ASPEK HUKUM NASIONAL DAN HUKUM INTERNASIONAL DI DALAM HUKUM PIDANA
INTERNASIONAL Pembahasan mengenai aspek hukum nasional dan aspek hukum internasional di dalam kerangka pemikiran tentang hukum pidana internasional sengaja penulis tempatkan tersendiri di dalam karya tulis ini. Hal ini didasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: (1) hukum pidana internasional sebagai sub-disiplin memiliki dua sumber hukum, yaitu sumber hukum yang berasal dari hukum pidana nasional dan sumber hukum yang berasal dari hukum internasional; (2) kedua sumber hukum tersebut telah membentuk kepribadian ganda (double personality) atau lebih tepat memiliki "standar ganda" (double standard) di dalam hukum pidana internasional, kepribadian ganda tersebut adalah aspek hukum pidana nasional dan aspek hukum internasional. Kepribadian ganda ini tidak harus dipertentangkan, tetapi justru harus saling mengisi dan melengkapi di dalam menghadapi masalah kejahatan internasional; (3) Salah satu perwujudan nyata dari suatu interaksi antara hukum nasional dan hukum internasional terdapat pada lingkup pembahasan hukum pidana internasional dengan objek studi tindak pidana yang bersifat transnasional atau internasional. (4) pembahasan aspek hukum (pidana) nasional dan hukum internasional dalam lingkup hukum pidana internasional akan memberikan landasan berpijak bagi suatu analisis kritis di dalam membahas konsepsi dan karakteristik dari suatu tindak pidana internasional. Lahirnya beberapa konvensi internasional yang menetapkan tindak Pidana tertentu sebagai tindak pidana internasional atau international crime mengandung makna dimulainya perjuangan untuk menegakkan hak dan tewajiban negara peserta konvensi atas isi ketentuan yang dituangkan di dalam konvensi internasional tersebut. Salah satu kewajiban utama negara peserta (sekalipun masih diperkenankannya adanya reservation) khususnya bagi Indonesia ialah memasukkannya hasil konvensi dimaksud ke dalam lingkungan nasional dalam arti antara lain melaksanakan ratifikasi terlebih dulu atas konvensi, sebelum dituangkan dalam bentuk suatu undang-undang khusus mengenai objek yang menjadi pembahasan di dalam konvensi tersebut. Persoalan yang sering diajukan adalah bagaimanakah negara peserta seharusnya melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan oleh suatu konvensi internasional tertentu dan pertimbangan-pertimbangan apakah yang sering melandasi penataan atau pengingkaran atas isi ketentuan yang telah dituangkan di dalam suatu konvensi internasional. Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas dan merupakan prasyarat untuk memperoleh keterangan yang memuaskan diperlukan suatu pemahaman terlebih dulu mengenai masalah hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional. A. HUBUNGAN ANTARA HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL Di dalam teori hukum internasional, telah berkembang dua pandangan tentang hukum internasional. yaitu pandangan yang dinamakan voluntarisme, yang mendasarkan berlakunya hukum internasional dan ada tidaknya hukum internasional ini pada kemauan negara (gemeinwille). Pandangan kedua adalah pandangan objektivis yang menganggap ada dan berlakunya hukum internasional ini lepas dari kemauan negara (Mochtar Kusumaatmadja,1989.40). Pandangan yang berbeda ini, membawa akibat yang berbeda pula karena sudut pandangan yang pertama akan mengakibatkan adanya hukum internasional dan hukum nasional sebagai dua satuan perangkat hukum yang hidup berdampingan dan terpisah, sedangkan pandangan objektivts menganggapnya sebagai dua bagian dari satu kesatuan perangkat hukum. Pemuka aliran dualisme ini adalah Triepel (Jerman) dan Anzilotti (Italia). Triepelmenulis buku Vollkerrecht und Landesrecht (1899), sedangkan Anzilotti inenulis buku Corso di Dirito Internazionale (1923). Alasan yang dialukan oleh penganut aliran dualisme bagi pandangan tersebut di atas, didasarkan pada alasarn formal ataupun alasan yang berdasarkan kenyataan. Di antara alasan-alasan yang terpenting, dikemukakan hal sebagai berikut: (1) kedua perangkat hukum tersebut (hukum nasional dan hukum internasional) mempunyai sumber yang berlainan, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama masyarakat negara; (2) kedua perangkat hukum itu berlainan subjek hukumnya. Subjek hukum dari hukum nasional adalah orang perorangan, baik dalam hukum perdata maupun hukum publik, sedangkan subjek hukum dari hukum internasional ialah negara; (3) Sebagai tata hukum, hukum nasional dan hukum internasional menampakkan pula perbedaan dalam strukturnya. Lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum dalam kenyataan seperti mahkamah dan organ eksekutif hanya ada dalam bentuk yang sempurna dalam lingkungan nasional. Alasan lain yang dikemukakan sebagai argumentasi yang didasarkan Mengenali wajah kenyataan ialah bahwa kaidah hukum nasional itu bertentangan dengan hukum internasional. Dengan perkataan lain, berlaku efektif, sekalipun bertentangan dengan ketentuan hukum internasional (Mochtar Kusumaatmadja, 1988:40-41). Terhadap pandangan aliran dualisme ini, Mochtar Kusumaatmadja (1989:41) telah mengemukakan komentar dan pandangan-pandangannya sebagaimana diuraikan di bawah ini. 1. Bahwa di dalam teori dualisme tidak ada tempat bagi persoalan hierarki antara hukum nasional dan hukum internasional karena pada hakikatnya, kedua perangkat hukum ini tidak saja berlainan dan tidak tergantung satu sama lainnya, tapi juga lepas antara satu dan yang lainnya. 2. Sebagai konsekuensi logis dari keadaan sebagaimana digambarkan di atas, tidak akan mungkin ada pertentangan antara kedua perangkat hukum itu, yang mungkin hanya penunjukan (renvoi) saja. 3. Bahwa ketentuan hukum internasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional sebelum dapat berlaku dalam lingkungan hukum nasional. Teori aliran dualisme tidak lepas dari beberapa kelemahan sebagaimana diungkapkan oleh Mochtar Kusumaatmadja (1989:4142) sebagai berikut: 1. Teori dasar aliran dualisme yang mengemukakan bahwa sumber segala hukum baik hukum nasional maupun hukum internasional adalah Kemauan negara sulit untuk diterima karena hukum yang ada dan berlaku itu dibutuhkan oleh kehidupan manusia yang beradab. Tanpa hukum, kehidupan yang teratur tidak mungkin. Hal yang sama berlaku pula bagi masyarakat internasional. Jadi, adanya hukum dan daya ikat hukum tidak bersumber pada kemauan negara, melainkan merupakan prasyarat ho kehidupan manusia yang teratur dan beradab. 