ilmu menurut paham kami
adalah tugas yang diterima daripada Tuhan.
Norma-norma untuk menunaikan tugas ini ialah:
a.1. Hormat akan Tuhan adalah pangkal segala pengetahuan
Plato mengatakan bahwa keheranan itu pangkal ilmu.
Alkitab mengatakan:Irad Jahwe (Reverence of the Lord) itu
permulaan daripada Daath (Knowledge).
a.2. Bagi lapangan ilmu pengetahuan berlaku juga hukum ke-8
daripada Dekalog: engkau jangan berdusta. Dengan jujur kita
harus mencari dan merumuskan kebenaran diseluruh bidang
ilmu.
a. 3. Pengabdi ilmu harus menunaikan tugasnya dengan rendah hati,
karena ia insaf, bahwa “ia sekarang ini nampak didalam cermin
muka kelam” dan “baru kelak pengetahuannya akan disem-
purnakan”
a. 4. Kebenaran ilmiah itu mentransendensikan batas-batas golongan,
masyarakat dan negara, serta meliputi suluruh alam semesta/
umat manusia. Sebab itu dilapangan ilmu wajib kita terbuka bagi
kerjasama internasional.
a.5. Penyelidik dan pengabdi ilmiah sebenarnya adalah saksi dari-
pada kerja Tuhan yang besar, yang terbentang dalam kosmos.
Dalam penyelidikan dan pekerjaannya, ia akan terpesona oleh
kemuliaan Al-Khalik, yang kemahakuasaannya terbaca sebagai
buku terbuka dalam alam semesta.
Dengan demikian ilmu pengetahuan yang berawal dengan
khidmat kepada Tuhan berakhir dengan bakti-puji kepada
Tuhan.

63
b) Dasar normativitas itu menyangkut pula pada Universitas
Kristen kita yang sebagai Lembaga pendidikan. Pendidikan
adalah bimbingan secara sadar yang diberikan untuk perkem-
bangan kepribadian supaya sanggup melihat dan menunaikan
tugasnya sebagai manusia.
Teranglah bahwa pendidikan itu aktivitas yang bertujuan.
Tujuan dalam pendidikan tergantung daripada pandangan ter-
hadap manusia. Tujuan dalam pendidikan kita di sini adalah:
dalam doa dengan memohon berkat dari Tuhan membentuk
manusia-pengabdi Tuhan dalam pelayanan kepada sesama-
manusia dan masyarakat.
c) Dasar nomativitas itu mengait pula pada Universitas Kristen kita
sebagai Lembaga pembina pekarya-pekarya akademis.
Di bidang ini berlakulah norma-norma diakonia (=pelayanan)
Kristen.
Menurut Alkitab dapat dibedakan antara:
C 1. Diakonia kharismatis
C 2. Diakonia sosial.

Diakonia kharismatis pada khususnya menunjukan kasih dan


sayang yang ditujukan kepada mereka yang lapar, dahaga, mereka
yang asing, bertelanjang, sakit, yang meringkuk dalam penjara,
(Mat.25: 35-46), dan menurutt tradisi gereja ditambah dengan satu
kategori lagi, yaitu orang yang meninggal dunia.
Diakonia sosial itu pelayanan yang terdiri daripada pemeliha-
raan keadilan dibidang politik, sosial ekonomi dan kebudayaan.
Bagi pekarya-pekarya akademis banyak kesempatan untuk
turut mengambil bagian dalam terutama diakonia sosial. Sebab itu
tanggungjawab sosial harus dibangkitkan padanya. Baginya haruslah
jelas bahwa, pelayanan, apabila pelayanan itu Kristen itu diresapi
kasih dan keadilan.

Sub 3. Dasar Aktualitas


Dalam menunaikan tugasnya dalam tiga bidang, sebagai lem-
baga ilmiah, pendidikan dan pembina pekarya akademis, Universitas

64
Kristen Satya Wacana menyangkutkan penelitian/pengajaran,
pendidikan dan pembinaan pada soal-soal masyarakat yang aktuil,
pada masalah hangat daripada bangsa dan negara kita, menyang-
kutnya pada perkembangan kebudayaan nasional.
Di ini bertemu asas aktualitas persoalan nasional dan kebu-
dayaan kebangsaan.

Sub 4. Dasar Sosiabilitas


Dasar ini menghendakkan supaya pekarya akademis jangan
menjadi penonton yang pasif dalam revolusi nasional, melainkan ia
harus menjadi pemain yang aktif, yang mengabdikan bakat dan
tenaganya kepada sesama manusia dan masyarakat.
Dalam partisipasi yang aktif itu ia berpedoman pada iden-
tifikasi yang kritis. Pekarya akademis Kristen wajib menyatujiwakan
diri dengan pergolakan masyarakat Indonesia secara kristis, karena ia
mempergunakan kriteria daripada kerajaan surga.

III. Syarat-syarat Pelaksanaan


Untuk menunaikan tugas Universitas Kristen Satya Wacana,
kita perlukan pelaksanaan Pancasila, Undang-Undang 1945 dan
Manifesto Politik Republik Indonesia secara jujur. Ketiganya
bersama dengan Undangundang tentang dasar-dasar pendidikan dan
penga-jaran disekolah (UURINo, 4 Th 1950 joUURINo.12 Th. 1954),
dan Undang-undang tentang Perguruan Tinggi Tahun 1961, men-
jamin:
1. Kebebasan institusionil, yaitu kebebasan universitas sebagai
lembaga ilmiah, pendidikan dan pembinaan. Dalam bidangnya
itu ia harus bebas mengatur diri sendiri dan mengadakan relasi-
relasi yang diperlukan.
2. Kebebasan profesionil yaitu kebebasan pendidik/pengajar untuk
membimbing mahasiswa menurut konsiensi dan keyakinannya.
3. Kebebasan fungsionil, yaitu kebebasan untuk membaktikan/
melayankan ilmu dan pekarya akadaemis kepada masyarakat
dan umat manusia.

65
IV. Kesimpulan
Dasar filsafat Universitas Kristen Satya Wacana tak lain
daripada rangka principial daripada Pancasila, Undang-Undang
Dasar 1945 dan Manifesto Politik Republik Indonesia. Sumbangan
kita sebagai Universitas Kristen adalah memberikan isi dari sudut
paham Kristen kepada Pancasila, UndangUndang Dasar 1945 dan
Manifesto Politik Republik Indonesia..

B. Laporan
Perkembangan Lembaga
1. Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Kristen Indonesia (PTPG-
KI).
Kami mulai perguruan tinggi kita sebagai PTPG-KI di jalan Dr.
Sumardi 5 Salatiga pada tanggal 17 Oktober 1956.
Pembukaan resmi dilakukan di hotel Kalitaman (sekarang
Kaloka) pada 30 November1956. PTPG-KIberlangsung tiga
tahun lamanya.
2. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Kristen Indonesia
(FKIPKI)
Dalam pada itu pemerintah mengubah PTPG-nya menjadi FKIP
dan memasukkannya sebagai fakultas ke dalam universitas
negara. Perkembangan ini menghadapkan kepada kenyataan
yang tak dapat kami hindari.Pada tanggal 17 Juli 1959, ber-
samaan dengan pemberian ijazah Sarjana Muda yang pertama
kali, Ketua Dewan Pengurus mengumumkan bahwa PTPG-KI
diubah menjadi FKIP-KI.
3. Universitas Kristen Satya Wacana
Suatu fakultas, juga fakultas FKIP tidak bisa berdiri sendiri.
Tindakan pada 17 juli 1959 harus diikuti oleh pembangunan
Universitas. Konsekuensi itu ditarik pula oleh Dewan Pengurus
dan Dewan Kurator. Pada tanggal 5 Desember 1959 dalam
perayaan Dies Natalis III FKIP dan peresmian pembukaan
gedung-gedung di jalan. Tuntang 54-56 (sekarang Jalan
Diponegoro 54-56) oleh Dewan Pengurus dan Dewan Kurator

66
(yang diwakili oleh Ds. S. Djojodihardjo dan Sdr. S.
Poerbosoesanto, ketua dan sekretaris Dewan Pengurus, Ds.
Poerbowijogo-ketua Dewan Kurator) diumumkan, bahwa rapat
gabungan mereka tanggal 4 Desember 1959, dengan suara bulat
memutuskan untuk mendirikan Universitas Kristen yang
kemudian dinamakanUniversitas Kristen Satya Wacana.

Catatan:
Isi pidato diatas dimaksudkan untuk dapat mengisi kemajuan-
kemajuan UKSW yang telah menjulang ke depan. Betapa tidak!
Pertambahan mahasiswa bertambah menjadi 514 orang,
menghasilkan 90 SM swasta, 72 orang di antaranya berhasil lulus
dalam ujian negara. Segi positip dari keberhasilan ini dan kemajuan
yang senantiasa diperoleh, menambah penghargaan dan dukungan
dari pihak luar. Hal ini terbukti dari angka pertambahan gereja
pendukung yakni: Gereja Kristen Isa Almasih, Gereja Masehi Injili
Indonesia, Gereja Maluku dan Gereja Bali, di samping Gereja
Gereformeerd yang mengundurkan diri dari pendukung sejak 1958.
Mulai dipikirkan langkah-langkah persiapan untuk menjadi Pergu-
ruan Tinggi yang diakui sesuai UU Perguruan Tinggi yang baru di-
kemukakan dengan menjalin hubungan yang lebih erat dengan
universitas/akademi dari pemerintah dan juga meningkatkan diri
dalam aspek perkuliahan. Keyakinan akan adanya kemungkinan-
kemungkinan untuk berkembang diusahakan pula dengan membuka
tingkat doktoral jurusan ekonomi dan hukum, sedang jurusan bahasa
Inggris dan mendidik telah dimulai pada tahun 1960.

