Anda di halaman 1dari 30

Bab III

ASPEK HUKUM NASIONAL DAN HUKUM INTERNASIONAL DI DALAM HUKUM PIDANA


INTERNASIONAL
Pembahasan mengenai aspek hukum nasional dan aspek hukum internasional di dalam
kerangka pemikiran tentang hukum pidana internasional sengaja penulis tempatkan
tersendiri di dalam karya tulis ini. Hal ini didasarkan pertimbangan-pertimbangan
sebagai berikut:
(1) hukum pidana internasional sebagai sub-disiplin memiliki dua sumber hukum, yaitu
sumber hukum yang berasal dari hukum pidana nasional dan sumber hukum yang
berasal dari hukum internasional;
(2) kedua sumber hukum tersebut telah membentuk kepribadian ganda (double
personality) atau lebih tepat memiliki "standar ganda" (double standard) di dalam
hukum pidana internasional, kepribadian ganda tersebut adalah aspek hukum pidana
nasional dan aspek hukum internasional. Kepribadian ganda ini tidak harus
dipertentangkan, tetapi justru harus saling mengisi dan melengkapi di dalam
menghadapi masalah kejahatan internasional;
(3) Salah satu perwujudan nyata dari suatu interaksi antara hukum nasional dan hukum
internasional terdapat pada lingkup pembahasan hukum pidana internasional dengan
objek studi tindak pidana yang bersifat transnasional atau internasional.
(4) pembahasan aspek hukum (pidana) nasional dan hukum internasional dalam lingkup
hukum pidana internasional akan memberikan landasan berpijak bagi suatu analisis kritis
di dalam membahas konsepsi dan karakteristik dari suatu tindak pidana internasional.
Lahirnya beberapa konvensi internasional yang menetapkan tindak Pidana tertentu
sebagai tindak pidana internasional atau international crime mengandung makna
dimulainya perjuangan untuk menegakkan hak dan tewajiban negara peserta konvensi
atas isi ketentuan yang dituangkan di dalam konvensi internasional tersebut. Salah satu
kewajiban utama negara peserta (sekalipun masih diperkenankannya adanya
reservation) khususnya bagi Indonesia ialah memasukkannya hasil konvensi dimaksud ke
dalam lingkungan nasional dalam arti antara lain melaksanakan ratifikasi terlebih dulu
atas konvensi, sebelum dituangkan dalam bentuk suatu undang-undang khusus
mengenai objek yang menjadi pembahasan di dalam konvensi tersebut.
Persoalan yang sering diajukan adalah bagaimanakah negara peserta seharusnya
melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan oleh suatu konvensi internasional
tertentu dan pertimbangan-pertimbangan apakah yang sering melandasi penataan atau
pengingkaran atas isi ketentuan yang telah dituangkan di dalam suatu konvensi
internasional.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas dan merupakan prasyarat untuk
memperoleh keterangan yang memuaskan diperlukan suatu pemahaman terlebih dulu
mengenai masalah hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional.
A. HUBUNGAN ANTARA HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL
Di dalam teori hukum internasional, telah berkembang dua pandangan tentang hukum
internasional. yaitu pandangan yang dinamakan voluntarisme, yang mendasarkan
berlakunya hukum internasional dan ada tidaknya hukum internasional ini pada
kemauan negara (gemeinwille). Pandangan kedua adalah pandangan objektivis yang
menganggap ada dan berlakunya hukum internasional ini lepas dari kemauan negara
(Mochtar Kusumaatmadja,1989.40).
Pandangan yang berbeda ini, membawa akibat yang berbeda pula karena sudut
pandangan yang pertama akan mengakibatkan adanya hukum internasional dan hukum
nasional sebagai dua satuan perangkat hukum yang hidup berdampingan dan terpisah,
sedangkan pandangan objektivts menganggapnya sebagai dua bagian dari satu
kesatuan perangkat hukum. Pemuka aliran dualisme ini adalah Triepel (Jerman) dan
Anzilotti (Italia). Triepelmenulis buku Vollkerrecht und Landesrecht (1899), sedangkan
Anzilotti inenulis buku Corso di Dirito Internazionale (1923).
Alasan yang dialukan oleh penganut aliran dualisme bagi pandangan tersebut di atas,
didasarkan pada alasarn formal ataupun alasan yang berdasarkan kenyataan. Di antara
alasan-alasan yang terpenting, dikemukakan hal sebagai berikut:
(1) kedua perangkat hukum tersebut (hukum nasional dan hukum internasional)
mempunyai sumber yang berlainan, hukum nasional bersumber pada kemauan negara,
sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama masyarakat negara;
(2) kedua perangkat hukum itu berlainan subjek hukumnya. Subjek hukum dari hukum
nasional adalah orang perorangan, baik dalam hukum perdata maupun hukum publik,
sedangkan subjek hukum dari hukum internasional ialah negara;
(3) Sebagai tata hukum, hukum nasional dan hukum internasional menampakkan pula
perbedaan dalam strukturnya. Lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum
dalam kenyataan seperti mahkamah dan organ eksekutif hanya ada dalam bentuk yang
sempurna dalam lingkungan nasional. Alasan lain yang dikemukakan sebagai
argumentasi yang didasarkan Mengenali wajah kenyataan ialah bahwa kaidah hukum
nasional itu bertentangan dengan hukum internasional. Dengan perkataan lain, berlaku
efektif, sekalipun bertentangan dengan ketentuan hukum internasional (Mochtar
Kusumaatmadja, 1988:40-41).
Terhadap pandangan aliran dualisme ini, Mochtar Kusumaatmadja (1989:41) telah
mengemukakan komentar dan pandangan-pandangannya sebagaimana diuraikan di
bawah ini.
1. Bahwa di dalam teori dualisme tidak ada tempat bagi persoalan hierarki antara
hukum nasional dan hukum internasional karena pada hakikatnya, kedua perangkat
hukum ini tidak saja berlainan dan tidak tergantung satu sama lainnya, tapi juga lepas
antara satu dan yang lainnya.
2. Sebagai konsekuensi logis dari keadaan sebagaimana digambarkan di atas, tidak akan
mungkin ada pertentangan antara kedua perangkat hukum itu, yang mungkin hanya
penunjukan (renvoi) saja.
3. Bahwa ketentuan hukum internasional memerlukan transformasi menjadi hukum
nasional sebelum dapat berlaku dalam lingkungan hukum nasional.
Teori aliran dualisme tidak lepas dari beberapa kelemahan sebagaimana diungkapkan
oleh Mochtar Kusumaatmadja (1989:4142) sebagai berikut:
1. Teori dasar aliran dualisme yang mengemukakan bahwa sumber segala hukum baik
hukum nasional maupun hukum internasional adalah Kemauan negara sulit untuk
diterima karena hukum yang ada dan berlaku itu dibutuhkan oleh kehidupan manusia
yang beradab. Tanpa hukum, kehidupan yang teratur tidak mungkin. Hal yang sama
berlaku pula bagi masyarakat internasional. Jadi, adanya hukum dan daya ikat hukum
tidak bersumber pada kemauan negara, melainkan merupakan prasyarat ho
kehidupan manusia yang teratur dan beradab.
