Anda di halaman 1dari 20

Adji Samekto, 2015, Pergeseran Pemikiran Hukum dari Era Yunani Menuju

Postmodernisme, Jakarta, Konstitus Press.

Hlm. 1
Keadilan diartikan sebagai kemauan yang bersifat tetap dan terus menerus untuk memberikan
kepada setiap orang apa yang seharusnya ia terima.
Peran hukum dalam persoalan keadilan adalah mewujudkan ide keadilan ke dalam bentuk
konkret agar dapat memberi manfaat bagi hubungan antar manusia.

Hlm. 2
Ilmu yang mempelajari hokum disebut jurisprudence, yang berasal dari Bahasa latin
jurisprudential yang artinya the study, knowledge, or science of law. Kalau hokum dijadikan
sebagai objek studi maka penelitian yang dilakukan dalam studi hokum pada akhirnya adalah
untuk mengetahui kaidah-kaidah hokum yang seharusnya berlaku dan sebaliknya yang tidak
boleh berlaku. Munculnya kaidah tersebut bersumber dari adanya nilai-nilai tertentu. Jadi
hokum dilihat sebagai perwujudan nilai-nilai tertentu, tujuannya untuk menstabilkan
pergaulan hidup, merealisasikan ketertiban dan perdamaian serta mewujudkan keadilan.
Dalam mewujudkan tujuan-tujuan tersebut ada nilai-nilai yang harus dipegang, yang menjadi
ciri khas studi hokum yang membedakannya dengan kajian social lainnya, bahwa hokum
bertujuan mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam tataran konkret. Namun, persoalannya nilai-
nilai tersebut sulit untuk ditetapkan secara empiric.
Kajian hokum doctrinal sesungguhnya memiliki ciri khas yang berbeda dengan ilmu-ilmu
social

Hlm. 3
Hokum, dalam perspektif positivism, adalah suatu bangunan normative. Hokum
dikonsepsikan sebagai an instrument of the state or polis concerned with justice, with rules of
conduct to regulate human behavior. Inilah pengkonsepsian hokum dengan basis berpikir
ajaran hokum doctrinal yang nantinya dikuatkan oleh paradigma positivism.

Hlm. 4
Yang terjadi salah kaprah:
Kajian hokum doctrinal seolah-olah hanya berkutat pada persoalan-persoalan keberlakukan
dan ketidakberlakuan hokum positif saja.
Kajian hokum doctrinal identic dengan positivism hokum (tidak sepenuhnya salah, tetapi
kekhasan-kekhasan tersendiri dari ajaran hokum dalam perspektif positivism).

Kajian hokum dalam perspektif positivism menunjuk pada ajaran hokum yang didasarkan
pada premis bahwa hokum merupakan norma yang mengatur kehidupan masyarakat.
Filsuf-filsuf Yunani kuno, Socrates, Plato, dan Aristoteles, menyatakan bahwa tujuan hokum
adalah mewujudkan keadilan, dan untuk itu diperlukan penegakan hokum.
Hokum dalam ajaran doctrinal mempunyai tujuan utama menciptkana keadilan.

Hlm. 5
Ciri khas dari hokum doctrinal, bahwa keberadaannya tidak mendasarkan pada logiko-
empirik sebagaimana dikembangkan filsafat positivism, tetapi pad acara berpikir a priori,
yang tidak menggantungkan pada fakta social (empiric) tetapi mengandalkan pada kekuatan
nilai-nilai dan ajaran-ajaran.
Filsafat positivism mengandalkan verifikasi melalui pembuktian empiris.
Tujuan hokum yang utama adalah mewujudkan keadilan. Inilah yang menjadi ciri khas studi
hokum dalam perspektif positivism, dan membedakannya dengan kajian social lainnya,
bahwa hokum bertujuan mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam tataran konkret.

Hlm. 6
Namun nilai-nilai tersebut sulit ditetapkan secara empiric krena hanya bisa dipahami dalam
konstruksi rasio yang subjektif sifatnya dan tidak pernah dapat dipandang sebagai objek
penelitian ilmu-ilmu empiric (seperti ilmu alam, biologi).
Ilmu-ilmu empiric adalah ilmu yang berusaha untuk memberikan penjelasan pada gejala-
gejala tertentu dari kenyataan empiric dengan metodologi yang ketat, impersonal, netral,
objektif, dan tidak tergantung pada penilaian pribadi. Jadi sifatnya bebas nilai.
Ketika hokum diangkat sebagai objek studi ilmu-ilmu empiric maka hokum harus didekati
dari sudut optic instrumental, artinya hokum ditinjau sebagai sarana untuk mencapai tujuan
tertentu tetapi bukan untuk tujuan hokum sebagaimana dimaksud dalam pendekatan
doctrinal.

Hlm. 7
Manusia berbeda dengan benda alam, karena dalam diri manusia ada akal, yang membimbing
pada kehendak. Adanya kehendak inilah yang membimbing suatu tindakan akan dilakukan
atau tidak, seharusnya dilakukan atau tidak.
Kejadian berbasis hubungan sebab-akibat berbeda dengan kejadian berbasis kehendak.
Kejadian berbasis kehendak hanya terjadi karena ada niat dan akal, dan itu hanya ada pada
manusia. Terkait dengan kehendak, terdapat dua pandangan besar yang melandasi hubungan
antar manusia. Pertama, homo humini lupus sebagaimana dikemukakan oleh Thomas Hobbes
(1588-1679). Kedua homo humini socios (manusia merupakan makhluk social bagi manusia
yang lain, sebagaimana dikemukakan Hugo Grotius (1583-1645) dan John Locke (1632-
1704).
Apabila dilihat dari perspektif hubungan individu dengan masyarakatnya, maka keberlakuan
hokum dapat dicari pembenarannya pada argument bahwa harus ada kekuatan mengikat yang
berada diatas dan mengendalikan mereka. Kekuatan mengikat tersebut merupakan hasil
kesadaran bersama (collective consciousness). Kesadaran bersama ini bisa tumbuh kalua
setiap orang menyerahkan sebagian kebebasannya.

Hlm. 8
Deskripsi tentang das sein dan das sollen sangat berkaitan dengan persoalan kehendak pada
diri manusia. Bagi Hans Kelsen, kehendaklah yang menjadi landasan awal untuk berbuat,
tidak berbuat atau seharusnya berbuat.

Hlm. 8,9
Das sein (apa yang senyatanya) dimaksud untuk menjelaskan bahwa alam sesungguhnya
dapat diandaikan sebagai suatu system yang bekerjanya ditentukan oleh hubungan sebab-
akibat di antara subsistem-subsistem penopang system tersebut. Dia antara subsistem-
subsistem tersebut terdapat hubungan yang bersifat fungsional. Satu subsistem akan menjadi
penentu (penyebab) berfungsinya subsistem yang lain. Hubungan sebab-akibat dalam system
alam tersebut merupakan hal senyatanya (what it is), bukan sesuatu yang bersifat seharusnya
(what ought to be).

Hlm. 9
Deskripsi tentang das sollen (apa yang seharusnya) dimaksud untuk menjelaskan bahwa
melakukan apa yang seharusnya, tentu harus dilandasi oleh kehendak manusia. Dengan
demikian, kehendak itu sangat subjektif sifatnya. Oleh karena itu, menurut Hans Kelsen,
apabila ingin ditumbuhkan keharusan yang berlaku bagi banyak orang, maka dibutuhkan
kesamaan kehendak pada tiap-tiap orang. Kesamaan kehendak mengindikasikan kesamaan
subjektifitas pada tiap-tiap orang.
Selanjutnya subjektifitas yang sama pada tiap orang tersebut merupakan common sense dan
merupakan bentuk kesadarn kolektif tentang suatu keharusan. Selanjutnya, keharusan-
keharusan yang dibentuk oleh kesadarn kolektif itu yang menurut Hans Kelsen merupakan
norma dasar (grundnorm). Jadi norma dasar itu dalam pandangan Hans Kelsen memuat
keharusan-keharusan yang sifatnya metayuridis, bukan sebuah aturan hukum. Contoh norma
dasar itu misalnya “Jangan merugikan orang lain”, dari sini diturunkan norma hukum:
“jangan mencuri” dan “jangan membunuh”.
Bagi Hans Kelsen, sumber dari sumber hukum adalah kehendak. Kehendak ini didasarkan
pada kesadaran untuk melakukan atau tidak melakukan.

