Anda di halaman 1dari 54

ndonesia adalah salah satu negara dengan heterogenitas tertinggi di dunia, berdasarkan

kenyataan negeri ini terdiri dari lebih 14.000 pulau, 570 suku bangsa dengan sistem sosial
budaya yang beraneka ragam. Masing-masing suku bangsa membangun dan mengembangkan
kebudayaannya sendiri melalui berbagai pengalaman sejarah yang dimilikinya dan
kemampuan adaptasinya dengan lingkungan serta melalui pengetahuan yang datang dari
dalam dirinya sendiri.
Koentjaraningrat (1968:146)mengemukakan perwujudan dari suatu lingkungan budaya tidak
dapat dilepaskan dari kehidupan warganya sebagai suatu kesatuan sosial dan kebudayaan.
Manusia-manusia yang hidup bersama dalam satu kesatuan wilayah menampakkan ciri-ciri
(a) cinta wilayah, (2) adanya kepribadian kelompok, (3) warganya yang saling mengenal
dengan frekuensi pergaulan yang relatif besar, (4) tidak memiliki aneka warna yang besar, (5)
warga umumnya dapat menghidupi sebagian besar dari lapangan-lapangan kehidupan yang
ada dalam wilayah itu.
Parsudi Suparlan (1980:20), menjelaskan bahwa dalam melangsungkan kehidupannya
manusia di manapun secara langsung tergantung pada lingkungan alam dan fisik tempatnya
hidup. Hubungan antara manusia dengan lingkungan fisik dan alamnya tidaklah semata-mata
terwujud sebagai suatu hubungan di mana manusia mempengaruhi dan merubah
lingkungannya D. Forde (1963 :463) dalam bukunya Habitat, Economy and Society,
mengemukakan bahwa hubungan antara kegiatan manusia dengan lingkungan alamnya
dijembatani oleh pola-pola kebudayaan yang dipunyai oleh manusia.
Suku bangsa Boti merupakan suatu kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran akan
kesatuan kebudayaan, yaitu kebudayaan Boti. Meskipun demikian, dalam kesatuan
kebudayaan tersebut dijumpai pula adanya sejumlah variasi dan perbedaan kesatuan
kebudayaan yang khas. Berkaitan dengan hal ini Haviland (1988:334) menyatakan bahwa
meskipun kebudayaan merupakan milik masyarakat, namun kerap dijumpai perbedaan-
perbedaan atau variasi-variasi subkultur, yakni seperangkat norma dan pola perilaku budaya
tertentu yang diikuti oleh suatu kelompok dalam masyarakat yang lebih luas.
Pemukiman memiliki karakteristik, yaitu gambaran atau kenampakan tertentu menjadi ciri
khas dari wujud suatu pemukiman. Adanya kenampakan tertentu yang menjadi ciri khas
inilah membedakan antara kelompok pemukiman satu dengan yang lainnya. Karakteristik
pemukiman meliputi tipe pemukiman, serta lingkungan pemukiman.
Parsudi Suparlan (1977:65), mengatakan bahwa manusia sebagai mahluk hidup selalu
berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam interaksi itu manusia mempengaruhi
lingkungannya dan sebaliknya manusia juga dipengaruhi oleh lingkungannya. Melalui proses
interaksi tersebut manusia juga banyak belajar dan memperoleh pengetahuan tentang
lingkungan mereka atau mengembangkan pemikiran yang dapat dipakai sebagai model untuk
melakukan kegiatan dan juga menerangkan kedudukan manusia di alam semesta ini.
Berkenaan dengan interaksi manusia dengan lingkungannya kebudayaan kerap dipandang
sebagai kerangka acuan atau pedoman bagi manusia untuk beradaptasi dengan
lingkungannya, sebagaimana dinyatakan Spredley (1972) bahwa kebudayaan merupakan
kerangka acuan bagi manusia untuk menanggapi lingkungannya, Demikian juga halnya
dengan berbagai suku bangsa yang ada di tanah air.
Adanya variasi-variasi atau perbedaan-perbedaan subkultur yang terdapat dalam kebudayaan
Timor Tengah Selatan (TTS) tidak terlepas dari latar belakang historis masyarakat
pendukungnya. Pola pemukiman yang unik dan khas yang dimiliki oleh berbagai suku bangsa
yang ada di berbagai daerah kiranya perlu untuk dilindungi dan dilestarikan sebagai daya
tarik budaya terutama bagi wisatawan manca negara. Penelitian mengenai pola pemukiman
masyarakat Boti ini dilaksanakan di dusun Boti Dalam Desa Boti, Kecamatan Kie, Kabupaten
Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.
Konsep yang tercakup dalam suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh
kesadaran dan identitas akan ”kesatuan kebudayaan”, sedangkan kesadaran dan identitas tadi
seringkali (tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga. Dengan demikian
”kesatuan kebudayaan” bukan suatu hal yang ditentukan oleh orang luar, melainkan oleh
warga kebudayaan bersangkutan sendiri (Koentjaraningrat, 2000:264). Dalam kenyataan,
konsep ”suku bangsa” lebih kompleks daripada apa yang terurai di atas. Hal ini disebabkan
karena dalam kenyataan batas dari kesatuan manusia yang merasakan diri terikat oleh
keseragaman kebudayaan itu dapat meluas atau menyempit tergantung pada keadaan.
Mengacu pendapat Leibo (1990), dengan tipe pemukiman yang disebut The line Village –
yakni tipe desa dengan pemukiman penduduk bersifat linear. Rumah-rumah penduduk
dibangun berjejer saling berhadapan dengan bentuk dan struktur bangunan yang seragam.
Antara rumah yang satu dengan rumah yang lainnya tidak dipisahkan oleh tembok
penyengker (tembok keliling) yang tinggi, sehingga pemukiman penduduk secara
keseluruhan tampak seolah-olah terdiri dari satu bangunan rumah panjang.
Pola pemukiman mencerminkan pola hubungan antara manusia dengan manusia, dan
manusia dengan lingkungan, serta manusia dengan Sang Maha Pencipta. Hal ini sangat
berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan akan perlindungan, baik nyata dan kepercayaan, serta
pengaruh iklim dan cuaca, kebutuhan akan istirahat, dan kepraktisan pergi ke ladang, dan
lain-lain.
Sehubungan dengan itu, lingkungan alam akan berfungsi sebagai penentu yang akan
menentukan kehidupan berikutnya., diterminisme lingkungan yang melihat bahwa populasi
manusia dengan perkembangan budayanya sangat ditentukan oleh lingkungan alamnya,
secara bertahap sudah mulai ditinggalkan, mengingat dalam kenyataannya yang lebih
berperan dalam lingkungan tersebut adalah manusia.
Meskipun lingkungan dapat mempengaruhi pola-pola kebudayaan dengan menghadirkan
berbagai kendala, akan tetapi lingkungan sendiri tidak akan bisa menciptakan fenomena-
fenomena sosial budaya (Darmika, dalam Purna 2005). Hubungan manusia dipandang
sebagai faktor aktif terhadap lingkungannya. Sebaliknya, lingkungan akan banyak
memberikan kemungkinan terhadap perkembangan kehidupan manusia.
Koentjaraningrat (1990:48), mengatakan bahwa ekologi budaya dapat diartikan sebagai
pengaruh timbal balik lingkungan alam yang telah diubah oleh kebudayaan manusia pada
suatu lokasi tertentu di muka bumi. Berkenaan dengan itu dapat dikatakan bahwa kebudayaan
merupakan suatu proses adaptasi dari manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Demikian juga sebaliknya keberadaan suatu lingkungan akan dapat mendorong manusia
untuk menciptakan kebudayaan.
Pendekatan tentang adaptasi manusia terhadap lingkungannya, juga dikemukakan oleh
Soemarwoto (1997:48), di mana menurutnya dinyatakan adanya perubahan lingkungan
terhadap lingkungan baik yang terjadi dengan cepat maupun lambat orang akan berusaha
mengadaptasikan dirinya dengan perubahan itu, kendatipun adakalanya orang tidak berhasil
mengadaptasi perubahan itu sebagai menghasilkan sifat (prilaku) yang tidak sesuai dengan
lingkungannya. Jadi apabila lingkungan mengalami perubahan secara langsung maupun tidak
langsung akan mempengaruhi penghuninya baik manusia maupun binatang.
Dalam tulisan ini pendekatan ekologi budaya akan dipergunakan untuk menelaah tentang
adaptasi dengan lingkungan yang berubah, sehingga tetap dapat bertahan hidup dengan
teknologi atau cara yang dimiliki. Demikian juga sebaliknya dalam pendekatan ini juga akan
digunakan untuk menelaah tempat ataupun hutan dan bukit dalam membentuk pola tindakan
dari suatu masyarakat. Karena itu kesepakatan –kesepakatan masyarakat sebagai general
agreement perlu didukung oleh kemampuan adaptasi manusia terhadap lingkungan yang
berubah sehingga tetap dapat bertahan hidup dengan teknologi atau pengetahuan lokal yang
dimilikinya. Demikian juga dalam menelaah peranan lingkungan sekitarnya, baik berupa air,
tanah maupun tumbuh-tumbuhan yang ikut membentuk pola tindakan dari masyarakat Boti,
seperti halnya dalam tindakan mempertahankan keberadaan sumber air dan mencegah
terjadinya erosi di tempat tinggalnya di daerah lereng bukit.
Boti adalah nama salah satu desa di Kecamatan Kie, Kabupaten Timur Tengah Selatan Nusa
Tenggara Timur. Di desa ini bermukim suku asli yang hingga kini masih tetap
mempertahankan tradisi nenek moyangnya, terletak pada ketinggian 1500 di atas permukaan
air laut. Orbitasi Desa Boti terletak lebih kurang 12 km dari kota Kecamatan Kie dan 60 km
ke arah timur dari kota Soe ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan dan dapat dijangkau
dalam waktu 2,5 jam sampai 3 jam dengan kendaraan roda empat maupun roda dua, dan 174
km dari kota Kupang ibukota Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Secara administratif Boti berbatasan dengan desa Oenlasi dan Nafi di di sebelah utara, desa
Belek dan Neilmesek di sebelah timur, desa Aonobenak dan Babui di sebelah selatan dan di
bagian barat dengan desa Naekpumek dan desa Baki. Desa Boti yang terletak di lereng bukit
dengan kondisi tanah yang berbatu memiliki sektor pertanian lahan kering atau petani ladang
sebagai sektor utama dan beternak dalam sekala kecil. Produksi hasil pertanian mereka cukup
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari terutama jagung yang merupakan makanan
pokok masyarakat Boti. Jumlah penduduk Desa Boti berdasarkan profil desa Boti 2006
adalah 2.135 jiwa terdiri atas 1035 jiwa laki-laki dan 1100 jiwa perempuan atau terdiri dari
519 Kepala Keluarga.
Dalam pendidikan penduduk masyarakat Desa Boti belum begitu maju, karena sebagian besar
penduduk khususnya Boti Dalam dengan tradisi kuno melarang keturunannya untuk
bersekolah, kalaupun mereka bersekolah hanya pada tingkat sekolah dasar dan sekolah
lanjutan pertama, hanya beberapa orang saja yang tamat sampai ke sekolah lanjutan tingkat
atas. Mengenai saran pendidikan yang ada di Desa Boti terdiri dari tiga sekolah dasar ( SD )
SD Negeri 1 Boti , SD Inpres dan SD Gemit yaitru sebuah sekolah dasar yayasan gereja
Protestan Boti.
Kondisi alam Desa Boti yang terdiri dari pegunungan dan perbukitan dengan struktur tanah
yang miring dengan kesuburan yang rendah, penduduk dituntut untuk bisa beradaptasi
dengan alam. Hal ini dapat dijumpai dari sistem mata pencaharian penduduk yang umumnya
bermata pencaharian bertani dengan sistem berkebun dan berladang pada lereng-lereng bukit
dan pegunungan.
Di samping bertani masyarakat suku Boti juga mengusahakan berbagai jenis ternak dalam
upaya menambah penghasilan. Terna-ternak yang dipelihara seperti sapi, babi, dan ayam.
Hewan-hewan ini biasanya untuk dijual atau dikonsumsi sendiri. Di Desa Boti juga
berkembang pengrajin-pengrajin kecil khususnya kerajinan tenun sebagai pekerjaan
sampingan.

PEMBAHASAN
A. Sistem Religi
Kepercayaan (religi) masyarakat adalah paham yang bersifat dogmatis, terjalin dalam adat
istiadat hidup sehari-hari dari berbagai suku bangsa yang mempercayai apa saja yang
dipercayai oleh nenek moyangnya. Berbagai kebudayaan yang ada di muka bumi ini
menganut kepercayaan bahwa dunia gaib dihuni oleh berbagai mahluk dan kekuatan yang
tidak bisa dikuasai oleh manusia dengan cara-cara biasa. Karena itu dunia gaib biasanya
ditakuti manusia (Koentjaraningrat, 1998: 203 ).
Masyarakat suku Boti Dalam sesungguhnya menganut sistem kepercayaan yang pada
hakekatnya juga mengenal bahkan meyakini bahwa hidup ini diatur oleh tiga kekuatan seperti
: Uis Neno, Uis Pah dan roh arwah leluhur ( Nitu ). Mereka sangat teguh mempertahankan
dan melaksanakan aliran kepercayaan yang diwariskan oleh nenek moyangnya atau
leluhurnya. Kepercayaan mereka diwujudkan dengan berbagai upacara adat yang masih
terjaga dan terpelihara di daerah tersebut. Di sekeliling mereka hidup masyarakat lain yang
sudah menganut agama Kristen (Protestan dan Katolik). Meskipun demikian, warga suku
Boti di daerah ini masih setia dengan aliran yang dianut oleh para leluhur mereka. Meskipun
berbeda aliran kepercayaan, namun dalam kehidupan sehari-hari warga dusun Boti Dalam ini
menjunjung tinggi sikap toleransi, antara warga suku Boti Dalam dengan kepercayaan asli
dengan warga masyarakat Boti yang sudah menganut agama.
Sesuai dengan ajarannya, warga suku Boti percaya bahwa apa yang dibuat manusia selama
manusia hidup di dunia akan ikut menentukan jalan hidupnya di akhirat nanti. Sikap hidup
baik dan benar semasa di dunia akan menuntun manusia kepada kehidupan yang kekal.
Dalam kehidupan sehari-hari warga suku Boti yang masih teguh dengan ajaran leluhurnya,
selalu dituntun oleh kepala sukunya agar selalu berbuat baik terhadap sesama, terhadap
lingkungannya dengan menjaga, merawat dan melestarikan hutan yang semuanya itu
merupakan suatu persembahan yang mulia kepada Uis Pah dan Uis Neno. Mereka yakin
bahwa dengan begitu akan memperoleh pahala dari Sang Pencipta berupa berkat,
perlindungan dan keselamatan, atau malah sebaliknya mendapat murka jika mereka berbuat
jahat.