2. Kebenaran argumentasi aliran ini mengenai berlainannya subjek huku
dari hukum nasional dan hukum internasional dibantah oleh kenyataa
bahwa dalam suatu lingkungan hukum, seperti hukum nasional, dan
saja subjek hukum itu berlainan, seperti ada pembagian hukum perdara
dan hukum publik. Sebaliknya, tidak benar pula jika dikatakan bahu
subjek hukum dari hukum internasional itu adalah negara karena
perkembangan akhirakhir ini menunjukkan bahwa individu atau orane
perorangan pun dapat menjadi subjek hukum internasional.
3. Argumentasi kaum dualis yang mengemukakan adanya perbedaan
struktural antara hukum nasional dan hukum internasional, ternyata
perbedaan yang dikemukakan hanyalah perbedaan gradual dan tidak
merupakan perbedaan yang hakiki atau asasi. Apa yang dinamakan
perbedaan itu hanya merupakan bentuk perwujudan atau gejala saja dari
taraf integrasi yang berlainan dari masyarakat nasional dan masyarakat
internasional.
paha
dalar
adals
dim
huk
atal
Stac
nas
1.
2.
4. Bahwa pemisahan mutlak antara hukum nasional dan hukum
internasional tidak dapat menerangkan dengan cara memuaskan
kenyataan bahwa dalam praktik sering sekali hukum nasional itu tunduk
pada atau sesuai dengan hukum internasional. Kenyataan bahwa ada
kalanya hukum nasional yang berlaku bertentangan dengan hukum
internasional bukan merupakan bukti perbedaan struktural seperti
dikatakan kaum dualis, melainkan hanya bukti kurang efektifnya hukum
internasional.
ke
1.
Di lain pihak, paham monisme didasarkan pemikiran kesatuan seluruh
hukum yang mengatur hidup manusia. Dalam rangka pemikiran ini hukum
internasional dan hukum nasional mempakan dua bagian dari satu kesatuan
yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Sebagai
akibat dari pandangan ini ialah bahwa antara dua perangkat ketentuan hukum
ini ada hubungan hierarki. Persoalan hierarki inilah yang melahirkan beberapa
sudut pandangan yang berbeda dalam aliran monisme mengenai masalah
hukum yang utama dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum
internasional ini.
1. Paham monisme dengan primat hukum nasional
Paluam ini mengemukakan bahwa dalam hubungan antara hukum nasional
dan hukum internasional, yang utama adalah hukum nasional, sedangkan
54

paham monisme dengan primat hudam intemasional mengemukalcan bahwa


dalam hubungan antara hukum nasional dan hukumintemaslonalyangutama
adalah hukum internasional Menurut teori monisme, kedua sudur pandangan
dimaksud adalah dimungkinkan (Mochtar Kusumaatmadja, 1989: 43).
Paham monisme dengan primat hukum nasional mengemukakan bahwa
Lukum internasional tidak lain menupakan larjuran hukum nasional belaka
hen dak lain dari hukum nasional untuk urusan luar negeri atau atezeres
alscht. Paham ini pada hakikatnya, menganggap bahwa hukum inter-
Dasional bersumber pada hukum nasional.
at
ra
Alasan utama anggapan ini adalah:
buhwa tidak ada satu organisasi di atas negara-negara yang mengatur
kehidupan negara-negara di dunia ini;
2 dasar hukum internasional yang mengatur hubungan internasional
rerletak dalam wewenang negara untuk mengadakan perjanjian
internasional, jadi wewenang konstitusional (Mochtir Kusumaatmadja,
ri
1989:43).
at
Mochtar Kusumaatmadja (1989.43-44) mengemukakan beberapa
kelemahan paham monisme dengan primat hukum nasional sebagai berikut:
1. Kelemahan mendasar dan cukup gawat bahwa paham ini terlalu
memandang hukum itu sebagai hukum yang tertulis semata-mata sehingga
sebagai hukum internasional dianggap hanya hukum yang bersumberkan
perjanjian internasional, suatu hal sebagaimana diketahui tidak benar.
2. Pada hakikatnya, pendirian paham kaum monisme dengan primat
hukum nasional ini merupakan penyangkalan terhadap adanya hukum
internasional yang mengikat negara. Hal ini disebab apabila terikatnya
negara pada hukum internasional digantungkan pada hukum nasional
sama halnya dengan merggantungkan berlakunya hukum internasional
pada kemauan negara itu sendiri.
ak
da
m.
ti
ah
an
cai
. Paham monisme dergan primat hukum mternasional
Menurut paham ini, hukum nasional bersumber pada hukum internasional
yang merupakan perangkat ketentuan hukum yang hierarki lebih tinggi.
Menurut paham ini, hukum nasional tunduk pada hukum internasional dan
Pada hakikatnya, berkekuatan mengikatnya berdasarkan suatu "pendelegasian"
enang dari hukum internasional. Paham ini dikembangkan oleh Mashab
Wina (Kunz, Kelsen, dan Verdross) didukung oleh aliran yang berpengaruh di
Perancis (Duguit, Scelle, dan Bourquin).
Mochtar Kusumaatmadia (1989:44) pada dasarnya, menyetujui
nh
nal
an
55

pandangan paharn ini, namun demikian ia kurang setuju perihal supremasi


hukum internasional yang dikaitkan dengan hierarki dan pendelegasian
wewenang (struktural) dan mengemukakan kelemahan-kelemahan cara
Pa
"A
1.
ha
CC
pandang ini sebagai berikut:
(1) Bahwa, pandangan hukum nasional bergantung pada huku
internasional dan mau tidak mau mendalilkan pula bahwa hukum
internasional telah ada lebih dehulu dari hukum nasional, bertentangan
dengan kenyataan sejarah, yang menyatakan bahwa hukum nasionalluSt
sudah ada sebelum adanya hukum internasional.
(2) Dengan demikian, tidak dapat dipertahankan pula dalil yang menyatakan
bahwa kekuatan mengikat hukum nasional diperoleh dari hukum
internasional atau bahwa hukum nasional merupakan derivasi dari hukum
internasional. Menurut kenyataan, wewenang suatu negara nasional yang
bertalian dengan kehidupan antarnegara, seperti kompetensi
mengadakan perjanjian internasional sepenuhnya termasuk wewenang
hukum nasional (hukum tata negara).
