Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah Hukum Pidana
Internasional

Dosen pengampu : Dr. Hj. Dede Kania, S.HI.,M.H

Disusun Oleh :

Muhammad Hasjmy Ar-Ronir 1173060057

Novia Listiawati 1173060064

Rifqi Abdurapi 1173060075


Sophia Nurul Zahra 1173060086

Tifa Reggi Nuraeni 1173060092

HUKUM PIDANA ISLAM/IV/B

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
hidayahnya kami dapat menyelesaikan tugas makalah Hukum Pidana Internasional ini yang
berjudul “Kejahatan Terhadap Kemanusiaan”. Tak lupa pula shalawat dan salam kami
panjatkan kepada junjungan alam, Nabi Pembawa Risalah Kebenaran, Nabi besar
Muhammad Saw yang telah membawa kita dari alam kebodohan kelam yang penuh dengan
ilmu pengetahuan.

Kami mengucapakan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu kami
dalam menyelesaikan makalah ini.  Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca pada umumnya dan kami menyadari bahwa dalam  pembuatan makalah ini masih
jauh dari sempurna, untuk itu kami menerima saran  dan kritik yang bersifat membangun
demi perbaikan  kearah yang lebih baik. Atas perhatiannya  kami mengucapkan terima kasih.

Bandung, 22 Februari 2019

Penyusun,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 3
C. Tujuan ............................................................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan................................................... 4


B. Kejahatan terhadap kemanusiaan dan penerapan yurisdiksi universal beberapa
masalah............................................................................................................ 7
C. Ekstradisi atas pelaku kejahatan pada umumnya: beberapa masalah.............. 9
D. Kejahatan terhadap kemanusiaan dan penerapan yurisdiksi universal melalui
mekanisme ekstradisi....................................................................................... 11
E. Proses peradilan atas pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan oleh badan
peradilan international berdasarkan yurisdiksi universal................................ 12

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ..................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... iii

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejumlah perkembangan penting bagi hukum internasional telah terjadi dalam
selang waktu lima tahun dari tahun 1983, perkembangan-perkembangan yang terjadi
pasta tahun 1983 terbagi dalam dua jenis di satu pihak perubahan-perubahan atau
penegasan dengan ditambah penekanan pada kaidah-kaidah yang ada dan di lain pihak,
peristiwa-peristiwa atau praktek-praktek yang membawa pada perubahan-perubahan.
Melalui suatu perspektif keadaan hukum internasional dewasa ini, sistem perwalian
perserikatan bangsa-bangsa berada di ambang kelahirannya, meskipun Dewan
Perwakilan masih bersidang dan dan menerima laporan-laporan dari Amerika Serikat
sebagai satu-satunya Otoritas Administratif wilayah perwalian yang masih tersisa, yaitu
Pacific Island, yang mana masa depan palau masih belum berhasil diselesaikan. Pada
tahun 1986 European communities memperluas dirinya dengan tambahan anggota
Spanyol dan Portugal sehingga anggotanya saat ini adalah dua belas negara, sedangkan
Single European Act yang mengubah secara radikal traktat roma 25 maret 1957 mulai
berlaku pada tahun 1987. implementasi dari Konvensi Hukum Laut 1982 yang telah
disebut di atas telah mulai berjalan secara semestinya melalui penugasan Komisi
Persiapan untuk Pembentukan Otoritas Dasar Laut Internasional dan Pengadilan
Internasional Hukum Laut. Insiden yang banyak diberitakan mengenai penenggelaman
kapal Rainbow Warrior yang dilakukan oleh agen-agen Perancis di perairan wilayah
New Zealand (suatu insiden yang di Perancis dikenal sebagai “I’Affaire Green Peace”)
dan pemerkaraan serta pemidanaan terhadap agen-agen itu oleh pengadilan New Zealand
membuktikan tidak dapat dipertahankan nya doktrin “immunity off attribution” yang
membebaskan agen-agen yang bekerja di bawah perintah satu negara dari proses pidana
dengan jalan pengecualian terhadap kewajiban semua negara untuk tidak melakukan
aktivitas-aktivitas di wilayah negara lain pada masa damai melalui agen-agen atau
petugas-petugas kepolisian atau keamanan mereka. Perjanjian Anglo-Chinese Desember
1984 menurut mana Cina daratan, antara lain, memperoleh kembali kedaulatan teritorial
atas Hong Kong di tahun 1997 memberikan suatu preseden penting tentang
pengembalian bagian wilayah yang telah sekian lama di sewa kepada negara yang
menyewakan. Menyusul ke pelaporan Amerika Serikat pada tahun 1977 dan Inggris pada