B. Adat dan Budaya


Budhi Santoso dalam Mone Kaka (2007:104), mengemukakan bahwa kehidupan suatu
masyarakat secara garis besar mematuhi seperangkat tata tertib yang disebut adat istiadat.
Kenyataannya adat istiadat merupakan cita-cita, norma-norma, pendirian dan sebagainya
yang mengatur tingkah laku manusia. Dalam pengendalian sosial (social control) tercakup
pengetahuan teknis dan empiris yang memungkinkan orang menanggapi lingkungan dalam
arti luas secara efektif. Di samping pengetahuan empiris, tidak kalah pentingnya unsur non
empiris yang seringkali dilandasi emosi yang kuat, yang mengatur tingkah laku keagamaan
serta dikaitkan dengan dunia gaib. Pengetahuan empiris dan non empiris tersebut tertuang
dalam etika, hukum, moral dan mitologi yang memperkuat dorongan atau larangan bagi
orang untuk berbuat sesuatu. Boleh dikatakan bahwa pengendalian sosial merupakan faktor
penertiban dalam suatu komunitas. Salah satu cara pengendalian sosial yang bermakna bagi
kearifan lokal pada masyarakat Boti adalah sanksi yang dijatuhkan terhadap seseorang yang
melakukan pelanggaran terhadap norma adat, misalnya kasus tindak kejahatan pencurian.
Jika seseorang melakukan pencurian ternak, hasil kebun atau harta benda lainnya, maka
sanksinya bukan dengan hukuman fisik apalagi diproses secara hukum. Dalam hal pemberian
sanksi kepada pelaku pencurian, para tetua adat suku Boti Dalam sangat menjunjung tinggi
aturan adat dan ajaran kepercayaan mereka bahwa kejahatan jangan dibalas dengan
kejahatan. Dalam penyelesaian kasus tindak kejahatan pencurian, justru pelakunya sangat
”diuntungkan”. Pelaku malah diberikan harta berlipat ganda oleh tua-tua adat sesuai dengan
jenis barang atau harta yang diambil oleh pelaku.
Menurut pemahaman masyarakat suku Boti Dalam berdasarkan aturan adat dan ajaran
kepercayaan bahwa kejahatan jangan dibalas kejahatan dalam arti bila seorang manusia
membuat pelanggaran karena secara terpaksa dan bukan dari niat pelakunya, tidak diberikan
sanksi kurungan atau denda secara adat sebagaimana lazimnya dalam adat istiadat lainnya.
Filosofinya adalah jangan memperlakukan sesama yang sudah dalam kesulitan bertambah
sulit. Tapi berilah ”Roh Kepercayaan” dan semangat baru, agar pelaku kejahatan dapat
memenuhi kebutuhan sendiri dan tidak mengulangi lagi perbuatan yang salah. Apabila
seseorang mencuri satu ekor ayam, oleh tua-tua adat atau masyarakat suku Boti Dalam, akan
memberikan beberapa ekor ayam kepada pelakunya. Atau bagi yang melakukan pencurian
pisang, maka warga suku Boti Dalam secara bergotong royong menanam anakan pisang di
kebun pelaku sehingga dapat memberikan efek jera bagi yang melakukan pencurian.
Atas dasar pengalaman tersebut, hingga kini orang-orang yang berasal dari luar suku Boti
menjadi jera dan tidak pernah lagi melakukan pencurian terhadap masyarakat suku Boti
Dalam.
a. Adat Perkawinan
Bagi warga masyarakat Boti Dalam, adat kawin mawin atau perkawinan secara adat hanya
berlangsung di lingkungan sesama sukunya. Bila ada pria (laki-laki) dari luar suku Boti
Dalam yang jatuh hati dengan wanita asli suku Boti Dalam dan bila berniat untuk
memperistrinya, maka pria tersebut harus berjanji bahwa ia bersedia mengikuti tradisi Suku
Boti Dalam. Demikian juga sebaliknya, bila terjadi ada gadis suku Boti Dalam menjalin
hubungan dengan laki-laki diluar sukunya, maka dia hanya diperkenankan menetap di
kampung adat Boti Dalam, apabila pria idamannya itu ikhlas untuk mengikuti adat istiadat
suku Boti Dalam dan tinggal dalam lingkungan suku Boti Dalam.
Adat perkawinan suku Boti Dalam terdiri dari beberapa tahapan yang membutuhkan proses
waktu 3 tahun lamanya, mulai dari proses melamar (masuk minta) hidup berkeluarga, sampai
dengan peresmian adat setelah 3 tahun, kedua anak manusia tersebut tinggal serumah.
b. Masuk Minta
Untuk memperoleh seorang istri yang akan mendampingi hidupnya dalam rumah tangga,
pertama-tama keluarga anak laki-laki yang diwakili seorang tetua adat, menghadap orang tua
si gadis. Setelah kedua belah pihak saling melakukan tegur sapa, maka keluarga anak laki-
laki segera mengutarakan isi hatinya menurut tutur adat setempat, bahwa kehadiran mereka
untuk mencari tahu, apakah anak gadisnya sudah mempunyai calon suami atau belum.
Jika jawaban yang diperoleh, ternyata si gadis telah dilamar orang, maka pembicaraan lebih
lanjut tidak dapat diteruskan. Namun apabila jawabannya belum ada yang melamar atau
belum mempunyai jodoh, maka pada saat itu juga keluarga laki-laki akan menyampaikan
maksudnya bahwa kedatangan mereka itu untuk melamar anak gadisnya.
c. Ikatan Adat
Apabila orang tua si gadis menerima lamarannya, maka acara berikutnya adalah pihak
keluarga laki-laki menyerahkan syarat adat sebagai ikatan berupa 1 botol gula air (minuman
tradisional yang berasal dari pohon nira) disertai 1 keping uang logam perak bernilai 25
rupiah atau 50 rupaih. Hanya inilah persyaratan adat yang diserahkan kepada keluarga
perempuan.
Setelah menyerahkan syarat adat tersebut, maka orang tua si gadis dengan rela hati akan
menyerahkan anaknya tinggal serumah dengan laki-laki yang melamarnya. Namun
sebelumnya kepada pasangan baru yang akan mengarungi bahtera rumah tangga, diberikan
nasehat khusus oleh orang tua mereka masing-masing, yang intinya sama yaitu agar mereka
bahu membahu bekerja keras memeras keringat mengolah hidupnya sehingga kelak dapat
menjadi manusia yang berguna. Kepada mereka juga diingatkan agar mematuhi aturan adat,
selalu berbuat baik kepada sesama, menjaga dan merawat lingkungan alam sekitar, tidak
merusak hutan atau membunuh binatang yang ada di dalamnya, hemat dalam hidup,
menabung bila ada kelebihan apabila ada kesulitan sudah ada persediaan
d. Tinggal Serumah
Setelah mendapat restu dari kedua orang tua si gadis bahwa secara adat mereka boleh tinggal
serumah, maka sejak itu bahtera rumah tangga dijalani. Seperti sebuah permulaan yang sulit,
maka mereka harus memulai dari bawah yaitu membongkar tanah, membersihkan akar-akar
rumput, memberi pupuk, menanti musim hujan, kemudian menanaminya dengan berbagai
jenis bibit. Ketika bibitnya tumbuh, mereka harus membersihkan rumput, menggemburkan
tanahnya, menjaganya agar tidak diganggu hama dan penyakit.
Bila tiba saatnya musim panen, dan upacara adatnya telah dilaksanakan, mereka harus
bekerja keras mengumpulkan hasilnya, membersihkan dan menyimpan selain untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari harus pandai mengatur, mana yang bisa dijual untuk
membeli kelengkapan alat rumah tangga atau kebutuhan hidup lainnya. Namun tidak boleh
dilupakan, mereka harus mengaturnya dengan baik, agar persiapan syukuran adat setelah 3
tahun hidup berkeluarga dapat terlaksana karena merukapan kewajiban yang harus
dilaksanakan, sebagaimana yang telah diikrarkan bersama dihadapan kedua orang tuanya.
Apabila sampai terjadi ikrar tersebut tidak dilaksanakan, maka hidup mereka tidak akan luput
dari musibah dan bencana, entah berupa sakit, penderitaan maupun gangguan lainnya.
e. Syukuran Adat
Setelah tiga tahun mengarungi bahtera rumah tangga, tiga tahun lamanya menyusun ekonomi
rumah tangga, banyak suka dan duka dilalui, itulah kehidupan yang tidak akan terbebaskan
dari sisi gelap dan terang dalam hidup berumah tangga menurut masyarakat suku Boti.
Sebagai sebuah keluarga yang bernaung di bawah aturan adat, upacara syukuran setelah tiga
tahun hidup berkeluarga mutlak harus dilaksanakan karena itu semua bahan yang dibutuhkan
untuk menyelenggarakan pesta adat tersebut jauh-jauh hari telah dipersiapkan dan merupakan
tanggung jawab kelurga baru tadi.
Setelah pesta selesai dilaksanakan, maka resmilah kedua anak manusia ini menjadi suami istri
yang sah menurut hukum adat Boti, dan ini berarti proses waktu yang dibutuhkan oleh warga
suku Boti untuk dapat hidup secara sah sesuai adat istiadat yang diwariskan leluhurnya
adalah 3 tahun lamanya.
f. Upacara Menyambut Kelahiran
Dalam kehidupan rumah tangga, kehadiran seorang bayi bagi sebuah keluarga suku Boti
diterima sebagai berkat paling berharga dari Tuhan Maha Pencipta. Masyarakat suku Boti
menyambutnya dengan penuh rasa syukur melalui sebuah upacara adat. Pada saat
melahirkan, menurut adat suku Boti, sang ibu dan bayinya, hanya tinggal dalam rumah
selama 4 hari, bersama seorang pembantu wanita yang secara khusus ditugaskan untuk
menjaga, melayani dan merawatnya. Ada sebuah syarat lain yang dijalankan selama 4 hari
tersebut, bahwa tempat pembaringan ibu dan bayinya di tempatkan di dekat tungku api yang
baranya selalu menyala.
Menurut kepercayaan warga Boti, kehangatan api bagi si bayi dan ibunya adalah untuk
mendapatkan kekuatan, memulihkan tenaga, memberikan semangat hidup. Empat hari
beristirahat bagi sang ibu merupakan saat untuk mengembalikan kelelahan tubuh yang amat
menegangkan dalam hidupnya. Sedangkan 4 hari bagi si bayi merupakan kesempatan
pertama menikmati dunia baru, di mana ia mendapat kekuatan dari kehangatan pelukan dan
air kehidupan dari susu ibunya. Saat ini ia dengan bebas menangis, meronta-ronta semaunya.
Dan setelah 4 hari berlalu, ibu bersama bayinya diperkenankan keluar rumah setelah
melaksanakan upacara adat.
Setelah empat hari lamanya mengurung diri di dalam rumah, ibu bersama bayinya akan
diterima dengan upacara adat yang telah dipersiapkan para tetua adat setempat. Untuk pesta
syukuran ini semua keperluan upacara telah dipersiapkan sebelumnya.
Ketika saatnya tiba, ibu bersama bayinya ditemani pembantu yang merawat mereka, telah
siap berdiri di depan pintu rumah bagian dalam, sementara di luarnya telah menanti para tetua
adat yang siap menyambutnya. Pada saat inilah berlangsung tegur sapa dalam bahasa Timor
yang terjemahannya sebagai berikut :
Tua Adat (TA) : Kamu berasal dari mana, Ibu Bayi (IB) : kami berasal dari
Lunu
Tua Adat (TA) : Kamu hendak kemanaIbu Bayi (IB) : kami ingin ke Seki
Tua Adat (TA) : Untuk apa kamu ke sana Ibu Bayi (IB) : Mau memetik sirih
dan pinang, Tua Adat (TA) : kamu datang membawa apa
(kalau bayinya perempuan ibunya akan menjawab)
Ibu Bayi (IB) : Kami datang membawa Ike dan Suti (peralatan menenun)
Tua Adat (TA) : Bekerjalah dengan sepenuh hati untuk memperindah
hidupmu
(kalau bayinya laki-laki ibunya akan menjawab)
Ibu Bayi (IB) : Kami datang membawa parang dan kapak
Tua Adat (TA) : Bekerjalah dengan sungguh-sungguh agar hidupmu berhasil

