Anda di halaman 1dari 25

HUBUNGAN ANTARA

HUKUM INTERNASIONAL
DAN HUKUM NASIONAL

Dosen: FADLI ANDI NATSIF


BEBERAPA PERMASALAHAN

1. Apakah Hukum Internasional (HI) dan Hukum Nasional (HN)


merupakan satu bagian saja dari sistem hukum yg berlaku
pada umumnya ataukah dua bidang hukum yang masing-
masing berbeda atau masing-masing berdiri sendiri?
2. Manakah yang lebih tinggi dari kedua sistem hukum
tersebut, apakah kedudukan HI lebih tinggi dibanding
dengan HN atau sebaliknya?
3. Dapatkah HI menjelma menjadi HN begitu pun sebaliknya?
Bagaimanakah caranya?
TEORI ATAU ALIRAN MONOISME

 Aliran Monisme (satu paham), penganutnya: Hans Kelsen


 HI dan HN merupakan satu bagian dari sistem hukum pada
umumnya.
 Semua sistem hukum merupakan kesatuan yang mempunyai
kekuatan mengikat. Sistem hukum yang mengikat individu, negara
dan subjek hukum lain sehingga merupakan kesatuan hukum
yang berlaku bagi umat manusia.
 Baik HI mau pun HN sama-sama memilki karakter sebagai hukum.
 Aliran monisme merupakan perwujudan dari ajaran Hukum Alam.
Aliran yang berpandangan bahwa hukum sebagai sesuatu yang
berlaku umum (universal) bagi seluruh umat manusia di dunia.
ALIRAN MONOISME TERBAGI DUA
 Aliran monisme terbagi atas dua golongan, yaitu:
1. Monisme yang mengutamakan HI, beranggapan:
 HI merupakan sumber HN oleh karena itu HI harus lebih diutamakan
dibanding dengan HN.
 Oleh karena HI harus lebih diutamakan dari pada HN, maka HI lebih tinggi
kedudukannya dibanding dengan HN.

2. Monisme yang mengutamakan HN, beranggapan:


 HN merupakan sumber HI atau HI bersumber dari HN, oleh karena HI
merupakan lanjutan dari HN. Artinya HI merupakan aturan yang mengurus
persoalan urusan luar negeri suatu negara (Ingat pendapat Zorn salah
seorang penganut positisme).
 Oleh karena itu kalau terjadi pertautan antara keduanya terhadap
penanganan sebuah kasus, maka HN harus lebih diutamakan atau
didahulukan dibanding dengan HI.
TEORI ATAU ALIRAN DUALISME
Aliran Dualisme (paham yang berbeda):
 Menurut aliran ini, antara HI dan HN masing-masing berdiri sendiri karena
memiliki perbedaan. Ada pun beberapa perbedaan antara HI dan HN sbb:
 Berbeda dari segi subjek hukumnya; kalau HN subjek hukumnya hanya
orang (dalam artian manusia/individu dan badan hukum), sedangkan HI
selain subjek hukumnya negara, juga subjek hukum lain di luar negara
(non-negara, seperti organisasi internasional, individu dalam keadaan
tertentu, dan lain-lain yang termasuk dalam lingkup masyarakat
internasional).
 Berbeda ruang lingkup berlakunya; HI ruang lingkup berlakunya
melampaui batas-batas Negara atau HI berlaku antar-negara,
sedangkan HN berlaku hanya dalam batas-batas wilayah negara yang
bersangkutan
 Berbeda dari segi sumber berlakunya; HI sumber berlakunya
berdasarkan kesepakatan antar-negara atau kesepakatan secara
bersama-sama antara Negara-negara, sedangkan HN sumber
berlakunya hanya tergantung kehendak internal kekuasaan yang ada
dalam negara itu sendiri.
TEORI ATAU ALIRAN DUALISME
 Berbeda sistem kekuasaannya atau kekuatan berlakunya; HI sistem
kekuatan berlakunya tidak terpusat, karena merupakan sistem
hukum yang koordinatif. Kalau HN sistem hukumnya terpusat, karena
merupakan sistem hukum yang sub-ordinat.
 Berbeda kekuatan yurisdiksinya; HI yurisdiksinya tidak memaksa
(compulsory jurisdiction), sedangkan HN memiliki kekuatan yurisdiksi
yang memaksa terhadap subjek hukum yang diaturnya.
 Jadi dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, maka tidak
ada pengutamaan antara keduanya. Oleh karena masing-masing
sistem hukum tersebut berlaku dalam areanya sendiri. Tidak ada yang
lebih utama atau tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah.
 Aliran dualisme merupakan manifestasi dari ajaran Hukum Positif.
Ajaran yang melihat hukum sebagai susuatu yang hidup dan tumbuh
dalam pergaulan hidup manusia, berubah-ubah dari waktu ke waktu,
berbeda di antara hukum di tempat yang satu dengan yang lainnya.
TEORI YANG TIDAK MEMPERTENTANGKAN
ANTARA MONOISME DAN DUALISME

