Anda di halaman 1dari 5

Tugas Individu Hukum Internasional

Disusun Oleh

Nama : Cindy Theresia Nathalia


Npm : 3018210273
Kelas :D
Penerapan hukum internasional tidak sesederhana penerapan hukum nasional.
Karena sebagian besar subjek hukum internasional berada dalam wilayah
hukum nasional, sedangkan subjek hukum internasional ada. Sebagai contoh,
negara sebagai salah satu subjek hukum internasional, tentu saja memiliki
hukum nasional yang berlaku di masing-masing negara dan belum tentu selalu
sesuai dengan hukum internasional.

Adanya kepentingan kedua hukum ini mungkin berbeda, dan menjadi


pertimbangan. Terkait muncul pertanyaan antara hukum internasional dan
hukum nasional merupakan satu kesatuan hukum atau dipisahkan satu sama
lain. Terhadap masalah tersebut, dalam pengesahan hukum internasional,
dikenal dua aliran besar yang mencoba mengesahkan kedudukan hukum
internasional dan hukum nasinal, yaitu Monoisme dan Dualisme.
Aliran Hukum Monoisme
Monoisme? Merupakan hukum internasional dan hukum nasional merupakan
bagian yang saling berkaitan dengan satu sistem hukum pada
umumnya. Berdasarkan teori, monoisme memiliki dua primat yang berlaku,
yaitu primat hukum nasional dan primat hukum internasional.
Menurut aliran monoisme dengan primat hukum nasional, anggap hukum
internasional itu bersumber kepada hukum nasional. Alasan utama pada
anggapan ini karena tidak ada satu organisasi di negara-negara yang memiliki
kehidupan negara di dunia. Selain itu, hukum internasional yang mengatur
hubungan internasional terletak di dalam wewenang negara-negara untuk
mengadakan perjanjian-perjanjian internasional. Contohnya adalah hukum
kebiasaan yang tumbuh dari praktik negara-negara. Sehingga bila ada konflik,
hukum nasional yang lebih diutamakan.
Aliran monoisme dengan primat hukum internasional, yang
mempertimbangkan kedaulatan negara tidak melebihi batas-internasional,
sehingga hukum nasional memerlukan hierarki yang lebih rendah dan sesuai
dengan hukum internasional. Pada primat ini menganut pandangan hukum
internasional harus diutamakan jika terjadi konflik hukum internasional dan
hukum nasional. Kritik terhadap aliran ini adalah ketidaksesuaian fakta bahwa
dalam realitanya hukum internasional lebih banyak bersumber pada hukum
nasional yaitu dari praktik negara.
Aliran Hukum Dualisme
Aliran hukum dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum
internasional bersumberkan pada kemauan negara. Pada aliran ini hukum
internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum
yang terpisah satu dari yang lain. Terkait timbulnya kaedah-kaedah dari
perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumberkan atau berdasarkan pada
perangakat hukum yang lain. Tuntutan hukum internasional sebelum diterapkan
di lingkungan hukum nasional. Jika terjadi benturan antara hukum internasional
dan hukum nasional, negara yang menganut aliran dualisme dapat dihapuskan
hukum internasional.
Aliran ini mengemukakan bahwa antara hukum internasional dan hukum
nasional adalah dua sistem hukum yang sangat berbeda. Perbedaan yang
dimaksud meliputi subyek hukum internasional adalah negara-negara
sedangkan subyek hukum nasional adalah individu; hukum internasional
bersumber pada kehendak bersama negara adapun hukum nasional pada
kehendak negara semata; dan hukum nasional memiliki integritas yang lebih
sempurna dibandingkan dengan hukum internasional.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Dalam Konteks Indonesia ? Menurut Duta Besar Eddy Pratomo , masih ada
ketidaktegasan apakah Indonesia menganut aliran monoisme atau
dualisme. Sejauh ini, Eddy mempertimbangkan bahwa Indonesia
mengombinasikan doktrin gabungan, yaitu inkorporasi (monoisme) untuk
perjanjian internasional yang melibatkan keterikatan negara sebagai subjek
hukum internasionalsecara eksternal. Akan tetapi menganut doktrin
transformasi (dualisme) untuk perjanjian internasional yang menciptakan hak
