Anda di halaman 1dari 25

BAHAN AJAR

HUKUM ACARA TATA USAHA NEGARA

2 sks

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2023

i
VERIFIKASI BAHAN AJAR

Pada hari ini Jumat tanggal 11 bulan Agustus tahun 2023 Bahan Ajar Mata Kuliah Hukum Acara
Tata Usaha Negara Program Studi S1 Hukum Fakultas Hukum telah diverifikasi oleh Ketua
Jurusan/ Ketua Program Studi Hukum

Semarang, 11 Agustus 2023

Ketua Jurusan/ Ketua Prodi Hukum Tim Penulis

Ratih Damayanti, S.H., M.H. Pratama Herry Herlambang, S.H., M.H.

NIP. 198501022015042001 NIP. 198804242015041004

ii
PRAKATA

Bahasan mengenai hukum acara peradilan tata usaha negara dalam pengaruhnya
dengan konsep welfare state yang terus dikaji dengan berbagai macam pendekatan
keilmuan. Pada dua dekade ini telah banyak penelitian mengenai peradilan tata usaha
negara dan juga fakta-fakta baru yang berkaitan dengan aspek hukum administrasi
negara. Temuan-temuan yang dihasilkan memberikan gambaran baru mengenai hukum
administrasi khususnya peradilan tata usaha negara, terutama berkaitan dengan
hubungan antara tata usaha negara, peradilan dan hukum administrasi.

Bahan ajar ini disusun untuk memberikan gambaran yang berkaitan dengan dasar-dasar
pengetahuan dan pemahaman mengenai peradilan tata usaha negara dalam kaitannya
dengan ruang lingkup kajian hukum. Diharapkan dengan bahan ajar ini dapat memberikan
bekal dasar mengenai kognisi dan aspek-aspek yang terdapat di dalamnya.

Bahan ajar ini tersusun dari 11 bab, yang masing-masing akan membahas topik yang
berbeda namun tetap saling berhubungan. Dimulai dengan bahasan mengenai konsep
pengantar negara hukum, tindakan pemerintah, subyek dan obyek sengketa, AAUPB, alur
penyelesaian sengketa TUN, jenis hukum acara di PTUN, gugatan dan surat kuasa,
pembuktian, putusan dan upaya hukum serta eksekusi. Bahan ajar ini juga bukan sebagai
satu-satunya sumber dalam proses pembelajaran, sehingga bahan lain terutama yang
berkaitan dengan jurnal penelitian akan ditambahkan untuk memperkaya konteks kajian
hukum pajak.

Melalui buku ini diharapkan mahasiswa dapat muncul ketertarikan dalam memahami
hubungan hukum dan peradilan tata usaha negara, serta mengembangkannya dalam
kajian keilmuan yang lebih mendalam. Selanjutnya, masukan dan tanggapan terhadap
bahan ajar ini akan sangat membantu untuk mengembangkan dan menyempurnakan isi
dalam bahan ajar ini. Semoga bahan ajar ini dapat berguna bagi dosen maupun
mahasiswa yang mempelajari matakuliah hukum pajak

Selamat Membaca!
Tim Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL........................................................................................i
KATA PENGANTAR........................................................................................ ii
PENDAHULUAN ............................................................................................. iii
DAFTAR ISI.......................................................................................................vi
BAB I NEGARA HUKUM ................................................................................ 1
A. Pemikiran Negara Hukum........................................................................ 1
B. Konsep Negara Hukum ............................................................................ 5
C. Konsep Rechtsstaat .................................................................................. 6
D. Konsep Rule Of Law ............................................................................... 8
E. Konsep Socialist Legality ........................................................................ 9
F. Konsep Negara Hukum di Indonesia ...................................................... 10
BAB II TINDAKAN PEMERINTAH ............................................................. 18
A. Pengertian Pemerintah ............................................................................ 18
B. Kedudukan Pemerintah ........................................................................... 20
C. Kewenangan Pemerintah ........................................................................ 20
D. Tindakan Pemerintah .............................................................................. 21
E. Peradilan Tata Usaha Negara .................................................................. 26
BAB III SUBJEK DAN OBJEK SENGKETA............................................... 30
A. Subjek Sengketa Tata Usaha Negara ...................................................... 30
B. Objek Sengketa Tata Usaha Negara ....................................................... 36
C. Tidak Termasuk Objek Sengketa Tata Usaha Negara ............................ 41
BAB IV ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK .............. 43
A. Istilah Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik ............................... 43
B. AAUPB Sebagai Asas Yang Terbuka..................................................... 47
C. AAUPB Sebagai Alat Pengujian KTUN ................................................ 47
D. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik di Indonesia ...................... 49
BAB V ALUR PENYELESAIAN SENGKETA TUN ................................... 55
A. Pengertian Sengketa Tata Usaha Negara ................................................ 55
B. Alur Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara .................................... 56
C. Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara di Indonesia ........................ 71

