kenyataan negeri ini terdiri dari lebih 14.000 pulau, 570 suku bangsa dengan sistem sosial
budaya yang beraneka ragam. Masing-masing suku bangsa membangun dan mengembangkan
kebudayaannya sendiri melalui berbagai pengalaman sejarah yang dimilikinya dan
kemampuan adaptasinya dengan lingkungan serta melalui pengetahuan yang datang dari
dalam dirinya sendiri.
Koentjaraningrat (1968:146)mengemukakan perwujudan dari suatu lingkungan budaya tidak
dapat dilepaskan dari kehidupan warganya sebagai suatu kesatuan sosial dan kebudayaan.
Manusia-manusia yang hidup bersama dalam satu kesatuan wilayah menampakkan ciri-ciri
(a) cinta wilayah, (2) adanya kepribadian kelompok, (3) warganya yang saling mengenal
dengan frekuensi pergaulan yang relatif besar, (4) tidak memiliki aneka warna yang besar, (5)
warga umumnya dapat menghidupi sebagian besar dari lapangan-lapangan kehidupan yang
ada dalam wilayah itu.
Parsudi Suparlan (1980:20), menjelaskan bahwa dalam melangsungkan kehidupannya
manusia di manapun secara langsung tergantung pada lingkungan alam dan fisik tempatnya
hidup. Hubungan antara manusia dengan lingkungan fisik dan alamnya tidaklah semata-mata
terwujud sebagai suatu hubungan di mana manusia mempengaruhi dan merubah
lingkungannya D. Forde (1963 :463) dalam bukunya Habitat, Economy and Society,
mengemukakan bahwa hubungan antara kegiatan manusia dengan lingkungan alamnya
dijembatani oleh pola-pola kebudayaan yang dipunyai oleh manusia.
Suku bangsa Boti merupakan suatu kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran akan
kesatuan kebudayaan, yaitu kebudayaan Boti. Meskipun demikian, dalam kesatuan
kebudayaan tersebut dijumpai pula adanya sejumlah variasi dan perbedaan kesatuan
kebudayaan yang khas. Berkaitan dengan hal ini Haviland (1988:334) menyatakan bahwa
meskipun kebudayaan merupakan milik masyarakat, namun kerap dijumpai perbedaan-
perbedaan atau variasi-variasi subkultur, yakni seperangkat norma dan pola perilaku budaya
tertentu yang diikuti oleh suatu kelompok dalam masyarakat yang lebih luas.
Pemukiman memiliki karakteristik, yaitu gambaran atau kenampakan tertentu menjadi ciri
khas dari wujud suatu pemukiman. Adanya kenampakan tertentu yang menjadi ciri khas
inilah membedakan antara kelompok pemukiman satu dengan yang lainnya. Karakteristik
pemukiman meliputi tipe pemukiman, serta lingkungan pemukiman.
Parsudi Suparlan (1977:65), mengatakan bahwa manusia sebagai mahluk hidup selalu
berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam interaksi itu manusia mempengaruhi
lingkungannya dan sebaliknya manusia juga dipengaruhi oleh lingkungannya. Melalui proses
interaksi tersebut manusia juga banyak belajar dan memperoleh pengetahuan tentang
lingkungan mereka atau mengembangkan pemikiran yang dapat dipakai sebagai model untuk
melakukan kegiatan dan juga menerangkan kedudukan manusia di alam semesta ini.
Berkenaan dengan interaksi manusia dengan lingkungannya kebudayaan kerap dipandang
sebagai kerangka acuan atau pedoman bagi manusia untuk beradaptasi dengan
lingkungannya, sebagaimana dinyatakan Spredley (1972) bahwa kebudayaan merupakan
kerangka acuan bagi manusia untuk menanggapi lingkungannya, Demikian juga halnya
dengan berbagai suku bangsa yang ada di tanah air.
Adanya variasi-variasi atau perbedaan-perbedaan subkultur yang terdapat dalam kebudayaan
Timor Tengah Selatan (TTS) tidak terlepas dari latar belakang historis masyarakat
pendukungnya. Pola pemukiman yang unik dan khas yang dimiliki oleh berbagai suku bangsa
yang ada di berbagai daerah kiranya perlu untuk dilindungi dan dilestarikan sebagai daya
tarik budaya terutama bagi wisatawan manca negara. Penelitian mengenai pola pemukiman
masyarakat Boti ini dilaksanakan di dusun Boti Dalam Desa Boti, Kecamatan Kie, Kabupaten
Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.
Konsep yang tercakup dalam suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh
kesadaran dan identitas akan ”kesatuan kebudayaan”, sedangkan kesadaran dan identitas tadi
seringkali (tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga. Dengan demikian
”kesatuan kebudayaan” bukan suatu hal yang ditentukan oleh orang luar, melainkan oleh
warga kebudayaan bersangkutan sendiri (Koentjaraningrat, 2000:264). Dalam kenyataan,
konsep ”suku bangsa” lebih kompleks daripada apa yang terurai di atas. Hal ini disebabkan
karena dalam kenyataan batas dari kesatuan manusia yang merasakan diri terikat oleh
keseragaman kebudayaan itu dapat meluas atau menyempit tergantung pada keadaan.
Mengacu pendapat Leibo (1990), dengan tipe pemukiman yang disebut The line Village –
yakni tipe desa dengan pemukiman penduduk bersifat linear. Rumah-rumah penduduk
dibangun berjejer saling berhadapan dengan bentuk dan struktur bangunan yang seragam.
Antara rumah yang satu dengan rumah yang lainnya tidak dipisahkan oleh tembok
penyengker (tembok keliling) yang tinggi, sehingga pemukiman penduduk secara
keseluruhan tampak seolah-olah terdiri dari satu bangunan rumah panjang.
Pola pemukiman mencerminkan pola hubungan antara manusia dengan manusia, dan
manusia dengan lingkungan, serta manusia dengan Sang Maha Pencipta. Hal ini sangat
berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan akan perlindungan, baik nyata dan kepercayaan, serta
pengaruh iklim dan cuaca, kebutuhan akan istirahat, dan kepraktisan pergi ke ladang, dan
lain-lain.
Sehubungan dengan itu, lingkungan alam akan berfungsi sebagai penentu yang akan
menentukan kehidupan berikutnya., diterminisme lingkungan yang melihat bahwa populasi
manusia dengan perkembangan budayanya sangat ditentukan oleh lingkungan alamnya,
secara bertahap sudah mulai ditinggalkan, mengingat dalam kenyataannya yang lebih
berperan dalam lingkungan tersebut adalah manusia.
Meskipun lingkungan dapat mempengaruhi pola-pola kebudayaan dengan menghadirkan
berbagai kendala, akan tetapi lingkungan sendiri tidak akan bisa menciptakan fenomena-
fenomena sosial budaya (Darmika, dalam Purna 2005). Hubungan manusia dipandang
sebagai faktor aktif terhadap lingkungannya. Sebaliknya, lingkungan akan banyak
memberikan kemungkinan terhadap perkembangan kehidupan manusia.
Koentjaraningrat (1990:48), mengatakan bahwa ekologi budaya dapat diartikan sebagai
pengaruh timbal balik lingkungan alam yang telah diubah oleh kebudayaan manusia pada
suatu lokasi tertentu di muka bumi. Berkenaan dengan itu dapat dikatakan bahwa kebudayaan
merupakan suatu proses adaptasi dari manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Demikian juga sebaliknya keberadaan suatu lingkungan akan dapat mendorong manusia
untuk menciptakan kebudayaan.
Pendekatan tentang adaptasi manusia terhadap lingkungannya, juga dikemukakan oleh
Soemarwoto (1997:48), di mana menurutnya dinyatakan adanya perubahan lingkungan
terhadap lingkungan baik yang terjadi dengan cepat maupun lambat orang akan berusaha
mengadaptasikan dirinya dengan perubahan itu, kendatipun adakalanya orang tidak berhasil
mengadaptasi perubahan itu sebagai menghasilkan sifat (prilaku) yang tidak sesuai dengan
lingkungannya. Jadi apabila lingkungan mengalami perubahan secara langsung maupun tidak
langsung akan mempengaruhi penghuninya baik manusia maupun binatang.
Dalam tulisan ini pendekatan ekologi budaya akan dipergunakan untuk menelaah tentang
adaptasi dengan lingkungan yang berubah, sehingga tetap dapat bertahan hidup dengan
teknologi atau cara yang dimiliki. Demikian juga sebaliknya dalam pendekatan ini juga akan
digunakan untuk menelaah tempat ataupun hutan dan bukit dalam membentuk pola tindakan
dari suatu masyarakat. Karena itu kesepakatan –kesepakatan masyarakat sebagai general
agreement perlu didukung oleh kemampuan adaptasi manusia terhadap lingkungan yang
berubah sehingga tetap dapat bertahan hidup dengan teknologi atau pengetahuan lokal yang
dimilikinya. Demikian juga dalam menelaah peranan lingkungan sekitarnya, baik berupa air,
tanah maupun tumbuh-tumbuhan yang ikut membentuk pola tindakan dari masyarakat Boti,
seperti halnya dalam tindakan mempertahankan keberadaan sumber air dan mencegah
terjadinya erosi di tempat tinggalnya di daerah lereng bukit.