dan komitmen untuk seluruh rakyat Indonesia.
Berlakunya hukum internasional dalam lingkungan hukum nasional
memerlukan “transformasi” menjadi hukum nasional. Jika hukum internasional
dan hukum nasional ada perbenturan atau pertentangan. Negara yang menganut
teori dualisme akan lebih sering mengabaikan hukum internasional.
Namun, David J. Bederman berpendapat tidak hanya perlu transformasi tetapi
juga dengan inkorporasi,
Secara teoritis sebenarnya ada dua teori yang membahas mengenai
bagaimana negara menerima suatu perjanjian internasional kedalam
sistem hukum nasional mereka, yakni teori inkorporasi dan teori transformasi.
Teori inkorporasi melihat bahwa hukum internasional merupakan bagian dari
hukum nasional sehingga perjanjian internasional yang diratifikasi secara
otomatis menjadi bagian dari hukum nasional suatu negara sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan hukum nasional dari negara yang bersangkutan.
Hukum internasional tidak memerlukan tindakan legislatif (implementing
legislation) karena pengintegrasiannya secara langsung, identik dengan yang
dipraktikkan negara-negara yang menganut faham monisme. Dalam teori ini ada
dua pandangan inkorporasi, yakni yang bersifat hard dan soft.
Inkorporasi yang bersifat hard berpandangan bahwa pengadilan wajib dan harus
melaksanakan kaidah-kaidah hukum internasional sepanjang tidak bertentangan
dengan undang-undang atau common law (hukum yang berkembang dalam
masyarakat melalui putusan pengadilan). Menurut pandangan yang bersifat soft,
pengadilan wajib dan harus melaksanakan kaidah-kaidah hukum internasional
sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang.
Kemudian teori transformasi lebih melihat hukum internasional merupakan
sistem hukum yang terpisah dari hukum nasional sehingga untuk dapat menjadi
bagian dari hukum nasional suatu negara maka harus ditransformasikan
kedalam bentuk peraturan perundang-undangan yang sah dan diakui di negara
yang bersangkutan. Identik dengan yang dipraktikkan di negara-negara yang
menganut faham dualisme. Teori ini memiliki dua pandangan, yakni
transformasi yang bersifat hard dan soft.
Menurut pandangan yang bersifat hard menekankan hukum internasional hanya
dapat menjadi bagian dari hukum nasional melalui tindakan legislatif saja.
Sedangkan yang bersifat soft menitikberatkan hukum internasional dapat
menjadi bagian dari hukum nasional melalui tindakan legislatif dan yudikatif.
Tindakan yudikatif ini maksudnya adalah adanya putusan pengadilan yang
menyatakan bahwa kaidah-kaidah hukum internasional telah menjadi bagian
dari hukum nasional negara yang bersangkutan. Pandangan transformasi yang
bersifat soft ini diidentikkan dengan indirect incorporation dimana hukum
internasional digunakan sebagai alat bantu untuk menafsirkan hukum nasional
suatu negara

Jadi, bagaimana tinjauan yuridis terhadap hubungan Hukum


Internasional dan Hukum Nasional yang terjadi di Indonesia?
Dalam praktik pilihan pengutamaan pada hukum nasional atau pada hukum
internasional, ditentukan oleh preferensi etnis atau politis . Dalam konteks
Indonesia, menurut Eddy Pratomo masih ada ketidaktegasan apakah menganut
monisme atau dualisme. Eddy menyarankan agar Indonesia bisa lebih tegas,
maka perlu memilih sikap. Dengan menganut doktrin gabungan yakni
inkorporasi (monisme) untuk perjanjian-perjanjian internasional yang
menyangkut keterikatan negara sebagai subyek hukum internasional secara
eksternal dan menganut doktrin transformasi (dualisme) untuk perjanjian
internasional yang menciptakan hak dan kewajiban bagi seluruh warga negara
Indonesia.
Berbeda dengan Eddy, Wisnu Aryo Dewanto berpendapat bahwa pada saat
pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
(Pasal 7) mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebenarnya
menegaskan posisi Indonesia sebagai negara dualisme dengan metode
transformasi dalam memasukkan perjanjian internasional kedalam sistem
hukum nasional.

Anda mungkin juga menyukai