iv
BAB VI JENIS HUKUM ACARA DI PTUN ................................................. 76
A. Pemeriksaan Perkara dengan Acara Biasa .............................................. 76
B. Pemeriksaan Perkara dengan Acara Singkat........................................... 87
C. Pemeriksaan Perkara dengan Acara Cepat ............................................. 92
BAB VII GUGATAN DAN SURAT KUASA ................................................. 97
A. Gugatan ................................................................................................... 97
B. Surat Kuasa ............................................................................................ 107
BAB VIII PEMBUKTIAN .............................................................................. 122
A. Pengertian Pembuktian Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara ..... 122
B. Alat-Alat Bukti dalam Pemeriksaan Sengketa Tata Usaha Negara ....... 123
C. Asas Pemeriksaan Alat-Alat Bukti dalam PTUN .................................. 131
BAB IX PUTUSAN .......................................................................................... 137
A. Jenis Putusan .......................................................................................... 137
B. Materi/Isi Putusan .................................................................................. 148
C. Sistematika Putusan ............................................................................... 149
D. Kekuatan Hukum dari Putusan .............................................................. 154
BAB X UPAYA HUKUM DAN EKSEKUSI PUTUSAN............................. 157
A. Upaya Hukum ........................................................................................ 157
B. Eksekusi Putusan Pengadilan ................................................................. 175
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 194

v
BAB I
NEGARA HUKUM
Deskripsi Singkat
Bab ini membahas tentang konsep dasar negara hukum yang meliputi definisi, ruang lingkup,
sejarah singkat dan metode penelitian dalam pengantar negara hukum serta hubungan negara
hukum dengan ilmu hukum.

Capaian Pembelajaran Pertemuan (Sub-CPMK)


1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi dan ruang lingkup negara hukum
2. Mahasiswa mampu menjelaskan unsur-unsur negara hukum
3. Mahasiswa mampu menjelaskan konsep negara hukum
4. Mahasiswa mampu menjelaskan hubungan hukum dengan negara

Negara Hukum, secara berturut-turut diuraikan tentang pemikiran negara hukum dan
konsep negara hukum yang diuraikan atas konsep rechtsstaat, konsep rule of law, konsep socialist
legality, serta konsep negara hukum di Indonesia.
A. Pemikiran Negara Hukum
Cita-cita negara hukum telah muncul sejak abad ke 17 di negara-negara Barat,
istilahnya sendiri baru dikemukakan pada abad ke 19. Walau tak seorang pun yang sanggup
memberikan definisi yang memuaskan mengenai hukum, tetapi orang mengerti apa yang
dimaksud dengan istilah tersebut.[1] Secara Sederhana, yang dimaksud dengan hukum dapat
dirumuskan sebagai seperangkat aturan tingkah laku yang dapat berbentuk tertulis dan tidak
tertulis, serta dibedakan sebagai hukum publik dan hukum privat.[2]
Demikian pula halnya dengan negara, yang pengertiannya lebih kompleks daripada
hukum, karena negara merupakan fenomena dengan banyak segi yaitu: yuridis, historis,
ekonomis, politik, dan sebagainya.
Dengan mengesampingkan definisi tersebut dapat dilihat, bahwa dalam suatu
negara hukum terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan. Negara tidak

1
Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia Sejak Proklamasi Hingga Reformasi, Grafiti Budi Utami, Bandung,
2004, hal. 10.
2
Sri Soemantri M., Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, hal. 33.
maha kuasa dan negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Hubungan antara negara dan
hukum harus dilihat sebagai hubungan timbal balik.
Krisna Harahap yang mengutip pernyataan J.W.M. Engels dalam bukunya
Rechtsstaat en Staatsrecht menjelaskan, bahwa kekuasaan negara tanpa hukum, tidak
memiliki kewibawaan, sedangkan hukum tanpa dukungan sanksi, sulit ditegakkan. Dalam
hubungan tersebut, hukum melegitimasi negara, sedangkan negara mempositifkan mencipta,
menegaskan, dan memberlakukan dan menegakkan hukum.[3] Artinya, yang menjadi ciri khas
negara hukum, yaitu hubungan antara negara dan hukum. Keduanya saling terkait dan saling
mengisi.
Pemikiran tentang negara hukum, seperti dikemukakan Sobirin Malian, sebenarnya
sudah sangat tua, jauh lebih tua dari usia Ilmu Negara ataupun Ilmu Ketetanegaraan itu
sendiri.[4]
Plato (428-347 Sebelum Masehi), untuk pertama kali mengemukakan tentang cita
negara hukum, dan kemudian dipertegaskan oleh Aristoteles. Plato dikenal karena
produktivitas dan radikalitas pemikirannya. Dari sejumlah karya ilmiahnya, paling tidak ada
tiga buah karyanya yang sangat relevan dengan masalah kenegaraan, yaitu Politea atau The
Republica ditulisnya ketika masih berusia sangat muda; kedua, Politicos atau The Stateman;
dan ketiga, Nomoi atau The Law.[5]
Politea, buku pertama yang ia tulis lahir atas keprihatinannya menyaksikan kondisi
negaranya yang saat itu represif. Ia melihat betapa penguasa saat itu sangat tiranik, haus dan
gila kekuasaan, sewenang-wenang dan tidak memperhatikan nasib rakyat. Politea bisa disebut
sebagai buku kritis yang mengoreksi dan menghendaki para penguasa berlaku sebaliknya.
Plato seolah menyampaikan pesan moral agar negara di bawah sebuah rezim hendaknya
berbuat adil menghadapi kesusilaan, bijaksana, berpengetahuan luas, dan memperhatikan
nasib rakyatnya. Seorang pemimpin bagi Plato haruslah bebas dari kepentingan berkuasa atau
tiranik, karena itu hanya para filosoflah yang dapat berbuat demikian, dan layak menjadi
pemimpin. Dengan diserahkannya kekuasaan kepada filosof, kekhawatiran akan terjadinya

3
Krisna Harahap, op. cit., hal. 11.
4
Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2001, hal. 25
5
Ibid., hal.25.