Setelah dialog singkat usai, ibu bersama bayinya keluar dari dalam rumah, menyalami tetua
adat yang telah menanti di luar bersama warga setempat, sambil menikmati sirih pinang yang
disuguhkan. Selanjutnya ia diantar menuju sungai (mata air) Sesampainya di tempat ini sang
ibu mencelupkan kedua kakinya dalam air, kaki bayinya kemudian dibasuh. Setelah
semuanya dijalani, mereka akan kembali ke rumah, disambut keloneng gong dan gedebam
tambur, sebagai pertanda warga ikut bersuka cita, karena telah bertambah satu lagi jumlah
penduduk Suku Boti. Pada kesempatan ini pada pergelangan tangan dan kaki si bayi dilingkar
seutas benang berbentuk gelang sebagai simbol bahwa bayinya belum mempunyai nama
panggilan. Ini berarti ia harus menanti sampai usianya sudah empat bulan, barulah berhak
memperoleh nama panggilan sendiri.
Setelah bayi berumur 4 bulan, maka akan dilangsungkan upacara pemberian nama, yang
dipimpin oleh tetua adat setempat. Di rumah orang tua si bayi, telah dibentangkan selembar
tikar yang di atasnya tersedia 2 buah tempurung berisi air yang telah diberi doa secara adat.
Dihadapan warga yang hadir, air dalam tempurung kemudian dipercikkan kepada si bayi
yang dilakukan oleh tetua adat. Untuk memulai acara pemberian nama, syaratnya harus
menunggu bayinya menangis. Di saat sedang menangis, masing-masing warga yang hadir
secara bergiliran mengucapkan nama-nama yang ada hubungannya dengan silsilah keturunan
warga Suku Boti seperti, Molo, Nune, Heka, Tosi, Woi, dan yang lainnya.
Pada saat penyebutan salah satu nama tadi bila tiba-tiba si anak berhenti menangis, maka
nama yang disebutkan terakhir itulah yang akan ditetapkan sebagai nama dari bayi tadi.
Nama inilah yang nantinya menjadi nama panggilan bagi si bayi sepanjang hidupnya.
Menurut kepercayaan masyarakat Suku Boti, ada makna yang tersirat dibalik sikap menangis
dan berhenti menangis dari si bayi yang masih suci jiwanya. Menangis berarti ia meminta
diberi nama, Berhenti dari menangis pertanda ia senang dengan nama yang diucapkan
terakhir itu.
Potong rambut atau cukur rambut yang dilakukan terhadap anak-anak suku Boti telah
berlangsung sejak turun temurun. Anak-anak yang lahir baru akan dicukur rambutnya apabila
ibunya telah hamil lagi. Apabila kita melihat seorang anak dari suku Boti rambutnya dicukur,
ini merupakan pertanda bahwa ibunya sedang hamil. Menurut kepercayaan masyarakat suku
Boti, kematian merupakan bagian dari kehidupan. Hidup dan mati merupakan satu kesatuan
yang tak dapat dihindarkan oleh setiap manusia. Sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya,
kematian bukanlah akhir dari segalanya, sebab dibalik kematian ada kehidupan yang baru.
Dalam pengertian yang lebih dalam, mereka mempercayai, apa yang telah diperbuat oleh
manusia selama hidup di dunia, akan menentukan jalan hidupnya sesudah mengalami
kematian. Semua perbuatannya selama hidup di dunia entah baik ataupun jahat, akan selalu
diketahui oleh Uis Pah dan Uis Neno, dan hanya perbuatan yang baik sajalah yang akan
diterima oleh Sang Pencipta, sedangkan perbuatan jahat akan mendapat hukuman atau
ganjaran. Karena itu peristiwa kematian bagi suku Boti merupakan kenyataan yang harus
diterima sebagai bagian dari kehidupan manusia dan harus diupacarakan secara adat.
Bila ada warga yang meninggal dunia, maka keluarga duka akan segera menyampaikan
peristiwa kematian tersebut kepada kepala suku Boti Dalam dan meminta petunjuk lebih
lanjut untuk acara penguburannya. Sesuai dengan adat yang berlaku, setiap warga suku Boti
Dalam yang meninggal dunia, tidak boleh jenazahnya disimpan lebih dari satu hari, artinya
paling lama satu hari harus sudah dikebumikan.
Orang Boti Dalam yang meninggal dunia mayatnya tidak boleh dimasukkan ke dalam peti,
mereka hanya menggunakan 2 batang kayu bulat yang digunakan untuk mengusungnya.
Sebelum jenazah dikuburkan, terlebih dahulu saudara perempuan dari orang yang meninggal
dunia membuang uang perak 100 rupiah ke tanah. Uang ini kemudian dipungut oleh
Toinamaf (orang yang ditunjuk sebagai penanggung jawab sekaligus pemimpin upacara).
Toinamaf kemudian berjalan paling depan menuju ke tempat pelaksanaan pemakaman suku
Boti Dalam yang bernama Ayo Fanu, diikuti oleh pengusung mayat dan warga lainnya.
Setibanya di lokasi, toinamaf membuat goresan di tanah dengan uang seratus perak tadi,
sebagai isyarat bahwa di situlah tempat kuburnya mayat tersebut. Secara serempak warga
yang sudah ditugaskan langsung menggali di tempat toinamaf menggoreskan uang tadi.
Selesai menggali liang lahat, toinamaf membuang uang 100 perak tadi ke dalam liang kubur,
disusul jenazah. Setelah ditutup dengan tanah, di atas makam diletakkan 1 tandan pisang, 2
buah kelapa, 7 bulir jagung dan 1 ekor anak babi yang telah dibunuh. Tujuannya adalah agar
bahan makanan tadi menjadi bekal bagi orang yang meninggal menuju alam baka. Ketika
acara penguburan selesai dilaksanakan, Toinamaf bersama warga suku lainnya kembali ke
rumah duka untuk mengikuti acara lanjutan, antara lain menikmati makanan, dan minuman
yang telah disiapkan. Pada kesempatan ini dibicarakan pula hal-hal yang berhubungan
dengan rencana mengadakan upacara adat berikutnya.
Pada hari keempat keluarga duka kembali membuat upacara adat dengan membunuh dua ekor
babi, satu besar dan satu kecil. Babi besar untuk jamuan makan bersama, sedangkan babi
kecil untuk disimpan dalam rumah duka. Bersamaan dengan ini juga disiapkan dua buah
tempat sirih pinang (okomama). Tempat sirih pinang tersebut yang satu untuk kaum wanita
yang namanya okusloi dan satu lagi untuk kaum laki-laki yang disebut alumama. Kedua
tempat sirih pinang ini digantung pada sebatang tiang yang ada dalam rumah keluarga duka.
Dan alat-alat yang digantung ini baru dapat dibuka setelah 3 tahun peringatan meninggalnya
anggota keluarga mereka. Setelah penantian yaitu 3 tahun meninggalnya anggota keluaga
mereka, diselenggarakan acara adat untuk memperingatinya. Pada kesempatan ini tempat
sirih pinang yang digantung pada tiang rumahnya, diturunkan dan dibuka isinya kemudian
dibagi-bagikan kepada anak-anak yang mempunyai hubungan kerabat dengan orang yang
meninggal.
Menurut keyakinan warga suku Boti, orang yang sudah meninggal mempunyai tanggung
jawab menjaga dan menyuburkan lingkungan hutan di sekitarnya. Karena itu, di pekuburan
ayofanu, warga setempat selalu membersihkannya dan menanaminya dengan berbagai jenis
pepohonan. Pada setiap musim panen yang berlangsung setahun sekali, segenap warga Boti
selalu menyambutnya dengan mengadakan upacara adat yang dipimpin langsung oleh kepala
Suku Boti. Sebelum upacara dimulai, segenap warga Boti dilarang menikmati hasil panen
mereka yang ada di kebun masing-masing. Apabila ada warga yang melanggar aturan adat
ini, maka yang bersangkutan akan mendapat hukuman, berupa sakit atau musibah dalam
hidupnya. Upacara panen ini berlangsung di hutan Fainmaten, tempat khusus bagi suku Boti
untuk mengadakan doa dan persembahan kepada Uis Pah dan Uis Neno. Bahan-bahan yang
dipergunakan antara lain sejumlah alat masak-memasak, peralatan makan dan minum, beras,
babi, kambing dan sapi. Hewan-hewan ini akan disembelih sebagai hewan kurban, bagian
dari syarat adat, juga disiapkan batangan jagung berbulir, tepung jagung dan jagung titi
dicampur beras yang disimpan dalam tempat khusus. Bagi warga suku Boti, hutan fainmaten,
dianggap sebagai hutan keramat yang tidak boleh dimasuki oleh kaum perempuan. Karena itu
yang memasak dan melayani dan mengikuti upacara syukuran panen di hutan fainmaten
adalah kaum laki-laki.
Doa syukur ini dipimpin langsung oleh kepala suku Boti sambil berdiri di depan tola yaitu
altar adat, yang terbuat dari sebatang kayu yang berdiri tegak dengan tinggi sekitar 2,5 meter
dan dasarnya tertanam dalam tanah. Di sekitar kayu tegak tersebut, disusun batu-batu ceper,
sebagai tempat untuk menyimpan bahan-bahan persembahan, sambil meniupkan seruling
yang selalu bergantung di lehernya. Segenap warga suku Boti yang hadir dalam upacara ini
sudah mengetahui maksud dari bunyi suling, dan dengan sendirinya mereka akan datang
mendekat ke altar.
Setelah kepala suku memanjatkan doa-doa yang disampaikan dalam bahasa adat sebagai
ungkapan syukur atas panen yang mereka peroleh, kemudian diteruskan dengan
menyembelih seekor babi berbulu merah. Darah yang mengucur segera ditadah, kemudian
diteteskan pada batu yang telah disiapkan dekat altar. Selanjutnya menaruh 3 genggam
tepung jagung, 3 genggam jagung titi bercampur beras, masing-masing 3 kumpul di atas batu
yang terletak di dekat altar. Selesai menghaturkan persembahan tadi, kepala suku Boti
sebagai pemimpin upacara akan menutupnya dengan memanjatkan doa memohon kepada Uis
Pah agar meneruskan doa-doa persembahan mereka yang amat sederhana kepada Uis Neno.
Selesai mengadakan doa syukur kepada Uis Pah, dilanjutkan doa syukur kepada Uis Neno
yang juga dipimpin oleh ketua suku Boti. Adapun tempat melaksanakan doa ini adalah di
puncak Bukit Fainmaten. Untuk mencapai tempat ini warga harus menapaki 73 anak tangga
yang dibuat dari batu alam. Kepala suku berjalan paling pertama ke tempat pelaksanaan doa
syukur ini. Setelah sampai di puncak bukit kepala suku akan meniup suling, sebagai pertanda
bagi warga yang berada dekat altar persembahan yang berada di bawah pohon beringin tua.
Setelah semua hadir, pimpinan upacara menyampaikan doa dalam bahasa adat sebagai
ungkapan rasa syukur atas perlindungan dan keselamatan yang diberikan Uis Neno kepada
warga Boti, melalui hasil panen yang cukup. Selesai berdoa kemudian dilanjutkan dengan
menyembelih babi hitam. Darah segar yang pertama diteteskan pada batu persembahan yang
sudah disiapkan dekat altar. Kemudian dilanjutkan dengan meletakkan 3 kumpul tepung
jagung dan 3 jagung titi campur beras (setiap kumpul satu genggam) di batu yang telah
disiapkan. Semua bahan persembahan ini disampaikan kepada Uis Neno. Sebagai penutup
acara, kepala suku Boti memanjatkan doa kepada Uis Neno bahwa apa yang mereka
persembahkan itu jauh dari kesempurnaan dan memehon dengan segala kerendahan hati,
kiranya Sang Dewa sudi menyempurnakannya, seraya memohon berkat dan perlindungan
bagi segenap warga Boti agar diajauhkan dari dosa, musibah dan aneka bencana.

C. Budaya Sebagai Potensi Pariwisata


Adat dan budaya suku Boti merupakan daya tarik wisata yang sangat diminati oleh
wisatawan mancanegara meliputi arsitektur tradisional rumah, pakaian tradisional dan seni
musik. Aset wisata ini dapat dikatagorikan sebagai produk budyaa fisik yang menyuguhkan
sejumlah keunikan yang sangat memikat yaitu :
a. Arsitektur
Bangunan rumah tradisional suku Boti merupakan arsitektur tradisional Timor, di mana
desain rumah mereka masih seperti tempo dulu. Rumah kediaman mereka baik bentuk
maupun bahannya masih penuh nuansa Timor. Bahan bangunan rumahnya terbuat dari kayu,
rumput ilalang, tali hutan, dan daun lontar semuanya merupakan bahan lokal.
b. Makanan Lokal
Makanan lokal yang biasa dihidangkan bagi tamu ataupun wisatawan berupa ubi kayu rebus
atau bakar (laok hau) ubi jalar rebus atau lauk loli jagung rebus atau pen pasu dan yang
lainnya selalu dibakar atau direbus saja. Makanan tradisional ini selalu dihidangkan dengan
menggunakan sarana (piring, sendok, gelas) serba tradisional yang terbuat dari tempurung
kelapa, kayu atau tanduk kerbau yang merupakan hasil kerajinan tangan mereka.
c. Pakaian Lokal
Setiap ada pertemuan, pemimpin spiritual suku Boti Dalam selalu mengajarkan kepada para
pengikutnya untuk menggunakan segala sesuatu serba tradisional, dalam artian produk
mereka sendiri, leko ka leko hiti kun leko neis, baik tidak baik, produksi kita sendiri lebih
baik.
Dalam hal berpakaian, orang Boti Dalam selalu menggunakan pakaian adat yang merupakan
hasil tenunan sendiri yang terbuat dari kapas, hasil tanaman sendiri. Pakaian adat untuk kaum
laki-laki disebut Beti sedangkan untuk kaum perempuan disebut Tais. Pakaian adat tersebut
berbeda-beda dalam pemanfaatannya yang disesuaikan dengan waktu kapan dipakai. Pakaian
sehari-hari berbeda dengan pakaian pesta yang bisanya dilengkapi dengan berbagai perhiasan
seperti aol noni (tempat sarung sirih pinang yang terbuat dari moti, suni atau pedang bagi
laki-laki, pilut (destar kepala) bagi laki-laki, kil’noni (sisir kepala yang terbuat dari perak
bagi perempuan) dan yang lainnya.
d. Seni Musik
Seni musik tradisional yang masih tumbuh dan berkembang dan masih dipertahankan sampai
saat ini oleh masyarakat Timor pada umumnya dan Boti Dalam khususnya adalah tarian
daerah (Bilut, Sbo’ot, Ma’ekat) yang diiringi dengan alat musik tradisional (leku, biyol,
se’ne, feku, tufuf) dan lantunan lagu-lagu daerah Timor. Seni musik tradisional ini biasanya
disuguhkan pada acara pesta atau menyambut tamu. Tamu kemudian diajak melantai bersama
yang ditandai dengan pengalungan atau pelilitan selendang adat pada leher tamu tersebut.
e. Kerajinan
Pada hari kesembilan di mana masyarakat suku Boti Dalam berkumpul untuk bersembahyang
dan mendengarkan nasehat dari kepala sukunya, pada hari itu pula mereka diwajibkan
membawa berbagai peralatan untuk membuat kerajinan tangan seperti piring atau pi’ka,
sendok atau so’ko gelas atau tu’ke yang dibuat dari tempurung kelapa atau sejenis kayu, yang
biasanya digeluti oleh kaum laki-laki. Sedangkan kaum perempuan memintal benang,
menenun, dan menganyam. Hasil kerajinan berupa kain adat (tai, beti alu, okomama, tuke)
dan lain-lain, dikumpulkan kemudian diberi lebel nama, dipajang untuk dijual pada suatu
tempat yang mereka bangun sendiri serba tradisional, mereka namakan koperasi kerajinan
Boti.
Objek wisata budaya non fisik, kehidupan keseharian masyarakat animisme Boti dengan
berbagai kesahajaan yang penuh nuansa budaya dalam ritual kepercayaannya, upacara
pemberian nama, upacara perkawinan, dan upacara kematian yang penuh makna. Masyarakat
Boti Dalam dengan segala kesahajaannya sangat ramah menerima tamu yang terekspresi
lewat wajah dan perilaku yang polos, kesenangan dan keikhlasan menerima tamu. Setiap
tamu group yang datang biasanya diterima di depan pintu gerbang dengan natoni (sapaan adat
dalam bahasa Dawan) kemudian dikalungi selendang dan dipersilakan masuk.

D. Pola Pemukiman
Pemukiman adalah suatu bentukan artificial maupun natural dengan segala kelengkapannya
yang dipergunakan oleh manusia baik secara individu maupun kelompok, untuk bertempat
tinggal baik sementara maupun menetap dalam rangka menyelenggarakan kehidupannya
(Yunus 1987:3).

1. Pola Perkampungan Mengelompok


Pola pemukiman atau perkampungan seperti ini terutama terdapat pada desa-desa di daerah
dataran dan umumnya rumah-rumah mereka berjejer mengikuti jalan raya. Rumah-rumah
dibangun pada daerah datar dan umumnya antara rumah yang satu dengan yang lainnya ada
tembok pembatas yang jelas. Pemukiman seperti ini biasanya memiliki pusat desa baik
berupa kantor desa maupun persimpangan jalan.