Vi
"A
2.
in
meng
kegaga
perjar
27 m
kesep
perjar
Terhadap persoalan pandangan monisme dan dualisme ini, Mochtar
Kusumaatmadja (1989-45) mengemukakan kesimpulan bahwa kedua paham
tersebut tidak mampu memberikan jawaban yang memuaskan. Pada satu pihak.
pandangan dualisme melihat hukum nasional dan hukum internasional sebagai
dua perangkat ketentuan hukum yang sama sekali terpisah tidaklah masuk
akal karena pada hakikatnya pandangan tersebut merupakan penyangkalan
dari hukum internasional sebagai perangkat hukum yang mengatur kehidupan
antarnegara atau intermasional. Di pihak lain pandangan monisme yang me
ngairkan tunduknya negara (nasional) pada hukum internasional dengan
persoalan suatu hubungan sub-ordinasi dalam arti struktural organis juga kurang
tepat (walaupun menurut logika lebih memuaskan) karena memang tidak
sesuai dengan kenyataan.
Apabila ditinjau dari kedudukan suatu perjanjian internsional atau treaty
sehagaimana telah diatur di dalam Vienna Convention on the Law of Trea-
ties (tahun 1969) dapat dikemukakan dua pasal penting yang relevan dengan
rnasalah keterikatan suatu negara peserta konvensi terhadap isi ketentuan
yang dituangkan di dalam konvensi yang bersangkutan. Kedua pasal ini adalah
pasal 27 dan pasal 46. Dalam pasal 27 dengan subjudul: Internal law and ob-
servance of treaties" disebutkan:
wewe
itu n
pelar
nega
pasal
nega
kete
wew
dilar
haru
pese
adal
mel
sede
mel
Op
per
A party may not invoke the provisions of its internal law as justification
for its failure to perfo a treaty. This rule is without prejudice to Article
46".
Hu
56
Busal 46 dari Konvensi tersebut di atas menyebudkan
1.
"A state may not invoke the fact that its consent to be bound by a treaty
bas been expressed in violation of a provision of its internal law regarding
competence to conclude treaties as invalidating its consent unless that
violation was manifest and concerned a nule of its internal law of funda
mental importance".
"A violation is manifest if it would be objectively evident to any state
canducting it self in the matter in accordance with normal practice and
in good faith".
Pasal 27 menegaskan bahwa setiap peserta (negara) tidak diperbolehkan
mengemukakan alasan kepentingan hukum nasional sebagai justifikasi untuk
Legngalan negara tersebut di dalam mewujudkan ketentuan-ketertuandi dalam
perjunjian tersebut, sedangkan pasal 46 mempertegas kembali ketentuan pasal
27 menyebutkan, suatu negara tidak dapat mengemukakan bahwa
kesepakatannya untuk mengikatkan diri (consent to bound) pada suatu
perjanjian, ternyata melanggar suatu ketentuan hukum nasionalnya tentang
wewenang untuk membentuk perjanjian, kecuali bila pelanggaran (violation)
itu nyata. Sedangkan ayat ke-2 dari pasal 46 menyatakan bahwa suatu
pelanggaran ialah nyata (manifest) bilamana terbukti secara objektif bagi setiap
negara yang terlibat, atas dasar praklik yang normal dan itikad baik dalam
pasal tersebut ada tiga anasir (alasan, sic.) yang dapat menjadi dasar bagi suatu
negara untuk membatalkan kesepakatan pengikatan dirinya. Pertama, bahwa
ketentuan hukum nasional yang dilanggar itu ialah ketentuan tentang
wewenang untuk membentuk perjanjian. Kedua, bahwa ketentuan yang
dilanggar itu mempunyai makna yang fundamental. Ketiga, pelanggaran itu
harus nyata, bukan bagi negara yang bersangkutan sendiri melainkan bagi
peserta-peserta lainnya (Nahlik, didalam Budiono, 1986: 41-42).
Budiono (1986:42) meragukan anasir kedua dengan mempertanyakan:
adakah mungkin bahwa delegasi atau pemerintah suatu negara sampai dapat
melupakan suatu ketentuan dari hukum nasionalnya yang fundamental
sedemikian rupa sehingga pengikatan dirinya pada suatu perjanjian, lalu
melanggar ketentuan tersebut? Kesan ini berkaitan erat dengan pendapat
Oppenheim (1961: 46) yang menyatakan pendapatnya sehubungan dengan
pertanyaan mengenai kemungkinan adanya pertentangan antara ketentuan
Hukum Nasional dan Hukum Internasional, sebagai berikut:
"As the Law of Nations is based upon the consent of different States, it is
improbable that an
conflicting with the Law of Nations".
enlightened state would intentionally enact a rule
57
Dalam konteks pembangunan hukum di Indonesia pada umump
hemat penulis, persoalan kemungkinan konflik kepentingan antara huku
nasional dan hukum internasional sebagaimana diuraikan sangat penting
artinya karena di dalam rangka penyusunan sistem hukum nasional (GBHN
1993) yang sejalan dengan perkembangan globalisasi, kedua persoalan
sebur menjadi bahan masukan mengenai bagaimana seharusnya substansida
bentuk hukum nasional yang akan disusun.
Dalam konteks penyusunan sistem hukum nasional ini Sunaryati Hartone
(1993: 4-10) telah memperkenalkan suatu pendekatan sistemik; pendekatan
ini digambarkan ke dalam enam lingkaran konsentris. Keenam lingkaran
konsentris tersebut adalah Pancasila diletakkan pada titik tengah lingkarar
yang membentuk sistem hukum nasional; lingkaran berikutnya adalah
Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi landasan setiap bidang hukum
dalam sistem hukum nasional, disusul lingkaran ketiga yang terdiri dar
peraturan perundangundangan atau hukum tertulis. Lingkaran keenpar
menandakan yurisprudensi dan lingkaran yang paling luar adalah hukum
kebiasaan. Lingkaran keenam menggambarkan pengaruh hukum
internasional terhadap hukum nasional.
Bertitik tolak pada pendekatan sistemik tersebut di atas, tampak secara
elas wujud sistem Hukum Nasional Indonesia yang akan disusun suatu bentuk
sisten hukum nasional yang dapat mencerminkan, baik aspek nasional
maupun aspek internasional sehingga dengan demikian, yang diharapkan akan
terjadi adalah suatu sistem hukum nasional yang mencerminkan dua
kepentingan sekaligus, yaitu kepentingan (masyarakat) nasional dan
kepentingan (masyarakat) internasional. Dalam konteks inilah, dapat penulis
kemukakan bahwa masalah teori monisme yang bertolak dari primat hukum
nasional atau primat hukum internasional bersifat kontekstual, terutama dilihat
dari pelaksanaan kepentingan keseimbangan antara dua kepentingan tersebut
di atas terhadap suatu kasus tertentu.
uta
Ba
tid
ma
da
int
an
Ba
da
ya
in
K.
(1
11
B. PENGARUH TEORI MONISME DAN DUALISME TERHADAP
PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
Sejak dibentuknya Liga Bangsa-Bangsa (1928) dan dilanjurkan kemudian
dengan pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (1945), masyarakat
internasional sudah sepakat bahwa teori-teori monisme dan dualisme sudah
tidak sejalan dengan perkenbangan masyarakat internasional sampai saat ini.