2
penyalahgunaan kekuasaan atau a buse of power dapat dieliminir, bahkan dihilangkan. Itulah
inti pokok Politea.[6]
Sayangnya, cita negara ideal Plato ini tidak pernah dapat terwujud karena hampir
tidak mungkin mencari manusia yang bebas dari hawa nafsu dan kepentingan pribadi didalam
kekuasaan. Hal ini pula yang mendasari perubahan pemikiran Plato, kemudian melalui karya
keduanya Politicos, ia kembali berusaha memberi acuan agar negara perlu disertai dengan
hukum atau rule of the game, untuk mengatur warga negara. Tetapi, sifat hukum ini tidak
mengikat para penguasa, karena hal yang dibuat oleh penguasa tidak harus berlaku bagi
pembuatnya. Pemikiran inipun ternyata belum memuaskannya, karena di dalam ide-ide
dasarnya itu terbuka peluang para penguasalah yang sering bertindak mengangkangi hukum.
Karena itu ia berusaha mengubah pikiran dan pendiriannya dengan lebih memberi porsi
“terhormat” kepada hukum. Hukum seperti tertuang dalam buku ketiganya Nomoi,
menekankan para penyelenggara negarapun hendaknya diatur oleh hukum. Sayang ide-idenya
berhenti sampai di situ. Ia meninggal diusia delapan puluh dua tahun.[7]
Cita-cita Plato diteruskan oleh muridnya Aristo-teles (384-322 Sebelum Masehi).
Ide dasar dalam Nomoi dikembangkan lebih luas oleh Aristoteles dalam karyanya Politica.
Pengertian negara hukum menurut Aristoteles dikaitkan dengan arti negara dalam
perumusannya yang masih terkait dengan polis.
Pendapat Aristoteles tentang pengertian negara hukum timbul dari polis yang
mempunyai wilayah negara kecil, seperti kota yang berpenduduk sedikit, tidak seperti negara-
negara sekarang ini yang mempunyai wilayah luas dengan penduduk banyak. Dalam polis
segala urusan negara dilakukan dengan musyawarah, di mana seluruh warga turut serta dalam
urusan penyelenggaraan negara.
Yang dimaksud negera hukum menurut Aristoteles, seperti dikutip oleh Moh.
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, yaitu negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin
keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan
hidup untuk warga negaranya. Sebagai dasar dari keadilan perlu diajarkan rasa susila kepada
setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula aturan hukum yang
sebenarnya hanya ada kalau peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan

6
Ibid., hal. 25-26.
7
Ibid., hal.26.

3
hidup antar warga negaranya. Bagi Aristoteles, yang memerintah dalam negara bukanlah
manusia sebenarnya, melainkan pikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya
memegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan menentukan baik dan
tidaknya suatu peraturan perundang-undangan, dan membuat undang-undang adalah
sebagaian dari kecakapan menjalankan pemerintahan negara. Kata Aristoteles, yang
terpenting yaitu mendidik manusia menjadi warga negara yang baik, karena dari sikap yang
adil akan terjamin kebahagiaan hidup warga negaranya.[8]
Berangkat dari pemikiran tersebut, Aristoteles berpendapat bahwa suatu negara
yang baik, yaitu negara yang diperintah oleh konstitusi. Menurutnya, ada tiga unsur
pemerintahan berkonstitusi, yaitu:
Pertama, pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum;
Kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasar ketentuan
umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi
dan konstitusi; dan
Ketiga, pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintah yang dilaksanakan atas
kehendak rakyat, bukan berupa paksaan dan tekanan.[9]
Dalam bukunya Politica, Aristoteles mengatakan: “Konstitusi merupakan
penyusunan jabatan dalam suatu negara, dan menentukan apa yang dimaksudkan dengan
badan pemerintahan, dan apa akhir dari setiap masyarakat, konstitusi merupakan aturan-
aturan, dan penguasa harus mengatur negara menurut aturan tersebut”.[10]
Pemikiran-pemikiran Aristoteles merupakan pengembangan dari gagasan Plato.
Bahkan, dalam beberapa hal nampak Aristoteles lebih kritis dan lebih tajam dalam melihat
kondisi saat itu. Hukum bagi Aristoteles saatnya berperan, dan hukum haruslah bukan paksaan
dari penguasa. Yang diharapkan dengan hukum itu, akan tercapai keadilan dan kesejahteraan.
Menyimak gagasan dan pandangan Aristoteles ini sebenarnya ide konstitusionalisme telah
pula lahir sejak saat itu, hanya saja cakupan dan terminologinya baru berkembang pada abad
ke 19.

