Anda di halaman 1dari 22

Menggali Prinsip Relevansi dan Tindak Ilokusi dalam Iklan Energen

Dian Ikawati
11160130000061 – 5B
dian.ikawati16@uinkjkt.ac.id

Abstrak
Penelitian ini membahas mengenai prinsip Relevansi dan Tindak Ilokusi dalam Iklan
Energen baik dalam media cetak maupun media televisi. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif deskriftif dengan melakukan penggalian informasi secara intensif.
Penggalian ini dilakukan untuk (a) analisis kawan tutur dalam iklan Energen, (b)
analisis efek kontekstual dalam iklan cetak Energen, (c) analisis stimulus ostentif dalam
iklan cetak Energen, dan (d) analisis tindak ilokusi Searle yang terdapat dalam iklan
televisi Energen.
Kata Kunci: Energen, Iklan, Tindak Ilokusi, Prinsip Relevansi.

1. Pendahuluan
Iklan merupakan salah satu media yang digunakan untuk menyampaikan
informasi yang bersifat persuasif. Iklan merupakan bagian dari kegiatan
pemasaran yang salah satu tujuannya adalah untuk memperkenalkan suatu produk
atau jasa kepada masyarakat. Iklan ada bermacam-macam bentuknya. Ada iklan
cetak (print ads) yaitu iklan yang tercetak pada lembaran brosur, leaf-let, iklan
yang dimuat di koran, di majalah, atau di tabloid. Ada iklan luar ruang, yang
berbentuk spanduk, baliho, dan billboard. Ada iklan audio, yang disiarkan melalui
stasiun-stasiun radio, dan ada pula iklan video, merupakan gabungan visual
gambar bergerak dengan suara (audio), yang biasanya ditayangkan di televisi,
bioskop, internet, atau pada beberapa sarana penayangan video lainnya. Iklan
video yang ditayangkan di televisi seringkali disebut sebagai iklan televisi.
Iklan cetak merupakan andalan bagi para produsen untuk memikat kaum
dewasa. Sedangkan Iklan televisi dapat disaksikan dari berbagai macam
usiasehingga iklan televisi saat ini menjadi jenis iklan yang sangat efektif.
Penyajian suatu iklan agar menarik pembaca atau konsumen biasanya diwarnai

1
oleh pemakaian gaya bahasa yang bergantung pada produk atau jenis barang yang
diiklankan. Dalam mengiklankan produk sering kali produsen memuji keunggulan
produk, memerintah, dan menegaskan nama produk yang diiklankan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa iklan sangat menarik jika dikaji dalam penelitian bidang
ilmu kebahasaan. Ada berbagai ilmu yang bisa dipergunakan dalam penelitian
bahasa, seperti fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik. 1 Jika
dilihat dari ruang lingkupnya, maka analisis pragmatik sangat sesuai untuk
mengkaji iklan karena pragmatik menelaah satuan-satuan bahasa yang
dikomunikasikan serta terikat dengan konteks dan situasi antara penutur dan
kawan tutur. Levinson mengungkapkan definisi pragmatik lebih detail, yaitu
telaah mengenai relasi antara bahasa dan konteks yang merupakan dasar bagi
suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa. Dengan kata lain, pragmatik
adalah telaah mengenai kemampuan pemakai bahasa menghubungkan serta
penyerasian kalimat-kalimat dan konteks secara tepat.2
Agar dapat memikat perhatian konsumen, beberapa bentuk iklan
mempergunakan bahasa yang mudah diingat dan dapat mempengaruhi pemikiran
konsumen. Iklan Energen merupakan salah satu iklan yang menggunakan bahasa
mudah diingat seperti “Minum Makanan Bergizi” iklan ini juga dapat
mempengaruhi konsumen dalam menciptakan budaya sarapan dengan kalimat
pengingat yang digunakan dalam iklan seperti “Buru-buru gak sempat makan?
Energen solusinya!”. Iklan Energen juga menampilkan gambar seseorang pekerja
yang sibuk sehingga sangat mempertimbangkan waktu dalam melakukan
aktivitas. Hal tersebut menarik untuk dikaji dengan menggunakan teori prinsip
relevansi. Tidak hanya itu, dalam iklan yang ditayangkan pada televisi juga sangat
mempengaruhi konsumen sebab pada tayangan iklan tersebut konsumen seolah-
olah diwakili oleh seorang anak yang mempertanyakan pentingnya sarapan
sehingga produsen seolah-olah menginatkan para konsumen untuk melakukan
sarapan sebelum beraktivitas. Dialog dalam iklan tersebut terkesan sangat menarik
sehingga menempel kuat dalam benak pemirsa membuat iklan tersebut mudah
dikenali. Hal tersebut menarik jika dikaji dengan teori tindak ilokusi mrnurut

1
B. Kaswanti Purwo., Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984,
(Yogyakarta: Kanisius, 1990), hal. 1.
2
Henry Guntur Tarigan., Pengajaran Pragmatik, (Bandung: Angkasa Bandung, 2009), hal. 31.

2
Searle. Denngan demikian, iklan Energen tersebut dengan mengandung teori
prinsip relevansi Sperber dan Wilson serta tindak ilokusi Searle.
Dilatarbelakangi hal itulah maka tulisan ini akan menguraikan (1) Siapa
yang menjadi kawan tutur dalam iklan Energen?, (2) Bagaimana efek kontekstual
dalam iklan cetak Energen?, (3) Bagaimana stimulus ostentif dalam iklan cetak
Energen?, dan (4) Bagaimana tindak ilokusi Searle yang terdapat dalam iklan
televisi Energen?

2. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini menggunakan teori prinsip relevansi yang digagas oleh
Sperber dan Wilson untuk mengkaji kawan tutur, efek kontekstual, dan stimulus
ostentif pada iklan Energen. Tidak hanya teori relevansi, iklan televisi Energen
yang berjudul “Energen Sarapan Super 30sec (2017)” juga dapat dikaji
menggunakan teori tindak tutur yang digagas oleh Austin dan teori tindak ilokasi
yang digagas oleh Searle. Berikut adalah gagasan dari teori-teori yang digunalkan
dalam penelitian:

Teori Relevansi
Menurut Grice (1975) mengklasifikasikan prinsip kerja sama menjadi empat
maksim. Pertama, maksim kuantitas. Dalam maksim kuantitas, seorang penutur
diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan
seinformatif mungkin. Kedua, maksim kualitas. Dengan maksim kualitas, seorang
peserta tutur diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta
sebenarnya di dalam bertutur. Ketiga, maksim relevansi. Dalam maksim relevansi,
dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan mitra
tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan
tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Keempat, maksim pelaksanaan.
Maksim pelaksanaan ini mengharuskan peserta pertuturan bertutur secara
langsung.3
Sperber dan Wilson (1986) mengkritisi maksim-maksim prinsip kerja sama
Grice. Menurut keduanya, maksim Grice yang pertama (kuantitas), kedua
3
Kunjana Rahardi., Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. (Jakarta: Erlangga,
2005), hal. 53-57.