 Aliran/paham selain Monisme dan Dualisme adalah aliran atau


teori yang menganggap bahwa antara HI dan HN tidak perlu
dipertentangkan satu sama lain. Teori ini menjelaskan bahwa
antara HI dengan HN saling pengaruh mempengaruhi dalam
menyelesaikan setiap persoalan hukum dalam masyarakat baik
dalam lingkup nasional mau pun secara internasional.
 Adapun teori itu terbagi atas tiga golongan, yaitu:
1. Teori Transformasi
2. Teori Delegasi
3. Teori Harmonisasi
TEORI TRANSFORMASI

 Agar HI dapat berlaku dan dihormati sebagai norma HN harus melalui


proses transformasi (alih bentuk). Proses alih bentuk ini baik secara formal
dengan cara mengikuti bentuk sesuai dengan hukum atau peraturan
hukum nasional suatu Negara.
 Cara ini dapat dilakukan dengan melakukan ratifikasi (pengesahan)
terhadap HI. Kemudian kalau alih bentuk secara substansial dengan cara
membuat ketentuan UU yang substansi materinya mengadopsi ketentuan
HI. Sebuah contoh bentuk ketentuan HI yaitu perjanjian internasional untuk
menjadi bagian dari HN harus melalui pengalihan bentuk dan substansi
materinya yang sesuai dengan ketentuan dalam HN (UU).
TEORI DELEGASI

Teori ini menjelaskan bahwa implementasi dari HI


diserahkan (didelegasikan) kepada Negara-negara
dengan cara membentuk ketentuan HN sebagai
tindak lanjut atau penerapan dari HI. Oleh karena
itu masing-masing Negara berdasarkan
kedaulatannya berwenang untuk menentukan
keberlakuan HI melalui pembentukan HN
(pelaksanaan yurisdiksi legislatif).
TEORI HARMONISASI

Teori ini menjelaskan bahwa HI dan HN harus diartikan


sebagai dua sistem hukum yang terdapat
keharmonisan di dalamnya. Artinya eksistensi HI dan
HN berada dalam suatu hubungan yang harmonis
dan yang saling melengkapi untuk menyelesaikan
masalah yang timbul dalam masyarakat baik secara
nasional mau pun internasional.
PRAKTIK TIGA NEGARA
(HI menjadi bagian HN dan
Sebaliknya HN menjadi bagian HI
 Kemudian untuk menjawab permasalahan bagaimana praktek Negara-
negara yang berkaitan dengan cara HI menjelma menjadi HN, yaitu:
 Praktek Negara Inggris:
• HI (yang berbentuk hukum kebiasaan internasional (HKI), menganggap:
HKI merupakan bagian dari HN Inggris (international law is a part of the
law of the land). Artinya Inggris hanya menerima HKI sebagai bagian dari
HN jika HKI tersebut tidak bertentangan dengan Hukum Nasional-nya.
Akan tetapi jika terjadi pertentangan antara nilai-nilai HKI dengan HN
Inggris, maka Negara tersebut akan mendahulukan HN-nya.
• Mengenai HI (yang berbentuk hukum perjanjian internasional (HPI),
negara Inggris mengenal dua penggolongan perjanjian internasional,
yaitu:
LANJUTAN PRAKTIK INGGRIS