1
tahun 1980, beberapa negara (misalnya Australia pada bulan januari 1986) secara resmi
mengumumkan bahwa mereka tidak menekankan lagi proses pengakuan, atau tidak
memberikan pengakuan terhadap pemerintah baru (yang terbentuk melalui revolusi atau
cara-cara lain) dalam kerangka mendukung praktek dilakukannya hubungan-hubungan
resmi dengan pemerintah-pemerintah tersebut, yang dengan cara demikian
memperlihatkan suatu isyarat telah tidak terpakainya lagi lembaga pengakuan de facto di
masa mendatang. Komite Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penggunaan Antariksa
secara Damai (UNCOPOUS) dan Sub-Komite Hukum-nya masih terus memusatkan diri
kepada pengembangan prinsip-prinsip baru hukum antariksa internasional, seperti yang
berkenaan dengan penginderaan jauh, dengan pengurangan kemungkinan
kecelakaan/kerugian yang diakibatkan oleh banyaknya obyek-obyek di antariksa, dengan
komunikasi melalui satelit-satelit buatan. Pemboman wilayah Libya oleh pesawat udara
militer Amerika Serikat pada bulan april 1986 sebagai suatu bentuk pembalasan terhadap
tuduhan aktivitas-aktivitas teroris yang ditujukan langsung terhadap warga negara
Amerika telah menimbulkan masalah kontroversial menyangkut ruang lingkup hak
pembelaan diri menurut hukum internasional dan mengenai penerapan doktrin
“proporsionalitas” yang wajar dari tindakan yang sifatnya pembalasan, yang
menganggap bahwa tindakan demikian sah menurut ketentuan-ketentuan Charter
Perserikatan Bangsa-Bangsa.

2
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan?
2. Bagaimana kejahatan terhadap kemanusiaan dan penerapan yurisdiksi universal
beberapa masalah?
3. Bagaimana ekstradisi atas pelaku kejahatan pada umumnya: beberapa masalah?
4. Bagaimana kejahatan terhadap kemanusiaan dan penerapan yurisdiksi universal
melalui mekanisme ekstradisi?
5. Bagaimana proses peradilan atas pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan oleh badan
peradilan international berdasarkan yurisdiksi universal?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan.
2. Untuk mengetahui kejahatan terhadap kemanusiaan dan penerapan yurisdiksi
universal beberapa masalah.
3. Untuk mengetahui ekstradisi atas pelaku kejahatan pada umumnya: beberapa
masalah.
4. Untuk mengetahui kejahatan terhadap kemanusiaan dan penerapan yurisdiksi
universal melalui mekanisme ekstradisi.
5. Untuk mengetahui proses peradilan atas pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan
oleh badan peradilan international berdasarkan yurisdiksi universal.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kejahatan Terhadap Kemanusiaan


Istilah “Crimes against Humanity” (“Kejahatan terhadap Kemanusiaan”), untuk
pertama kali mulai dikenal dan menjadi hukum internasional positif, setelah Perang
Dunia II, sebagaimana ditegaskan dalam Article 6 dari Charter of the International
Military Tribunal (Mahkamah Militer Internasional) atau yang juga dikenal dengan
London Agreement, August 8, 1945. Pasal 6 tersebut tidak mendefinisikan tentang
kejahatan terhadap kemanusiaaan, melainkan hanya menjabarkan, kejahatan-kejahatan
apa saja yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Tegasnya, yang termasuk ke
dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan adalah
a) Murder (pembunuhan)
b) Extermination (pembasmian/pemusnahan)
c) Enslavement (perbudakan)
d) Deportation (pengusiran)
e) Tindakan-tindakan lain yang tidak manusiawi yang dilakukan terhadap penduduk
sipil, baik sebelum atau selama peperangan
f) Penyiksaan atau penganiayaan yang dilandasi atau dilatarbelakangi oleh faktor-
faktor politik, ras, agama, baik hal itu dilakukan dalam hubungannya dengan
kejahatan terhadap perdamaian atau kejahatan perang.