3
(kualitas), dan keempat (pelaksanaan/cara) tersebut dapat diabaikan karena yang
penting adalah bahwa, kontribusi peserta di dalam suatu percakapan relevan.
Kemudian, keduanya menjadikan maksim relevansi menjadi Prinsip Relevansi
(Principle of Relevance), dan teorinya disebut Teori Relevansi (Relevance
Theory). Menurut keduanya, teori relevansi dapat meluruskan teori Prisnip Kerja
Sama Grice. Teori ini mereka maksudkan bukan sebagai pelengkap teori Grice
sebagaimana teori kesantunan Leech, melainkan sebagai pengganti teori Grice
itu.4 Menurut Sperber dan Wilson (1986), seorang petutur harus mematuhi prinsip
relevansi agar percakapan berjalan dengan lancar dan maksud serta tujuan penutur
mudah tersampaikan. Menurut Sperber dan Wilson, ukuran relevansinya adalah
apakah tindakan penutur itu mempunyai efek kognitif atau nyambung di dalam
benak petutur. Efek kognitif itu adalah efek kontekstual yang timbul di dalam
sistem kognitif petutur. Makin kuat efek kognitif itu, makin relevanlah informasi
yang disampaikan oleh petutur.
Teori relevansi dikemukakan oleh Sperber dan Wilson dengan dasar
pemikiran bahwa komunikasi bergantung pada kognitif. Keberlangsungan
komunikasi berjalan seiring dengan bagaimana prinsip relevansi ini
dimanfaatkan. Komponen komunikasi dalam prinsip relevansi ini
sesungguhnya merupakan pemampatan dari keempat prinsip kerjasama Grice ke
dalam satu prinsip. Prinsip tersebut harus dimiliki oleh setiap partisipan
percakapan dengan berasumsi bahwa penutur lain telah berusaha bersikap
serelevan mungkin. Asumsi ini pun kemudian diharapkan dapat mendapatkan
implikasi yang sebesar-besarnya dengan usaha pemrosesan yang semudah-
mudahnya.
Komponen kognitif dari teori relevansi memandang proses kognisi
sebagai proses untuk mendapatkan informasi yang relevan. Yang dimaksud
dengan informasi yang relevan, yakni informasi yang memiliki efek
kontekstual terhadap tuturan. Tokoh psikologi, Fodor, mengemukakan
pandangannya tentang proses kognitif sentral yang berjalan seperti proses
konfirmasi ilmiah yang memanfaatkan deduksi. Namun, Sperber dan Wilson
berpandangan bahwa proses pemahaman inferensial tidak dapat berjalan seiring
4
A. Gunarwan., Pragmatik Teori dan Kajian Nusantara, (Jakarta: Universitas Atma Jaya, 2007),
hal. 14.

4
dengan proses teori ilmiah. Pada dasarnya, Sperber dan Wilson memandang
pemahaman inferensial juga tidak jauh dari pengaruh konsep pembuatan teori
ilmiah. Menurut mereka, pemahaman inferensial merupakan komponen
utama dalam interpretasi ujaran. Interpretasi ujaran ini terdiri atas dua tahapan,
yaitu pembentukan dan konfirmasi hipotesis. Salah satu kekuatan yang
paling penting dilakukan untuk revolusi neokognitif adalah sebagai
berikut: (1) kegagalan behaviorisme, (2) munculnya teori komunikasi, (3)
linguistik modern, (4) penelitian memori, dan (5) ilmu komputer dan kemajuan
teknologi lainnya.5
Pandangan Sperber dan Wilson tentang relevansi dalam komunikasi ini
memang tidak secara langsung menyatakan keterkaitan langsungnya dengan
aliran positivisme, tetapi ciri teori ini menandakan keterkaitan tersebut. Jika
kita kembali melihat sifat-sifat pandangan positivisme logika, makakajian ini
tidak akan lepas dari pemanfaatan metode sains empiris, logika, dan matematika.
Positivisme hadir sebagai lawan atas pengkajian segala sesuatu dengan
konteks kultural. Hal ini kemudian menjadikan sains begitu penting sebagai
jawaban atas persoalan-persoalan di berbagai bidang. Segala persoalan yang
dapat dijawab sesuai dengan norma sains dianggap bermakna, dan berlaku
pula sebaliknya. Terhadap pandangan ini Putnam mengemukakan teori
verifiabilitas makna. Menurutnya jika mengacu pada pandangan positivisme,
maka semua makna kalimat haruslah dapat dibuktikan dengan indera.
Dalam filsafat bahasa, eksternalisme semantikadalah pandangan bahwa
makna dari suatu istilah itu ditentukan (seluruhnya atau sebagian) oleh
faktor yang ada di luar penuturnya. Menurut pandangan ini, seseorang
dapat mengklaim tanpa kontradiksi sama sekali bahwa dua penutur kata ada
dalam keadaan otakyang sama, namun makna yang diungkapkan berbeda.
Filsuf Hilary Putnammerangkum gagasan ini dalam kalimat "makna tidak ada
di dalam kepala!”. Teori makna datang untuk menentang teori positivisme
logika: (1) makna dari sebuah istilah atau konsep berbeda sesuai dengan
keadaanpsokologis tertentu dan (2) makna dari istilah menentukan ekstensi.6

5
Robert Solso., Cognitive Psychology (America: United States of America, 1991), hal. 16.
6
Hilary. Putnam., The Meaning of “Meaning”, (Cambridge: Cambridge University Press, 1990),
hal. 135.