2. Kebenaran argumentasi aliran ini mengenai berlainannya subjek huku dari hukum nasional dan hukum internasional dibantah oleh kenyataa bahwa dalam suatu lingkungan hukum, seperti hukum nasional, dan saja subjek hukum itu berlainan, seperti ada pembagian hukum perdara dan hukum publik. Sebaliknya, tidak benar pula jika dikatakan bahu subjek hukum dari hukum internasional itu adalah negara karena perkembangan akhirakhir ini menunjukkan bahwa individu atau orane perorangan pun dapat menjadi subjek hukum internasional. 3. Argumentasi kaum dualis yang mengemukakan adanya perbedaan struktural antara hukum nasional dan hukum internasional, ternyata perbedaan yang dikemukakan hanyalah perbedaan gradual dan tidak merupakan perbedaan yang hakiki atau asasi. Apa yang dinamakan perbedaan itu hanya merupakan bentuk perwujudan atau gejala saja dari taraf integrasi yang berlainan dari masyarakat nasional dan masyarakat internasional. paha dalar adals dim huk atal Stac nas 1. 2. 4. Bahwa pemisahan mutlak antara hukum nasional dan hukum internasional tidak dapat menerangkan dengan cara memuaskan kenyataan bahwa dalam praktik sering sekali hukum nasional itu tunduk pada atau sesuai dengan hukum internasional. Kenyataan bahwa ada kalanya hukum nasional yang berlaku bertentangan dengan hukum internasional bukan merupakan bukti perbedaan struktural seperti dikatakan kaum dualis, melainkan hanya bukti kurang efektifnya hukum internasional. ke 1. Di lain pihak, paham monisme didasarkan pemikiran kesatuan seluruh hukum yang mengatur hidup manusia. Dalam rangka pemikiran ini hukum internasional dan hukum nasional mempakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Sebagai akibat dari pandangan ini ialah bahwa antara dua perangkat ketentuan hukum ini ada hubungan hierarki. Persoalan hierarki inilah yang melahirkan beberapa sudut pandangan yang berbeda dalam aliran monisme mengenai masalah hukum yang utama dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional ini. 1. Paham monisme dengan primat hukum nasional Paluam ini mengemukakan bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional, yang utama adalah hukum nasional, sedangkan 54
paham monisme dengan primat hudam intemasional mengemukalcan bahwa
dalam hubungan antara hukum nasional dan hukumintemaslonalyangutama adalah hukum internasional Menurut teori monisme, kedua sudur pandangan dimaksud adalah dimungkinkan (Mochtar Kusumaatmadja, 1989: 43). Paham monisme dengan primat hukum nasional mengemukakan bahwa Lukum internasional tidak lain menupakan larjuran hukum nasional belaka hen dak lain dari hukum nasional untuk urusan luar negeri atau atezeres alscht. Paham ini pada hakikatnya, menganggap bahwa hukum inter- Dasional bersumber pada hukum nasional. at ra Alasan utama anggapan ini adalah: buhwa tidak ada satu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara di dunia ini; 2 dasar hukum internasional yang mengatur hubungan internasional rerletak dalam wewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional, jadi wewenang konstitusional (Mochtir Kusumaatmadja, ri 1989:43). at Mochtar Kusumaatmadja (1989.43-44) mengemukakan beberapa kelemahan paham monisme dengan primat hukum nasional sebagai berikut: 1. Kelemahan mendasar dan cukup gawat bahwa paham ini terlalu memandang hukum itu sebagai hukum yang tertulis semata-mata sehingga sebagai hukum internasional dianggap hanya hukum yang bersumberkan perjanjian internasional, suatu hal sebagaimana diketahui tidak benar. 2. Pada hakikatnya, pendirian paham kaum monisme dengan primat hukum nasional ini merupakan penyangkalan terhadap adanya hukum internasional yang mengikat negara. Hal ini disebab apabila terikatnya negara pada hukum internasional digantungkan pada hukum nasional sama halnya dengan merggantungkan berlakunya hukum internasional pada kemauan negara itu sendiri. ak da m. ti ah an cai . Paham monisme dergan primat hukum mternasional Menurut paham ini, hukum nasional bersumber pada hukum internasional yang merupakan perangkat ketentuan hukum yang hierarki lebih tinggi. Menurut paham ini, hukum nasional tunduk pada hukum internasional dan Pada hakikatnya, berkekuatan mengikatnya berdasarkan suatu "pendelegasian" enang dari hukum internasional. Paham ini dikembangkan oleh Mashab Wina (Kunz, Kelsen, dan Verdross) didukung oleh aliran yang berpengaruh di Perancis (Duguit, Scelle, dan Bourquin). Mochtar Kusumaatmadia (1989:44) pada dasarnya, menyetujui nh nal an 55
pandangan paharn ini, namun demikian ia kurang setuju perihal supremasi
hukum internasional yang dikaitkan dengan hierarki dan pendelegasian wewenang (struktural) dan mengemukakan kelemahan-kelemahan cara Pa "A 1. ha CC pandang ini sebagai berikut: (1) Bahwa, pandangan hukum nasional bergantung pada huku internasional dan mau tidak mau mendalilkan pula bahwa hukum internasional telah ada lebih dehulu dari hukum nasional, bertentangan dengan kenyataan sejarah, yang menyatakan bahwa hukum nasionalluSt sudah ada sebelum adanya hukum internasional. (2) Dengan demikian, tidak dapat dipertahankan pula dalil yang menyatakan bahwa kekuatan mengikat hukum nasional diperoleh dari hukum internasional atau bahwa hukum nasional merupakan derivasi dari hukum internasional. Menurut kenyataan, wewenang suatu negara nasional yang bertalian dengan kehidupan antarnegara, seperti kompetensi mengadakan perjanjian internasional sepenuhnya termasuk wewenang hukum nasional (hukum tata negara). Vi "A 2. in meng kegaga perjar 27 m kesep perjar Terhadap persoalan pandangan monisme dan dualisme ini, Mochtar Kusumaatmadja (1989-45) mengemukakan kesimpulan bahwa kedua paham tersebut tidak mampu memberikan jawaban yang memuaskan. Pada satu pihak. pandangan dualisme melihat hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua perangkat ketentuan hukum yang sama sekali terpisah tidaklah masuk akal karena pada hakikatnya pandangan tersebut merupakan penyangkalan dari hukum internasional sebagai perangkat hukum yang mengatur kehidupan antarnegara atau intermasional. Di pihak lain pandangan monisme yang me ngairkan tunduknya negara (nasional) pada hukum internasional dengan persoalan suatu hubungan sub-ordinasi dalam arti struktural organis juga kurang tepat (walaupun menurut logika lebih memuaskan) karena memang tidak sesuai dengan kenyataan. Apabila ditinjau dari kedudukan suatu perjanjian internsional atau treaty sehagaimana telah diatur di dalam Vienna Convention on the Law of Trea- ties (tahun 1969) dapat dikemukakan dua pasal penting yang relevan dengan rnasalah keterikatan suatu negara peserta konvensi terhadap isi ketentuan yang dituangkan di dalam konvensi yang bersangkutan. Kedua pasal ini adalah pasal 27 dan pasal 46. Dalam pasal 27 dengan subjudul: Internal law and ob- servance of treaties" disebutkan: wewe itu n pelar nega pasal nega kete wew dilar haru pese adal mel sede mel Op per A party may not invoke the provisions of its internal law as justification for its failure to perfo a treaty. This rule is without prejudice to Article 46". Hu 56 Busal 46 dari Konvensi tersebut di atas menyebudkan 1. "A state may not invoke the fact that its consent to be bound by a treaty bas been expressed in violation of a provision of its internal law regarding competence to conclude treaties as invalidating its consent unless that violation was manifest and concerned a nule of its internal law of funda mental importance". "A violation is manifest if it would be objectively evident to any state canducting it self in the matter in accordance with normal practice and in good faith". Pasal 27 menegaskan bahwa setiap peserta (negara) tidak diperbolehkan mengemukakan alasan kepentingan hukum nasional sebagai justifikasi untuk Legngalan negara tersebut di dalam mewujudkan ketentuan-ketertuandi dalam perjunjian tersebut, sedangkan pasal 46 mempertegas kembali ketentuan pasal 27 menyebutkan, suatu negara tidak dapat mengemukakan bahwa kesepakatannya untuk mengikatkan diri (consent to bound) pada suatu perjanjian, ternyata melanggar suatu ketentuan hukum nasionalnya tentang wewenang untuk membentuk perjanjian, kecuali bila pelanggaran (violation) itu nyata. Sedangkan ayat ke-2 dari pasal 46 menyatakan bahwa suatu pelanggaran ialah nyata (manifest) bilamana terbukti secara objektif bagi setiap negara yang terlibat, atas dasar praklik yang normal dan itikad baik dalam pasal tersebut ada tiga anasir (alasan, sic.) yang dapat menjadi dasar bagi suatu negara untuk membatalkan kesepakatan pengikatan dirinya. Pertama, bahwa ketentuan hukum nasional yang dilanggar itu ialah ketentuan tentang wewenang untuk membentuk perjanjian. Kedua, bahwa ketentuan yang dilanggar itu mempunyai makna yang fundamental. Ketiga, pelanggaran itu harus nyata, bukan bagi negara yang bersangkutan sendiri melainkan bagi peserta-peserta lainnya (Nahlik, didalam Budiono, 1986: 41-42). Budiono (1986:42) meragukan anasir kedua dengan mempertanyakan: adakah mungkin bahwa delegasi atau pemerintah suatu negara sampai dapat melupakan suatu ketentuan dari hukum nasionalnya yang fundamental sedemikian rupa sehingga pengikatan dirinya pada suatu perjanjian, lalu melanggar ketentuan tersebut? Kesan ini berkaitan erat dengan pendapat Oppenheim (1961: 46) yang menyatakan pendapatnya sehubungan dengan pertanyaan mengenai kemungkinan adanya pertentangan antara ketentuan Hukum Nasional dan Hukum Internasional, sebagai berikut: "As the Law of Nations is based upon the consent of different States, it is improbable that an conflicting with the Law of Nations". enlightened state would intentionally enact a rule 57 Dalam konteks pembangunan hukum di Indonesia pada umump hemat penulis, persoalan kemungkinan konflik kepentingan antara huku nasional dan hukum internasional sebagaimana diuraikan sangat penting artinya karena di dalam rangka penyusunan sistem hukum nasional (GBHN 1993) yang sejalan dengan perkembangan globalisasi, kedua persoalan sebur menjadi bahan masukan mengenai bagaimana seharusnya substansida bentuk hukum nasional yang akan disusun. Dalam konteks penyusunan sistem hukum nasional ini Sunaryati Hartone (1993: 4-10) telah memperkenalkan suatu pendekatan sistemik; pendekatan ini digambarkan ke dalam enam lingkaran konsentris. Keenam lingkaran konsentris tersebut adalah Pancasila diletakkan pada titik tengah lingkarar yang membentuk sistem hukum nasional; lingkaran berikutnya adalah Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi landasan setiap bidang hukum dalam sistem hukum nasional, disusul lingkaran ketiga yang terdiri dar peraturan perundangundangan atau hukum tertulis. Lingkaran keenpar menandakan yurisprudensi dan lingkaran yang paling luar adalah hukum kebiasaan. Lingkaran keenam menggambarkan pengaruh hukum internasional terhadap hukum nasional. Bertitik tolak pada pendekatan sistemik tersebut di atas, tampak secara elas wujud sistem Hukum Nasional Indonesia yang akan disusun suatu bentuk sisten hukum nasional yang dapat mencerminkan, baik aspek nasional maupun aspek internasional sehingga dengan demikian, yang diharapkan akan terjadi adalah suatu sistem hukum nasional yang mencerminkan dua kepentingan sekaligus, yaitu kepentingan (masyarakat) nasional dan kepentingan (masyarakat) internasional. Dalam konteks inilah, dapat penulis kemukakan bahwa masalah teori monisme yang bertolak dari primat hukum nasional atau primat hukum internasional bersifat kontekstual, terutama dilihat dari pelaksanaan kepentingan keseimbangan antara dua kepentingan tersebut di atas terhadap suatu kasus tertentu. uta Ba tid ma da int an Ba da ya in K. (1 11 B. PENGARUH TEORI MONISME DAN DUALISME TERHADAP PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA INTERNASIONAL Sejak dibentuknya Liga Bangsa-Bangsa (1928) dan dilanjurkan kemudian dengan pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (1945), masyarakat