Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH HUKUM INTERNASIONAL

PERBEDAAN PANDANGAN HUKUM


INTERNASIONAL OLEH AUSTIN DAN
OPPENHEIM
DOSEN PENGAMPU: ISTANI, S.H., M.A.P.

DISUSUN OLEH:

DWI TIARA PUTRI TAUN 223030601283


BETTY FETRICIA 223030601286
RUTH NINA DWINATA 223020601242
FETTY HALISA 223030601272
NABILA JUNITA ANGGRENI 223020601252
GARRY ORLANDO MAHAGA 223020602248
RAFAEL KAHANJAK AGINTA T. 223030601278
JHOSEF DENIRO TAMPUBOLON 223030601287
GIOVANRI SIJABAT 223030601253
JOSHUA KAMANANG TUNDJAN 223030601267
RIDHO AZI TAUFIK 223030601274

UNIVERSITAS PALANGKA RAYA


FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan
pada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Perbedaan Pandangan Hukum Internasional Oleh
Austin dan Oppenheim” tepat waktu.

Makalah “Perbedaan Pandangan Hukum Internasional Oleh Austin dan Oppenheim”


disusun guna memenuhi tugas Bapak Istani, S.H., M.A.P. pada mata kuliah Hukum
Internasional di Fakultas Hukum, Universitas Palangka Raya. Selain itu, kami juga berharap
agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang apa isi perbedaan
pandangan John Austin dengan Oppenheim

Kami ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Istani, S.H., M.A.P.
selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Internasional. Tugas yang telah diberikan ini
dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang kami tekuni. Kami juga
mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan
makalah ini.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Palangka Raya, 23 Maret 2023

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG..........................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH......................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. DEFINISI HUKUM INTERNASIONAL.............................................2
B. PENDAPAT JOHN AUSTIN...............................................................3
C. PENDAPAT L.F.L OPPENHEIM........................................................5
D. TANGGAPAN MARTIN DIXON MENGENAI
PERBEDAAN PENDAPAT ANTARA AUSTIN DAN
OPPENHEIM........................................................................................6
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN.....................................................................................9
B. SARAN.................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................10

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Tidak seperti sistem hukum nasional yang memiliki lembaga-lembaga formal seperti
badan legislatif, polisi, jaksa, kepala-kepala pemerintahan baik di pusat maupun daerah
(eksekutif) serta pengadilan yang memiliki yurisdiksi wajib kepada penduduknya, sistem
hukum internasional tidak memiliki semua itu. Hukum internasional tidak memiliki badan
legislatif pembuat aturan hukum, tidak memiliki polisi, jaksa, kepala pemerintahan
sebagai eksekutif bahkan juga tidak memiliki pengadilan yang memiliki yurisdiksi wajib
terhadap negara yang melakukan pelanggaran hukum internasional.

Hukum internasional sangatlah kekurangan institusi-institusi formal, demikian


menurut Martin Dixon. Dengan demikian tidaklah mengherankan apabila banyak pihak
yang meragukan eksistensi hukum internasional. Hukum internasional dikatakan bukan
sebagai hukum sesungguhnya. Menurut John Austin sebagaimana dikutip oleh
Scwarzenberger, hukum internasional hanya layak untuk dikategorikan sebagai positive
morality saja karena tidak memiliki badan legislatif dan sanksinya tidak bisa dipaksakan.
Banyak pihak mengamini pendapat ini apalagi realitas menunjukkan banyaknya
pelanggaran hukum internasional dilakukan seperti oleh Amerika Serikat, juga Israel
tidak pernah ada sanksi.

Apakah hukum internasional itu merupakan hukum yang sesungguhnya? Bagaimana


hukum ini bekerja, mengapa masyarakat internasional mau mentaatinya merupakan
pertanyaan-pertanyaan yang sangat menarik untuk diteliti dan dianalisis secara
mendalam.

