Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH STUDI KEBANTENAN

ETIKA LINGKUNGAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL

Mata Kuliah Studi Kebantenan


Dosen Pengampu: H. Ikhsanudin Juhri, Lc., MA

Disusun oleh:
Demas Agatri
4443170069
Perikanan 4A

JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji serta syukur kita panjatkan kepada Allah SWT
dan solawat serta salam kita curahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW
karena dengan rahmat dan hidayahnya, pembuatan makalah ini dapat diselesaikan.
Selain daripada itu, pembuatan makalah ini pun pastinya penyusun disertai
bantuan dan dorongan dari keluarga serta teman-teman dan menjadikan ini
sebagai motivasi bagi penyusun agar dapat menyelesaikan makalah ini sebagai
salah satu tugas dari mata kuliah Studi Kebantenan. Untuk itu penyusun
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.
Dalam pembuatan makalah ini, saya sebagai penyusun memberikan sedikit
informasi tentang Etika Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal sebagaimana tugas
yang telah disampaikan. Informasi ini pun saya dapat dari berbagai sumber yang
telah saya rangkum supaya menjadi kesatuan yang kompleks, sistematis, dan
mudah dipahami oleh pembaca. Terlepas dari semua itu, Saya menyadari
sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun
tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya menerima segala
saran dan kritik dari pembaca agar penyusun dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata saya berharap semoga makalah tentang Etika Lingkungan
Berbasis Kearifan Lokal ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap
pembaca.

Serang, Juni 2019

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia hidup dalam hubungan yang selaras dengan alam/lingkungannya.
Sejak dunia ini diciptakan manusia sudah hidup bersama dengan alam dan
lingkungannya. Dan diantaranya adalah ciptaan-ciptaan Allah, hanya manusia
yang memiliki keistimewaan, yakni memilki akal budi, dan kepada manusia Allah
memberikan kuasa untuk menguasai dunia ini. Artinya, secara kodrati manusia
memiliki kemampuan untuk mengolah alam/ limgkungannya. Dengan akal budi
dan tenaganya manusia dapat mengolah alam.
Manusia tersebar dalam beberapa bentuk kelompok diantaranya disebut
dengan negara, provinsi, daerah-daerah, dll. Masyarakat Indonesia tersebar
bahkan sampai ke pedesaan-pedesaan. Masyarakat pedesaan khususnya di
Indonesia sangat dekat dengan alam atau bisa disebut lingkungannya, sehingga
masyarakat sangat akrab dengan alam dan hidup dengan sangat kekeluargaan
yang besar dalam lingkungan sosial. Masyarakat di pedesaan sudah menerapkan
pola hidup yang serasi atau selaras dengan pengembangan alam/lingkungan hidup
mereka.
Alam/lingkungan hidup merupakan sumber nilai bagi hidup kita manusia,
itu sebabnya manusia perlu dan seharusnya menjaga hubungannya dengan alam
dan bertanggung jawab dalam melakukan pemeliharaan dan pelestarian alamnya.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas interaksi serta etika lingkungan
masyarakat banten terhadap alam itu sendiri.

1.2. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas maka didapati rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa itu kearifan budaya banten?

2. Bagaimana etika masyarakat banten terhadap alam?


1.3 Tujuan Penulisan

Yaitu agar mengetahui apa itu kearifan budaya banten dan mengetahui
bagaimana cara masyarakat banten beretika terhadap alam.
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Kearifan Budaya Banten

Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua
kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John
M. Echols dan Hassan Sadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom
(kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom
(kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local)
yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti
oleh anggota masyarakatnya. Dalam konteks kedaerahan propinsi di Banten,
wilayah ini dikenal kaya dengan unsur kearifan lokal, beragam entitas budaya
tetap eksis sejak dahulu dan kultur masyarakatnya yang dinamis serta pro
perubahan adalah salahsatu sebab aspek seni dan budaya yang ada terus
berkembang. Dengan entitas budaya, tradisi dan nilai-nilai agama itulah kearifan
lokal terbentuk dengan sendirinya. Bergulir menjadi tata nilai atau norma yang
berlaku turun temurun dengan kemasan yang khas sesuai dengan jamannya.
Bagaimana sesungguhnya model kearifan lokal yang harus dilestarikan atau
bahkan ditumbuhkembangkan, khususnya di Propinsi Banten ini ?. Setidaknya 3
(tiga) model pengenalan elemen kearifan lokal di Banten yang menarik melalui
sektor-sektor pembangunan di daerah Banten khususnya.

Pertama, melalui sektor Pendidikan dan Kebudayaan. Di mulai sejak


pendidikan usia dini (PAUD), Taman Kanak-Kanak, SD hingga Perguruan tinggi
hendaknya Dinas Pendidikan Nasional di wilayah ini memasukkan unsur
pendidikan karakter bangsa dan humaniora dengan konsep kearifan lokal berupa
pengajaran bahasa daerah Banten (Sunda atau Jawa Banten), pemahaman entitas
budaya Banten dengan memasukkan kurikulum sejarah daerah Banten, mengenal
baik para pahlawannya serta para "The founding father" provinsi ini.

Sistim mendidik yang memasukkan kearifan lokal semacam ini, yang


disebut sebagai Etnopedagogi, terbukti efektif di banyak negara di Eropa dan
Asia. Jepang sebagai salahsatu negara yang berhasil mempertahankan nilai-nilai
tradisinya meskipun bangsanya sudah maju dan moderen. Ini sebagai hasil dari
pendidikan humaniora yang baik di sekolah-sekolah.

Kedua, melalui sektor Komunikasi dan Informasi. Teknologi komunikasi


sudah demikian maju dan canggih, seiring waktu bergerak lebih cepat dari yang
diperkirakan semula. Teknologi internet dan multimedia telah melahirkan banyak
media sosial, diantaranya bertebaran produk jejaring sosial (social network) yang
menawarkan kemudahan berinteraksi diantara anggota masyarakat.

Oleh sebab itulah sektor ini sangat penting guna sosialisasi entitas budaya
Banten, pemahaman sejarah yang benar, hingga menebarkan nilai-nilai tradisi
daerah yang baik melalui jejaring sosial secara baik dan berksinambungan. Tentu
saja ini bukan semata-mata tugas para aparat terkait di pemerintahan, namun tugas
kita semua para pemangku kepentingan wilayah Banten dan seluruh warga
Banten. Mengenalkan secara lebih dekat entitas budaya Banten niscaya akan
sangat efektif mempopulerkan adat, tradisi serta keunikan kekayaan etnik. .

Ketiga, melalui sektor Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Banten tentu saja
kaya akan daerah-daerah tujuan wisatanya, dari mulai Wisata budaya dan sejarah,
wisata alam, wisata perbelanjaan hingga wisata kulinernya yang banyak sekali.
Kearifan lokal sebenarnya telah otomatis menempel pada sektor ini. Kekhasan
budaya Banten telah dikenal selama bertahun-tahun sampai ke mancanegara.
Kesenian Debus misalnya, telah lama mendunia sebagai wisata seni budaya. Di
Provinsi Banten juga terdapat Suku Baduy.

Suku Baduy Dalam merupakan suku asli Sunda Banten yang masih
menjaga tradisi antimodernisasi, baik cara berpakaian maupun pola hidup lainnya.
Kekayaan budaya Banten ini sekaligus juga aset yang sangat berharga bagi
wilayah ini guna menghasilkan sesuatu yang bermanfaat, tidak saja dari sisi
komersial, melainkan juga dari pengenalan tatanan nilai-nilai pembangunan
manusia melalui kearifan lokal. Di Baduy dan Kasepuhan Banten Kidul punya
kearifan lokal yang sangat menarik dalam menjaga keseimbangan alam. Di sana
tidak mengenal dampak bencana yang ditimbulkan oleh musim hujan atau musim
kemarau.