internasional sudah sepakat bahwa teori-teori monisme dan dualisme sudah tidak sejalan dengan perkenbangan masyarakat internasional sampai saat ini. 58 Derkembangan dunia pada dewasa ini yang terbagi antara negara-negara tara dan selatan dengan berpegang teguh kepada Piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB), memperkuat pandangan bahwa kedua teori tersebut di atas idak dapat dipertahankan lagi sekalipun dalam praktik hukum internasional, masih sering terjadi bahwa teori primat hukum nasional lebih dominan daripada teori primat hukum internasional. Dominasi teori monisme dengan primat hukum nasional atas teori monisme dengan primat hukum internasional dalam praktik hukum internasional, secara nyata tersirat dari masalah konflik yurisdiksi kriminil antara dua negara dalam kasus tindak pidana narkotika lintas batas teritorial. Bahkan, koniflik yurisdiksi kriminil sering muncul sebagai akibat memuncak dari adanya tindakan perluasan yurisdiksi kriminil dari salah satu negara yang merasa dirugikan oleh tindakan para pelaku tindak pidana narkotika, baik vang dilakukan oleh individu maupun oleh kelompok/organisasi kejahatan internasional. Kasus-kasus tersebut di atas, antara lain adalah kasus-kasus: United States Kerrv. (1886); United States v.Frisbie (1952); United States v. Alvares Machain (1992); dan United States v. Noriega (1988). Dua kasus terkenal dalam majalah tersebut di atas ialah kasus Kerr v. Illinois (119 U.S.436) [1886] dan kasus Frisbie v. Collins (342 U.S. 519 (1952). Pendapat yang dianut di dalam putusan atas kedua kasus ini adalah sebagai berikut: "jurisdiction over a defendant in a criminal case is not affected by the manner in which he or she has been brought before the court (including kidnapping by government agents)". Dalam memberikan pertimbangan atas putusan kedua kasus tersebut di atas, Mahkamah Agung Amerika Serikat berpendapat bahwa yurisdiksi kriminil atas seorang terdakwa tidak dipengaruhi oleh cara seorang terdakwa dibawa ke hadapan pengadilan, termasuk tindakan penculikan oleh petugas pe- merintah. Untuk menggali pengalaman dan praktik perluasan yurisdiksi krimini! atas, tindak pidana narkotika vang terjadi di luar batas teritorial 12 mil laut yang diperkenankan, di bawah ini akan dikemukakan beberapa putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat yang telah merupakan yurisprudensi. * Kasus United State u. Atuares-Machain. 112 dS.Ct. 2188, 5 Juni 1992. ada tahun 1985 seorang agen khusus Drug Enforcement Agency atau DEA Amerika Serikat, Enrigue Camarena-Salazar telah diculik, dianiaya dan 59 dibunuh oleh pemasok narkotika di Mexico. DEA telah sejak lama berusal membawa pembunuh agen ini ke Amerika Serikat untuk mempertanggun Mal 6 berbar Pada tangga 12April 1990, Humberto Alvares Machain, seorang dokte dan warga negara Mexico telah diculik dari kantornya di Guadalajara, Mexico, oleh beberapa orang bersenjata dan diterbangkan dengan pesawat terbang pribadi ke Amerika Serikat. Alvares dituduh telah ikut aktif dalam kasu jawabkan perbuatannya tersebut. penuntu pengadil Ma pendapa tindakan pembunuhan agen DEA, Camarema yaitu dengan keahliannya sebagai dokte telah memperpanjang kehidupan Camarema sehinga anggota geng narkotik dapat terus memeriksa agen ini dengan cara penganiayaan. Menyusul penculikan Alvares ini, pemerintah Meksiko telah mengau nota protes melalui saluran diplomatik kepada Departemen Luar Ne Amerika Serikait. Isi nota protes menegaskan bahwa pemerintah Ameril Serikat telah mengetahui rencana dan pelaksanaan penculikan ini. Tindae penculikan ini melanggar perjanjian ekstradisi antara kedua pemerintahar dan menuntut agar Alvares dikembalikan ke Meksiko. Alvares diajukan ke pengadilan Los Angelos dan ia mengajukar penclakan penuntutan yang dilakukan terhadapnya. Alasan penolakan tersebu ialah bahwa pengadilan tidak memiliki yurisdiksi kriminil atas dirinya karen tindakan penculikan atas dirtnya telah direncanakan oleh DEA sebagai apara pemerintah Amerika Serikat dan tanpa persetujuan pemerintah Meksiko. Tindakan tersebut melanggar perjanjian ekstradisi yang telah ditandatangari oleh kedua negara pada tahun 1981. Pengadilan distrik Los Angelos menerima alasan Alvares bahwa tindakan penculikan atas dirinya dilakukan atas rencana DEA sebagai instansi pemerintah Amerika Serikat dan oleh karena itu, pengadilan berpendapat bahwa tindakan tersebur melanggar perjanjian ekstradisi yang telah ditandatangani oleh kedua negara (pemerintah Amerika Serikat dan pemerintah Meksiko). Pengadilan ini pun berpendapat bahwa pemerintah Meksiko telah mengajukan nota protes melaluí saluran diplomatik terhadap pemerintah Amerika Serikat atas tindakan penculikan Alvares. Pengadilan distrik Los Angelos memutuskan untuk menolak tuntutan terhadap Alvares dan memerintahkan agar Alvares dikembalikan ke negaranya (Meksiko). antara mayorita tidak me lagi per pengadi Ka 2. 19 Ve Meksik dicari c narkot pembu pada ta Be akan m menga fornia menan Meksik Ta Meksik dan di Califo Verdu Jaksa penuntut umum mengajukan banding. Pengadilan banding memperkuat putusan pengadilan distrik Los Angelos dengan pertimbanga yang sama dengan hakim pengadilan distrik tersebut di atas. Jaksa penuntu umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Amerika Serikat (Supreie Court of Justice atau Supr. Ct.of J). Meksi villa da bukri, mariy 60
Mahkamah Agung Amerika Serikat dengan perbandingan jumlah suara