5
Ada tiga tuduhan reduksionisme (teori atau prosedur menyederhanakan
gejala yang kompleks sehingga menjadi tidak kompleks) ilmiah Putnam terhadap
positivisme logika yang berarti juga tuduhan untuk menentang teori relevansi
Sperber-Wilson. Pertama, kaidah eliminasi. Menurut Sperber-Wilson, asumsi
diproses melalui deduktif sentral. Misalnya, entri logika konsep IBU dapat
digantikan dengan ORANG TUA PEREMPUAN. Sifat kaidah eliminasi tidak
peka terhadap konteks sehingga sebuah konsep dari asumsi hanya dapat
digantikan oleh seperangkat sifat logika yang tetap. Sifat logika konsep
berada dalam jaringan yang terbatas. Padahal memiliki sebuah konsep
menuntut kita untuk menguasai sejumlah sifat yang tak terbatas. Sebuah konsep
dapat berubah dipengaruhi oleh kepentingan yang lebih luas, nilai-nilai dan
tujuan yang mempengaruhi struktur konsep. Sperber-Wilson juga
menyampaikan informasi yang bersifat dikotomi. Letak dikotominya adalah jika
sebuah konsep membawa item informasi yang sama maka secara tidak
langsung informasi tersebut menerima bentuk logika maupun ensiklopedi.
Teori ini seperti membuat Sperber-Wison menolak pendapatnya sendiri
karena ketika item informasi yang sama menerima bentuk logika dan
ensiklopedi maka landasan yang digunakan Sperber-Wilson menjadi tidak
jelas. Selain itu, tidak ada konsep-konsep yang secara fenomenologis begitu
menonjol karena kemenonjolan suatu konsep berbeda pada konteks yang
berbeda. Dapat disimpulkan bahwa teori relevansi melakukan reduksionis
terhadap hubungan kompleks tentang makna.
Kedua, reduksionisme pada deduksi dan pemahaman. Penjelasan
ilmiahdalam positivisme dengan model deduktif monologis hampir serupa dengan
pemahaman inferensial Sperber-Wilson. Dalam deduksi monologis (D-N),
sebuah fenomena hanya dapat dijelaskan dengan benar bila penjelasannya sesuai
dengan argumen deduktif. Menurut Sperber-Wilson, argumen deduktif hanya
merupakan sebagian kondisi relevan terhadap suatu fenomena. Sebuah
exsplanandum terpenuhi jika ada kondisi-kondisi anteseden dan hukum umum
yang membentuk exsplanan. Akan tetapi, kondisi-kondisi di luar kedua hal
itu berusaha untuk tidak dihadirkan. Penghilangan kondisi-kondisi ini
merupakan cerminan redeksionisme dalam model penjelasan D-N.

6
Reduksionisme serupa juga dapat terjadi pada pemahaman
inferensial yang dikemukakan Sperber-Wilson. Pemahaman terhadap ujaran
dilakukan melalui deduksi sentral. Misalnya: John akan pergi ke apartemen
temannya di New York. Atau John akan tinggal bersama saudara
perempuannya di Connecticut termasuk dalam KONDISI ANTESEDEN. Selagi
menunggu kedatangan seorang teman di stasiun kereta api, Tom sepintas
melihat John naik kereta 1800 ke New York termasuk dalam HUKUM
UMUM. John tidak akan menghabiskan akhir pekannya bersama saudara
perempuannya di Connecticut termasuk dalam EXSPLANANDUM. Akan tetapi,
deduksi sentral ini tidak dapat menangkap faktor-faktor lain seperti hari
ulang tahun Bibi Jane, hari ulang tahun yang penting bagi Bibi Jane, dsb,
yang relevan dengan pemahaman terhadap ujaran. Seperti deduksi monologis,
deduksi sentral dalam pemahaman juga membatasi faktor-faktor yang terlibat.
Ini merupakan bentuk reduksionalis dalam penjelasan Sperber-Wilson tentang
pemahaman ujaran.
Selain itu, Sperber-Wilson juga mendasarkan penjelasan pemahaman
ujaran pada deduksi yang melibatkan pengembangan teorikognisi dan
komunikasi dalam kerangka psikologi kognitif. Akan tetapi, psikologi kognitif
ini tidak muncul dalam pemahaman ujaran karena tidak ada perangkat deduktif
yang mampu menjelaskan semua informasi yang relevan dengan pemahaman
terhadap suatu ujaran. Dengan demikian, penjelasan Sperber-Wilson tentang
pemahaman terhadap ujaran mengalami reduksionisme akar psikologis
kognitifnya.
Terdapat kriteri-kriteria dimana sebuah pernyataan dapat bermakna empiris.
Kriteria-kriteria tersebut adalah: (1) keterujian dan atau dapat keterujian,
dimana sebuah kalimat empiris dapat diuji dan atau dapat dimungkinkan
untuk dapat diuji dengan fakta dan data secara empiris berdasarkan
pengalaman empiris, (2) kriteria keterjemahan makna kognitif, dimana sebuah
kalimat yang mempunyai makna kognitif jika dan hanya jika kalimat itu dapat
diterjemahkan ke dalam sebuah bahasa empiris.7

7
Jos Daniel Parera., Teori Semantik, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1990), hal. 173.

7
Tuduhan reduksionisme ketiga adalah reduksionisme konfirmasi fungsional.
Sperber-Wison berpendapat bahwa asumsi faktual individu dapat
mencerminkan ciri realitas. Kemudian, disusun berbagai sumber daya konsep
relevansi yang disebut ‘relevansi terhadap individu’. Faktor-faktor yang
membentuk relevansi informasi yang baru dengan individu selalu meluas di
luar batas dalam jaringan power prediktif. Konsep konfirmasi fungsional
Sperber-Wilson memberikan gambaran yang salah terhadap jaringan besar faktor
yang tidak dapat dipisahkan dari konsep ‘relevansi dengan individu’.
Pendapat inikemudian dibantah oleh Putnam yang menekankan pada
kesalinghubungan antara konsep-konsep. Hubungan antara konsep-konsep ini
tidak dijelaskan dalam konfirmasi fungsional Sperber-Wilson. Ini merupakan
bentuk reduksionisme terhadap konfirmasi fungsional Sperber-Wilson,
dimana konfirmasi fungsional memisahkan konsep ‘relevansi dengan
individu’ dari jaringan konseptual yang lebih luas sehingga merusak praktek
bertutur, pengakuan, dan justifikasi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teori relevansi yang
dikemukakan Sperber-Wilson ini lebih cenderung menekankan pada
‘rasionalitas’. Rasionalitas cenderung terlihat tidak lagi bersifat mutlah dan
universal melainkan bersifat sementara dan konvensional saja. Para filsafat
bahasa beranggapan bahwa bahasa tidak dapat dikaji dengan menggunakan
pendekatan rasionalitas karena bahasa harus bersifat komunikatif. Selanjutnya,
Putnam mengemukakan beberapa pandangan yang melawan teori relevansi
Sperber-Wilson. Pandangan Putnam disampaikan melalui kritik terhadap
reduksionisme teori relevansi.