1. Perjanjian Internasional (PI) yang harus membutuhkan persetujuan


(ratifikasi) parlemen, agar dapat diterima atau masuk menjadi HN.
Bentuk PI seperti ini adalah PI yang sangat penting, misalnya: perjanjian
mengenai garis batas wilayah (tapal batas), masalah HAM.
2. PI yang tidak memerlukan ratifikasi parlemen untuk dapat diterima
sebagai bagian dari HN Inggris. Jenis PI ini dikategorikan tidak terlalu
penting hanya bersifat teknis sehingga langsung diterima menjadi
bagian HN tanpa perlu ratifikasi parlemen Inggris.
PRAKTIK AMERIKA SERIKAT

 Mengenai praktek Amerika terhadap cara HKI menjadi HN hampir sama dengan
praktek Inggris. Hal ini disebabkan sistem hukum Amerika sangat dipengaruhi
oleh sistem hukum Anglo Saxon yang asal mulanya berasal dari hukum Inggris.

 Kalau terhadap HPI, praktek Amerika juga mengenal dua golongan PI:

1. Perjanjian internasional yang tidak berlaku dengan sendirinya (non self


executing treaty). Kategori PI seperti ini harus memperoleh persetujuan
parlemen (Kongres) Amerika agar dapat diterima menjadi bagian HN Amerika.
Ada pun mengenai contoh PI ini sama seperti praktek di Inggris.
2. Perjanjian internasional yang berlaku dengan sendirinya (self executing treaty).
PI seperti ini secara langsung berlaku atau masuk menjadi bagian HN Amerika
tanpa persetujuan Kongres tetapi cukup dengan persetujuan eksekutif saja.
PRAKTEK NEGARA INDONESIA
 Indonesia sebagai negara yang tidak banyak terlibat dalam pembentukan HI (baik hukum
kebiasaan internasional mau pun hukum perjanjian internasional) karena baru merdeka pada
tahun 1945.
 Secara praktis sistem hukum nasional Indonesia masih banyak memberlakukan ketentuan
hukum peninggalan penjajah sehingga Indonesia masih dalam proses pembentukan sistem
hukum nasional agar sesuai dengan nilai-nilai budaya nasional.
1. Hukum Kebiasaan Internasional (HKI):
• Praktek Indonesia terhadap HKI masih belum menampakkan kepastian karena tergantung
juga dengan substansi HKI tersebut apakah sesuai dengan kepentingan Indonesia atau tidak.
• Untuk beberapa hal Indonesia menerima HKI sebagai bagian dari HN, seperti HKI yang
berlaku di laut; contohnya tentang hak lintas damai bagi kapal-kapal asing di laut territorial
Indonesia tetap mengakui dan menghormati pelaksanaan hak lintas damai tersebut. Begitu
pun pelaksanaan prinsip perlakuan sesuai standar minimum menurut hukum internasional
terhadap orang asing yang berada dalam wilayah Indonesia.
• Penghormatan Indonesia terhadap HKI ini nampak di awal-awal kemerdekaan, karena pada
masa itu dapat dimengerti usia kemerdekaan Indonesia masih terbilang muda, belum sempat
mengkaji keberadaan HKI apakah sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia atau tidak.
PRAKTEK NEGARA INDONESIA
• Akan tetapi setelah kurang lebih 13 tahun setelah merdeka (tahun 1958), Indonesia sudah
mulai kritis sehingga sudah ada prinsip-prinsip HKI yang dikesampingkan
pemberlakuannya di Indonesia.
• Seperti ketika Indonesia mengeluarkan UU No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi
Perusahaan-perusahaan Milik Belanda yang berada dalam wilayah Indonesia. Di dalam
UU ini Indonesia nyata-nyata mengeyampingkan prinsip-prinsip HKI mengenai
pembayaran ganti rugi yang sudah dianut oleh masyarakat internasional.
• Dalam proses nasionalisasi harus menerapkan 3 prinsip yaitu: Prompt (prinsip yang