2. Pola Perkampungan Menyebar


Letak tofografi desa Boti 1500 meter di atas permukaan air laut atau berada pada daerah
dataran tinggi memaksa penduduk untuk mendirikan pemukiman secara menyebar di daerah
rata atau kemiringan yang cukup landai untuk menghindari adanya tanah longsor. Kondisi
geografis yang demikian ini membuat masyarakat Boti Dalam menempatkan rumah adatnya
baik Ume Kbubu maupun Lopo antara keluarga yang satu dengan yang lainnya letaknya
cukup berjauhan. Penduduk suku Boti Dalam pola perkampungannya menyebar dan mereka
membangun rumah menyatu dengan hutan yang ada di sekelilingnya. Penduduk
menempatkan rumah-rumahnya sedemikian rupa berada di samping atau di bawah pohon
yang cukup besar.
Menurut Filsafat hidup suku Boti, manusia akan hidup aman, tentram dan sejahtera, bila
mereka menjaga, merawat dan melestarikan hutan. Hutan yang terawat dengan sendirinya
akan mendatangkan awan, sebagai isyarat bahwa hujan akan menyertainya. Dengan adanya
hujan (air) maka tanaman, hewan maupun manusia dapat hidup. Adanya hutan tanah menjadi
subur, dan bahaya erosi dapat ditanggulangi. Bila tanah sudah subur dan hujan turun secara
teratur, maka tanaman dapat tumbuh dan menghasilkan panen yang berlimpah.
3. Bentuk Rumah
Dalam membangun rumah khususnya bangunan rumah warga suku Boti masih berarsitektur
tradisional Timor asli. Desain rumah-rumah mereka masih seperti tempo dahulu. Rumah asli
atau rumah adat orang Timor umumnya dan suku Boti khususnya berbentuk bundar,
lantainya dari tanah dengan rangka atapnya berbentuk kerucut yang disebut Ume kbubu.
Rumah Ume kbubu artinya rumah bulat karena berbentuk bulatan dan atapnya sampai ke
tanah dengan fungsi sebagai tempat tidur. Rumah tradisional Ume kbubu yang biasa
digunakan oleh penduduk kebanyakan adalah sebuah rumah kecil beratapkan alang-alang
yang menjuntai ke tanah. Rumah ini disangga atau ditopang oleh 4 tiang utama dengan
dinding-dindingnya melingkar mengikuti irama atap. Dinding rumah adat Ume Kbubu ini
terjalin dari rangkaian atap yang tersusun sampai ke tanah. Guna menghindari adanya
gerusan air pada musim hujan pada dasar rumah disusun bebatuan pipih sehingga tanah tidak
mudah hanyut. Rumah Ume Kbubu tidak memiliki jendela, dan hanya ada satu pintu untuk
keluar masuk penghuninya.
Dalam rumah hanya terdapat satu ruangan utama yang berfungsi sebagai tempat tidur dan
dapur. Di bagian atasnya (atap) tepat di atas perapian terdapat loteng untuk menyimpan bahan
makanan pokok yaitu jagung. Bangunan rumah adat ume kbubu ini sama sekali tidak
menggunakan paku melainkan terikat erat dengan menggunakan tali temali yang terbuat dari
kulit batang pohon. Pintu masuknya sangat kecil dan sempit serta sangat rendah dan jika
hendak masuk ke dalam ruangan orang harus menundukkan kepala dan badan. Penghuni
rumah adat ini adalah satu keluarga batih, dan di dalam rumah ini pula mereka makan, tidur,
bekerja dan menerima tamu. Rumah ini juga merupakan tempat bagi wanita suku Boti
memasak, dan menyimpan hasil ladang mereka.
Di samping Ume Kbubu, masyarakat suku Boti juga mengenal bangunan sebagai pendopo
yang disebut Lopo. Bentuk bangunan lopo ini terbuka atau tidak memiliki dinding. Lopo
berfungsi sebagai balai pertemuan untuk menerima tamu dan juga berfungsi sebagai lumbung
tempat menyimpan hasil pertanian yaitu jagung. Konstruksi Lopo berupa bangunan atap bulat
menyerupai kerucut yang ditopang 4 tiang langsung ke loteng atau gudang dan usuk-usuknya
langsung duduk pada balok-balok yang disusun berdasarkan lebaran bulatan loteng. Lopo
bangunan khas orang Timor yang dipergunakan untuk bersantai, tempat musyawarah dan
tempat menyimpan makanan. Bahan bangunannya terbuat dari kayu, rumput atau ilalang, tali
hutan, daun lontar yang semuanya merupakan bahan lokal. Untuk menghidari adanya kikisan
air terutama pada waktu musim hujan bangunan Lopo ini pada dasarnya disusun bebatuan
melingkar sesuai dengan bentuk bangunan di atasnya. Demikian juga halnya dengan tempat
duduk yang ada di bangunan ini semuanya menggunakan bahan alami yang mereka dapatkan
dari sekitar tempat tinggal mereka seperti, batu bulat maupun batu pipih. Memasuki
pemukiman masyarakat suku Boti Dalam terkesan sangat alami dan mereka bangga dengan
keadaan seperti itu.
Pada pemukiman suku Boti Dalam juga ada sebuah bangunan yang disebut dengan balai Eku
Tefas (balai pertemuan) yang letaknya tidak jauh dari pemukiman mereka. Di balai inilah
kepala suku Boti Dalam menjamu dan menerima tamu yang ingin mendalami kehidupan suku
Boti. Bangunan ini sangat berbeda dengan bangunan lain yang ada di pemukiman tersebut,
karena bangunan ini sudah ada sentuhan modern. Kendati bangunan ini sudah kena pengaruh
luar, namun bangunan balai Eku Tefas, ini tidak pernah dipergunakan oleh masyarakat Boti
Dalam sebagai tempat tidur. Setiap hari kesembilan menurut penanggalan masyarakat Boti,
mereka mengadakan pertemuan di balai Eku Tefas. Mereka mendapatkan siraman rohani
sesuai dengan kepercayaan masyarakat suku dan saling merefleksi apa yang telah mereka
perbuat selama sepekan (sembilan hari).
Sebelum kita dapat mencapai perkampungan masyarakat suku Boti terlebih dahulu kita akan
melewati sebuah pintu gerbang yang merupakan batas dari Desa Boti. Kondisi lingkungan
pemukiman dari masyarakat suku Boti jalannya masih berupa tanah dengan batu kapur
sebagai penahan dari undak menuju ke perkampungan. Masyarakat suku Boti sampai saat ini
masih teguh dalam mempertahankan keaslian daerahnya dan hampir belum bisa menerima
kehadiran industri modern atau bahan yang berasal dari buatan pabrik. Hanya pada hal-hal
pokok mereka baru bisa mengadopsi dari dunia luar, karena bahan tersebut sepenuhnya
belum bisa dihasilkan dari lingkungan mereka.
Masyarakat suku Boti dalam pembuatan dan penempatan pintu rumah menganut konsep arah
utara selatan, karena arah ini akan mendapat pemberkatan dan rejeki pemiliknya bisa
bertahan lama. Pola pemukiman dan penempatan rumah pada penduduk Boti Dalam tidak ada
yang mengarah ke arah timur barat, karena menurut keyakinan mereka pintu rumah yang
menghadap ke arah ini rejeki itu akan lewat begitu saja sebagaimana halnya berputarnya
matahari.
Rumah tinggal masyarakat suku Boti Dalam berada di dalam kebun dan dibatasi oleh sebuah
pagar keliling yang terbuat dari pelepah pohon kelapa atau pohon lontar yang banyak terdapat
di daerah pegunungan di Desa Boti, maupun dahan kayu yang sudah kering. Pembuatan atau
penempatan bahan-bahan tersebut diperuntukkan agar binatang peliharaan tidak masuk ke
dalam pekarangan. Penduduk meletakkan ternak piaraannya di luar pagar keliling atau
membuat kandang ternak di luar batas areal pemukimannya Perkampungan masyarakat Boti
Dalam sungguh sangat asri menyatu dengan alam. Demikian juga halnya dengan ternak
peliharaan mereka ditempatkan di luar pagar pembatas pemukiman. Pemempatan seperti ini
mengisyaratkan kepada kita masyarakat Boti sangat menjaga ketenangan dan kesehatan.
PENUTUP
Komunitas Boti sebagai komunitas adat mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
lingkungan alamnya. Dalam menjaga hubungan antara manusia dengan alam, konsep-konsep
kosmologis berperan penting, sehingga sistem kepercayaan yang ada tidak hanya berperan
mengatur hubungan-hubungan dengan kekuasaan yang lebih tinggi yang disebut dengan Uis
Neno dan Uis Pah, tetapi kepercayaan mempunyai peran untuk mempertahankan kebudayaan
materi yang sangat dibutuhkan dalam kelangsungan kehidupan manusia sebagai bagian dari
komunitas tersebut.
Berbagai tradisi yang masih dipertahankan oleh masyarakat suku Boti yang tinggal jauh
terpencil di pedalaman, merupakan salah satu keunikan yang dapat dijadikan sebagai aset
wisata budaya. Keaslian dan keteguhan masyarakat Boti dalam mematuhi warisan leluhurnya
perlu mendapat perhatian dari instansi terkait, karena di dalamnya kaya dengan kearifan lokal
yang mereka yakini dapat memberikan ketentraman dan ketenangan.
Upacara Adat Tpoi Pah (bagian II)

Pihak-Pihak yang Terkait

Mereka yang terlibat dalam penyelenggaraan upacara selain yang telah disebutkan
di atas adalah pemerintah, tokoh agama, warga masyarakat dan seluruh anggota marga
Maneis. Pemerintah setempat memberikah persetujuan diadakannya upacara dan ikut
memberikan pengawasan pengamanan jalannya upcara. Para petani pemilik lading
ikut menjadi saksi terlaksananya upacara. Mereka mengikuti upacara secara hikmat
dengan harapan akan sukses.
Sebagai orang beragama Kristen (Katolik maupun Protestan) para tokoh
agama turut hadir serta berperan sebagai pemberi restu dan berkat atas hasil panen
yang dibawa oleh anggota masyarakat. Menurut Tokoh agama setempat, bahwa pada
dasarnya iman Kristiani tidak bertentangan dengan adat dan kebudayaan suatu
suku/etnik tertentu. Karena itu pelaksanaan upacara adat tpoi pah direstui oleh tokoh
Agama. Sementara itu kepala suku Maneis mengatakan bahwa orang atoni dilahirkan
dan dibesarkan dalam lingkungan adat karena itu tidak boleh meninggalkan adat
meskipun telah beriman kristiani. Menurutnya, iman kristiani (yang diajarkan dalam
Protestan maupun Katolik) tidak bertentangan dengan adat orang Atoni, sehingga
sangat mudah bagi orang Atoni untuk memeluk agama Kristen tanpa meninggalkan
adat warisan leluhurnya. Sedangkan menurut Kepala desa setempat (pemerintah
setempat) mengatakan bahwa titik pijak kehidupan orang Atoni adalah Adat, Agama
dan Pemerintah. Ketiha hal ini tidak bertentangan tetapi justru saling melengkapi.

Persiapan dan Perlengkapan Upacara

Bahan-bahan yang diperlukan dalam upacara adat tersebut adalah sebagai


berikut :
1. Uang perak (noen fatu) merupakan lambang pernghargaan kepada sang Pencipta, Uis
Neno atau Uis Pah
2. Sirih pinang (puah manus), merupakan lambang penghormatan bagi tamu
3. Jagung 7 puler yang sudah diikat (pen pune hitu, jumlah tujuh disini melambangkan
usaha mereka selama kurang lebih tujuh bulan mengolah kebun dan ladangnya yang
kini menghasilkan panenan berupa jagung.
4. Um Mnaula (tepung jagung-goreng) dalam wadah yang disebut oko, makanan ini
merupakan tanda penghormatan bagi para arwah leluhur marga Maneis.
5. Babi berbulu hitam dengan kepala berwarna putih, lambang kesucian dan kesakralan
Uis neon dan sekaligus merupakan lambang keselamatan hidup
6. Pisang, Ubi, kelapa dan tebu, merupakan hasil panenan selain jagung.
7. Daging bakar dalam wadah dari tempurung kelapa, makanan yang disajikan khusus
untuk Uis Neno.
Adapun upacara tersebut dilaksanakan menurut tahapan sebagai berikut :
1. Berkumpul di atas bukit Leku Sene. Para tokoh masyarakat marga Maneis, kedua
orang Tua adat yang berfungsi sebagai pemimpin dan para undangan sudah duduk
secara teratur di atas bukit menghadap ke altar atau mezbah tempat sajian dan duduk
mengelilinginya dalam bentuk lingkaran. Para peserta lainnya boleh turut mengambil
bagian di tempat sekitar tenda dan mengikuti jalannya upacara tersebut.
2. Membaca doa “engkau dari perut bumi, kini sudah di atas tanah kalau hanya ini
tagihanmu aku sudah berikan dengan penuh kemewahan dan penuh kelezatan. (hit es
tpanat pah pinan, neon le’I au feko mnahat neu kaisam toitnai fun au feko eik nek
leko)
3. Pemberian makan, sirih pinang dan daging bakar disimpan di atas kayu cabang tiga
(hau tolas) dan yang disantap bukan bendanya tapi lezatnya makanan tersebut melalui
aroma bahan sajian itu. Setelah itu, barulah para undangan dan warga masyarakat
menyantap makanan itu.
4. Upacara selesai. Para warga masyarakat dan marga maneis membunyikan alat-alat
kesenian mereka berupa gong, untuk menari dan bonet sebagai ungkapan terima kasih.

Pantangan-pantangan yang mesti dihindari

Beberapa pantangan yang harus dihindari pada waktu pelaksanaan upacara adalah :
1. Semua bahan atau materi yang disajikan dalam upacara harus lengkap dan utuh. Bila
tidak lengkap atau satu jenis saja yang kurang maka tujuan upacara tidak akan
tercapai. Sebagai sanksinya akan terjadi malapetaka atau bencana yang menimpa
marga maneis.
2. Mereka yang makan dari sajian itu tidak boleh gaduh, berisik atau berbicara
sembarangan. Mereka harus diam, tidak bersuara. Bila terjadi kegaduhan sekecil
apapun misalnya pada saat makan dan ada yang batuk atau bersin, maka akan terjadi
bahwa pada waktu yang sama tahun berikutnya ia akan mati karena kualat.
3. Usai pelaksanaan upacara, hasil lading tidak boleh dipetik/dipungut sampai tiba saat
panen.

Sibol-simbol

Usif ai tuaf (kepala suku) yang memimpin upacara memakai pakaian adat destar, atau
ikat kepala berwarna merah dan di pinggangnya juga berwarna merah (pilu mtasa)
yang bermakna bahwa kain yang berwarna merah melambangkan kegemaran dan
sukacitanya para uis pah penjaga alam atau bumi. Dengan melihat warna merah itu
mereka datang dengan gembira sambil santap dengan lahapnya. Warna merah,
menurut anggapan umum masyarakat atoni, merupakan warna pelambang roh atau
arwah leluhur. Warna pakaian atau kain sarung penduduk pada umumnya adalah
warna merah.
1. Sirih pinang yang disajikan mengandung unsure dan lambang sacral karena tidak saja
menjadi santapan para penjaga bumi tetapi juga sebagai lambang penghormatan dan
penghargaan kepada tamu agung atau yang dimuliakan.
2. Uk dan daging bakar mengandung unsure makanan yang akan dipersembahkan
kepada arwah para leluhur
3. Padi, jagung, kelapa, pisang, ubi, mengandung unsure bahwa hasil panen yang
diperoleh marga maneis selama setahun dan merupakan persembahan yang paling
mulia bagi uis pah atau yang lebih tinggi (berkuasa)
4. Babi berbulu hitam dan belang, yang merupakan bagian terpenting dalam sajian
lambang keselamatan hidup. Asap yang berasal dari pembakaran daging di atas bara
api akan mengeluarkan aroma harum. Aroma inilah yang menjadi santapan para uis
pah.
5. Hau tola teun (kayu cabang tiga) merupakan yang paling utama dalam upacara ini.
Tanpa kayu ini, upacara tidak akan dapat dilaksanakan. Kayu cabang tiga ini adalah
kayu yang digunakan untuk menaruh kurban persembahan bagi uis pah dan para
leluhur yang sudah meninggal.
6. Altar berguna untuk menyimpan hasil panen berupa jagung, ubi, kelapa, tebu, dll.
Dan diatas altar terdapat sebuah batu yang berfungsi apabila tuaf ai’ amaf onen ma
namunu neu pah (berdoa). Setelah itu baru menyembelih hewan dan darahnya akan
diteteskan di atas batu itu sebagai tanda dan rasa hormat kepada uis pah.
Di perkampungan ini terdapat beberapa umekebubu, rumah khas Timor.
Satu umekebubu ditempati Ratu Boti dan lainnya oleh anggota keluarga
Kerajaan Boti. Sedangkan Raja Boti sendiri beristirahat di bangunan
yang lebih menyerupai lopo, tempat pertemuan. Bangunan ini berbentuk
bundar tanpa dinding dengan atap lontar menyerupai bentuk kubah dan
menutupi sebagian besar bagian samping.

Seperti lopo, umekebubu berbentuk kubah pula tetapi tertutup hingga


ke tanah. Pintunya terletak di satu sisi bangunan tersebut,

tingginya tidak lebih dari satu meter sehingga mereka yang akan
masuk ke umekebubu harus berjongkok.

Umekebubu selain berfungsi sebagai kamar bagi para perempuan juga


sebagai dapur. Bagian atas kubah umekebubu biasanya dipergunakan
sebagai tempat penyimpanan terutama hasil pertanian. Asap yang

timbul dari dapur membuat hasil pertanian tersebut tahan lama.

Tepat di bagian belakang istana raja Boti, terdapat tempat

pertemuan, lopo, yang lebih terbuka dengan lantai berupa tumpukan


batu marmer yang belum dipoles. Bangunan ini disangga oleh empat
pilar mewakili empat klan yang membantu Raja Boti. Di sinilah, Raja

Boti dan masyarakatnya bertemu mendiskusikan masalah-masalah di


wilayah mereka.
BUDAYA DAN WISATA » LIKURAI, TARIAN SANG PENAKLUK DARI

PULAU TIMOR LIKURAI, TARIAN SANG PENAKLUK DARI PULAU TIMOR

Share on :

tarian likurai timorSobat netter pernah dengar ga? tarian Llikurai!