Boti adalah nama salah satu desa di Kecamatan Kie, Kabupaten Timur Tengah Selatan Nusa
Tenggara Timur. Di desa ini bermukim suku asli yang hingga kini masih tetap
mempertahankan tradisi nenek moyangnya, terletak pada ketinggian 1500 di atas permukaan
air laut. Orbitasi Desa Boti terletak lebih kurang 12 km dari kota Kecamatan Kie dan 60 km
ke arah timur dari kota Soe ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan dan dapat dijangkau
dalam waktu 2,5 jam sampai 3 jam dengan kendaraan roda empat maupun roda dua, dan 174
km dari kota Kupang ibukota Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Secara administratif Boti berbatasan dengan desa Oenlasi dan Nafi di di sebelah utara, desa
Belek dan Neilmesek di sebelah timur, desa Aonobenak dan Babui di sebelah selatan dan di
bagian barat dengan desa Naekpumek dan desa Baki. Desa Boti yang terletak di lereng bukit
dengan kondisi tanah yang berbatu memiliki sektor pertanian lahan kering atau petani ladang
sebagai sektor utama dan beternak dalam sekala kecil. Produksi hasil pertanian mereka cukup
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari terutama jagung yang merupakan makanan
pokok masyarakat Boti. Jumlah penduduk Desa Boti berdasarkan profil desa Boti 2006
adalah 2.135 jiwa terdiri atas 1035 jiwa laki-laki dan 1100 jiwa perempuan atau terdiri dari
519 Kepala Keluarga.
Dalam pendidikan penduduk masyarakat Desa Boti belum begitu maju, karena sebagian besar
penduduk khususnya Boti Dalam dengan tradisi kuno melarang keturunannya untuk
bersekolah, kalaupun mereka bersekolah hanya pada tingkat sekolah dasar dan sekolah
lanjutan pertama, hanya beberapa orang saja yang tamat sampai ke sekolah lanjutan tingkat
atas. Mengenai saran pendidikan yang ada di Desa Boti terdiri dari tiga sekolah dasar ( SD )
SD Negeri 1 Boti , SD Inpres dan SD Gemit yaitru sebuah sekolah dasar yayasan gereja
Protestan Boti.
Kondisi alam Desa Boti yang terdiri dari pegunungan dan perbukitan dengan struktur tanah
yang miring dengan kesuburan yang rendah, penduduk dituntut untuk bisa beradaptasi
dengan alam. Hal ini dapat dijumpai dari sistem mata pencaharian penduduk yang umumnya
bermata pencaharian bertani dengan sistem berkebun dan berladang pada lereng-lereng bukit
dan pegunungan.
Di samping bertani masyarakat suku Boti juga mengusahakan berbagai jenis ternak dalam
upaya menambah penghasilan. Terna-ternak yang dipelihara seperti sapi, babi, dan ayam.
Hewan-hewan ini biasanya untuk dijual atau dikonsumsi sendiri. Di Desa Boti juga
berkembang pengrajin-pengrajin kecil khususnya kerajinan tenun sebagai pekerjaan
sampingan.
PEMBAHASAN
A. Sistem Religi
Kepercayaan (religi) masyarakat adalah paham yang bersifat dogmatis, terjalin dalam adat
istiadat hidup sehari-hari dari berbagai suku bangsa yang mempercayai apa saja yang
dipercayai oleh nenek moyangnya. Berbagai kebudayaan yang ada di muka bumi ini
menganut kepercayaan bahwa dunia gaib dihuni oleh berbagai mahluk dan kekuatan yang
tidak bisa dikuasai oleh manusia dengan cara-cara biasa. Karena itu dunia gaib biasanya
ditakuti manusia (Koentjaraningrat, 1998: 203 ).
Masyarakat suku Boti Dalam sesungguhnya menganut sistem kepercayaan yang pada
hakekatnya juga mengenal bahkan meyakini bahwa hidup ini diatur oleh tiga kekuatan seperti
: Uis Neno, Uis Pah dan roh arwah leluhur ( Nitu ). Mereka sangat teguh mempertahankan
dan melaksanakan aliran kepercayaan yang diwariskan oleh nenek moyangnya atau
leluhurnya. Kepercayaan mereka diwujudkan dengan berbagai upacara adat yang masih
terjaga dan terpelihara di daerah tersebut. Di sekeliling mereka hidup masyarakat lain yang
sudah menganut agama Kristen (Protestan dan Katolik). Meskipun demikian, warga suku
Boti di daerah ini masih setia dengan aliran yang dianut oleh para leluhur mereka. Meskipun
berbeda aliran kepercayaan, namun dalam kehidupan sehari-hari warga dusun Boti Dalam ini
menjunjung tinggi sikap toleransi, antara warga suku Boti Dalam dengan kepercayaan asli
dengan warga masyarakat Boti yang sudah menganut agama.
Sesuai dengan ajarannya, warga suku Boti percaya bahwa apa yang dibuat manusia selama
manusia hidup di dunia akan ikut menentukan jalan hidupnya di akhirat nanti. Sikap hidup
baik dan benar semasa di dunia akan menuntun manusia kepada kehidupan yang kekal.
Dalam kehidupan sehari-hari warga suku Boti yang masih teguh dengan ajaran leluhurnya,
selalu dituntun oleh kepala sukunya agar selalu berbuat baik terhadap sesama, terhadap
lingkungannya dengan menjaga, merawat dan melestarikan hutan yang semuanya itu
merupakan suatu persembahan yang mulia kepada Uis Pah dan Uis Neno. Mereka yakin
bahwa dengan begitu akan memperoleh pahala dari Sang Pencipta berupa berkat,
perlindungan dan keselamatan, atau malah sebaliknya mendapat murka jika mereka berbuat
jahat.
Setelah dialog singkat usai, ibu bersama bayinya keluar dari dalam rumah, menyalami tetua
adat yang telah menanti di luar bersama warga setempat, sambil menikmati sirih pinang yang
disuguhkan. Selanjutnya ia diantar menuju sungai (mata air) Sesampainya di tempat ini sang
ibu mencelupkan kedua kakinya dalam air, kaki bayinya kemudian dibasuh. Setelah
semuanya dijalani, mereka akan kembali ke rumah, disambut keloneng gong dan gedebam
tambur, sebagai pertanda warga ikut bersuka cita, karena telah bertambah satu lagi jumlah
penduduk Suku Boti. Pada kesempatan ini pada pergelangan tangan dan kaki si bayi dilingkar
seutas benang berbentuk gelang sebagai simbol bahwa bayinya belum mempunyai nama
panggilan. Ini berarti ia harus menanti sampai usianya sudah empat bulan, barulah berhak
memperoleh nama panggilan sendiri.
Setelah bayi berumur 4 bulan, maka akan dilangsungkan upacara pemberian nama, yang
dipimpin oleh tetua adat setempat. Di rumah orang tua si bayi, telah dibentangkan selembar
tikar yang di atasnya tersedia 2 buah tempurung berisi air yang telah diberi doa secara adat.
Dihadapan warga yang hadir, air dalam tempurung kemudian dipercikkan kepada si bayi
yang dilakukan oleh tetua adat. Untuk memulai acara pemberian nama, syaratnya harus
menunggu bayinya menangis. Di saat sedang menangis, masing-masing warga yang hadir
secara bergiliran mengucapkan nama-nama yang ada hubungannya dengan silsilah keturunan
warga Suku Boti seperti, Molo, Nune, Heka, Tosi, Woi, dan yang lainnya.
Pada saat penyebutan salah satu nama tadi bila tiba-tiba si anak berhenti menangis, maka
nama yang disebutkan terakhir itulah yang akan ditetapkan sebagai nama dari bayi tadi.
Nama inilah yang nantinya menjadi nama panggilan bagi si bayi sepanjang hidupnya.
Menurut kepercayaan masyarakat Suku Boti, ada makna yang tersirat dibalik sikap menangis
dan berhenti menangis dari si bayi yang masih suci jiwanya. Menangis berarti ia meminta
diberi nama, Berhenti dari menangis pertanda ia senang dengan nama yang diucapkan
terakhir itu.
Potong rambut atau cukur rambut yang dilakukan terhadap anak-anak suku Boti telah
berlangsung sejak turun temurun. Anak-anak yang lahir baru akan dicukur rambutnya apabila
ibunya telah hamil lagi. Apabila kita melihat seorang anak dari suku Boti rambutnya dicukur,
ini merupakan pertanda bahwa ibunya sedang hamil. Menurut kepercayaan masyarakat suku
Boti, kematian merupakan bagian dari kehidupan. Hidup dan mati merupakan satu kesatuan
yang tak dapat dihindarkan oleh setiap manusia. Sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya,
kematian bukanlah akhir dari segalanya, sebab dibalik kematian ada kehidupan yang baru.
Dalam pengertian yang lebih dalam, mereka mempercayai, apa yang telah diperbuat oleh
manusia selama hidup di dunia, akan menentukan jalan hidupnya sesudah mengalami
kematian. Semua perbuatannya selama hidup di dunia entah baik ataupun jahat, akan selalu
diketahui oleh Uis Pah dan Uis Neno, dan hanya perbuatan yang baik sajalah yang akan
diterima oleh Sang Pencipta, sedangkan perbuatan jahat akan mendapat hukuman atau
ganjaran. Karena itu peristiwa kematian bagi suku Boti merupakan kenyataan yang harus
diterima sebagai bagian dari kehidupan manusia dan harus diupacarakan secara adat.
Bila ada warga yang meninggal dunia, maka keluarga duka akan segera menyampaikan
peristiwa kematian tersebut kepada kepala suku Boti Dalam dan meminta petunjuk lebih
lanjut untuk acara penguburannya. Sesuai dengan adat yang berlaku, setiap warga suku Boti
Dalam yang meninggal dunia, tidak boleh jenazahnya disimpan lebih dari satu hari, artinya
paling lama satu hari harus sudah dikebumikan.
Orang Boti Dalam yang meninggal dunia mayatnya tidak boleh dimasukkan ke dalam peti,
mereka hanya menggunakan 2 batang kayu bulat yang digunakan untuk mengusungnya.
Sebelum jenazah dikuburkan, terlebih dahulu saudara perempuan dari orang yang meninggal
dunia membuang uang perak 100 rupiah ke tanah. Uang ini kemudian dipungut oleh
Toinamaf (orang yang ditunjuk sebagai penanggung jawab sekaligus pemimpin upacara).
Toinamaf kemudian berjalan paling depan menuju ke tempat pelaksanaan pemakaman suku
Boti Dalam yang bernama Ayo Fanu, diikuti oleh pengusung mayat dan warga lainnya.