Selain digunakan untuk meneliti mengenai kebenaran hukum internasional sebagai


hukum yang sesungguhnyaatau bukan, penulisan makalah ini juga bertujuan untuk
memenuhi tugas “Ujian Tengah Semester” mata kuliah Hukum Internasional yang
diberikan oleh dosen pengampu yaitu Bapak Istani S.H., M.A.P.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu Hukum Internasional?
2. Bagaimana Pendapat John Austin mengenai Hukum Internasional?

1
3. Bagaimana Pendapat Oppenheim mengenai Hukum Internasional?
4. Bagaimana tanggapan Martin Dixon mengenai perbedaan pendapat antara Austin
dan Oppenheim?
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI HUKUM INTERNASIONAL

Hukum internasional, juga dikenal sebagai hukum antar negara, adalah kumpulan
aturan dan prinsip hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara dan subjek-
subjek hukum internasional lainnya di dalam masyarakat internasional.

Dalam konteks hukum internasional, "negara" merujuk pada entitas politik yang
diakui secara internasional dan memiliki kedaulatan di atas wilayahnya dan rakyatnya.
Subjek-subjek hukum internasional lainnya termasuk organisasi internasional, perusahaan
multinasional, dan individu dalam batas-batas tertentu.

Hukum internasional meliputi berbagai bidang hukum seperti hukum perdagangan


internasional, hukum hak asasi manusia internasional, hukum lingkungan internasional,
hukum perang internasional, hukum laut internasional, hukum udara internasional, dan
banyak lagi. Hukum internasional juga memainkan peran penting dalam menentukan
tanggung jawab dan akuntabilitas negara-negara dalam mengatasi masalah global seperti
perubahan iklim, keamanan internasional, dan perlindungan hak asasi manusia.

Salah satu prinsip utama dalam hukum internasional adalah prinsip kedaulatan negara.
Ini berarti bahwa setiap negara memiliki hak dan kewajiban untuk mengatur urusan
internalnya sendiri tanpa campur tangan dari negara lain. Namun, prinsip kedaulatan ini
juga harus diimbangi dengan prinsip tanggung jawab negara. Negara harus bertanggung
jawab atas tindakan mereka terhadap negara lain dan subjek-subjek hukum internasional
lainnya.

Hukum internasional juga mencakup hukum perjanjian internasional, yang merupakan


kesepakatan tertulis antara dua negara atau lebih. Perjanjian ini dapat mencakup berbagai
masalah seperti perdagangan, perlindungan lingkungan, dan hak asasi manusia. Negara-
negara yang menandatangani perjanjian internasional dianggap mengikat oleh ketentuan

2
dalam perjanjian tersebut, dan dapat terlibat dalam proses hukum jika mereka melanggar
perjanjian tersebut.

Selain itu, hukum internasional juga mencakup prinsip-prinsip seperti keadilan,


kesetaraan, dan persahabatan antar negara. Prinsip-prinsip ini bertujuan untuk
menciptakan masyarakat internasional yang damai dan saling menghormati.

Namun, meskipun hukum internasional berfungsi untuk mengatur hubungan antara


negara-negara dan subjek-subjek hukum internasional lainnya, hukum ini tidak selalu
dapat menjamin penyelesaian konflik internasional. Beberapa negara dapat mengabaikan
hukum internasional atau memilih untuk tidak mengikuti ketentuan dalam perjanjian
internasional. Ini menunjukkan bahwa ada tantangan dan keterbatasan dalam
implementasi dan penegakan hukum internasional.

B. PENDAPAT JOHN AUSTIN

John Austin (3 Maret 1790 – 1 Desember 1859) adalah seorang ahli teori hukum
Inggris, yang secara anumerta mempengaruhi hukum Inggris dan Amerika dengan
pendekatan analitis terhadap yurisprudensi dan teori positivisme hukum. Austin
menentang pendekatan tradisional "hukum kodrat", menentang kebutuhan akan hubungan
antara hukum dan moralitas. Sistem hukum manusia, menurutnya, dapat dan harus
dipelajari secara empiris, bebas nilai.