Hlm. 10
Tentu saja kehendak itu bisa dipengaruhi aspek-aspek lain seperti ekonomi, politik, agama,
budaya, dan sebagainya.
Penelitian hukum doctrinal dalam kajian yuridis-filosofis tidak mengacu pada paradigma
penelitian social karena beberapa hal berikut. Pertama, penelitian hokum doctrinal dalam
kajian yuridis-filosofis, bukan penelitian social. Kedua, berbeda dengan penelitian social
yang memperoleh pengetahuan secara a posteriori, penelitian hukum doctrinal dalam kajian
yuridis-filosofis berdasarkan pada sifat a priori. Ketiga, penelitian hukum jenis ini berbasis
nilai-nilai, ajaran-ajaran, seperti keadilan, sesuatu yang bertentangan dengan paradigma
positivism yang tidak mendasarkan pada nilai-nilai karena bersifat abstrak.

Hlm. 12
Plato sangat berpengaruh dalam perkembangan ilmu pengetahuan, terutama karena
melahirkan pemikiran deduksi.

Hlm. 13
Pendapat plato (427-347) yang menjadi rujukan pemikiran Yunani adalah bahwa alam
semesta ini sesungguhnya terdiri dari dua dunia, dunia nyata dan dunia ideal (ideos). Dunia
nyata adalah yang pengalaman empiric, pemahaman berbasis fakta, dan dunia ideos adalah
dunia bersumber dari keilahian (kekuasaan yang tertinggi) yang berisi kebenaran-kebenaran
abadi, yang sungguh-sungguh sempurna dan sangat baik, yang harus menjadi contoh dan
pedoman hidup di dunia nyata.

Hlm. 14
Bagi Plato, tugas filsuf lah untuk menerjemahkan nilai-nilai yang ada pada ideos itu dalam
kenyataan. Semua fakta dalam dunia nyata tidak boleh bertentangan dengan hal-hal yang
bersumber dari ideos.

Hlm. 15
Jasa tradisi pemikiran Yunani (<27 SM) pada hokum, yaitu bahwa hokum sebagai instrument
yang mengatur kehidupan manusia sesungguhnya bersumber dari nilai-nilai. Nilai-nilai
dikonsepsikan sebagai sesuatu yang memuat hal-hal baik, bersumber dari perenungan
berbasis moralitas dan kenyataan.
Pemikiran Filsafat era Imperium Romawi disebut sebagai Era Kegelapan (the Dark Age)
dimana rajalah, mereka mengklaim dirinya sebagai wakil Tuhan, yang menjadi pemimpin
menggantikan peran filsuf, dan terjadilah pembungkaman peran filsuf melalui pemberian
hukuman kepada filsuf.
Disebut sebagai Era Kegelapan karena pada era itu tidak ada pemikiran-pemikiran filsuf yang
dijadikan pedoman dalam kehidupan.

Hlm. 16
Di era Imperium Romawi (27 SM-476M) banyak tumbuh pengaturan hokum yang mengatur
hubungan orang dengan orang (privat) . Pengaturan hokum ini didasarkan pada ajaran Yunani
yang berbasis pada moralitas hokum alam keilahian, yang kemudian mewujud sebagai
prinsip-prinsip hokum umum (general principles of law), sebagai prinsip-prinsip yang
mendasari system hokum modern. Sedangkan system hokum modern adalah keseluruhan
asas-asas atau prinsip hokum maupun ketentuan-ketentuan hokum positif yang lahir dari
Eropa Barat pada Abad ke-19.
Prinsip-prinsip tersebut misalnya, pacta sunt servanda (bahwa perjanjian harus dihormati);
servituut ( prinsip bertetangga baik), res nullius (prinsip kepemilikan),

Hlm. 17
pacta tertiis nec nocent nec prosunt (suatu perjanjian tidak mengikat pihak ketiga).

Hlm. 19
Wacana di Abad Pertengahan (476M-1492) berpusat pada Tuhan dan agama. Filsuf yang
lahir dan berpengaruh adalah St. Agustinus dan Thomas Aquinas.

Hlm. 20
Menurut St. Agustinus, hokum alam merupakan hokum abadi yang ada pada Tuhan. Prinsip
tertinggih hokum alam adalah: “Jangan berbuat kepada orang lain apa yang engkau tidak
inginkan orang berbuat kepadamu.”
Masa skolastik merupakan masa di mana pikiran manusia sangat terikat oleh ikatan
keagamaan. Hal ini lahir tercermin dari pandangan-pandangan Thomas Aquinas (1225-1275
M), yang mendefenisikan hokum alam sebagai hokum yang berasal dari Tuhan dan
mewujudkan diri dalam akal manusia.

Hlm. 21
Thomas Aquinas mengajarkan struktur hokum alam dibagi dua golongan yang saling
terhubung, yaitu hokum alam primer dan hokum alam sekunder. Hokum alam primer adalah
hokum alam yang berlaku bagi setiap manusia. Contohnya “jangan merugikan orang lain”.
Derivasi dari hokum primer ini merupakan hokum alam sekunder. Contohnya “jangan
mencuri” dan “jangan membunuh”.

Hlm. 25
Era Renaissance (1500 hingga 1650-an) ditandai dengan: (1) menyurutnya pengaruh gereja
dalam urusan dunia (kenegaraan); (2) kembalinya perhatian pada pemikiran-pemikiran
filsafat Yunani; (3) timbulnya filsafat politik berpendekatan realis yang melepaskan sama
sekali pengaruh Ketuhanan; (4) tumbuhnya revolusi sains modern yang mendekonstruksikan
pandangan pemikiran Abad Pertengahan yang statis; (5) Mulai tumbuhnya pemikir-pemikir
hokum seperti Grotius, Jean Bodin.

Hlm. 28
Era Renaissance adalah masa yang wacananya berpusat pada manusia.
Konsep hokum alam dari Grotius, pada dasarnya manusia adalah makhluk social. Perwujudan
manusia sebagai makhluk social adalah realitas bukan “seharusnya”. Konsep ini dilandasi
pemikiran: (a) semua manusia sesungguhnya mempunyai alam yang sama; (b) oleh
karenanya manusia mempunyai kecenderungan membentuk hidup bersama. Pemikiran inilah
yang menjadi pendorong terbentuknya negara. Grotius menyatakan bahwa semua negara
terikat oleh hokum alam, yang memisahkan antara hokum Ilahi dengan akal budi manusia.

Hlm. 30
Samuel Pfufendorf menyatakan semua negara adalah sederajat tanpa memandang besar
kecilnya serta kekayaannya.
Keberlakuan hokum alam didasarkan pada nilai-nilai atau ajaran-ajaran yang bersumber dari
olah pikiran manusia.

Hlm. 33
Berbeda dengan Plato yang mengklaim bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui
pemaknaan dan pemahaman atas kata-kata dan substansi berbasis pendekatan deduktif, atau
Aristoteles yang menekankan pentingnya data empiric berbasis pendekatan induktif, maka
Francis Bacon menekankan pada pentingnya observasi, eksperimen yang berulang-ulang
untuk mendapatkan hasil yang sama.
Pemikiran Francis Bacon relevan dibicarakan dalam konteks ilmu hokum karena teori-teori
dan prinsip-prinsip hokum dalam beberapa hal mengadopsi pendekatan ilmu pengetahuan
alam. Prinsip-prinsip bahwa hokum harus netral, tidak berpihak, dan keberlakuannya harus
impersonal sebagai ada dalam system hokum modern, sesungguhnya diinspirasi oleh metode
pengetahuan ilmu alam yang dirintis oleh Francis Bacon.
Pemikiran John Locke dan Adam Smith didasarkan pada pendekatan empirisme.

Hlm. 34
Menurut John Locke (1632-1704), motivasi didirikannya negara adalah untuk menjamin
HAM, terutama hak miliknya. Kewajiban utama negaralah untuk melindungi kehidupan dan
hak milik warganegara, tidak boleh lebih dari itu. Kekuasaan yang ada pada negara adalah
kekuasaan yang didelegasikan oleh rakyatnya. Sehingga wewenang negara menjadi terbatas
dan tidak mutlak.

Hlm. 36
Pemikiran John Locke ternyata sangat berpengaruh pad acara berpikir konsep Negara
Penjaga Malam, konsep yang mengedepankan semangat penghormatan individu dalam
tatanan social kapitalistik di Eropa Barat. Pemikiran tersebut kembali menjadi dominan
dalam era globalisasi, di mana minimalisasi peran negara semakin didengungkan.

Hlm. 37
Adam smith adalah peletak dasar ekonomi pasar bebas.