67
8. UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
ANTARA ILMU DAN MASYARAKAT

*
Para tamu yang mutabir,
Dewan Pengurus,
Dewan Kurator dan
Dewan Pengajar yang terhormat,
Para mahasiswa yang kekasih,
Hadirin yang mulia.

Pada awal upacara Peringatan Dies Natalis VI Perguruan


Tinggi kita, wajiblah kita pertama-tama mengucapkan syukur kepa-
da Tuhan, yang telah menyertai dan memberkati Universitas Kristen
Satya Wacana dalam tahun akademi yang lalu. Pada saat seperti ini
kita menginyafi dengan penuh kesadaran, bahwa anugerah Tuhan
telah dilimpahkan kepada kita tanpa jasa sesuatu pun daripada pihak
kita manusia.
Kemudian daripada itu perkenankanlah kami keluarga
Universitas Kristen Satya Wacana mengucapkan terima kasih kepada
para tamu, yang berkenan hadir di sini untuk turut mengambil
bagian dalam upacara terima kasih kami kepada Tuhan.

Hadirin yang mulia


Kita hidup di Indonesia dalam masa pembangunan. Dalam
pembangunan nasional semesta berencana itu, Universitas Kristen
Satya Wacana turut mengambil bagian dengan yakin dan ulet.
Seperti tiap-tiap universitas Satya Wacana hidup dan ber-
kembang antara ilmu dan masyarakat.
Ilmu adalah keseluruhan pengetahuan yang diatur secara
sistematis. Dalam mengusahakan ilmu, perhubungan vital antara


Diucapkan pada Pidato Dies Natalis VI, 30 November 1962

68
subyek dan obyek, lebih tepat: antara subyek dan Gegenstand-nya,
berfungsi dalam horison suatu kebudayaan yang tertentu. Atau
dengan perumusan lain: relasi timbal balik yang hidup antara
penyelidik dan sasarannya itu berlangsung, disadari atau tidak,
dalam cakrawala Welt-und Lebensanschauung. Ilmu adalah orientasi
existensiil. Sehingga hakikat dan tujuan ilmu dalam Monisme,
berlainan daripada dalam Dualisme, berlainan pula dalam
Monotheistis monistis dualisme. Sebagai keseluruhan Universitas
Kristen Satya Wacana bekerja dalam horison Monotheistis monistis
dualisme, yang pada akhirnya mengatasi segala nama. Ia Raja segala
raja, yang diberi kuasa, termasuk kuasa pengundang-undang di
langit dan dibumi.
Dalam horison Monotheistis monistis dualisme itu, ilmu
bukan tujuan yang terakhir. Kita menolak semboyan “la science pour
la science”. Bagi kita logos itu tunduk kepada ethos, dan ethos
kepada Theos. Ilmu itu dilayankan kepada sesama manusia, dan
melalui diakonia kepada sesama manusia itu kepada Tuhan, yang
bertakhta di Kerajaan Allah.
Universitas Kristen Satya Wacana menginyafi tanggung jawab
sosial daripada karyawan-ilmiah karena motif yang dalam, yaitu
agape, kasih yang mengorbankan diri.
Di samping itu Satya Wacana berdiri dan memang mau
berdiri di tengah-tengah masyarakat Indonesia, yang menggelom-
bang bergolak, yang menuntut pengaturan, penyelenggaraan dan
penenangan dari ilmu dan karyawan ilmiah. Masyarakat kita
gandrung akan hasil karya para cerdik-cendikiawan.
Berfungsi sebagai lembaga-penghubung antara ilmu dan
masyarakat, yang kedua-duanya bergerak secara dynamis, Satya
Wacana menjawab tantangan ini secara formil dan materiil.
Secara formil response kita, kita wujudkan dalam perluasan:
dengan dua fakultas exakta:
Fakultas ilmu hayat, dan fakultas ilmu pasti-alam.
Kita harus mengakui, bahwa pembukaan kedua fakultas
exakta itu kita lakukan dengan menggerakkan semua tenaga yang
ada dan tidak-ada pada kita, tidak hanya untuk memenuhi tuntutan
undang-undang tentang Perguruan Tinggi no. 22/Th.1961, melain-

69
kan karena keinsyafan bahwa masyarakat Indonesia memerlukan
scientist-scientistyang cakap dan bertanggung jawab untuk menggali
kekayaan alam Indonesiam bagi kemakmuran rakyatnya.
Juga pembukaan jurusan Pendidikan Guru Agama sebagai ke-
enam dari FKIP bukan hanya untuk memenuhi ketetapan MPRS,
melainkan karena keinsyafan,bahwa kita dipanggil untuk turut
membangun dalam bidang rohaniah masyarakat Indonesia – yang
sekarang mengalami pergeseran dari sifat religieus kesifat sekuler –
unuk turut member pedoman dalam suasana norma heterogin.
Secara materiil kita menekankan pendidikan karakter, pendi-
dikan kepribadian, yang memperoleh keterbentukan (Bildung) sosial
– filosofis – ethis – religieus, tanpa mengabaikan keterbentukan
intelektuil theoritis. Di bidang kedua ini kita menggiatkan dengan
menggunakan studi terpimpin untuk merangsan auto-aktivitas dari-
pada para mahasiswa, membangkitkan berfikir yang kritis dengan
memberikan kriteria, yang diperlukan. Dengan studi terpimpin itu
kita menghendakkan keswastaan yang bertanggung-jawab.
Dalam fakultas dan jurusan, terutama di tingkat Sarjana,
dilakukan penelitian (research) walaupun masih sederhana, per-
tama-tama penelitian yang bertalian dengan penulisan thesis sarjana.

Masa Datang
Apabila diperkenankan meninjau kedepan, maka kami dengan
Satya Wacana akan mendidik kepribadian mahasiswa secara
religieus-ethis-filosofis-sosial dengan memperdalam dan memperluas
mutu ilmu yang penuh tanggungjawab sanggup mengabdi kepada
gereja dan masyarakat.
1. Pendidikan Tingkat Sarjana yang akan menyumbangkan
tenaga akademis kepada masyarakat akan minta perhatian
kita yang khusus.
2. Pembangunan laboratorium untuk fakultas-fakultas exakta,
wajib kita laksanakan, betapapun juga sulit dan mahalnya.
3. Penelitian dan lembaga penelitian, yang tiada hanya
membawa guna theoretis, melainkan juga praktis harus kita
selenggarakan.

70
4. Perpustakaan harus dibangun, dan harus kita usahakan
supaya perpustakaan dipergunakan oleh mahasiswa.
5. Majalah ilmiah, yang bermutu ilmiah dan berasakan iman
Kristen, wajib kita terbitkan, sebagai tempat hasil penelitian
kita dan sebagai sumbangan kepada dunia ilmiah Indonesia
dan masyarakat Indonesia.
Ini semua memerlukan pergedungan dan biaya yang kami
mintakan perhatian dari Dewan Pengurus, Dewan Kurator, Panitia
Keuangan.

Penutup
Ilmu dan universitas adalah usaha sosial yang memerlukan
kooperasi nasional, ekumenis dan internasional.
Sebab itu perkenankanlah kamimengakhiri laporan ini dengan
mohon terima kasih ke dalam:
Kepada para kawan pengajar yang dengan setia menunaikan
tugasnya.
kepada Dewan Mahasiswa, Pengurus GMKI, GMNI dan
semua mahasiswa yang memberikan bantuan yang
kompak dan beraneka warna pekerjaan kita.
kepada tata-usaha, yang senantiasa dengan giat mengikuti
gerakan cepat perkembangan universitas kita.
kepada Dewan Pengurus dan Dewan Kurator, Panitia
Keuangan, yang selalu dalam kerjasama yang erat,
mengusahakan perluasan Universitas Kristen Satya
Wacana.
kepada Gereja-Dunia, yang membantu kita dengan perto-
longan tenaga dan biaya,
kepada PT negeri/swasta yang bekerja sama dengan kami atas
kooperasi dan saling pengertian,
kepada masyarakat Salatiga, penguasa sipil/militer setempat,
panca tunggal Salatiga: Bp. Komres, Bp. Walikota/
Kepala daerah, Bp. Kodim, Bp. Kepala Polisi, Bp.
Kepala Kejaksaan dan Jawatan-jawatandi Salatiga,
kepada penguasa sipil/militer di Jawa Tengah, kepada

71
Dep. PTIP, PDK, Agama, Luar negeri yang membe-
rikan bantuan.
Terima kasih.

Catatan:
Tahun pelajaran 1962-1963 ditandai dengan perubahan yang
lebih berarti dalam Perguruan Tinggi Satya Wacana, terutama dalam
struktur akademisnya.
Perubahan struktur akademis dimaksud nampak dari dibuka-
nya beberapa fakultas seperti: fakultas Ilmu Hayat, fakultas Ilmu
Pasti/Alam dan menambah jurusan Pendidikan Guru Agama untuk
FKIP.
Dengan demikian UKSW mempunyai 5 fakultas yakni: Eko-
nomi, Hukum, Ilmu Hayat, Ilmu pasti dan alam serta FKIP dengan
enam buah jurusan. Perubahan ini diiringi pula dengan pertambahan
tenaga-tenaga pengajar, di antaranya Dr. FL. Cooley yang dipercaya-
kan menjabat Ketua Panitia matakuliah dasar dibantu oleh 3 orang
Sarjana Muda, 8 orang tenaga Sarjana dan seorang asisten untuk
fakultas/jurusan hukum, 5 orang Sarjana dan 5 orang Sarjana Muda,
pada fakultas exakta, seorang Sarjana dan 2 orang asisten untuk
jurusan Sejarah Budaya, 3 orang Sarjana dan 4 orang Sarjana Muda
untuk Fakultas Ekonomi.
Dengan bertambahnya 23 tenaga pengajar maka jumlah
pengajar bertambah dari 53 orang (1961) menjadi 83 orang yang
memberi kuliah kepada sejumlah 616 mahasiswa dari jumlah 514
pada tahun lalu. Kemajuan akademis terlihat dari diselenggarakan-
nya ujian sarjana pendidikan swasta untuk 5 orang, 92 Sarjana Muda
swasta, 81 di antaranya mengikuti ujian negara dan yang berhasil
sebanyak 70 orang. Diusahakan pula ujian Sarjana Muda fakultas
Hukum, Ekonomi di Universitas Diponegoro dan mengirimkan
beberapa tamatan Sarjana Muda UKSW untuk belajar di universitas
lain, di samping adanya 9 tenaga pengajar (Sarjana) yang mening-
galkan Satya Wacana.
2 buah ruang kuliah dapat selesai dibangun, satu student
centre, 6 rumah dosen, satu asrama mahasiswa putra, dua asrama
mahasiswa putri, dan memulai langkah-langkah persiapan untuk