58
Derkembangan dunia pada dewasa ini yang terbagi antara negara-negara
tara dan selatan dengan berpegang teguh kepada Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB), memperkuat pandangan bahwa kedua teori tersebut di atas
idak dapat dipertahankan lagi sekalipun dalam praktik hukum internasional,
masih sering terjadi bahwa teori primat hukum nasional lebih dominan
daripada teori primat hukum internasional.
Dominasi teori monisme dengan primat hukum nasional atas teori
monisme dengan primat hukum internasional dalam praktik hukum
internasional, secara nyata tersirat dari masalah konflik yurisdiksi kriminil
antara dua negara dalam kasus tindak pidana narkotika lintas batas teritorial.
Bahkan, koniflik yurisdiksi kriminil sering muncul sebagai akibat memuncak
dari adanya tindakan perluasan yurisdiksi kriminil dari salah satu negara yang
merasa dirugikan oleh tindakan para pelaku tindak pidana narkotika, baik
vang dilakukan oleh individu maupun oleh kelompok/organisasi kejahatan
internasional.
Kasus-kasus tersebut di atas, antara lain adalah kasus-kasus: United States
Kerrv. (1886); United States v.Frisbie (1952); United States v. Alvares Machain
(1992); dan United States v. Noriega (1988).
Dua kasus terkenal dalam majalah tersebut di atas ialah kasus Kerr v.
Illinois (119 U.S.436) [1886] dan kasus Frisbie v. Collins (342 U.S. 519 (1952).
Pendapat yang dianut di dalam putusan atas kedua kasus ini adalah sebagai
berikut:
"jurisdiction over a defendant in a criminal case is not affected by the
manner in which he or she has been brought before the court (including
kidnapping by government agents)".
Dalam memberikan pertimbangan atas putusan kedua kasus tersebut di
atas, Mahkamah Agung Amerika Serikat berpendapat bahwa yurisdiksi kriminil
atas seorang terdakwa tidak dipengaruhi oleh cara seorang terdakwa dibawa
ke hadapan pengadilan, termasuk tindakan penculikan oleh petugas pe-
merintah.
Untuk menggali pengalaman dan praktik perluasan yurisdiksi krimini!
atas, tindak pidana narkotika vang terjadi di luar batas teritorial 12 mil laut
yang diperkenankan, di bawah ini akan dikemukakan beberapa putusan
Mahkamah Agung Amerika Serikat yang telah merupakan yurisprudensi.
* Kasus United State u. Atuares-Machain. 112 dS.Ct. 2188, 5 Juni 1992.
ada tahun 1985 seorang agen khusus Drug Enforcement Agency atau DEA
Amerika Serikat, Enrigue Camarena-Salazar telah diculik, dianiaya dan
59
dibunuh oleh pemasok narkotika di Mexico. DEA telah sejak lama berusal
membawa pembunuh agen ini ke Amerika Serikat untuk mempertanggun
Mal
6 berbar
Pada tangga 12April 1990, Humberto Alvares Machain, seorang dokte
dan warga negara Mexico telah diculik dari kantornya di Guadalajara, Mexico,
oleh beberapa orang bersenjata dan diterbangkan dengan pesawat terbang
pribadi ke Amerika Serikat. Alvares dituduh telah ikut aktif dalam kasu
jawabkan perbuatannya tersebut.
penuntu
pengadil
Ma
pendapa
tindakan
pembunuhan agen DEA, Camarema yaitu dengan keahliannya sebagai dokte
telah memperpanjang kehidupan Camarema sehinga anggota geng narkotik
dapat terus memeriksa agen ini dengan cara penganiayaan.
Menyusul penculikan Alvares ini, pemerintah Meksiko telah mengau
nota protes melalui saluran diplomatik kepada Departemen Luar Ne
Amerika Serikait. Isi nota protes menegaskan bahwa pemerintah Ameril
Serikat telah mengetahui rencana dan pelaksanaan penculikan ini. Tindae
penculikan ini melanggar perjanjian ekstradisi antara kedua pemerintahar
dan menuntut agar Alvares dikembalikan ke Meksiko.
Alvares diajukan ke pengadilan Los Angelos dan ia mengajukar
penclakan penuntutan yang dilakukan terhadapnya. Alasan penolakan tersebu
ialah bahwa pengadilan tidak memiliki yurisdiksi kriminil atas dirinya karen
tindakan penculikan atas dirtnya telah direncanakan oleh DEA sebagai apara
pemerintah Amerika Serikat dan tanpa persetujuan pemerintah Meksiko.
Tindakan tersebut melanggar perjanjian ekstradisi yang telah ditandatangari
oleh kedua negara pada tahun 1981.
Pengadilan distrik Los Angelos menerima alasan Alvares bahwa tindakan
penculikan atas dirinya dilakukan atas rencana DEA sebagai instansi pemerintah
Amerika Serikat dan oleh karena itu, pengadilan berpendapat bahwa tindakan
tersebur melanggar perjanjian ekstradisi yang telah ditandatangani oleh kedua
negara (pemerintah Amerika Serikat dan pemerintah Meksiko). Pengadilan
ini pun berpendapat bahwa pemerintah Meksiko telah mengajukan nota protes
melaluí saluran diplomatik terhadap pemerintah Amerika Serikat atas
tindakan penculikan Alvares. Pengadilan distrik Los Angelos memutuskan
untuk menolak tuntutan terhadap Alvares dan memerintahkan agar Alvares
dikembalikan ke negaranya (Meksiko).
antara
mayorita
tidak me
lagi per
pengadi
Ka
2.
19
Ve
Meksik
dicari c
narkot
pembu
pada ta
Be
akan m
menga
fornia
menan
Meksik
Ta
Meksik
dan di
Califo
Verdu
Jaksa penuntut umum mengajukan banding. Pengadilan banding
memperkuat putusan pengadilan distrik Los Angelos dengan pertimbanga
yang sama dengan hakim pengadilan distrik tersebut di atas. Jaksa penuntu
umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Amerika Serikat (Supreie
Court of Justice atau Supr. Ct.of J).
Meksi
villa da
bukri,
mariy
60

Mahkamah Agung Amerika Serikat dengan perbandingan jumlah suara


berbanding 3 telah menetapkan untuk menerima perrnohonan pihak jaksa
auntut umum dan memutuskan untuk memperbaiki kembali putusan
pengadilan tinggi.
Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam putusannya ini, mengajukan
pendapat bahwa, penyelidikan pertama yang perlu dilakukan ialah apakah
an dakan penculikan atas Alvares dari Meksiko melanggar perjanjian ekstradisi
antara pemerintah Meksiko dan pemerintah Amerika Serikat. Pendapat
mayoritas Hakim Agung telah menyimpulkan bahwa perjanjian ekstradisi ini
sidak melarang tindakan penculikan dan atas dasar itu, maka pengadilan tidak
lagi perlu mempersoalkan cara tersangka (Alvares) datang kehadapan
nengadilan ini (AJIL, VOL.86 NO.4, 1992.81 1-820).