mengharuskan dilakukan pembayaran segera atas objek yang dinasionalisasi,
• Effective (prinsip yang mengharuskan pembayaran dilakukan dengan tepat sasaran
yang dibayarkan kepada pihak yang terkena nasionalisasi),
• Dan prinsip Adequate (pembayaran ganti rugi yang besar dan jumlahnya harus
memadai atau sebanding dengan nilai benda yang dinasionalisasi).
PRAKTEK NEGARA INDONESIA
• Dalam kasus nasionalisasi milik perusahaan Belanda ini Indonesia memperkenalkan prinsip
baru yaitu pembayaran ganti rugi harus disesuaikan dengan kemampuan dari negara
yang menasionalisasi.
• Dengan penerapan prinsip baru ini negara Belanda melakukan gugatan di Pengadilan
Bremen (Jerman), pengadilan tempat barang yang kena nasionalisasi (barang berupa
tembakau itu sementara dalam perjalanan menuju Jerman.
• Pengadilan Bremen dapat memahami dalil-dalil yang diajukan oleh Indonesia, akhirnya
membenarkan penerapan prinsip baru mengenai nasionalisasi yang diajukan oleh
Indonesia.
• Atas putusan ini yang merupakan yurisprudensi dan menjadi sumber hukum internasional
baru yang dapat dijadikan rujukan bagi negara-negara lain dalam kasus yang serupa.
• Begitu pun HKI di bidang hukum laut mengenai lebar laut territorial sejauh 3 mil
berdasarkan aturan lama (Kringen Ordonantie tahun 1939), yang diukur berdasarkan
penarikan garis pangkal normal..
• Aturan 3 mil laut wilayah ini akhirnya setelah Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 tidak
diberlakukan lagi karena berdasarkan prinsip yang diperkenalkan Indonesia yaitu
penarikan garis pangkal lurus dari ujung ke ujung, lebar laut wilayah Indonesia menjadi
12 mil.
PRAKTEK NEGARA INDONESIA
2. Hukum Perjanjian Internasional:
• Mengenai praktek Indonesia terhadap HPI mengalami berbagai perubahan tergantung
sistem pemerintahan dan konstitusi yang berlaku dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
• Pada masa sebelum amandemen UUD 1945 pengaturan tentang pembuatan perjanjian
internasional dengan negara-negara lain masih sangat sedehana. Hal ini dapat dibaca
dalam Pasal 11 UUD 1945 (sebelum amandemen), yaitu: Presiden dengan persetujuan DPR
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Ketentuan
ini belum memberi kejelasan jenis-jenis perjanjian apa yang harus membutuhkan persetujuan
DPR.
• Untuk mengatasi ketidakjelasan aturan konstitusi ini, maka Pemerintah di zaman Soekarno,
pernah mengeluarkan Surat Presiden No. 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960. Isi surat
presiden ini pada intinya menyatakan bahwa tidak setiap perjanjian yang diadakan oleh
pemerintah dengan negara lain harus diajukan kepada DPR untuk mendapat persetujuan.
• Terdapat juga klassifikasi sama seperti dalam praktek negara Inggris dan Amerika, yaitu
perjanjian-perjanjian yang isinya penting seperti hal-hal yang menyangkut politik luar negeri,
kedaulatan harus melalui persetujuan DPR untuk dapat menjadi HN. Kalau perjanjian yang
kurang penting hanya sifatnya teknis tidak perlu mendapat persetujuan DPR cukup
disampaikan ke DPR sekedar diketahui saja.
PRAKTEK NEGARA INDONESIA
• Pengaturan mengenai pembentukan perjanjian internasional semakin jelas setelah
terjadi perubahan (amandemen) UUD 1945.
• Dalam perubahan Pasal 11 UUD 1945 ini sangat jelas dikatakan:
• 1) Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan negara lain;