8
Muh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1981, hal. 153-154.
9
Krisna Harahap, op. cit., hal. 12.
10
Azhari, Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuiridsis Normatif tentang Unsur-unsurnya, UI Press, 1995, hal. 20-21

4
Ajaran Aristoteles ini sampai sekarang masih menjadi idaman bagi para negarawan
untuk menciptakan suatu negara hukum.

B. Konsep Negara Hukum


Suatu negara memiliki konsep dan sistem hukum nya masing-masing. Sistem
hukum didunia dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu sistem hukum kontinental dan sistem
hukum anlo-saxon. Namun ada yang berpendapat lain mengenai pembagian sistem hukum
yaitu sitem hukum islam, sistem hukum sosialis, dan lain-lain. Pengelompokan tersebut
menurut Bagir Manan[11] lebih bercorak historis atau akademik.
Kenyataannya yang ada bahwa suatu negara tidak mutlak menerapakan dari salah
satu sistem hukum tersebut, pada kenyataannya akan dijumpai hal-hal sebagai berikut:
1. Terdapat sistem-sistem hukum (suatu negara) yang sekaligus mengandung ciri-ciri tradisi
hukum kontinental dan tradisi hukum anglo saxon, atau gabungan dari tradisi hukum
sosialis, ataupun gabungan antara hukum anglo-saxon dan tradisi hukum sosialis.
2. Terdapat sistem-sitem hukum yang tidak daat digolongkan dari salah satu tiga sistem
hukum yang tersebut diatas.
Pemikiran tentang negara hukum akan dibagi menjadi empat konsep negara hukum,
yaitu:
Pertama, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan
rechtsstaat. Model negara hukum ini diterapkan misalnya di Belanda, Jerman, dan
Perancis.[12]
Kedua, konsep rule of law yang diterapkan di negara-negara Anglo-Saxon, antara
lain Inggris dan Amerika Serikat.[13]
Ketiga, suatu konsep yang disebut socialist legality yang diterapkan, antara lain di
Uni Soviet sebagai negara komunis.[14]
Keempat, konsep negara hukum di Indonesia.[15]

11
Ibid, hal 2
12
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam,
Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Prenada Media, Jakarta, 2003, hal. 83-84.
13
Ibid., hal. 84.
14
Ibid. Komunisme sudah ambruk dan negara Uni Soviet telah dinyatakan bubar pada akhir tahun 1991.
15
Padmo Wahjono, et. al., Kerangka Landasan Pembangunan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1989, hal. 17.

5
Sebelum melangkah pada uraian tentang konsep negara hukum, perlu kiranya
dikemukakan, bahwa pemikiran negara hukum di Barat dimulai sejak Plato dengan
konsepnya, bahwa “penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan
hukum yang baik”, disebutnya dengan istilah Nomoi. Selanjutnya ide tentang negara hukum
mulai populer kembali pada abad ke 17 sebagai akibat dari situasi sosial politik di Eropa yang
didominasi oleh absolutisme. Golongan yang pandai dan kaya ditindas oleh kaum Bangsawan
dan Gereja. Yang menumbuhkan konsep etatisme atau l’etat cets moi menginginkan suatu
perombakan struktur sosial politik yang tidak menguntungkan. Mereka mendambakan suatu
negara hukum yang liberal agar setiap orang dapat dengan aman dan bebas mencari peng-
hidupan dan kehidupan masing-masing.[16]
Suatu negara hukum dapat diartikan sebagai negara apabila tindakan pemerintah
maupun rakyatnya didasarkan atas hukum, untuk mencegah adanya tindakan sewenang-
wenang dari pihak pemerintah atau penguasa dan tindakan rakyat yang dilakukan menurut
kehendaknya sendiri.[17] Secara umum, karena cukup banyak rumusan yang diberikan
terhadap pengertian negara hukum, tetapi sulit untuk mencari rumusan yang sama, baik itu
disebabkan perbedaan asas negara hukum yang dianut maupun karena kondisi masyarakat dan
zaman saat perumusan negara hukum dicetuskan. [18]

C. Konsep “Rechtsstaat”
Negara hukum rechsstaat pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum kontinental
Romawi-Jerman yang disebut civil law system. Salah satu ciri sistem hukum ini adalah
melakukan pembagian dasar kedalam hukum perdata dan hukum publik.
Sistem hukum ini mengutamakan sistem hukum tertulis, yaitu peraturan perundang-
undangan sebagai sendi utama sistem hukumnya. Negara-negara yang menganut sistem ini
akan mengupayakan untuk menyusun hukum dalam bentuk tertulis dan mengupayakan
disusun dalam sistematika yang dibukukan atau disebut dengan sistem kodifikasi (codified
law). Hal ini bertujuan untuk melindungai rakyat dari ketidak sewenang-wenangan dan untuk
memberikan kepastian hukum.

