DISUSUN OLEH:
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan
pada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Perbedaan Pandangan Hukum Internasional Oleh
Austin dan Oppenheim” tepat waktu.
Kami ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Istani, S.H., M.A.P.
selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Internasional. Tugas yang telah diberikan ini
dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang kami tekuni. Kami juga
mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan
makalah ini.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.
Tim Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG..........................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH......................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. DEFINISI HUKUM INTERNASIONAL.............................................2
B. PENDAPAT JOHN AUSTIN...............................................................3
C. PENDAPAT L.F.L OPPENHEIM........................................................5
D. TANGGAPAN MARTIN DIXON MENGENAI
PERBEDAAN PENDAPAT ANTARA AUSTIN DAN
OPPENHEIM........................................................................................6
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN.....................................................................................9
B. SARAN.................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................10
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tidak seperti sistem hukum nasional yang memiliki lembaga-lembaga formal seperti
badan legislatif, polisi, jaksa, kepala-kepala pemerintahan baik di pusat maupun daerah
(eksekutif) serta pengadilan yang memiliki yurisdiksi wajib kepada penduduknya, sistem
hukum internasional tidak memiliki semua itu. Hukum internasional tidak memiliki badan
legislatif pembuat aturan hukum, tidak memiliki polisi, jaksa, kepala pemerintahan
sebagai eksekutif bahkan juga tidak memiliki pengadilan yang memiliki yurisdiksi wajib
terhadap negara yang melakukan pelanggaran hukum internasional.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu Hukum Internasional?
2. Bagaimana Pendapat John Austin mengenai Hukum Internasional?
1
3. Bagaimana Pendapat Oppenheim mengenai Hukum Internasional?
4. Bagaimana tanggapan Martin Dixon mengenai perbedaan pendapat antara Austin
dan Oppenheim?
BAB II
PEMBAHASAN
Hukum internasional, juga dikenal sebagai hukum antar negara, adalah kumpulan
aturan dan prinsip hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara dan subjek-
subjek hukum internasional lainnya di dalam masyarakat internasional.
Dalam konteks hukum internasional, "negara" merujuk pada entitas politik yang
diakui secara internasional dan memiliki kedaulatan di atas wilayahnya dan rakyatnya.
Subjek-subjek hukum internasional lainnya termasuk organisasi internasional, perusahaan
multinasional, dan individu dalam batas-batas tertentu.
Salah satu prinsip utama dalam hukum internasional adalah prinsip kedaulatan negara.
Ini berarti bahwa setiap negara memiliki hak dan kewajiban untuk mengatur urusan
internalnya sendiri tanpa campur tangan dari negara lain. Namun, prinsip kedaulatan ini
juga harus diimbangi dengan prinsip tanggung jawab negara. Negara harus bertanggung
jawab atas tindakan mereka terhadap negara lain dan subjek-subjek hukum internasional
lainnya.
2
dalam perjanjian tersebut, dan dapat terlibat dalam proses hukum jika mereka melanggar
perjanjian tersebut.
John Austin (3 Maret 1790 – 1 Desember 1859) adalah seorang ahli teori hukum
Inggris, yang secara anumerta mempengaruhi hukum Inggris dan Amerika dengan
pendekatan analitis terhadap yurisprudensi dan teori positivisme hukum. Austin
menentang pendekatan tradisional "hukum kodrat", menentang kebutuhan akan hubungan
antara hukum dan moralitas. Sistem hukum manusia, menurutnya, dapat dan harus
dipelajari secara empiris, bebas nilai.
John Austin adalah seorang ahli hukum yang mengemukakan teori Analytical
Jurisprudence. Dari teori inilah Austin berasumsi bahwa hukum internasional bukanlah
hukum yang sesungguhnya. Inti dari ajaran Analytical Jurisprudence adalah Law is a
command (hukum merupakan perintah dari penguasa). Menurut Austin hukum adalah
peraturan-peraturan yang berisi perintah, yang diperuntukkan bagi makhluk yang berakal
dan dibuat oleh makhluk yang berakal yang mempunyai kekuasaan terhadap mereka itu.
Jadi, landasan dari hukum adalah “kekuasaan dari penguasa”. Austin menganggap hukum
sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system),
dimana keputusan-keputusan hukum yang benar/tepat biasanya dapat diperoleh dengan
alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa
memperhatikan nilai-nilai yang baik atau buruk.
3
Kemudian Austin membedakan hukum menjadi tiga, yaitu Hukum yang dibuat
oleh Tuhan untuk manusia (Law set by God to men = Law of God) dan Hukum yang
dibuat oleh manusia untuk manusia (Law set by men to men = Human Law). Lalu dalam
hukum buatan manusia dapat dibedakan dalam;
1). Positive Law atau law strictly, yaitu hukum yang dengan tepat disebut “hukum
positif”, yang dapat berupa:
a. hukum yang dibuat oleh kekuasaan politik yang lebih tinggi untuk orang-orang yang
secara politis merupakan bawahannya. Contohnya adalah undang-undang.
b. peraturan-peraturan yang diadakan oleh orang-orang sebagai pribadi (private
persons) berdasarkan hak-hak yang sah (legal right) yang diberikan kepadanya oleh
penguasa yang lebih tinggi. Contohnya adalah hak-hak yang diberikan kepada wali
(guardian) atas orang yang ada dibawah perwaliannya. Dasar hukum dari hak
tersebut pada hakekatnya didapat secara tidak langsung dari penguasa yang lebih
tinggi yang memberikan hak tersebut kepada si wali.