Teori Tindak Tutur


Pendapat Chaer dan Agustina (2004:50) mengenai tindak tutur adalah
sebagai berikut, tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan
keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam
menghadapi situasi tertentu. Tindak tutur ini lebih menitikberatkan pada makna
atau arti tindak dalam suatu tuturan. Tindak tutur dapat berwujud suatu
pertanyaan, perintah, maupun pernyataan. Leech (1993:280) menyatakan bahwa

8
semua tuturan adalah bentuk tindakan dan tidak sekedar menyatakan sesuatu
tentang dunia. Tindak tutur (speech act) adalah fungsi bahasa sebagai sarana
penindak. Semua kalimat atau ujaran diucapkan oleh penutur sebenarnya
mengandung fungsi komunikatif tertentu. Menurut Searle (dalam Arifin,
2000:136) tindak tutur adalah produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi
tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari komunikasi bahasa. Sebagaimana
komunikasi bahasa yang dapat berwujud pernyataan, pertanyaan, dan perintah,
maka tindak tutur dapat pula berwujud pernyataan, pertanyaan, dan perintah. Dari
pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa tindak tutur adalah
aktivitas atau tindakan dalam ujaran yang memiliki makna. Sebagai contoh di atas
adalah tindakan mengusir dapat dilakukan dengan tuturan “Sekarang pukul
berapa?”. Maksud tuturan ini adalah tindakan mengusir bukan menanyakan
waktu.

Bentuk Tindak Tutur


Wijana (1996:16-20) mengemukakan bahwa secara pragmatik setidaknya
ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak
lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (ilocutionary act), dan tindak perlokusi
(perlocutionary act).

1. Tindak Lokusi
Menurut Wijana (1996:16) konsep lokusi adalah konsep yang berkaitan dengan
proposisi kalimat-kalimat atau tuturan, dalam hal ini dipandang sebagai satu
satuan yang terdiri dari dua unsur yaitu subjek/topik dan predikat/perintah. Tindak
tutur lokusi juga disebut the act of saying something. Pendapat lain mengatakan
bahwa tindak lokusi adalah suatu tindak berkata, yaitu menghasilkan ujaran
dengan makna dan referensi tertentu. Tindak ini merupakan dasar bagi
dilakukannya tindak tutur lain, lebih-lebih terhadap tindak ilokusi (Arifin, 2000:
138). Dengan kata lain tindak lokusi adalah tindak tutur yang menghasilkan
kalimat yang bermakna dan dapat dipahami oleh pendengar. Uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang berfungsi untuk
menyatakan atau menginformasikan sesuatu, yaitu mengucapkan sesuatu dengan

9
makna kata dan makna kalimat sesuai dengan makna kata itu sendiri kepada
lawan tutur. Bentuk lokusi sangat bergantung pada kategori gramatikal.
Berdasarkan kategori gramatikal, bentuk ini dibedakan menjadi tiga, yaitu kalimat
berita, kalimat perintah, kalimat tanya.

2. Tindak Ilokusi
Tindak ilokusi adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan
kalimat performatif yang eksplisit. Tindak tutur ilokusi ini biasanya berkenaan
dengan pemberian izin, mengucapkan terimakasih, menyuruh, menawarkan, dan
menjanjikan (Chaer dan Agustina, 2004:53).
Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang mengandung maksud dan
fungsi atau daya ujar. Tindak tutur ilokusi dapat diidentifikasikan sebagai tindak
tutur yang berfungsi untuk menginformasikan sesuatu dan melakukan sesuatu,
serta mengandung maksud dan daya tuturan. Tindak ilokusi tidak mudah
diidentifikasikan karena tindak ilokusi berkaitan dengan siapa penutur, kepada
siapa, kapan dan di mana tindak tutur itu dilakukan. Tindak ilokusi ini merupakan
bagian yang terpenting dalam memahami tindak tutur. Tindak ilokusi juga disebut
sebagai the act of doing something (Wijana, 1996:18).
Menurut Yule (2006:84), tindak ilokusi adalah tindak tutur yang
ditampilkan melalui penekanan komunikatif suatu tuturan untuk membuat suatu
pernyataan, tawaran, penjelasan.
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tindak tutur ilokusi adalah tindak
tutur yang berfungsi menyampaikan sesuatu dengan maksud untuk melakukan
tindakan yang ingin dicapai oleh penuturnya pada waktu menuturkan sesuatu
kepada mitra tutur.
Seaele (via Leech, 1993:164-165) membuat klasifikasi dasar tuturan yang
membentuk tindak tutur ilokusi menjadi lima jenis yaitu :
a) Asertif (Assertives): pada ilokusi ini penutur terikat pada kebenaran proposisi
yang diungkapkan, misalnya, menyatakan, mengusulkan, membual, mengeluh,
mengemukakan pendapat, dan melaporkan.

10
b) Direktif (Directives): ilokusi ini bertujuan menghasilkan suatu efek berupa
tindakan yang dilakukan oleh penutur; misalnya, memesan,
memerintah,memohon, menuntut, dan memberi nasihat.
c) Komisif (Commissives): pada ilokusi ini penutur sedikit banyak terikat pada
suatu tindakan di masa depan, misalnya, menjanjikan, menawarkan. Jenis ilokusi
ini cenderung berfungsi menyenangkan dan kurang bersifat kompetitif karena
tidak mengacu pada kepentingan penutur, tetapi pada kepentingan petutur (mitra
tutur).
d) Ekspresif (Expressive): fungsi ilokusi ini ialah mengungkap atau mengutarakan
sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi, misalnya:
mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam,
memuji, mengucapkan belasungkawa, dan sebagainya.
e) Deklarasi (Declaration): berhasilnya pelaksanaan ilokusi ini akan
mengakibatkan adanya kesesuaian antara isi proposisi dengan realitas, misalnya:
mengundurkan diri, membaptis, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman,
mengucilkan/ membuang, mengangkat, dan sebagainya.