16
Muhammad Tahir Azary, op. cit., hal. 88-89.
17
Sobirin Malian, op. cit., hal. 36.
18
Ibid.

6
Pemikiran ini menyatakan bahwa, suatu undang-undang itu baik kalau dipenuhi
beberapa syarat berikut ini19:
- Undang-undang harus bersifat umum. Umum dalam hal waktu, tempat, subjek
maupun objeknya.
- Undang-undang harus lengkap, yang tersusun dalam suatu kodifikasi
Dalam perkembangannya berlaku umum tidak hanya undang-undang, berbagai
keputusan administrasin negara yang bersifat mengatur seperti peraturan pemerintah,
keputusan presiden dan keputusan menteri juga berlaku secara umum.
Negara hukum rechsstaat memiliki peranan yang melahirkan berbagai peraturan
perundang-undangan yang disebut dengan hukum tertulis. Sehingga harus dilakukan
penafsiran atas karya legislatif tersebut.
Dua orang sarjana Barat yang berjasa dalam pemikiran negara hukum, yaitu
Immanuel Kant dan Friedrich Julius Stahl telah mengemukakan buah pikiran mereka. Kant
memahami negara hukum sebagai nachtwaker staat atau nachtwachterstaat atau “negara
penjaga malam” yang tugasnya menjamin ketertiban dan keamanan masyarakat. Gagasan hu-
kum menurut konsep Kant dinamakan negara hukum liberal.
Konsep rechtsstaat menurut Freidrich Julius Stahl dalam bukunya Constitutional
Government and Democracy: Theory and Practice in Europe and America, seperti dikutip
oleh Miriam Budiardjo, ditandai dengan empat unsur, yaitu adanya:[20]
a. hak-hak asasi manusia;
b. pemisahan atau pembagian kekuasaan un-tuk menjamin hak-hak asasi manusia itu
yang biasa dikenal sebagai Trias Politika;
c. pemerintah berdasarkan peraturan-peratur-an (wetmatigheid van bestuur); dan
d. peradilan administrasi dalam perselisihan.
Gagasan rechtsstaat yang berasal dari Stahl ini dinamakan negara hukum formil,
karena lebih menekankan pada suatu pemerintahan yang berdasarkan undang-undang. Dalam
perkembangannya, pemerintahan yang berdasarkan undang-undang dianggap “lamban”,
karena itu diganti pemerintahan yang berdasarkan hukum atau prinsip rechtmatig bestuur.
Selanjutnya, negara hukum formil menjadi negara hukum materiil dengan ciri rechtmatig

19
Ibid, hal 8
20
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1982, hal. 57-58.

7
bestuur. Kemudian lahirlah konsep-konsep yang merupakan variant dari rechtsstaat itu,
antara lain welvaarstaat dan verzorgingsstaat sebagai negara kemakmuran.[21]
Menurut Scheltema, seperti dikutip oleh Muhammad Tahir Azhary, unsur-unsur
rechtsstaat yaitu:[22]
a. kepastian hukum;
b. persamaan;
c. demokrasi; dan
d. pemerintahan yang melayani kepentingan umum.
Konsep rechtsstaat di Eropa Kontinental sejak semula didasarkan pada filsafat
liberal yang individualistik, maka ciri individualistik itu sangat menonjol dalam pemikiran
negara hukum menurut Eropa Kontinental.[23]

D. Konsep “Rule Of Law”


Di negara-negara Anglo-Saxon berkembang pulasuatu konsep negara hukum yang
semula dipelopori oleh A.V. Diecy dari Inggris, dengan sebutan rule of law.
Konsep rule of law menurut A.V. Diecy dalam bukunya Introduction to the Law of
the Constitution, seperti dikutip oleh Miriam Budiardjo, ditandai dengan tiga unsur, yaitu
adanya: [24]
a. Supremasi hukum (supremacy of law); tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang
(ab-sence of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya dapat dihukum
kalau melanggar hukum;
b. Kedudukan yang sama didepan hukum (equality before the law), baik bagi rakyat
biasa maupun bagi pejabat; dan
c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang dan keputusan-keputusan
pengadilan.
Perbedaan yang menonjol antara konsep rechtsstaat dan rule of law, yaitu pada
peradilan administrasi negara, merupakan suatu sarana yang sangat penting dan sekaligus
pula ciri yang menonjol pada rechtsstaat. Sebaliknya, pada konsep rule of law, peradilan

21
Padmo Wahyono, “Konsep”, op. cit., hal. 2-3.
22
Muhammad Tahir Azhary, op. cit., hal. 90.
23
Padmo Wahjono, “Konsep”, Op.cit., hal.3.
24
Miriam Budiardjo, Op. Cit., hal.3.

8
administrasi tidak diterapkan, karena kepercayaan masyarakat yang demikian besar
kepada peradilan umum. Ciri yang menonjol pada konsep rule of law, yaitu
ditegakkannya hukum yang adil dan tepat atau just law.[25] Karena semua orang
mempunyai kedudukan hukum yang sama dihadapan hukum, maka Ordinary court
dianggap cukup untuk mengadili semua perkara, termasuk perbuatan melanggar hukum
oleh pemerintah.