Tampaknya, masyarakat internasional, khususnya masyarakat bangsa-bangsa atau


negara-negara, seperti trauma terhadap akibat-akibat yang mengerikan dari Perang
Dunia II, sehingga hal-hal yang merupakan penghormatan dan pelindungan terhadap
hak-hak asasi manusia dan kemanusiaan mendapat prioritas dalam pengaturannya pada
aras internasional. Dalam waktu yang begitu lama telah dihasilkan antara lain, Deklarasi
Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia, 10 Desember 1948, Konvensi Genocide
pada tahun 1949, dan setahun kemudian dihasilkan Konvensi Jenewa 1949 tentang
Perlindungan Korban Perang. Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1953 di
kawasan Eropa, Khususnya di Eropah Barat, lahirlah European Convention on Human

4
Rights dan fundamental Freedoms (Konvensi Erofa tentang Hak-Hak Asasi dan
Kebebasan Fundamental Manusia). Demikian pula di kawasan Amerika dan Afrika juga
lahir konvensi-konvensi regional tentang hak-hak asasi manusia. Pada tahun 1966,
Majelis Umum PBB berhasil menyepakati dua instrumen hak-hak asasi manusia, yakni,
Covenant on Civil and Political Right dan Covenant on Economic and Cultural Right.
Selanjutnya, pelbagai instrumen hak-hak asasi manusia baik dalam ruang lingkup global
dan regional, maupun yang bersifat sektoral serta spesifik, mulai bermunculan.

Pada lain pihak, terjadi peperangan, terutama perang-perang lokal, regional


ataupun sub-regional, perang internal seperti perang saudara, juga terus terjadi secara
silih berganti. Demikian pula kejahatan-kejahatan dalam berbagai bentuk dan jenisnya,
baik yang terjadi berhubungan erat dengan peperangan, maupun kejahatan-kejahatan
yang terjadi dalam keadaan normal (bukan keadaan perang), baik yang bersifat nasional
atau domestik maupun internasional atau transnasional, seiring dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, juga semakin banyak bermunculan. Semuanya ini dengan
akibat-akibat yang tidak berbeda dengan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh Perang
Dunia II, yakni tersentuh nya nilai-nilai kemanusiaan universal yang tidak lagi mengenal
batas-batas wilayah negara, perbedaan ras, warna kulit, suku, etnis, agama dan
kepercayaan.

Sebagai konsekuensinya muncullah usaha-usaha untuk


menginternasionalisasikan kejahatan-kejahatan yang bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan universal ini dan mengaturnya dalam bentuk instrumen-instrumen hukum
internasional, seperti perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi internasional.
Masyarakat nasional maupun internasional, mulai mengenal nama-nama kejahatan yang
relatif agak baru, seperti kejahatan terorisme, kejahatan penerbangan, kejahatan terhadap
orang-orang yang memiliki hak hak istimewa dan kekebalan diplomatik atau orang-
orang yang mendapat perlindungan secara internasional, kejahatan terhadap perdamaian
dan keamanan umat manusia, kejahatan menurut hukum internasional, dan lain
sebagainya, di samping kejahatan sejenis yang sudah lebih dahulu dikenal seperti,
kejahatan perang, kejahatan genocide, kejahatan pembajakan di laut dan kejahatan
narkotika.

Sedangkan istilah kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity),


setelah diterapkan dalam proses peradilan para penjahat perang oleh Mahkamah Militer

5
Internasional di Nurenberg 1946 dan Tokyo 1948, selanjutnya berkembang dalam
wacana akademik dalam bentuk karya-karya ilmiah para ahli hukum internasional.
Namun dengan berjalannya waktu, istilah kejahatan terhadap kemanusiaan ini, mulai
memudar untuk beberapa lama dari wacana publik.