2). Positive Morality atau law improperly, yaitu hukum yang bukan dalam arti
sebenarnya. Merupakan aturan-aturan yang tidak dibuat oleh seorang penguasa
politik, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang dapat berupa ketentuan-
ketentuan yang dibuat oleh perkumpulan-perkumpulan, peraturan tentang mode, dalil-
dalil tentang ilmu alam, maupun ketentuan-ketentuan yang lazim dinamakan ”hukum
internasional”. Menurut John Austin, hukum internasional bukanlah hukum dalam arti
yang sebenarnya (properly so called), karena tidak memiliki kekuasaan untuk
memaksakan sanksi, melainkan hanya merupakan moralitas positif belaka.
Kesimpulan Austin mengenai ciri hukum internasional atau hukum yang berlaku di
antara bangsa-bangsa dipengaruhi oleh definisi tentang hukum. Sebagai seorang ahli
hukum, Austin tidak terpengaruh oleh ideologi-ideologi politis yang bertentangan
4
bahwa hukum internasional belum dapat dikatakan sebagai hukum, baru sekedar
positif morality saja.
C. PENDAPAT OPPENHEIM
Lassa Francis Lawrence Oppenheim (30 Maret 1858 – 7 Oktober 1919) adalah
seorang ahli hukum Jerman. Oppenheim lahir di Windecken dekat Kota Bebas Frankfurt,
Jerman, putra seorang pedagang kuda, dan dididik di Universitas Berlin, Göttingen dan
Heidelberg.
Syarat pertama dapat dengan mudah ditemukan yaitu dengan banyaknya aturan
hukum internasional dalam kehidupan kita sehari-hari, seperti Konvensi Hukum Laut
PBB 1982, Perjanjian internaional tentang bulan dan benda-benda langit lainnya (Space
Treaty 1967), Konvensi mengenai hubungan diplomatik dan konsuler, berbagai konvensi
internasional tentang HAM, tentang perdagangan internasional, tentang lingkungan
internasional, tentang perang, dan lain-lain. Dapat dikatakan sulit kita menemukan aspek
kehidupan yang belum diatur oleh Hukum internasional.
5
Syarat kedua adanya masyarakat internasional juga terpenuhi menurut Oppenheim.
Masyarakat internasional tersebut adalah negara-negara dalam lingkup bilateral,
trilateral, regional maupun universal.
Martin Dixon adalah salah satu pakar hukum internasional modern yang setuju
dengan Oppenheim yang menyatakan bahwa hukum internasional adalah hukum yang
6
sesungguhnya bukan hanya sekedar moral. Ada beberapa bukti yang dapat dikemukakan
menurut Dixon:
7
5. Dalam praktek HI dapat diterima dan diadaptasi ke dalam hukum nasional negara-
negara. Tidak ada satu negara pun dalam membuat hukum nasionalnya tanpa melihat
kaedah HI yang ada. Sebagai contoh dapat dikemukakan mengapa Indonesia hanya
menetapkan batas laut teritorialnya 12 mil laut saja? Bukankan bila ditetapkan
sampai 200 atau 500 mil maka wilayah Indonesia akan menjadi lebih luas? Indonesia
tidak dapat menetapkan demikian karena hukum internasional yang ada menentukan
bahwa lebar laut teritorial hanya 12 mil. Bila Indonesia membuat lebih dari itu tidak
akan diakui dan akan diprotes oleh masyarakat internasional. Contoh yang lain
adalah UU Peradilan HAM Indonesia mengadopsi Statuta Roma 1998, UU
Mengenai ZEE Indonesia merupakan implementasi dari Konvensi Hukum Laut
1982, UU tentang Perjanjian Internasional No. 24 Tahun 2000 banyak mengadopsi
Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian, UU Nomor 39 Tahun 1999 banyak
mengadopsi Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik.
Dari paparan di atas tidak diragukan lagi bahwa HI adalah hukum yang
sesungguhnya. Masyarakat internasional menerima HI sebagai hukum bukan sekedar
kaedah moral belaka. Bilamana HI merupakan kaedah moral belaka maka tidak akan ada
external power atau kekuatan pemaksa dari luar. Dalam kaedah moral (positive morality)
kekuatan pemaksa datang dari kesadaran subyek hukum itu sendiri (internal power),
yakni hati nurani dan kesadaran dirinya sendiri.10 Masalah penegakan hukum yang
lemah harus dipisahkan dengan masalah eksistensi HI itu sendiri. Eksistensi HI tidak
tergantung pada banyak sedikitnya pelanggaran, ada tidaknya lembaga-lembaga tertentu
juga ada tidaknya sanksi, tetapi lebih ditentukan oleh sikap pelaku hukum dalam
masyarakat internasional itu sendiri
8
9
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
Hukum internasional adalah hukum sesungguhnya, maka dari itu jangan pernah
meremehkan aturan hukum yang ada di dalamnya, karena untuk mencapai status dimana
hukum adalah hukum yang sesungguhnya cukup rumit. Perlu beberapa pembuktian dari
beberapa pakar hukum ternama.
9
DAFTAR PUSTAKA
10