Anda di halaman 1dari 4

C.

Pewarisan dalam Suku Sasak

Masalah warisan dan pengaturannya menjadi hak mereka. Harta warisan biasanya disebut
pustaka yang mengandung nilai-nilai luhur dan berbentuk seperti tanah, rumah, dan benda-benda
lainnya yang dianggap keramat. Benda-benda keramat itu, antara lain, berupa pakaian, keris, dan
permata. Orang-orang Bali di Lombok juga memiliki pola kekerabatan yang serupa dan disebut
purusa. Garis keturunan mereka berdasarkan pada garis ayah. Seperti pada masyarakat Sasak, pola
pewarisan mereka disebut pusaka.

Hukum waris adat dalam suku ini adalah bahwa telah terjadi pluralisasi dalam hukum waris
di daerah ini. Di dalam Suku Sasak berlaku hukum adat sasak sendiri, hukum Islam, dan hukum
waris yang ditetapkan oleh pengadilan negeri.

Hukum waris adat Sasak, mengharuskan wanita Sasak tidak mempunyai hak untuk
mewaris harta orang tuanya.1 Dalam sebuah struktur masyarakat hukum adat genealogis, terdapat
tiga macam dasar pertalian keturunan yaitu: Pertalian darah menurut garis bapak (patrilineal),
Pertalian darah menurut garis ibu (matrilineal) dan Pertalian darah menurut garis ibu dan bapak
(parental). Hukum Adat Sasak, Suku Sasak menarik garis keturunan dari pihak laki-laki
(patrilineal). Pada kaum bangsawan Suku Sasak, perempuan diberi gelar Baiq dan kaum laki-
lakinya mendapat gelar Lalu. Namun pada masyarakat lapisan bawah baik perempuan maupun
laki-laki tidak mempunyai gelar, namun kaum perempuannya dipanggil Inaq dan laki-laki
dipanggil Amaq.

Masyarakat yang tidak mempunyai lapisan bangsawan contohnya adalah Desa Sade yang
seluruh penduduknya adalah bagian bawah dari masyarakat. Desa Sade adalah suatu desa yang
masih tradisional. Masyarakat Desa Sade sebagian besar beragama Islam. Walaupun beragama
Islam, mereka tetap tunduk pada Hukum Adat Sasak Tradisional. Menurut Hukum Adat di desa
ini wanita tidak menerima warisan dari orang tuanya yang telah meninggal dunia. Pada dasarnya
masyarakat Sasak Desa Sade menganut sistem patrilineal, bahwa garis keturunan ditarik dari
pihak laki-laki atau bapak. Anak perempuan dianggap keluar dari keluarganya dan pindah menjadi
keluarga suaminya, karena ia mengikuti suaminya setelah mereka kawin.

Jika wanita Sasak di Desa Sade menikah, ia tinggal pada keluarga suaminya. Untuk itu ia
boleh membawa barang-barang perhiasan dari emas atau perak berbentuk cincin dijarinya, giwang
atau anting-anting, kalung di lehernya dan gelang yang dipakai pada tangannya. Ia tidak akan
mendapatkan tanah atau rumah. Tanah dan rumah hanya untuk anak laki-laki.

Dalam masyarakat Desa Sade, perkawinan antar keluarga, misalnya, antar saudara misan
atau saudara sepupu menjadi kebiasaan untuk mempertahankan garis keturunan. Pekerjaan di desa
ini adalah bertani yang hasilnya untuk kebutuhan sehari-hari. Disamping itu para wanita
melakukan pekerjaan menenun, misalnya membuat sarung, selendang dan penutup leher untuk

1
Op.cit. M Rezza. Hlm 20.
dijual, dengan alat tenun yang amat sederhana. Wanita-wanitanya mebuat benang dari kapas yang
ditanam di sawah mereka bersama-sama dengan tanaman padi. Sebagian besar dari mereka telah
membeli benang berbagai warna di pasar. Pihak laki-laki mengerjakan sawah mereka. Hasil padi
tidak untuk dijual tetapi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Wanita di Desa Sade, harus kawin
dengan lelaki di desa tersebut. Bila ia kawin dengan laki-laki luar desa, wanita itu harus keluar
dari desa tersebut.

Wanita menenun sarung di Dusun Sade. Begitu juga pihak pria yang kawin dengan wanita
luar desa, ia harus meninggalkan Desa Sade. Belum ada sengketa waris yang dibawa ke pengadilan
sampai saat ini dari desa tersebut.