Mata air masih terjaga, air sungai masih mengalir, padi masih bisa
dipanen, longsor, banjir dan kekeringan tidak pernah terjadi. Itu semua
dikarenakan oleh peraturan adat yang masih dipegang teguh oleh masyarakatnya.
Dan peraturan adat ini ternyata lebih kuat dibanding peraturan yang dibuat oleh
anggota dewan dan pemerintah. Ada pula konsep "Hutan Titipan" dan "Hutan
Tutupan" yang kaya dengan filosofi kehidupan. Ada Motto "Leuweung Hejo
Rakyat Ngejo", demikian falsafah masyarakat adat Banten yang artinya jika
hutannya hijau, maka rakyatnya pun sejahtera. Sampai sekarang falsafah itu masih
terjaga dan bisa diterapkan di kawasan-kawasan lain sehingga bencana alam bisa
diminimalkan. Inilah gambaran betapa kearifan lokal bisa dikukuhkan dan
dilestarikan sebagai ikon sosial Banten untuk membina harmonisasi diantara
anggota masyarakatnya, kini dan mendatang.

2.2 Cara Masyarakat Banten Beretika dengan Alam


Masyarakat Baduy
dalam merupakan
masyarakat yang
dianggap masih
sederhana.
Ada beberapa hal yang
dapat menjadi teladan
bagi masyarakat lain
pada umumnya. Enam
hal penting menjadi
fokus perhatian penulis
dalam membongkar
etika masyarakat
pedalaman sebagai
bentuk sumbangsihnya
dalam membangun
diversitas mentalitas
pembangunan
Indonesia. Tulisan yang
memuat manusia lintas
waktu, politisasi
ekologi, paku dan
sandal jepit, tapal
batas
mobilitas, larangan
cerai dan makan
daging.
Beberapa muatan
tulisan tersebut
sebagai
sumber etika
masyarakat pedalaman
dan
mentalitas
pembangunan. Etika
sangat
penting untuk dimiliki
masyarakat, baik sipil
maupun militer.
Munculnya masyarakat
sipil
di Indonesia selalu
berada dalam kerangka
untuk berurusan
dengan hegemoni
negara
yang kuat (Sudibyo,
2010). Disisi lain etika
pembagunan ini
sedang dalam
ancaman dari
dalam dan luar melalui
gerbang manisnya
madu lebah hutan
Baduy. Pembangunan
di Indonesia saat ini
sedang mengalami
kekurangan masukan,
berdasarkan hal
tersebut maka
diperlukan inspirasi
yang
mampu mendorong
pembangunan menjadi
lebih maju dan
berkembang lagi.
Masyarakat Baduy
dalam merupakan
masyarakat yang
dianggap masih
sederhana.
Ada beberapa hal yang
dapat menjadi teladan
bagi masyarakat lain
pada umumnya. Enam
hal penting menjadi
fokus perhatian penulis
dalam membongkar
etika masyarakat
pedalaman sebagai
bentuk sumbangsihnya
dalam membangun
diversitas mentalitas
pembangunan
Indonesia. Tulisan yang
memuat manusia lintas
waktu, politisasi
ekologi, paku dan
sandal jepit, tapal
batas
mobilitas, larangan
cerai dan makan
daging.
Beberapa muatan
tulisan tersebut
sebagai
sumber etika
masyarakat pedalaman
dan
mentalitas
pembangunan. Etika
sangat
penting untuk dimiliki
masyarakat, baik sipil
maupun militer.
Munculnya masyarakat
sipil
di Indonesia selalu
berada dalam kerangka
untuk berurusan
dengan hegemoni
negara
yang kuat (Sudibyo,
2010). Disisi lain etika
pembagunan ini
sedang dalam
ancaman dari
dalam dan luar melalui
gerbang manisnya
madu lebah hutan
Baduy. Pembangunan
di Indonesia saat ini
sedang mengalami
kekurangan masukan,
berdasarkan hal
tersebut maka
diperlukan inspirasi
yang
mampu mendorong
pembangunan menjadi
lebih maju dan
berkembang lagi.
Masyarakat Baduy
dalam merupakan
masyarakat yang
dianggap masih
sederhana.
Ada beberapa hal yang
dapat menjadi teladan
bagi masyarakat lain
pada umumnya. Enam
hal penting menjadi
fokus perhatian penulis
dalam membongkar
etika masyarakat
pedalaman sebagai
bentuk sumbangsihnya
dalam membangun
diversitas mentalitas
pembangunan
Indonesia. Tulisan yang
memuat manusia lintas
waktu, politisasi
ekologi, paku dan
sandal jepit, tapal
batas
mobilitas, larangan
cerai dan makan
daging.
Beberapa muatan
tulisan tersebut
sebagai
sumber etika
masyarakat pedalaman
dan
mentalitas
pembangunan. Etika
sangat
penting untuk dimiliki
masyarakat, baik sipil
maupun militer.
Munculnya masyarakat
sipil
di Indonesia selalu
berada dalam kerangka
untuk berurusan
dengan hegemoni
negara
yang kuat (Sudibyo,
2010). Disisi lain etika
pembagunan ini
sedang dalam
ancaman dari
dalam dan luar melalui
gerbang manisnya
madu lebah hutan
Baduy. Pembangunan
di Indonesia saat ini
sedang mengalami
kekurangan masukan,
berdasarkan hal
tersebut maka
diperlukan inspirasi
yang
mampu mendorong
pembangunan menjadi
lebih maju dan
berkembang lagi.
Masyarakat Baduy dalam merupakan masyarakat yang dianggap masih
sederhana. Ada beberapa hal yang dapat menjadi teladan bagi masyarakat lain
pada umumnya.