72
membangun ruang kuliah, kantor tata usaha, ruang pengajar yang
oleh Prof. Mohammad Yamin diletakkan pertama pada 30 Agustus
1962.
Hal lain adalah pertambahan 4 Gereja pendukung yakni
Gereja Kristen Isa Almasih, Gereja Masehi Injili Minahasa, Gereja
Maluku dan Gereja Bali. Patut disebutkan pula adanya kunjungan
Prof. Mr. Poerbopranoto ketua FKIP Universitas Airlangga Malang,
Konsul Jenderal New Zealand untuk menyerahkan buku-buku
perpustakaan.
D. Roemainum, Ds. Prawar dari Dewan Gereja irian Barat.
Prof. Dr. Verkuyl memberi ceramah mengenai: Alkitab, Iman dan
Akal, Mr. Kuntoro Shiozuki dari World Federation Student
Movement, Jenewa, Wakil Gereja Australia dan D. N. Aidit yang
memberi kuliah Etika Komunis.

73
9. KEKRISTENAN YANG REVOLUSIONER

Bacaan: Wahyu 6: 1-8.


Awal tahun 1963 ditandai dengan pergolakan yang hebat
Revolusi tidak hanya menggelora di Indonesia, Asia, Afrika
melainkan diseluruh dunia.
Orang Kristen yang berfikir sudah lama bertanya pada diri
sendiri: “Darimana asalnya revolusi dunia ini bagaimana seharusnya
kekristenan kita dalam masa revolusi ini?

Marilah kita bicara tentang:


Kekristenan yang revolusioner, dengan pembagian:
1. Revolusi itu berasal daripada Tuhan
2. Tujuan revolusi Allah
3. Kekristenan yang revolusioner

1. Revolusi itu Berasal daripada Allah


Bahwa Autor atau Pengarang daripada revolusi itu adalah
Allah sendiri, dapat kita baca dalam wahyu 5 dan 6. Allah bukan
hanya Allah daripada kosmos, daripada ketertiban ketenangan, Allah
juga Allah daripada chaos, pergolakan dan revolusi.
Dalam wahyu 5 dapat kita baca bahwa rancangan Tuhan
tentang sejarah dunia itu dilambangkan sebagai kitab, yang tertutup
dengan tujuh meterai. Hanya anak domba, yaitu Kristus, Persona ke-
II dalam Allah yang Tritunggal, dapat diserahi pelaksanaan rancang-
an tentang sejarah dunia itu.
Apabila meterai pertama dibuka, maka tampaklah seekor kuda
putih dan orang yang mengendarainya itu ada berpanah. Maka


Khotbah pembukaan Kuliah, Senin 7 januari 1963.

74
dikaruniakan kepadanya suatu mahkota, dan keluarlah ia dengan
tanda kemenangan dan supaya ia menang lagi. Kuda putih dengan
pengendara yang berpanah itu adalah lambang daripada Evangelium
Christi, warta kesukaan Kristus. Evangelium itu menang, dan sedang
menang dan akhirnya menang.
Hanya saja untuk membuka jalan baginya di dunia di dalam
sejarah umat manusia, untuk membuka jalan ke dalam hati manusia,
maka Tuhan Allah melalui tangan Kristus, mengeluarkan: Kuda lain,
kuda yang merah menyala. Pengendaranya dikaruniai kuasa untuk
mengambil perdamaian dari bumi, sehingga orang berbunuh-bunuh-
an, dan sebilah pedang yang besar dikaruniakan kepadanya. Kuda
merah menyala beserta pengendaranya yang berpedang yang besar
adalah simbol daripada perang, revolusi perang dan akibat-akibatnya
yang dahsyat.
Kemudian dikeluarkan oleh Tuhan Allah dengan perantaraan
Kristus:
Kuda hitam, lalu terdengarlah suara: secupak gandum sedinar
harganya dan jelai tiga cupak sedinar harganya, artinya:
bahan makanan menjadi amat mahal harganya.
Secupak adalah takaran makanan orang sehari (1 liter), dan
sedinar adalah upah buruh sehari, sehingga seorang buruh
hanya bisa membeli makanan untuk diri sendiri dengan upah
yang diterimanya sehari. Ia dengan kerjanya tidak dapat
memperoleh makanan bagi keluarganya. Kuda hitam adalah
lambang kelaparan.

Kemudian dilepaskan oleh Tuhan Allah melalui Kristus yang


memegang pemerintahan dunia:
Kuda kelabu dan orang yang duduk di atasnya itu maut nama-
nya, dan hades (neraka) itu mengikut sertanya. Maka kepada
keduanya itu dikaruniakan kuasa atas seperempat bumi akan
membunuh dengan pedang dan dengan kelaparan dan dengan
maut dan dengan binatang buas-binatang buas di bumi. Kuda
kelabu adalah lambang maut dan kebinasaan yang mengamuk
di bumi.
Dari Wahyu 6 ini nampaklah, bahwa Allah sendiri itu
Pengarang daripada revolusi, Allah yang mendatangkan perang,

75
kelaparan dan maut serta kebinasaan. Tetapi tidak hanya dalam
Wahyu nampak bahwa Allah bukan hanya Allah daripada kosmos
melainkan juga daripada pergolakan. Kita melihat dalam pemba-
ngunan menara di Babel, bahwa Tuhan Allah mempergolakkan
bahasa dan persekutuan manusia, dalam kitab-kitab Zakaria, dimana
kedatangan revolusi dilambangkan sengan empat tanduk dan empat
pandai besi, dalam Detero Yesaya dimana Cyrus, raja Persia dititah-
kan untuk mempergolakkan kerajaan Babilonia. Allah itu Pengarang
revolusi di dunia.

2. Apakah Tujuan Revolusi Allah Itu?


Tujuan revolusi itu jelas dari Wahyu 6: 1-8.
Tujan pergolakan, yang digelorakan di bumi ialah membang-
kitkan hati nurani manusia yang tertidur, ialah membuka siensi
manusia, untuk merintis jalan Evangelium Christia, untuk merom-
bak dan menggempur dunia yang lama yang berdosa untuk mem-
bangun kerajaan baru, yaitu Kerajaan Allah dimana Allah bertakhta
dengan berkedaulatan.

3. Kekristenan yang Revolusioner


Dalam perombakan dunia lama dan pembangunan dunia baru
itu diharapkan oleh Allah daripada kita orang Kristen, supaya
menjadi KooperatorNya yang revolusioner.
Kekristenan yang revolusioner itu dimungkinkan karena
pembaharuan manusia dalam Kristus. II Korintus 5 : 17, menyatakan
“Barangsiapa yang hidup dalam Kristus, maka ia adalah makhluk
baru, maka segala yang lama itu sudah lenyap dan yang baru sudah
terbit”.
Kita orang Kristen harus menginsyafi, bahwa kita adalah
makhluk yang baru, yang disuruh menjadi ambassadeur (dutabesar)
daripada Raja Baru-Kristus di dunia yang akan binasa. Kita harus
memproklamasikan bahwa dunia lama dan manusia lama itu akan
lenyap dan sedang lenyap dan dunia baru beserta manusia baru itu
akan terbit dan sedang terbit. Proklamasi ini proklamasi revolusi-
oner.

76
Apakah Revolusioner?
Sikaprevolusioner berarti menghakimi (judge) situasi yang
berada atas nama kebenaran, yang belum berada (atau yang menda-
tang), sedangkan kita menganggap kebenaran yang menentang itu
lebih hakiki dan lebih nyata daripada kenyataan yang mengelilingi
kita sekarang.
Tindakan dan perbuatan yang revolusioner adalah tindakan
dan perbuatan yang dilakukan dalam kesadaran Parous dalam keha-
diran Kristus, dalam kedatangan kembalinya Kristus. Ditinjau dari
arti revolusi ini, maka semua revolusi duniawi, revolusi komunnis
atau revolusi apapun bukan revolusi, melainkan reformisme, oleh
karena revolusi dunia ini yang berdasarkan manusia yang lama.
Revolusi Kristen adalah revolusi yang radikal (radix= akar), revolusi
sampai ke akar, yaitu revolusi yang bersumberkan pembaharuan
daripada manusia lama menjadi manusia baru karena karya Tuhan
Yesus Kristus, kewarganegaraan kerajaan kegelapan menjadi ke-
warganegaraan baru daripada Kerajaan Allah, yang mengubah ke-
taatan kepada hukum yang lama yaitu hukum kebencian menjadi
ketaaatan kepada hukum kasih.
Kekristenan yang revolusioner ini bukan karena usaha
manusia, bukan anthropocentris, melainkan karunia daripada Allah
yang Tritunggal dan Theocentris adanya. Kekristenan yang revolu-
sioner ini harus merombak manusia dan alam lama dengan pelayan-
an dan kegiatan kasih.
Dengan wujud baru dan dengan hukum baru itu kita orang
Kristen terpanggil untuk mentransformasikan, untuk membaharui
masyarakat dan dunia. Kita dipanggil untuk memimpin semua
revolusi di dunia ini, yang dipandang orang Kristen hanya
reformisme saja. Kita orang Kristen kerap kali bersikap takut-takut
dan minggir-minggir karena kita tertegun memandang Sang Bayi di
Betlehem saja. Kita lupa bahwa Kristus kecuali berbaring di kandang
Betlehem, sudah disalib, sudah mati, sudah bangkit kembali dan
sudah naik di surga. Ia sekarang adalah Raja segala raja, Tuhan dari-
pada segala yang dipertuan, yang memegang tampuk pimpinan
sejarah dunia.