• 2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat
yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang
harus dengan persetujuan DPR;
• 3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-
undang.
PRAKTEK NEGARA INDONESIA
• Kemudian kalau zaman orde lama tahun 1960, pengaturan tentang perjanjian
internasional hanya melalui Surat Presiden, sekarang Indonesia telah memiliki ketentuan
hukum yang lebih tegas dan kuat kedudukannya yaitu berupa UU.
• Pada tanggal 23 Oktober 2000 Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU No. 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Di dalam UU ini sudah secara tegas dan
rinci mengatur materi-materi perjanjian internasional yang harus memperoleh
persetujuan DPR atau pengesahan perjanjian melalui UU.
• Ada pun materi perjanjian internasional tersebut yaitu yang berkenaan dengan:
masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; perubahan wilayah
atau penetapan batas wilayah; kedaulatan atau hak berdaulat negara; HAM dan
lingkungan hidup; pembentukan kaidah hukum baru; pinjaman dan/atau hibah luar
negeri (Pasal 10 UU No. 24/2000).
• Perjanjian internasional yang materinya selain yang tercantum dalam Pasal 10 tersebut
pengesahannya cukup dengan keputusan presiden. Pemerintah cukup menyampaikan
salinan putusan tersebut kepada DPR (Pasal 11 UU No. 24/2000).
HUKUM NASIONAL (HN) MENJADI
HUKUM INTERNASIONAL (HI)
 Melalui hukum kebiasaan internasional:
• Hukum nasional (HN) suatu negara dapat berkembang menjadi hukum internasional (HI) melalui
proses kebiasaan internasional.
• Artinya HN suatu negara mengenai suatu masalah tertentu apabila diikuti oleh negara-negara
lain yang mengatur masalah tersebut juga kedalam HN-nya, maka menunjukkan adanya
kesamaan prilaku atau tindakan dari negara-negara lain tersebut (memenuhi unsur factual).
• Oleh karena masalah tersebut juga telah dituangkan dalam bentuk HN masing-masing negara,
berarti negara-negara tersebut sudah menerima dan menghormati sebagai norma hukum
Dengan demikian terdapat perasaan hukum atau keadilan yang sama di antara negara-
negara (memenuhi unsur psikologis).
• Sebagai contoh yang dapat menggambarkan HN menjelma menjadi HI (melalui HKI) adalah
pengaturan dari suatu negara tentang masalah kewarganegaraan dengan penerapan asas ius
sanguinis dan ius soli, yaitu asas kewarganegaraan berdasarkan keturunan dan asas
berdasarkan kelahiran di wilayah negara tersebut.
• Jadi penerapan kedua asas ini yang mengatur kewarganegaraan suatu negara sudah menjadi
HKI yang awalnya bersumber dari suatu negara.
HUKUM NASIONAL (HN) MENJADI
HUKUM INTERNASIONAL (HI)
 Melalui Yurisprudensi:
• Berbeda dengan cara masuknya HN menjadi HI melalui HKI yang terjadi secara
damai, kalau melalui yurisprudensi, masuknya HN menjadi HI karena diawali
dengan terjadinya sebuah sengketa.
• Suatu negara yang mengatur suatu masalah dalam HN-nya kemudian
berdampak atau membawa implikasi terhadap negara lain, sehingga negara
lain tersebut yang merasa dirugikan dengan adanya pengaturan masalah itu
dalam HN suatu negara melakukan tindakan menggugat di pengadilan
internasional.
• Tindakan menggugat ini diambil karena tidak berhasil menempuh dengan cara
damai lewat perundingan.
• Apabila peradilan internasional mengambil putusan terhadap masalah