Orang Baduy itu bukan orang Sunda (Wahid 2010). Namun Blume (1822,
dalam Garna 1993) berpendapat lain, bahwa masyarakat Baduy adalah orang
Sunda. Blume menegaskan orang Baduy berasal dari Kerajaan Sunda Kuno, yakni
Pajajaran, yang bersembunyi ketika kerajaan Pajajaran runtuh pada awal abad ke-
17 seiring pesatnya kemajuan kerajaan Banten Islam. Berbeda lagi menurut
Danasasmita dan Djatisunda (Suhadi 2011) bahwa Baduy adalah masyarakat
setempat yang dijadikan mandala (kawasan suci) secara resmi oleh raja.
Suku Baduy sangat menjaga kelestarian alam yang mereka huni. Mereka
selalu menjaga dan merawat alam supaya dapat terus dikelola dengan baik.
Efeknya, alam memberikan hasil panen yang cukup dan melimpah
untuk menghidupi kebutuhan hidup mereka. Mereka tidak ingin merusak
kelestarian alam yang ada.
Ditengah-tengah gempuran modernitas dan globalisasi saat ini,
nilai budaya dasar yang dimiliki dan diyakininya. Kearifan lokal dimasyarakat
Baduy memberikan banyak pelajaran berharga untuk masyarakat kita yang sudah
banyak sekali termakan oleh modernitas. Oleh karena itu banyak sekali baik
individu atau kelompok yang datang dan berkunjung ke suku Baduy.
Wisatawan berkunjung untuk melihat keindahan alam ataupun belajar akan
nilai-nilai kearifan lokal yang ada dimasyarakat suku Baduy. Hebatnya lagi adalah
kemampuan suku Baduy untuk bisa mempertahankan kebudayaanya dari
kebudayaan-kebudayaan luar yang masuk melalui para pengunjung yang datang.
Baduy terletak di Desa Kanekes terletak di Gunung Kandeng yang sebagian
wilayahnya adalah hutan. Wilayah ini termasuk ke dalam Propinsi Banten
tepatnya di Kabupaten Lebak Leuwi Damar. Kelompok masyarakat Baduy terbagi
menjadi dua, yaitu Baduy Luar, dan Baduy Dalam. Keduanya berada di Desa
Kanekes hanya saja ada beberapa aturan adat yang berbeda.
Kondisi alam Desa Kanekes ini terdiri dari bukir-bukit yang tersusun
berjajar, sehingga untuk berjalan dari satu desa ke desa yang lainnya
membutuhkan waktu dan tenaga yang cukup banyak. Belum lagi jika berkunjung
saat musim hujan. Jalan menjadi sangat licin dan perlu berhati-hati. Masyarakat
Baduy ini sangat menjaga budaya dan adat istiadat yang diwariskan nenek
moyangnya sehingga banyak sekali pantangan-pantangannya dengan alasan untuk
menjaga alam atau pun menjaga tradisi seperti halnya, dilarang menggunakan
trasportasi, menggunakan listrik, menggunakan elektronik, menggunakan sabun,
odol dsb. Masyarakat Baduy sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal
masyarakatnya.
Sistem ekonomi Baduy lebih mengutamakan sistem tertutup. Artinya
aktivitas ekonomi dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan
diproduksi serta dikonsumsi di lingkungan Baduy sendiri. Mata
pencaharian mereka pada umumnya adalah bertani atau bercocok tanam. Adapula
yang bekerja di hutan untuk mencari madu.
Hasil kerja mereka kemas dengan alat secukupnya dan dijual ke kota.
Mungkin tidak jarang orang-orang yang berada di Jakarta, Bogor, Tanggerang dsb
menemukan masyarakat Baduy menjual madunya atau kain tenunnya. Sementara
wanita suku Baduy bekerja di rumah seperti menenun kain, selendang, sarung,
gantungan serta kerajinan lainnya seperti membuat tas dari serat akar-akar pohon.
Wanita Baduy sendiri diwajibkan untuk memiliki keahlian menenun sebagai bukti
bahwa dirinya sudah cocok untuk dipinang.
Nilai-nilai kearifan masyarakat Baduy yang sederhana dengan tidak
mementingkan materi dalam kehidupannya menjadi sebuah contoh dimana