Setibanya di lokasi, toinamaf membuat goresan di tanah dengan uang seratus perak tadi,
sebagai isyarat bahwa di situlah tempat kuburnya mayat tersebut. Secara serempak warga
yang sudah ditugaskan langsung menggali di tempat toinamaf menggoreskan uang tadi.
Selesai menggali liang lahat, toinamaf membuang uang 100 perak tadi ke dalam liang kubur,
disusul jenazah. Setelah ditutup dengan tanah, di atas makam diletakkan 1 tandan pisang, 2
buah kelapa, 7 bulir jagung dan 1 ekor anak babi yang telah dibunuh. Tujuannya adalah agar
bahan makanan tadi menjadi bekal bagi orang yang meninggal menuju alam baka. Ketika
acara penguburan selesai dilaksanakan, Toinamaf bersama warga suku lainnya kembali ke
rumah duka untuk mengikuti acara lanjutan, antara lain menikmati makanan, dan minuman
yang telah disiapkan. Pada kesempatan ini dibicarakan pula hal-hal yang berhubungan
dengan rencana mengadakan upacara adat berikutnya.
Pada hari keempat keluarga duka kembali membuat upacara adat dengan membunuh dua ekor
babi, satu besar dan satu kecil. Babi besar untuk jamuan makan bersama, sedangkan babi
kecil untuk disimpan dalam rumah duka. Bersamaan dengan ini juga disiapkan dua buah
tempat sirih pinang (okomama). Tempat sirih pinang tersebut yang satu untuk kaum wanita
yang namanya okusloi dan satu lagi untuk kaum laki-laki yang disebut alumama. Kedua
tempat sirih pinang ini digantung pada sebatang tiang yang ada dalam rumah keluarga duka.
Dan alat-alat yang digantung ini baru dapat dibuka setelah 3 tahun peringatan meninggalnya
anggota keluarga mereka. Setelah penantian yaitu 3 tahun meninggalnya anggota keluaga
mereka, diselenggarakan acara adat untuk memperingatinya. Pada kesempatan ini tempat
sirih pinang yang digantung pada tiang rumahnya, diturunkan dan dibuka isinya kemudian
dibagi-bagikan kepada anak-anak yang mempunyai hubungan kerabat dengan orang yang
meninggal.
Menurut keyakinan warga suku Boti, orang yang sudah meninggal mempunyai tanggung
jawab menjaga dan menyuburkan lingkungan hutan di sekitarnya. Karena itu, di pekuburan
ayofanu, warga setempat selalu membersihkannya dan menanaminya dengan berbagai jenis
pepohonan. Pada setiap musim panen yang berlangsung setahun sekali, segenap warga Boti
selalu menyambutnya dengan mengadakan upacara adat yang dipimpin langsung oleh kepala
Suku Boti. Sebelum upacara dimulai, segenap warga Boti dilarang menikmati hasil panen
mereka yang ada di kebun masing-masing. Apabila ada warga yang melanggar aturan adat
ini, maka yang bersangkutan akan mendapat hukuman, berupa sakit atau musibah dalam
hidupnya. Upacara panen ini berlangsung di hutan Fainmaten, tempat khusus bagi suku Boti
untuk mengadakan doa dan persembahan kepada Uis Pah dan Uis Neno. Bahan-bahan yang
dipergunakan antara lain sejumlah alat masak-memasak, peralatan makan dan minum, beras,
babi, kambing dan sapi. Hewan-hewan ini akan disembelih sebagai hewan kurban, bagian
dari syarat adat, juga disiapkan batangan jagung berbulir, tepung jagung dan jagung titi
dicampur beras yang disimpan dalam tempat khusus. Bagi warga suku Boti, hutan fainmaten,
dianggap sebagai hutan keramat yang tidak boleh dimasuki oleh kaum perempuan. Karena itu
yang memasak dan melayani dan mengikuti upacara syukuran panen di hutan fainmaten
adalah kaum laki-laki.
Doa syukur ini dipimpin langsung oleh kepala suku Boti sambil berdiri di depan tola yaitu
altar adat, yang terbuat dari sebatang kayu yang berdiri tegak dengan tinggi sekitar 2,5 meter
dan dasarnya tertanam dalam tanah. Di sekitar kayu tegak tersebut, disusun batu-batu ceper,
sebagai tempat untuk menyimpan bahan-bahan persembahan, sambil meniupkan seruling
yang selalu bergantung di lehernya. Segenap warga suku Boti yang hadir dalam upacara ini
sudah mengetahui maksud dari bunyi suling, dan dengan sendirinya mereka akan datang
mendekat ke altar.
Setelah kepala suku memanjatkan doa-doa yang disampaikan dalam bahasa adat sebagai
ungkapan syukur atas panen yang mereka peroleh, kemudian diteruskan dengan
menyembelih seekor babi berbulu merah. Darah yang mengucur segera ditadah, kemudian
diteteskan pada batu yang telah disiapkan dekat altar. Selanjutnya menaruh 3 genggam
tepung jagung, 3 genggam jagung titi bercampur beras, masing-masing 3 kumpul di atas batu
yang terletak di dekat altar. Selesai menghaturkan persembahan tadi, kepala suku Boti
sebagai pemimpin upacara akan menutupnya dengan memanjatkan doa memohon kepada Uis
Pah agar meneruskan doa-doa persembahan mereka yang amat sederhana kepada Uis Neno.
Selesai mengadakan doa syukur kepada Uis Pah, dilanjutkan doa syukur kepada Uis Neno
yang juga dipimpin oleh ketua suku Boti. Adapun tempat melaksanakan doa ini adalah di
puncak Bukit Fainmaten. Untuk mencapai tempat ini warga harus menapaki 73 anak tangga
yang dibuat dari batu alam. Kepala suku berjalan paling pertama ke tempat pelaksanaan doa
syukur ini. Setelah sampai di puncak bukit kepala suku akan meniup suling, sebagai pertanda
bagi warga yang berada dekat altar persembahan yang berada di bawah pohon beringin tua.
Setelah semua hadir, pimpinan upacara menyampaikan doa dalam bahasa adat sebagai
ungkapan rasa syukur atas perlindungan dan keselamatan yang diberikan Uis Neno kepada
warga Boti, melalui hasil panen yang cukup. Selesai berdoa kemudian dilanjutkan dengan
menyembelih babi hitam. Darah segar yang pertama diteteskan pada batu persembahan yang
sudah disiapkan dekat altar. Kemudian dilanjutkan dengan meletakkan 3 kumpul tepung
jagung dan 3 jagung titi campur beras (setiap kumpul satu genggam) di batu yang telah
disiapkan. Semua bahan persembahan ini disampaikan kepada Uis Neno. Sebagai penutup
acara, kepala suku Boti memanjatkan doa kepada Uis Neno bahwa apa yang mereka
persembahkan itu jauh dari kesempurnaan dan memehon dengan segala kerendahan hati,
kiranya Sang Dewa sudi menyempurnakannya, seraya memohon berkat dan perlindungan
bagi segenap warga Boti agar diajauhkan dari dosa, musibah dan aneka bencana.
D. Pola Pemukiman
Pemukiman adalah suatu bentukan artificial maupun natural dengan segala kelengkapannya
yang dipergunakan oleh manusia baik secara individu maupun kelompok, untuk bertempat
tinggal baik sementara maupun menetap dalam rangka menyelenggarakan kehidupannya
(Yunus 1987:3).
Mereka yang terlibat dalam penyelenggaraan upacara selain yang telah disebutkan
di atas adalah pemerintah, tokoh agama, warga masyarakat dan seluruh anggota marga
Maneis. Pemerintah setempat memberikah persetujuan diadakannya upacara dan ikut
memberikan pengawasan pengamanan jalannya upcara. Para petani pemilik lading
ikut menjadi saksi terlaksananya upacara. Mereka mengikuti upacara secara hikmat
dengan harapan akan sukses.
Sebagai orang beragama Kristen (Katolik maupun Protestan) para tokoh
agama turut hadir serta berperan sebagai pemberi restu dan berkat atas hasil panen
yang dibawa oleh anggota masyarakat. Menurut Tokoh agama setempat, bahwa pada
dasarnya iman Kristiani tidak bertentangan dengan adat dan kebudayaan suatu
suku/etnik tertentu. Karena itu pelaksanaan upacara adat tpoi pah direstui oleh tokoh
Agama. Sementara itu kepala suku Maneis mengatakan bahwa orang atoni dilahirkan
dan dibesarkan dalam lingkungan adat karena itu tidak boleh meninggalkan adat
meskipun telah beriman kristiani. Menurutnya, iman kristiani (yang diajarkan dalam
Protestan maupun Katolik) tidak bertentangan dengan adat orang Atoni, sehingga
sangat mudah bagi orang Atoni untuk memeluk agama Kristen tanpa meninggalkan
adat warisan leluhurnya. Sedangkan menurut Kepala desa setempat (pemerintah
setempat) mengatakan bahwa titik pijak kehidupan orang Atoni adalah Adat, Agama
dan Pemerintah. Ketiha hal ini tidak bertentangan tetapi justru saling melengkapi.
Beberapa pantangan yang harus dihindari pada waktu pelaksanaan upacara adalah :
1. Semua bahan atau materi yang disajikan dalam upacara harus lengkap dan utuh. Bila
tidak lengkap atau satu jenis saja yang kurang maka tujuan upacara tidak akan
tercapai. Sebagai sanksinya akan terjadi malapetaka atau bencana yang menimpa
marga maneis.
2. Mereka yang makan dari sajian itu tidak boleh gaduh, berisik atau berbicara
sembarangan. Mereka harus diam, tidak bersuara. Bila terjadi kegaduhan sekecil
apapun misalnya pada saat makan dan ada yang batuk atau bersin, maka akan terjadi
bahwa pada waktu yang sama tahun berikutnya ia akan mati karena kualat.