Tarian Likurai merupakan salah satu tarian tradisional dari pulau timor.

Kebanyakkan orang bilang pulau timor adalah pulau gersang yang miskin sumber

air dan ditaburi begitu banyak bukit berbatu ketimbang lahan subur untuk

digarap. Terlepas dari itu semua. Pulau Timor memiliki banyak kekayaan yang

terkandung dalam seni budaya, adat istiadat serta asal usul antropologi

manusianya yang apabila diusut akan semakin kusut. Hal ini yang membuat banyak

warga asing untuk mengeksplorasi ketimbang para pribumi yang tidak menyadari

nilai dalam nafas mereka sendiri.

Tarian Likurai merupakan salah satu tarian tertua yang ditarikan sebagian besar

penduduk di pulau Timor (Timor Indonesia maupun Timor Leste). Likurai

merupakan tarian yang di dendangkan. Pada jaman dahulu tarian Likurai dilakukan

oleh para wanita untuk menyambut para prajurit yang pulang dari peperangan.

Likurai berasal dari dua suku kata. Liku yang berarti menguasai dan Rai yang

berarti tanah. Jadi tarian ini berarti “ menguasai bumi”. kata ini berasal dari klan

Tetun yang paling dominan di pulau Timor. Namun demikian tarian ini juga

ditarikan oleh klan-klan lain dan menamainya menurut bahasa mereka sendiri.
Klan Buna menyebutnya Teberai, klan Kemak menyebutnya Dudubau serta klan

Tetun selatan menyebutnya Taes Bibliku. Apapun sebutannya, tarian ini tetap

merepresentasikan satu hal. Yaitu ”penghormatan bagi mereka yang menguasai

bumi”. Tarian ini ditarikan oleh sekelompok perempuan sambil menabuh tibar

(gendang) yang diselipkan di ketiak mereka. Para penari ini akan membentuk dua

barisan dan di depan tiap barisan berdiri dua orang pria yang memakai giring-

giring kaki sambil membawa kelewang (pedang). Dahulu, para penari pria

diwajibkan untuk memakai tais (kain) untuk kaum pria dan sarung untuk penari

perempuan yang kesemuanya harus ditenun dari bahan-bahan alam dan bukan

olahan pabrik. Para penari perempuan yang ada di barisan paling depan harus

berasal dari kaum keluarga raja/bangsawan. Namun seiring berputarnya jaman,

para penari kini telah memakai pakaian olahan pabrik, seperti kemeja dan kebaya.

Dalam barisan para penari pun tidak ada lagi perempuan yang berasal dari kaum

bangsawan. Tarian ini diawali dengan tabuhan tibar salah seorang penari dan

disusul oleh penari lain. Ketika kekompakan irama telah dicapai maka mereka

mulai meliuk-liukkan tubuh ke kiri dan kekanan, terkadang sambil berjongkok dan

membentuk formasi tertentu. Para penari pria akan menghentakkan giring-giring

kaki mereka sambil mengacungkan kelewang di tangan. Mereka pun mulai

berpantun dan mendendangkan syair-sayair kemenangan diselingi pekik-pekik

peperangan. Tabuhan tibar ini kian lama akan kian cepat dan keras, begitu pula

dengan gerak tubuh para penari. Terkadang para penari ini akan serempak
berhenti bergerak sehingga menimbulkan keheningan yang spontan. Secara umum

tarian ini tampak cantik, enerjik serta mampu membangkitkan bulu kuduk. Meski

memakai alat musik yang sama, namun setiap klan memiliki iramanya sendiri-

sendiri sehingga kita mampu mengenali klan mana yang tengah menari tanpa harus

melihat. Tibar, alat musik yang dominan dipakai dalam tarian ini bentuknya

menyerupai tifa namun lebih lonjong dan ramping. Jika sempat berkunjung ke

Timor, jangan berharap bisa menyaksikan tarian ini dengan mudah kecuali anda

datang sebagai tokoh masyarakat. Likurai kini beralih fungsi sebagai tarian

selamat datang semata dan posisinya kian bergeser. Dahulu tarian ini selalu

dipentaskan saat HUT RI sampai ketingkat pusat serta dipentaskan dalam

upacara-upacara adat/keagamaan. Likurai juga ditampilkan sebagai tarian

pembuka sebelum acara dansa ala barat dimulai dalam pesta pernikahan rakyat.

Tetapi kini di kota-kota besar Timor, terutama di tempat asalnya Belu, ia bahkan

tidak termasuk dalam kurikulum pendidikan sebagai mata pelajaran

ekstrakurikuler bagi anak-anak yang menjadi penerus tradisi. Jumlah para penari

pun kian berkurang. Lebih banyak kaum ibu yang menarikannya ketimbang para

gadis. Entah karena malu atau latah dengan globalisasi, para anak muda lebih

menyukai hal-hal berbau urban culture ketimbang tradisi sendiri. Memang nasib

Likurai belum sesekarat saudaranya “sasando” dari pulau rote yang baru

mendapat nafas buatan dari pihak Pemda setelah kurang lebih sepuluh orang di

Indonesia yang menguasai alat musik ini. Namun apabila tabuhan tibar kian
terpojok hingga ke pelosok, pastilah ajal Likurai akan sampai di tangan si

empunya sendiri. Menyelamatkan Likurai harus diawali dengan kesadaran sang

empunya sendiri. Bahwa tarian ini bukan sekedar ikon, tetapi suatu identitas diri

yang menyatakan keberadaaan akar suatu klan di tengah beragamnya budaya

Indonesia.

Acara Tata Cara Perkawinan Adat Amarasi: Kabupaten Kupang, Nusa

Tenggara Timur

peminangan calon pengantin wanita di Kupang, juga ditandai dengan surat-

menyurat antar keluarga.

Kupang merupakan ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur yang memiliki potensi

sumber daya alam yang cukup melimpah. Mayoritas penduduknya memeluk agama

Kristen Protestan. Bila dibandingkan kabupaten lainnya di Pulau Timor,

masyarakat Kupang sebenarnya jauh lebih heterogen. Suku-suku yang ada di

Kabupaten Kupang inilah yang kemudian mewarnai adat istiadat budaya

masyarakatnya. Suku-suku tersebut yaitu:


- Suku Dawan (dari daerah Dawan, Amarasi dan Amfoang)

- Suku Helong (dari Pulau Semau)

- Suku Rote (dari Pulau Rote)

- Suku Sabu (dari Pulau Sabu)

Busana pengantin adat Amarasi ini selain digunakan pada upacara perkawinan,

dapat juga dikenakan saat dilangsungkan upacara adat di istana raja. Pengantin

wanita terlihat memakai kebaya bodo dengan sarung tenunan khas Amarasi dan

dilengkapi selendang serta berbagai perhiasan, mulai dari atas kepala sampai

ujung kaki sang pengantin, di antaranya:

Kepala : mahkota Bulamolik berbentuk bulan sabit.

Telinga : anting atau giwang karabu.

Konde : berbentuk bulat/cepok yang disebut falungku dengan tusuk konde koin

sebanyak tiga buah yang ditaruh di samping kiri, kanan dan tengah.

Leher : kalung muti salak, habas dan gong.

Tangan : sepasang gelang.

Jari : cincin koin.

Kaki : selop hitam.

Pinggang : sebuah pending emas.


Sementara itu, pengantin pria pun tampil tak kalah rupawan dengan baju dan jas,

kain tenunan serta selendang pinggang atau selendang bahu. Pengantin pria

dilengkapi destar di kepala, lehernya berhiaskan muti salak, habas dan gong,

serta tangannya dihiasi gelang dan pinggangnya berikat perak dan dompet alkosu.

Rangkaian upacara perkawinan masyarakat Amarasi Kupang, Nusa Tenggara

Timur, dimulai dengan acara perkenalan antar dua anggota keluarga yang akan

berbesan. Sebelum kedua keluarga itu bertemu, biasanya keluarga calon

pengantin pria (CPP) terlebih dahulu akan mengirimkan utusan untuk datang ke

rumah calon pengantin wanita (CPW) guna bertemu dan berkenalan dengan anak

gadis yang akan dipinang.

Pada kesempatan itu juga, utusan akan menyampaikan maksud hati keluarga CPP

untuk segera meminang anak gadis tersebut. Setelah mendapatkan jawaban dari

pihak keluarga CPW, sang utusan segera pulang dan menyampaikan hasil

pertemuannya kepada keluarga CPP. Lalu mereka akan berunding untuk

menetapkan waktu yang tepat untuk mengadakan pertemuan dua keluarga lagi

guna membahas kelanjutan rencana acara pinangan.

Tetapi sebelum pertemuan itu terlaksana, keluarga CPP diharuskan membuat

surat yang ditujukan kepada keluarga CPW. Isinya menyampaikan maksud


kedatangan keluarga CPP yang ingin bertemu dengan keluarga CPW untuk

meminang anak gadis mereka. Dan setelah keluarga CPW menerima surat

tersebut maka mereka akan segera mengadakan pertemuan antara keluarga

dekat yang melibatkan saudara laki-laki dari ibu kandung CPW yang disebut Na’i

(oom dalam bahasa Timor) atau To’o (dalam bahasa Rote). Pertemuan keluarga

CPW ini dilakukan untuk merancang penerimaan kedatangan keluarga CPP dalam

acara pinangan nanti.

Sebelum hari pinangan terlaksana, keluarga CPW juga akan mengirimkan surat

balasan kepada keluarga CPP berisi tanda kesediaan mereka menerima

kedatangan keluarga CPP untuk meminang yang di dalamnya disertakan sejumlah

syarat-syarat antaran yang mereka minta dan tetapkan.

Pada hari pelaksanaan pinangan, pihak keluarga CPW akan menyiapkan perwakilan

keluarga yang ditunjuk sebagai juru bicara dan dia bertugas menerima

kedatangan rombongan keluarga CPP. Pada saat hari pinangan ini, rombongan CPP

harus datang tepat waktu sambil membawa barang antaran yang sebelumnya

sudah ditetapkan, biasanya sebanyak 5-7 baki/dulang yang dibawa oleh remaja-

remaja putri, hal ini sebagai salah satu syarat untuk kelengkapan mas kawin.

Biasanya barang antaran yang diminta antara lain:


Antaran I : berisi pinang sebanyak satu rangkai.

Antaran II : tempat sirih berisi uang untuk tebusan air susu ibu, uang untuk

donatur gereja dan pemerintah serta uang to’ok.

Antaran III : seperangkat bahan busana untuk CPW dan orangtuanya.

Antaran IV : berisi perhiasaan emas yang diperuntukkan bagi CPW.

Antaran V : berisi lampu yang sudah dinyalakan. Sementara antaran lainnya

lazimnya berisi aneka bahan makanan, buah atau kue.

Setelah masing-masing juru bicara keluarga bertemu, mereka akan langsung

melakukan perbincangan dan setelah ada kesepakatan maka barang-barang

antaran tersebut lalu diserah-terimakan. Selain untuk meminang, kedua keluarga

juga membahas kelanjutan dari pesta perkawinan anak-anak mereka juga

membahas pembayaran belis (mas kawin). Acara pinangan ini biasanya akan

ditutup dengan acara jamuan makan bersama.


Setelah kesepakatan didapatkan, keluarga CPP akan mengumpulkan keluarga

besarnya untuk memberitahukan apa-apa saja yang menjadi hasil kesepakatan

dalam pertemuan keluarga di acara pinangan tersebut. Keluarga CPP berkumpul

tidak hanya untuk mendengarkan hasil pertemuan tetapi juga untuk saling

membantu dan meringankan beban keluarga CPP dengan memberikan bantuan dan

sumbangan untuk membayar belis yang diminta keluarga CPW, termasuk segala

sesuatu yang menjadi kebutuhan dalam pesta pernikahan nantinya.

Sehari sebelum hari perkawinan tiba, di rumah CPW akan diadakan acara picah

bok yaitu pesta persiapan untuk mendirikan teng atau tenda pesta, setelah itu

keluarga CPW akan pergi ke rumah CPP untuk mengantarkan barang-barang

kebutuhan CPW yang antara lain untuk mengisi kamar pengantin serta kebutuhan

dapur. Biasanya berupa pakaian, barang pecah belah, segala kebutuhan rumah

tangga dan bahan-bahan dapur. Sementara itu, keluarga CPP juga mengantarkan

balik semua kebutuhan pesta serta busana CPW yang akan dikenakan pada hari

perkawinan.

Pada hari H, sebelum CPW menuju tempat berlangsungnya akad nikah atau

pemberkatan nikah, CPW terlebih dahulu keluar dari rumah/kamarnya dengan

melalui pintu depan rumah/tangga rumahnya. Di sana dia telah ditunggu oleh
saudara-saudara perempuannya yang telah menyiapkan kendi berisi air yang akan

dipakai untuk mencuci kaki sang pengantin. Setiap saudara yang sudah bersiap-

siap tersebut lantas membasuh kaki calon pengantin dan mereka akan

mendapatkan uang koin emas yang sudah disiapkan oleh CPP dalam sebuah

tempayan. Setelah acara mencuci kaki ini selesai baru pasangan pengantin menuju

tempat yang sudah disediakan untuk meresmikan pernikahan mereka.

Begitu pasangan ini resmi menjadi suami-istri maka acara akan dilanjutkan

dengan mengadakan pesta di rumah pengantin wanita. Pada malam hari sesudah

pesta usai, keluarga pengantin pria akan memohon kepada keluarga pengantin

wanita untuk membawa pulang sang pengantin wanita yang pada saat itu sudah

resmi menjadi istri anaknya sekaligus menantunya.


oasekehidupan

Sabtu, 10 Desember 2011

FUA PAH: RITUS KEPERCAYAAN MASYARAKAT DAWAN – TIMOR

KEPADA WUJUD TERTINGGI (Oleh: Erick Sila)

I. Pedahuluan Suku Dawan adalah salah satu suku terbesar dari beberapa suku

lain: “Tetun, Bunak, Helon, Kemak, Rote dan Sabu. Suku Dawan menempati

seluruh wilayah Timor Barat yaitu kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan

(TTS), dan Timor Tengah Utara (TTU). Masyarakat suku Dawan hidup dalam

kelompok-kelompok berdasarkan kanaf (marga). Setiap kanaf memiliki adat

istiadatnya masing-masing. Masyarakat Timor Dawan disebut juga sebagai orang

atoni (manusia). Orang atoni biasanya hidup di daerah pedalaman yang bersifat

amat kering. Masyarakat Dawan umumnya bekerja sebagai petani. Oleh karena

itu, hidup mereka sangat tergantung dari alam. Alam dapat membawa

kebahagiaan dan kesejahteraan bagi manusia dan juga bisah mendatangkan

malapetaka. Hal ini tergantug bagaimana manusia mengusahakannya. Untuk

menjaga keharmonisan dengan alam, masyarakat Dawan meiliki berbagai tradisi

lisan. Tradisi-tradisi lisan tersebut umumnya berkaitan erat dengan bahasa-


bahasa ritual dan upacara formal dalam masyarakat tersebut. Kehidupan

masyarakat Dawan meliki hubungan yang erat antara ritus dan mitos pertanian,

yang juga berhubungan erat dengan keyakinan religius tradisional. Kehidupan

masyarakat dawan selalu diwarnai oleh berbagai ritus primitif dalam setiap

kegiatan hidup mereka. Salah satu ritus yang yang masih dikenal dan

dipraktekkan oleh masyarakat Dawan primitif itu yakni fua pah. Ritus ini

diciptakan untuk menyiasati alam yang gersang dan iklim yang kurang bersahabat.