John Austin adalah seorang ahli hukum yang mengemukakan teori Analytical
Jurisprudence. Dari teori inilah Austin berasumsi bahwa hukum internasional bukanlah
hukum yang sesungguhnya. Inti dari ajaran Analytical Jurisprudence adalah Law is a
command (hukum merupakan perintah dari penguasa). Menurut Austin hukum adalah
peraturan-peraturan yang berisi perintah, yang diperuntukkan bagi makhluk yang berakal
dan dibuat oleh makhluk yang berakal yang mempunyai kekuasaan terhadap mereka itu.
Jadi, landasan dari hukum adalah “kekuasaan dari penguasa”. Austin menganggap hukum
sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system),
dimana keputusan-keputusan hukum yang benar/tepat biasanya dapat diperoleh dengan
alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa
memperhatikan nilai-nilai yang baik atau buruk.

3
Kemudian Austin membedakan hukum menjadi tiga, yaitu Hukum yang dibuat
oleh Tuhan untuk manusia (Law set by God to men = Law of God) dan Hukum yang
dibuat oleh manusia untuk manusia (Law set by men to men = Human Law). Lalu dalam
hukum buatan manusia dapat dibedakan dalam;

1). Positive Law atau law strictly, yaitu hukum yang dengan tepat disebut “hukum
positif”, yang dapat berupa:
a. hukum yang dibuat oleh kekuasaan politik yang lebih tinggi untuk orang-orang yang
secara politis merupakan bawahannya. Contohnya adalah undang-undang.
b. peraturan-peraturan yang diadakan oleh orang-orang sebagai pribadi (private
persons) berdasarkan hak-hak yang sah (legal right) yang diberikan kepadanya oleh
penguasa yang lebih tinggi. Contohnya adalah hak-hak yang diberikan kepada wali
(guardian) atas orang yang ada dibawah perwaliannya. Dasar hukum dari hak
tersebut pada hakekatnya didapat secara tidak langsung dari penguasa yang lebih
tinggi yang memberikan hak tersebut kepada si wali.

2). Positive Morality atau law improperly, yaitu hukum yang bukan dalam arti
sebenarnya. Merupakan aturan-aturan yang tidak dibuat oleh seorang penguasa
politik, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang dapat berupa ketentuan-
ketentuan yang dibuat oleh perkumpulan-perkumpulan, peraturan tentang mode, dalil-
dalil tentang ilmu alam, maupun ketentuan-ketentuan yang lazim dinamakan ”hukum
internasional”. Menurut John Austin, hukum internasional bukanlah hukum dalam arti
yang sebenarnya (properly so called), karena tidak memiliki kekuasaan untuk
memaksakan sanksi, melainkan hanya merupakan moralitas positif belaka.
Kesimpulan Austin mengenai ciri hukum internasional atau hukum yang berlaku di
antara bangsa-bangsa dipengaruhi oleh definisi tentang hukum. Sebagai seorang ahli
hukum, Austin tidak terpengaruh oleh ideologi-ideologi politis yang bertentangan

tentang nasionalisme dan internasionalisme. Menurut Austin hukum internasional


bukanlah hukum yang sesungguhnya karena untuk dikatakan sebagai hukum
menurut Austin harus memenuhi dua unsur yaitu ada badan legislatif pembentuk
aturan serta bahwa aturan tersebut dapat dipaksakan. Austin tidak menemukan
kedua unsur ini dalam diri hukum internasional sehingga ia berkesimpulan

4
bahwa hukum internasional belum dapat dikatakan sebagai hukum, baru sekedar
positif morality saja.

C. PENDAPAT OPPENHEIM

Lassa Francis Lawrence Oppenheim (30 Maret 1858 – 7 Oktober 1919) adalah
seorang ahli hukum Jerman. Oppenheim lahir di Windecken dekat Kota Bebas Frankfurt,
Jerman, putra seorang pedagang kuda, dan dididik di Universitas Berlin, Göttingen dan
Heidelberg.

Pada tahun 1881, ia memperoleh gelar Ph.D. Hukum di Universitas Göttingen.