E. Konsep “Socialist Legality”


Socialist legality yaitu konsep yang dianut di negara-negara komunis atau sosialis,
tampaknya hendak mengimbangi konsep rule of law yang dipelopori oleh negara-negara
Anglo-Saxon. Ada latar belakang politis dalam hubungan dengan dunia intyernasional,
antara lain dengan penyelenggaraan Warsawa Colleqi-um pada tahun 1958 yang dihadiri
oleh sarjana-sarjana dari negara-negara sosialis.[26]
Dapat dipahami, bahwa inti dari socialist legality berbeda dengan konsep Barat,
karena dalam Socialist legality hukum ditempatkan dibawah sosialisme. Selaras dengan
itu, perlu dikemukakan pendapat Jaroszinky, seperti dikutip oleh Oemar Seno Adji, yaitu:
“Hak perseorangan dapat disalurkan kepada prinsip-prinsip sosialisme, meskipun hak
tersebut patut mendapat perlindungan”.[27]
Terdapat hal yang penting dalam kaitannya dengan penelitian ini, yaitu dalam
socialist legality ada suatu jaminan konstitusional tentang propaganda anti agama.
Propaganda tersebut memang merupakan watak dari negara komunis atau sosialis dengan
doktrinnya, agama sebagai candu bagi rakyat. Semua pihak mengetahui, bahwa
komunisme mengajarkan sikap anti Tuhan.
Konsep socialist legality sulit dapat dikatakan sebagai suatu konsep negara hukum
yang bersifat universal. Konsep ini dilihat dari segi kepentingan negara-negara komunis
atau sosialis merupakan konsep yang dipandang sesuai dengan doktrin komunisme atau
sosialisme. Dibandingkan dengan konsep Barat yang bertujuan untuk melindungi
individu sebagai manusia yang bermartabat terhadap tindakan yang sewenang-wenang

25
Padmo Wahjono, “Konsep”, op. cit., hal. 3.
26
Muhammad Tahir Azhary, op. cit., hal. 91.
27
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1980, hal.18.

9
dari pemerintah, maka dalam socialist legality yang terpenting yaitu realisasi sosialisme
itu sendiri.[28]

F. Konsep Negara Hukum Di Indonesia


Sebelum dibahas “Konsep Negara Hukum Indonesia”, perlu dikemukakan pendapat
Scheltema, seperti yang dikutip oleh B. Arief Sidharta, bahwa unsur-unsur dan asas-asas
dasar negara hukum, sebagai berikut :
a. Pengakuan, Penghormatan dan Perlindung-an Hak Asasi Manusia yang Berakar
dalam Penghormatan atas Martabat Manusia (Human Dignity);
b. Asas Kepastian Hukum
Negara hukum bertujuan untuk menjamin bahwa kepastian hukum terwujud dalam
masyarakat. Hukum bertujuan untuk mewujudkan kepastian dalam hubungan antar
manusia, yakni menjamin prediktabilitas dan juga bertujuan untuk mencegah bahwa
hak yang terkuat yang berlaku, beberapa asas yang terkandung dalam asas kepastian
hukum adalah:

➢ Asas legalitas, konstitusionalitas, dan supremasi hukum;


➢ Asas undang-undang menetapkan berbagao perangkat aturan tentang cara
pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan pemerintahan;
➢ Asas non-retroaktif perundang-undangan: sebelum mengikat, undang-undang
harus diumumkan secara layak;

➢ Asas peradilan bebas: obyektif-imparsial dan adil-manusiawi;


➢ Asas non-liquet : hakim tidak boleh menolak perkara yang dihadapkan
kepadanya dengan alasan undang-undang tidak jelas atau tidak ada; dan
➢ Hak asasi manusia harus dirumuskan dan dijamin perlindungannya dalam
undang-undang atau Undang-Undang Dasar.

c. Asas Similia Similibus atau Asas Persamaan.


Dalam negara hukum, pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang tertentu,
harus non-diskriminatif. Aturan hukum berlaku sama untuk setiap orang, karena itu

28
Ibid., hal. 25.

10
harus dirumuskan secara umum dan abstrak. Dua hal penting yang terkandung dalam
asas ini adalah :
➢ Persamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan;
➢ Tuntutan perlakuan yang sama bagi semua warga negara.

d. Asas Demokrasi
Asas demokrasi memberikan suatu cara atau metode pengambilan keputusan. Asas
ini menuntut bahwa tiap orang harus mempunyai kesempatan yang sama untuk
mempengaruhi tindakan pemerintahan. Asas ini diwujudkan lewat sistem repretasi
atau perwakilan rakyat yang mempunyai peranan dalam pembentukan undang-
undang dan kontrol terhadap pemerintah. Beberapa hal penting dalam asas
Demokrasi :

➢ Pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil;
➢ Pemerintah bertanggung jawab dan dapat dimintai pertanggung-jawaban
oleh badan perwakilan rakyat;
➢ Semua warga negara memiliki kemungkinan dan kesempatan yang sama
untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan putusan politik dan
mengontrol pemerintah;
➢ Semua tindakan pemerintahan terbuka bagi kritik dan kajian rasional semua
pihak;
➢ Kebebasan berpendapat atau berkeyakinan dan menyatakan pendapat;
➢ Kebebasan pers dan lalu lintas informasi;
➢ Rancangan undang-undang harus dipublikasikan untuk memungkinkan
partisipasi rakyat secara efektif.

e. Pemerintah dan Pejabat Pemerintah Mengemban Fungsi Pelayanan Masyarakat.