Namun dengan terjadinya berbagai peristiwa perang pada masa dasawarsa 70-an,
80-an dan 90-an, seperti perang Vietnam, Timur Tengah, Kamboja, Perang Teluk,
Somalia, Ruwanda dan Burundi, Kongo (Zaire), dan terakhir adalah bekas Yugoslavia,
dengan akibat-akibat yang menyentuh nilai-nilai kemanusiaan, maka kejahatan terhadap
kemanusiaan ini mulai muncul lagi dalam wacana publik. Secara khusus dalam kasus
Ruwanda dan Yugoslavia, untuk mengadili para pelaku kejahatan perang dan kejahatan
terhadap kemanusiaan serta kejahatan genocide, dibentuklah peradilan ad hoc, yakni
International Criminal Court for Ruwanda (Mahkamah Pidana Internasional bagi kasus
Ruwanda) dan Internasional Criminal Court for the former Yugoslavia (Mahkamah
Pidana Internasional bagi kasus bekas Yugoslavia), dan yang terakhir adalah
dibentuknya Mahkamah Pidana Internasional yang berkedudukan di Den Haag (Negeri
Belanda) pada tahun 1998. Kalau Mahkamah Militer Internasional di Nunberg 1946 dan
Tokyo 1948 maupun dua yang belakangan ini bersifat ad hoc Mahkamah Pidana
Internasional di Den Haag bersifat permanen.

Pasal 5 dari Statuta Mahkamah Pidana Internasional (Traktat Roma, 1998)


menegaskan empat jenis kejahatan yang menjadi yurisdiksi dari Mahkamah, yakni
kejahatan perang (war crimes), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against
humanity) kejahatan agresi (crime of agression) dan kejahatan genocide (crime of
genocide). Yang termasuk dalam ruang lingkup kejahatan terhadap kemanusiaan
menurut pasal 7 ini, yakni,

a) Murder (pembunuhan).
b) Extermination (pembasmian/pemusnahan).
c) Enslavement (perbudakan).
d) Deportation or forcible transfer of population (pengusiran atau pemindahan secara
paksa atas penduduk).
e) Penahanan atau penghukuman yang berupa pengurangan kebebasan yang
merupakan pelanggaran atas kaidah hukum yang fundamental (detention or
deprivation of liberty in violation of fundamental legal norms).

6
f) Torture (penyiksaan).
g) Rape or other sexual abuse or enforced prostitution (pemerkosaan atau
penyalahgunaan seksual lainnya atau pemaksaan untuk melakukan prostitusi).
h) Penyiksaan/penganiayaan yang dilakukan terhadap kelompok manusia berdasarkan
alasan politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya atau agama, gender, atau alasan-
alasan lain yang serupa (persecution against any identifiable group or collectivity
on political, racial, national, ethnic, cultural or religious or gender or other similar
grounds).
i) Enforced disapearance of persons (penghilangan secara paksa atas seseorang
individu).
j) Tindakan-tindakan lainnya yang tidak manusiawi atau tidak berperikemanusiaan
atau tindakan-tindakan yang memiliki ciri-ciri yang serupa yang mengakibatkan
penderitaan yang berat atau kerusakan yang serius terhadap badan, mental atau
kesehatan fisik (other inhumane acts of a similar character causing great sufering
or serious injury to body or mental or physical health).

B. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dan Penerapan Yurisdiksi Universal Beberapa


Masalah

Mengingat karakter dari kejahatan kemanusiaan itu yang tidak mengenal batas-
batas wilayah negara, tidak mengenal perbedaan atas dasar ras, agama, suku, etnis, latar
belakang ataupun keyakinan politik disebabkan karena sudah menyentuh nilai-nilai
kemanusiaan universal, maka adalah tepat jika atas kejahatan terhadap kemanusiaan
tersebut diberlakukan yuridiksi universal. Berdasarkan atas yuridiksi universal ini jika
ditinjau dari segi hukum internasional, berarti setiap negara berhak berkuasa ataupun
berwenang untuk mengadili si pelakunya, tanpa memandang siapa pun pelakunya atau
siapapun para korbannya demikian pula tanpa memandang tempat dimanapun peristiwa itu
terjadi serta kapanpun terjadinya. Berkenaan dengan waktu atas kapanpun terjadinya,
berarti yuridiksi universal ini mengesampingkan atas kadaluarsa atau lewat batas waktu
meskipun tampak cukup ideal tetapi dalam prakteknya masih terdapat beberapa masalah
yang membutuhkan pemecahannya.