Hlm. 38
Menurut adam smith, pasar bebas akan mentransformasi upaya manusia demi kepentingan
sendiri, sehingga pada akhirnya akan mendatangkan kebaikan bersama. Konsep pasar bebas
akan menjadi landasan kapitalisme.
Pasar bebas dan kapitalisme mempengaruhi pertumbuhan system hokum modern, yang
hakikatnya melindungi HAM serta keberlakuan pasar bebas.
Menguatnya pengaruh pendapat John Locke, J.J. Rousseau dan Montesquieu dan Adam
Smith menumbuhkan pengaruh kaum burg, yaitu kaum pedagang di kota-kota (di Eropa
Barat) yang membentuk pusat-pusat kegiatan baru di kota-kota yang otonom terhadap
kekuasaan raja yang absolut.

Hlm. 40
Kaum burg (bourgeouis) mengidentikkan sebagai kelompok masyarakat yang menghendaki
kesetaraan, kebebasan berusaha berbasis kejujuran dan fairness, equality before the law,
penghormatan atas HAM, hak-hak sipil, dan mulai melepaskan diri dari ikatan-ikatan
pemikiran yang primordial dan dipandang tidak rasional.
Pemikiran kaum burg sangat dipengaruhi oleh pemikiran J.J. Rousseau tentang kedaulatan
rakyat. Menurut mereka, kedaulatan rakyat merupakan satu-satunya dasar yang benar,
sehingg ada keterkaitan erat antara peran kaum burg dengan tumbuhnya demokrasi.

Hlm. 41
Pengaruh kaum burg berlanjut dalam melahirkan konsep ketatanegaraan. Tindakan-tindakan
pemerintah terhadap warga negaranya semakin di dorong untuk didasarkan pada prinsip
kesamaan di hadapan hokum, dan tidak memihak. Kehidupan warga tidak boleh lagi diatur
oleh penguasa (rule by man), tetapi didasarkan pada hokum yang harus bersifat otonom, lepas
dari kekuatan politik. Pemikiran ini mengilhami keberlakuan doktrin negara hokum
(rechstaat) dan demokrasi kerakyatan negara-negara modern.

Hlm. 47
Modernism merujuk pada era perkembangan peradaban di Eropa Barat yang lahir pada abad
XVI, yang melahirkan pandangan filsafat positivism dalam ilmu pengetahuan alam, yang
selanjutnya diadopsi oleh ahli-ahli ilmu social.
Pada abad XIX, lahirlah positivism dalam ajaran hokum sebagaimana diajarkan oleh John
Austin. Hokum harus konkret dan oleh karenanya harus tertulis, mengandung perintah dan
juga sanksi.

Hlm. 51 dan 52
Ajaran di dalam filsafat positivism:
Positivism bertolak dari pandangan bahwa filsafat positivism hanya mendasarkan pada
kenyataan (realita, fakta) dan bukti terlebih dahulu.
Positivism tidak akan bersifat metafisik, dan tidak menjelaskan tentang esensi.
Positivism tidak lagi menjelaskan gejala-gejala alam sebagai ide abstrak. Gejala-gejala alam
diterangkan berbasis hubungan sebab akibat dan dari itu kemudian didapatkan dalil-dalil atau
hokum-hukum yang tidak tergantung dari ruang dan waktu.
Positivism menempatkan fenomena yang dikaji sebagai objek yang dapat digeneralisasi
sehingga ke depan dapat diramalkan (diprediksi).
Positivism meyakini bahwa suatu realitas (gejala) dapat direduksi menjadi unsur-unsur yang
saling terkait membentuk system yang dapat diamati.

Hlm 52
Pendekatan empiris dalam sosiologi tampak dari pemikiran Max Weber dan Eugen Erlich.

Hlm. 53
Bag Max Weber, hokum merupakan salah satu unsur yang hidup dalam masyarakat. Max
Weber mendefenisikan hokum sebagai fakta-fakta atau kenyataan yang muncul sebagai
perkembangan hubungan sebab-akibat. Dengan kata lain, hokum adalah bagian dari gejala
social. Dengan demikian, basisnya adalah adanya realita terlebih dahulu, dan dari realita itu
dapat diverifikasi hubungan sebab-akibat yang logis.

Hlm. 54
Dengan mengadopsi cara berpikir positivism dari Comte, ahli-ahli hokum mengemukakan
bahwa yang disebut hokum tidak boleh abstrak, harus konkret. Konkretisasi ini ditunjukkan
dengan keharusan bahwa hokum harus tertulis.
Pengaruh besar positivism dalam hokum tampak dalam ajaran John Austin (1790-1859) yang
berpendapat bahwa hokum harus konkret dan berwujud dalam bentuk tertulis, dibuat oleh
lembaga yang mempunyai wewenang yang sah (negara). Norma hokum harus memuat
perintah, kewajiban, dan sanksi.

Hlm. 55
Dalam pandangan John Austin, konsep negara masih abstrak sehingga harus dikonkretkan
melalui kedaulatan. Dalam konteks hokum, kedaulatan mempunyai aspek eksternal (yang
mewujud dalam hokum internasional) dan aspek internal (yang mewujud dalam hokum
positif yang berlaku dalam negara). John Austin memperkenalkan istilah analytical
jurisprudence, yang mengindikasikan suatu kecakapan dalam batas ilmu hokum, yang harus
dilepaskan dari kajian metafisik.

Hlm. 56
HLA Hart menyatakan:
1. Hokum (yang sudah dikonkretisasi dalam bentuk hokum positif) harus mengandung
perintah
2. Tidak selalu harus ada kaitan antara hokum dengan moral dan dibedakan dengan
hokum yang seharusnya diciptakan.

Hlm. 57
Salah satu ciri positivism adalah bersifat reduksionis. Asumsi yang dikembangkan dari
reduksionisme dalam positivism adalah bahwa keseluruhan objek sesungguhnya adalah hasil
integrase dari pemahaman atas bagian-bagian atau unsur-unsur, di mana satu unsur
mempunyai fungsi terhadap unsur yang lain, sehingga tercipta hubungan bersifat structural-
fungsional di antara unsur-unsur itu.

Hlm. 58
HLA Hart memecah hokum (positif) dalam dua bagian, primary rules of obligation dan
secondary rules of obligation. Primary rules of obligation , yaitu aturan-aturan hokum yang
secara langsung memberikan hak-hak dan kewajiban kepada orang per orang, dengan kata
lain aturan-aturan hokum itu menentukan apa yang harus dilakukan dana pa yang tidak boleh
dilakukan oleh orang. Aturan ini menurut Sidharta meliputi aturan hokum perdata dan hokum
pidana. Secondary rules of obligation, yaitu aturan-aturan hokum yang memberikan hak dan
kewajiban kepada penguasa negara, yang merupakan syarat yang harus dipenuhi bagi
berlakunya kaidah-kaidah dalam primary rules of obligation. Oleh karena itu, secondary rules
of obligation berperan sebagai rules of recognition of primary rules of obligation.

Hlm. 60
Filsafat positivism berciri logiko-empirik, objektif, reduksionis, deterministic dan bebas nilai.

Hlm. 69
Pemikiran filsafat yang memadukan rasionalisme dan empirisme yang menjadi rujukan
pemikiran Kelsen dan Radbruch dilandaskan pada filsafat transcendental idealis dari
Immanuel Kant. Kemudian Immanuel Kant membangun filsafat yang memadukan aliran
naturalis-idealis (bersumber dari Plato-Aristoteles) dan aliran empiris (bersumber dari Francis
Bacon dan David Hume).

Hlm. 72
Filsafat transcendental idealis berangkat dari dasar pemikiran bahwa manusia adalah pusat
dan subjek daya cipta yang tidak sekedar melukiskan saja yang terjadi di dunia, tetapi juga
mengubah dunia. Dengan filsafat transcendental idalis ini, Kant hendak menyatakan bahwa
akal budi (reason) dan pengalaman (experience) sangat dibutuhkan manusia untuk
memahami dan mengubah dunia. Filsafat ini dibangun dari perpaduan rasionalisme dan
empirisme. Positivism idealis atau rasionalisme adalah aliran filsafat yang mempercayai
bahwa bahwa penggunaan akal akan membimbing pada pengetahuan objek dunia. Sedangkan
empirisme adalah aliran filsafat yang mempercayai bahwa pengetahuan dating dari
pengalaman atau pengamatan atas suatu objek.
Positivism idealis (rasionalisme) mendasarkan pada logika yang harus dikembalikan pada
logika di atasnya, dan selalu terus-menerus dapat dikembalikan pada logika di atasnya,
hingga sampai pada sesuatu yang bersifat meta-fisik berupa ajaran-ajaran. Jadi ajaran-ajaran
ini bersifat membatasi, sehingga cara berpikir manusia sesungguhnya bersumber dari nilai-
nilai dalam ajaran itu

Hlm. 73
Ajaran diterima bukan melalui pembuktian tetapi melalui keyakinan yang didasari kehendak
manusia. Jadi sifatnya adalah a priori.
Positivism empiris (empirisme) mendasarkan pada logika bahwa bukti nyata yang bisa
diperoleh dari pengalaman konkret adalah satu-satunya cara untuk menjelaskan dunia, dan
tidak mau diikat oleh nilai-nilai (values) yang dianggap dapat membatasi. Kebebasan dari
nilai-nilai, bagi penganut empirisme justru dapat menjadi sarana mengembangkan dunia. Jadi
sifatnya adalah a posteriori.