Pemerintah mengemban tugas untuk memajukan kepentingan warga negara, semua
kegiatan pemerintahan harus terarah kesejahteraan umum. Beberapa hal yang
terdapat pada asas ini :
➢ Asas asas umum pemerintahan yang layak;

11
➢ Syarat-syarat fundamental bagi keberadaan manusia yang bermartabat
manusiawi dijamin dan dirumuskan dalam aturan perundang-undangan,
khususnya dalam konstitusi;
➢ Pemerintah harus secara rasional menata tiap tindakannya, memiliki tujuan
yang jelas dan berhasil guna atau doelmatig, jadi harus efisien dan efektif.
Untuk membandingkan, apakah unsur-unsur atau asas-asas dasar negara
hukum di atas dengan “Konsep Negara Hukum di Indonesia”, dapat diuraikan
sebagai berikut.
Unsur pertama, dapat ditemukan di dalam ma-teri muatan Bab XA UUD
1945, mengatur tentang Hak Asasi Manusia, yang dijabarkan dalam ketentuan Pasal
28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28 F, Pasal 28G, Pasal 28H,
Pasal 28I, dan Pasal 28J. Rumusan hak asasi manusia yang terdapat dalam UUD 1945
dapat dibagi dalam beberapa aspek:
➢ hak asasi manusia berkaitan dengan hidup dan kehidupan;
➢ hak asasi manusia berkaitan dengan keluarga; 3. hak asasi manusia berkaitan
dengan pekerjaan;
➢ hak asasi manusia berkaitan dengan kebebasan beragama dan meyakini
kepercayaan;
➢ hak asasi manusia berkaitan dengan kebebasan
➢ bersikap, berpendapat, dan berserikat;
➢ hak asasi manusia berkaitan dengan informasi dan komunikasi;
➢ hak asasi manusia berkaitan dengan rasa aman dan perlindungan dari perlakuan
yang merendahkan derajat dan martabat manusia;
➢ hak asasi manusia berkaitan dengan kesejahteraan sosial;
➢ hak asasi manusia berkaitan dengan persamaan dan keadilan;
➢ hak asasi manusia berkewajiban menghargai hak orang dan pihak lain.
Unsur kedua, ditemukan didalam materi muatan Bab IX UUD 1945,
mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman, yang dijabarkan dalam ketentuan Pasal 24
ayat (1), menjelaskan : “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Ketentuan kekuasaan kehakiman ini telah diatur dalam berbagai undang-undang,

12
seperti Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang-
Undang No. 4 Tahun 2004; juga Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 yang telah
diubah dan ditambah, terakhir oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 2004.
Unsur ketiga, ditemukan di dalam materi muatan Bab X UUD 1945,
mengatur tentang Warga Negara dan Penduduk, yang dijabarkan dalam ketentuan
Pasal 27 ayat (1), menjelaskan: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualian”.
Unsur keempat, ditemukan di dalam: (a) Sila keempat Pancasila, yang
berbunyi: “Kerakyaran yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusya-
waratan/perwakilan; (b) Alinea keempat Pembukaan UUD 1945: … Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat …, dan (c) di dalam materi muatan
Bab I UUD 1945, yang dijabarkan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2), menjelaskan :
“Kedaulatan berada ditangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar”.
Unsur kelima, ditemukan di dalam materi muatan Bab XIV UUD 1945,
mengatur tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, yang dijabarkan
dalam ketentuan Pasal 33, dan khususnya ketentuan Pasal 34 ayat (2), menjelaskan :
“Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan”.
Rechtsstaat atau rule of law di Indonesia diterjemahkan dengan “negara
hukum” ini, pada masa abad ke-19 sampai dengan abad ke-20 disebut sebagai negara
hukum formal dengan ciri-cirinya sendiri. Unsur-unsur utama negara hukum suatu
negara dapat berbeda dengan negara lain. Penyebab perbedaan itu adalah latar
belakang sejarah suatu bangsa, terutama sejarah negara hukum.
Sri Soemantri lebih mempertegaskan lagi mengenai unsur-unsur yang
terpenting dalam negara hukum yang dirinci menjadi empat unsur, yaitu : [29]
➢ bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus
berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;

29
Sri Soemantri M., Bunga Rampai Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1992, hal. 29-30.

13
➢ adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara;
➢ adanya pembagian kekuasaan dalam negara; dan
➢ adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (Rechterlijke Controle).
Sejalan dengan unsur-unsur negara hukum, apabila dihubungkan dengan
negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, dapat ditemukan unsur-unsur negara hukum, yaitu:[30]
➢ adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga negara;
➢ adanya pembagian kekuasaan;
➢ dalam melaksanakan tugas dan kewajiban-nya, pemerintah harus selalu
berdasar atas hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis; dan
➢ adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaanya bersifat
merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah maupun
kekuasaan lainnya.
Sebagai negara yang lahir pada abad modern, Indonesia juga menyatakan diri
sebagai negara hukum. Asas negara hukum yang dianut, banyak dipengaruhi oleh
paham Eropa Konstinental, dan hal itu memang sangat dimengerti mengingat
Indonesia merupakan negara jajahan Belanda. Ketentuan bahwa Indonesia
merupakan negara hukum menurut Dahlan Thaib, dapat dilihat mulai dari
Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan UUD 1945:
➢ Pembukaan UUD 1945 memuat dalam alinea pertama kata “perikeadilan”;
dalam alinea kedua istilah “adil”; serta dalam alinea keempat perkataan: “
keadilan sosial” dan “Kemanusiaan yang adil”. Semua istilah ini
mengindikasikan kepada pengertian negara hukum, karena bukankah salah satu
tujuan negara hukum itu untuk mencapai keadilan.[31]
➢ Dalam Batang Tubuh UUD 1945 rumusan mengenai negara hukum ini dimuat
sangat singkat yaitu : “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum
(rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan berlaka (machsstaat)”. Tetapi dari
rumusan yang singkat ini telah tercermin bahwa negara Indonesia menganut

30
A. Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hal. 18-19.
31
Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Konstitusi, Liberty, Yogyakarta, 2000, hal. 25-26.