berbanding 3 telah menetapkan untuk menerima perrnohonan pihak jaksa auntut umum dan memutuskan untuk memperbaiki kembali putusan pengadilan tinggi. Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam putusannya ini, mengajukan pendapat bahwa, penyelidikan pertama yang perlu dilakukan ialah apakah an dakan penculikan atas Alvares dari Meksiko melanggar perjanjian ekstradisi antara pemerintah Meksiko dan pemerintah Amerika Serikat. Pendapat mayoritas Hakim Agung telah menyimpulkan bahwa perjanjian ekstradisi ini sidak melarang tindakan penculikan dan atas dasar itu, maka pengadilan tidak lagi perlu mempersoalkan cara tersangka (Alvares) datang kehadapan nengadilan ini (AJIL, VOL.86 NO.4, 1992.81 1-820). 2. Kasus United States v. Verdugo-Urquidez, 110.SC. 1056 (tanggal 28 Febnuari 1990) Verdugo adalah warga negara Meksiko dan bertempat tinggal di Meksikali, Meksiko.Verdugo termasuk salah satu anggota geng narkotika yang dicari oleh pihak DEA Amerika Serikat karena dicurigai telah mengimpor narkotika ke wilayah Amerika Serikat dan juga diduga kuat membantu pembunuhan yang telah dilakukan terhadap agen DEA, Camarena Salazar pada tahun 1985. Berdasarkan informasi dari seorang informan diketahui bahwa Verdugo akan mengimpor beberapa ton mariyuana ke wilayah Amerika Serikat. DEA mengajukan permohonan kepada Pengadilan Distr.k Wilayah Selatan Cali- fornia dan pengadilan ini telah mengeluarkan surat perintah penahanan untuk menangkap Verdugo. Agen DEA meminta bantuan kepada petugas kepolisian Meksiko untuk menangkap Verdugo. Tanggal 24 Januari 1986 Verdugo ditangkap oleh enamanggota kepolisian Meksiko dan dibawa ke daerah perbatasan antara Meksiko dan Amerika Serikat dan di sana, Verdugo diserahkan kepada petugas Kepolisian negara bagian California Selatan. Petugas kepolisian ini kemudian menangkap dan menahan Verdugo dengan tuduhan sebagaimana telah diuraikan di atas. Tanggal 25 Januari 1986 empat anggota DEA dan dibantu oleh polisi Meksiko menggeledah rumah kediaman Verdugo di Meksikali, Meksiko dan villa di tepi pantai di San Felipe. Penggeledahan telah menghasilkan bukti- bukti, antara lain informasi tertulis mengenai jumlah dan tanggal penjualan mariyuana yang telah diselundupkan ke wilayah Amerika Serikat oleh Verdugo. 61 Penasihat hukum Verdugo mengajukan bantahan bahwa Pengadi Distrik California Selatan tidak memiliki yurisdiksi atas Verdugo karh kehadiran Verdugo terjadi dengan cara melanggar hukum. Terhadap bar bukti yang diajukan pihak DEA tersebut, penasihat hukum Verdu mengajukan bantahan bahwa barang bukti ini diperoleh dari penggeledah secara melawan hukum, yaitu menggeledah tanpa surat perinta penggeledahan yang sah dan karenanya melanggar amandemen keem konstitusi Amerika Serikat mengenai Unlaw fuli Search and Seizure. Tanggal 28 Februari 1990 Mahkamah Agung Amerika Serikat tulk menjatuhkan putusan atas kasus Verdugo sewaktu Hakim Thompson van berbicara untuk mayoritas menegaskan bahwa Bill of Rights termasu pembatasan-pembatasan oleh amandemen keempatr (Fourth Amandmen melekat pada setiap penegakan hukum oleh petugas penegak hukum Amerika Serikat. Sekali saja sasaran penegakan hukum ini berada di wilayah Amerik Serikat terlepas dari caranya berada di sini (Amerika Serikat)- maka sasaran penegakan hukum memiliki semua hak untuk menuntut tindakan petugas penegak hukum tersebut, termasuk hak untuk mengesampingkan bukti-bukti (exclusionary rule) yang diperoleh dari tindakan penggeledahan yang melanggar hukum, sebagairmana ditetapkan di dalam Konstitusi Amerika Serikat. Dergan demikian, maka tindakan penggeledahan yang telah dilakukan oleh petugas DEA Amerika Serikat di rumah tersangka Verdugo, tanpa surat perintah yang sah atau keadaan yang sangat mendesak adalah melanggar hukum, sekalipun tindakan itu dilaksanakan di Meksiko, dan bukti-bukti yang diperoleh dari tindakan ini harus dikesampingkan (AJIL, VGL.84 NO.2,1990: 448- 459,491-493). Ker Sei pad pani pan dan kem ditu mer non pasa anta tida terse terh dap asin pen pan atas kon Am 3. Kasus United States v. Biermann (678 F.Supp. 1437) tanggal 9 Febnuari 1988 Biermann adalah warga negara Inggris dan pekerjaan terdakwa adalah operator pada kapal laut berbendera Inggris dan terdaftar di Inggris. Tertuduh dituntut di muka pengadilan di distrik Utara California karena memiliki beberapa ton mariyuana dengan niat untuk mendistribusikannya. Pada bulan Juni 1987, kapal yang bernama The Myth of Ecurie berlayar di lautan Pasifik dalam perjalanan menuju Hongkong. Kira-kira pada jarak 3) mil laut dari Point Reyes, California, penjaga pantai Amerika Serikat meminta untuk menaiki kapal tersebut dan ditolak oleh pemilik kapal tersebut. Penjaga pantai ini kemudian meminta izin kepada pemerintah Kerajaan Inggris untuk menaiki kapal tersebut dan permintaan ini sesuai dengan perjanjian tahu 1981 antara pemerintah kedua negara untuk mencegah dan menindak impo narkotika ke Amerika Serikat. Dari jawaban teleks, pihak pemerintan pert peru vess Uni distr subs mer asin mer Am- (cus Custo 62 Kerajaan Inggris menyatakan tidak keberatan petugas penjaga pantai Amerika Corikat menaiki kapal tersebut. Ans izin per teleks tersebut, petugas penjaga pantai menaiki kapal yang pada waktu itu berada pada titik lokasi di laut bebas lebih dari 100 mil laut dari pantei Califormia. Dari penggeledahan yang dilakukan oleh petugas penjaga Nas tersebut, di lantai bawah kapal ini ditemukan 700 pound mariyuana tan barangbarang ini diakui oleh pemilik kapal sebagai miliknya. Tertuduh bemudian ditangkap dan dibawa ke pos penjaga pantai California. Tertuduh dinuntut mengetahui dan dengan sengaja memiliki, dengan niat untuk ndistribusikan lebih dari 3 ton mariyuana [Undang-undang California nomor 46 pasal 1903 ayat (a)] dan juga dituntut melanggar undang-undang ini pasal 1903 ayat (1), yaitu: gabungan antara perencanaan dan permufakatan antara terruduh dan pihak ketiga untuk mendistribusikan mariyuana. Tertuduh ridak dituntut karena mengimpor mariyuana ke wilayah Amerika Serikat. Tertuduh mengajukan pembelaan dengan menyatakan menolak tuntutan rersebut di atas dan menyatakan bahwa pengadilan tidak memiliki yurisdiksi rerhadap dirinya dengan alasan bahwa undang-undang Amerika Serikat tidak dapat diterapkan terhadap seseorang yang berada di sebuah kapal berbendera asing di luar batas wilayah Amerika Serikat. Tertuduh juga mengajukan penolakan dengan mengajukan bukti-bukti yang diperoleh petugas penjaga pantai berasal dari tindakan penggeledahan (search) dan penyitaan (seizure) di atas kapal yang melanggar amandemen keempat (Fourth amandment) dari konstitusi Amerika Serikat serta perjanjian tahun 1981 antara Inggeris dan Amerika Serikat. Dalam mempertimbangkan apakah pasal 1903 dapat diterapkan terhadap perbuatan tertuduh, pengadilan