Fua pah adalah salah satu ritus yang berhubungan erat dengan sistem

kepaercayaan masyarakat Dawan mengenai (Tuhan, Roh, Alam Semesta, Bumi dan

Kerja). Fua pah merupakan penyembahan terhadap wujud tertinggi yang tidak

diketahui dan dijangkau oleh daya nalar manusia. Akan tetapi, kehadiran dari

wujud tertinggi tersebut dirasakan sebagai sesuatu yang dasyat yang melebihi

kekuatan manusia. Hal ini tidak akan kita pahami tanpa mengetahui hubungan

antara bercocok tanam, Tuhan, dan pemujaan terhadap roh dalam ritus fua pah

itu sendiri. Maka melalui tulisan ini, penulis ingin menggali makna yang tersirat

dalam ritus ini. II. Pola Hidup Masyarakat Dawan Masyarakat Dawan yang hidup

di daerah pulau Timor umumnya hidup dalam kelompok-kelompok, membentuk

komunitas berdasarkan kanaf (marga). Komunitas ini hampir bersifat ekslusif

dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda. Masyarakat Dawan pada

umumnya hidup dengan bercocok tanam dan beternak. Hal ini merupakan

pengaruh yang sangat besar dari komposisi tanah, iklim dan sumber air di wilayah
tersebut. Keadaan tanah berupa tanah liat berpori yang mengandung kapur

sangat sulit bagi tumbuhnya vegetasi penutup. Pada saat musim hujan keadaan

tanah banyak mengandung air dan mengembang ketika sudah penuh dengan air

hujan. Pada saat musim kemarau, tanah menjadi kering dan sangat sulit

menemukan sumber air di daerah-daerah yang lebih rendah. Faktor-faktor alam

seperti inilah yang mebuat masyarakat lebih memilih tinggal di daerah-daerah

pegunungan yang banyak air. Daerah pegunungan merupakan pusat pemukiman dan

pusat pertanian. Daerah pegunungan merupakan pusat pengembangan usaha tani

lahan kering yang di dominasi oleh tanaman palawija dan jagung. Daerah atau

wilayah yang keadaan tanahnya berupa tanah liat umumnya digunakan sebagai

bahan dasar untuk kerajinan. Misalnya membuat periuk dari tanah liat, patung-

patung, pot bunga, asbak rokok, dan jenis kerajinan tangan lainnya yang memiliki

nilai jual yang tinggi. Sementara untuk tempat pertanian, umumnya mereka

memilih dataran tinggi sebagai tempat mengembangkan usaha pertanian.

Masyarakat Dawan mengembangkan usaha pertanian di daerah pegunungan;

berpindah-pindah tempat dengan sistem tebas-bakar. Itulah sebabnya, pusat

pemukiman masyarakat Dawan umumnya ditemukan di wilayah-wilayah pegunungan

yakni di daerah pedalaman pulau Timor yang kondisi tanahnya sangat kering.

Maka tidak mengherankan bagi kita apabila orang Dawan menamakan dirinya

Atoni Pah Meto, yang artinya “Orang daerah kering” atau “Orang tanah kering”.

III. Konsep Allah Menurut Masyarakat Dawan Jauh sebelum agama Kristen
masuk ke Pulau Timor, masyarakat Dawan telah memiliki konsep tentang “Yang

Ilahi”. Pengalaman akan “Yang Ilahi” dialalami dalam seiap kegiatan hidup

manusia. Pengalaman hidup merupakan titik tolak hidup religius atau beragama.

Sudah sejak zaman dahulu masyarakat Dawan mengahadapi kenyataan hidup yang

tidak dapat ditangkap secara rasional. Apa yang dialami dalam kehidupannya

ditanggapi sebagai suatu misteri. Misteri tersebut tidak sama dengan teka-teki.

Ia adalah misteri besar yang tidak pernah dimengerti, namun tidak disangkal

kebenarannya dalam setiap pengalaman manusia. Oleh karena itu, masyarakat

Dawan menyebut “Yang Tertinggi” itu dengan sebutan Uis Neno. Selain Tuhan

langit, Masyarakat Timor Dawan juga mengakui adanya Tuhan bumi atau penguasa

alam semesta. Tuhan bumi ini disebut Uis Pah atau Pah Tuaf (pah artinya dunia

atau alam). Uis Neno dan Uis Pah atau Pah Tuaf diakui membentuk satu kesatuan

ilahi. Walaupun demikian superioritas Uis Neno tetap nyata. Kuasa Uis Neno

melampaui kekuasaan dewa manapun. Uis Neno dan Uis Pah atau Pah Tuaf

memiliki sifat yang berbeda. Uis Neno merupakan sang pencipta, sang

penyelenggara dan Mahakuasa. Uis Pah atau Pah Tuaf diaggap sebagai pembawa

malapetaka bagi manusia. Oleh karena itu, manusia harus berusaha mengambil

hati mereka dengan berbagai upacara ritual. Salah satu upacara ritual seperti

yang akan kita lihat pada bagian berikut adalah upacara Fua Pah. A. Uis Neno

(Tuhan ) Uis Neno berasal dari kata Uis atau Usi artinya Raja, Tuan, Yang

Empunya, sedangkan Neno artinya hari, langit, Yang tertinggi. Uis Neno diartikan
sebagai Dewa atau “Tuhan”. Uis Neno adalah “Dewa Langit” atau “Dewa

Tertinggi”, memiliki kekuatan yang lebih tinggi, dan berkuasa atas langit dan

bumi yang diyakini oleh masyarakat Dawan sebagai “Tuhan”. Uis Neno dianggap

sebagai asal mula segala sesuatu; pencipta, pemelihara dan penguasa alam

semesta. Uis Neno juga digambarkan sebagai Apinat ma Aklaat atau “Yang

Bernyala dan Yang Membara”, Afinit ma Amnaut atau “Yang Tertinggi dan Yang

Mengatasi Segala Sesuatu”. Uis Neno juga diyakini sebagai pemberi Manikin ma

Oetene atau “Yang memberi kita makanan dan kesehatan”. Uis Neno tidak boleh

disebutkan namanya secara langsung. Ia adalah dewa pemberi hujan, sinar

matahari, atau untuk medapatkan keturunan, kesehatan dan kesejahteraan.

Dalam tradisinya, Uis Neno adalah Dewa yang paling istimewa dari dewa-dewa

lain yang ada dalam masyarakat suku Dawan. Asal Usul Pemberian Nama Uis

Neno adalah “Dewa Tertinggi” yang tidak dapat disebutkan namanya secara

langsung. Ia adalah “Tuhan” yang berkuasa atas langit dan bumi. Kepada “Dewa

Tertinggi” ini, masyarakat Dawan Menyebutnya sebagai Uis Neno, Tuhan hari

atau langit. Yang memberikan nama Uis Neno kepada “Tuhan-nya orang Dawan

Kristen” adalah para msionaris pada zaman penjajahan Portugis. Akan tetapi, Uis

Neno di sini dimengerti sebagai “Raja Langit” orang Dawan sendiri tidak pernah

menyebut Uis Neno sebagai wujud tertinggi secara langsung. Dalam berbagai

upacara keagamaan, sebutan untuk Uis Neno selalu dikombinasikan dengan nama

atau sebutan lain seperti Uis Pah atau Uis Naijan (raja bumi atau daratan,
tanah). Hal ini mau menunjukkan pola pikir masyarakat Dawan sebagai dualitas

paralel komplementaris. Walaupun demikian, sebutan-sebutan ini tidak boleh

dipisahkan satu dengan yang lainnya, melainkan harus selalu didahului oleh nama

Uis Neno. Oleh karena itu, kita sering menjumpai sebutan seperti Uis Neno Uis

Pah atau Uis Neno Uis Naijan. Masyarakat Dawan tetap mempertahankan

pemahaman ini dengan tujuan menjaga dan mengakui aspek transendensi dan

imanensi. Uis Neno diyakini sangat jauh di atas langit namun dekat. Kedekatannya

diperlihatkan dalam alam yang diwakili oleh dewa-dewinya. Peranan Uis Neno

Bagi Masyarakat Dawan Kehadiran Uis Neno bagi masyarakat Timor Dawan

lahir dari pengalaman perjumpaan dengan ciptaan yang lain. Pengalam itu

dirasakan sebagai sesuatu yang menggetarkan dan melampaui daya nalar manusia.

Pengalaman inilah yang membuat masyarakat Timor Dawan sampai pada suatu

kesimpulan bahwa “sesuatu yang tidak dapat dimengerti itu adalah Tuhan, yang

bagi masyarakat Dawan adalah Uis Neno. Kehadiran Uis Neno menurut

pemahaman masyarakat Timor Dawan adalah melalui air, tanah, langit, serta

benda-benda alamiah lainya seperti batu besar, pohon beringin yang dianggap

memiliki kekuatan dan dianggap sakral. Uis Neno yang adalah pencipta dan

pemelihara sangat berperan dalam hidup manusia. Peran Uis Neno dalam

masyarakat Dawan, dilihat berdasarkan sifat-sifat ilahi-Nya yakni: 1. Apinat ma

Aklaat: menyala dan membara Hal ini mengindikasikan Uis Neno dengan matahari.

Kekuatan panas dan cahaya matahari yang dasyat tidak dapat ditandingi oleh
kekuatan panas atau cahaya manapun. Uis Neno yang adalah Mahakuasa tidak

dapat dilampaui oleh kuasa manapun. Uis neno adalah matahari dan cahaya sejati.

2. Amoet ma Apakaet: pencipta dan pemelihara Uis Neno adalah Tuhan pencipta

alam semesta beserta segala isinya. Ia adalah penyebab segala sesuatu. Dia

adalah penguasa langit dan bumi dan segala mahkluk harus tunduk kepada-Nya. 3.

Alikin ma Apean: pembuka jalan dan mengatur kehidupan Uis Neno adalah

penyebab awal dari segala sesuatu. Dia yang pertama memulai segala sesuatu dan

segala mahkluk tergantung kepada-Nya. Ia juga yang mengatur seluruh

perjalanan hidup manusia. Ia adalah alva dan omega, awal dan akhir. B. Uis Pah

atau Pah Tuaf (Dewa Bumi) Uis Pah adalah sebutan untuk roh yang dianggap

berkuasa atas tanah. Menurut kerpercayaan masyarakat Dawan, roh-roh

tersebut adalah penghuni pohon-pohon besar, batu-batu besar, sungai dan

gunung. Dewa ini dianggap sebagai dewi wanita yang mendampingi Uis neno.

Setiap roh yang mendiami tempat-tempat tersebut di atas memiliki peranannya

masing-masing. “Roh-roh dan dewa-dewi ini, menurut H.G. Nordholt Schulte

adalah berbagai variasi manifestasi dari dewa tertinggi orang Dawan Uis Neno

[…] dewa tertinggi ini memanifestasikan dirinya dalam berbagai jenis dewa-dewi

rendah lainya dan diberi wewenang untuk menangani daerah-daerah atau bagian-

bagian kehidupan tertentu”. IV. Ritus Bercocok Tanam Dengan kondisi alam yang

tandus dan kering, masyarakat Dawan umumnya bertani berpindah-pindah

tempat. Untuk persiapan lahan, masyarakat Dawan harus melewati beberapa


tahap berikut: “(1) tahap menebas hutan/membersihkan kebun (ta’nelat hun

mau), (2) tahap membakar hutan (polo nopo/sifo nopo), (3) tahap menanam

(tapoen fini buke), (4) tahap pertumbuhan tanaman (eka ho’e), (5) tahap panen

perdana (eka pen a smanan ma anne smanan)” . Penjelasan tahap-tahap tersebut

adalah sebagai berikut: a. Tahap menebas hutan/membersihkan kebun (ta’nelat

hun mau) Hutan yang telah ditentukan dikerjakan secara bersama-sama atau

gotong royong. Dalam tahap ini seekor binatang dikorbankan. Hal ini bertujuan

untuk memohonkan kekuatan dan semangat serta keselamatan bagi mereka yang

sedang bekerja misalnya sengatan ular berbisa, ditimpa pohon dan luka akibat

penggunaan parang. b. Tahap Membakar Hutan (polo nopo/sifo nopo) Tiga minggu

berselang dan ranting-ranting sudah kering, maka tibalah saatnya untuk dibakar.

Proses pembakaran biasanya dilakukan pada sore atau malam hari. Dipilih pada

sore atau malam hari karena pada saat itu angin yang bertiup tidak begitu

kencang. Hal ini bertujuan agar api tidak merambah ke hutan disekitarnya.

Setelah kebun baru dibakar, semua orang kembali ke kampung. Setibanya disana

mereka disiram dengan air. Penyiraman kepada para pekerja mempunyai makna

simbolis, yaitu menyeimbangkan kembali kekuatan-kekuatan alam. Bumi yang

panas akibat pembakaran kebun memjadi dingin kembali. Dengan demikian

mereka berbesar hati untuk mendapatkan hasil yang berlimpah. c. Tahap

Menanam (tapoen fini buke) Pada saat musim hujan tiba, masyarakat Dawan mulai

mempersiapkan benih yang akan ditanam. Sebelum ditanam benih tersebut harus
dibawa ke kepala suku atau amaf, untuk dimohonkan berkat atas benih-benih

tersebut. Sebelum dimohonkan berkat, benih-benih tersebut diletakan di atas

sebuah altar batu. hal ini bertujuan agar benih-benih yang ditanam bebas dari

serangan semut dan binatang-binatang lain. d. Tahap Pertumbuhan Tanaman (eka

ho’e) Ketika tanaman sudah mulai tumbuh, dilakukan upacara eka ho’e. upacara ini

dilangsungkan secara sederhana dengan mempersembahkn seekor hewan korban.

Sebelum upacara makan bersama (tol tabua), amaf mendaraskan sebuah doa

adat. Hal ini bertujuan untuk menghindari erosi yang disebabkan oleh hujan

lebat. e. Tahap Panen Perdana (eka pen a smanan ma anne smanan) Ketika tiba

waktunya, dipilih beberapa jagung yang besar, lengkap dengan daun dan

batangnya untuk dipersembahkan kepada Uis Pah. Semua bulir jagung yang

dibawa oleh masyarakat diletakan diatas altar batu. Seorang amaf mendaraskan

doa. Setelah itu, semua jagung yang dibawa masyarakat dimasak dan dimakan

bersama-sama. Upacara ini menandakan bahwa jagung baru sudah bisa dimakan.

V. Tradisi Fua Pah Telah dikatakan bahwa selain Tuhan tertinggi (Uis Neno),

masyarakat dawan juga mengakui adanya Tuhan bumi (Uis Pah atau Pah Tuaf).

Telah dikatakan juga bahwa keduanya memiliki sifat khasnya masing masing. Uis

Neno memiliki sifat-sifat yang baik sedangkan Uis Pah atau Pah Tuaf memiliki

sifat-sifat yang tidak baik atau merugikan. Oleh karena itu, manusia harus

mengambil hati mereka denagan mengadakan upacara-upacara ritul. Pengertian

Tradisi Fua Pah Secara etimologis, Fua Pah berasal dari akar kata kerja fuat
yang artinya menyembah, menengadah, dan memohon dengan harapan doa

dikabulkan, sedangkan Pah artinya bumi, dunia atau alam. Dalam kaitannya dengan

dunia agraris, Fua Pah bearti menyembah raja atau penguasa bumi atau alam.

Upacara ritual Fua Pah adalah sebuah upacara penyembahan kepada Tuhan

Tertinggi dengan mempersembahkan sesajen. Upacara ini dilaksanakan dengan

berbagai intensi sesuai dengan kebutuhan misalnya ketika hendak membuka lahan

pertanian yang baru, syukur atas hasil panen dan sebagainya. Tempat yang biasa

digunakan untuk melangsungkan upacara ini adalah di gunung atau di ladang.