77
Marilah dalam masa revolusi ini ktia menginsyafi kekristenan
yang revolusioner dan berbuat serta bertindak dengan program kerja
di bidang: kegerejaan, politik, sosial, ekonomi, kebudaan (ilmu,
kesenian, pendidikan), yang jelas untuk mentransformasikan bangsa
dan masyarakat sambil meresapkan Wahyu 21: 5: “Maka Allah yang
duduk di atas arasy itu pun berfirman:

“Tengoklah, Aku jadikan semua baharu”

78
10. PANGGILAN KRISTEN
YANG TRITUNGGAL DALAM MASA
REVOLUSIONER

Bacaan: Markus 4: 14, 15


“Maka ditetapkannya dua belas orang supaya mereka
bersama-sama dengan Dia, dan supaya mereka itu disuruh pergi
mengajar orang dan lagi akan beroleh kuasa membuangkan setan”.
GMKI dan tiap orang Kristen hidup dalam dunia yang penuh
dengan bahaya dan penderitaan.
Dalam bidang internasional kita menghadapi suasana yang
labil, dimana tiap saat, peperangan dapat meletus. Malahan pepe-
rangan itu dapat juga menjalar ke dalam batas-batas negara kita.
Di bidang dalam negeri, kita menghadapi kesulitan-kesulitan
penyelenggaraan keadilan dan kemakmuran dan mengalami pergo-
lakan ideologi yang masing-masing datang dengan retensi dapat
menyelesaikan penderitaan di Indonesia.
Di tengan-tengah dunia internasional dan nasional yang
demikian seremnya, GMKI dan tiap orang Kristen harus hidup
dengan mata terbuka dan telinga terbuka. Tidak hanya pancaindra
kita harus terbuka, melainkan juga hati dan akal kita harus terbuka.
Kita harus hidup dengan “normbesef”, dengan kesadaran akan
norma. Kita harus mulai apakah suatu gerakan atau penganjurnya itu
dari Kristus, atau dari roh gelap. Kita jangan hidup sebagai
“sleepwalker”, sebagai orang yang mengigau, melainkan kita harus
hidup berjaga.
Di tengah-tengah revolusi yang sedang menggelora dan
mengguntur didunia dan dalam hati manusia ini, kita boleh bertanya
sambil berdoa, kepada Tuhan kita yang hidup:


Khotbah Dies Natalis XII GMKI Cabang Salatiga 17 Februari 1963.

79
“Apakah yang harus kami perbuat. Apakah panggilan kami di
tempat kami ini dan pada masa kini?”
Tidak banyak nats dalam Alkitab yang dengan padat, singkat
dan lengkapnya menggambarkan panggilan orang Kristen.
“Supaya mereka itu bersama-sama dengan Dia, dan supaya
mereka itu disuruhnya pergi mengajar orang dan lagi akan
beroleh kuasa membuangkan setan”
Marilah pada pagi ini, dalam rangka peringatan Dies Natalis
GMKI XIII dan pada kebaktian Doa Sedunia, kita bicara tentang:
Panggilan Kristen yang tritunggal dalam masa revolusioner,
dengan perincian:
1. Supaya kita bersama-sama dengan Kristus
2. Pergi
3. Berbuat

1. Supaya Kita Bersama-sama dengan Kristus


a. Panggilan kita orang Kristen yang pertama pada masa revolu-
sioner di Indonesia ini, sama dengan panggilan Kristen dari
semua jaman dan semua tempat, yaitu bersama-sama dengan
Kristus, bersekutu dengan Kristus. Bersama-sama dengan kristus
adalah raison d’etre kita sebagai orang Kristen. Bersekutu
dengan Kristus adalah alasan keberadaan kita orang Kristen. Kita
orang Kristen, baru Kristen dalam koinonia (persekutuan)
dengan Kristus. Tanpa Kristus, kita bukan Kristen. Pengkhianat-
an bagi orang Kristen yang terbesar ialah apabila ia berbuat
seakan-akan tidak ada Kristus, apabila ia mengingkari bahwa
Kristus mengendalikan pemerintahan di langit dan di bumi,
dimana ada Kristus di situ ada Kristen
Persekutuan dengan Kristus merupakan pensifatan yang menen-
tukan, merupakan garis pemisah antara kekristenan dan semua
ideologi duniawi. Perbedaan dogma atau denominasi antara
orang Kristen bukan garis pemisah mutlak. Tetapi koinonia
dengan Kristus itu menentukan pemisahan yang mutlak.
b. Kemudian, apakah arti (werdi) sebenarnya daripada “bersama-
sama dengan Kristus?” Pertanyaan ini dijawab dengan jelas oleh
Rasul Paulus dalam II Korintus 5:17:

80
“Barang seorang yang hidup didalam Kristus, ialah kejadian yang
baru; maka segala apa yang lama itu sudah lenyap, sedangkan
yang baru itu sudah terbit”
Bersama-sama dengan Kristus adalah perkenan daripada Allah
kepada kita manusia yang berdoa untuk turut mengambil bagian
dalam hidup baru, atas dasar karya Kristus yang melakukan
“Stellvertretende Gerechtigkeit” (keadilan yang menggantikan).
Ia yang tiada berdosa, dihisabkan sebagai berdosa untuk ke-
bahagiaan kita semua.
Hidup baru itu bukan hanya menyinggung segi tata lahir,
melainkan justru mendalam dan mengakar kepada tata-batin,
sampai kehati. Kita manusia yang berdosa dijadikan makhluk
yang baru sampai kehati kita, yang menentukan sikap dan
mewujudkan sumber fikiran dan perbuatan kita. Kristus adalah
Adam yang baru yang memulai perihal baru dalam sejarah dan
mengalaskan Kerajaan Baru, yakni Kerajaan Surga yang men-
cerahi dunia kita. Bersama-sama dengan Kristus berarti bahwa
kita dihisabkan dalam hidup Kerajaan Surga.
Supaya kita orang Kristen tetap hidup Kristen, kita harus
senantiasa hidup dalam Terang Pemerintahan Tuhan.

c. Apakah syaratnya supaya kita tetap dalam Terang Pemerintahan


Allah?
Kita orang Kristen harus tetap hidup dalam dialogia dalam soal
jawab dengan Kristus, Tuhan kita,
Kita harus mengalami kehadiranNya dalam hati kita, mengalami
dialogia dengan Tuhan dalam doa kita, dalam kebaktian kita dan
dalam pelayanan sakramen. Pendeknya dalam seluruh hidup
kita, kita harus mengalami kehadiranNya, pesertaan-Nya yang
penuh kasih dan rahmat. Baru denga perkenalan secara pribadi
atas dasar pengalaman dalam seluruh hidup kita sehari-hari, kita
dapat menjadi martyr dalam arti rangkap: saksi dan menderita
untuk Kristus.
d. Hidup bersama-sama dengan kristus berarti hidup sebagai
anggota Tubuh Kristus.

81
Tiap orang Kristen terpanggil untuk mendemonstrasikan hidup
baru, yang dipertanyakan oleh Kristus dalam hidupnya. Kita
terpanggil akan imitation Christy, untuk meneladan hidup
Kristus sesuai dengan norma dan Hukum Kerajaaan Allah.
Lain daripada itu, apabila kita hidup dalam Kristus maka
menurut 1 Yahya 1:7: “Jikalau kita berjalan di dalam terang se-
bagaimana Ia (Kristus) juga ada di dalam terang, maka berse-
kutulah kita seorang dengan seorang”
Apabila kita hidup dalam kristus kita merupakan persekutuan
(koinonia) yang kuat teguh yang tidak dapat dipecah-pecahkan
oleh roh gelap.
Hidup baru dan persekutuan antara orang Kristen merupakan
tanda-tanda daripada keberadaannya bersama-sama dengan
Kristus.

2. Pergi Mengajar Orang


Panggilan kita yang kedua ialah “pergi”“mengajar orang”.Atau
dengan perumusan yang lebih luas dari Matius 28 : 19:
“Sebab itu pergilah kamu, jadikanlah sekalian bangsa itu
muridKu, serta membabtiskannya dengan Nama Bapa, dan
Anak dan Rohkudus”.