menemukan bahwa Kongres telah melakukan perubahan pada tahun 1986 di atas pasal 1903 tersebut. Pasal 1903 ayat (a) menetapkan: "It is unlawfull for any person on board a vessel of the United States, or on a bourd a uessel subject to the Juarisdiction of the United States (garis bawah pen.), to knowingly or intentionally manufacture or Histribute, or to posses with intent to manufacture or distribute, a controlled substance." Sedangkan pengertian vesset subject to the the Jurisdiction of the United States menurut subsection (c) (1) termasuk: (C) sebuah kapal yang terdaftar di negara ng di mana negara asal bendera kapal tersebut telah menyetujui atau tidak mengajukan keberatan atas pelaksanaan atau penerapan Undang-undang uherika Serikat; (D) sebuah kapal yang berada di wilayah perairan bea cukai stom waters) Amerika Serikat. Pengertian wilayah perairan bea cukai atau om waters menurut Undangundang nomor 19 pasal 1401 ayat (j) adalah, 63 Cuaters within whatever distance from the U.S. coast as has been agreed under a UT amangement with a foreign government. Berdasarkan fakta dari kasus tersebut di atas dan isi ketentuan undang treaty undang sebagaimana telah diuraikan di atas, pengadilarn telah menyimpulk bahwa perjanjian tahun 1981 hanya meletakkan hak dan kewajiban ked pemerintahan dan tidak memberikan hak atas tertuduh untul mengesampingkan bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan. Pengadilan juga telah menolak argumentasi tertuduh mengenai keabsaban berlakunya undang-undang negara bagian California atas tertuduh yang berada di atas kapal berbendera asing dan di lokasi perairan bebas. Pengadilan berpendapat bahwa penerapan undang-undang tersebut adalah untuk menegakkan asas perlindungan yang mendukung jangkauan ekstra-teritorial dari ketentuan pasal 1903 dan dijelaskan pula oleh pengadilan bahwa lalu lintas peredaran narkotika ilegal bukan hanya merupakan masalah internasional yang serius dan secara universal dikutuk di seluruh dunia melainkan juga merupakan ancaman khusus terhadap keamanan dari kesejah. reraan di Amerika Serikat. Lebih jauh dikemukakan bahwa Pasal I ayat 8 sub 10 dari Konstitusi Amerika Serikat dengan jelas dan tegas mendelegasikan wewenarg kepada Kongres Amerika Serikat untuk menetapkan kejahatan (berat) yang dilakukan di laut bebas dan tugas ini telah dilaksanakan oleh Kongres dengan mengeluarkan ketentuan pasal 1903 tersebut di atas. Pengadilan telah menolak argumentasi tertudulh mengenai tindakan penggeledahan dan penyitaan di atas kapal miliknya bertentangan dan melanggar amandemen keempat (Fourth Amandment) dari Konstitusi Amerika 5erikat. Untuk ini pengadilan menegaskan sikapnya sebagai berikut: "under certain circumstances it is not reasonable to require law enforce ment cfficials to obtain a prior warrant, and courts have uphled warrantless searches so long as the officials had probable cause to believe the search Wouldyield evidence of crime, or if the scarch was necessary to ensure the safety of the officers or public."(AJIL VOL83 NO.1, 1989:99-102). Pengadilan Amerikat Serikat di dalam putusannya mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: "Dalam keadaan-keadaan tertentu adalah tidak beralasan untuk meminta petugas penegak hukum memperoleh surat penangkapan terlebih dulu dan pengadilan dapat membenarkan penggeledahan tanpa surat penggeladahan sepanjang petugas itu memiliki alasan yang cukup untuk meyakini bahwa penggeledahan itu akan menghasilkan bukti-bukti tentang suatu kejahatan atau jika penggeledahan sedemikian itu, dianggap beb (1) (2) (3) (4) (5) (6) C. Ke ka du ar N. be 64 s untuk menjaga perlindungan keamanan petugas dimaksud dan masyarakar". Bertitik tolak dari kasus-kasus tersebut di atas, penulis dapat menarik heberapa kesimpulan sebagai berikut: (1) ketentuan-ketentuan hukum internasional sering ditafsirkan berbeda oleh setiap negara sejalan dengan kepentingan nasional negara yang bersangkutan; perbedaan penafsiran yang sering terjadi adalah mengenai penerapan Lerlakunya hukum nasional suatu negara atas suatu kasus tindak pidana internasional di luar batas teritorial negara yang bersangkutan; a perbedaan penafsiran sebagaimana tersebut pada butir (2) telah menimbulkan banyak kasus mengenai konflik yurisdiksi kriminil di antara negara-negara yang terlibat di dalamnya; (4) dalam menghadapi kasus-kasus tindak pidana internasional yang membahayakan ketahanan nasional suatu negara pengaturan tentang locus delicti atau tempat tindak pidana, diluar batas teritorial perlu dipertimbangkan dalam pembentukan hukum pidana nasional; (5) dalam menghadapi tindak pidana internasional, sebagaimana dimaksud pada butir (4) di atas. tampak faktor kepentingan nasional suatu negara secara relatif lebih diutamakan di dalam menentukan berlakunya hukum nasional negara yang bersangkutan jika dibandingkan dengan faktor kepentingan masyarakat internasional; (6) dalam praktik hukum internasional asas berlakunya hukum pidana yang dominan adalah asas perlindungan atau protective principle atau bescherming beginsel jika dibandingkan dengan asas teritorial atau teritorialiteits-beginsel atau territoriality principle. C. DOMINASI KEPENTINGAN NEGARA (NASIONAL) ATAS KEPENTINGAN INTERNASIONAL (KASUS NORIEGA). Ketiga kasus tersebut di atas, ternyata memiliki perbedaan yang besar dengan Sus "penculikan" atas Jenderal Noriega, mantan presiden Panama yang ditu- uh telah memasok heroin ke wilayah Amerika Serikat, yang ancaman perang dilatarbelakangi oleh pemerintah Panama terhadap Amerika Serikat. Dalam praktik hukum internasional, tindakan "penculikan" Jenderal Noriega dari wilayah teritorial Panama sebagai satu negara yang merdeka dan berdaulat merupakan contoh ekstrem dan sekaligus menunjukkan pula betapa 65 hukum nasion alasan dari pi Kasus Noriega (LUnited States v.Noriega.No.88-0079 C.R (S.D.Fla.file Feb 4, 1988 dan United States v.Noriega, No.88-28 CR-T (M.D.Fla.filed 4.198 ini mulai menghangat sejak tanggal 15 desember 1988 ketika badan legislan Tanama nengesahkan suatu resolusi formal yang menyatakan keadaan peran regeri ini dengan Amerika