3. Tindak Perlokusi
Menurut Wijana, sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali
mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force), atau efek bagi yang
mendengarnya. Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak
sengaja dikreasikan oleh penuturnya. Tindak tutur yang pengutaraannya
dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur disebut dengan tindak perlokusi
atau sering disebut the act of affecting someone (Wijana, 1996:19-20).
Menurut Yule (1996:84) tindak perlokusi adalah penutur menuturkan
dengan asumsi bahwa pendengar akan mengenali akibat yang ditimbulkan dari
yang dipertuturkan. Pendapat lain disampaikan oleh Nadzar (2009: 14) tindak
perlokusi yaitu tindakan untuk mempengaruhi lawan tutur seperti
mempermalukan, mengintimidasi, membujuk. Sedangkan menurut Chaer dan
Agustina (2004: 53) tindak perlokusi adalah tindak tutur yang berkenaan dengan
adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku nonlinguistik
dari orang itu. Tindak perlokusi pada hakikatnya mempunyai maksud yaitu makna

11
yang terkandung dalam suatu tuturan yang lebih dalam. Tindak perlokusi ini dapat
bersifat menerima topik, menolak topik dan netral (Ibrahim, 1993:261).
Leech (1993:323) mengklasifikasikan perlokusi sebagai berkut: bring hearer
to learn that (membuat lawan tutur tahu), persuade (membujuk), deceive
(menipu), encourage (mendorong), irritate (menjengkelkan), frighten (menakuti),
amuse (menyenangkan), get hearer to do (membuat lawan tutur melakukan
sesuatu), inspire (mengilhami), impress (mengesankan), distract (mengalihkan
perhatian), get hearer to think about (membuat lawan tutur berpikir tentang),
relieve tension (melegakan), embarass (mempermalukan), attract attention
(menarik perhatian), bore (menjemukan).
Jadi perlokusi adalah efek atau daya pengaruh yang muncul ketika
mendengar tuturan dari penutur. Makna yang terkadung dalam suatu ujaran sangat
ditentukan oleh penafsiran dari lawan tutur. Penafsiran setiap lawan tutur
(pendengar) berbeda antara yang satu dengan yang lain.8

Teori Tindak Ilokusi


Searle mengemukakan secara garis besar ada lima kategori tindak tutur
ilokusi. Katgori tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Asertif (assertives) pada ilokusi ini n terkait pada kebenaran proposisi yang
diungkapkan, misalnya menyatakan, mengusulkan, membual, mengeluh,
mengemukakan pendapat, melaporkan.
(2) Direktif (directives), ilokusi ini betujuan menghasilkan suatu efek berupa
tindakan yang dilakukan oleh penutur ilokusi ini misalnya:memesan, memerintah,
memohon, menuntut, memberi nasihat.
(3) Komisif (commissives), ilokusi ini sedikit banyak terikat pada suatu tindakan
di masa depan, misalnya menjanjikan, menawarkan, berkaul.
(4) Ekspresif (expressives), fungsi ilokusi ini ialah mengungkapkan atau
mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam
ilokusi, misalnya mengucapkan terima kasih, megucapkan selamat, memberi
maaf, mengecam, memuji, mengucapkan belasungkawa, dan sebagainya.

8
Dian Fitri Anggraeni., Skripsi Analisis Tindak Tutur Dalam Acara “Indonesia Lawyers Club”
Tv One, (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2015), hal. 9-15.

12
(5) Deklarasi (declarations) berhasilnya pelaksanaan ilokusi ini akan
mengakibatkan adanya kesesuaian antara isi proposisi dengan realitas, misalnya:
mengundurkan diri, membaptis, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman,
mengucilkan atau membuang, mengangkat dan sebagainya.9

3. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif.. Metode
kualitatif yaitu sebuah metode yang memfokuskan pada pemahaman fenomena
sosial dari sudut pandang partisipan secara deskriptif. Dengan kata lain, metode
ini lebih menekankan pada penelitian yang bersifat memberikan gambaran secara
jelas dan sesuai dengan fakta di lapangan. Data penelitian kualitatif bisa berupa
tulisan, rekaman, ujaran secara lisan, gambar, angka, pertunjukan kesenian, relief-
relief, dan berbagai bentuk data lain yang bisa ditranposisikan sebagai teks. Data
tersebut bisa bersumber dari hasil survei, observasi, wawancara, dokumen,
rekaman, hasil evaluasi, dan sebagainya.10
Sumber data yang di dapat tersebut berupa iklan Energen. Objek penelitian
yang digunakan ada dua macamjenis iklan. Pertama, iklan cetak Energen berupa
pamflet. Kedua, iklan televisi Energen yang berjudul “Energen Sarapan Super
30sec (2017)”.
Teknik pengambilan data untuk iklan cetak Energen yang berupa pamflet
ini diambil dari http://dianaseptiani111111.blogspot.com/2014/10/basic-
persuasion-techniques.html. Teknik yang dilakukan dalam menganalisis yaitu
mengamati iklan cetak tersebut secara intensif dan mencari data-data terkait
produk iklan. Sedangkan iklan televisi Energen yang berjudul “Energen Sarapan
Super 30sec (2017)” diunduh dari https://www.youtube.com/watch?
v=FS7XNURDMd8 pada hari Sabtu, 22 Desember 2018 WIB. Teknik yang
dilakukan dalam menganalisis yaitu dengan mengunduh, menonton, mentranskrip,
meneliti, dan mencari sumberdata yang relevan terkait iklan tersebut.

4. Hasil dan Pembahasan

9
Ita Wulandari., Tindak Tutur Direktif Dan Ekspresif Talkshow Hitam Putih Episode 10 Maret
201, (Surakarta: Universitas Muhammaddiyah Surakarta, 2018), hal. 3-4.
10
Maryaeni, Metode Penelitian Kebudayaan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005), hal. 60.