Pada tahun 1883, dia pergi ke Universitas Leipzig, di mana dia menjadi murid Profesor
Hukum Pidana Karl Binding yang terkenal. Pada tahun 1885 ia menyelesaikan
Habilitasinya di Universitas Freiburg dan mengajar hukum pidana di sana sampai ia
pindah ke Universitas Basel pada tahun 1892. Di Basel, Oppenheim masih bekerja di
bidang hukum pidana. Baru setelah dia pindah ke Inggris, dia beralih dari hukum pidana
ke hukum internasional. Dia dianggap oleh banyak orang sebagai bapak disiplin hukum
internasional modern, khususnya mazhab positivis hukum.

Oppenheim adalah seorang pakar hukum yang mengemukakan bahwa hukum


internasional adalah hukum yang sesungguhnya (really law). Ada tiga syarat yang harus
dipenuhi untuk dikatakan sebagai hukum menurut Oppenheim. Ketiga syarat yang
dimaksud adalah adanya aturan hukum, adanya masyarakat, serta adanya jaminan
pelaksanaan dari luar (external power) atas aturan tersebut.

Syarat pertama dapat dengan mudah ditemukan yaitu dengan banyaknya aturan
hukum internasional dalam kehidupan kita sehari-hari, seperti Konvensi Hukum Laut
PBB 1982, Perjanjian internaional tentang bulan dan benda-benda langit lainnya (Space
Treaty 1967), Konvensi mengenai hubungan diplomatik dan konsuler, berbagai konvensi
internasional tentang HAM, tentang perdagangan internasional, tentang lingkungan
internasional, tentang perang, dan lain-lain. Dapat dikatakan sulit kita menemukan aspek
kehidupan yang belum diatur oleh Hukum internasional.

5
Syarat kedua adanya masyarakat internasional juga terpenuhi menurut Oppenheim.
Masyarakat internasional tersebut adalah negara-negara dalam lingkup bilateral,
trilateral, regional maupun universal.

Adapun syarat ketiga adanya jaminan pelaksanaan juga terpenuhi menurut


Oppenheim. Jaminan pelaksanaan dapat berupa sanksi yang datang dari negara lain,
organisasi internasional ataupun pengadilan internasional. Sanksi tersebut dapat
berwujud tuntutan permintaan maaf (satisfaction), ganti rugi (compensation/pecuniary),
serta pemulihan keadaan pada kondisi semula (repartition). Disamping itu ada pula
sanksi yang wujudnya kekerasan seperti pemutusan hubungan diplomatik, embargo,
pembalasan, sampai ke perang.

Meskipun menyatakan bahwa hukum internasional adalah hukum yang


sesungguhnya bukan hanya sekedar moral, Oppenheim mengakui bahwa hukum
internasional adalah hukum yang lemah (weak law). Hukum internasional lemah dalam
hal penegakan hukumnya bukan validitasnya. Hukum internasional terkadang sangat
primitif dan tebang pilih. Hukum dan sanksi hanya dikenakan terhadap negara-negara
kecil yang tidak atau kurang memiliki power juga pengaruh di lingkugan masyarakat
internasional. Ketika Irak menginvasi Kuwait 1990-1991 hukum internasional sangatlah
keras terhadapnya. Masyarakat internasional menyatakan bahwa tindakan tersebut
unlawful bukan immoral atau unacceptable. Berbagai sanksi dijatuhkan pada Irak,
bahkan penjatuhan sanksi itu justru yang melanggar hukum internasional karena tidak
ada kejelasan sampai kapan sanksi akan berlangsung. Lebih dari itu sanksi sangat
mencampuri urusan dalam negeri Irak dan mencabut hak-hak Irak untuk
mengembangkan diri. Demikian halnya dengan Iran, meskipun belum ada bukti bahwa
Iran mengembangkan senjata pemusnah masal dan menurut Iran apa yang dilakukkannya
hanya untuk tujuan damai dan pengembangan ilmu pengetahuan tapi berbagai macam
sanksi sudah diterapkan tehadap Iran.