3. Usai pelaksanaan upacara, hasil lading tidak boleh dipetik/dipungut sampai tiba saat
panen.
Sibol-simbol
Usif ai tuaf (kepala suku) yang memimpin upacara memakai pakaian adat destar, atau
ikat kepala berwarna merah dan di pinggangnya juga berwarna merah (pilu mtasa)
yang bermakna bahwa kain yang berwarna merah melambangkan kegemaran dan
sukacitanya para uis pah penjaga alam atau bumi. Dengan melihat warna merah itu
mereka datang dengan gembira sambil santap dengan lahapnya. Warna merah,
menurut anggapan umum masyarakat atoni, merupakan warna pelambang roh atau
arwah leluhur. Warna pakaian atau kain sarung penduduk pada umumnya adalah
warna merah.
1. Sirih pinang yang disajikan mengandung unsure dan lambang sacral karena tidak saja
menjadi santapan para penjaga bumi tetapi juga sebagai lambang penghormatan dan
penghargaan kepada tamu agung atau yang dimuliakan.
2. Uk dan daging bakar mengandung unsure makanan yang akan dipersembahkan
kepada arwah para leluhur
3. Padi, jagung, kelapa, pisang, ubi, mengandung unsure bahwa hasil panen yang
diperoleh marga maneis selama setahun dan merupakan persembahan yang paling
mulia bagi uis pah atau yang lebih tinggi (berkuasa)
4. Babi berbulu hitam dan belang, yang merupakan bagian terpenting dalam sajian
lambang keselamatan hidup. Asap yang berasal dari pembakaran daging di atas bara
api akan mengeluarkan aroma harum. Aroma inilah yang menjadi santapan para uis
pah.
5. Hau tola teun (kayu cabang tiga) merupakan yang paling utama dalam upacara ini.
Tanpa kayu ini, upacara tidak akan dapat dilaksanakan. Kayu cabang tiga ini adalah
kayu yang digunakan untuk menaruh kurban persembahan bagi uis pah dan para
leluhur yang sudah meninggal.
6. Altar berguna untuk menyimpan hasil panen berupa jagung, ubi, kelapa, tebu, dll.
Dan diatas altar terdapat sebuah batu yang berfungsi apabila tuaf ai’ amaf onen ma
namunu neu pah (berdoa). Setelah itu baru menyembelih hewan dan darahnya akan
diteteskan di atas batu itu sebagai tanda dan rasa hormat kepada uis pah.
Di perkampungan ini terdapat beberapa umekebubu, rumah khas Timor.
Satu umekebubu ditempati Ratu Boti dan lainnya oleh anggota keluarga
Kerajaan Boti. Sedangkan Raja Boti sendiri beristirahat di bangunan
yang lebih menyerupai lopo, tempat pertemuan. Bangunan ini berbentuk
bundar tanpa dinding dengan atap lontar menyerupai bentuk kubah dan
menutupi sebagian besar bagian samping.
tingginya tidak lebih dari satu meter sehingga mereka yang akan
masuk ke umekebubu harus berjongkok.
Share on :
Tarian Likurai merupakan salah satu tarian tradisional dari pulau timor.
Kebanyakkan orang bilang pulau timor adalah pulau gersang yang miskin sumber
air dan ditaburi begitu banyak bukit berbatu ketimbang lahan subur untuk
digarap. Terlepas dari itu semua. Pulau Timor memiliki banyak kekayaan yang
terkandung dalam seni budaya, adat istiadat serta asal usul antropologi
manusianya yang apabila diusut akan semakin kusut. Hal ini yang membuat banyak
warga asing untuk mengeksplorasi ketimbang para pribumi yang tidak menyadari
Tarian Likurai merupakan salah satu tarian tertua yang ditarikan sebagian besar
merupakan tarian yang di dendangkan. Pada jaman dahulu tarian Likurai dilakukan
oleh para wanita untuk menyambut para prajurit yang pulang dari peperangan.
Likurai berasal dari dua suku kata. Liku yang berarti menguasai dan Rai yang
berarti tanah. Jadi tarian ini berarti “ menguasai bumi”. kata ini berasal dari klan
Tetun yang paling dominan di pulau Timor. Namun demikian tarian ini juga
ditarikan oleh klan-klan lain dan menamainya menurut bahasa mereka sendiri.
Klan Buna menyebutnya Teberai, klan Kemak menyebutnya Dudubau serta klan
Tetun selatan menyebutnya Taes Bibliku. Apapun sebutannya, tarian ini tetap
bumi”. Tarian ini ditarikan oleh sekelompok perempuan sambil menabuh tibar
(gendang) yang diselipkan di ketiak mereka. Para penari ini akan membentuk dua
barisan dan di depan tiap barisan berdiri dua orang pria yang memakai giring-
giring kaki sambil membawa kelewang (pedang). Dahulu, para penari pria
diwajibkan untuk memakai tais (kain) untuk kaum pria dan sarung untuk penari
perempuan yang kesemuanya harus ditenun dari bahan-bahan alam dan bukan
olahan pabrik. Para penari perempuan yang ada di barisan paling depan harus
para penari kini telah memakai pakaian olahan pabrik, seperti kemeja dan kebaya.
Dalam barisan para penari pun tidak ada lagi perempuan yang berasal dari kaum
bangsawan. Tarian ini diawali dengan tabuhan tibar salah seorang penari dan
disusul oleh penari lain. Ketika kekompakan irama telah dicapai maka mereka
mulai meliuk-liukkan tubuh ke kiri dan kekanan, terkadang sambil berjongkok dan
peperangan. Tabuhan tibar ini kian lama akan kian cepat dan keras, begitu pula
dengan gerak tubuh para penari. Terkadang para penari ini akan serempak
berhenti bergerak sehingga menimbulkan keheningan yang spontan. Secara umum
tarian ini tampak cantik, enerjik serta mampu membangkitkan bulu kuduk. Meski
memakai alat musik yang sama, namun setiap klan memiliki iramanya sendiri-
sendiri sehingga kita mampu mengenali klan mana yang tengah menari tanpa harus
melihat. Tibar, alat musik yang dominan dipakai dalam tarian ini bentuknya
menyerupai tifa namun lebih lonjong dan ramping. Jika sempat berkunjung ke
Timor, jangan berharap bisa menyaksikan tarian ini dengan mudah kecuali anda
datang sebagai tokoh masyarakat. Likurai kini beralih fungsi sebagai tarian
selamat datang semata dan posisinya kian bergeser. Dahulu tarian ini selalu
pembuka sebelum acara dansa ala barat dimulai dalam pesta pernikahan rakyat.
Tetapi kini di kota-kota besar Timor, terutama di tempat asalnya Belu, ia bahkan
ekstrakurikuler bagi anak-anak yang menjadi penerus tradisi. Jumlah para penari
pun kian berkurang. Lebih banyak kaum ibu yang menarikannya ketimbang para
gadis. Entah karena malu atau latah dengan globalisasi, para anak muda lebih
menyukai hal-hal berbau urban culture ketimbang tradisi sendiri. Memang nasib
Likurai belum sesekarat saudaranya “sasando” dari pulau rote yang baru
mendapat nafas buatan dari pihak Pemda setelah kurang lebih sepuluh orang di
Indonesia yang menguasai alat musik ini. Namun apabila tabuhan tibar kian
terpojok hingga ke pelosok, pastilah ajal Likurai akan sampai di tangan si
empunya sendiri. Bahwa tarian ini bukan sekedar ikon, tetapi suatu identitas diri
Indonesia.
Tenggara Timur
Kupang merupakan ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur yang memiliki potensi
sumber daya alam yang cukup melimpah. Mayoritas penduduknya memeluk agama
Busana pengantin adat Amarasi ini selain digunakan pada upacara perkawinan,
dapat juga dikenakan saat dilangsungkan upacara adat di istana raja. Pengantin
wanita terlihat memakai kebaya bodo dengan sarung tenunan khas Amarasi dan
dilengkapi selendang serta berbagai perhiasan, mulai dari atas kepala sampai
Konde : berbentuk bulat/cepok yang disebut falungku dengan tusuk konde koin
sebanyak tiga buah yang ditaruh di samping kiri, kanan dan tengah.
kain tenunan serta selendang pinggang atau selendang bahu. Pengantin pria
dilengkapi destar di kepala, lehernya berhiaskan muti salak, habas dan gong,
serta tangannya dihiasi gelang dan pinggangnya berikat perak dan dompet alkosu.
Timur, dimulai dengan acara perkenalan antar dua anggota keluarga yang akan
pengantin pria (CPP) terlebih dahulu akan mengirimkan utusan untuk datang ke
rumah calon pengantin wanita (CPW) guna bertemu dan berkenalan dengan anak
Pada kesempatan itu juga, utusan akan menyampaikan maksud hati keluarga CPP
untuk segera meminang anak gadis tersebut. Setelah mendapatkan jawaban dari
pihak keluarga CPW, sang utusan segera pulang dan menyampaikan hasil
menetapkan waktu yang tepat untuk mengadakan pertemuan dua keluarga lagi
meminang anak gadis mereka. Dan setelah keluarga CPW menerima surat
dekat yang melibatkan saudara laki-laki dari ibu kandung CPW yang disebut Na’i
(oom dalam bahasa Timor) atau To’o (dalam bahasa Rote). Pertemuan keluarga
CPW ini dilakukan untuk merancang penerimaan kedatangan keluarga CPP dalam
Sebelum hari pinangan terlaksana, keluarga CPW juga akan mengirimkan surat
Pada hari pelaksanaan pinangan, pihak keluarga CPW akan menyiapkan perwakilan
keluarga yang ditunjuk sebagai juru bicara dan dia bertugas menerima
kedatangan rombongan keluarga CPP. Pada saat hari pinangan ini, rombongan CPP
harus datang tepat waktu sambil membawa barang antaran yang sebelumnya
sudah ditetapkan, biasanya sebanyak 5-7 baki/dulang yang dibawa oleh remaja-
remaja putri, hal ini sebagai salah satu syarat untuk kelengkapan mas kawin.