Istilah Yunani yang dipergunakan berarti pergi, berjalan. Gereja


Kristen dan orang Kristen didunia dan di Indonesia ini diharapkan
supaya jangan berhenti, jangan statsis, jangan mandek, tetapi
bergerak, dinamis dan maju. Kita tidak diharapkan hidup menetap
dalam istana, melainkan hidup dalam tenda, yang tiap saat sanggup
beralih tempat sesuai dengan perubahan situasi dan strategi. Kita
dipanggil untuk pergi. Lambang hidup Kristen yang wajib kita
teladan adalah hidup Abraham. Ia dipanggil oleh Tuhan untuk
meninggalkan negeri Ur di Chaldia untuk menuju ke suatu negeri
yang dijanjikan oleh Yahwe.
Demikian juga kita orang Kristen dipanggil untuk menempuh
suatu “Abrahamatisch avontuur”, suatu “Abrahamic adventure”,
menuju ke negeri Perjanjian, Kerajaan Surga.

82
Tugas kita adalah pergi. Istilah pergi itu meliputi dua hal:
a. Berangkat dan meninggalkan alam yang lama
b. Memasuki lingkungan dan dunia baru.

Orang Kristen tiap saat harus siap untuk berangkat, untuk


bergerak dengan dinamika. Ibrani 13:14 menyatakan: “Karena di
dunia ini kita tiada mempunyai negeri yang kekal, melainkan kita
mencari negeri yang akan datang”.
Kita orang Kristen adalah refugee, pengungsi dari negeri lain,
yang menuju ke Kerajaan Surga. Kita ini menurut doa Imam Agung
Kristus, berada didunia, tetapi bukan dari dunia. Raja kita meme-
rintahkan kepada kita supaya kita pergi, supaya kita menjadi
musafir.
Sebab itu seharusnya tidak ada seorang yang demikian
dinamiknya, demikian bergerak cepatnya seperti orang Kristen.
Orang Kristen yang statik tidak mengerti panggilannya. Sebab itu
nama Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia adalah nama yang
sesuai dengan panggilan untuk berdinamik menurut komando
Kristus. Kita sekalian harus membenarkan nama Gerakan Mahasiswa
Kristen Indonesia dalam kehidupan organisasi kita.

Kita Pergi
Pada masa sekarang ini ketentuan-ketentuan hidup kita,
perlindungan-perlindungan yang mengamankan hidup kita seakan-
akan diambil oleh Allah dan kita dicampakkan dalam kenyataan
panggilan kita: Kita harus pergi, jangan mengikat pada satu tempat
atau satu siasat, kita harus menempuh avontuur Abraham di muka
bumi ini.
Pergi berarti berangkat, tetapi berarti juga memasuki dunia
dan lingkungan baru. Dunia dan lingkungan baru yang kita masuki
ialah dunia yang sekuler, dunia yang tidak mengenal Kristus, dunia
yang melawan Kristus.
Untuk dapat pergi mengajar orang dalam dunia sekarang itu
kita harus mengenalNya. Kita harus mengetahui bahwa dunia yang
mengingkari Kristus/Allah itu mengganti Kristus/Allah dengan
berhala-berhala ciptaannya sendiri. Manusia adalah manusia yang

83
religious. Dalam hatinya ditanamkan oleh Tuhan: semen religionis,
bibit keagamaan, sehingga apabila ia tiada berbakti kepada Allah,
lalu menyembah berhala. Dunia sekuler itu kecuali menyembah
berhala dikuasai oleh ideologi-ideologi yang pada hakikatnya dan
dalam intinya merupakan self-deification (pendewaan dari diri
pribadi) daripada manusia. Kita harus mempelajari, meneliti dan
mengenal dunia sekuler beserta ideologi-ideologinya, supaya kita
dapat mengajarnya tentang Kristus, sehingga ajaran kita memperoleh
tanggapan
Lain daripada itu kita wajib mempergunakan alat komunikasi,
harus memakai bahasa yang difahami oleh dunia. Pada masa ini,
bahasa revolusi yang difahami orang Indonesia. Kita orang Kristen
harus memakai bahasa revolusi untuk dapat dimengerti.
Sebenarnya tidak ada orang yang serevolusioner seperti kita
orang Kristen. Kita ingin merevolusikan/mentransformasikan
seluruh dunia/umat manusia atas dasar hidup baru dalam Kristus.
Semua revolusi yang dikehendakkan oleh ideologi-ideologi duniawi
hanyalah revormisme, revolusi tambalan, karena didasarkan pada
manusia lama yang berdosa.
Pergilah memasuki dunia sekuler dan pergunakan bahasa
pengantarnya dalam mengajar mereka tentang Kristus, Tuhan kita.

3. Berbuat, Membuangkan Setan


Atas panggilan Kristus, kita orang Kristen seharusnya berge-
rak dengan dinamika, memasuki dunia yang sekuler. Tapi kita ingin
menetap dalam kamar doa kita, dalam tembok gereja kita, dalam
dinding universitas kita.
Atas panggilan Kristus kita orang Kristen seharusnya berbuat,
melawan dan membuang setan, melawan dan membuang roh gelap
dari dunia dan dari ideologi-ideologinya. Tapi kita lebih suka
menikmati hidup tanpa berbuat apa-apa untuk revolusi Kerajaan
Surga. Kita orang Kristen menjadi sedemikian lalai dan lengah di
bidang kerja dan perbuatan, sehingga semboyan-semboyan kerja kita
diambil alih oleh kaum komunis.
Untuk memberikan contoh: “Jikalau seorang tiada mau be-
kerja jangan ia makan”. Ini dikenal oleh tiap orang komunis di Rusia.

84
Kita orang Kristen tidak mengetahui bahwa semboyan itu adalah
nats dari Alkitab, yang terdapat dalam II Tesalonika 3:10.
Semboyan lain:
“Dari masing-masing sesuai dengan kecakapannya kepada
masing-masing sesuai dengan kebutuhannya”.

Ini pun dikenal orang Rusia, tetapi tidak oleh kita. Ungkapan
ini berasal dari Calvin, yang hidup tiga abad sebelum Marx. Calvin
menyusun rumusan itu atas dasar II korintus 2.
Kelebihan kita orang Kristen adalah bicara, bicara terlalu
banyak. Kekurangan kita adalah aksi, perbuatan.
Kita harus mengidentifikasikan diri, menyaturagakan diri
dengan penderitaan dalam masyarakat kita. Kita harus menyusun
proyek kerja, program aksi.
Kita dipanggil untuk berbuat, untuk melayani, untuk mela-
wan dan membuang setan dan roh gelap, yang mempergunakan
kegiatan kerja untuk menentang Terang Kerajaan Surga.
Kita mengira bahwa sudah memadailah, jikalau kita bersama-
sama dengan Kristus dan pergi mengajar orang. Belum cukup!
Kita harus membuang setan, kita harus mentransformasikan
dunia. Kita harus membaharui bidang kegerejaan, bidang politik,
bidang sosial, bidang ekonomi, bidang kebudayaan (ilmu, kesenian,
pendidikan). Bagi orang Kristen bidang-bidang itu tidak terpisahkan
daripada koionia (sekutuan dengan Kristus) dan kerugma (prokla-
masi Kerajaan Surga).
Pemisahan pelayanan (diakonia) dalam bidang-bidang terse-
but dari koionia dan kerugma, bertentangan dengan panggilan tri-
tunggal daripada orang Kristen.
Sebab itu di lapangan diakonia yang beraneka warna itu
diharapkan daripada kita untuk melakukannya dalam horison
Kerajaan Surga dan mendasarkannya atas:
agape (kasih yang mengorbankan diri):
a – lethia - kebenaran (truth), (sebenarnya: tidak tertutup,
pembukaan rahasia)

85
dikajosune - keadilan (tapi bukan dengan cashnex melainkan
dijiwai oleh “personal touch”)

Marilah kita bukan non-aktif, melainkan aktif, bukan


menganggur, melainkan dengan dinamika hidup.Susunlah rancang-
an kerja untuk kita laksanakan dengan setia. Marilah kita mendengar
dan melaksanakan panggilan Kristen yang tritunggal:
- bersekutu dengan Kristus (koionia)
- pergi mengajar dunia (kerugma)
- giat dan berbuat membuang roh gelap (diakonia) di bidang
kegerejaan, politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.

Tuhan beserta kita.

86
11. RELASI ILMU PENGETAHUAN DAN
KEPERCAYAAN

Para tamu yang kami muliakan,


Dewan Pengurus
Dewan Kurator,
Para Pengajar,
Para anggota tata usaha, yang terhormat,
Para mahasiswa yang kekasih,

A. Hari ini adalah hari untuk bersyukur. Bersyukur kepada Tuhan,


yang telah menyertai, membimbing Universitas Kristen kita.
Yang juga berkenan mendengarkan doa kita untuk diberi
pengakuan. Terpujilah Namanya di atas segala nama, Terpujilah
KaryaNya di atas pekerjaan manusia. Dari sini kami ingin
mengucapkan terima kasih kepada semuanya dari Gereja dalam
dan luar negeri, yang secara bertekun turut membantu kita
dalam doa.
Kehadapan J.M. Menteri beserta Dep. PTIP kami mengucap-
kan terima kasih atas kepercayaannya untuk:
1. Menyatakan UKSW sebagai perguruan tinggi swasta
terdaftar terhitung mulai 16 juli 1962, menurut Surat
Keterangan. Terdaftar No.7/1962.
2. Memutuskan: memberikan penghargaan sama dengan
ijazah perguruan tinggi negeri yang setaraf kepada ijazah
sarjana muda/sarjana dari Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, dan sarjana muda dari Fakultas Hukum dan
Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana,
terhitung mulai tanggal 1 April 1963, menurut Surat
Keputusan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengeta-


Diucapkan pada Perayaan Pengakuan persamaan Universitas Kristen Satya
Wacana Salatiga, 24 April 1963.

87
huan Republik Indonesia No.22 Tahun 1963 tertanggal 20
Maret 1963.