Hlm. 88
Dalam ranah legal formalism, hokum dikonsepsikan terutama sebagai sarana control social
untuk menjamin kepastian agar perilaku selalu tetap dan dapat diprediksikan (logika
normologik). Jadi kajian utamanya sebagaimana disebut Soetandyo Wignjosoebroto, adalah
bermotivasi mengatur (to regulate).

Hlm. 93
Seiring perkembangan filsafat positivism, kepastian hokum (legal certainty) lebih menunjuk
pada kepastian akan adanya aturan. Akan tetapi norma-norma itu harus dikeluarkan oleh
lembaga yang tertinggi yang tidak tunduk pada kekuasaan manapun, untuk menjamin
keabsahan aturan itu.

Ciri-ciri dari system hokum modern yang utama adalah:


a. Merupakan system hokum yang berasal dari tatanan social Eropa Barat pada Abad 19
b. Sangat dipengaruhi paradigma positivism dalam ilmu pengetahuan alam.
c. Rasional, lepas dari pengaruh Ketuhanan.
d. Meyakini bahwa hokum dapat dikonstruksi dan dikelola secara netral, tidak berpihak,
impersonal dan objektif.
e. Melindungi freedom – hak asasi manusia.
f. Mendukung terciptanya kepastian untuk menjamin prediktabilitas.

Hlm. 94
Tradisi hokum civil law sangat dipengaruhi oleh Code Justinianus dan Code Napoleon, yang
dalam pengembangannya juga mendapat inspirasi dari Revolusi Perancis 1789. Tradisi civil
law kemudian tumbuh dan berkembang hingga melanda penyelenggaraan negara hokum
rechstaat.

Hlm. 94-95
Kelahiran system hokum modern di Eropa Barat pada abad ke-19 pasca Revolusi Perancis
1789 tidak lepas dari kepentingan perlindungan HAM, sekaligus untuk memberi ruang yang
makin bebas bagi individu untuk mendapatkan kesejahteraannya di bidang ekonomi.

Hlm. 95
Peraturan-peraturan yang tertulis dapat menjamin prediktabilitas dalam penyelenggaraan
kegiatan oleh individu maupun oleh pemerintah dan hubungan antara pemerintah dengan
individu.

James R. Maxeiner (dalam buku The Rule of Law in Comparative Perspective, Sellers and
Tomaszewski (eds.), 2010, p.41-67)menuliskan syarat-syarat yang tersirat dalam konsep legal
certainty, meliputi:
a. Law and decisions must be made public,
b. Decisions of court must be binding
c. Law and decisions must be definite and clear,
d. Limitation on retroactivity of laws and decisions must be imposed.

Pengutamaan kepastian hokum (legal certainty) merupakan pandangan ahli-ahli hokum Eropa
yang tetap eksis sampai sekarang.

Hlm. 96
Ahli-ahli hokum dari Amerika Serikat lebih berkonsep pada legal indeterminacy.
Pemikir-pemikir Amerika Serikat merupakan pemikir pragmatis, tidak terlalu mau terikat
pada logika-logika berbasis pengetahuan.

Hlm. 97
Bagi pemikir pragmatis, yang perlu dilakukan adalah memahami dan menemukan ide-ide
yang bersumber dari kehidupan nyata atau pengalaman hidup nyata (experience). Akan tetapi
ide-ide tersebut harus diterangkan melalui analisis yang logis, dan yang penting, analisis
tersebut harus dilakukan secara fungsional yaitu dengan mengintegrasikan seluruh aspek
yang muncul dalam pengalaman hidup. Dalam perspektif ini maka kebenaran adalah sesuatu
yang dihasilkan dari pengalaman nyata berbasis pengalaman hidu (experience). Inilah latar
belakang pemikiran realisme, suatu pandangan yang sesungguhnya berbasis pragmatism.
Legal realisme merupakan aliran empirisme dalam bentuknya tersendiri, suatu pandangan
yang sangat mengedepankan pentingnya pengamatan realitas untuk menemukan kebenaran.
Jelas bahwa legal realism merupakan respons terhadap positivism hokum.
Positivism hokum mendasarkan pada keyakinan akan kebenaran positivism yang
menggunakan logika ilmu pengetahuan alam untuk mengurai hokum. Realisme hokum
mendasarkan pada pengalaman hidup, dan kebenaran bukan dibuktikan dari analisis
hubungan sebab-akibat tetapi dari pengalaman hidup. Realisme hokum tidak lagi
mengedepankan masalah-masalah teoretik tentang hokum, bahkan tidak menganggap penting
keberadaan sifat normativitas hokum.

Hlm. 98
Jerome Frank (1889-1957) menyatakan bahwa hokum tidak bisa disamakan seperti aturan-
aturan yang bersifat konstan. Aturan-aturan alam seperti itu berbasis logika, sedangkan
hokum sebagai aturan yang diharapkan dapat mengatur kehidupan manusia banyak
dipengaruhi factor-faktor lain dalam pembentukannya.

Hlm. 98-99
Hokum bersumber dari keteraturan (regularities) yang bersumber dari fakta atau pengalaman
hidup masyarakat itu sendiri.

Hlm. 99
Konsepsi pemikiran ini melandasi lahirnya aliran legal realisme yang dipelopori oleh Oliver
Wendel Holmes (1841-1935) yang didasarkan pada pemikirannya “The life of law is not
logic but experience”.
Legal realism kemudian mendorong lahirnya sociological jurisprudence, yang merupakan
reaksi terhadap kajian legal positivism (jurisprudence). Jurisprudence dibangun berbasis
landasan teori yang logis, berbasis hubungan sebab-akibat, sedangkan sociological
jurisprudence dibangun berbasis pengalaman hidup (experience), dimana fakta (pengalaman
hidup) menjadi landasan utama, tetapi teori atau doktrin-doktrin tentang normativitas juga
dipertimbangkan.

Hlm. 100
Dalam aliran sociological jurisprudence ini dipadukan antara nilai-nilai positif dari legal
realism dengan segala koreksinya, dengan legal positivism, sebagaimana Roscoe Pound
(1870-1964) berpandangan: “law as a tool of social engineering”.
Montesquieu, dalam bukunya L’Esprit des Lois, mengemukakan, “system of law is a living
growth and development interralated with the physical and societal movement.’

Hlm. 100-101
Dari latar belakang pemikiran Montesquieu inilah Roscoe Pound berpandangan bahwa tugas
hokum adalah sebagai alat untuk melakukan rekayasa social demi kepentingan kesejahteraan
bersama.

Hlm. 101
Pemikiran yang mendorong perhatian terhadap keterkaitan hokum dengan perubahan social,
selain mempengaruhi pemikiran Roscoe Pound, juga Rudolf von Jhering (1818-1892).
Jhering memusatkan perhatiannya pada gagasan, fungsi, dan tujuan akhir dari hokum. Jhering
lebih menekankan tujuan social dari hokum dan bersikeras bahwa hokum harus diselaraskan
dengan kondisi social.

Hlm. 104
Sumber-sumber hokum dalam common law: precedent, statute, customary, dan pendapat
hakim.
Precedent adalah keputusan kasus terdahulu yang diakui mempunyai daya ikat (otoritas)
untuk keputusan kasus berikutnya.

Hlm. 105
Statute merupakan produk peraturan yang disusun oleh lembaga yang sah, berisi ketentuan-
ketentuan tertentu dan tertuang dalam bentuk-bentuk tertentu.
Customary merupakan kebiasaan yang berasal dari praktik-praktik yang dijalankan terpola
dan menimbulkan dorongan untuk mentaatinya.
Dalam perkembangannya tradisi common law di kemudian hari menjadi landasan prinsip
Rule of Law, yang diperkenalkan oleh Dicey. Menurut Gerald Turkel, mengandung makna
bahwa hokum merupakan sumber tertinggi untuk pengendali social (the law is the ultimate
source of social control).