Antaran II : tempat sirih berisi uang untuk tebusan air susu ibu, uang untuk
membahas pembayaran belis (mas kawin). Acara pinangan ini biasanya akan
tidak hanya untuk mendengarkan hasil pertemuan tetapi juga untuk saling
membantu dan meringankan beban keluarga CPP dengan memberikan bantuan dan
sumbangan untuk membayar belis yang diminta keluarga CPW, termasuk segala
Sehari sebelum hari perkawinan tiba, di rumah CPW akan diadakan acara picah
bok yaitu pesta persiapan untuk mendirikan teng atau tenda pesta, setelah itu
kebutuhan CPW yang antara lain untuk mengisi kamar pengantin serta kebutuhan
dapur. Biasanya berupa pakaian, barang pecah belah, segala kebutuhan rumah
tangga dan bahan-bahan dapur. Sementara itu, keluarga CPP juga mengantarkan
balik semua kebutuhan pesta serta busana CPW yang akan dikenakan pada hari
perkawinan.
Pada hari H, sebelum CPW menuju tempat berlangsungnya akad nikah atau
melalui pintu depan rumah/tangga rumahnya. Di sana dia telah ditunggu oleh
saudara-saudara perempuannya yang telah menyiapkan kendi berisi air yang akan
dipakai untuk mencuci kaki sang pengantin. Setiap saudara yang sudah bersiap-
siap tersebut lantas membasuh kaki calon pengantin dan mereka akan
mendapatkan uang koin emas yang sudah disiapkan oleh CPP dalam sebuah
tempayan. Setelah acara mencuci kaki ini selesai baru pasangan pengantin menuju
Begitu pasangan ini resmi menjadi suami-istri maka acara akan dilanjutkan
dengan mengadakan pesta di rumah pengantin wanita. Pada malam hari sesudah
pesta usai, keluarga pengantin pria akan memohon kepada keluarga pengantin
wanita untuk membawa pulang sang pengantin wanita yang pada saat itu sudah
I. Pedahuluan Suku Dawan adalah salah satu suku terbesar dari beberapa suku
lain: “Tetun, Bunak, Helon, Kemak, Rote dan Sabu. Suku Dawan menempati
seluruh wilayah Timor Barat yaitu kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan
(TTS), dan Timor Tengah Utara (TTU). Masyarakat suku Dawan hidup dalam
atoni (manusia). Orang atoni biasanya hidup di daerah pedalaman yang bersifat
amat kering. Masyarakat Dawan umumnya bekerja sebagai petani. Oleh karena
itu, hidup mereka sangat tergantung dari alam. Alam dapat membawa
masyarakat Dawan meliki hubungan yang erat antara ritus dan mitos pertanian,
masyarakat dawan selalu diwarnai oleh berbagai ritus primitif dalam setiap
kegiatan hidup mereka. Salah satu ritus yang yang masih dikenal dan
dipraktekkan oleh masyarakat Dawan primitif itu yakni fua pah. Ritus ini
diciptakan untuk menyiasati alam yang gersang dan iklim yang kurang bersahabat.
Fua pah adalah salah satu ritus yang berhubungan erat dengan sistem
kepaercayaan masyarakat Dawan mengenai (Tuhan, Roh, Alam Semesta, Bumi dan
Kerja). Fua pah merupakan penyembahan terhadap wujud tertinggi yang tidak
diketahui dan dijangkau oleh daya nalar manusia. Akan tetapi, kehadiran dari
wujud tertinggi tersebut dirasakan sebagai sesuatu yang dasyat yang melebihi
kekuatan manusia. Hal ini tidak akan kita pahami tanpa mengetahui hubungan
antara bercocok tanam, Tuhan, dan pemujaan terhadap roh dalam ritus fua pah
itu sendiri. Maka melalui tulisan ini, penulis ingin menggali makna yang tersirat
dalam ritus ini. II. Pola Hidup Masyarakat Dawan Masyarakat Dawan yang hidup
umumnya hidup dengan bercocok tanam dan beternak. Hal ini merupakan
pengaruh yang sangat besar dari komposisi tanah, iklim dan sumber air di wilayah
tersebut. Keadaan tanah berupa tanah liat berpori yang mengandung kapur
sangat sulit bagi tumbuhnya vegetasi penutup. Pada saat musim hujan keadaan
tanah banyak mengandung air dan mengembang ketika sudah penuh dengan air
hujan. Pada saat musim kemarau, tanah menjadi kering dan sangat sulit
pegunungan yang banyak air. Daerah pegunungan merupakan pusat pemukiman dan
lahan kering yang di dominasi oleh tanaman palawija dan jagung. Daerah atau
wilayah yang keadaan tanahnya berupa tanah liat umumnya digunakan sebagai
bahan dasar untuk kerajinan. Misalnya membuat periuk dari tanah liat, patung-
patung, pot bunga, asbak rokok, dan jenis kerajinan tangan lainnya yang memiliki
nilai jual yang tinggi. Sementara untuk tempat pertanian, umumnya mereka
yakni di daerah pedalaman pulau Timor yang kondisi tanahnya sangat kering.
Maka tidak mengherankan bagi kita apabila orang Dawan menamakan dirinya
Atoni Pah Meto, yang artinya “Orang daerah kering” atau “Orang tanah kering”.
III. Konsep Allah Menurut Masyarakat Dawan Jauh sebelum agama Kristen
masuk ke Pulau Timor, masyarakat Dawan telah memiliki konsep tentang “Yang
Ilahi”. Pengalaman akan “Yang Ilahi” dialalami dalam seiap kegiatan hidup
manusia. Pengalaman hidup merupakan titik tolak hidup religius atau beragama.
Sudah sejak zaman dahulu masyarakat Dawan mengahadapi kenyataan hidup yang
tidak dapat ditangkap secara rasional. Apa yang dialami dalam kehidupannya
ditanggapi sebagai suatu misteri. Misteri tersebut tidak sama dengan teka-teki.
Ia adalah misteri besar yang tidak pernah dimengerti, namun tidak disangkal
Dawan menyebut “Yang Tertinggi” itu dengan sebutan Uis Neno. Selain Tuhan
langit, Masyarakat Timor Dawan juga mengakui adanya Tuhan bumi atau penguasa
alam semesta. Tuhan bumi ini disebut Uis Pah atau Pah Tuaf (pah artinya dunia
atau alam). Uis Neno dan Uis Pah atau Pah Tuaf diakui membentuk satu kesatuan
ilahi. Walaupun demikian superioritas Uis Neno tetap nyata. Kuasa Uis Neno
melampaui kekuasaan dewa manapun. Uis Neno dan Uis Pah atau Pah Tuaf
memiliki sifat yang berbeda. Uis Neno merupakan sang pencipta, sang
penyelenggara dan Mahakuasa. Uis Pah atau Pah Tuaf diaggap sebagai pembawa
malapetaka bagi manusia. Oleh karena itu, manusia harus berusaha mengambil
hati mereka dengan berbagai upacara ritual. Salah satu upacara ritual seperti
yang akan kita lihat pada bagian berikut adalah upacara Fua Pah. A. Uis Neno
(Tuhan ) Uis Neno berasal dari kata Uis atau Usi artinya Raja, Tuan, Yang
Empunya, sedangkan Neno artinya hari, langit, Yang tertinggi. Uis Neno diartikan
sebagai Dewa atau “Tuhan”. Uis Neno adalah “Dewa Langit” atau “Dewa
Tertinggi”, memiliki kekuatan yang lebih tinggi, dan berkuasa atas langit dan
bumi yang diyakini oleh masyarakat Dawan sebagai “Tuhan”. Uis Neno dianggap
sebagai asal mula segala sesuatu; pencipta, pemelihara dan penguasa alam
semesta. Uis Neno juga digambarkan sebagai Apinat ma Aklaat atau “Yang
Bernyala dan Yang Membara”, Afinit ma Amnaut atau “Yang Tertinggi dan Yang
Mengatasi Segala Sesuatu”. Uis Neno juga diyakini sebagai pemberi Manikin ma
Oetene atau “Yang memberi kita makanan dan kesehatan”. Uis Neno tidak boleh
Dalam tradisinya, Uis Neno adalah Dewa yang paling istimewa dari dewa-dewa
lain yang ada dalam masyarakat suku Dawan. Asal Usul Pemberian Nama Uis
Neno adalah “Dewa Tertinggi” yang tidak dapat disebutkan namanya secara
langsung. Ia adalah “Tuhan” yang berkuasa atas langit dan bumi. Kepada “Dewa
Tertinggi” ini, masyarakat Dawan Menyebutnya sebagai Uis Neno, Tuhan hari
atau langit. Yang memberikan nama Uis Neno kepada “Tuhan-nya orang Dawan
Kristen” adalah para msionaris pada zaman penjajahan Portugis. Akan tetapi, Uis
Neno di sini dimengerti sebagai “Raja Langit” orang Dawan sendiri tidak pernah
menyebut Uis Neno sebagai wujud tertinggi secara langsung. Dalam berbagai
upacara keagamaan, sebutan untuk Uis Neno selalu dikombinasikan dengan nama
atau sebutan lain seperti Uis Pah atau Uis Naijan (raja bumi atau daratan,
tanah). Hal ini mau menunjukkan pola pikir masyarakat Dawan sebagai dualitas
dipisahkan satu dengan yang lainnya, melainkan harus selalu didahului oleh nama
Uis Neno. Oleh karena itu, kita sering menjumpai sebutan seperti Uis Neno Uis
Pah atau Uis Neno Uis Naijan. Masyarakat Dawan tetap mempertahankan
pemahaman ini dengan tujuan menjaga dan mengakui aspek transendensi dan
imanensi. Uis Neno diyakini sangat jauh di atas langit namun dekat. Kedekatannya
diperlihatkan dalam alam yang diwakili oleh dewa-dewinya. Peranan Uis Neno
Bagi Masyarakat Dawan Kehadiran Uis Neno bagi masyarakat Timor Dawan
lahir dari pengalaman perjumpaan dengan ciptaan yang lain. Pengalam itu
dirasakan sebagai sesuatu yang menggetarkan dan melampaui daya nalar manusia.