1. Perjanjian perjanjian internasional pada umumnya, termasuk konvensi-konvensi yang


berkenaan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan, untuk dapat menjadi hukum

7
internasional positif, membutuhkan persetujuan sejumlah minimum tertentu negara-
negara untuk terikat atau yang lebih populer dengan istilah ratifikasi. Semakin banyak
jumlah negara-negara yang meratifikasinya, akan semakin positif bagi eksistensi dari
perjanjian internasional yang bersangkutan. Akan tetapi dalam praktiknya untuk
memenuhi jumlah minimal tertentu negara-negara yang meratifikasinya, tidak jarang
harus dibutuhkan waktu yang cukup lama bahkan bertahun-tahun. Hal ini disebabkan
karena negara-negara memiliki kebebasan, apakah akan menyatakan persetujuannya
untuk terikat atau tidak, dan juga bebas untuk menentukan kapan hendak menyatakan
persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional. Dalam hal ini tampak
bahwa faktor waktu merupakan suatu kendala yang paling awal bagi suatu perjanjian
internasional termasuk Konvensi tentang kejahatan terhadap kemanusiaan, untuk
memperoleh status baru yakni menjadi hukum internasional positif.
2. Jika sudah menjadi hukum internasional positif perjanjian internasional itu hanyalah
mengikat terhadap negara-negara yang sudah menyatakan persetujuannya untuk
terikat atau sudah meratifikasi saja. Negara-negara lain yang belum atau mungkin
menolak untuk meratifikasinya tentulah tidak terikat atau dengan perkataan lain
Mereka berada di luar perjanjian atau konvensi. Jika hanya sedikit negara-negara yang
terikat dan sebagian besar tidak atau belum terikat tentulah secara kuantitatif sudah
mengurangi efektivitas dari perjanjian internasional tersebut. Negara-negara yang
tergolong kelompok  kedua ini sudah tentulah bisa berkilah bahwa dia tidak terikat
pada perjanjian atau Konvensi tersebut karena tidak atau belum meratifikasinya
terutama setelah jika mereka memikul beban atau kewajiban yang bersumber dari
perjanjian atau Konvensi yang bersangkutan.
3. Negara-negara yang sudah meratifikasi nya yang berarti bahwa pada arah
internasional negara-negara itu sudah terikat dan sudah menjadikan perjanjian atau
konvensi itu sebagai bagian dari hukum nasionalnya, masih harus
mentransformasikan atau menjabarkan ketentuan perjanjian atau konvensi tersebut ke
dalam hukum pidana nasionalnya. Hal ini penting oleh karena itu memang ada
perjanjian atau konvensi internasional yang tidak bisa diterapkan secara langsung di
dalam ruang lingkup teritorial negara yang sudah meratifikasi nya yang dalam hal ini
termasuk perjanjian atau Konvensi yang berkenaan dengan kejahatan terhadap
kemanusiaan. Untuk dapat diterapkan terhadap si pelakunya substansi perjanjian atau
konvensi semacam ini harus dijabarkan lagi ke dalam hukum pidana nasionalnya.
Ketentuan hukum atau undang-undang pidana nasional inilah yang dapat diterapkan

8
sebagai hukum nasional positif terhadap si pelakunya. Hal ini penting untuk
ditekankan mengingat berlakunya asas nullum delictum dalam hukum pidana.
4. Apabila terjadi suatu kasus atau peristiwa yang berkenaan dengan kejahatan terhadap
kemanusiaan, baik pada waktu perang maupun pada waktu bukan perang ataupun
ramai, belum tentu negara-negara termasuk negara-negara yang sudah meratifikasi
konvensi dan telah menjadikan transformasinya kedalam hukum atau undang-undang
pidana nasional akan mengambil tindakan nyata misalnya dengan mengadili sendiri
peakunya Hal ini disebabkan karena dalam kasus-kasus semacam ini seringkali faktor
politik sangat berpengaruh bahkan sangat menentukan. Dimensi politiknya kadang-
kadang sangat besar baik dimensi politik internal maupun eksternal atau internasional.
Kendala politik dari penerapan hukum positif nya akan lebih jelas dan tanpa jika
dalam kasus atau peristiwa tersebut terlibat pihak penguasa atau pemegang
kekuasaan.