mereka hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan primernya. Bahkan
dalam bertani mereka mengikuti aturan-aturan yang ada dimasyarakat,
diantaranya tidak menggunakan pupuk kimia.
Masyarakat Baduy memupuk tanamannya dengan pupuk buatan mereka
sendiri dari bahan-bahan organik. Sebuah nilai kearifan lokal masyarakat Baduy
yang tidak mau merusak alam dengan menggunakan bahan kimia. Berbeda
dengan kebanyakan masyarakat lain yang menggunakan pupuk kimia dengan
tujuan hasil panen yang melimpah dan cepat, tetapi tidak
memperdulikan lingkungan alam yang akan rusak karena bahan kimia dalam
pupuk yang digunakan. Selain itu dalam menanggulangi hama padi, masyarakat
Baduy memilih mengusir daripada membunuh.
Dalam bertani, mereka selalu menjaga keselarasan dengan alam, bukannya
melawan alam. Maka dari itu, dalam penanggulangan hama padi huma,
masyarakat Baduy menggunakan racikan biopestisida dan rawun pare daripada
pestisida pabrikan yang dianggap dapat meracuni dan merusak lingkungan.
Upaya mengusir hama padi huma tersebut tampaknya cukup berhasil. Buktinya,
kejadian puso panen padi huma akibat gangguan hama sangat jarang terjadi di
Baduy. Mengapa demikian? Pasalnya, berbagai tumbuhan untuk biopestisida atau
rawun pare orang Baduy dikenal secara ilmiah (etik) termasuk kategori tumbuhan
pengusir hama (repellent).
Kehidupan mereka yang sederhana membuat mereka tidak terlalu
mementingkan harta, yang penting uang yang mereka miliki cukup untuk makan
dan kebutuhuan penting lainya. Sebuah nilai kearifan lokal yang sekarang ini
jarang bisa ditemui lagi mengingat sekarang ini banyak masyarakat yang
menganggap bahwa uang adalah segalanya dan uang adalah raja yang
harus mereka cari dan kumpulkan sebanyak-banyaknya untuk keberlangsungan
hidup mereka.
Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapu’unan (kepu’unan)
dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro
dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab
pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan
lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan
leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah sembilan
orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro dua
belas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan.
Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara
masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya
dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung. Prinsip
kearifan yang dipatuhi secara turun temurun oleh masyarakat Baduy ini membuat
mereka tampil sebagai sebuah masyarakat yang mandiri, baik secara
sosial maupun secara ekonomi. Karena itu, ketika badai krisis keuangan global
melanda dunia, dan merontokkan pertahanan ekonomi kita di awal tahun
milennium ini, suku Baduy terbebas dari kesulitan itu. Hal itu berkat
kemandirian mereka yang diterapkan dalam prinsip hidup sehari-hari.
Masyarakat Baduy sangat percaya bahwa segala sesuatu di alam ini telah
diciptakan oleh Sang Maha Pencipta. Oleh karenanya, sebagai manusia yang juga
diciptakan, manusia tidak memiliki kepatutan untuk merusak seperti memotong
atau menyambung. Konsep hidup yang diserahkan pada gagasan natural ini jelas
memperkuat masyarakat Baduy secara umum bahwa mereka dilahirkan untuk
menjaga stabilitas alam agar tetap seimbang.
Kesederhanaan hidup ini adalah cara mereka untuk “bersatu” dengan alam.
Pikukuh yang menjadi pegangan hidup mereka dianggap sebagai harga mati dan
tak boleh diubah.