D. TANGGAPAN MARTIN DIXON TERHADAP PERBEDAAN PENDAPAT


ANTARA AUSTIN DAN OPPENHEIM

Martin Dixon adalah salah satu pakar hukum internasional modern yang setuju
dengan Oppenheim yang menyatakan bahwa hukum internasional adalah hukum yang

6
sesungguhnya bukan hanya sekedar moral. Ada beberapa bukti yang dapat dikemukakan
menurut Dixon:

1. HI banyak dipraktekkan atau diterapkan oleh pejabat-pejabat luar negeri, pegawai


asing (foreign offices), pengadilan nasional, dan organisasiorganisasi internasional.
2. Negara-negara yang melanggar hukum internasional dalam praktek tidak
mengatakan bahwa mereka melanggar hukum karena HI tidak mengikat mereka.
Dalam praktek negara-negara tersebut senantiasa mencari argumen hukum untuk
menjustifikasi apa yang mereka lakukan. Sebagai contoh ketika NATO
memborbardir Serbia, alasan pembenar yang mereka gunakan adalah bahwa tindakan
tersebut dapat dibenarkan oleh HI karena memiliki tujuan kemanusiaan. Contoh lain
adalah Amerika Serikat menjustifikasi agresinya ke Irak 2002 dengan istilah pre-
emptive attack.
3. Mayoritas negara mematuhi hukum internasional. Jumlah pelanggaran yang terjadi
jauh lebih sedikit dibandingkan dengan ketaatan yang terjadi. Ketaatan yang terjadi
tidak pernah dipublikasikan sehingga membentuk opini bahwa hukum internasional
yang ada hanyalah pelanggaran-pelanggaran tanpa sanksi hukum. Apa yang
dipublikasikan oleh berbagai media masa tidaklah mewakili keseluruhan. Hukum
internasionl bukan hanya masalah Amerika, Irak, Israel, dan Palestina saja, dimana
Amerika serta Israel senantiasa melanggar hukum internasional tanpa sanksi apapun.
Hukum internasional sangatlah luas.Adanya pelanggaran tidak dapat digunakan
untuk menarik kesimpulan bahwa HI tidak ada. Demikian halnya, tidak adanya
sanksi sampai saat ini untuk Amerika dan Israel juga tidak dapat dijadikan alasan
untuk mengatakan bahwa HI bukan hukum. Dalam Hukum nasional seperti di
Inggris, dari kasus-kasus kriminal yang ada hanya sekitar 60 % yang ditangani polisi
dan dari 60 % itu tidak semuanya bisa terselesaikan dengan baik. Banyak sekali
kasus-kasus kriminal yang tidak pernah terungkap siapa pelakunya dan tentu saja
tidak ada sanksi bagi si pelaku tersebut. Di Indonesia misalnya berapa banyak kasus
korupsi atau kekerasan yang melibatkan pejabat tinggi atau orang penting di
Indonesia yang tidak diproses atau bahkan dipeti eskan. Meskipun demikian tidak
pernah dikatakan bahwa di Indonesia tidak ada hukum.
4. Adanya lembaga-lembaga penyelesaian hukum seperti arbitrase dan berbagai
pengadilan internasional yang senantiasa menggunakan argumentasi-argumentasi
hukum dalam penyelesaikan sengketa yang ditanganinya.

7
5. Dalam praktek HI dapat diterima dan diadaptasi ke dalam hukum nasional negara-
negara. Tidak ada satu negara pun dalam membuat hukum nasionalnya tanpa melihat
kaedah HI yang ada. Sebagai contoh dapat dikemukakan mengapa Indonesia hanya
menetapkan batas laut teritorialnya 12 mil laut saja? Bukankan bila ditetapkan
sampai 200 atau 500 mil maka wilayah Indonesia akan menjadi lebih luas? Indonesia
tidak dapat menetapkan demikian karena hukum internasional yang ada menentukan
bahwa lebar laut teritorial hanya 12 mil. Bila Indonesia membuat lebih dari itu tidak
akan diakui dan akan diprotes oleh masyarakat internasional. Contoh yang lain
adalah UU Peradilan HAM Indonesia mengadopsi Statuta Roma 1998, UU
Mengenai ZEE Indonesia merupakan implementasi dari Konvensi Hukum Laut
1982, UU tentang Perjanjian Internasional No. 24 Tahun 2000 banyak mengadopsi
Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian, UU Nomor 39 Tahun 1999 banyak
mengadopsi Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik.