2. Kasus United States v. Verdugo-Urquidez, 110.SC. 1056 (tanggal 28 Febnuari
1990)
Verdugo adalah warga negara Meksiko dan bertempat tinggal di
Meksikali, Meksiko.Verdugo termasuk salah satu anggota geng narkotika yang
dicari oleh pihak DEA Amerika Serikat karena dicurigai telah mengimpor
narkotika ke wilayah Amerika Serikat dan juga diduga kuat membantu
pembunuhan yang telah dilakukan terhadap agen DEA, Camarena Salazar
pada tahun 1985.
Berdasarkan informasi dari seorang informan diketahui bahwa Verdugo
akan mengimpor beberapa ton mariyuana ke wilayah Amerika Serikat. DEA
mengajukan permohonan kepada Pengadilan Distr.k Wilayah Selatan Cali-
fornia dan pengadilan ini telah mengeluarkan surat perintah penahanan untuk
menangkap Verdugo. Agen DEA meminta bantuan kepada petugas kepolisian
Meksiko untuk menangkap Verdugo.
Tanggal 24 Januari 1986 Verdugo ditangkap oleh enamanggota kepolisian
Meksiko dan dibawa ke daerah perbatasan antara Meksiko dan Amerika Serikat
dan di sana, Verdugo diserahkan kepada petugas Kepolisian negara bagian
California Selatan. Petugas kepolisian ini kemudian menangkap dan menahan
Verdugo dengan tuduhan sebagaimana telah diuraikan di atas.
Tanggal 25 Januari 1986 empat anggota DEA dan dibantu oleh polisi
Meksiko menggeledah rumah kediaman Verdugo di Meksikali, Meksiko dan
villa di tepi pantai di San Felipe. Penggeledahan telah menghasilkan bukti-
bukti, antara lain informasi tertulis mengenai jumlah dan tanggal penjualan
mariyuana yang telah diselundupkan ke wilayah Amerika Serikat oleh Verdugo.
61
Penasihat hukum Verdugo mengajukan bantahan bahwa Pengadi
Distrik California Selatan tidak memiliki yurisdiksi atas Verdugo karh
kehadiran Verdugo terjadi dengan cara melanggar hukum. Terhadap bar
bukti yang diajukan pihak DEA tersebut, penasihat hukum Verdu
mengajukan bantahan bahwa barang bukti ini diperoleh dari penggeledah
secara melawan hukum, yaitu menggeledah tanpa surat perinta
penggeledahan yang sah dan karenanya melanggar amandemen keem
konstitusi Amerika Serikat mengenai Unlaw fuli Search and Seizure.
Tanggal 28 Februari 1990 Mahkamah Agung Amerika Serikat tulk
menjatuhkan putusan atas kasus Verdugo sewaktu Hakim Thompson van
berbicara untuk mayoritas menegaskan bahwa Bill of Rights termasu
pembatasan-pembatasan oleh amandemen keempatr (Fourth Amandmen
melekat pada setiap penegakan hukum oleh petugas penegak hukum Amerika
Serikat. Sekali saja sasaran penegakan hukum ini berada di wilayah Amerik
Serikat terlepas dari caranya berada di sini (Amerika Serikat)- maka sasaran
penegakan hukum memiliki semua hak untuk menuntut tindakan petugas
penegak hukum tersebut, termasuk hak untuk mengesampingkan bukti-bukti
(exclusionary rule) yang diperoleh dari tindakan penggeledahan yang melanggar
hukum, sebagairmana ditetapkan di dalam Konstitusi Amerika Serikat. Dergan
demikian, maka tindakan penggeledahan yang telah dilakukan oleh petugas
DEA Amerika Serikat di rumah tersangka Verdugo, tanpa surat perintah
yang sah atau keadaan yang sangat mendesak adalah melanggar hukum,
sekalipun tindakan itu dilaksanakan di Meksiko, dan bukti-bukti yang diperoleh
dari tindakan ini harus dikesampingkan (AJIL, VGL.84 NO.2,1990: 448-
459,491-493).
Ker
Sei
pad
pani
pan
dan
kem
ditu
mer
non
pasa
anta
tida
terse
terh
dap
asin
pen
pan
atas
kon
Am
3. Kasus United States v. Biermann (678 F.Supp. 1437) tanggal 9 Febnuari 1988
Biermann adalah warga negara Inggris dan pekerjaan terdakwa adalah
operator pada kapal laut berbendera Inggris dan terdaftar di Inggris. Tertuduh
dituntut di muka pengadilan di distrik Utara California karena memiliki
beberapa ton mariyuana dengan niat untuk mendistribusikannya.
Pada bulan Juni 1987, kapal yang bernama The Myth of Ecurie berlayar
di lautan Pasifik dalam perjalanan menuju Hongkong. Kira-kira pada jarak 3)
mil laut dari Point Reyes, California, penjaga pantai Amerika Serikat meminta
untuk menaiki kapal tersebut dan ditolak oleh pemilik kapal tersebut. Penjaga
pantai ini kemudian meminta izin kepada pemerintah Kerajaan Inggris untuk
menaiki kapal tersebut dan permintaan ini sesuai dengan perjanjian tahu
1981 antara pemerintah kedua negara untuk mencegah dan menindak impo
narkotika ke Amerika Serikat. Dari jawaban teleks, pihak pemerintan
pert
peru
vess
Uni
distr
subs
mer
asin
mer
Am-
(cus
Custo
62
Kerajaan Inggris menyatakan tidak keberatan petugas penjaga pantai Amerika
Corikat menaiki kapal tersebut.
Ans izin per teleks tersebut, petugas penjaga pantai menaiki kapal yang
pada waktu itu berada pada titik lokasi di laut bebas lebih dari 100 mil laut dari
pantei
Califormia. Dari penggeledahan yang dilakukan oleh petugas penjaga
Nas tersebut, di lantai bawah kapal ini ditemukan 700 pound mariyuana
tan barangbarang ini diakui oleh pemilik kapal sebagai miliknya. Tertuduh
bemudian ditangkap dan dibawa ke pos penjaga pantai California. Tertuduh
dinuntut mengetahui dan dengan sengaja memiliki, dengan niat untuk
ndistribusikan lebih dari 3 ton mariyuana [Undang-undang California
nomor 46 pasal 1903 ayat (a)] dan juga dituntut melanggar undang-undang ini
pasal 1903 ayat (1), yaitu: gabungan antara perencanaan dan permufakatan
antara terruduh dan pihak ketiga untuk mendistribusikan mariyuana. Tertuduh
ridak dituntut karena mengimpor mariyuana ke wilayah Amerika Serikat.