13
Penelitian ini akan membahas mengenai prinsip relevansi Sperber dan
Wilson dan tindak ilokusi Searle, yaitu (a) analisis kawan tutur dalam iklan
Energen, (b) analisis efek kontekstual dalam iklan cetak Energen, (c) analisis
stimulus ostentif dalam iklan cetak Energen, dan (d) analisis tindak ilokusi Searle
yang terdapat dalam iklan televisi Energen. Hasil analisis tersebut adalah sebagai
berikut:

Kawan Tutur dalam Iklan Energen


Iklan merupakan media dalam pemasaran. Menurut Cook, iklan
berkomunikasi dengan pangsa pasarnya. Pangsa pasar bisa dipilih berdasarkan
gender, stratifikasi sosial, usia, dan lain-lain. Untuk mengidentifikasi
kawantuturnya, biasanya iklan akan menampilkan simbol-simbol yang
mempresentasikan kawan tuturnya sehingga iklan tersebut mampu berkomunikasi
baik dengan kawan tuturnya.
Energen merupakan minuman susu dan sereal yang cocok untuk
menghilangkan rasa lapar. Pada iklan Energen yang ditampilkan pada media cetak
ini menampilkan gambar seorang laki-laki yang mengenakan kemeja rapih
berwarna abu-abu, celana hitam, dan menggunakan dasi hitam yang
mengisyaratkan laki-laki tersebut seseorang yang pekerja. Laki-laki yang terdapat
di gambar sedang berada di dalam ruang kantor diisyaratkan dengan adanya
gambar meja, kursi, dan telpon. Hal tersebut mengartikan bahwa laki-laki tersebut
merupakan laki-laki dari kalangan menengah dan hidup diperkotaan yang disibuk
dengan urusan kantornya. Laki-laki yang berada di gambar berpose seperti orang
terkejut sambil melihat ke bagian perutnya. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa
laki-laki tersebut sedang lapar yang ditandai dengan lonceng burung yang keluar
dari perut laki-laki tersebut dengan mengeluarkan kicauan “LAPAAR!”. Menurut
peneliti, laki-laki tersebut merupakan seseorang yang sangat sibuk yang sangat
mempertimbangkan waktu dalam beraktivitas. Seseorang yang tidak
memperhatikan waktu makannya seperti ini biasanya memiliki keluarga yang
sibuk pula sehingga tidak sempat sarapan dan tidak membawa bekal.
Jika dilihat dari adegan yang terdapat dalam iklan di televisi, terdapat
keluarga yang sedang berbincang-bincang dipagi hari pada saat sarapan. Terdapat

14
suami yang hendak bekerja ke kantor, dua orang anak yang hendak pergi
bersekolah, dan seorang ibu yang melayani keluarganya. Keluarga tersebut terlihat
keluarga dari kalangan menengah tergambar dari penataan rumah yang apik.
Berdasarkan analisis di atas, produsen berkomunikasi dengan konsumen
dari berbagai macam usia baik anak-anak maupun orang dewasa yang memiliki
banyak aktivitas. Akan tetapi, iklan ini lebih ditujukan kepada seorang istri yang
harus melayani keluarganya dengan cepat sehingga menuntun istri untuk
memberikan pelayanan sarapan yang praktis dan efisien waktu namun tetap
mengandung nutrisi untuk keluarga yang dicintainya. Iklan ini juga ditujukan bagi
seseorang yang tinggal diperkotaan yang lebih menyukai gaya hidup yang praktis.
Namun, tidak menuntut kemungkinan produk ini juga dikonsumsi oleh golongan
masyarakat lain.

Efek Kontekstual dalam Iklan Cetak Energen


Setiap produk yang akan dipromosikan pasti sudah dipikirkan terlebih
dahulu secara matang oleh konsumen. Sering kali produsen memanfaatkan efek
kontekstual yang melihat untung rugi dalam hal berkomunikasi berdasarkan dari
asumsi produsen dan asumsi yang beredar di masyarakat. Asumsi yang terjalin
dalam Produk Energen ini yaitu, pertama mengenai pentingnya menjaga pola
makan teratur, kedua, mengenai kesehatan gizi dan nutrisi, ketiga mengenai gaya
hidup yang praktis.
Asumsi pertama, mengenai pentingnya menjaga pola makan yang teratur.
Bagi seseorang yang memiliki banyak aktivitas, sering kali lupa akan melihat
pentingnya menjaga pola makan. Ketika disela-sela aktivitas yang padat, sering
kali seseorang terasa lapar dan tidak sempat untuk membeli makanan. Asumsi ini
produsen Energen memberikan solusi untuk keadaan tersebut dikarenakan
Energen merupakan minuman penunda lapar. Tidak hanya itu, seseorang yang
memiliki aktivitas di pagi hari sering kali meninggalkan kebiasaan untuk sarapan.
Masyarakat menganggap demikian karena biasanya pada pagi hari perut belum
terlalu lapar dan aktivitas pagi juga tidak terlalu berat sehingga sebagian besar
orang berpikir tubuh tidak memerlukan asupan makanan. Padahal sarapan
merupakan sumber makanan pertama yang dimakan, setelah selama tidur tidak

15
mendapat asupan makanan dan nutrisi. Sehingga sarapan sangat penting untuk
keberlangsungan hidup sepanjang hari. Berdasarkan asumsi tersebut dimanfaatkan
produsen Energen untuk menawarkan produknya agar masyarakat yang tidak
sempat membuat makanan untuk sarapan dapat mengkonsumsi Energen.
Asumsi kedua, mengenai kesehatan gizi dan nutrisi. Bagi anak-anak yang
tidak nafsu makan, bahkan menurut pakar gizi dan pangan di Indonesia
mengatakan bahwa 7 dari 10 anak di Indonesia kekurangan gizi pangan. Hal
tersebut membuat para orang tua khawatir akan kesehatan buah hatinya.
Berdasarkan asumsi tersebut dimanfaatkan produsen Energen untuk menawarkan
produknya agar orang tua sadar akan pentingnya gizi dan nutrisi untuk buah hati.
Energen menawarkan kandungan nutrisi didalamnya. Energen terdiri dari susu
dan gandum serta diperkaya dengan telor sebagai bahan dasar sereal ditambah
dengan beberapa vitamin di dalamnya. Dengan banyaknya kandungan vitamin ini
sehingga membuat anak tetap sehat dan dapat nikmati kapan saja tanpa perlu
repot. Serta produk Energen ini juga terdapat berbagai varian rasa yang dapat
diminati anak-anak.
Asumsi ketiga, mengenai gaya hidup yang praktis. Seiring dengan
berjalannya waktu, masyarakat lebih tertarik dengan gaya hidup yang praktis.
Kata “praktis” perlu digarisbawahi sebab saat ini kesibukan membuat sebagian
besar orang tidak memiliki cukup waktu untuk membuat membuat makanan
sehingga dibutuhkan sebuah produk yang cepat saji. Berdasarkan asumsi tersebut
dimanfaatkan produsen Energen untuk menawarkan produknya karna
penyajiannya yang cepat dan mudah Cara penyajiannya tergolong mudah tidak
sampai 1 menit yaitu tinggal tuangkan 1 sachet energen ke dalam gelas,
tambahkan air panas atau hangat 150ml, aduk hingga merata, minuman energen
sudah siap diminum. Jadi, memang terbilang praktis. Tidak hanya praktis,
Energen juga terbilang ekonomis dengan harga yang irit. Hal tersebut sangat
menarik perhatian konsumen.
Berdasarkan pemaparan di atas, efek kontekstual dimanfaatkan produsen
Energen untuk memperbaiki skema penyampaian informasi. Dengan hal tersebut
dapat meyakinkan konsumen dalam mengkonsumsi Energen agar dapat menjaga
pola hidup sehat, menjaga kesehatan gizi dan nutrisi dengan lebih praktis dan

16
efektif. Efek kontekstual ini sangat berpengaruh bagi produsen untuk
meningkatkan pemasaran.