Sepakat dengan Oppenheim bahwa HI merupakan hukum yang lemah bila


dibandingkan dengan hukum nasional, Dixon mengemukakan bahwa “lemahnya HI
bukan karena kekuatan mengikatnya tetapi lebih dikarenakan kurang terorganisirnya
masalah pengadilan serta penegakan hukumnya.”

Dari paparan di atas tidak diragukan lagi bahwa HI adalah hukum yang
sesungguhnya. Masyarakat internasional menerima HI sebagai hukum bukan sekedar
kaedah moral belaka. Bilamana HI merupakan kaedah moral belaka maka tidak akan ada
external power atau kekuatan pemaksa dari luar. Dalam kaedah moral (positive morality)
kekuatan pemaksa datang dari kesadaran subyek hukum itu sendiri (internal power),
yakni hati nurani dan kesadaran dirinya sendiri.10 Masalah penegakan hukum yang
lemah harus dipisahkan dengan masalah eksistensi HI itu sendiri. Eksistensi HI tidak
tergantung pada banyak sedikitnya pelanggaran, ada tidaknya lembaga-lembaga tertentu
juga ada tidaknya sanksi, tetapi lebih ditentukan oleh sikap pelaku hukum dalam
masyarakat internasional itu sendiri

8
9
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

John Austin beranggapan bahwa hukum internasional bukanlah hukum yang


sesungguhnya karena hukum internasional belum memenuhi dua unsur yang menurutnya
sangat penting, yaitu badan legislatif pembentuk aturan serta bahwa aturan tersebut dapat
dipaksakan. Sedangkan L.F.L Oppenheim justru malah beranggapan bahwa hukum
internasional adalah hukum yang sesungguhnya karena sudah memenuhi tiga syarat yang
menurutnya sangat penting yaitu adalah adanya aturan hukum, adanya masyarakat, serta
adanya jaminan pelaksanaan dari luar atas aturan tersebut. Ditambah lagi dengan
pernyataan beberapa pakar hukum modern yang setuju dengan pendapat Oppenheim dan
beranggapan bahwa pendapat milik john Austin sudah tidak relevan dengan keadaan
globalisasi disaat ini. Jadi dapat dikatakan bahwa hukum internasional adalah hukum
yang sesungguhnya.

B. SARAN

Hukum internasional adalah hukum sesungguhnya, maka dari itu jangan pernah
meremehkan aturan hukum yang ada di dalamnya, karena untuk mencapai status dimana
hukum adalah hukum yang sesungguhnya cukup rumit. Perlu beberapa pembuktian dari
beberapa pakar hukum ternama.

9
DAFTAR PUSTAKA

Kusumaatmadja, M. (1982). Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Bina Cipta.


Nasution, B. S. (2011, Juni 23). TEORI POSITIVISME HUKUM DAN HUKUM MURNI. Diambil kembali
dari uns.ac.id: https://file.hukum.uns.ac.id/data/RENSI%20file/Data%20Backup/Done%20To
%20BackUp/TEORI%20POSITIVISME%20HUKUM%20DAN%20HUKUM
%20MURNI.doc#:~:text=Menurut%20John%20Austin%2C%20hukum%20internasional,hanya
%20merupakan%20moralitas%20positif%20belaka.
Rasjidi, L. d. (2002). Pengantar Filsafat Hukum. Bandung: Mandar Maju.
Sefriani. (2011). Ketaatan Masyarakat Internasional terhadap Hukum. Jurnal Hukum, 405-427.
Zaki, R. (2017, Maret 25). ANTI-TESIS PEMIKIRAN JOHN AUSTIN DALAM KAJIAN HUKUM
INTERNASIONAL. Diambil kembali dari business-law.binus.ac.id/: https://business-
law.binus.ac.id/2017/03/25/anti-tesis-pemikiran-john-austin-dalam-kajian-hukum-
internasional/

10

Anda mungkin juga menyukai