Tertuduh mengajukan pembelaan dengan menyatakan menolak tuntutan
rersebut di atas dan menyatakan bahwa pengadilan tidak memiliki yurisdiksi
rerhadap dirinya dengan alasan bahwa undang-undang Amerika Serikat tidak
dapat diterapkan terhadap seseorang yang berada di sebuah kapal berbendera
asing di luar batas wilayah Amerika Serikat. Tertuduh juga mengajukan
penolakan dengan mengajukan bukti-bukti yang diperoleh petugas penjaga
pantai berasal dari tindakan penggeledahan (search) dan penyitaan (seizure) di
atas kapal yang melanggar amandemen keempat (Fourth amandment) dari
konstitusi Amerika Serikat serta perjanjian tahun 1981 antara Inggeris dan
Amerika Serikat.
Dalam mempertimbangkan apakah pasal 1903 dapat diterapkan terhadap
perbuatan tertuduh, pengadilan menemukan bahwa Kongres telah melakukan
perubahan pada tahun 1986 di atas pasal 1903 tersebut.
Pasal 1903 ayat (a) menetapkan: "It is unlawfull for any person on board a
vessel of the United States, or on a bourd a uessel subject to the Juarisdiction of the
United States (garis bawah pen.), to knowingly or intentionally manufacture or
Histribute, or to posses with intent to manufacture or distribute, a controlled
substance."
Sedangkan pengertian vesset subject to the the Jurisdiction of the United States
menurut subsection (c) (1) termasuk: (C) sebuah kapal yang terdaftar di negara
ng di mana negara asal bendera kapal tersebut telah menyetujui atau tidak
mengajukan keberatan atas pelaksanaan atau penerapan Undang-undang
uherika Serikat; (D) sebuah kapal yang berada di wilayah perairan bea cukai
stom waters) Amerika Serikat. Pengertian wilayah perairan bea cukai atau
om waters menurut Undangundang nomor 19 pasal 1401 ayat (j) adalah,
63
Cuaters within whatever distance from the U.S. coast as has been agreed under a
UT amangement with a foreign government.
Berdasarkan fakta dari kasus tersebut di atas dan isi ketentuan undang
treaty
undang sebagaimana telah diuraikan di atas, pengadilarn telah menyimpulk
bahwa perjanjian tahun 1981 hanya meletakkan hak dan kewajiban ked
pemerintahan dan tidak memberikan hak atas tertuduh untul
mengesampingkan bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan.
Pengadilan juga telah menolak argumentasi tertuduh mengenai keabsaban
berlakunya undang-undang negara bagian California atas tertuduh yang berada
di atas kapal berbendera asing dan di lokasi perairan bebas. Pengadilan
berpendapat bahwa penerapan undang-undang tersebut adalah untuk
menegakkan asas perlindungan yang mendukung jangkauan ekstra-teritorial
dari ketentuan pasal 1903 dan dijelaskan pula oleh pengadilan bahwa lalu
lintas peredaran narkotika ilegal bukan hanya merupakan masalah
internasional yang serius dan secara universal dikutuk di seluruh dunia
melainkan juga merupakan ancaman khusus terhadap keamanan dari kesejah.
reraan di Amerika Serikat. Lebih jauh dikemukakan bahwa Pasal I ayat 8 sub
10 dari Konstitusi Amerika Serikat dengan jelas dan tegas mendelegasikan
wewenarg kepada Kongres Amerika Serikat untuk menetapkan kejahatan
(berat) yang dilakukan di laut bebas dan tugas ini telah dilaksanakan oleh
Kongres dengan mengeluarkan ketentuan pasal 1903 tersebut di atas.
Pengadilan telah menolak argumentasi tertudulh mengenai tindakan
penggeledahan dan penyitaan di atas kapal miliknya bertentangan dan
melanggar amandemen keempat (Fourth Amandment) dari Konstitusi
Amerika 5erikat. Untuk ini pengadilan menegaskan sikapnya sebagai berikut:
"under certain circumstances it is not reasonable to require law enforce
ment cfficials to obtain a prior warrant, and courts have uphled warrantless
searches so long as the officials had probable cause to believe the search
Wouldyield evidence of crime, or if the scarch was necessary to ensure the
safety of the officers or public."(AJIL VOL83 NO.1, 1989:99-102).
Pengadilan Amerikat Serikat di dalam putusannya mengemukakan
pendapatnya sebagai berikut:
"Dalam keadaan-keadaan tertentu adalah tidak beralasan untuk meminta
petugas penegak hukum memperoleh surat penangkapan terlebih dulu
dan pengadilan dapat membenarkan penggeledahan tanpa surat
penggeladahan sepanjang petugas itu memiliki alasan yang cukup untuk
meyakini bahwa penggeledahan itu akan menghasilkan bukti-bukti
tentang suatu kejahatan atau jika penggeledahan sedemikian itu, dianggap
beb
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
C.
Ke
ka
du
ar
N.
be
64
s untuk menjaga perlindungan keamanan petugas dimaksud dan
masyarakar".
Bertitik tolak dari kasus-kasus tersebut di atas, penulis dapat menarik
heberapa kesimpulan sebagai berikut:
(1) ketentuan-ketentuan hukum internasional sering ditafsirkan berbeda oleh
setiap negara sejalan dengan kepentingan nasional negara yang
bersangkutan;
perbedaan penafsiran yang sering terjadi adalah mengenai penerapan
Lerlakunya hukum nasional suatu negara atas suatu kasus tindak pidana
internasional di luar batas teritorial negara yang bersangkutan;
a perbedaan penafsiran sebagaimana tersebut pada butir (2) telah
menimbulkan banyak kasus mengenai konflik yurisdiksi kriminil di antara
negara-negara yang terlibat di dalamnya;
(4) dalam menghadapi kasus-kasus tindak pidana internasional yang
membahayakan ketahanan nasional suatu negara pengaturan tentang
locus delicti atau tempat tindak pidana, diluar batas teritorial perlu
dipertimbangkan dalam pembentukan hukum pidana nasional;
(5) dalam menghadapi tindak pidana internasional, sebagaimana dimaksud
pada butir (4) di atas. tampak faktor kepentingan nasional suatu negara secara
relatif lebih diutamakan di dalam menentukan berlakunya hukum
nasional negara yang bersangkutan jika dibandingkan dengan faktor
kepentingan masyarakat internasional;
(6) dalam praktik hukum internasional asas berlakunya hukum pidana yang
dominan adalah asas perlindungan atau protective principle atau bescherming
beginsel jika dibandingkan dengan asas teritorial atau teritorialiteits-beginsel
atau territoriality principle.
C. DOMINASI KEPENTINGAN NEGARA (NASIONAL) ATAS
KEPENTINGAN INTERNASIONAL (KASUS NORIEGA).
Ketiga kasus tersebut di atas, ternyata memiliki perbedaan yang besar dengan
Sus "penculikan" atas Jenderal Noriega, mantan presiden Panama yang ditu-
uh telah memasok heroin ke wilayah Amerika Serikat, yang
ancaman perang
dilatarbelakangi
oleh pemerintah Panama terhadap Amerika Serikat.