Stimulus Ostentik dalam Iklan Cetak Energen


Stimulus Ostentif yang terdapat dalam iklan cetak Energen. Iklan cetak ini
berbentuk pamflet yang berisi gambar seorang laki-laki di kantor dengan
mengenakan kemeja abu-abu, celana hitam, dan menggunakan dasi ini terkejut
melihat perutnya dan terdapat gambar lonceng burung berwarna yang keluar dari
perut seorang laki-laki dengan mengeluarkan kicauan “LAPAAR!” dengan huruf
kapital, hal tersebut mengisyaratkan bahwa memang benar-benar sudah waktunya
mengisi perut. Stimulus ostentif selanjutnya yaitu pertanyaan “Gak sempat
makan? Minum energen.” yang mengartikan bahwa produsen memberikan solusi
bagi para pekerja yang tidak sempat sarapan untuk mengkonsumsi energen yang
cepat saji dan dapat mengenyangkan. Kata “Gak sempat makan?” tersebut ada
dibagian atas dan menggunakan font yang besar agar mudah diperhatikan oleh
pembaca. Kata “minum” digaris bawahi berwarna merah membuktikan bahwa
minuman dapat menggatikan fungsi makanan untuk penunda lapar. Sedangkan
kata “ENERGEN” yang berwarna merah menggunakan hufur kapital dan diberi
kotak merupakan logo dari produk tersebut yanng mengisyaratkan untuk
mempromosikan produk tersebut. Terdapat pula gambar produk Energen ditengah
dengan berbagai varian rasa untuk mengenalkan konsumen bahwa Energen
banyak rasa tergantung selera konsumen.
Stimulus ostentif tersebut juga berupa kalimat yang merupakan keunggulan
dari produk tersebut, keunggulan produk Energen ini seperti yang disebutkan
dalam iklan cetak tersebut yaitu kata pertama, “Buru-buru gak sempat makan?
Energen solusinya!”. Kedua, “Energen paduan susu, sereal dan oats yang enak
dan bergizi”. Ketiga, “Cara buatnya pun mudah, semenit: siap!”. Keempat,
“Energen nutrisi praktis untuk keluarga”. Kelima, “Minum Makanan Bergizi”
dengan menggunakan huruf tebal karena merupakan slogan agar mudah diingat
konsumen. Keenam, “Setiap hari!” yang berwarna merah dan digarisbawahi.
Maksud dari kalimat pertama, yaitu produsen menawarkan bahwa Energen
ini merupakan solusi bagi orang yang tidak punya waktu lehih atau sedang

17
terburu-buru sehingga tidak sempat membuat makan. Kalimat kedua yaitu produk
Energen ini banyak mengandung gizi dan vitamin yang terkandung dalam susu,
sereal, dan oats yang dicampur menjadi satu sehingga menciptakan cita rasa yang
enak. Kalimat ketiga, yaitu Energen ini sangat layak dikonsumsi karna tidak
butuh waktu yang lama untuk membuatnya, cukup semenit saja dan Energen siap
untuk diminum. Kalimat keempat, yaitu energen merupakan minuman praktis
yang mengandung nutrisi dan dapat dikonsumsi bareng keluarga. Produsen
berharap minuman ini menjadi persediaan produk dalam keluarga. Kalimat
kelima, yaitu merupakan slogan dari produk Energen yang berarti minuman
tersebut dapat menggantikan makanan dan tidak kalah baiknya dengan makanan,
bahwa minuman juga mengandung gizi yang baik. Kalimat keenam, yaitu
Energen ini karena praktis, bergizi, dan penunda lapar untuk itu dapat dikonsumsi
kapan saja.
Berdasarkan pemaparan stimulus odtentif di atas, banyak terdapat stimulus
ostentif pada iklan cetak Energen baik berupa gambar, ilustrasi, dan kalimat yang
menunjang dalam proses pemasaran. Hal tersebut merupakan upaya produsen
yang mengharapkan dengan adanya stimulus ostentif tersebut dapat membuat
konsumen yakin dan termotivasi untuk menikmati produk tersebut.

Analisis Tindak Ilokusi Searle yang terdapat dalam iklan televisi Energen
Analisis Tindak Ilokusi Searle dapat diamati melalui data transkrip iklan
televisi Energeni berikut ini:
Transkrip iklan Energen dengan judul iklan “Energen Sarapan Super 30sec
(2017)”
Ibu : Sarapan yuk! Dengan... (Membagikan Energen yang
telah diseduh kepada Suami dan anaknya)
Ibu, Ayah, dan Anak : Energen.
Anak : Hmmm (sambil mencium aroma Energen dan
meminumnya) Kenapa perlu Energen tiap hari bu?
Ibu : Karena Energen lebih dari susu, Energen sarapan super.
Semua kebaikan susu plus sereal, plus telur, plus sigmavit
jadikan Energen padat dan berisi.

18
Anak : Mengenyangkan dan bertenaga.” (mengangkat tangan
kanan mengisyaratkan kuat)
Ibu : Sarapan super ya Energen.
Minum Makanan Bergizi.

