Anda di halaman 1dari 3

Republika, Minggu 9 May 1993

REFLEKSI
Surat kepada Tuhan
Oleh Danarto
S.O.S.: Indonesia!!!
Yang Maha Kepujian, Allah Azza wa Jalla, Segala puja dan puji hanya
bagi-Mu, ya Allah, yang menciptakan alam semesta dan memeliharanya, Rahmat
dan berkat semoga senantiasa Engkau karuniakan kepada Kanjeng Nabi
Muhammad SAW beserta keluarganya dan sahabat-sahabatnya. Rahmat dan
berkat semoga juga selalu Engkau karuniakan kepada segenap makhluk manusia,
binatang, tumbuhan, dan alam benda (air, tanah, api, udara, zat), malaikat, serta
makhluk-makhluk angkasa luar lainnya. Semoga kebahagiaan di dunia dan di
akhirat juga selalu Engkau karuniakan kepada para pemimpin kami beserta
keluarganya, sehat jasmani dan rohani, nikmat Islam serta khusnul khatimah
turun-temurun.
Hamba telah tergerak menyurati-Mu karena ada hal-hal yang sangat
mendesak yang harus secepatnya diatasi. Kehidupan bangsa ini telah goncang
karena tak ada lagi keseimbangan. Kalau dirasa-rasakan, jangan-jangan bangsa ini
adalah bangsa yang lelah. Setelah ratusan tahun terjajah, dalam kondisi
kelelahannya, bangsa ini cepat-cepat memperoleh kebahagiaan. Dengan demikian,
tiap individu lalu berlomba-lomba mencari kekayaan dengan menempuh segala
jalan. Nah, kemudian, apa yang terhampar di hadapan kami adalah suatu
pertandingan yang tidak jujur, dengan wasit yang tidak jujur, dengan penonton
yang tidak jujur, dengan para pengurus yang tidak jujur, bahkan bolanya itu
sendiri tidak jujur, yang bertahun-tahun menghabiskan waktu, yang akhirnya tidak
ketahuan, siapa yang menang-siapa yang kalah, ini artinya menunjukkan bahwa
pertandingan itu sendiri sudah tidak penting lagi.
Tuhan, Zat Yang Mahasuci,
Karena bertahun-tahun kualitas pertandingan kami Cuma seperti itu, maka
lahirlah keinginan untuk mengubah semuanya itu guna menuju sesuatu yang
sungguh-sungguh berarti bagi kehidupan bangsa. Barangkali ini karena adanya
rasa malu kepada-Mu, ya Allah. Bagus juga bahwa kami masih memiliki rasa
malu itu. Dari sinilah lalu sejumlah kekuatan lahir. Adapun peta kekuatan itu,
tentu saja hanya Engkaulah yang tahu, jangan kura-kura di perahu, Tuhan.
Izinkanlah hamba mengira-ira saja (habis Engkau tidak berkenan
menuliskannya):
Suatu kekuatan kepemimpinan tunggal ditingkah dengan keinginan
kepemimpinan kolektip, namun mencuat cita-citakan pemerintah sipil. Tetapi ada
yang melirik kemungkinannya suatu Republik Indonesia Serikat.
Mudah-mudahan apa yang hamba tulis ini Cuma sesuatu yang nonsens.
Jika tidak, hamba sendiri akan jadi kalang kabut. Alamaak. Hingga cukup
dengan mencibir, siapa pun bisa melupakannya. Jika tidak demikian, segalanya itu
menjadi terlampau serius. Jika sudah sampai taraf itu, yah, kebodohan akan
muncul. Yang ingin hamba tanyakan kepada-Mu, ya Allah, adakah sedikit saja
kebenaran dari yang sederhana itu. Soalnya hamba takut. Engkau tahu Tuhan,
hamba ini kan gelandangan, kasar, tak punya apa-apa, semau gue, tapi cinta
hamba kepada-Mu habis-habisan. Izinkan hamba menodong kejelasan kepada-
Mu, supaya hamba tidak merasa dikepung oleh kekuatan-kekuatan takhayul.
Dari carut-marut kehidupan politik republik yang kaya raya ini, yang bisa
dijuluki surga terakhir ketika ozon sudah tersobek, orang harus pandai
menciptakan suatu “rekayasa”. Setiap orang harus punya prakarsa rekayasa. Ide
rekayasa ini harus diperjuangkan betul oleh orang-perorang, untuk dapat muncul
dipermukaan secara nasional. Jika sudah dapat digelar secara biasa atau
spektakuler, artinya rekayasa ini mendapat pengakuan. Tidak penting benar hasil
rekayasa ini perlu atau tidak perlu bagi masyarakat. Sebab yang penting dari
sinilah, terbentang muara, dan muara itu tidak lain menuju ke lautan melimpahnya
uang.
Tetapi, Tuhan, bagaimana kalau itu suatu rekayasa revolusi sosial? Nah,
inilah yang hamba takuti. Jangan mengirim cobaan lagi, ya Allah. Cukup sudah
yang sudah-sudah. Kurang menderita apa, kami rakyat kecil, ya Allah, Apakah
begitu serius kekuatan-kekuatan itu, hingga saling menggelar pertarungan? Jika
hamba ingat, ketika anak-anak muda itu tak bisa menonton konser musik, mereka
show of force yang luar biasa, artinya mereka siap megorbankan nyawanya.
Apalagi jika terbebani oleh cita-cita politik yang sedikit banyak diciprati minyak
wangi kesucian perjuangan. Jangan, Tuhan, jangan!
Tuhan tempat kami kembali,
Jika ini peringatan dari-Mu, tolonglah kami siap menghadangnya. Jika ini
cobaan-Mu, tolonglah kami siap dengan penangkalnya. Itu, air bah, Tuhan!
Tolonglah semuanya siap untuk melindungi keselamatan para pemimpin kami,
sampai hidayah-Mu mengalir deras memberikan kesadaran untuk dapat
membangun kembali keseimbangan.
Jika gejala itu menampak sudah dari sekarang, itu memberi legitimasi bagi
pengukuhan kekuasaan yang lebih jelas dan stabil, yang disambakan masyarakat
luas kita yang ingin hidup teratur, tenang, dan menyenangkan. Bahwa
kepemimpinan dewasa ini yang kuat dan aman akan didorong sampai tahun 2003.
Tuhan, hanya Engkaulah yang Mahatahu.
Sekarang hamba bersimpuh di pintu-Mu. Sepanjang siang, sepanjang
malam, hamba menggedor-gedor pintu-Mu sambil berteriak-teriak: tolong, Tuhan,
tolong! Jangan biarkan kami berantakan, jangan biarkan kami kembali ke masa
awut-awutan yang mengerikan itu. Jangan, Tuhan, jangan! Selamatkan bangsa ini,
Tuhan!
Hamba gedor terus pintu-Mu. Hamba tak peduli lagi Engkau sedang apa.
Hamba tak peduli lagi Engkau sedang bagaimana. Toolooooong!!!
Republika, 9 Mei 93.

Anda mungkin juga menyukai