Dalam praktik hukum internasional, tindakan "penculikan" Jenderal
Noriega dari wilayah teritorial Panama sebagai satu negara yang merdeka dan
berdaulat merupakan contoh ekstrem dan sekaligus menunjukkan pula betapa
65
hukum
nasion
alasan
dari pi
Kasus Noriega (LUnited States v.Noriega.No.88-0079 C.R (S.D.Fla.file
Feb 4, 1988 dan United States v.Noriega, No.88-28 CR-T (M.D.Fla.filed 4.198
ini mulai menghangat sejak tanggal 15 desember 1988 ketika badan legislan
Tanama nengesahkan suatu resolusi formal yang menyatakan keadaan peran
regeri ini dengan Amerika Serikat. Resolusi ini munculuntuk membalas sank
ekonomi Amerika Serikatatas Panama sejak tahun 1988 dan untuk mencega
agresi pihak Amerika Serikat. Pihak Amerika Serikat menanggapi penyataa
badan legislatif Panama sebagai provokasi terhadap pemerintah dan
States
dapar ditatsirkan sedemikan rupa sehingga dapat dipandang sebagai pelang
di dalam praktik dominasi teori monisme dengan primat
Aaran atas kedaulatan negara lain.
P.
Amerika Serikat.
Tangal 20 desember 1989 Presiden Bush telah memerintahkan melal
kan invasi ke wilayah Panama dan ia menegaskan bahwa tujuan utama men
lamatkan 35.000 warga negara Amer ka Serikat di Panama. Jenderal Nori
dapat ditangkap dan dikembalikan ke Amerika Serikat pada tanggal 3 Janua
1990 dan presiden Bush menanggapinya dengan pernyataan bahwa dikemb
likannya Noriega ke Amerika Serikat merupakan kunci penting dari, oben
tion just cause dan dinyatakan pula bahwa pemerintah telah melaksanakan
tugasnya sesuai dengan prinsip prinsip politik, diplomatik, dan moral (tidak menegaskan
prinsip hukum, pen.).
Noriega dituntut oleh Grand Jury di Pengadilan Miami dan Pengadilan
Tampa, negara bagian Florida dengan tuduhan sebagai pendukung lalu-lints
narkotika ilegal ke wilayah Amerika Serikat. Pengadilan di Miami dan Tamps
ini telah menerapkan asas perlindungan (protective principle) dan the effect
doctrine. Doktrin ini sesungguhnya merupakan doktrin yang berkembang dan
dikembangkan oleh pemerintah Amerika Serikat serta diakui di dalam praktik
Hukum Perdata Internasional, terutama di dalam menghadapi kasus konflik
yurisdiksi sipil (civil jurisdiction) [Schahter, 1991: 261-262].
Doktrin ini berasal dari kasus Alcoa (1945) di mana hakim yang ditugas
menangani kasus tersebut, Leamed Hand, mengemukakan pertimbangannya
sebagai berikut:
"It is settled law that any State may impose liability, even upon persons not uiu
its allegiance, for conduct outside its borders, that has consequences within t
honders which that State reprehends".
it
beriku
in
lalu-lix
politik
masal
terliba
Norie
objek
perga
sebaga
oleh
Pertimbangan lain dan lebih bersifat politis dari pemerintah Ameriko
Serikat dikemukakan oleh Menteri Luar Negeri James A. Baker III untuk
membela intervensi Amerika Serikat di Panama, yaitu dengan mengajukan
yange
perbe
66
meng
dasan selfdefence, pasal 51 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pasal 21
dari piagam Organisasi Negara-rnegara Amerika (Organization of American
Srates atau OAS) [Am.J.of Int'l L, 1990:494-502J.
Pasal 51 piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa berbunyi sebagai berikut:
"Tidak ada suatu ketentuan dalam piagam ini yang boleh merugikan
hak perseorangan atau bersama untuk membela diri apabila suatu
serangan bersenjata terjadi terhadap suatu anggota Perserikatan Bangsa-
Bangsa, sampai Dewan Keamarnan mengambil tindakan-tindakan yang
diperlukan untuk memelihara perdamaian serta keamanan interna-
sional. Tindakar-tindakan yang diambil oleh anggotaarggota dalam
melaksanakan hak membela diri ini harus segera dilaporkan kepada
Dewan Keamanan dan dengan cara bagaimanapun, tidak dapat
mengurangi kekuasaan dan tanggung jawab Dewan Keamanan menurut
piagam ini untuk paca setiap waktu mengambil tindakan yang dianggap
perlu guna memelihara atau memulihkan perdamaian serta keamanan
internasional."
Pasal 21 piagam Organisasi Negara-negara Amerika menetapkan sebagai
berikut:
"The American States bind dheinselves ir thcir international relations
not to have recourse to the use of force, except in the case of self-defense
in accordance with existing treaties or in fulfillment thereof."
Kasus Noriega tersebut di atas, telah mengungkapkan dengan jelas bahwa
lalu-lintas perdagangan narkotik ilegal pada cewasa ini sudah berkonotasi
politik, dalam arti betapa kuatnya pengaruh tindak pidana internasional dalam
masalah narkotika terhadap hubungan diplomatik antara negaranegara yang
terlibat.
Kasus lalu lintas perdagangan narkotika ilegal dalam konteks kasus
Noriega di atas sudah mengandung implikasi politis, namun demikian kondisi
objektif dalam arti ditinjau dari prinsip hukum umum yang berlaku di dalam
pergaulan masyarakat internasional, kasus-kasus tersebut perlu dikemukakan
sebagai acuan yang bermanfaat, manakala timbul kasus yang sama dan dihadapi
oleh pemerintah Indonesia pada masa yang akan datang.
Penegakan hukum Amerika di luar teritorial ini memperoleh tentangan
yang cukup kuat, baik di dalam negeri maupun dari negara-negara yang terlibat.
Patut disimak bahwa pada era pemerintahan Reagan dan Bush terdapat
perbedaan pendapat di kalargan pemerintahan Amerika Serikat sendiri.
Wakil dari Departemen Kehakiman Amerika Serikat antara lain
mengemukakan:
67
"In the light of the serious international law consequences
follow from deploying the FBI to conduct an extraterritorial apprehen
sion in contravention of customary international law, I can assare you
that the Administration would take such action only in the most compel
that
Could
ling circumstances...
Konsekuensi dari penempatan dan penugasan anggota FBỊ
melakukar penangkapan di luar wilayah teritorial (Amerika Serikat)
bertentangan dengan hukum kebiasaan internasional, saya yakink
bahwa pemerintah Amerika Serikat hanya akan mengambil langkah
tindakan tersebut dalam suatu situasi yang sangat mendesak..."