Austin, membagi tindak tutur, yaitu tindak lokusi (lotionary act), tindak
ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act). Tindak
lokusi adalah tindak yang menyatakan sesuatu, tetapi tindak tersebut tindak
menuntut pertanggungjawaban dari lawan tutur. Tindak ilokusi adalah tindak
yang mengatakan sesuatu dengan maksud isi tuturan untuk meminta
pertanggungjawaban dari penutur. Tindak perlokusi adalah tindak yang
mempengaruhi kondisi psikologis lawan tutur agar menuruti keinginan penutur.
Berdasarkan pendapat Austin di atas tindak tutur yang terkandung dalam
iklan televisi Energen tersebut yaitu sebagai berikut:
1. Kalimat yang dikatakan oleh seorang Ibu yaitu “Sarapan yuk!” yang
dianalisis sebagai berikut:
a. Lokusi : Penutur mengatakan kepada kawan tutur untuk
melakukan sarapan.
b. Ilokusi : Dengan tuturan tersebut, penutur mengajak kawan tutur
untuk melakukan sarapan bersama.
c. Perlokusi : Kawan tutur langsung mencium aroma dan meminum
segelas minuman yang diberikan oleh kawan tutur.
2. Kalimat yang dikatakan oleh seorang Ibu yaitu “Karena Energen lebih dari
susu, Energen sarapan super. Semua kebaikan susu plus sereal, plus telur,
plus sigmavit jadikan Energen padat dan berisi.” yang dianalisis sebagai
berikut:
a. Lokusi : Penutur mengatakan kepada kawan tutur bahwa Energen
lebih dari susu, Energen sarapan super. Semua kebaikan susu plus sereal,
plus telur, plus sigmavit jadikan Energen padat dan berisi.
b. Ilokusi : Dengan tuturan tersebut, penutur memberitahukan
informasi kepada kawan tutur mengenai keunggulan Energen.

19
c. Perlokusi : Kawan tutur langsung mengangguk dan menyambung
dengan mengatakan “Mengenyangkan dan bertenaga” pertanda bahwa
kawan tutur mengerti.
Berbeda dengan Austin, Searle berpendapat tindak ilokusi dibagi
berdasarkan berbagai kriteria, yaitu asertif, direktif, komisisf, ekspresif, dan
deklaratif. Asertif, seperti menyatakan, mengusulkan, membual, mengeluh,
mengemukakan pendapat, dan melaporkan. Direktif, seperti memesan,
memerintah, memohon, menuntut, mengajak, dan memberikan nasihat. Komisif,
menjanjikan, menawarkan, berkaul. Ekspresif, seperti mengucapkan terima kasih,
mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, memuji, mengucapkan
belangsungkawa, dan sebagainya. Deklaratif, seperti mengundurkan diri,
membabtis, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman,
mengucilkan/membuang, mengangkat (pegawai), dan sebagainya.
Berdasarkan pendapat Searle di atas tindak ilokusi yang terkandung dalam
analisis tindak tutur di atas yaitu sebagai berikut:
1. Pada tuturan pertama bahwa tuturan tersebut lebih mengacu kepada tindak
ilokusi tindak Direktif dikarenakan tindak tersebut bertujuan untuk menuntut
kawan tutur berupa tindakan dari kawan tutur yaitu mengajak untuk
melakukan minum Energen bersama.
2. Pada tuturan kedua bahwa tutura tersebut lebih mengacu kepada tindak ilokusi
tindak Asertif dikarenakan tindak tersebut melibatkan penutur kepada benar
dan salah atas kecocokan proposisi yaitu mengemukakan kepada kawan tutur
perihal keunggulan Energen.
Berdasarkan analisis tindak ilokusi di atas, iklan televisi Energen yang
berjudul “Energen Sarapan Super 30sec (2017)” memiliki tindak Ilokusi
Direktif dan tindak ilokusi Asertif. Dengan demikian, produsen ingin mengajak
konsumen untuk menikmati produk Energen dengan memberikan informasi
keunggulan yang terdapat dalam produk tersebut.

5. Simpulan
Produsen berkomunikasi dengan konsumen dari berbagai macam usia baik
anak-anak maupun orang dewasa yang memiliki banyak aktivitas. Akan tetapi,

20
iklan ini lebih ditujukan kepada seorang istri yang harus melayani keluarganya
dengan cepat sehingga menuntun istri untuk memberikan pelayanan sarapan yang
praktis dan efisien waktu namun tetap mengandung nutrisi untuk keluarga yang
dicintainya. Iklan ini juga ditujukan bagi seseorang yang tinggal diperkotaan yang
lebih menyukai gaya hidup yang praktis. Namun, tidak menuntut kemungkinan
produk ini juga dikonsumsi oleh golongan masyarakat lain.
Produsen memanfaatkan efek kontekstual yang melihat untung rugi dalam
hal berkomunikasi berdasarkan dari asumsi produsen dan asumsi yang beredar di
masyarakat. Asumsi yang terjalin dalam Produk Energen ini yaitu, pertama
mengenai pentingnya menjaga pola makan teratur, kedua, mengenai kesehatan
gizi dan nutrisi, ketiga mengenai gaya hidup yang praktis.
Stimulus ostentif banyak terdapat pada iklan cetak Energen baik berupa
gambar, ilustrasi, dan kalimat yang menunjang dalam proses pemasaran. Hal
tersebut merupakan upaya produsen yang mengharapkan dengan adanya stimulus
ostentif tersebut dapat membuat konsumen yakin dan termotivasi untuk
menikmati produk tersebut.
Tindak ilokusi yang terdapat iklan televisi Energen yang berjudul
“Energen Sarapan Super 30sec (2017)” memiliki tindak Ilokusi Direktif dan
tindak ilokusi Asertif. Dengan demikian, produsen ingin mengajak konsumen
untuk menikmati produk Energen dengan memberikan informasi keunggulan
yang terdapat dalam produk tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, Dian Fitri,. Skripsi Analisis Tindak Tutur Dalam Acara “Indonesia
Lawyers Club” Tv One. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. 2015.
Gunarwan, A., Pragmatik Teori dan Kajian Nusantara. Jakarta: Universitas Atma Jaya.
2007.
Maryaeni. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2005.
Purwo, B. Kaswanti,. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984.
Yogyakarta: Kanisius. 1990.
Rahardi, Kunjana,. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta:
Erlangga. 2005.

21
Solso, Robert,. Cognitive Psychology.America: United States of America. 1991.
Parera, Jos Daniel,. Teori Semantik. Jakarta: Penerbit Erlangga. 1990.
Putnam, Hilary,. The Meaning of “Meaning. Cambridge: Cambridge University Press.
1990.
Tarigan, Henry Guntur,. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa Bandung. 2009.
Wulandari, Ita,. Tindak Tutur Direktif Dan Ekspresif Talkshow Hitam Putih Episode 10
Maret 201. Surakarta: Universitas Muhammaddiyah Surakarta. 2018.

Sumber lain
http://dianaseptiani111111.blogspot.com/2014/10/basic-persuasion-techniques.html.
https://www.youtube.com/watch?v=FS7XNURDMd8

22

Anda mungkin juga menyukai