Wanita dalam masyarakat Sasak tunduk dalam tiga sistem hukum dalam hal waris. Hukum
tersebut adalah hukum adat seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Hukum Islam yang
bersumber pada Al-Quran dan Hadist karena mayoritas Suku Sasak beragama Islam, dan hukum
negara yang bersumber pada putusan hakim Pengadilan Negeri dan dikuatkan oleh Pengadilan
tinggi dan Mahkamah Agung.

Sebagian besar masyarakat Sasak mengikuti hukum Islam yang bersumber dari Al-Quran
dan Hadist. Karena mayoritas Suku Sasak beragama Islam, banyak masyarakat Sasak yang
menggunakan hukum Islam untuk membagi warisan. Hal ini pernah dijelaskan oleh Van den Berg
dan Salmon Keyzer dalam teorinya Receptio in Complexu yang mengungkapkan bahwa adat-
istiadat dan hukum adat suatu golongan hukum masyarakat adalah receptio (penerimaan)
seluruhnya dari agama yang dianut oleh golongan masyarakat itu. Hukum adat suatu golongan
masyarakat adalah penerimaan secara bulat dari hukum agama yang dianut oleh golongan
masyarakat itu. Dalam hal ini, Suku Sasak secara mayoritas beragama Islam dan menggunakan
hukum Islam untuk membagi warisannya.

Dasar penggunaan hukum waris Islam bersumber pada Surat An-Nisa ayat 11 Dalam
bahasa Sasak, bagian wanita dikatakan sebagai “sepersonan” yaitu barang yang dijunjung di atas
kepala perempuan. Bagian laki-laki adalah “sepelembah” atau dua pikulan yang diletakkan di atas
bahu. Maka dikatakan dalam bahasa daerah sasak bagian laki-laki dan wanita adalah “Sapelembah
sepersonan” yaitu dua berbanding satu. Wanita menjunjung satu bakul di kepalanya, sedangkan
laki-laki membawa pikulan di bahunya yang terdiri dari dua bakul keranjang.

Anak laki-laki mendapatkan dua bagian warisan dan perempuan satu bagian mengikuti
sepelembah sepersonan. Jika tidak ada anak laki-laki maka semua warisan tersebut jatuh pada anak
perempuan. Jika anak perempuan lebih dari satu orang, harta warisan dibagi sama diantara mereka.
Warisan tersbut tidak tidak dibagikan kepada saudara laki-laki dari almarhum bapaknya. Bila anak
perempuan hanya satu-satunya semua harta warisan jatuh kepada anak perempuan satu-satunya
tersebut. Untuk membagi warisan, masyarakat menyerahkan segala urusan pembagiannya pada
Tuan Guru, Pemimpin Agama Islam di desa di Sasak. Namun tidak jarang pula sengketa waris
diselesaikan oleh Pengadilan Agama dan diselesaikan dengan Hukum Islam.
Dalam hal ini hukum waris Suku Sasak dibagi menjadi dua untuk memudahkan pemahaman,
yaitu sebagai berikut :

a. Hukum Adat Suku Sasak Kuno


Suku Sasak adat kuno ini pembagian waris menurut dua sumber hukum saja, yakni bersumber
dari hukum islam dan hukum adat sasak sendiri. Hukum Islam dalam hal ini karena memang
masyarakat adat suku sasak banyak penganut hukum islam, maka sering dijumpai dalam
pembagian waris menggunakan hukum islam terkait hal-hal yang berupa materil, namun
seperti yang kita ketahui bahwasanya dalam adat sasak ada juga harta warisan yang tidak
berupa materil dan tidak bisa dibandingkan dengan materil, seperti contoh peninggalan turun
temurun (keris, rumah adat, dan peninggalan-peninggalan dari nenek moyang lainnya ) maka,
biasanya dalam hal ini dirembukkan (sesuai suku sasak) dengan keluarga siapa yang pantas
untuk menerima harta warisan tersebut.