C. Ekstradisi Atas Pelaku Kejahatan Pada Umumnya: Beberapa Masalah

Berbicara tentang pranata hukum yang bernama ekstradisi, terutama  jika ditinjau
dari segi penghormatan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia, dapat dikatakan,
bahwa ekstradisi adalah merupakan sebuah pranata hukum yang ideal dalam pencegahan
dan pemberantasan kejahatan. Dikatakan sangat ideal, oleh karena ekstradisi ini
menentukan pembatasan yang sangat ketat dan berat dalam proses permintaan dan
penyerahan si pelaku kejahatan atau yang di dalam ekstradisi lebih populer dengan istilah
orang yang diminta. Hak-hak asasi manusia dari orang yang diminta benar-benar
dihormati dan dilindungi. Beberapa bukti dapat dikemukakan untuk mendukung
pernyataan tersebut diatas.

Pertama, betapa ketatnya syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat meminta,
menyerahkan, dan mengadili orang yang diminta atau si pelaku kejahatan yang pada
hakekatnya semuanya itu demi menghormati dan melindungi hak-hak asasi orang yang
bersangkutan. Syarat-syarat tersebut antara lain: kejahatan yang dituduhkan terhadapnya
dan yang dijadikan alasan untuk meminta/menyerahkan, haruslah merupakan kejahatan
atau tindak pidana menutur hukum pidana kedua negara (negara-peminta dan negara-
diminta) atau yang disebut dengan asas kejahatan ganda (double criminality principle);
negara-peminta berjanji bahwa orang yang diminta hanya akan diadili dan atau dihukum
hanya terbatas pada kejahatan yang dijadikan alasan untuk memintanya atau

9
menyerahkannya (asas kehususan/ principle of speciality); si pelaku atau orang yang
diminta tidak akan diserahkan jika kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta
penyerahan tergolong kejahatan politik (asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik/
non extradition of political criminal); si pelaku tidak akan diserahkan jika ternyata orang
yang bersangkutan berkewarganegaraan dari negara-diminta (asas tidak menyerahkan
warganegara sendiri/ non –extradition of national); negara-peminta berjanji bahwa orang
yang diminta/diserahkan itu tidak akan dijatuhi hukuman mati, jika kejahatan yang
dijadikan alasan untuk meminta/menyerahkannya tidak diancam dengan hukuman mati
oleh hukum pidana dari negara-diminta; dan masih banyak lagi persyaratan lainnya yang
terlalu panjang untuk disebutkan satu-persatu.

Kedua, proses atau prosedur untuk memintanya dan menyerahkannya juga tidak
kalah panjang dan birokratisnya. Semuanya ini demi menghormati dan melindungi hak-
hak asasi manusia dari si pelaku atau orang yang diminta. Pertama-tama, negara-peminta
harus mengumpulkan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan orang yang diminta
maupun kejahatan yang dijadikan alasan untuk memintanya, selanjutnya harus
mengevaluasi semua dokumen tersebut apakah sudah mencukupi untuk mengajukan
permintaan atas orang yang bersangkutan kepada negara-diminta, dan apakah semua
persyaratan subtansial seperti pada butir pertama diatas ini telah terpenuhi ataukan tidak.
Jika semua itu telah terpenuhi dan tidak ada keragu-raguan lagi, maka diajukanlan
permintaan ekstradisi kepada negara-diminta, melalui saluran diplomatik. Tegasnya, dari
pemerintah ke pemerintah melalui menteri luar negeri atau duta besar masing-masing
negara. Selanjutnya negara-diminta akan mempertimbangkan permintaan dari negara-
peminta tersebut melaui suatu proses atau prosedur yang berlaku dalam hukum
nasionalnya, misalnya melalui pemeriksaan oleh badan peradilan dari tingkatan yang
paling rendah hingga yang tertinggi. Setelah itu, pihak pemerintah (eksekutif) negara-
diminta akan mengambil keputusan, apakah permintaan negara-peminta akan dikabulkan
ataukan tidak. jika dikabulkan, maka harus ditentukan lagi kapan dan dimana orang yang
diminta itu akan diserahkan, siapa sajakah pejabat pemerintah kedua negara yang akan
menyerahkan dan menerima penyerahannya.