Para tamu yang mulia,


Terima kasih kami haturkan kepada Saudara-saudara sekalian
atas perkenan saudara-saudara mengguyubi syukur dan kegembiraan
keluarga Universitas Kristen Satya Wacana. Terima kasih kepada
musyawarah FKIP swasta (Sanata Dharma), FKIP Muhammadiyah
(Sala dan Jakarta) yang sejak juni 1959 bekerjasama untuk mem-
peroleh pengakuan-persamaan,
Terima kasih kepada FKIP Bandung, yang dalam tiga tahun
berturut-turut telah menguji sarjana muda dan sarjana kita, sehingga
turut membantu mengadakan alasan akan pengakuan.Terima kasih
kepada Universitas Diponegoro, UGM, AMN, FKIP Malang yang
memperkenankan mahaguru-mahagurunya membantu kita di sini.
Terima kasih kepada Badan Antar Perguruan Tinggi Kristen
Indonesia atas kerjasama yang baik. Dari sini kami mengucapkan
selamat kepada UKI dan Universitas Nomensen yang juga mem-
peroleh persamaan.
Terima kasih kepada Bapak-bapakpembesar sipil dan militer
setempat dan provinsi yang menaruh hati yang baik terhadap kami
dan memberikan kemungkinan untuk berkembang.
Demikian pula kepada penduduk (masyarakat Salatiga), yang
membantu dan mengaku kami sebagai Universitasnya.
Terima kasih kepada sekolah-sekolah latihan yang turut mem-
bantu kami dalam suatu aspek pendidikan yang tertentu daripada
mahasiswa-mahasiswa kita.
Terima kasih kepada Dewan Pengurus, Dewan Kurator yang
tak henti-hentinya menaruh perhatian dan bekerja untuk
Universitas Kristen kita. Pengakuan ini adalah juga berkat yang
dikaruniakan oleh Tuhan kepada karya Saudara-saudara.
Terima kasih kepada seluruh pengajar yang tanpa menghitung
lelah mempertahankan taraf pelajaran/pendidikan di Universitas
Kristen kita. Pengakuan ini adalah berkat kerjasama kita dan
mencambuk kita untuk mengejar persamaan dan meninggikan mutu
serta watak daripada pendidikan/pengajaran Kristen kita.

88
Terima kasih kepada para mahasiswa angkatan 59, 60, 61, 62
yang dengan taat menunjukkan prestasi yang tinggi dalam ujian
negara di Bandung.
Terima kasih kepada staf tata usaha yang tanpa memper-
hitungkan waktu menyertai kami dalam mengejar pengakuan/per-
samaan.
Terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebut di
sini atas semua bantuan dan simpati.

B. Seperti Saudara-saudara sudah ketahui Universitas Kristen Satya


Wacana mulai riwayatnya sebagai PTPG-KI (sampai sekarang
terkenal di kampung). Kuliah-kuliah dimulai pada tanggal 17
oktober 1956 di Jalan Dr. Sumardi 5 dan dibuka secara resmi
pada tgl 30 Nopember 1956. PTPG-KI diubah menjadi FKIP-KI.
pada tanggal 17 juli 1959. Pada 5 Desember 1959 diumumkan
pendirian Universitas Kristen Satya Wacana. Yang sekarang
terdiri dari lima fakultas:
1. FKIP dengan jurusan:
1. Ilmu Mendidik
2. Sejarah Budaya
3. Bahasa Inggris
4. Hukum
5. Ekonomi
6. Pendidikan Guru Agama
2. Fakultas Ekonomi
3. Fakultas Hukum
4. Fakultas Biologi
5. Fakultas Ilmu Pasti/Alam

Jumlah mahasiswa yang berasal dari 19 daerah Indonesia ada


616 (Satya Wacana adalah Perguruan Tinggi yang paling nasional),
Dosen 84.
Fakultas Biologi, FIPIA tidak perlu cemas karena belum
diakui. Tahun depan kita boleh kembali.
Perkenankanlah kami pada saat yang historis bagi Universitas
kita ini menyajikan pemikiran kembali tentang soal Apakah arti
predikat Kristen terhadap universitas dan apakah werdi (makna)

89
Satya Wacana dalam nama Universitas kita. Universitas pada
umumnya menunjukkan tiga aspek, yang masing-masing mewujud-
kan vocatio/panggilannya.
1. Universitas pertama-tama adalah uni-versitas scientiarum.
- Suatu persekutuan ilmiah, yang mengajarkan ilmu dan
melakukan ilmu dan melakukan penelitian ilmiah.
2. Universitas adalah universitas magis-trorum et scholarium.
- Persekutuan dosen dan studen, pergaulan mendidik
antara guru dan murid.
3. Universitas adalah persekutuan pembinaan untuk profesi-
profesi yang bertaraf akademis.

Bag.1. Berhubung dengan waktu, maka hanya aspek pertama akan


kami uraikan secara skematis, sedangkan aspek-aspek yang
lain hanya akan disebut saja. Soal yang kita hadapi adalah:
- Apakah arti predikat Kristen terhadap universitas, sebagai
universitas scientiarum?
- Dengan perumusan lain apakah relasi antara ilmu
pengetahuan dan kepercayaan.

a. Ilmu Pengetahuan
Yang kita maksud: wetenschap, wissenschaft, sciences and the
humanities.
Pengetahuan mula-mula berarti apa yang kita ketahui dalam
perkembangan kebudayaan Yunani terbitlah differentiatie di bidang
pengetahuan: pengetahuan yang teoretis yang disebut ephisteme dan
pengetahuan yang praktis. Sehingga dapat dikatakan bahwa timbul-
lah perswastaan/daripada ilmu terhadap praxis. Kecuali perswastaan
(berdiri sendiri) terhadap praktek, ilmu pengetahuan itu mendapat
sifat khusus karena: metode yang khusus dan jenis pengetahuan
yang khusus.
Dalam menganalisa kenyataan maka subyek mengarahkan diri
pada yang umum supaya memperoleh pengetahuan yang berlaku
secara umum. Subyek berusaha bersikap untuk tidak memperhitung-
kan diri sendiri agar memperoleh pengetahuan yang seobyektif-
obyektifnya. Selanjutnya dalam usaha memperoleh pengetahuan

90
yang umum, maka subyek mengarahkan diri kepada yang umum
daripada suatu aspek kenyataan yang tertentu, sehingga tumbuhlah
ilmu-ilmu vak: pasti, alam, biologi, ekonomi, sosiologi, hukum dan
sebagainya.
Dengan perkataan lain, penguasaan ilmu pengetahuan disertai
tiga jenis abstraksi:
1. Absrtaksi daripada pengetahuan praktis
2. Abstraksi daripada subyek sejauh-jauhnya
3. Abstraksi fungsionil, yaitu memisahkan aspek kenyataan
yang tertentu daripada yang lain.

Ilmu pengetahuan/Wissenschaft adalah: Pengetahuan yang


diperoleh secara metodis dan disusun sebagai keseluruhan secara
sistematis tentang suatu bidang/aspek kenyataan.

b. Apakah Ilmu Pengetahuan itu Autonom?


Pertanyaan ini adalah soal yang rumit.
Apakah ilmu pengetahuan bisa berdiri secara abstrak dan
mutlak? Apakah abstraksi-abstraksi yang tersebut tadi dapat dilaksa-
nakan secara sempurna. Dapatkah ilmu pengetahuan tegak sendiri
dan tidak bergantung kepada hal-hal lain?
Kaum empiris menyatakan, bahwa pengetahuan kita itu
terdiri dari elemen-elemen yang berasal dari pengalaman. Seperti
huruf-huruf, itu menyusun perkataan dan perkataan tersusun men-
jadi kalimat, maka demikian pula elemen-elemen penginderaan itu
tersusun menjadi arti daripada kenyataan bagi manusia.
Sebaliknya akhir-akhir ini ada filsuf-filsuf yang menyatakan
bahwa bukan fakta/elemen itu yang mendahului, melainkan arti/zin
itulah yang lebih dulu. Misalnya Merleau Ponty menunjukkan
bahwa empirisme berpangkal pada elemen-elemen penginderaan,
dan arti daripada gejala-gejala misalnya kausalitas diberikan atas
dasar: asosiasi. Merleau-Ponty tiada dapat menyetujuinya, karena
arti sesuatu gejala tidak timbul karena asosiasi, tetapi asosiasi itu
baru mungkin karena arti, yang kita berikan kepada gejala. Kausali-
tas diketahui lebih dulu daripada penginderaan. Tiap penginderaan
itu timbul dalam cakrawala arti “dalam horison van zin, van
betekenis”.

