Pertemuan Ke-7
POKOK PEMBAHASAN
Dalam pergaulan internasional, terdapat interaksi antara hukum nasional di masing-masing negara
dengan hukum internasional. Di Indonesia misalnya, walaupun dalam Konstitusi (Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 tidak secara tegas diatur mengenai
hubungan antara hukum nasional Indonesia dengan hukum internasioal, bukan berarti Indonesia tidak
mendukung atau tidak mengakui eksistensi dari hukum internasional. Dalam Pembukaan UUD NRI
Tahun 1945 pada Alinea keempat disebutkan bahwa“….. dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial …”. Dengan demikian, terlihat bahwa
Indonesia mendukung dan mengakui kehadiran dan eksistensi dunia internasional dan hukum
internasional. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa politik hukum nasional mempunyai hubungan
dengan dunia internasional dan hukum internasional (dalam konteks global).
Politik Hukum (sekarang dan di masa yang akan datang) harus pula memperhatikan pengaruh global.
Dalam konteks global, politik hukum tidak dapat semata-mata melindungi kepentingan nasional, tetapi
juga harus melindungi kepentingan internasional atau juga harus melindungi kepentingan lintas negara.
(Abdul Latif dan Hasbi Ali 2019:167)
RELASI HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM
NASIONAL
Dalam teori ada 2 (dua) pandangan tentang hukum internasional yaitu pandangan yang dinamakan
voluntarisme, yang mendasarkan berlakunya hukum internasional bahkan persoalan ada atau tidaknya
hukum internasional ini pada kemauan negara, dan pandangan obyektivis yang menganggap ada dan
berlakunya hukum internasional ini lepas dari kemauan negara. Menurut pandangan Voluntaris bahwa
hukum internasional dan hukum nasional sebagai dua satuan perangkat hukum yang hidup
berdampingan dan terpisah, sedangkan pada pandangan obyektivitis menganggapnya sebagai dua bagian
dari satu kesatuan perangkat hukum. Erat hubungannya dengan yang dijelaskan tersebut adalah
persoalan hubungan hirarkhi antara kedua perangkat hukum itu, baik merupakan perangkat hukum
yang masing-masing berdiri sendiri maupun merupakan dua perangkat hukum yang pada hakikatnya
merupakan bagian dan satu keseluruhan tata hukum yang sama.
Aliran Dualisme
Aliran ini menganggap bahwa hukum nasional ("state law") dan hukum internasional adalah dua sistem
hukum yang berbeda. Triepel, salah seorang pemuka aliran ini, mengemukakan dua perbedaan
mendasar dari kedua sistem hukum tersebut, yaitu:
1. Subyek hukum nasional adalah individu, sedangkan subyek hukum internasional adalah negara;
2. Sumber dari hukum nasional adalah kehendak negara masing- masing, sedangkan hukum
internasional adalah kehendak bersama negara-negara;
3. Prinsip dasar yang melandasi hukum nasional adalah prinsip dasar/norma dasar dari konstitusi
negara, sedangkan hukum internasional dilandasi oleh prinsip "perjanjian adalah mengikat" ("pacta
sunt servanda").
Teori transformasi ini juga dijawab oleh Teori Delegasi/Pelimpahan Wewenang ("the Delegation Theory").
Menurut teori ini terdapat pelimpahan wewenang dari hukurn internasional kepada hukum nasional
(dalam hal ini konstitusi negara) untuk menentukan ketentuan-ketentuan hukum internasional mana
yang akan diberlakukan dan prosedur-prosedur apa yang harus ditempuh untuk memasukkannya ke
dalam sistem hukum nasional. Jadi tidak perlu ada suatu tindakan transformasi khusus atau pembuatan
hukum nasional khusus dalam rangka pemberlakuan hukum internasional.
Penganut aliran ini berpendapat bahwa hukum nasional dan hukum internasional adalah merupakan
bagian dari satu kesatuan ilmu hukum, Semua hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari aturan-
aturan yang mengikat, apakah itu terhadap negara, individu ataupun subyek lain selain negara. Oleh
karena itu baik hukum nasional maupun hukum internasional adalah bagian dari satu ilmu hukum yang
mengatur kehidupan manusia. Akibat dari pandangan ini adalah dimungkinkannya suatu hubungan
"hierarki" antara kedua sistem hukum tersebut. Hal ini menyebabkan timbulnya dua pendapat yang
berbeda mengenai manakah sistem hukum yang utama di antara keduanya jika terjadi suatu
pertentangan/konflik. Faham-faham tersebut adalah:
a. Faham Monisme dengan Primat Hukum Nasional
Faham ini menganggap bahwa hukum nasional lebih utama kedudukannya daripada hukum
nasional dan pada hakekatnya hukum nasional adalah sumber dari hukum internasional. Alasan
yang dikemukakan adalah:
Hukum nasional memang mempunyai kedaulatan penuh, akan tetapi hal ini semata-mata
mencerminkan bahwa suatu negara akan mempunyai kewenangan dengan hukum internasional sebagai
pembatasnya.
Berlakunya hukum internasional dalam peradilan nasional suatu negara mengacu pada doktrin "inkorporasi" dan
doktrin "transformasi". Menurut doktrin inkorporasi, bahwa hukum internasional dapat langsung menjadi bagian
dari hukum nasional. Apabila suatu negara menandatangani dan meratifikasi traktat atau perjanjian apapun dengan
negara lain, maka perjanjian tersebut dapat secara langsung mengikat terhadap warga negaranya tanpa adanya
sebuah legislasi terlebih dahulu. Contoh negara yang menerapkan doktrin ini adalah Amerika Serikat, Inggris,
Kanada, Australia dan beberapa negara dengan sistem Anglo Saxon.
Doktrin transformasi menyatakan sebaliknya, bahwa tidak terdapat hukum internasional dalam hukum nasional
sebelum dilakukan proses tranformasi berupa pernyataan terlebih dahulu dari negara yang bersangkutan. Sehingga
traktat atau perjanjian internasional, tidak dapat digunakan sebagai sumber hukum di pengadilan nasional sebelum
dilakukannya `transformasi' ke dalam hukum nasional. Doktrin inkorporasi beranggapan bahwa hukum
internasional merupakan bagian yang secara otomatis menyatu dengan hukum nasional. Doktrin ini lebih mendekati
teori monisme yang tidak memisahkan antara hukum nasional dan hukum internasional. Sedangkan doktrin
transformasi menuntut adanya tindakan positif dari negara yang bersangkutan, sehingga lebih mendekati teori
dualisme. Contoh negara yang menerapkan teori ini diantaranya adalah negara-negara Asia Tenggara, termasuk
Indonesia.