Serikat. Resolusi ini munculuntuk membalas sank ekonomi Amerika Serikatatas Panama sejak tahun 1988 dan untuk mencega agresi pihak Amerika Serikat. Pihak Amerika Serikat menanggapi penyataa badan legislatif Panama sebagai provokasi terhadap pemerintah dan States dapar ditatsirkan sedemikan rupa sehingga dapat dipandang sebagai pelang di dalam praktik dominasi teori monisme dengan primat Aaran atas kedaulatan negara lain. P. Amerika Serikat. Tangal 20 desember 1989 Presiden Bush telah memerintahkan melal kan invasi ke wilayah Panama dan ia menegaskan bahwa tujuan utama men lamatkan 35.000 warga negara Amer ka Serikat di Panama. Jenderal Nori dapat ditangkap dan dikembalikan ke Amerika Serikat pada tanggal 3 Janua 1990 dan presiden Bush menanggapinya dengan pernyataan bahwa dikemb likannya Noriega ke Amerika Serikat merupakan kunci penting dari, oben tion just cause dan dinyatakan pula bahwa pemerintah telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan prinsip prinsip politik, diplomatik, dan moral (tidak menegaskan prinsip hukum, pen.). Noriega dituntut oleh Grand Jury di Pengadilan Miami dan Pengadilan Tampa, negara bagian Florida dengan tuduhan sebagai pendukung lalu-lints narkotika ilegal ke wilayah Amerika Serikat. Pengadilan di Miami dan Tamps ini telah menerapkan asas perlindungan (protective principle) dan the effect doctrine. Doktrin ini sesungguhnya merupakan doktrin yang berkembang dan dikembangkan oleh pemerintah Amerika Serikat serta diakui di dalam praktik Hukum Perdata Internasional, terutama di dalam menghadapi kasus konflik yurisdiksi sipil (civil jurisdiction) [Schahter, 1991: 261-262]. Doktrin ini berasal dari kasus Alcoa (1945) di mana hakim yang ditugas menangani kasus tersebut, Leamed Hand, mengemukakan pertimbangannya sebagai berikut: "It is settled law that any State may impose liability, even upon persons not uiu its allegiance, for conduct outside its borders, that has consequences within t honders which that State reprehends". it beriku in lalu-lix politik masal terliba Norie objek perga sebaga oleh Pertimbangan lain dan lebih bersifat politis dari pemerintah Ameriko Serikat dikemukakan oleh Menteri Luar Negeri James A. Baker III untuk membela intervensi Amerika Serikat di Panama, yaitu dengan mengajukan yange perbe 66 meng dasan selfdefence, pasal 51 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pasal 21 dari piagam Organisasi Negara-rnegara Amerika (Organization of American Srates atau OAS) [Am.J.of Int'l L, 1990:494-502J. Pasal 51 piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa berbunyi sebagai berikut: "Tidak ada suatu ketentuan dalam piagam ini yang boleh merugikan hak perseorangan atau bersama untuk membela diri apabila suatu serangan bersenjata terjadi terhadap suatu anggota Perserikatan Bangsa- Bangsa, sampai Dewan Keamarnan mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk memelihara perdamaian serta keamanan interna- sional. Tindakar-tindakan yang diambil oleh anggotaarggota dalam melaksanakan hak membela diri ini harus segera dilaporkan kepada Dewan Keamanan dan dengan cara bagaimanapun, tidak dapat mengurangi kekuasaan dan tanggung jawab Dewan Keamanan menurut piagam ini untuk paca setiap waktu mengambil tindakan yang dianggap perlu guna memelihara atau memulihkan perdamaian serta keamanan internasional." Pasal 21 piagam Organisasi Negara-negara Amerika menetapkan sebagai berikut: "The American States bind dheinselves ir thcir international relations not to have recourse to the use of force, except in the case of self-defense in accordance with existing treaties or in fulfillment thereof." Kasus Noriega tersebut di atas, telah mengungkapkan dengan jelas bahwa lalu-lintas perdagangan narkotik ilegal pada cewasa ini sudah berkonotasi politik, dalam arti betapa kuatnya pengaruh tindak pidana internasional dalam masalah narkotika terhadap hubungan diplomatik antara negaranegara yang terlibat. Kasus lalu lintas perdagangan narkotika ilegal dalam konteks kasus Noriega di atas sudah mengandung implikasi politis, namun demikian kondisi objektif dalam arti ditinjau dari prinsip hukum umum yang berlaku di dalam pergaulan masyarakat internasional, kasus-kasus tersebut perlu dikemukakan sebagai acuan yang bermanfaat, manakala timbul kasus yang sama dan dihadapi oleh pemerintah Indonesia pada masa yang akan datang. Penegakan hukum Amerika di luar teritorial ini memperoleh tentangan yang cukup kuat, baik di dalam negeri maupun dari negara-negara yang terlibat. Patut disimak bahwa pada era pemerintahan Reagan dan Bush terdapat perbedaan pendapat di kalargan pemerintahan Amerika Serikat sendiri. Wakil dari Departemen Kehakiman Amerika Serikat antara lain mengemukakan: 67 "In the light of the serious international law consequences follow from deploying the FBI to conduct an extraterritorial apprehen sion in contravention of customary international law, I can assare you that the Administration would take such action only in the most compel that Could ling circumstances... Konsekuensi dari penempatan dan penugasan anggota FBỊ melakukar penangkapan di luar wilayah teritorial (Amerika Serikat) bertentangan dengan hukum kebiasaan internasional, saya yakink bahwa pemerintah Amerika Serikat hanya akan mengambil langkah tindakan tersebut dalam suatu situasi yang sangat mendesak..." 