1990:486)
untuk
to
(AJIL,
Di lain pihak, para penasihat hukum (legal adviser) Departemen
Kehakiman Amerika Serikat memiliki pendekatan yang berbeda, yaitu me
ngemukakan sebagai berikut:
first: While Congress and the President have the power to depart from inter.
national law the Court have in effect insisted that they do so unambigously
and deliberately (sekalipun Kongres dan Presiden memiliki kekuasaan
untuk tidak memperhatikan hukum internasional, pengadilan dapat
bertahan pada pendiriannya bahwa ia melakukannya tanpa ragu-ragu
dan dengan bebas);
second: "Teritorial integrity is a cornerstone of international law..." Forcible
abduction from a foreign state clearly violate this principle (integritas
teritorial adalah tonggak dari hukum internasional, tindakan penculikan
(dengan paksaan) dari suatu negara asing nyata-nyata melanggar prinsip
ini);
third: The adverse effect of the principle of territorial integrity on law enforce
ment are..mitigated by the willingness of States to consent to foreign law
enforcement action on their territory. No particular formality or publIc
ity is recuired for such consent to be legally effective. Even tacit consent is
sufficient if given by appropriate officials. For political reasons a State
may decide to deny after the fact that it had consented to an operation..
In still other cases, a foreign State may cooperate by quietly placing an
individual wanted by the United States on board a plane or vessel over
which the United States has jurisdiction (akibat menentukan dari prinsip
integritas teritorial ini pada penegakan hukum diperlemah oleh kesediaan
suatu negara untuk memberikan izin aparatur penegak hukum dari negara
lain untuk melakukan kegiatannya di wilayah negara tersebut. Tidak ada
formalitas atau publisitas khusus yang dipersyaratkan untuk memperoleh
izin agar secara legal menjadi efektif, sekalipun izin khusus adalah efisien
68
jika diberikan oleh pihak yang berwenang. Untuk tujuan-tujuan politis,
suatu negara dapat memutuskan untuk menolak kenyataan bahwa ia
telah memberikan izin untuk kegiatan operasi tersebut.. Dalam kasus
kasus lain, suatu negara dapat bekerja sama dengan cara menempatkan
seorang pelaku yang dicari di atas sebuah kapal terbang atau kapal laut di
mana Amerika Serikat memiliki yurisdiksi atasnya);
fourth: The principle of territorial integrity is not entitled to absolute defer-
in international law. Every State retains the right of selfdefence...
AWe must not permit the law to be manipulated to render the free world
inefective in dealing with those who have regard for law (prinsip integritas
aritorial tidak memberikan kewenangan pembedaan dalam hukum
internasional. Setiap negara memiliki hak untuk membela dirinya. Kita
barus tidak mengizinkan memanipulasi hukum sehingga dunia bebas men-
iadi tidak efektif dalam berhubungan dengan mereka
melanggar undang-undang) [AJIL, 1990: 486-4871.
Berdasarkan keempat pernyataan yang telah dikemukakan oleh penasihat
bikum departemen kehakiman Amerika Serikat tersebut di atas, tampak
secara nyata bahwa para penasihat hukum Departemen Kehakiman Amerika
Serikat tidak sependapat dengan pernyataan wakil Departemen Kehakiman
Amerika Serikat. Akan tetapi, dalam akhir pernyataannya, penasihat hukum
tersebut telah mengemukakan kesimpulan yang sangat mengejutkan dan
cenderung sependapat dengan pernyataan wakil Departemen Kehakiman yang
mengemukakan sebagai berikut:
We are reaching the point... at which the activities and threats of some
drug traflickers may be so serious and damaging as to give rise to the right
to resort to self-defence. The evidence of imminent harm from traffick-
ers threats would have to be strong to sustain a self defence argument...
But where a criminal organization grows to a point where it can and does
perpetrate violent attacks against the United State, it can become a proper
object of measures in self defence.
yang
telah
(Kita sampai pada titik persoalan... di mana kegiatan dan ancaman dari
pelaku lalu lintas perdagangan narkotika ilegal sedemikian sangat serius
dan merusak sehingga menimbulkan hak untuk membela diri. Bukti-
mengenai kerugian dan kerusakan yang sangat mungkin terjadi
bukti
ncaman pelaku-pelaku ini akan lebih memperkuat ditoleransinya dan
dipergunakannya pertimbangan beladiri, akan tetapi di mana organisasi
Kejahatan sedemikian berkembang sehingga ia dapat dan telah terbukti
enimbulkan serangan dengan kekerasan terhadap Amerika Serikat.
naka selayaknya serangan tersebut merupakan objek dari pertimbangan
69

bela diri sebagaimana telah dikemukakan di atas) [AJIL, 1990:4871


Perkembangan praktik hukum internasional sebagaimana telah diuraikan
di atas menunjukkan bahwa teori monisme dengan primat hukum nasional
dalam praktik telah menimbulkan akibat yang tidak kecil dan merugikan
kepentingan negara-negara Selatan jika dibandingkan kepentingan negara
negara Utara, khususnya negara Amerika Serikat. Di lain pihak, praktik
tersebut di atas sekaligus secara implisit menunjukkan pula kurang efektifr
tecri monisme dengan primat hukum internasional jika dibandingkan te
monisme dengan primat hukum nasional.
Terhadap keempat kasus sebagaimana telah diuraikan di atas, penuli.
mengajukan catatan dan komentar serta pendapat seperti tersebut di bawak
1. Keempat kasus sebagaimana telah diuraikan di atas menunjukkan betana
rumitnya dalam praktik hubungan antara hukum nasional dan hukum
internasional disatu pihak dengan masalah konflik kepentingan nasional
dan kepentingan intemasional di lain pihak.
2. Keempat kasus sebagaimana telah diuraikan di atas telah memberikan
suatu petunjuk yang amat penting nilainya bagi terutama negara-negara
Selatan termasuk Indonesia di dalam mengantisipasi kasus-kasus serupa
yang mungkin akan terjadi di masa yang akan datang.
3. Peraturan perundangundangan pidana di Indonesia sejak saat ini sudah
pada tempatnya memberikan perhatian khusus terhadap masal; tindak
pidana transnasional atau internasional sebagai akibat pengaruh globalisasi
disegala bidang pada dewasa ini dalam pergaulan masyarakat internasional.
4. Pertanyaan mendasar bagi peraturan perundang-undangan pidana Indo
nesia dan memerlukan jawab yang memadai dalam konteks keempat
kasus sebagaimana telah diuraikan di atas adalah:
(a) apakah ketentuan-ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana atau di dalam undang-undang pidana khusus sudah
memberikan pengaturan yang jelas dan lengkap bagi suatu tindakan
perluasan yurisdiksi kriminil terhadap tindak pidana transnasional
atau internasional;
(b) sejauh manakah Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan
kewenangan konstitusional terhadap produk peraturan perundang
undangan di bawahnya termasuk undangundang pidana nasional
untuk melaksanakan tindakan perluasan yurisdiksi kriminil dalam
hal terjadinya kasus serupa yang dihadapi bangsa dan
ini.
nesia.
negara
Indo
70

Anda mungkin juga menyukai