Yang terkait pembagian menurut hukum islam maka, dalam hal ini akan mengenal perbedaan
antara bagian laki-laki atau perempuan sebagaimana hukum islam. Namun dalam hukum adat
suku sasak banyak menggunakan atau penyelesaian sengketa waris dengan kekeluargaan,
dirembukkan dengan keluarga dan apabila tidak selesai secara musyawarah keluarga maka,
akan ditentukan dengan kepala suku sasak sendiri.

b. Hukum adat suku Sasak Modern


Suku sasak modern yang dimaksud yang biasanya didaerah perkotaan, selain itu juga karena
memang suku sasak sendiri sudah mengikuti perkembangan zaman. Modernitas kerap sekali
ditemukan dalam suku sasak perkotaan, tentunya dalam haL pembagian waris.

Pembagian waris adat suku sasak modern menggunakan ketiga sumber hukum yang ada, yaitu
BW, Hukum Islam, dan Hukum adat sasak sendiri.

Namun yang perlu ditekankan disini ialah walaupun hukum adat suku sasak mengikuti
perkembangan zaman atau disebut modern, akan tetapi mayoritas dalam penyelesaian sengketa
waris menggunakan asas kekeluargaan, yakni dimusyawarahkan dalam keluarga terkait
walaupun dimungkin pembagian menggunakan salah satu sumber hukum yang berlaku di
Indonesia.

Singkatnya, walaupun pembagian menggunakan salah satu dari ketigas sumber hukum yang
dikatakan diatas, baik itu suku sasak kuno maupun suku sasak modern dalam penyelesaian
sengketa akan tetap bergantung pada musyawarah keluarga terkait. Namun apabila tidak
selesai maka, akan diserahkan ke pemangku adat (ketua adat), atau bahkan ke meja hijau
“proses peradilan di pengadilan setempat”.
Kesimpulan

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang (masyarakat) dan diwariskan dari generasi ke generasi. Sedangkan kebudayaan
adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Di Indonesia banyak sekali keberagaman
budaya, ras maupun suku, yang masih mempertahankan eksistensi hukum adat salah satunya
adalah Suku Sasak. Masyarakat suku Sasak di pulau Lombok pada umumnya masih
mempertahankan adat istiadat yang telah diwariskan oleh generasi terdahulu secara turun
temurun. Walaupun pada era modern ini suku Sasak masih mempertahankan adat istiadatnya.
Adat istiadat dipertahankan oleh masyarakat, karena memiliki fungsi yang masih diyakini
masyarakatnya. Di daerah lombok secara umum terdapat 3 macam lapisan sosial masyarakat
yaitu: Golongan Ningrat, Golongan Pruangse, dan Golongan Bulu Ketujur (Masyarakat Biasa).

Sistem kekerabatan masyarakat Sasak, pada dasarnya memiliki pola patrilineal, yakni
mengikuti garis keturunan dari ayah. Sistem perkawinan yang dianut oleh suku Sasak lebih
mengarah ke sistem indogami. Bahkan di beberapa tempat, terutama pada masa lampau, sistem
indogami dilaksanakan secara ketat yang kemudian melahirkan kawin paksa dan pengusiran
(istilah sasaknya bolang) terhadap “terutama” anak gadis. Walaupun kecenderungannya
indogami namun sistem eksogami tidak diharamkan oleh adat. Adat perkawinan suku sasak, telah
mengalami distorsi disana sini. Hal ini akibat pengaruh nilai-nilai baru, baik yang berasal dari
agama Islam maupun dari nilai-nilai barat. Salah satu adat istiadat yang terkenal dalam suku Sasak
adalah kawin lari atau yang biasa disebut “Merariq”.

Hukum waris adat dalam suku sasak telah mengalami pluralisasi dalam hukum waris di
daerah ini. Contoh saja dalam hal pewarisan, yang dimana Suku Sasak sebagian ada yang
menggunakan BW dalam permasalahan pewarisan. Di dalam Suku Sasak berlaku hukum adat
sasak sendiri, hukum Islam, dan hukum waris yang ditetapkan oleh pengadilan negeri. Pada
dasarnya masyarakat Sasak menganut sistem patrilineal, bahwa garis keturunan ditarik dari pihak
laki-laki atau bapak. Anak perempuan dianggap keluar dari keluarganya dan pindah menjadi
keluarga suaminya, karena ia mengikuti suaminya setelah mereka kawin Hukum waris adat Sasak,
mengharuskan wanita Sasak tidak mempunyai hak untuk mewaris harta orang tuanya. Namun
seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat suku sasak mengaktualisasikan hukum
adatnya dengan mengikuti era yang terus berkembang.

Anda mungkin juga menyukai