tersebut dan membenarkan tindakan negara sebagaimana dituangkan dalam
HN-nya yang digugat oleh pihak negara lain, berarti putusan tersebut akan
menjadi yurisprudensi.
HUKUM NASIONAL (HN) MENJADI
HUKUM INTERNASIONAL (HI)
• Dengan demikian HN tersebut telah meningkat statusnya menjadi HI melalui
yurisprudensi. Sebagai contoh yang dapat menggambarkan HN menjelma
menjadi HI melalui yurisprudensi ini adalah kasus antara Norwegia dengan
Inggris.
• Sengketa ini berkaitan dengan penerapan garis pangkal lurus yang dilakukan
oleh Norwegia dalam menentukan lebar laut wilayahnya sejauh 4 mil.
• Inggris menggugat bukan persoalan lebar 4 milnya tetapi cara pengukurannya
yang berdasarkan garis pangkal lurus dari ujung ke ujung.
• Mahkamah Internasional memutuskan kasus yang terjadi tahun 1951 ini dengan
memenangkan pihak Norwegia yang menerapkan garis pangkal lurus.
• Pihak Mahkamah Internasional mengatakan tindakan Norwegia tidak
bertentang dengan prinsip-prinsip hukum internasional.
HUKUM NASIONAL (HN) MENJADI
HUKUM INTERNASIONAL (HI)
• Putusan Mahkamah Internasional sebagai yurisprudensi ini dapat dianggap
mengandung nilai hukum internasional baru bagi negara-negara lain,
seperti Indonesia yang akhirnya juga mengeluarkan Deklarasi Djuanda 13
Desember 1957.
• Di dalam deklarasi ini juga menetapkan garis pangkal lurus dari ujung ke
ujung dalam mengukur lebar laut wilayah yang kemudian dikukuhkan
dengan UU No. 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.
• Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Internasional ini pula akhirnya dalam
Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 tetap mencantumkan cara
penentuan lebar laut wilayah suatu negara pantai berdasarkan garis
pangkal lurus yang diukur dari ujung ke ujung pulau-pulau terluar.
HUKUM NASIONAL (HN) MENJADI
HUKUM INTERNASIONAL (HI)
 Melalui Perjanjian Internasional (Konvensi):
• Proses masuknya HN menjadi HI, selain dapat melalui HKI dan yurisprudensi
juga dapat melalui perjanjian internasional (PI).
• Hal ini berarti suatu masalah yang semula diatur dalam HN secara
langsung dapat dikembangkan dalam bentuk PI atau konvensi.
• Hal ini dapat dijelaskan, apabila dalam ketentuan HN terdapat materi
yang mengandung aspek internasional.
• Apalagi kalau materi yang tercantum dalam ketentuan HN itu mendapat
pengakuan dari negara-negara lain sehingga negara-negara tersebut
mengadakan atau membentuk perjanjian-perjanjian bilateral dengan
negara yang mengatur masalah yang memiliki dimensi internasional.
HUKUM NASIONAL (HN) MENJADI
HUKUM INTERNASIONAL (HI)
• Dengan cara seperti ini, maka apa yang semula merupakan norma HN secara
perlahan berkembang menjadi HI, minimal terhadap negara-negara yang
telah menjalin kerjasama dalam bentuk membuat perjanjian bilateral di antara
mereka.
• Apalagi kalau materi HN itu telah menjadi acuan sehingga diadakan konferensi
internasional yang membicarakan masalah yang diatur dalam HN suatu
negara.
• Oleh karena boleh jadi konferensi itu akhirnya menghasilkan sebuah konvensi.
• Sebagai contoh terhadap HN seperti ini yang berkembang menjadi HI adalah
konsep negara kepulauan (archipelago state) yang asal mulanya perjuangan
Indonesia tentang wawasan nusantara dalam Deklarasi Djuanda 1957 yang
kemudian dituangkan dalam UU No. 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai