0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
35 tayangan5 halaman
Tinjauan yuridis hubungan hukum internasional dan nasional di Indonesia masih belum jelas apakah menganut monisme atau dualisme. Ada pendapat bahwa Indonesia menggunakan pendekatan gabungan dengan menerapkan inkorporasi untuk perjanjian internasional yang menyangkut negara dan transformasi untuk perjanjian yang menciptakan hak warga negara. Namun, undang-undang tahun 2004 pasal 7 menunjukkan sikap dualisme dengan transformasi perjanjian internasional ke
Tinjauan yuridis hubungan hukum internasional dan nasional di Indonesia masih belum jelas apakah menganut monisme atau dualisme. Ada pendapat bahwa Indonesia menggunakan pendekatan gabungan dengan menerapkan inkorporasi untuk perjanjian internasional yang menyangkut negara dan transformasi untuk perjanjian yang menciptakan hak warga negara. Namun, undang-undang tahun 2004 pasal 7 menunjukkan sikap dualisme dengan transformasi perjanjian internasional ke
Tinjauan yuridis hubungan hukum internasional dan nasional di Indonesia masih belum jelas apakah menganut monisme atau dualisme. Ada pendapat bahwa Indonesia menggunakan pendekatan gabungan dengan menerapkan inkorporasi untuk perjanjian internasional yang menyangkut negara dan transformasi untuk perjanjian yang menciptakan hak warga negara. Namun, undang-undang tahun 2004 pasal 7 menunjukkan sikap dualisme dengan transformasi perjanjian internasional ke
Npm : 3018210273 Kelas :D Penerapan hukum internasional tidak sesederhana penerapan hukum nasional. Karena sebagian besar subjek hukum internasional berada dalam wilayah hukum nasional, sedangkan subjek hukum internasional ada. Sebagai contoh, negara sebagai salah satu subjek hukum internasional, tentu saja memiliki hukum nasional yang berlaku di masing-masing negara dan belum tentu selalu sesuai dengan hukum internasional.
Adanya kepentingan kedua hukum ini mungkin berbeda, dan menjadi
pertimbangan. Terkait muncul pertanyaan antara hukum internasional dan hukum nasional merupakan satu kesatuan hukum atau dipisahkan satu sama lain. Terhadap masalah tersebut, dalam pengesahan hukum internasional, dikenal dua aliran besar yang mencoba mengesahkan kedudukan hukum internasional dan hukum nasinal, yaitu Monoisme dan Dualisme. Aliran Hukum Monoisme Monoisme? Merupakan hukum internasional dan hukum nasional merupakan bagian yang saling berkaitan dengan satu sistem hukum pada umumnya. Berdasarkan teori, monoisme memiliki dua primat yang berlaku, yaitu primat hukum nasional dan primat hukum internasional. Menurut aliran monoisme dengan primat hukum nasional, anggap hukum internasional itu bersumber kepada hukum nasional. Alasan utama pada anggapan ini karena tidak ada satu organisasi di negara-negara yang memiliki kehidupan negara di dunia. Selain itu, hukum internasional yang mengatur hubungan internasional terletak di dalam wewenang negara-negara untuk mengadakan perjanjian-perjanjian internasional. Contohnya adalah hukum kebiasaan yang tumbuh dari praktik negara-negara. Sehingga bila ada konflik, hukum nasional yang lebih diutamakan. Aliran monoisme dengan primat hukum internasional, yang mempertimbangkan kedaulatan negara tidak melebihi batas-internasional, sehingga hukum nasional memerlukan hierarki yang lebih rendah dan sesuai dengan hukum internasional. Pada primat ini menganut pandangan hukum internasional harus diutamakan jika terjadi konflik hukum internasional dan hukum nasional. Kritik terhadap aliran ini adalah ketidaksesuaian fakta bahwa dalam realitanya hukum internasional lebih banyak bersumber pada hukum nasional yaitu dari praktik negara. Aliran Hukum Dualisme Aliran hukum dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional bersumberkan pada kemauan negara. Pada aliran ini hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah satu dari yang lain. Terkait timbulnya kaedah-kaedah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumberkan atau berdasarkan pada perangakat hukum yang lain. Tuntutan hukum internasional sebelum diterapkan di lingkungan hukum nasional. Jika terjadi benturan antara hukum internasional dan hukum nasional, negara yang menganut aliran dualisme dapat dihapuskan hukum internasional. Aliran ini mengemukakan bahwa antara hukum internasional dan hukum nasional adalah dua sistem hukum yang sangat berbeda. Perbedaan yang dimaksud meliputi subyek hukum internasional adalah negara-negara sedangkan subyek hukum nasional adalah individu; hukum internasional bersumber pada kehendak bersama negara adapun hukum nasional pada kehendak negara semata; dan hukum nasional memiliki integritas yang lebih sempurna dibandingkan dengan hukum internasional. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Dalam Konteks Indonesia ? Menurut Duta Besar Eddy Pratomo , masih ada ketidaktegasan apakah Indonesia menganut aliran monoisme atau dualisme. Sejauh ini, Eddy mempertimbangkan bahwa Indonesia mengombinasikan doktrin gabungan, yaitu inkorporasi (monoisme) untuk perjanjian internasional yang melibatkan keterikatan negara sebagai subjek hukum internasionalsecara eksternal. Akan tetapi menganut doktrin transformasi (dualisme) untuk perjanjian internasional yang menciptakan hak dan komitmen untuk seluruh rakyat Indonesia. Berlakunya hukum internasional dalam lingkungan hukum nasional memerlukan “transformasi” menjadi hukum nasional. Jika hukum internasional dan hukum nasional ada perbenturan atau pertentangan. Negara yang menganut teori dualisme akan lebih sering mengabaikan hukum internasional. Namun, David J. Bederman berpendapat tidak hanya perlu transformasi tetapi juga dengan inkorporasi, Secara teoritis sebenarnya ada dua teori yang membahas mengenai bagaimana negara menerima suatu perjanjian internasional kedalam sistem hukum nasional mereka, yakni teori inkorporasi dan teori transformasi. Teori inkorporasi melihat bahwa hukum internasional merupakan bagian dari hukum nasional sehingga perjanjian internasional yang diratifikasi secara otomatis menjadi bagian dari hukum nasional suatu negara sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan hukum nasional dari negara yang bersangkutan. Hukum internasional tidak memerlukan tindakan legislatif (implementing legislation) karena pengintegrasiannya secara langsung, identik dengan yang dipraktikkan negara-negara yang menganut faham monisme. Dalam teori ini ada dua pandangan inkorporasi, yakni yang bersifat hard dan soft. Inkorporasi yang bersifat hard berpandangan bahwa pengadilan wajib dan harus melaksanakan kaidah-kaidah hukum internasional sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang atau common law (hukum yang berkembang dalam masyarakat melalui putusan pengadilan). Menurut pandangan yang bersifat soft, pengadilan wajib dan harus melaksanakan kaidah-kaidah hukum internasional sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang. Kemudian teori transformasi lebih melihat hukum internasional merupakan sistem hukum yang terpisah dari hukum nasional sehingga untuk dapat menjadi bagian dari hukum nasional suatu negara maka harus ditransformasikan kedalam bentuk peraturan perundang-undangan yang sah dan diakui di negara yang bersangkutan. Identik dengan yang dipraktikkan di negara-negara yang menganut faham dualisme. Teori ini memiliki dua pandangan, yakni transformasi yang bersifat hard dan soft. Menurut pandangan yang bersifat hard menekankan hukum internasional hanya dapat menjadi bagian dari hukum nasional melalui tindakan legislatif saja. Sedangkan yang bersifat soft menitikberatkan hukum internasional dapat menjadi bagian dari hukum nasional melalui tindakan legislatif dan yudikatif. Tindakan yudikatif ini maksudnya adalah adanya putusan pengadilan yang menyatakan bahwa kaidah-kaidah hukum internasional telah menjadi bagian dari hukum nasional negara yang bersangkutan. Pandangan transformasi yang bersifat soft ini diidentikkan dengan indirect incorporation dimana hukum internasional digunakan sebagai alat bantu untuk menafsirkan hukum nasional suatu negara
Jadi, bagaimana tinjauan yuridis terhadap hubungan Hukum
Internasional dan Hukum Nasional yang terjadi di Indonesia? Dalam praktik pilihan pengutamaan pada hukum nasional atau pada hukum internasional, ditentukan oleh preferensi etnis atau politis . Dalam konteks Indonesia, menurut Eddy Pratomo masih ada ketidaktegasan apakah menganut monisme atau dualisme. Eddy menyarankan agar Indonesia bisa lebih tegas, maka perlu memilih sikap. Dengan menganut doktrin gabungan yakni inkorporasi (monisme) untuk perjanjian-perjanjian internasional yang menyangkut keterikatan negara sebagai subyek hukum internasional secara eksternal dan menganut doktrin transformasi (dualisme) untuk perjanjian internasional yang menciptakan hak dan kewajiban bagi seluruh warga negara Indonesia. Berbeda dengan Eddy, Wisnu Aryo Dewanto berpendapat bahwa pada saat pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 (Pasal 7) mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebenarnya menegaskan posisi Indonesia sebagai negara dualisme dengan metode transformasi dalam memasukkan perjanjian internasional kedalam sistem hukum nasional.