91
Pandangan Merleau-Ponty ini menunjuk kepada fenomeno-
logi daripada Edmond Husserl. Husserl mengemukakan bahwa tiap-
tiap fenomena itu menunjuk keluar diri sendiri. Penginderaan
daripada sesuatu barang hanya mengenai suatu aspek (Abschattung)
daripada barang yang bersangkutan. Misalnya dari kubus kita lihat
bidang atas, depan dan sisi. Tapi kita lihat bidang atas sungguh-
sungguh sebagai bidang atas. Ini berarti bahwa kita mengandaikan
keberadaannya bidang bawah. Dalam tiap aspek terletaklah tran-
sendensi daripada aspek itu. Dengan melihat aspek sesuatu barang,
sudah diintensikan/dimasksudkan/diartikan totalitas dari pada
barang itu.
Penunjukan transenden itu lebih daripada itu. Barang yang
konkrit itu sendiri menunjuk kepada yang umum. Penginderaan
yang individuil itu sudah mencakup lebih dari pada yang individuil
itu. Penginderaan kubus memberi pengertian bahwa itu adalah satu
eksemplar daripada kubus pada umumnya.
Bahkan fenomena menunjuk lebih luas lagi. Husserl bicara
tentang horiso luar. Kita melihat sesuatu gejala dalam keseluruhan.
Saya melihat segi depan daripada rumah, tapi saya antisipasikan juga
segi belakang daripada rumah itu. Rumah itu saya lihat bukan
berdiri dalam kekosongan, melainkan pada jalan kota yang tertentu.
Demikian juga halnya dengan horison waktu. Rumah kita inderakan
dalam waktu sejarah yang tertentu.
Lain daripada itu fenomena itu beradanya baik untuk saya
maupun untuk orang lain, sehingga ada inter subyektifitas, pada tiap
barang, yang diinderakan sebagai sesuatu yang obyektif. Obyek-
tivitas dan inter subyektivitas itu correlaat.
Subyek dan obyek daripada pengetahuan itu terletak dalam
horison arti. Tidak ada obyek tanpa subyek, tidak ada obyektifitas
tanpa inter subyektifitas, tidak ada kebenaran tanpa horison.
Pengetahuan dan ilmu pengetahuan itu tidak berdiri sendiri.
Senantiasa tercakup dalam zin horison daripada kebudayaan dan
pandangan dunia dan hidup. Sedangkan pandangan hidup/dunia ini
terletak dalam horison kepercayaan-sikap terakhir terhadap Allah.
Tidak hanya kaum filsuf, melainkan juga kaum sosiolog
menunjukkan ketergantungan pengetahuan dan ilmu dengan kebu-
dayaan, lingkungan sosialnya. Terutama Kaarl Manhein yang merin-

92
tis jalan bagi Wissensosiologie ini, dimana ia ingin menunjukkan
sampai dimana pemikiran ilmiah dan ilmu itu dipengaruhi ke-
nyataan sosial/kebudayaan.
Pengetahuan tentang suatu gejala/fenomena tergantung dari-
pada horison kebudayaan dan pandangan dunia/hidup/keper-cayaan.
Untuk memberikan contoh: matahari yang terbit itu bagi seorang
yang percaya kepada Bathara Surya, mempunyai arti lain daripada
yang mempunyai pengetahuan ilmu alam. Di belakang pencatatan-
pencatatan gejala terletaklah perbedaan horison, yang berwujud
kepercayaan akan materialisme, spritualisme, idealisme, vitalisme,
pantheisme atau kepercayaan Kristen.
Menurut faham ini ilmu pengetahuan bukan autonom. Hal ini
disebabkan karena akal budi itu bukan autonom. Bukan akal in
abstracto yang mengusahakan ilmu pengetahuan, melainkan manu-
sia sebagai keseluruhan. Dan manusia sebagai keseluruhan di
kemudikan oleh hatinya/akunya. Bahwa hati manusia itu pusatnya
sudah disebut dalam Amsal. Sulaiman 4 : 23: “Peliharakan hatimu
terlebih daripada segala sesuatu, karena dari dalamnya terpancarlah
segala hidup”.
Augustinus menyatakan: ”Non intratur inveritam nisi per
charitatem” (kita tidak akan memperoleh kebenaran kecuali melalui
kasih). Kasih ini pengetahuan daripada hati, yang mendahului
pengetahuan akali.
Pascal membedakan antara esprit de geometrie (pemikiran
matematis-logis) dan esprit de finesse (pemikiran dengan hati).
Dalam hati manusia itu ditentukan sikapnya yang terakhir terhadap
dunia dan hidup, terhadap Tuhan dan ilah. Hati itu sumber
kepercayaannya. Pense: Le coeur a ses raison que la raison ne
cannait point (hati mempunyai alasan, yang tiada dikenal oleh akal).
Pengetahuan hati itu mengenai kebenaran terdalam/terakhir menge-
nai Allah, kosmos, hidup, yang tiada dapat dirumuskan dengan akal.
Akal manusia itu di kemudikan oleh hatinya, juga dalam usaha ilmu
pengetahuan. Dapat kita simpulkan ilmu pengetahuan adalah orien-
tasi manusia dalam kosmos dan horison pandangan dunia dan hidup
serta kepercayaan.

93
c. Relasi Ilmu Pengetahuan dan Kepercayaan Kristen
Dalam perjalanan Sejarah, kita jumpai berjenis relasi antara
ilmu pengetahuan dan kepercayaan Kristen.
1. Ilmu pengetahuan mengalahkan kepercayaan
Misalnya dalam Rationalisme, yang mengajarkan bahwa pence-
rahan budi meniadakan kepercayaan religieus. Demikian pula:
Positivisme daripada Comte sesudah stadium theologis dan
metaphysis datanglah stadium positif, yang hanya memperhi-
tungkan fakta-fakta positif. Juga: dialektis-materialisme. Aliran-
aliran ini sendiri berpangkal pada kepercayaan: kesempurnaan
akal, dan keselamatan oleh ilmu pengetahuan, kepercayaan
bahwa Allah bukan asal daripada hidup/kebenaran.
2. Kebenaran yang rangkap
Misalnya kaum Averrose (abad XIII) mengajarkan bahwa apa
yang dipertanyakan oleh Alkitab itu benar, apa yang diajarkan
oleh ilmu pengetahuan juga benar. Dianut oleh cendekiawan
apabila hasil ilmu pengetahuannya selaras dengan kepercayaan.
Mereka terancam disitegrasi batin, yang membahayakan.
3. Kepercayaan mengalahkan ilmu pengetahuan
Kepercayaan dianggap tidak memerlukan ilmu-pengetahuan. Ini
faham daripada Fideisme. Apakah Athena (symbol daripada
pemikiran manusia) kena-mengena dengan Jerusalem (symbol
dari-pada revelasi).
4. Pemisahan kepercayaan dan ilmu
Misalnya Thomas Aquinas, yang membedakan antara kebe-
naran alami, yang dapat diperoleh dengan pemikiran akal-
kodrati, dan kebenaran supranatural yang hanya dapat diperoleh
dengan kepercayaan (Trinitas, Penyelamatan oleh Kristus). Tapi
pemisahan ini bukan mutlak. Karena pada Thomas Aquinas:
alam, walaupun tersendiri, rentan berbakat kepada (aangelegd
op), yang atas-alami.
5. Dua jenis ilmu-pengetahuan
Kepercayaan di sini dihubungkan dengan kepercayaan ilmu
pengetahuan. Kepercayaan Kristen akan menyebabkan usaha

94
ilmiah yang bersifat Kristen. Kepercayaan lain akan mengha-
silkan ilmu pengetahuan lain.
6. Kepercayaan horison bagi ilmu pengetahuan
Kepercayaan dan ilmu pengetahuan tidak boleh saling menia-
dakan. Tidak tertahan juga pemisahan kepercayaan dan ilmu
pengetahuan sehingga menimbulkan keretakan batin, disinter-
grasi batin. Harus diakui bahwa ada ketegangan antara keper-
cayaan dan ilmu pengetahuan. Penyesuaian kepercayaan dan
ilmu pengetahuan bukanlah suatu Gabe, melainkan suatu
Aufgabe, yang tidak akan memperoleh penyelesaian dalam
dunia ini. Relasi antara kedua adalah relasi yang dinamis, orang
yang percaya berdiri didunia ini dengan horison yang lain,
dengan horison pandangan dunia, hidup dan kepercayaan yang
lain. Tapi ia bertanggungjawab atas dunia dan sesama manusia,
juga dalam pemeliharaan ilmu pengetahuan. Pandangan-dunia/
hidup beserta kepercayaan adalah horison dalam usaha ilmiah-
nya, yang memberikan arah dan arti (Sinn) daripada pekerjaan-
nya. Orang Kristen terpanggil mengintegrasikan ilmu pengeta-
huannya dalam horison kepercayaan kepada Logos daripada
Trinitas. Logoslah yang menjadi dasar dunia dan hidup dan
dasar terakhir ilmu pengetahuannya.

Ini berarti bahwa dalam horison kepercayaan akan Logos itu:


1. Cendekiawan Kristen mengetahui bahwa ilmu pengetahuan dan
Kosmos itu menunjuk kepada Allah sebagai asal dan tujuan.
Kepercayaan ini pada satu pihak akan memberikan kepastian
bahwa ia menuju kebenaran. Rasul Paulus dalam Rum I: 18, 25
menyatakan bahwa kefasikan itu menekan melakukan suppressi
terhadap kebenaran dan mengganti kebenaran dengan dusta.
Pemikiran orang Kristen, yang dibaharui oleh Kristus mendapat
kemungkinan pembebasan daripada “Suppression and replace-
ment of the truth”.
Lain daripada itu cendekiawan Kristen dapat memperoleh
kegembiraan yang dalam, dalam usahanya menyelidiki kosmos
yang merupakan makhluk daripada Khaliknya.

95
2. Karena kepercayaannya kepada Allah yang souverein, ia dapat
melakukan de-sakralisasi dan de-idolisasi daripada alam dan
ilmunya.
3. Baginya ilmu bukanlah netral, semata-mata zakelijk obyektif,
positivistis, ia melihat zin, arti, werdinya dalam horison keper-
cayaannya.
4. Juga ia tidak perlu takut-takut bahwa hasil ilmunya berten-
tangan dengan kepercayaan. Integrasi ilmu dalam pandangan
hidup/dunia hanya mungkin dalam menunjuk kepada Sang
Logos (Sang Sabda), ialah Radix (Akar) daripada pengetahuan
dan dunia.

Bag. 2. Unversitas Magistrorum et Scolarium


Universitas sebagai pergaulan pendidikan antara dosen dan
student tergantung pada tujuan pendidikan. Pendidikan adalah per-
tolongan yang diberikan kepada pemuda untuk mencapai keswasta-
an susila, yang ditentukan oleh pandangan terhadap manusia.
Pandangan terhadap manusia ini tergantung daripada kepercayaan.