Hlm. 106
Ahli-ahli sosiologi hokum (Weber, Trubek, Turkel, dan Unger) berpendapat bahwa rule of
law bersumber dari pengakuan bahwa kebebasan individual dapat dicapai dalam masyarakat
yang diatur berdasarkan hokum, untuk membatasi kekuasaan negara dan menjamin hak-hak
ekonomi.
Identifikasi tentang rule of law dari Gerald Turkel harus diperhatikan dalam konteks:
a. The rule of law, is not oriented toward social goals or solving social problems by
creating and implementing policies,
b. In rule of law, law is not an arena for solving problems of poverty,
c. Rather, the rule of law provides a stable order for individuals and businesses to pursue
their economic interests.

Hlm. 111
Positivism yang berpijak pada realitas, objektivitas, netralitas dan menekankan pada fakta
mulai dipertanyakan keabsahannya ketika cara berpikirnya harus diterapkan pada persoalan
kemasyarakatan. Salah satu ciri positivism adalah reduksionisme, yang bermakna bahwa
realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati. Namun, menurut Santsos,
reduksionisme tidak mudah dilakukan dalam ilmu-ilmu social karena ilmu-ilmu social sangat
tergantung pada system social dan budaya, yang pada dasarnya tidak bebas nilai seperti ilmu
alam.

Hlm. 113
Socio-legal studies tidak sekedar memaknai hokum sebagai norma, tetapi sekaligus
memaknai hokum sebagai perilaku. Kajian-kajiannya sudah melibatkan penelitian empiric,
yang mengkaji factor-faktor eksternal di luar hokum, seperti factor social, ekonomi, politik,
sejarah, budaya, dan lainnya.

Hlm. 114
Socio-legal studies mengkonsepsikan hokum sebagai norma dan sekaligus sebagai
realitas. Kajian socio-legal studies menuntut penguasaan doktrin-doktrin ajaran hokum yang
dibangun dalam ilmu hokum itu sendiri (sebagai ilmu yang bersifat a priori dan tidak
terbebas dari nilai), dan penguasaan akan teori-teori bekerjanya hokum (yang bukan berada
pada ranah doctrinal), sebagai konsekuensi yang melihat hokum sebagai realitas. Melihat
hokum sebagai realitas artinya melihat hokum sebagai fenomena atau gejala dalam
masyarakat (sebagaimana dimaksud Max Weber) yang selanjutnya sangat tergantung pada
paradigma apa yang dipegang dalam memaknai realitas tersebut. Hal ini menuntut
pemahaman secara benar dalam menempatkan paradigma dalam penelitian ilmu hokum.

Hlm. 120
Kapitalisme mengakui bahwa setiap orang merupakan pemilik kehidupannya sendiri dan
memiliki hak untuk kehidupannya melalui cara apapun sepanjang cara yang dipilih itu tidak
melanggar hak orang lain. Artinya, didalam kapitalisme sebenarnya terkandung nilai-nilai
liberal karena kapitalisme membebaskan manusia untuk berekonomi secara bebas selama
tidak melanggar hak-hak orang lain.

Hlm. 121
Dikatakan oleh Karl Marx, sebagaimana dikutip Anthony Giddens, bahwa tujuan dari modal
bukan untuk melayani kebutuhan-kebutuhan tertentu, tetapi untuk menghasilkan keuntungan.
Mansour Fakih menyatakan bahwa secara teoritik, kapitalisme merupakan paham yang
bertujuan melakukan pemupukan modal (capital accumulation) melalui proses-proses
penanaman modal (capital investment).

Hlm. 121-122
Untuk kepentingan pemupukan modal, maka setiap individu didorong untuk bersaing
meningkatkan produksi dengan memanfaatkan sumber daya manusia, teknologi dan sumber
daya alam.

Hlm. 122
Persaingan, menuru Adam Smith, akan berjalan dengan baik apabila segala sesuatunya
berjalan bebas, yang akan berlangsung dalam system pasar bebas.
M. Dawam Rahardjo menulis, berlakunya persaingan bebas merupakan refleksi dari konsep
perjuangan untuk hidup dan inilah yang melandasi mekanisme pasar bebas.
Adam Smith menyatakan, system pasar bebas ini akan diatur oleh invisible hands, yang
mengatur kehidupan ekonomi dan diyakini akan mendorong orang untuk saling berbuat baik
sehingga yang terjadi adalah persaingan sehat.
Pandangan kapitalisme meyakini, jika tiap individu menikmati kebebasan mengembangkan
potensinya, maka resultant yang ada adalah kesejahteraan seluruh masyarakat. Masing-
masing individu akan saling melayani.

Hlm. 123
Perkembangan industrialisasi dan kapitalisme yang diikuti oleh perubahan-perubahan social,
kultural, politik dan ekonomi pada masyarakat Eropa Barat telah melahirkan system hokum
modern yang wujudnya adalah ketentuan hokum yang formal-rasional, dinyatakan
(articulated) melalui hokum positif.

Hlm. 125
Proses-proses produksi ekonomi yang bersifat kapitalis memerlukan tatanan social yang
mampu menciptakan medan social, dimana proses-proses ekonomi dapat berlangsung secara
baik. Oleh karena itu, tuntutan yang mendesak adalah diciptakannya suatu system hokum
yang formal-logis, yang dapat memberikan prediktabilitas tinggi sehingga dapat dimasukkan
dalam kalkulasi produksi ekonomi.

Hlm. 139
Studi hokum kritis bertujuan menentang norma-norma, standar-standar dalam teori hokum
dan implementasinya yang berasal dari system hokum modern yang didominasi oleh
paradigma positivism. Dilakukan oleh penganut paham Frankfurt School (Mazhab Frankfurt)
yang mulai eksis pada tahun 1923 dengan mengembangkan critical theory.
Landasan critical theory adalah cara berpikir yang dibangun aliran Neo-Marxian, yang pada
intinya melakukan kritik terhadap asumsi-asumsi dasar yang dibangun kaum positivis.

Hlm. 140
Critical theory dikembangkan melalui dua periode. Periode pertama dimulai tahun 1923
melalui pemikiran Institute of Social Research (the Frankfurt School) dengan penganutnya
seperti Theodore W. Adorno, Max Horkheimer, Erich Fromm, dan Herbert Marcuse.
Kemudian dikembangkan lagi oleh kelompok Neo-Marxian seperti Korsch, Gramsci, dan
Mannheim.

Hlm. 141
Periode kedua dimulai dengan adanya usaha-usaha Jurgen Habermas dalam membangun
kembali (remoulding) teori kritis.
Menurut Karl Marx, factor yang menentukan sejarah di dunia ini bukanlah politik atau
ideology, tetapi ekonomi. Marx memusatkan perhatiannya pada ilmu ekonomi, khususnya
ekonomi kapitalistik serta pengaruhnya terhadap kehidupan social masyarakat. Teori besar
(grand theory) yang dibangun Karl Marx adalah utilitarianisme yang garis besarnya
menyatakan bahwa “tiap perilaku sebenarnya diarahkan untuk kepentingan tertentu”.

Hlm. 142
Menurut Magnis Suseno, dalam pemikiran Karl Marx, segala macam hubungan, tatanan dan
norma-norma yang diberlakukan dalam masyarakat feudal, sebenarnya tidak lebih daripada
selubung untuk menutupi adanya eksploitasi kelas-kelas feudal terhadap kelas-kelas bawah.
Critical theory dengan demikian memahami kritik sebagai upaya-upaya emansipatoris untuk
membebaskan dari penindasan dan alienasi, yang terjadi karena adanya hubungan-hubungan
dalam masyarakat yang sebenarnya tidak seimbang.. horkheimer menegaskan bahwa kritik
terhadap masyarakat adalah inti Marxisme, dan dengan itulah Marxisme menjadi dasar teori
kritis. Akan tetapi tokoh-tokoh the Frankfurt School seperti Horkheimer, Adorno, Marcuse,
dan Habermas sekalipun menerima analisis Marx tentang masyarakat kapitalisme, mereka
tidak menyetujui dogmatism filsafat Marxisme.

Hlm. 143
Adorno dan Horkheimer menyusun teori dialect of enlighment, yag melihat sejarah enindasan
terus berlangsung bahkan di masa modern. Mereka melihat, dialektika pencerahan yang
ditandai dengan kebangkitan alam pikiran manusia pada era rasionalisme, dari belenggu
mitos dan teologi, ternyata menimbulkan penindasan baru lagi.

Hlm. 145-146
Hubert Rottleuthner mencatat tiga karakteristik critical theory yang dikembangkan oleh
dorno dan Horkheimer, yaitu:
1. Teori kritis diarahkan oleh suatu kepentingan perubahan fundamental pada
masyarakat. Sehingga harus ditumbuhkan sikap kritis untuk menginterpretasikan
realita yang dinilai telah terdistorsi.
2. Teori kritis dilandaskan pada pendekatan berpikir historis.
3. Dalam teori kritis ada upaya untuk mengembangkan suatu teori komprehensif untuk
memahami keadaan masyarakat sekarang.

Hlm. 146
Donny Gahral Adian mencatat, teori kritis yang emansipatoris, menurut Mazhab Frankfurt,
harus memenuhi tiga syarat. Pertama, bersikap kritis dan “curiga” terhadap realitas yang ada.
Kedua, berpikir dengan memperhatikan aspek historis yang terjadi dalam masyarakat. Ketiga,
tidak memisahkan teori dengan praksis, tidak memisahkan fakta dari nilai-nilai yang ada.

Hlm. 147
Penganut teori kritis memiliki concern pada upaya mengupas atau mengkaji masalah
dominasi terutama dalam prakteknya.
Critical theory juga dimaksud untuk membantu masyarakat memahami mengapa dominasi itu
terjadi terhadap mereka. Diharapkan critical theory dapat dijadikan sarana untuk
memberdayakan masyarakat agar dapat melakukan sesuatu guna membebaskan diri dari
penderitaan.

Hlm. 148
Menurut Herbert Marcuse, dominasi muncul atau terbukti ada manakala cita-cita dan tujuan
seseorang, serta cara untuk mencapainya dibentuk, diperuntukkan dan ditentukan olehnya
sebagai sesuatu yang harus diikuti.

Hlm. 150
Ide dasar Studi Hukum Kritis adalah pemikiran bahwa hokum tidak dapat dipisahkan dari
politik dan hokum tidaklah netral dan bebas nilai. Dengan perkataan lain, Studi Hukum
Kritis, hokum di dalam pembuatan, hingga pemberlakuannya selalu mengandung pemihakan-
pemihakan, sekalipun dalam liberal legal order dibentuk keyakinan akan kenetralan,
obyektivitas, prediktabilitas dalam hokum.
Penganut aliran Studi Huku Kritis bermaksud membongkar atau menjungkirbalikkan
(overturn) struktur-struktur hierarkis dalam masyarakat yang tercipta karena adanya
dominasi, dan usaha-usaha itu akan dicapai dengan menggunakan hokum sebagai sarananya.
Menurut Studi Hukum Kritis, dominasi dilegitimasikan dengan sarana hokum melalui
hegemoni dan reifikasi.

Hlm. 151
Charles Sampford mengatakan, basis social hokum sebenarnya penuh dengan hubungan-
hubungan yang bersifat tidak seimbang. Dengan demikian apa yang dipermukaan tampak
teratur, tertib, jelas, dan pasti sebenarnya adalah ketidakteraturan (disorder).

Hlm. 152-157
Tesis-tesis Utama dalam Studi Hukum Kritis:
• Rejection of liberalism. Liberalisme didasarkan pada teori kontrak social dari Hobbes
dan Locke yang meyakini bahwa masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang
otonom memiliki nilai-nilai berdasarkan kehendak-kehendak subjektif. Kemudian
membentuk nilai-nilai bersama dalam masyarakat yang dapat diakomodasikan
melalui lembaga-lembaga hokum, politik, dan social. Studi Hukum Kritis menolak
tradisi ini dengan didasarkan pada tiga argument. Pertama, liberalism telah
menciptakan visi yang menyimpang dari adanya kemampuan bermasyarakat oleh
manusia. Kedua, liberalism telah mengarahkan dunia pada keadaan-keadaan yang
bersifat dualistic (contoh, individualism dan altruism). Ketiga, liberalism memberikan
legitimasi pada kapitalisme dan menyembunyikan fakta adanya eksploitasi dibalik
idiom dihormatinya kebebasan dan hak-hak individu. (hlm. 152-153).
• Exposing the Fundamental Contradiction. Studi Hukum Kritis menekankan adanya
kontradiksi fundamental dalam teori liberal tentang persyaratan liberalis yang
menyebutkan, individu harus dibebaskan untuk memenuhi kepentingannya sendiri,
sementara upaya pemenuhan kepentingan ini akan mengorbankan (menghambat)
individu yang lain untuk mencapai kepentingannya. (Hlm. 154).
• Trashing or Delegitimation. Liberalisme harus dibuang, didelegitimasi, dibongkar
karena liberalism ternyata hanya menjadi system yang dipakai untuk memperkuat
kepentingan ekonomi. Dalam pandangan Studi Hukum Kritis, institusi-institusi social
merupakan institusi yang direkayasa, mengandung ketidakpastian dan
ketidakseimbangan. Akan tetapi hokum justru melegitimasi ini melalui penciptaan
khayalan masyarakat seolah-olah keadaan yang ada tampak inderawi tersebut
merupakan keadaan yang alamiah. (hlm. 154-155)
• Ideological Unmasking. Dalam pandangan Studi Hukum Kritis, apa yang tampak
sebagai asosiasi (kehidupan bersama) masyarakat sebenarnya tidak ada. Kehidupan
bersama dalam masyarakat liberalis adalah kehidupan yang dikonstruksi (rekayasa),
yang diperkuat dengan menggunakan sarana hokum. Studi Hukum Kritis bermaksud
membongkar kepalsuan-kepalsuan legal reasoning tersebut. (hlm. 155)
• Rejection of Formalism. Legal formalism merupakan pemikiran hokum yang
meyakini bahwa hokum adalah system yang bekerja secara deduktif. Hokum
diposisikan sebagai sesuatu yang netral, objektif dan bebas nilai (hlm. 155). Dalam
pandangan studi hokum kritis, tidak ada penafsiran yang netral dari suatu doktrin
hokum. Di dalam setiap tahap proses pembuatan hokum selalu ada interpretasi-
interpretasi politis yang bersifat subjektif, yang akan terefleksikan dalam the wording
of rules maupun dalam aplikasi suatu ketentuan hokum. (hlm. 156)
• Rejection of positivism. Studi hokum kritis menerima dan menggunakan pendekatan
anti positivis dari Mazhab Frankfurt dan menolak pernyataan bahwa ilmu
pengetahuan empiric atau alamiah dapat diterapkan dalam hokum. (hlm. 156)
• Rejection of rationality. Liberalism mengklaim bahwa pemisahan legal discourse dari
kekuatan social yang lain (pemisahan hokum dengan aspek-aspek kemasyarakatan
yang lain) adalah sesuatu yang rasional. Dalam pandangan Studi Hukum Kritis,
keinginan maupun keberpihakan tidak dapat dihapuskan dari hokum. (hlm. 157)
• Establishing Unity of Law and Politics. Dalam pandangan Studi Hukum Kritis,
hokum merupakan ekspresi dari politik. Penganut Neo-Marxian melihat bahwa
hokum merupakan instrument pihak yang berkuasa untuk memaksakan
kepentingannya. (hlm. 157)

Hlm. 158
Critical legal studies scholars memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Bermaksud menunjukkan bahwa doktrin hokum merupakan sesuatu yang tidak
bersifat pasti (the indeterminacy of legal doctrine) dan menunjukkan bagaimana
prinsip-prinsip hokum yang ada dapat digunakan untuk membuat keputusan-
keputusan yang sebenarnya bersifat kontradiktif.
2. Menggunakan analisis-analisis historis, sosio-ekonomi dan psikologi untuk
mengidentifikasi bagaimana kelompok-kelompok atau institusi-institusi diuntungkan
oleh keputusan-keputusan hokum karena adanya indeterminacy doktrin-doktrin
hokum.
3. Mengungkapkan bagaimana analisis-analisis yuridis dan kultur hokum dapat
mengaburkan realitas yang sebenarnya, tetapi dari sana justru dilahirkan keputusan-
keputusan hokum yang (seolah-olah) sudah legitimate.
4. Tidak ada penafsiran yang netral dari suatu doktrin hokum. Di dalam setiap tahap
proses pembuatan hokum selalu ada interpretasi-interpretasi politis yang bersifat
subjektif. Selanjutnya pilihan-pilihan yang bersifat politis-subjektif tadi akan
terefleksikan dalam the wording of rules maupun dalam aplikasi suatu ketentuan
hokum.

Hlm. 159
Reifikasi menunjuk pada tindakan yang semakin memberikan pembenaran terhadap sesuatu
yang telah dominan, sekalipun sesungguhnya hanya menguntungkan pihak yang dominan.
Hlm. 161
Semakin disadari bahwa hokum sangat sulit untuk dilepaskan dari basis sosialnya, dan
dengan demikian ilmu hokum juga akan menjadi kurang berkualitas apabila tidak
membicarakan hokum bersama-sama dengan masyarakatnya.

Hlm. 161-162
Ilmu Hukum yang holistic tidak bisa bekerja sendiri dengan memfokuskan pada peraturan
(rule) melainkan juga pada perilaku.

Hlm. 163
Max Weber mendefenisikan tentang hokum, yakni fakta-fakta atau kenyataan yang muncul
sebagai perkembangan hubungan sebab-akibat. Dengan kata lain, hokum adalah bagian dari
gejala social. Pandangan ini berbasis landasan empiric, artinya hokum dilahirkan dari
hubungan sebab-akibat. Dengan demikian basisnya adalah realita terlebih dahulu, dan dari
realita dapat diverifikasi hubungan sebab-akibat yang logis.

Hlm. 164
Bagi Max Weber, tidak ada manfaatnya memecahkan problem-problem konkret dalam
masyarakat dengan pendekatan deduktif. Penyelidikan empiric justru diperlukan untuk
mengerti hal-hal yang ada dalam masyarakat.

Hlm. 165
Positivism hanya mendasarkan pada kenyataan (empiric) dan tidak menjelaskan esensi di
balik fakta, dan gejala yang dikaji dikonsepsikan sebagai objek yang dapat dirasionalisasi.

Hlm. 170
Bagi Eugen Erlich, norma hokum sesungguhnya bersumber dari kenyataan-kenyataan, bukan
dari nilai-nilai yang subjektif sifatnya.

Hlm. 170-171
Berbeda dengan Weber, Erlich menekankan pada signifikasi system ekonomi sebagai factor
yang penting dalam pembentukan hokum.

Hlm. 171
Bagi Erlich, ekonomi merupakan factor yang menentukan bagi kehidupan. Dalam batas ini
pendapat Erlich sam dengan Marx yang mengatakan, dunia ini berubah karena ekonomi
bukan karena politik.
David M. Trubek dan Alvaro Santos dalam buku The New Law and Economic Development:
A Critical Appraisal, sejalan dengan pendapat Erlich, yang beberapa hal dikatakan:
1. Hokum dan ekonomi merupakan variable yang saling mempengaruhi
2. Pada periode 1950-an sampai 1960-an kebijakan pembangunan ekonomi dunia
dipusatkan pada peran negara dalam mengelola ekonomi dan harus dilakukan
transformasi terhadap masyarakat tradisional.
3. Pada periode 1980-an sampai 1990-an hokum diabdikan pada pembuatan kebijakan
pembangunan dan pemikir-pemikir neoliberal menekankan pada peran mekanisme
pasar dalam pertumbuhan.
Dalam konteks itu hokum berperan menjadi landasan hokum mekanisme pasar.

Hlm. 172
Max Weber menekankan pentingnya penyelidikan masyarakat melalui pemahaman sejarah
dan budaya.
Berbeda dengan Weber, Eugen Erlich menekankan pada pentingnya penyelidikan masyarakat
melalui pemahaman fenomena ekonomi, karena dinamika social sesungguhnya bersumber
dari ekonomi. Kesamaan antara Weber dan Erlich adalah bahwa keduanya berpikir berbasis
positivism.

Hlm. 173-174
Bagan paparan Hukum dalam Perspektif Yuridis-Normatif dan Perspektif Yuridis Empirik
(Sosiologis)
Hukum dalam Perspektif Yuridis-Normatif Hukum dalam Perspektif Perspektif Yuridis
Sosiologis
Dibahas ketaatannya (kesesuaiannya) pada Dibahas pelaksanaan aturan hokum tersebut
norma-norma yang lebih atas hingga sampai di masyarakat
pada landasan filosofinya
Logikanya dilandasi nilai-nilai yang Logikanya tidak dilandasi nilai-nilai yang
diterima secara a priori diterima secara posteriori
Kebenaran teorinya berbasis teori hukum Kebenaran teorinya berbasis teori sosial
Merupakan suatu bangunan yang Merupakan suatu bangunan yang
validitasnya didasarkan pada nilai-nilai validitasnya didasarkan pada fakta (realitas).
yang bersifat metayuridis yang kemudian Ukuran fakta sebagai dasar pengukuran
turun dalam asas-asas hokum hingga ke kebenaran.
bawah dalam wujud peraturan hokum.
Hokum dikonsepsikan sebagai norma Hokum dikonsepsikan sebagai realitas yang
hokum yang bersifat otonom, dan keberlakuannya bisa mempengaruhi dan
menentukan dipengaruhi oleh factor-faktor yang lain.

Hlm. 176
Paradigma merupakan payung berpikir atau the way of thinking yang dipegang seorang
peneliti dalam bidang social untuk menentukan bagaimana peneliti mengkonsepsikan sebuah
realitas, bagaimana hubungan peneliti dengan objek yang diteliti, dan selanjutnya untuk
menentukan metode penelitiannya.
Penelitian social adalah penelitian yang bertujuan mengkaji perilaku manusia.

Hlm. 176-177
Paradigma adalah serangkaian panduan yang membimbing bagaimana peneliti melihat
realitas (ontology), melihat hubungan peneliti dengan objek penelitian (epistemology) dan
bagaimana seharusnya penelitian itu harus dilakukan (metodologis).

Hlm. 177-181
Mengacu pada pemikiran Sidharta dalam karyanya berjudul Misnomer dalam Nomenklatur
dan Penalaran Positivisme Hukum (2009), dikembangkan konstruksi pemikiran berikut:
1. Pembuktian empiric. Kebenaran hanya mungkin diverifikasi melalui pembuktian
empiris. Disebut dalam positivism pengetahuan diperoleh setelah posteriori (setelah
ada pembuktian terlebih dahulu).
2. Realitas objektif. Realitas yang benar adalah realitas yang berasal dari objek telaah
(apa adanya, objektif, tanpa prasangka, berbasis hal yang tampak kasat mata).
Paradigma positivism melihat hokum sebagai realitas, artinya hokum dimaknai
sebagai seperangkat aturan tertulis yang dikeluarkan oleh subjek yang berkuasa,
mengandung perintah, dan tidak berurusan dengan nilai-nilai instrinsik di dalam
hokum.
3. Reduksionis. Objek penelitian selalu dapat dipahami dengan cara memecahnya, ke
dalam satuan yang lebih kecil. Fenomena yang kompleks dapat disederhanakan
menjadi unsur-unsur kecil. Pengamatan terhadap satuan-satuan yang terukur inilah
yang kemudian dapat digeneralisasi untuk memahami keseluruhan utuh atas suatu
objek penelitian. Objek penelitian dilihat sebagai satu kesatuan unsur yang bisa
dipecah-pecah dan bila disatukan kembali bisa membentuk satu kesatuan unsur.
Dengan demikian keberadaan unsur adalah penting bagi keberadaan suatu system.
Dalam rangka ini maka antara unsur dengan system mempunyai hubungan saling
mengisi.
4. Netral/Bebas Nilai. Peneliti mengamati sebagai pihak di luar objek, yang tidak
dilandasi asumsi-asumsi subjektif seperti nilai-nilai, keyakinan, aliran politik dan lain-
lain.
5. Deterministic. Menunjukkan pengertian “sebab-akibat”, saling tergantung. Kejadian
satu tidak akan terjadi kalua tidak didahului kejadian lain.

Hlm. 181
Secara ontologis paradigma positivism mengkonsepsikan realitas sebagaimana adanya yang
kasat mata. Tidak membicarakan esensi. Konsekuensinya, paradigma positivism
mengkonsepsikan hokum sebagai seperangkat peraturan tertulis, dikeluarkan oleh lembaga
yang sah, yang diberlakukan untuk mengatur individu-individu, sehingga tercipta keadaan
masyarakat yang baik (law as it is written in the books).

Hlm. 182
Secara epistemologis, peneliti mendudukkan diri secara impersonal, terpisah dengan objek
penelitian.
Positivism membangun kepastian, pola yang tetap dan prediktabel. Postpositivisme ingin
menguji seberapa benarkah kepastian itu, apakah benar ada kepastian yang dibangun berbasis
hubungan sebab-akibat itu benar adanya? Dalam batas tertentu boleh dikatakan
postpositivisme ingin melakukan falsifikasi empiric (berbasis fakta, pengalaman) terhadap
“bangunan-bangunan” positivism.

Hlm. 182-183
Paradigma postpositivisme ingin membuktikan segala sesuatunya berbasis realitas (yang bisa
dibangun berdasarkan pengalaman, pengamatan).