Tempat-tempat semacam ini dianggap memiliki kekuatan dan dianggap suci.

Anggapan akan tempampat-tempat suci seperti gunung, bukit, dan batu besar

tidak hanya diakui oleh masyarakat Timor Dawan melainkan juga oleh berbagai

suku di Indonesia. Ritus Fua Pah Fua Pah adalah salah satu upacara ritual

masyarakat Timor Dawan terhadap Uis Neno atau uis pah atau Pah Tuaf sebagai

penguasa langit dan bumi. Upacara ritual ini dilaksanakan pada saat masyarakat

Timor Dawan hendak mepersiapkan lahan pertanian yang baru maupun syukur

atas panenan yang baru. Masyarakat Timor Dawan percaya bahwa Uis Neno dan

Uis Pah atau Pah Tuaflah yang menyebabkan semua hasil panen yang melimpah

maupun terhadap gagalnya panenan. Upacar ritual ini biasanya dilaksanakan di

tempat-tempat yang dianggap suci dan memiliki kekuatan gaib seperti gunung,

bukit, batu besar, dan pohon beringin yang besar. Tempat-tempat semacam ini

diakui oleh masyarakat Timor Dawan sebagai tempat Uis Neno maupun Uis Pah
atau Pah Tuaf mewahyukan diri. Di tempat-tempat inilah masyarakat Timor

Dawan melaksanakan upacara ritual ini. Orang yang berperan penting dalam

upacara ritual ini adalah tobe yakni “imam”. Orang yang berperan sebagai “imam”

dalam upacara ritual ini adalah tua adat atau kepala suku yang dituakan dalam

masyarakat Timor Dawan. Dalam upacara ritual ini, hal-hal yang diperlukan ialah

hewan kurban (sapi, babi, ayam atau kambing), muti atau iun leko (kalung orang

Dawan yang terbuat dari batu berwarna merah ada juga yang terbuat dari emas),

puah ma manus (sirih-pinang), tua nakaf (sopi kepala, minuman keras terbaik

orang Dawan). Puah-manus dan tua nakaf berfungsi sebagai komunikasi religius

dan menjaga hubungan baik dan serasi dengan Uis Neno dan yang terakhir adalah

bete-tais (kain sarung orang Dawan). Upacara ritual untuk mempersembahkan

kurban kepada Uis Neno ini dilasanakan sebanyak lima atau enam tahap mulai dari

persiapan lahan pertanian yang baru sampai pada tahap menuai. Pada bagian ke IV

telah kita lihat kelima tahap kegiatan pertanian yakni: Tahap menebas hutan atau

membersihkan kebun (ta’nelat hun mau), tahap Membakar Hutan (polo nopo/sifo

nopo), Tahap Menanam (tapoen fini buke), Tahap Pertumbuhan Tanaman (eka

ho’e), dan Tahap Panen Perdana (eka pen a smanan ma anne smanan). Upacara

ritual ini dilaksanakan dengan pembacaan doa atau mantra untuk menunaikan

pujian, permohonan dan syukur kepada Uis Neno. Doa-doa atau mantra dalam

masyarakat Timor Dawan disebut sebagai lasi tonis. Doa atau mantra ini

disampaikan oleh seorang tobe atau “imam”, tua adat yang mendapat kepercayaan
dari masyarakat setempat. Tobe dalam masyarakat Timor Dawan memiliki

peranan penting dalam segala upacara adat maupun upacara seremonial lainnya.

Tobe dalam masyarakat Timor Dawan adalah orang yang terberkati dan memiliki

kekuatan magis religius. Segala ucapan doa atau mantra yang disampaikan oleh

seorang tobe memiliki kekuatan yang dianggap melebihi sebuah mata pedang.

Kata-kata doa atau mantra yang disampaikan oleh tobe dianggap mujarab dan

menyampaikan kebenaran. Setelah pembacaan lasi tonis (doa atau mantra) oleh

tobe, upacara ritual ini dilanjutkan dengan penyembelihan hewan kurban. Darah

dari hewan kurban tersebut dioleskan pada sebuah faot bena atau (batu plat)

yang telah disediakan dan berfungsi sebagai mesbah. Selain pada faot bena,

darah hewan kurban tersebut juga dioleskan pada benih yang akan ditanam.

Setelah itu, daging hewan tersebut di masak untuk kemudian dipersembahkan

kepada Uis Neno-Uis Pah atau Tuaf. Daging yang akan dipersembahkan kepada

Uis Neno-Uis Pah atau Tuaf harus dipilih daging yang terbaik. Untuk hewan yang

berkaki empat seperti sapi, kambing dan babi daging terbaik untuk persembahan

adalah hati dan daging has, sedangkan untuk unggas seperti ayam harus daging

bagian paha dan dada. Daging tesebut kemudian di letakkan bersama dengan nasi

diatas mesbah sebagai persembahan kepada Uis Neno-Uis Pah atau Tuaf dengan

pembacaan lasi tonis khusus. Lasi tonis khusus tersebut berisi undangan kepada

Uis Neno-Uis Pah atau Tuaf bahwa sajian telah siap dan kiranya Uis Neno-Uis

Pah atau Tuaf berkenan menerimanya. Setelah tobe menyampaikan lasi tonis
sajian tersebut, sajian itu wajib dimakan oleh “umat” yang hadir. Fungsi Ritual

Fua Pah Upacara dan tindakan ritual dalam tradisi Fua Pah dapat dikategorikan

ke dalam empat fungsi. Fungsi-fumgsi tersebut berkaitan erat dengan hal-hal

mitis yang melatar belakanginya. Keempat fungsi ini tidak hanya berciri mitis

tetapi terutama berciri sosiologis. Keempat fungsi itu adalah sebagai berikut:

Fungsi Magis. Fungsi ini berkaitan erat dengan pengunaan bahan-bahan dalam

upacara Fua Pah yang diyakini bekerja karena adanya daya-daya mitis. Misalnya

ramalan melalui hati hewan. Dari hati hewan kurban, dapat diketahui apakah

permohonan dan doa-doa kita diterima atau tidak. Tindakan ini jelas merupakan

sebuah tindakkan magis, yang melaluinya manusia dapat mengetahui kehendak

dari yang ilahi (Uis Neno atau Uis Pah/Pah Tuaf). Melalui upacara Fua Pah,

masyarakat Timor Dawan bermaksud untuk mengambil hati Uis Neno dan Uis Pah

atau Pah Tuaf agar tidak mengganggu dan merusak tanaman. Hal ini ditunjukkan

dengan bahasa puisi lasi tonis yang indah dan melalui persembahan hewan kurban.

Fungsi Religius. Pelaksanaan ritus Fua Pah adalah sebuah tindakkan yang dapat

digolongkan sebagai sebuah tindakkan religius yang bersifat kreatif dan memiliki

dimensi sosial. Dalam upacara ini, seluruh anggota masyarakat berkumpul

bersama kepala suku dan secara kreatif mempersembahkan upacara ini demi

kepentingan bersama. Para leluhur kita juga melalukan hal semacam ini dan itu

dianggap kudus. Oleh karena itu, ritus Fua Pah dalam masyarakat Timor Dawan

juga memiliki fungsi religius dan simbol religi lokal masyarakat timor Dawan.
Fungsi Faktitif. Fungsi ini bekaitan erat dengan peningkatan produktifitas dan

kekuatan masyarakat Timor Dawan yang bertujuan memenuhi kebutuhan material

secara bersama-sama atau kelompok. Motifasi untuk meningkatkan

kesejahteraan bersama dalam suku merupakan sebuah tindakkan faktifis yang

nampak dalam ritus fua Pah. Fungsi ini tidak hanya diwujudkan melaui korban

kepada para leluhur melainkan terlebih sebagai peran aktif mereka dalam setiap

tindakkan demi kepentingan bersama. Fungsi Intensifukasi. Fungsi identifikasi

berkaitan erat dengan usaha pembaharuan dan peningkatan hidup. Pembaharuan

ini tampak dalam upacara ritual kelompok dalam mengidentifikasi kesuburan,

ketersediaan buruan, dan panenan. Misalnya, banyak bintang tampak di langit

pada malam hari, orang Dawan mulai mengatakan bahwa di sungai banyak ikan.

Pengidentifikasian semacam ini hanyalah dianggap mitos tetapi pada tingkat

perilaku manusia tidak terlepas dari fenomena ritus dan mitos. Upacara Fua Pah

dilandasi oleh motifasi identifikasi sebab masyarakat menginginkan panenannya

berhasil. VI. Penutup Masyarakat Timor Dawan adalah masyarakat ritual yang

memiliki banyak sekali upaca ritual yang mewarnai setiap hidup mereka. Tuntutan

akan kebutuhan hidup yang berat akibat alam yang gersang dan iklim yang kurang

bersahabat, ritus Fua Pah diciptakan sebagai cara untuk menyiasati hal tersebut.

Dengan kondisi alam yang tandus dan kering, masyarakat Dawan harus bekerja

keras. Salah satu cara untuk menjinakkan alam yaitu dengan pemujaan dan

penghormatan kepada Uis Pah yang diyakini bertanggung jawab atas kesuburan
tanah. Dalam bercocok tanam masyarakat Dawan harus melewati tahap-tahap

seperti: tahap menebas hutan/membersihkan kebun (ta’nelat hun mau), tahap

membakar hutan (polo nopo/sifo nopo), tahap menanam (tapoen fini buke), tahap

pertumbuhan tanaman (eka ho’e), dan tahap panen perdana (eka pen a smanan ma

anne smanan). Selain itu, ritus Fua Pah juga memiliki empat fungsi utama yakni:

fungsi magis, fungsi religius, fungsi faktifis, dan fungsi identifikasi. Uis Neno

adalah inti dan pusat terdalam dari keyakinan dan kepercayaan tersebut. Uis

Neno adalah Tuhan yang sempurna, Tuhan yang terang, dan Tuhan seluruh alam

raya. Ini adalah inti dari keparcayaan orang Timor Dawan. Dengan perkembangan

budaya dan pengaruh agama Kristen, tempat-tempat pemujaan terhadap dewa-

dewi atau roh sedikit demi sedikit dianggap sebagai tempat suci dimana Tuhan

hadir. Namun, praktek ini terkadang masih kita jumpai dalam masyarakat Dawan.

VII. Refleksi Kritis atas Tradisi Fua Pah Sebagai Bentuk Kepercayaan

Masyarakat Dawan – Timor Kepada Wujud Tertinggi. Pengalaman hidup

merupakan titik tolak hidup religius atau beragama. Sudah sejak zaman dahulu

kala, orang-orang menghadapi kenyataan hidup yang tidak dapat ditangkap secara

rasional. Hal itu terjadi karena apa yang dihadapi tersebut melampaui daya

nalar/tangkap manusia. Apa yang dialami tersebut ditanggapi sebagai suatu

misteri. Misteri tersebut tidak serupa dengan teka-teki. Ia merupakan misteri

besar yang tidak pernah dimengerti, namun tidak dapat disangkal kebenarannya

dalam pengalaman manusia. Menurut Rudilf Otto, misteri yang muncul dalam
hidup manusia ditafsirkan sebagai ‘Yang Kudus’. Kata ‘suci’ dan ‘kudus’ hendaknya

jangan pertama-tama diartikan secara moral sebagai saleh. Alim, dan sebagainya.

Arti moral tersebut tidak mengungkapkan inti sari dan hakikat Yang Ilahi.

Manusia pun dapat disebut kudus dan suci dalam arti moral. Kata ‘kudus’

menunjuk sesuatu yang dipisahkan dari yang lingkungan profan dan dikhususkan

bagi Yang Ilahi. Maka untuk mengungkapkan inti pengalaman religius tersebut,

Otto membuat istilah baru, yaitu ‘perasaan numinous’. Istilah ‘numen’ dalam

Bahasa Latin berarti ‘kekuasaan ilahi’, dan memang ke-ilahian’ Yang Ilahi itulah

yang menjadi arti utama dari kata ‘kudus’. Perasaan numinous memiliki dua aspek

yang utama, yaitu perasaan takut yang religius (tremendum) dan perasaan

terpesona/ tertarik (fascinans). Yang ilahi, yang merupakan misteri, serentak

tampak sebagai kekuatan yang menakutkan dan mengagumkan. Hal itu terjadi

karena Ia berlainan sama sekali dari manusia. Yang Kudus muncul sebagai

‘mysterium tremendum et fascinas’. Numinous yang menampakkan diri

memunculkan perasaan gentar/takut dari manusia terhadap-Nya. Menurut Otto,

rasa takut dan gentar yang terdapat dalam jiwa manusia bukanlah bersumber

dari murka Yang Ilahi melainkan realitas Yang Kudus, yang tidak dapat dimasuki.

Yang Kudus itu dialami sebagai sesuatu yang berkuasa atas segala sesuatu. Ia

tampak sebagai yang mulia. Di hadapan kemuliaan Yang Kudus tersebut, kita

hanya bisa sujud dan hormat karena kita merasa lemah dan kecil. Meskipun Yang

Kudus melebihi manusia dan berada di luar lingkup yang biasa, namun Ia tidak
dialami sebagai yang asing. Manusia dapat mengenal, mengerti, dan merasa dekat

dengan-Nya. Secara tidak rasional, Yang Ilahi tersebut dialami sebagai sesuatu

yang menarik. Yang Kudus dilihat sebagai suatu wujud yang penuh kebaikan,

kegaiban, belas kasihan, dan rahmat. Rasa kagum dan terpesona tersebut

mendorong manusia untuk menjalin relasi yang akrab dengan-Nya. Yang Kudus

dapat menampakkan diri dalam benda-benda dunia (hierofani). Pada dasarnya

seluruh kosmos (segala sesuatu) dapat menampakkan Yang Kudus. Akan tetapi,

umumnya hanya benda-benda tertentu saja yang dihayati sebagai sesuatu yang

kudus misalnya gunung, bukit, batu besar dan sebagainya. Benda-benda dunia

menunjuk ke arah sesuatu yang melebihi dirinya, sesuatu yang ilahi. Benda yang

profan tersebut menjadi media bagi manusia untuk mencari dan menemukan Yang

Kudus. Demikian halnya dengan masyarakat Timor Dawan yang melakukan praktek

pemujaan kepada Uis Neno melalui upacara Fua Pah. Masyarakat Timor Dawan

meyakini bahwa melalui benda-benda profan tersebutlah Allah mewahyukan diri.

Masyarakat Timor Dawan menyadari akan sesuatu yang lebih tinggi itu, berawal

dari perjumpaan dengan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Mereka

menamakan yang lebih tinggi itu Uis Neno. Masyarakat Dawan adalah masyarakat

kultur yang meyakini adanya dewa-dewi seperti halnya bangsa-bangsa lain. Dalam

Perjanjian Lama dikisahkan bahwa, ketika melintasi padang gurun bangsa Israel

dilindungi oleh YAHWE yang selalu menang perang. Ketika memasuki tanah

terjanji, mereka harus memulai cara hidup yang baru. Di mana mereka harus
mulai tinggal menetap dan mengolah tanah untuk mempertahankan hidup mereka.