Pengalaman inilah yang membuat masyarakat Timor Dawan sampai pada suatu
kesimpulan bahwa “sesuatu yang tidak dapat dimengerti itu adalah Tuhan, yang
bagi masyarakat Dawan adalah Uis Neno. Kehadiran Uis Neno menurut
pemahaman masyarakat Timor Dawan adalah melalui air, tanah, langit, serta
benda-benda alamiah lainya seperti batu besar, pohon beringin yang dianggap
memiliki kekuatan dan dianggap sakral. Uis Neno yang adalah pencipta dan
pemelihara sangat berperan dalam hidup manusia. Peran Uis Neno dalam
Aklaat: menyala dan membara Hal ini mengindikasikan Uis Neno dengan matahari.
Kekuatan panas dan cahaya matahari yang dasyat tidak dapat ditandingi oleh
kekuatan panas atau cahaya manapun. Uis Neno yang adalah Mahakuasa tidak
dapat dilampaui oleh kuasa manapun. Uis neno adalah matahari dan cahaya sejati.
2. Amoet ma Apakaet: pencipta dan pemelihara Uis Neno adalah Tuhan pencipta
alam semesta beserta segala isinya. Ia adalah penyebab segala sesuatu. Dia
adalah penguasa langit dan bumi dan segala mahkluk harus tunduk kepada-Nya. 3.
Alikin ma Apean: pembuka jalan dan mengatur kehidupan Uis Neno adalah
penyebab awal dari segala sesuatu. Dia yang pertama memulai segala sesuatu dan
perjalanan hidup manusia. Ia adalah alva dan omega, awal dan akhir. B. Uis Pah
atau Pah Tuaf (Dewa Bumi) Uis Pah adalah sebutan untuk roh yang dianggap
gunung. Dewa ini dianggap sebagai dewi wanita yang mendampingi Uis neno.
adalah berbagai variasi manifestasi dari dewa tertinggi orang Dawan Uis Neno
[…] dewa tertinggi ini memanifestasikan dirinya dalam berbagai jenis dewa-dewi
rendah lainya dan diberi wewenang untuk menangani daerah-daerah atau bagian-
bagian kehidupan tertentu”. IV. Ritus Bercocok Tanam Dengan kondisi alam yang
mau), (2) tahap membakar hutan (polo nopo/sifo nopo), (3) tahap menanam
(tapoen fini buke), (4) tahap pertumbuhan tanaman (eka ho’e), (5) tahap panen
hun mau) Hutan yang telah ditentukan dikerjakan secara bersama-sama atau
gotong royong. Dalam tahap ini seekor binatang dikorbankan. Hal ini bertujuan
untuk memohonkan kekuatan dan semangat serta keselamatan bagi mereka yang
sedang bekerja misalnya sengatan ular berbisa, ditimpa pohon dan luka akibat
penggunaan parang. b. Tahap Membakar Hutan (polo nopo/sifo nopo) Tiga minggu
berselang dan ranting-ranting sudah kering, maka tibalah saatnya untuk dibakar.
Proses pembakaran biasanya dilakukan pada sore atau malam hari. Dipilih pada
sore atau malam hari karena pada saat itu angin yang bertiup tidak begitu
kencang. Hal ini bertujuan agar api tidak merambah ke hutan disekitarnya.
Setelah kebun baru dibakar, semua orang kembali ke kampung. Setibanya disana
mereka disiram dengan air. Penyiraman kepada para pekerja mempunyai makna
Menanam (tapoen fini buke) Pada saat musim hujan tiba, masyarakat Dawan mulai
mempersiapkan benih yang akan ditanam. Sebelum ditanam benih tersebut harus
dibawa ke kepala suku atau amaf, untuk dimohonkan berkat atas benih-benih
sebuah altar batu. hal ini bertujuan agar benih-benih yang ditanam bebas dari
ho’e) Ketika tanaman sudah mulai tumbuh, dilakukan upacara eka ho’e. upacara ini
Sebelum upacara makan bersama (tol tabua), amaf mendaraskan sebuah doa
adat. Hal ini bertujuan untuk menghindari erosi yang disebabkan oleh hujan
lebat. e. Tahap Panen Perdana (eka pen a smanan ma anne smanan) Ketika tiba
waktunya, dipilih beberapa jagung yang besar, lengkap dengan daun dan
batangnya untuk dipersembahkan kepada Uis Pah. Semua bulir jagung yang
dibawa oleh masyarakat diletakan diatas altar batu. Seorang amaf mendaraskan
doa. Setelah itu, semua jagung yang dibawa masyarakat dimasak dan dimakan
bersama-sama. Upacara ini menandakan bahwa jagung baru sudah bisa dimakan.
V. Tradisi Fua Pah Telah dikatakan bahwa selain Tuhan tertinggi (Uis Neno),
masyarakat dawan juga mengakui adanya Tuhan bumi (Uis Pah atau Pah Tuaf).
Telah dikatakan juga bahwa keduanya memiliki sifat khasnya masing masing. Uis
Neno memiliki sifat-sifat yang baik sedangkan Uis Pah atau Pah Tuaf memiliki
sifat-sifat yang tidak baik atau merugikan. Oleh karena itu, manusia harus
Tradisi Fua Pah Secara etimologis, Fua Pah berasal dari akar kata kerja fuat
yang artinya menyembah, menengadah, dan memohon dengan harapan doa
dikabulkan, sedangkan Pah artinya bumi, dunia atau alam. Dalam kaitannya dengan
dunia agraris, Fua Pah bearti menyembah raja atau penguasa bumi atau alam.
Upacara ritual Fua Pah adalah sebuah upacara penyembahan kepada Tuhan
berbagai intensi sesuai dengan kebutuhan misalnya ketika hendak membuka lahan
pertanian yang baru, syukur atas hasil panen dan sebagainya. Tempat yang biasa
Anggapan akan tempampat-tempat suci seperti gunung, bukit, dan batu besar
tidak hanya diakui oleh masyarakat Timor Dawan melainkan juga oleh berbagai
suku di Indonesia. Ritus Fua Pah Fua Pah adalah salah satu upacara ritual
masyarakat Timor Dawan terhadap Uis Neno atau uis pah atau Pah Tuaf sebagai
penguasa langit dan bumi. Upacara ritual ini dilaksanakan pada saat masyarakat
Timor Dawan hendak mepersiapkan lahan pertanian yang baru maupun syukur
atas panenan yang baru. Masyarakat Timor Dawan percaya bahwa Uis Neno dan
Uis Pah atau Pah Tuaflah yang menyebabkan semua hasil panen yang melimpah
tempat-tempat yang dianggap suci dan memiliki kekuatan gaib seperti gunung,
bukit, batu besar, dan pohon beringin yang besar. Tempat-tempat semacam ini
diakui oleh masyarakat Timor Dawan sebagai tempat Uis Neno maupun Uis Pah
atau Pah Tuaf mewahyukan diri. Di tempat-tempat inilah masyarakat Timor
Dawan melaksanakan upacara ritual ini. Orang yang berperan penting dalam
upacara ritual ini adalah tobe yakni “imam”. Orang yang berperan sebagai “imam”
dalam upacara ritual ini adalah tua adat atau kepala suku yang dituakan dalam
masyarakat Timor Dawan. Dalam upacara ritual ini, hal-hal yang diperlukan ialah
hewan kurban (sapi, babi, ayam atau kambing), muti atau iun leko (kalung orang
Dawan yang terbuat dari batu berwarna merah ada juga yang terbuat dari emas),
puah ma manus (sirih-pinang), tua nakaf (sopi kepala, minuman keras terbaik
orang Dawan). Puah-manus dan tua nakaf berfungsi sebagai komunikasi religius
dan menjaga hubungan baik dan serasi dengan Uis Neno dan yang terakhir adalah
kurban kepada Uis Neno ini dilasanakan sebanyak lima atau enam tahap mulai dari
persiapan lahan pertanian yang baru sampai pada tahap menuai. Pada bagian ke IV
telah kita lihat kelima tahap kegiatan pertanian yakni: Tahap menebas hutan atau
membersihkan kebun (ta’nelat hun mau), tahap Membakar Hutan (polo nopo/sifo
nopo), Tahap Menanam (tapoen fini buke), Tahap Pertumbuhan Tanaman (eka
ho’e), dan Tahap Panen Perdana (eka pen a smanan ma anne smanan). Upacara
ritual ini dilaksanakan dengan pembacaan doa atau mantra untuk menunaikan
pujian, permohonan dan syukur kepada Uis Neno. Doa-doa atau mantra dalam
masyarakat Timor Dawan disebut sebagai lasi tonis. Doa atau mantra ini
disampaikan oleh seorang tobe atau “imam”, tua adat yang mendapat kepercayaan
dari masyarakat setempat. Tobe dalam masyarakat Timor Dawan memiliki
peranan penting dalam segala upacara adat maupun upacara seremonial lainnya.
Tobe dalam masyarakat Timor Dawan adalah orang yang terberkati dan memiliki
kekuatan magis religius. Segala ucapan doa atau mantra yang disampaikan oleh
seorang tobe memiliki kekuatan yang dianggap melebihi sebuah mata pedang.