10
D. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dan Penerapan Yurisdiksi Universal Melalui
Mekanisme Ekstradisi

Jika ditinjau dari pengaturnnya di dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi, secara


eksplisit, tampaknya tidak atau belum ada perjanjian-perjanjian ekstradisi bilateral
maupun multilateral yang menegaskan tentang kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai
salah satu jenis kejahatan yang dapat dijadikan alasan untuk meminta penyerahan dan
atau menyerahkan si pelakunya. Yang ada hanyalah jenis-jenis kejahatan yang secara
konvesional dan tradisional sudah diakui dan diatur dalam kuhum pidana nasional
masing-masing negara yang menjadi pihak atau peserta di dalam suatu perjanjian
ekstradisi. Namun, beberapa diantara jenis kejahatan tersebut ada yang merupakan salah
satu atau beberapa diantaranya yang termasuk dalam ruang lingkup kejahatan terhadap
kemanusiaan, seperti pembunuhan (murder) dan perbudakan (enslavement). Akan tetapi,
penegasan tentang kejahatan pembunuhan dan perbudakan ini, yang dimaksudkan adalah
dalam pengertiannya yang konvesional, yakni kriminal biasa, jadi bukan dalam konteks
kejahatan terhadap kemanusiaan. Dengan demikian, yurisdiksinya pun bukan
berdasarkan atas yurisdiksi universal, melainkan yurisdiksi personal atas dasar
kewarganegaraan aktif ataupun pasif.

Khusus berkenaan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan, ada tiga masalah yang
patut dikemukakan disini.

Pertama, jika si pelaku kejahatan tesebut sekaligus juga adalah penguasa atau
merupakan bagian dari pemerintah yang sedang berkuasa (si pelakunya adalah penguasa
itu sendiri), tampaknya akan sangat kecil kemungkinannya pemerintah tersebut akan
mengabullkan permintaan ekstradisi dari pihak atau negara yang memintanya. Akan lain
halnya, jika si pelakunya adalah lawan politik dari pihak penguasa.

Kedua, jika si pelaku melarikan diri ke negara ketiga setelah melakukan kejahatan
terhadap kemanusiaan di negaranya sendiri atau di wilayah negara lain, dia tentu saja
akan memilih negara yang diyakini akan memberikan perlindungan terhadapnya.
Misalnya, seorang yang menganut paham komunisme yang melakukan kejahatan
terhadap kemanusiaan di suatu negara, dia tentu saja akan berusaha melarikan diri ke
negara yang menganut paham komunisme.

11
Ketiga, jika ada negara yang mengajukan permintaan ekstradisi berdasarkan
yurisdiksi universal atas si pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, dia akan berlindung
di balik kejahatan politik. Bahwa kejahatan, tegasnya, kejahatan terhadap kemanusiaan,
yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta penyerahannya, tergolong sebagai
kejahatan politik. Dalam ekstradisi, pelaku kejahatan politik  tidak boleh diserahkan atau
dengan kata lain, permintaan negara-peminta harus ditolak oleh negara-diminta, jika
kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta penyerahannya merupakan kejahatan
politik. Meskipun tentang pengertian dan ruang lingkup dari kejahatan politik tersebut
hingga kini masih belum ada kepastiaanya, dan tampaknya memang tidak dapat
diformulasikan dengan pasti, tetapi dalam prakteknya, yang menetukan apakah kejahatan
yang dijadikan alasan untuk meminta penyerahan oleh negara-peminta tergolong
kejahatan politik ataukah kejahatan biasa, adalah negara-diminta.

E. Proses Peradilan Atas Pelaku Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Oleh Badan


Peradilan International Berdasarkan Yurisdikdi Universal

Upaya untuk mengadili pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan atas dasar


yurisdiksi universal, tampaknya lebih efektip melalui badan peradilan international, baik
badan peradilan yang bersipat ad hoc ataupun permanen. Badan peradilan ad hoc ,
misalnya International Military Tribunal (Nurenberg, 1946) International Military
Tribunal (Tokyo, 1948) International Military Tribunal for the former Yugoslavia
(Denhaag, 1994) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (Arusha Tanzania,
1993). Sedangkan yang bersifat permanen adalah International Criminal Court yang
berkendudukan di Den Haag. Melalui dua belah peradilan ad hoc tersebut telag berhasil
diadili dan dijatuhi hukuman serta beberapa diantaranya masih dalam proses
pemeriksaan, atas diri beberapa orang yang dituduh sebagai pelaku kejahatan perang,
kejahatan, genocide, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Sayangnya, dalam dua badan
peradilan adhoc yang terakhir ini, pelaku-pelaku yang diadili itu sebagiian besar adalah
mereka yang tergolong tingkat bawahan. Itupun disebabkan karena merekalah yang
berhasil ditangkap oleh pasukan NATO ataupun pasukan lawannya. Sedangkan mereka
yang tergolong tingkat pimpinan, seperti Rodovan Karadjzick dan Jendral Radco Mladic,
hingga kini masih dengan aman berada dinegaranya negaranya (Serbia).