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kearifan lokal apabila diterjemahkan secara bebas dapat diartikan nilai-


nilai budaya yang baik yang ada di dalam suatu masyarakat. Hal ini berarti, untuk
mengetahui suatu kearifan lokal di suatu wilayah maka kita harus bisa memahami
nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam wilayah tersebut. Budaya gotong
royong, saling menghormati dan tepa salira merupakan contoh kecil dari kearifan
lokal. Sudah selayaknya, kita terus mencoba untuk menggali kembali nilai-nilai
kearifan lokal yang ada agar tidak hilang ditelan perkembangan jaman.
3.2 Saran

Saran yang dapat diberikan yaitu agar melakukan hal yang sama bahkan
lebih dari masyarakat banten yang ada dipedalaman, untuk menjaga dan
melestarikan alam agar dapat dirasakan oleh anak cucu kita di masa yang akan
dating.

DAFTAR PUSTAKA

Garna, J.K. 1993. “Orang Baduy di Jawa: Sebuah Studi Kasus mengenai Adaptasi
Suku Asli terhadap Pembangunan” dalam Lim Teck Ghee & Alberto G. Gomes
(peny.). Suku Asli dan Pembangunan di Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Murat, A. 2009. Ekologi Politik Dimana Ekonominya? Jurnal Tanah Air. 12 (13):
16-26.

Suhadi. 2011a. Konselor Digital Dalam Perspektif Sosial: Sebuah Kado Spesial
untuk Guru BK. Dalam http://www.slideshare.net/es_lodheng/ konselor-digital-
dalam-perspektif-sosial.

Wahid, M. 2010. Sunda Wiwitan Baduy: Agama Penjaga Alam Lindung di Desa
Kanekes Banten. Dalam Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Ke – 10.
Banjarmasin, 1 – 4 November 2010.

Anda mungkin juga menyukai