Bag. 3. Universitas Sebagai Lembaga Pembinaan Pemimpin yang


Profesional
Aspek ini tergantung pada pandangan kepemimpinan Kristen,
yang pada asasnya adalah diakonia, pelayanan kasih kepada masya-
rakat/bangsa/negara Indonesia dalam horison Kerajaan Allah.
Universitas Kristen Satya Wacana dalam tiga aspeknya ingin
menunaikan panggilannya dalam horison kepercayaan Kristen. Satya
Wacana (= setia kepada Firman) mengekspresikan suatu hasrat
untuk bekerja dari dan untuk Logos (Firman), yang menjadi dasar
dan tujuan kosmos/hidup dan ilmu pengetahuan.
Terima kasih.

Sumber yang Digunakan:


1. Dr. C.A. van Peursen, Filosofische Orientatie
2. Universiteitsmaandblad : Wending
3. Sir Walter Moberly, The Crisis of the University

96
12. UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SEBAGAI PUSAT PERSIAPAN BAGI
SUATU MASYARAKAT BARU

Tuan-tuan dan nyonya,


Dewan Pengurus dan dewan Kurator,
Para Dosen dan Para Mahasiswa,

Bagi Universitas Kristen Satya Wacana, peringatan Dies


Natalis adalah suatu hari untuk mengenang masa lampau dan untuk
memandang masa depan dengan membuat rencana-rencana. Dalam
mengenangkan masa lampau kami menghayati berkat Tuhan atas
kemajuan dan perkembangan kami, kami melihat bantuan dari pihak
penguasa, dari sesama universitas, dan dari sesama manusia kami.
Itulah sebabnya, Dies Natalis merupakan hari untuk meng-
ucapkan syukur kepada Tuhan dan menyatakan terima kasih kepada
sesama kami; hari untuk melayani dalam artinya yang sungguh,
yaitu merendahkan diri di depan Tuhan dan manusia.
Bagi kami, memandang masa depan berarti berikrar kepada
“Satya Wacana”, setia kepada Firman Allah dalam semua rencana
manusiawi kami.
Perayaan Dies Natalis ke VII berbeda dari perayaan-pera-
yaan yang lalu karena kehadiran Y.M. Menteri Perguruan Tinggi
dan Ilmu Pengetahuan, dan Wakil-wakil dari semua Universitas-
universitas Kristen di Indonesia yang baru saja menyelesaikan
konsultasi di sini, dan tamu kami dari luar negeri yang berfungsi
baik di bidang gerejani maupun di dunia perguruan tinggi.


Diucapkan pada Dies Natalis ke VII, Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga, 30 November 1963.

97
Kami ingin mengucapkan terima kasih kami yang setulus-
tulusnya kepada semua tamu kami.
Perkenankan kami sekarang memulai laporan kami kepada
Dewan Pengurus dengan pandangan sepintas tentang.

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA


SEBAGAI PUSAT PERSIAPAN
BAGI SUATU MASYARAKAT BARU

Sama seperti universitas-universitas lain, Universitas Kristen


Satya Wacana adalah suatu “Universitas scientiarum”, suatu lembaga
ilmu dan penelitian yang bertugas untuk mengimplementasikan
“Kultur-Uebertragung”, Kultur Entfaltung und-Entwicklung,” atau,
dengan menggunakan kata-kata Adolf Lowe dalam The University
Transformation-nya, bertugas untuk memberikan “general or
cultural education, promoting the rational and intuitional
Understanding of nature and society, or in other words, trying to
interpret the meaning and evolution of the world as a whole”.
Universitas Kristen Satya Wacana adalah juga suatu
“Magistrorum et scholarium”, suatu persekutuan dari magistra dan
scholaria, yang memberikan pendidikan keagamaan dan susila
dengan membentuk kata hati mahasiswa.
Ketiga, Universitas Kristen Satya Wacana adalah suatu
lembaga dimana para mahasiswa dilatih utnuk menjadi spesialis
dalam jabatannya yang dapat melayani masyarakatnya yang sudah
mengalami pembagian kerja.
Universitas Kristen Satya Wacana dalam ketiga seginya terse-
but di atas dan dalam panggilannya secara keseluruhan merupakan
perguruan tinggi yang bertanggungjawab. Tanggung jawab mengan-
daikan “dialektisch Gezweiung”, artinya suatu persekutuan di
dalamnya satu pihak bertanya dan Satya Wacana menjawab.
Satya wacana pertama-tama memberi jawaban yang men-
transenden kepada Allah. pencipta langit dan bumi, yang menjadi
dasar hidup baru dalam Kerajaan Surga. Ada damai, kebenaran,
kasih, dan keadilan dalam Kerajaan Allah. Kami, juga sebagai
perguruan tinggi dituntut untuk memberikan jawab kami, usaha
kami untuk merefleksikan Kerajaan Allah dan untuk mengubah

98
dunia dan masyarakat berdasarkan damai, kebenaran, kasih dan
keadilan.
Sebagai “universitas scientiarum”, kami harus mencari kebe-
naran, yang mentransenden batas-batas kelas, masyarakat dan
negara. Magistra dan scholaria dituntut tidak hanya menghafalkan
atau mereproduksi, tetapi untuk meningkatkan pengetahuan mereka
secara metodis demi mencapai cara berfikir kreatif dan kritis yang
dapat menilai tiap keadaan dan memecahkan persoalan-persoalan
dalam masyarakat.
Di samping apa yang tersebut di atas itu, Universitas Kristen
Satya Wacana dipanggil untuk membentuk hati nurani para pengajar
dan mahasiswa, mempertajamnya dengan norma-norma damai,
kebenaran, kasih dan keadilan. Tujuan kami dapat dirumuskan
sebagai mendidik, melatih dan membentuk ahli-ahli yang kreatif,
berhati murni dan bertanggungjawab. Untuk mencapai tujuan ini
maka mutlak bahwa staf dosen dan para mahasiswa mengetahui
kosmos, kemanusiaan, masyarakat, dan negara.
Dalam masyarakat Indonesia yang revolusioner staf dosen dan
para mahasiswa harus melihat kemanusiaan dan masyarakat dalam
kedua segiannya. Konsepsi yang berpendapat bahwa kemanusiaan
hanya individu mengandung kekurangan dan kesalahan daripada
individualisme dan liberalisme. Konsepsi yang berpendapat bahwa
masyarakat merupakan nilai satu-satunya adalah kesalahan daripada
universalisme. Kami menghargai anthropos dan societas dalam
keduasegiannya.
Dengan mendidik, melatih, dan membentuk staf dosen dan
para mahasiswa baik teori maupun praktek agar menjadi ahli yang
kreatif, berhati nurani dan bertanggungjawab, yang mengenal kema-
nusiaan dan masyarakat, kami Universitas Kristen Satya Wacana,
ingin menjadi salah satu pusat dimana kemanusiaan dan masyarakat
sekarang dinilai dan masyarakat masa depan direnungkan, direnca-
nakan, dan dipersiapkan.
Dengan pengorbanan dan kerja keras, yang adalah wajar bagi
setiap karya besar, Satya Wacana ingin menyiapkan suatu masyara-
kat baru yang lebih adil, lebih sejahtera, dengan membentuk
kepemimpinan yang kreatif, berhatinurani, bertanggungjawab, yang

99
akan mempertahankan kebenaran dan keadilan, dan mengantarkan
damai, dan melaksanakan kasih dalam cakrawala Kerajaan Allah.

Perkembangan Satya Wacana


Dapat diutarakan di sini beberapa perkembangan baru sebagai
berikut: Jumlah mahasiswa 751 orang, diasuh oleh dosen/asisten
sebanyak 100 orang. Dalam uraian pertama mengenai perkembangan
Satya Wacana telah disebutkan bahwa Satya Wacana dikenal juga
sebagai Indonesia Kecil. Mereka yang berasal dari segala penjuru
tanah air Indonesia telah pula menambah keharuman nama Satya
Wacana di wahana asalnya. Mission ini ditambah dengan jalinan
hubungan yang senantiasa dibangun dengan gereja di seluruh
pelosok Nusantara, telah menambah kesediaan beberapa gereja
untuk menjadi pendukung. Tercatat pada tahun ini jumlah gereja
pendukung sebesar 18 buah, dari 13 buah pada tahun lalu.
6 buah gereja yang kemudian bersedia menjadi pendukung
Satya Wacana itu adalah: Benua Niha Keriso Protestan (Nias), Gereja
Kristen Sulawesi Tengah, Gereja Kristen Sulawesi Tenggara, GMIT,
GPM, Gereja Kristen Injili Irian Barat.
Di samping itu terdapat pula 6 gereja Dunia yakni: Gereja
Gereformeerd dan Hervormd di Nederland, National Council of
Churches di New Zealand, National Council of Churches di
Australia dan Gereja-gereja di Jerman Barat. Kemajuan akademis
dari beberapa rencana untuk mendirikan lembaga penelitian, dan
sebuah perpustakaan untuk menampung pertambahan buku-buku
yang di tahun ini telah mencapai 9000 buah. Pula diusahakan
pemesanan alat-alat laboratorium untuk Fakultas Ilmu Hayat oleh
Dewan Pengurus dan Kurator. Secara realistis kemajuan akademis,
terjadi di dalam menghasilkan untuk kedua kalinya beberapa sarjana
pendidikan, pertama kali untuk Sarjana Bahasa Inggris, membuka
beberapa tingkat doktoral baru, masing-masing untuk Fakultas
Hukum/Ekonomi dan FKIP jurusan Sejarah Budaya.

100
101

Anda mungkin juga menyukai