1990:486) untuk to (AJIL, Di lain pihak, para penasihat hukum (legal adviser) Departemen Kehakiman Amerika Serikat memiliki pendekatan yang berbeda, yaitu me ngemukakan sebagai berikut: first: While Congress and the President have the power to depart from inter. national law the Court have in effect insisted that they do so unambigously and deliberately (sekalipun Kongres dan Presiden memiliki kekuasaan untuk tidak memperhatikan hukum internasional, pengadilan dapat bertahan pada pendiriannya bahwa ia melakukannya tanpa ragu-ragu dan dengan bebas); second: "Teritorial integrity is a cornerstone of international law..." Forcible abduction from a foreign state clearly violate this principle (integritas teritorial adalah tonggak dari hukum internasional, tindakan penculikan (dengan paksaan) dari suatu negara asing nyata-nyata melanggar prinsip ini); third: The adverse effect of the principle of territorial integrity on law enforce ment are..mitigated by the willingness of States to consent to foreign law enforcement action on their territory. No particular formality or publIc ity is recuired for such consent to be legally effective. Even tacit consent is sufficient if given by appropriate officials. For political reasons a State may decide to deny after the fact that it had consented to an operation.. In still other cases, a foreign State may cooperate by quietly placing an individual wanted by the United States on board a plane or vessel over which the United States has jurisdiction (akibat menentukan dari prinsip integritas teritorial ini pada penegakan hukum diperlemah oleh kesediaan suatu negara untuk memberikan izin aparatur penegak hukum dari negara lain untuk melakukan kegiatannya di wilayah negara tersebut. Tidak ada formalitas atau publisitas khusus yang dipersyaratkan untuk memperoleh izin agar secara legal menjadi efektif, sekalipun izin khusus adalah efisien 68 jika diberikan oleh pihak yang berwenang. Untuk tujuan-tujuan politis, suatu negara dapat memutuskan untuk menolak kenyataan bahwa ia telah memberikan izin untuk kegiatan operasi tersebut.. Dalam kasus kasus lain, suatu negara dapat bekerja sama dengan cara menempatkan seorang pelaku yang dicari di atas sebuah kapal terbang atau kapal laut di mana Amerika Serikat memiliki yurisdiksi atasnya); fourth: The principle of territorial integrity is not entitled to absolute defer- in international law. Every State retains the right of selfdefence... AWe must not permit the law to be manipulated to render the free world inefective in dealing with those who have regard for law (prinsip integritas aritorial tidak memberikan kewenangan pembedaan dalam hukum internasional. Setiap negara memiliki hak untuk membela dirinya. Kita barus tidak mengizinkan memanipulasi hukum sehingga dunia bebas men- iadi tidak efektif dalam berhubungan dengan mereka melanggar undang-undang) [AJIL, 1990: 486-4871. Berdasarkan keempat pernyataan yang telah dikemukakan oleh penasihat bikum departemen kehakiman Amerika Serikat tersebut di atas, tampak secara nyata bahwa para penasihat hukum Departemen Kehakiman Amerika Serikat tidak sependapat dengan pernyataan wakil Departemen Kehakiman Amerika Serikat. Akan tetapi, dalam akhir pernyataannya, penasihat hukum tersebut telah mengemukakan kesimpulan yang sangat mengejutkan dan cenderung sependapat dengan pernyataan wakil Departemen Kehakiman yang mengemukakan sebagai berikut: We are reaching the point... at which the activities and threats of some drug traflickers may be so serious and damaging as to give rise to the right to resort to self-defence. The evidence of imminent harm from traffick- ers threats would have to be strong to sustain a self defence argument... But where a criminal organization grows to a point where it can and does perpetrate violent attacks against the United State, it can become a proper object of measures in self defence. yang telah (Kita sampai pada titik persoalan... di mana kegiatan dan ancaman dari pelaku lalu lintas perdagangan narkotika ilegal sedemikian sangat serius dan merusak sehingga menimbulkan hak untuk membela diri. Bukti- mengenai kerugian dan kerusakan yang sangat mungkin terjadi bukti ncaman pelaku-pelaku ini akan lebih memperkuat ditoleransinya dan dipergunakannya pertimbangan beladiri, akan tetapi di mana organisasi Kejahatan sedemikian berkembang sehingga ia dapat dan telah terbukti enimbulkan serangan dengan kekerasan terhadap Amerika Serikat. naka selayaknya serangan tersebut merupakan objek dari pertimbangan 69
bela diri sebagaimana telah dikemukakan di atas) [AJIL, 1990:4871
Perkembangan praktik hukum internasional sebagaimana telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa teori monisme dengan primat hukum nasional dalam praktik telah menimbulkan akibat yang tidak kecil dan merugikan kepentingan negara-negara Selatan jika dibandingkan kepentingan negara negara Utara, khususnya negara Amerika Serikat. Di lain pihak, praktik tersebut di atas sekaligus secara implisit menunjukkan pula kurang efektifr tecri monisme dengan primat hukum internasional jika dibandingkan te monisme dengan primat hukum nasional. Terhadap keempat kasus sebagaimana telah diuraikan di atas, penuli. mengajukan catatan dan komentar serta pendapat seperti tersebut di bawak 1. Keempat kasus sebagaimana telah diuraikan di atas menunjukkan betana rumitnya dalam praktik hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional disatu pihak dengan masalah konflik kepentingan nasional dan kepentingan intemasional di lain pihak. 2. Keempat kasus sebagaimana telah diuraikan di atas telah memberikan suatu petunjuk yang amat penting nilainya bagi terutama negara-negara Selatan termasuk Indonesia di dalam mengantisipasi kasus-kasus serupa yang mungkin akan terjadi di masa yang akan datang. 3. Peraturan perundangundangan pidana di Indonesia sejak saat ini sudah pada tempatnya memberikan perhatian khusus terhadap masal; tindak pidana transnasional atau internasional sebagai akibat pengaruh globalisasi disegala bidang pada dewasa ini dalam pergaulan masyarakat internasional. 4. Pertanyaan mendasar bagi peraturan perundang-undangan pidana Indo nesia dan memerlukan jawab yang memadai dalam konteks keempat kasus sebagaimana telah diuraikan di atas adalah: (a) apakah ketentuan-ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau di dalam undang-undang pidana khusus sudah memberikan pengaturan yang jelas dan lengkap bagi suatu tindakan perluasan yurisdiksi kriminil terhadap tindak pidana transnasional atau internasional; (b) sejauh manakah Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan kewenangan konstitusional terhadap produk peraturan perundang undangan di bawahnya termasuk undangundang pidana nasional untuk melaksanakan tindakan perluasan yurisdiksi kriminil dalam hal terjadinya kasus serupa yang dihadapi bangsa dan ini. nesia. negara Indo 70