Kata-kata doa atau mantra yang disampaikan oleh tobe dianggap mujarab dan
menyampaikan kebenaran. Setelah pembacaan lasi tonis (doa atau mantra) oleh
tobe, upacara ritual ini dilanjutkan dengan penyembelihan hewan kurban. Darah
dari hewan kurban tersebut dioleskan pada sebuah faot bena atau (batu plat)
yang telah disediakan dan berfungsi sebagai mesbah. Selain pada faot bena,
darah hewan kurban tersebut juga dioleskan pada benih yang akan ditanam.
kepada Uis Neno-Uis Pah atau Tuaf. Daging yang akan dipersembahkan kepada
Uis Neno-Uis Pah atau Tuaf harus dipilih daging yang terbaik. Untuk hewan yang
berkaki empat seperti sapi, kambing dan babi daging terbaik untuk persembahan
adalah hati dan daging has, sedangkan untuk unggas seperti ayam harus daging
bagian paha dan dada. Daging tesebut kemudian di letakkan bersama dengan nasi
diatas mesbah sebagai persembahan kepada Uis Neno-Uis Pah atau Tuaf dengan
pembacaan lasi tonis khusus. Lasi tonis khusus tersebut berisi undangan kepada
Uis Neno-Uis Pah atau Tuaf bahwa sajian telah siap dan kiranya Uis Neno-Uis
Pah atau Tuaf berkenan menerimanya. Setelah tobe menyampaikan lasi tonis
sajian tersebut, sajian itu wajib dimakan oleh “umat” yang hadir. Fungsi Ritual
Fua Pah Upacara dan tindakan ritual dalam tradisi Fua Pah dapat dikategorikan
mitis yang melatar belakanginya. Keempat fungsi ini tidak hanya berciri mitis
tetapi terutama berciri sosiologis. Keempat fungsi itu adalah sebagai berikut:
Fungsi Magis. Fungsi ini berkaitan erat dengan pengunaan bahan-bahan dalam
upacara Fua Pah yang diyakini bekerja karena adanya daya-daya mitis. Misalnya
ramalan melalui hati hewan. Dari hati hewan kurban, dapat diketahui apakah
permohonan dan doa-doa kita diterima atau tidak. Tindakan ini jelas merupakan
dari yang ilahi (Uis Neno atau Uis Pah/Pah Tuaf). Melalui upacara Fua Pah,
masyarakat Timor Dawan bermaksud untuk mengambil hati Uis Neno dan Uis Pah
atau Pah Tuaf agar tidak mengganggu dan merusak tanaman. Hal ini ditunjukkan
dengan bahasa puisi lasi tonis yang indah dan melalui persembahan hewan kurban.
Fungsi Religius. Pelaksanaan ritus Fua Pah adalah sebuah tindakkan yang dapat
digolongkan sebagai sebuah tindakkan religius yang bersifat kreatif dan memiliki
bersama kepala suku dan secara kreatif mempersembahkan upacara ini demi
kepentingan bersama. Para leluhur kita juga melalukan hal semacam ini dan itu
dianggap kudus. Oleh karena itu, ritus Fua Pah dalam masyarakat Timor Dawan
juga memiliki fungsi religius dan simbol religi lokal masyarakat timor Dawan.
Fungsi Faktitif. Fungsi ini bekaitan erat dengan peningkatan produktifitas dan
nampak dalam ritus fua Pah. Fungsi ini tidak hanya diwujudkan melaui korban
kepada para leluhur melainkan terlebih sebagai peran aktif mereka dalam setiap
pada malam hari, orang Dawan mulai mengatakan bahwa di sungai banyak ikan.
perilaku manusia tidak terlepas dari fenomena ritus dan mitos. Upacara Fua Pah
berhasil. VI. Penutup Masyarakat Timor Dawan adalah masyarakat ritual yang
memiliki banyak sekali upaca ritual yang mewarnai setiap hidup mereka. Tuntutan
akan kebutuhan hidup yang berat akibat alam yang gersang dan iklim yang kurang
bersahabat, ritus Fua Pah diciptakan sebagai cara untuk menyiasati hal tersebut.
Dengan kondisi alam yang tandus dan kering, masyarakat Dawan harus bekerja
keras. Salah satu cara untuk menjinakkan alam yaitu dengan pemujaan dan
penghormatan kepada Uis Pah yang diyakini bertanggung jawab atas kesuburan
tanah. Dalam bercocok tanam masyarakat Dawan harus melewati tahap-tahap
membakar hutan (polo nopo/sifo nopo), tahap menanam (tapoen fini buke), tahap
pertumbuhan tanaman (eka ho’e), dan tahap panen perdana (eka pen a smanan ma
anne smanan). Selain itu, ritus Fua Pah juga memiliki empat fungsi utama yakni:
fungsi magis, fungsi religius, fungsi faktifis, dan fungsi identifikasi. Uis Neno
adalah inti dan pusat terdalam dari keyakinan dan kepercayaan tersebut. Uis
Neno adalah Tuhan yang sempurna, Tuhan yang terang, dan Tuhan seluruh alam
raya. Ini adalah inti dari keparcayaan orang Timor Dawan. Dengan perkembangan
dewi atau roh sedikit demi sedikit dianggap sebagai tempat suci dimana Tuhan
hadir. Namun, praktek ini terkadang masih kita jumpai dalam masyarakat Dawan.
VII. Refleksi Kritis atas Tradisi Fua Pah Sebagai Bentuk Kepercayaan
merupakan titik tolak hidup religius atau beragama. Sudah sejak zaman dahulu
kala, orang-orang menghadapi kenyataan hidup yang tidak dapat ditangkap secara
rasional. Hal itu terjadi karena apa yang dihadapi tersebut melampaui daya
besar yang tidak pernah dimengerti, namun tidak dapat disangkal kebenarannya
dalam pengalaman manusia. Menurut Rudilf Otto, misteri yang muncul dalam
hidup manusia ditafsirkan sebagai ‘Yang Kudus’. Kata ‘suci’ dan ‘kudus’ hendaknya
jangan pertama-tama diartikan secara moral sebagai saleh. Alim, dan sebagainya.
Arti moral tersebut tidak mengungkapkan inti sari dan hakikat Yang Ilahi.
Manusia pun dapat disebut kudus dan suci dalam arti moral. Kata ‘kudus’
menunjuk sesuatu yang dipisahkan dari yang lingkungan profan dan dikhususkan
bagi Yang Ilahi. Maka untuk mengungkapkan inti pengalaman religius tersebut,
Otto membuat istilah baru, yaitu ‘perasaan numinous’. Istilah ‘numen’ dalam
Bahasa Latin berarti ‘kekuasaan ilahi’, dan memang ke-ilahian’ Yang Ilahi itulah
yang menjadi arti utama dari kata ‘kudus’. Perasaan numinous memiliki dua aspek
yang utama, yaitu perasaan takut yang religius (tremendum) dan perasaan
tampak sebagai kekuatan yang menakutkan dan mengagumkan. Hal itu terjadi
karena Ia berlainan sama sekali dari manusia. Yang Kudus muncul sebagai
rasa takut dan gentar yang terdapat dalam jiwa manusia bukanlah bersumber
dari murka Yang Ilahi melainkan realitas Yang Kudus, yang tidak dapat dimasuki.
Yang Kudus itu dialami sebagai sesuatu yang berkuasa atas segala sesuatu. Ia
tampak sebagai yang mulia. Di hadapan kemuliaan Yang Kudus tersebut, kita
hanya bisa sujud dan hormat karena kita merasa lemah dan kecil. Meskipun Yang
Kudus melebihi manusia dan berada di luar lingkup yang biasa, namun Ia tidak
dialami sebagai yang asing. Manusia dapat mengenal, mengerti, dan merasa dekat
dengan-Nya. Secara tidak rasional, Yang Ilahi tersebut dialami sebagai sesuatu
yang menarik. Yang Kudus dilihat sebagai suatu wujud yang penuh kebaikan,
kegaiban, belas kasihan, dan rahmat. Rasa kagum dan terpesona tersebut
mendorong manusia untuk menjalin relasi yang akrab dengan-Nya. Yang Kudus
seluruh kosmos (segala sesuatu) dapat menampakkan Yang Kudus. Akan tetapi,
umumnya hanya benda-benda tertentu saja yang dihayati sebagai sesuatu yang
kudus misalnya gunung, bukit, batu besar dan sebagainya. Benda-benda dunia
menunjuk ke arah sesuatu yang melebihi dirinya, sesuatu yang ilahi. Benda yang
profan tersebut menjadi media bagi manusia untuk mencari dan menemukan Yang
Kudus. Demikian halnya dengan masyarakat Timor Dawan yang melakukan praktek
pemujaan kepada Uis Neno melalui upacara Fua Pah. Masyarakat Timor Dawan
Masyarakat Timor Dawan menyadari akan sesuatu yang lebih tinggi itu, berawal
dari perjumpaan dengan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Mereka
menamakan yang lebih tinggi itu Uis Neno. Masyarakat Dawan adalah masyarakat
kultur yang meyakini adanya dewa-dewi seperti halnya bangsa-bangsa lain. Dalam
Perjanjian Lama dikisahkan bahwa, ketika melintasi padang gurun bangsa Israel
dilindungi oleh YAHWE yang selalu menang perang. Ketika memasuki tanah
terjanji, mereka harus memulai cara hidup yang baru. Di mana mereka harus
mulai tinggal menetap dan mengolah tanah untuk mempertahankan hidup mereka.