14
prinsip-prinsip negara hukum yang umum berlaku seperti dikemukakan
Syahran Basah dengan mengatakan :
“Arti negara hukum tidak terpisahkan dari pilarnya itu sendiri, yaitu paham
kedaulatan hukum. Paham itu adalah ajaran yang me-nyatakan bahwa
kekuasaan tertinggi terletak pada hukum atau tiada kekuasaan lain apapun,
terkecuali kekuasaan hukum semata yang dalam hal ini bersumber pada
Pancasila selaku sumber dari segala sumber hukum ... kemudian, hal di atas itu
dikontradiksikan dan dipisahkan secara tegas antara negara hukum pada satu
pihak dan negara kekuasaan pada pihak lain yang dapat menjelma seperti
dalam bentuk diktator, atau bentuk lainnya semacam iyu, yang tidak
dikehendaki apabila dilaksanakan di persada pertiwi ini”.[32]
Dari uraian ini jelas bahwa secara prinsip Indonesia suatu negara yang
berdasar atas hukum, dan untuk itu dapat dikemukakan dua pemikiran: Pertama,
bahwa kekuasaan tertinggi di dalam negara Indonesia ialah hukum yang dibuat oleh
rakyat melalui wakil-wakilnya di lembaga legislatif. Jadi, suatu kedaulatan hukum
sebagai penjelmaan lebih lanjut dari paham kedaulatan rakyat (Vertretungsorgan des
Willens des Staatsvolkes). Pemikiran kedua, ialah bahwa sistem pemerintahan negara
atau cara-cara pengendalian negara memerlukan kekuasaan (power/ macht) namun
tidak ada suatu kekuasaan pun di Indonesia yang tidak berdasarkan atas hukum95.
Dalam konteks inilah seharusnya hukum di Indonesia itu bersifat supreme.

32
Syahran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Unpad, Bandung, 1986, hal.3.

15
PERTANYAAN

Pertanyaan/Diskusi
1. Apakah konsep negara hukum?
2. Apakah yang dimaksud dengan rechtsaat?
3. Apakah yang dimaksud rule of law?

16
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Abdullah, Ali. 2015. Teori dan Praktik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Pasca
Amandeman. Jakarta: Prenadamedia Group.
Abdullah, Rozali. 2001. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT. Grafindo
Persada.
Arto, Mukti. 2001. Konsepsi Ideal Mahkamah Agung. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Asshiddiqie, Jimmly. 2005. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Cetakan ke-I.
Jakarta: Penerbit Konstitusi Press.
Azhary, Muhammad Tahir. 2003. Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat
dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini.
Jakarta: Prenada Media.
Fachruddin, Irfan. 2004. Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakkan
Pemerintah.Cetakan ke-I. Bandung: Penerbit Alumni.
Gofar, Abdullah. 2014. Teori Dan Praktik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
Palembang: Tunggal Mandiri.
Harahap, Krisna. 2004. Konstitusi Republik Indonesia Sejak Proklamasi Hingga Reformasi.
Bandung: Grafiti Budi Utami.
Harahap, Zairin. 2002. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT. Raja Grafisindo
Persada.
Harahap, Zairin. 2007. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha, Edisi Revisi. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Indroharto. 1991. Usaha Memahami Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Kusumo, Sudikno Marto. 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia. Edisi ke Tujuh. Yogyakarta:
Liberty.
Malian, Sobirin. 2001. Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945. Yogyakarta: UII
Press.

17
Marbun, S.F. 2014. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Layak. Yogyakarta: UII Press.
Mustafa, Bachsan. 2001. Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia. Bandung: Penerbit
PT. Citra Aditya Bakti.
Mustamin Daeng Matutu dkk. 2004. Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di
Indonesia. Yogyakarta: UII Press.
Nasir, M. 2003. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Penerbit Jambatan.
Prodjohamidjojo, Martiman. 2005. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-
Undang Peradilan Tata Usaha Negara 2004. Bogor: Ghalia Indonesia.
Ridwan H.R. 2013. Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Cetakan Kedelapan. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Sinamo, Nomensen. 2016. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Jala Permata
Aksara.
Soeparmono. 2000. Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi. Bandung: Mandar Maju.
Soetami, Siti. 2005. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Bandung: PT. Refika Aditama.
Thalib, Dahlan. 2000. Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Konstitusi. Yogyakarta: Liberty.
Tjandra, Riawan. 2005. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta: Universitas
Atma Jaya.
Tjandra, Riawan. 2010. Teori dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta: Universitas
Atma Jaya.
Wiyono,R. 2014. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT. Sinar Grafika.
Yanto, Nur. 2014. Hukum Acara dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara (Teori dan Praktik
Pengadilan Tata Usaha Negara) di Indonesia. Jakarta: Mitra Wacana Media.

18
Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
Surat Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara Nomor
222/Td/TUN/X/1993

19
Glossarium

Lex specialis : Undang-Undang yang bersifat khusus

Dismissal Process : Rapat Permusyawaratan

Dominus Litis : Asas Hakim Aktif

20

Anda mungkin juga menyukai