12
Persoalannya menjadi lebih rumit, didalam negerinya mereka itu mendapat
dukungan kuat karena memang kepemimpinannya diterima dan dihormati oleh
rakyatnya, bahkan dipandang sebagai pahlawan. Jadi eksistensi orang yang bersangkutan
di dalam negrinya justru sangat kuat, sehingga menjadi lebih sukar lagi untuk
mengajukannya kehadapan badan peradilan adhoc tersebut. Dalam kondisi seperti ini,
sangat mustahil mengharapkan pemerintahan negaranya akan bersedia secara sukarela
menyerahkannya ke hadapan badan peradilan ad hoc tersebut. Kecuali jika terjadi
perubuhan politik dan pemerintahan yang radikal di Negara yang bersangkutan, dimana
penguasa yang lama digulingkan dan pemimpin-pemimpinnya ditangkap atau ditahan
oleh pemerintah baru yang haluan politiknya sangat berbeda dengan pemerintah lama
yang digulingkan tersebut. Itupun jika pemerintah baru tersebut bersedia secara sukarela
menyerahkan orang-orang yang dituduh melakukan kejhatan semacam itu kehadapan
badan peradilan ad hoc itu. Sebaliknya jika tidak bersedia menyerahkannya dan akan
mengadili sendiri berdasarkan hukum(pidana) nasionalnya, sepanjang proses
peradilannya berjalan dengan fair dan tidak memihak, serta diadili berdasarkan prinsip-
prinsip dan kaidah-kaidah hukum nasionalnya yang memenuhi standar-standar nasional,
langkah ini patut disambut dengan baik, sebab dengan demikian, keadilan sudah
ditegakkan.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas tampaklah, bahwa tidak mudah untuk mengadili dan
menghukum pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan ataupun yang berkaitan dengan
nilai-nilai kemanusiaan, baik oleh peradilan (pidana) nasional maupn badan peradilan
pidana internasional meskipun masyarakat internasional sepkat bahwa setiap kejahatan
semacam itu diberlakukan yurisdiksi universal. Kendala-kendala dalam proses
peradilannya terletak pada faktor kedaulatan negara yang termanisfestasikan pada atau
adanya kemauan plitik (political will).

Disamping itu, dimensi dari kejahatan terhadap kemanusiaan juga sangat besar
pengaruhnya terhadap kejahatan semacam itu diberlakukan yuridis universal. Negara-
negara yang dalam wilayahnya dituduh terjadi dalam kejahatan terhadap kemanusiaan,
enggan dan sangat berat hati untuk menerima proses penyelidikan oleh suatu badan atau
komisi internasional ad hoc untuk mengadili si pelakunya yang tidak lain
dariwarganegaranya sendiri.

Mekanisme esktradisi banyak artinya bagi pencegahan dan pemberantasan atas


kejahatan terhadap kemanusiaan, memang sangat ketatnta persyaratan substansial
maupun proseduralnya, meskipun diberlakukan yurisdikasi universal, sebab pada
akhirnya seperti telah dikemukakan di atas, terpulang kembali kepada ada atau tidaknya
kemauan politik dari negara-negara itu yang mengadili sendiri, untuk
mengekstradisikannya kepada negara lain untuk diadili dan atau dijatuhi hukuma oleh
negara bersangkutan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Suraputra, D Sidik. 2004. Hukum Internasional Dan Berbagai Permasalahannya. Jakarta:


Diadit Media.

Starke, J.G. 2010. Pengantar Hukum Internasional 1. Jakarta: Sinar Grafik.

Parthiana I Wayan. 2004. Hukum Internasional Dan Ekstradisi. Bandung: CV. Yrama
Widya.

iii

Anda mungkin juga menyukai