Bangsa Israel melakukan praktek pemujaan kepada YAHWE yang dianggap dapat
memberikan hasil panen yang berlimpah kepada mereka. Demikian halnya dengan
masyarakat Dawan yang melakukan praktek pemujaan kepada Uis Neno melalui
upacara Fua Pah. Ritus-ritus kepercayaan dan pemujaan kepada Uis Neno melalui
upacar Fua Pah, secara tidak langsung telah membentuk suatu kepercayaan akan
adanya suatu yang lebih tinggi dan bersifat Ilahi. Ritus-ritus kepercayaan inilah
yang pada akhirnya membawa mereka kepada pemahaman akan Allah yang satu
dan Mahatinggi. Pemahaman akan Allah yang satu dan Mahatinggi itu menjadi
jelas dengan masuknya agama Kristen di Timor. Dengan masuknya agama Kristen
di Timor pemahaman mengenai Uis Neno pun mulai mengalami pergeseran makna
dan arti. Uis Neno tidak lagi dipahami sebagai dewa tertinggi yang samar-samar,
melainkan Allah yang sesungguhnya nyata dan dikenal; sebagaimana Allah orang
Kristen. Dengan kehadiran agama Kristen di Timor, paham mengenai Uis Neno ini
semakin dimurnikan. Kita yakin dan percaya bahwa Tuhan Allah kita hanya satu
manusia dari dosa. Dialah Yesus Kristus putera Allah yang menderita, wafat, dan
Pictures of my homeland →
Jul 14
Posted by aklahat
Nederlands: Foto. Portret van een Atoni vrouw met haar kind op de arm in een
Ume dan Lopo merupakan dua model bangunan yang berbeda dengan fungsi yang
Atoin Meto. ume merupakan sebuah ruangan tertutup, yang selalu diperuntukkan
bagi kaum perempuan, yang juga merupakan sebuah simbol kewanitaan. Segala
sesuatu yang berkaitan dengan urusan kewanitaan terjadi di dalam ruangan itu.
hidup dari keluarganya. Segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan dan
rencana keluarga serta masa depannya justru berlangsung dan terjadi di dalam
ruangan rumah, mulai dari interaksi suami istri hingga peristiwa kematian.
Sementara itu Lopo adalah sebuah ruang terbuka, yang juga merupakan sebuah
masing-masing, yakni bahwa di lopo itu adalah tempat duduk dan berbincang bagi
kaum lelaki dan di dalam rumah adalah tempat untuk berbincang bagikelompok
perempuan. Lopo merupakan tempat menerima tamu laki-laki dan rumah adalah
masyarakat Atoin Meto yang laki-laki memiliki rumahnya tersendiri yang disebut
lopo atau rumah laki-laki dan wanita memiliki rumahnya tersendiri yang disebut
ume biasa atau ume suba atau ume kbubu atau rumah wanita (bdk. Juga dengan
Eben Nuban Timo. Pemberita Firman… 64). Anggota masyarakat Atoin Meto
yang oleh Cunningham E. Clark disebut kesatuan sekaligus pembedaan “unity and
dimaksudkan dengan kesatuan atau persatuan (unity) adalah bahwa setiap rumah
tangga atau keluarga terdiri dari suami istri dan anak-anak, laki-laki dan
begitu saja. Selain itu mereka itu berbeda dalam melaksanakan fungsi dan
urusan di luar rumah atau di dalam kelompok masyarakat sosial. Paham tentang
kesatuan dan pembedaan seperti ini bukanlah sebuah pikiran baru. Hal ini
merupakan pandangan khas masyarakat Atoin Meto, yang selalu hidup dalam
prinsip dualitas komplementaris, yang saling bertentangan tetapi tetap satu tak
terpisahkan. Manusia itu terdiri dari wanita (fe) dan laki-laki (mone), malam dan
siang, lemah lembut dan kekerasan, kiri dan kanan, dalam dan luar, dan
dinaikkan ke atas loteng lopo, semuanya harus disimpan di dalam lantai lopo.
Demikian juga halnya dengan segala sesuatu harus dikeluarkan dari dalam rumah,
lalu diletakkan di lantai lopo sebelum dibawah ke luar untuk berbbagai kebutuhan
lainnya. Rumah yang adalah ruang dalam merupakan titik awal dan akhir dari
suatu ziarah pribadi secara pribadi ataupun bersama serta materi. Rumah
kembali segala hubungan yang sudah terputus (lht. Juga Agenda Budaya Pulau
Timor (2), yang diedit oleh P. Gregor Neonbasu dan P. Pit Manehat, 1992, 148-
149).
Anggota masyarakat Atoin Pah Meto yang masih bujang, tidak akan membangun
rumah atau lumbungnya sendiri. Dia masih terhitung dalam anggota keluarga,
yang masih berada di bawah tanggung jawab orangtuanya. Sang pemuda selalu
akan berjuang untuk mengikuti irama kerja ayahnya, misalnya untuk belajar
ayahnya dalam menghadiri atau melakukan banyak kegiatan lainnya, yang adalah
kegiatan khas bagi para ayah atau bapa keluarga. Sebaliknya sang pemudi atau
pekerjaan klasik domestik yang biasa dibuat oleh para ibu. Misalnya gadis itu
untuk memproduksi satu lembar kain tradisional dari hasil karya tangan sendiri.
Bila mereka ini secara pribadi sudah mampu melakukan berbagai tugas seorang
ayah dan seorang ibu, maka mereka akan diperbolehkan untuk membentuk sebuah
keluarga baru. Selama itu mereka masih tetap berstatus sebagai orang bujang
yang segala biaya hidupnya ditanggung oleh orangtuanya, yang juga adalah hasil
kerja mereka bersama juga. Bila mereka sudah memiliki keluarga sendiri, maka
mereka akan berusaha untuk membangun rumah tinggal sendiri, kendati belum
dilengkapi dengan lumbung. Sebab rumah (ume) dan lumbung (lopo) adalah simbol
mengandung sebuah sistim yang baku dan mantap. Setelah dua orang menikah dan
membangun rumah dan lumbung secara fisik, maka mereka boleh menerapkan
adat istiadat sang suami. Di sana mereka boleh menjalankan tabu tertentu sesuai
dengan adat sang suami. Di rumah yang baru itulah mereka berdua hidup sendiri
dengan mengatur segala rencana mereka berkaitan dengan masa depan keduanya
mereka bisa juga melakukan berbagai ritus keluarga dengan segala macam
aspeknya, mereka boleh berkuasa atas rumah tangganya sendiri sesuai dengan
adatnya atau nono-nya (lht jg. Cunningham Clark E. Soba: an Atoni Village in
Sistem pembuatan dan pembangunan rumah tinggal yang selalu terdiri dari rumah
dan lumbung, hal itu menunjukkan suatu pernyataan kesetiaan terhadap sistim
Meto, yang menganut prinsip dualitas komplementaris dalam hidup dan penataan
lingkungan hidupnya.
Sistem Adat dan Kefetoran
Di Amarasi
Nov 18
Posted by aklahat
Amarazi dibagai dalam empat Kefetoran yaitu Baun, Merbaun Siba dan Oekebiti.
masing Fetor dipilih dari kelompok Marga yang dianggap paling kuat, misalnya
Kefetoran Oekebiti dipimpin oleh keluarga dari marga Abineno. Kefetoran Baun
dari marga Tinenti, Kefetoran Merbaun dari keluarga Amtiran dan Soba berasal
Pemerintahan Swapraja dipilih oleh seorang Raja (Regent) yang biasanya diambil
dari penguasa tradisional. Misalnya untuk Swapraja Kupang Rajanya berasal dari
marga Nisnoni. Sedangkan Fetor (orang kedua dalam bahasa Timor) artinya
adalah orang kedua. Dibawah Kefetoran terdapat desa-desa yang dipimpin oleh
memberikan berita dari penguasa kepada seluruh warga, kerjanya hampir mirip
dengan tukang pos. Karena itu untuk tugas ini biasanya dipilih dari seorang warga
dengan postur tubuh yang tinggi, pandai bicara dan lari yang cepat, karena
dan menggemakan suaranya dengan alat dari bambu sehingga terdengar suaranya
diseluruh penjuru.
Kecamatan dari segala ancaman dan gangguan dari dalam maupun dari luar
wilayahnya. Disamping itu Fetor juga berhak atas hasil bumi (upeti) dari
menghadiri pesta yang diadakan oleh penduduk, untuk itu penduduk yang ingin
yang mengadakan pesta bersama Temukung menjemput Fetor dengan Kuda atau
tandu ke tempat pesta. Setelah selesai penduduk yang mengadakan hayatan akan
Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga Raja dan Fetor, setiap hari warga
yang disebut dengan Etu. Setiap panen, hasil kebun kolektif tersebut akan
dikirimkan ke gudang milik Fetor dan Raja. Selain itu penduduk juga masih harus
membayar pajak pribadi dalam bentuk uang Belanda yang disebut Naiknuif.
dibedakan secara tegas mana kepemilikan pribadi dan mana kepemilikan kolektif
karena Raja dan Fetor sekaligus berkuasa atas pemilikan tanah (Land Lord).
Namun hal ini mengalami perubahan cepat setelah adanya perubahan perundang-
Swapraja) Amarasi dibagi dalam tiga Kefetoran, yaitu Baun dengan Fetornya dari
Oekebiti dibawah kekuasaan marga Abineno. Akan tetapi Camat Amarasi yang
pertama tetap berasal dari Marga Koroh, padahal secara administratif dan
geografis wilayah Baun jauh terpisah dari 2 Kefetoran lainnya. (l2 km dari Kota
Kupang).
Hadirnya struktur baru ini menimbulkan beberapa implikasi pada penguasa
ruang bagi keturunan Fetor untuk menduduki Jabatan tersebut, sehingga yang
desa dimana marga dominan masih tetap mempunyai pengaruh dalam masyarakat
Kemudian dari segi kebiasaaan adat yang kekuasaan semula ada di tangan Fetor,
dibebankan kepada Fetor dan Camat keduanya makin rancu. Kerancuan ini
pemangku adat maupun struktur pemerintahan atau Camat yang sudah ditetapkan
oleh pemerintah.
dari pada Kepala Desa mereka, yang menurut Undang-Undang ditetapkan oleh
ada gaji sesenpun diterima. Sementara petugas dari perhutani digaji setiap
bulannya.
Kedua, hak belis (penyerahan bingkisan yang dahulu diperuntukkan Fetor sebagai
Camat. Sedangkan Fetor tidak mendapat apa-apa. Padahal dalam acara ritualnya
suami-istri atau belum menurut adat. Pemerintah seperti kepala desa dan camat