Hlm. 183
Secara ontologis paradigma postpositivisme mengkonsepsikan realitas sebagaimana adanya,
namun disadari bahwa sesungguhnya banyak factor yang mempengaruhi realitas itu.
Konsekuensinya, paradigma postpositivisme mengkonsepsikan hokum sebagai seperangkat
peraturan yang berlaku dalam masyarakat yang keberlakuannya akan dipengaruhi factor-
faktor yang lain (factor ekonomi, politik, budaya dan lainnya). Secara epistemologis, peneliti
mendudukkan diri secara impersonal, terpisah dengan objek penelitian. Posisi peneliti netral,
tidak berpihak pada objek penelitian. Paradigma postpositivisme dapat memayungi penelitian
hokum yang bercorak law as it is in society atau hokum sebagai realitas yang keberlakuannya
dipengaruhi oleh gejala-gejala yang lain.

Hlm. 184
Paradigma positivism mengkonsepsikan realitas sebagai sesuatu yang tampak secara kasat
mata. Pemaknaan didasarkan pada yang tampak saja, tidak membicarakan di balik itu, realitas
dimaknai sebagai sesuatu yang terbentuk karena adanya hubungan antara satu unsur dengan
unsur lain secara kausal, sehingga terbentuk system yang bersifat structural-fungsional. Akan
tetapi paradigma kritikal mengkonsepsikan realitas sebagai hasil relasi yang tidak pernah
seimbang antara yang kuat dan yang lemah, tidak bersifat structural-fungsional bahwa yang
satu mempunyai kegunaan bagi yang lain, tetapi bahwa antara unsur yang satu dengan unsur
lain ada hubungan yang bersifat dominative. Dengan kata lain dalam keyakinan paradigma
kritikal, di dalam realitas selalu terjadi unequal relationship.
Dalam paradigma kritikal, realitas yang sesungguhnya justru ada di balik yang kasat mata.
Konskuensinya, paradigma kritikal mengkonsepsikan hokum sebagai realitas (seperangkat
ketentuan hokum) yang disusun dari hasil dominasi satu unsur terhadap unsur yang lain.
Hokum dengan demikian dikonsepsikan sebagai instrument yang digunakan pihak yang kuat
terhadap yang lemah, untuk kepentingan pihak yang kuat.

Hlm. 185
Secara ontologis, paradigma kritikal mengkonsepsikan realitas sebagai konstruksi hasil
hubungan-hubungan yang tidak pernah seimbang. Realitas tidak terwakili dari yang tampak
kasat mata. Konsekuensinya paradigma kritikal mengkonsepsikan hokum sebagai
seperangkat peraturan, yang dibentuk untuk kepentingan pihak yang lebih kuat. Secara
epistemologis, peneliti mendudukkan diri untuk memihak pada yang lebih lemah untuk
memberdayakan dan menyadarkan bahwa keadaan itu harus diubah untuk menjadi seimbang.
Posisi peneliti dengan demikian berpihak, terhadap objek penelitian.
Dalam paradigma positivism diyakini bahwa realitas itu bisa diamati berulang-ulang dan
hasilnya sama dan bisa digeneralisasikan, maka paradigma interpretif atau konstruktivisme
menyangkalnya. Konstruktivisme memahami kebenaran realitas bersifat relative, berlaku
sesuai dengan konteks spesifik yang relevan dengan pelaku social. Konstruktivisme menolak
generalisasi untuk berupaya menghasilkan deskripsi yang unik.
Paradigma konstruktivisme berangkat dari keyakinan bahwa realitas itu beragam. Realitas
berada dalam beragam konstruksi mental yang bersifat subjektif pada diri manusia
(masyarakat), yang didasarkan pada pengalaman social, agama, budaya, system nilai-nilai
lainnya dan bersifat local, sehingga realitas yang diamati oleh peneliti tidak bisa
digeneralisasikan.

Hlm. 185-186
Hal ini karena tiap fenomena merupakan hasil konstruksi (persepsi) masing-masing individu
atau masyarakat, di mana konstruksi (persepsi) itu muncul sebagai “resultante” dari
pengalaman social, agama, budaya, system nilai-nilai lainnya dan bersifat local.

Hlm. 186
Peneliti yang menggunakan paradigma konstruktivisme harus bisa mengungkap hal-hal yang
tidak kasat mata. Harus mampu mengungkap pengalaman social, aspirasi atau apapun yang
tidak kasat mata tetapi menentukan sikap-sikap, perilaku atau tindakan objek peneliti.
Diperlukan adanya interaksi subjektif antar keduanya. Di sinalah kemudian konstruktivisme
(interpretivisme) menerapkan metode hermeneutic dan dialektika dalam proses pencapaian
kebenaran. Hermeneutic, dilakukan melalui identifikasi kebenaran/konstruksi pendapat orang
per orang, namun butuh waktu yang lama. Dialektika, dilakukan dengan membandingkan
pendapat untuk memperoleh suatu consensus.
Secara ontologis, paradigma konstruktivisme mengkonsepsikan realitas sebagai resultante
dari hasil interpretasi subjek-subjek yang sesungguhnya beragam itu. Konsekuensinya,
paradigma konstruktivisme mengkonsepsikan hokum sebagai realitas seperangkat peraturan
yang merupakan resultante dari interpretasi-interpretasi para subjek, yang didasarkan pada
pengalaman social, agama, budaya, system nilai-nilai lainnya yang melekat pada subjek
penelitian. Secara epistemologis, peneliti mendudukkan diri secara tidak terpisah dengan
objek penelitian.

Hlm. 187
Ranah kajian sociolegal mengkonsepsikan hokum sebagai norma sekaligus sebagai perilaku.
Pengkonsepsian hokum sebagai norma berkonsekuensi bahwa hokum mengandung nilai-nilai
abstrak yang tidak bisa dikonkretkan, tetapi telah menjadi ajaran utama dalam hokum.
Pengkonsepsian hokum sebagai perilaku yang tampa dalam realitas, berkonsekuensi bahwa
hokum dilihat sekedar sebagai sesuatu yang konkret, tertulis, memuat sanksi dan dikeluarkan
oleh lembaga yang berwenang yang di dalam bekerjanya dipengaruhi factor-faktor lain
seperti ekonomi, politik, budaya, agama dan seterusnya.
Penelitian dalam kajian sociolegal, langkah-langkahnya diawali dengan membangun
kesadaran bahwa tujuan hokum adalah mewujudkan keadilan, kestabilan, dan kesejahteraan
hidup.

Hlm. 188
Kesimpulannya adalah pilihan-pilihan apakah aturan hokum yang ada akan dipertahankan,
diperbaiki, atau diganti. Dengan demikian muara dari penelitian sociolegal adalah kembali
pada hokum itu sendiri bukan mendeskripsikan masyarakat.

Hlm. 189
Ilmu hokum mempelajari nilai-nilai untuk mengatur perilaku manusia, ilmu social
mempelajari perilaku manusia.
Mengikuti cara berpikir aliran rasionalisme kritis Karl R. Popper, sesungguhnya tugas dari
ilmu bukan untuk menegaskan pemberlakuan umum suatu teori ataupun konsep, tetapi justru
untuk membantahnya. Oleh karena itu, ilmu (termasuk ilmu hokum) bukan sekedar
mengemukakan atau mengukuhkan kebenaran, tetapi menggugat apakah kebenaran itu
memang yang sesungguhnya.

Hlm. 191
Pada era system hokum modern, ilmu hokum lebih dititikberatkan pada bagaimana hokum
dapat menopang kepentingan kapitalisme, HAM, dan penyelenggaraan pemerintahan yang
demokratis.

Hlm. 192
Para peminat di bidang ilmu hokum dituntut untuk selalu berkontemplasi dan melakukan
penjelajahan pemikiran-pemikiran filsafat yang mempunyai pengaruh besar pada tumbuhnya
ajaran-ajaran hokum.
Ilmu hokum yang holistic tidak bisa bekerja sendiri dengan memfokuskan pada peraturan
melainkan juga pada perilaku. Dalam kajian yang lebih holistic, hokum adalah untuk
manusia.

Hlm. 192-193
Studi ilmu hokum dewasa ini menuntut setidaknya dua hal. Pertama, penguasaan tentang
doktrin-doktrin hokum. Kedua, penguasaan tentang teori bekerjanya hokum seperti ajaran
Max Weber, Talcott Parson, Philip Nonet dan Philip Selznick, William Chambliss, Robert
Seidman, Sarjono Soekanto, Satjipto Rahardjo, dan Soetandyo Wignyosoebroto.

Anda mungkin juga menyukai