Bangsa Israel melakukan praktek pemujaan kepada YAHWE yang dianggap dapat

memberikan hasil panen yang berlimpah kepada mereka. Demikian halnya dengan

masyarakat Dawan yang melakukan praktek pemujaan kepada Uis Neno melalui

upacara Fua Pah. Ritus-ritus kepercayaan dan pemujaan kepada Uis Neno melalui

upacar Fua Pah, secara tidak langsung telah membentuk suatu kepercayaan akan

adanya suatu yang lebih tinggi dan bersifat Ilahi. Ritus-ritus kepercayaan inilah

yang pada akhirnya membawa mereka kepada pemahaman akan Allah yang satu

dan Mahatinggi. Pemahaman akan Allah yang satu dan Mahatinggi itu menjadi

jelas dengan masuknya agama Kristen di Timor. Dengan masuknya agama Kristen

di Timor pemahaman mengenai Uis Neno pun mulai mengalami pergeseran makna

dan arti. Uis Neno tidak lagi dipahami sebagai dewa tertinggi yang samar-samar,

melainkan Allah yang sesungguhnya nyata dan dikenal; sebagaimana Allah orang

Kristen. Dengan kehadiran agama Kristen di Timor, paham mengenai Uis Neno ini

semakin dimurnikan. Kita yakin dan percaya bahwa Tuhan Allah kita hanya satu

yakni Allah Bapa yang mengutus putera-Nya ke dunia untuk membebaskan

manusia dari dosa. Dialah Yesus Kristus putera Allah yang menderita, wafat, dan

bangkit demi keselamatan umat manusia.

Diposkan oleh ERICK SILA di 18:43

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook


Rate This

← Ume: Rumah Tinggal dan Simbol Kewanitaan Atoin Meto

Pictures of my homeland →

Ume dan Lopo: Sistim Dan Simbol

Kehidupan Atoin Meto

Jul 14

Posted by aklahat

Nederlands: Foto. Portret van een Atoni vrouw met haar kind op de arm in een

dorp op Timor (Photo credit: Wikipedia)

Ume dan Lopo merupakan dua model bangunan yang berbeda dengan fungsi yang

berbeda pula. Keduanya juga memiliki nilai-nilai tersendiri dan bersama-sama

membentuk sebuah sistim yang cukup kompleks dalam kehidupan kemasyarakatan

Atoin Meto. ume merupakan sebuah ruangan tertutup, yang selalu diperuntukkan

bagi kaum perempuan, yang juga merupakan sebuah simbol kewanitaan. Segala

sesuatu yang berkaitan dengan urusan kewanitaan terjadi di dalam ruangan itu.

Di dalam ruangan itu semua urusan kewanitaan harus dilaksanakan, termasuk


menerima tamu. Dari dalam ruangan itu wanita mengendalikan segala rencana

hidup dari keluarganya. Segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan dan

rencana keluarga serta masa depannya justru berlangsung dan terjadi di dalam

ruangan rumah, mulai dari interaksi suami istri hingga peristiwa kematian.

Sementara itu Lopo adalah sebuah ruang terbuka, yang juga merupakan sebuah

simbol keperkasaan, kelaki-lakian, simbol maskulin. Di dalam lumbung (lopo) itu

segala macam urusan kemasyarakatan dibicarakan dan diselesaikan. Dengan

demikian setiap anggota masyarakat Atoin Meto sudah mengetahui tempatnya

masing-masing, yakni bahwa di lopo itu adalah tempat duduk dan berbincang bagi

kaum lelaki dan di dalam rumah adalah tempat untuk berbincang bagikelompok

perempuan. Lopo merupakan tempat menerima tamu laki-laki dan rumah adalah

tempat untuk menerima dan melayani tamu-tamu wanita. Jadi anggota

masyarakat Atoin Meto yang laki-laki memiliki rumahnya tersendiri yang disebut

lopo atau rumah laki-laki dan wanita memiliki rumahnya tersendiri yang disebut

ume biasa atau ume suba atau ume kbubu atau rumah wanita (bdk. Juga dengan

Eben Nuban Timo. Pemberita Firman… 64). Anggota masyarakat Atoin Meto

selalu mengatakan bahwa kami mempunyai aturan dalam hidup bermasyarakat,

yang oleh Cunningham E. Clark disebut kesatuan sekaligus pembedaan “unity and

difference” (lht. Cunningham E. C. Order in the Atoni House… 64). Yang

dimaksudkan dengan kesatuan atau persatuan (unity) adalah bahwa setiap rumah
tangga atau keluarga terdiri dari suami istri dan anak-anak, laki-laki dan

perempuan; ketiganya membentuk satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan

begitu saja. Selain itu mereka itu berbeda dalam melaksanakan fungsi dan

perannya masing-masing. Pihak wanita mengambilalih berbagai urusan di dalam

rumah tangganya dan pihak laki-laki memusatkan perhatiannya dengan urusan-

urusan di luar rumah atau di dalam kelompok masyarakat sosial. Paham tentang

kesatuan dan pembedaan seperti ini bukanlah sebuah pikiran baru. Hal ini

merupakan pandangan khas masyarakat Atoin Meto, yang selalu hidup dalam

prinsip dualitas komplementaris, yang saling bertentangan tetapi tetap satu tak

terpisahkan. Manusia itu terdiri dari wanita (fe) dan laki-laki (mone), malam dan

siang, lemah lembut dan kekerasan, kiri dan kanan, dalam dan luar, dan

seterusnya. Sebelum segala sesuatu dimaksukkan ke dalam rumah dan kemudian

dinaikkan ke atas loteng lopo, semuanya harus disimpan di dalam lantai lopo.

Demikian juga halnya dengan segala sesuatu harus dikeluarkan dari dalam rumah,

lalu diletakkan di lantai lopo sebelum dibawah ke luar untuk berbbagai kebutuhan

lainnya. Rumah yang adalah ruang dalam merupakan titik awal dan akhir dari

suatu ziarah pribadi secara pribadi ataupun bersama serta materi. Rumah

mempertemukan dan mempersatukan, mempertemukan kembali dan mempererat

kembali segala hubungan yang sudah terputus (lht. Juga Agenda Budaya Pulau

Timor (2), yang diedit oleh P. Gregor Neonbasu dan P. Pit Manehat, 1992, 148-

149).
Anggota masyarakat Atoin Pah Meto yang masih bujang, tidak akan membangun

rumah atau lumbungnya sendiri. Dia masih terhitung dalam anggota keluarga,

yang masih berada di bawah tanggung jawab orangtuanya. Sang pemuda selalu

akan berjuang untuk mengikuti irama kerja ayahnya, misalnya untuk belajar

membuat kebun dan memelihara serta merawatnya, juga senantiasa bersama

ayahnya dalam menghadiri atau melakukan banyak kegiatan lainnya, yang adalah

kegiatan khas bagi para ayah atau bapa keluarga. Sebaliknya sang pemudi atau

gadis juga diharapkan untuk senantiasa menaruh minat terhadap segala

pekerjaan klasik domestik yang biasa dibuat oleh para ibu. Misalnya gadis itu

diharapkan selalu memperhatikan apa yang dilakukan ibunya dalam mengolah

bahan-bahan makanan, juga dalam menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan

untuk memproduksi satu lembar kain tradisional dari hasil karya tangan sendiri.

Bila mereka ini secara pribadi sudah mampu melakukan berbagai tugas seorang

ayah dan seorang ibu, maka mereka akan diperbolehkan untuk membentuk sebuah

keluarga baru. Selama itu mereka masih tetap berstatus sebagai orang bujang

yang segala biaya hidupnya ditanggung oleh orangtuanya, yang juga adalah hasil

kerja mereka bersama juga. Bila mereka sudah memiliki keluarga sendiri, maka

mereka akan berusaha untuk membangun rumah tinggal sendiri, kendati belum

dilengkapi dengan lumbung. Sebab rumah (ume) dan lumbung (lopo) adalah simbol

perkawinan, simbol suami istri, simbol kehidupan keluarga, yang di dalamnya

mengandung sebuah sistim yang baku dan mantap. Setelah dua orang menikah dan
membangun rumah dan lumbung secara fisik, maka mereka boleh menerapkan

adat istiadat sang suami. Di sana mereka boleh menjalankan tabu tertentu sesuai

dengan adat sang suami. Di rumah yang baru itulah mereka berdua hidup sendiri

dengan mengatur segala rencana mereka berkaitan dengan masa depan keduanya

dan keluarganya nanti setelah anak-anak dilahirkan. Di dalam rumah sendiri

mereka bisa juga melakukan berbagai ritus keluarga dengan segala macam

aspeknya, mereka boleh berkuasa atas rumah tangganya sendiri sesuai dengan

adatnya atau nono-nya (lht jg. Cunningham Clark E. Soba: an Atoni Village in

West-Timor, dalam: Koentjaraningrat (ed.): Villages Communities in modern

Indonesia. Cornell Universitiy Press, Ithaca 1966, 81-84).

Sistem pembuatan dan pembangunan rumah tinggal yang selalu terdiri dari rumah

dan lumbung, hal itu menunjukkan suatu pernyataan kesetiaan terhadap sistim

hidup yang sudah lama dianut.

Demikian beberapa catatan etnohistoris dari sistim, kehidupan masyarakat Atoin

Meto, yang menganut prinsip dualitas komplementaris dalam hidup dan penataan

lingkungan hidupnya.
Sistem Adat dan Kefetoran

Di Amarasi

Nov 18

Posted by aklahat

Amarazi dibagai dalam empat Kefetoran yaitu Baun, Merbaun Siba dan Oekebiti.

Jika dikaji Kefetoran adalah pemerintahan setingkat dengan kecamatan. Masing-

masing Fetor dipilih dari kelompok Marga yang dianggap paling kuat, misalnya

Kefetoran Oekebiti dipimpin oleh keluarga dari marga Abineno. Kefetoran Baun

dari marga Tinenti, Kefetoran Merbaun dari keluarga Amtiran dan Soba berasal

dari marga Kapitan.

Kefetoran oleh Belanda ditempatkan dibawah pemerintahan Swapraja.

Pemerintahan Swapraja dipilih oleh seorang Raja (Regent) yang biasanya diambil

dari penguasa tradisional. Misalnya untuk Swapraja Kupang Rajanya berasal dari

marga Nisnoni. Sedangkan Fetor (orang kedua dalam bahasa Timor) artinya

adalah orang kedua. Dibawah Kefetoran terdapat desa-desa yang dipimpin oleh

seorang Temukung. Temukung terdiri dari dusun-dusun yang dipimpin oleh

Barnemen (Kepala Kampung). Kepala kampung mempunyai bawahan yang disebut


dengan Makapa (kaki ringan), yang bertugas untuk menyebarkan perintah dan

memberikan berita dari penguasa kepada seluruh warga, kerjanya hampir mirip

dengan tukang pos. Karena itu untuk tugas ini biasanya dipilih dari seorang warga

dengan postur tubuh yang tinggi, pandai bicara dan lari yang cepat, karena

terkadang untuk memudahkan penyebaran informasi Makapa akan naik gunung

dan menggemakan suaranya dengan alat dari bambu sehingga terdengar suaranya

diseluruh penjuru.

Tugas seorang Fetor adalah membantu kerja Swapraja menarik pajak,

menyelesaikan pertikaian yang terjadi antar warga termasuk menjaga wilayah

Kecamatan dari segala ancaman dan gangguan dari dalam maupun dari luar

wilayahnya. Disamping itu Fetor juga berhak atas hasil bumi (upeti) dari

Temukung-temukung yang ada dalam wilayah kekuasaannya. Fetor juga

menghadiri pesta yang diadakan oleh penduduk, untuk itu penduduk yang ingin

mengundang Fetor akan menyampaikan kepada Temukung. Kemudian penduduk

yang mengadakan pesta bersama Temukung menjemput Fetor dengan Kuda atau

tandu ke tempat pesta. Setelah selesai penduduk yang mengadakan hayatan akan

memberikan persembahan berupa beras dan babi.

Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga Raja dan Fetor, setiap hari warga

secara bergilir akan menyediakan tenaga untuk kebutuhan seperti mencuci,

masak, membersihkan rumah termasuk tugas-tugas rumah tangga yang lain.


Disamping itu dalam setiap Temukung masyarakat mempunyai Kebun Kolektif

yang disebut dengan Etu. Setiap panen, hasil kebun kolektif tersebut akan

dikirimkan ke gudang milik Fetor dan Raja. Selain itu penduduk juga masih harus

membayar pajak pribadi dalam bentuk uang Belanda yang disebut Naiknuif.

Sampai di disini sistem kekuasaan tradisional di Timor hampir tidak bisa

dibedakan secara tegas mana kepemilikan pribadi dan mana kepemilikan kolektif

karena Raja dan Fetor sekaligus berkuasa atas pemilikan tanah (Land Lord).

Namun hal ini mengalami perubahan cepat setelah adanya perubahan perundang-

undangan pemerintahan (setelah zaman Swapraja).

Namun setelah perubahan perundang-undangan pemerintahan (setelah zaman

Swapraja) Amarasi dibagi dalam tiga Kefetoran, yaitu Baun dengan Fetornya dari

marga Koroh dengan 20 temukung. Kefetoran Buraen oleh marga Tinenti 20

temukung dan Oekebiti oleh marga Abineno dengan 27 Temukung. Pergantian

Undang-Undang tersebut diikuti dengan penggabungan tiga Kefetoran tersebut

dalam satu kecamatan, Amarasi. Dan ibukotanya kemudian dipindahkan ke

Oekebiti dibawah kekuasaan marga Abineno. Akan tetapi Camat Amarasi yang

pertama tetap berasal dari Marga Koroh, padahal secara administratif dan

geografis wilayah Baun jauh terpisah dari 2 Kefetoran lainnya. (l2 km dari Kota

Kupang).
Hadirnya struktur baru ini menimbulkan beberapa implikasi pada penguasa

Kefetoran lama. Jabatan Camat yang diangkat oleh pemerintah mempersempit

ruang bagi keturunan Fetor untuk menduduki Jabatan tersebut, sehingga yang

terjadi adalah perpindahan perebutan jabatan politik pada level kecamatan ke

desa dimana marga dominan masih tetap mempunyai pengaruh dalam masyarakat

termasuk dalam setiap pemilihan pilkades.

Kemudian dari segi kebiasaaan adat yang kekuasaan semula ada di tangan Fetor,

sekarang menjadi terpecah-pecah, begitu juga dengan tanggung jawab yang

dibebankan kepada Fetor dan Camat keduanya makin rancu. Kerancuan ini

pertama disebabkan karena masyarakat belum terbiasa dengan sistem ini,

sehingga sistem adat yang diadopsi menimbulkan beberapa konflik antara

pemangku adat maupun struktur pemerintahan atau Camat yang sudah ditetapkan

oleh pemerintah.

Dalam perjalanannya banyak masyarakat yang lebih mempercayai tokoh adatnya

dari pada Kepala Desa mereka, yang menurut Undang-Undang ditetapkan oleh

Kabupaten. Banyak peristiwa-periatiwa yang membuat kecemburuan tokoh adat

terhadap Kepala desa yang dipilih oleh Kabupaten. Seperti pengakuan J. B

Abineno dalam suatu wawancara di Oekebiti, Kecamatan Amarazi. Beliau adalah

Fetor terakhir di Oekebiti sebelum Kefetoran dan Ketemukungan dihapus. J. B.

Abineno mengungkapkan rasa kekecewaannya terhadap pemerintah lantaran,


pertama, sebagai pemangku adat dia diserahi untuk menjaga hutan. Namun tidak

ada gaji sesenpun diterima. Sementara petugas dari perhutani digaji setiap

bulannya.

Kedua, hak belis (penyerahan bingkisan yang dahulu diperuntukkan Fetor sebagai

penguasa) sekarang justru diserahkan kepada Kepala desa setempat beserta

Camat. Sedangkan Fetor tidak mendapat apa-apa. Padahal dalam acara ritualnya

pernikahan misalnya Fetorlah yang mengesahkan apakah mereka sah sebagai

suami-istri atau belum menurut adat. Pemerintah seperti kepala desa dan camat

hanya berkepentingan terhadap administratifnya saja.

Anda mungkin juga menyukai