DI SUSUN OLEH :
NIM : 2021082024002
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
2021
BAB I
PENDAHUALUAN
A. Latar Belakang
Manusia sebagai salah satu jenis mahluk hidup, juga
mempunyai hubungan yang erat, baik antara dia dengan sesama
mahluk hidup lainnya maupun dengan lingkungan alam di mana ia
hidup, bahkan berbeda dengan jenis-jenis mahluk hidup lainnya ia
mempunyai suatu kemampuan yang luar biasa untuk beradaptasi
terhadap lingkungan manapun. Ia mampu untuk beradaptasi di
lingkungan ekosistem yang berbeda-beda (di daerah tropis, sub-
tropis, kutub, daerah berawa, pengunungan tinggi, pulau/pantai).
Provinsi Papua dulu mencakup seluruh wilayah papua bagian barat,
sehingga sering disebut sebagai Papua Barat terutama oleh
Organisasi Papua Merdeka (OPM), para Nasionalis yang ingin
memisahkan diri dari Indonesia dan membentuk negara sendiri.
Pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, wilayah ini
dikenal sebagai Nugini Belanda (Nederlands New Guinea atau
Dutch New Guinea). Setelah berada dibawah penguasaan
Indonesia, wilayah ini dikenal sebagai provinsi Irian Barat sejak
tahun 1969 hingga 1973. Namanya kemudian diganti menjadi Irian
Jaya oleh Soeharto pada saat meresmikan tambang tembaga dan
emas freeport, nama yang tetap digunakan secara resmi hingga
tahun 2002. Nama provinsi ini diganti menjadi Papua sesuai
dengan UU No. 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus Papua.
Pada tahun 2004, disertai oleh berbagai protes, papua dibagi
menjadi 2 provinsi oleh pemerintah Indonesia : Bagian timur tetap
memakai nama Papua, sedangkan bagian baratnya menjadi
Provinsi Irian Jaya Barat (Setahun kemudian menjadi Papua Barat).
bagian timur inilah yang menjadi wilayah provinsi Papua pada saat
ini. Kata Papua sendiri berasal dari bahasa Melayu yang berarti
rambut keriting, sebagian gambaran yang memacu pada
penampilan fisik suku-suku asli.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makanan Khas Papua
Sagu sebagai makanan Khas Papua. Pulau Papua berada di
ujung timur dari wilayah Indonesia, dengan potensi sumber daya
alam yang bernilai tinggi ekonomis dan strategis. Provinsi Papua
merupakan salah satu provinsi terkaya dengan penduduk yang
masih sedikit dengan kekayaan alam yang begitu kaya.
Kekayaan di Papua meliputi budaya, hasil hutan, perkebunan,
pertanian, perikanan dan pertambangan. Penduduk papua
beberapa masih menjalani kehidupan tradisional yang banyak
tinggal di Papua pegunungan dan Papua pesisir. Keduanya
mengkonsumsi Sagu sebagai makanan Khas Papua. Untuk
melestarikan kebudayaan Papua yang berkaitan dengan
makanan setidaknya ada dua jenis makanan pokok di Papua
yaitu sagu dan ubi jalur, banyak dikonsumsi oleh orang Papua di
daerah pesisir Jayapura.
Orang Papua biasanya tidak menanam sagu karena tanah
yang subur membuat pohon sagu tumbuh subur liar dimana-
mana di seluruh wilayah Papua khususnya pesisir. Tidak hanya
Sagu, ikan tersedia dengan melimpah di laut dan sumber
makanan lainnya di hutan. Ubi Jalar juga dijiadikan makanan
pokok sebagian besar tumbuh dan ditanam di dataran tinggi.
Khususnya di dataran tinggi sebagaian masyarakat membuat
kebun, bercocok tanam, dan membiakkan hewan ternak.
Masyarakat asli Papua biasanya berprofesi sebagai nelayan dan
petani tradisional. Kebanyakan dari mereka masih menjalani
kehidupan tradisional; makan makanan tradisional yang
disiapkan dengan cara tradisional. Makanan pokok di Papua
adalah nasi, akar talas dan kau-kau, Mumu, ayam Barapen dan
Papeda. Papeda yang terbuat dari bahan dasar tepung sagu.
Makanan ini sangat digemari masyarakat pesisir. Untuk
membuatnya relatif mudah, dengan menuangkan air panas ke
dalam tepung sagu, mengaduknya berulang kali hingga
mengental dan tampak seperti lem. Menikmati papeda dengan
bumbu kuning atau hidangan ikan asam atau yang lainnya
ditambah sambal. Mata pencaharian utama masyarakat di
pantai utara Papua Barat adalah Sagu (inti dari pohon palem).
Kebun sagu mereka adalah hutan sagu alami yang terletak 4
sampai 5 km di pedalaman. Pohon sagu dengan umur antara 8
sampai 12 tahun sudah siap dipanen. Pekerjaan memanen sagu
adalah untuk laki-laki dan perempuan. Sedangkan di daerah
aliran sungai kebanyakan menjadi pekerjaan perempuan,
sedangkan laki-laki adalah pemburu dan penggarap tanah.
B. Pola Pengolahan Makanan.
Sagu adalah tepung atau olahan yang diperoleh dari
pemrosesan teras batang rumbia atau “pohon sagu”
(Metroxylon sagu Rottb.). Tepung sagu memiliki karakteristik
fisik yang mirip dengan tepung tapioka. Seratus gram sagu
kering setara dengan 355 kalori. Di dalamnya rata-rata
terkandung 94 gram karbohidrat, 0,2 gram protein, 0,5
gram serat, 10 mg kalsium, 1,2 mg besi,
dan lemak, karoten, tiamin, dan asam askorbat dalam jumlah
sangat kecil. Sagu sebagai makanan Khas Papua dimakan dalam
bentuk papeda, semacam bubur, atau dalam olahan lain. Sagu
sendiri dijual sebagai tepung curah maupun yang dipadatkan
dan dikemas dengan daun pisang. Selain itu, saat ini sagu juga
diolah menjadi mie. Sebagai sumber karbohidrat, sagu memiliki
keunikan karena diproduksi di daerah rawa-rawa, sehingga sagu
dipanen dengan tahap sebagai berikut:
1. Pohon sagu dirubuhkan dan dipotong hingga tersisa
batang saja.
2. Batang dibelah memanjang sehingga bagian dalam
terbuka.
3. Bagian teras batang dicacah dan diambil.
4. Teras batang yang diambil ini lalu dihaluskan dan
disaring.
5. Hasil saringan dicuci dan patinya
6. Pati diolah untuk dijadikan tepung atau dikemas dengan
daun pisang
C. Pola Produksi Makanan Sagu di Papua
Tanaman sagu di Indonesia memiliki potensi besar
seperti luasan yang sangat besar, sumber karbohidrat yang
tinggi, produktivitas yang tinggi, dan dapat dijadikan berbagai
macam produk turunan. Tanaman sagu di Indonesia merupakan
yang terbesar di dunia, karena lebih dari 85% total areal sagu
dunia berada di Indonesia terutama di Papua dan Papua Barat.
Papua dan Papua Barat merupakan daerah yang paling
potensial, karena hanya perlu melakukan pemanenan dan
penataan menjadi kebun sagu. Potensi lain yang mendukung
keunggulan sagu yaitu sagu mengandung karbohidrat tinggi
dengan kandungan pati kering 200-400 kg/ pohon dan jika
dilakukan pemanenan dalam 1 ha akan menghasilkan 20-40 ton
pati/ha/tahun. Produk pati dari sagu juga dapat dijadikan produk
turunan ain seperti gula cair dan lain-lain.
Produksi pati sagu di Indonesia sangat besar dan
beragam. Menurut Hengky et al (2016), produksi sagu di Kab.
Kepulauan Meranti sebesar 135-355 kg/pohon. Sagu jenis Phara
mampu memproduksi pati sebesar 975 kg/pohon. Menurut Dewi
et al (2016) hutan sagu campuran di Sorng Selataan mampu
memproduksi pati sebesar 38 ton/ha/tahun. Menurut Bintoro et
al (2017) bahwa produksi pati di Kab. Mimika sebesar 14-26 ton/
ha/tahun. Sagu lebih unggul dari padi untuk memberi makan
dunia. Sagu dalam satu hektar dapat menghasilkan 20-40 ton
pati, jika dijumlahkkan dengan luas areal sagu sebesar 5 juta Ha
akan menghasilkan 100-200 juta ton. Padi membutuhkan 12 juta
hektar untuk menghasilkan 30 juta ton, sedangkan sagu
menghasilkan 30 juta ton pati hanya dalam 1 juta ha. Kebun
sagu dengan luasan 1 juta hektar memberi makan 200 juta jiwa,
jika dalam 5 juta hektar sagu dapat memberi makan 1 milyar
jiwa. Sagu dapat memenuhi kebutuhan orang yang kelaparan di
dunia yang berjumlah 868 juta jiwa yang dilaporkan oleh FAO.
Pemanfataan sagu bukan hanya sekedar dijadikan pati
(Gambar 2), banyak bentuk produk turunan sagu lain seperti
glukosa, dextrin, protein sel tunggal, bubur kayu, dan ampas.
Pemanfaatan pati sagu dapat dijadikan beras analog, industri
makanan, dan bahan baku industri. Glukosa dihasilkan oleh
pemanfaatan pati dapat dimanfaatkan untuk dijadikan ethanol
dan fruktosa dalam industri makanan dan minuman, selain itu
glukosa dapat dijadikan asam organik unntuk industri kimia &
farmasi dan energi. Sagu juga dimanfaatkan untuk menjadi
dextriin yang dimanfaatkan dalam industri kayu, kosmetik,
farmasi, pestisida. Protein sel tunggal juga dapat dihasilkan oleh
sagu untuk industri makanan. Pemanfaatan sagu berupa bubur
kayu dan ampas masing-masing dimanfaatkan untuk industri
kertas & bahan bakar dan pembuatan pupuk, biogas, dan
industri makanan ternak.
2. Penyakit KUSTA
a. Pandangan Masyarakat Kota Jayapura Terhadap Penyakit KUSTA
Penyakit Kusta salah satu penyakit menular yang
menimbulkan masalah yang sangat kompleks karena dampak
bukan hanya dari sisi medis tapi meluas hingga ke masalah sosial
dan ekonomi. Kusta adalah salah satu penyakit yang belum
dipahami masyarakat secara baik dan benar yakni penyakit kusta.
Masyarakat cenderung memahami dan menilai kusta sebagai
penyakit kutukan bahkan buatan orang. Padahal sejatinya penyakit
kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan
masalah yang sangat kompleks mulai dari faktor medis, ekonomi,
sosial dan budaya. Stigma terhadap pasien kusta menjadi salah
satu masalah yang dapat menghambat eliminasi kusta.
Pengetahuan yang kurang dapat menyebabkan pemahaman yang
salah dan menimbulkan stigma. Stigma pada penderita Kusta akan
mempengaruhi pemahaman tentang penyakit dan penerimaan diri
bagi penderita itu sendiri dan tidak menerimanya dikalangan social
masyarakat. Kusta menimbulkan stigma di masyarakat yang
menyebabkan timbulnya masalah psikososial. Seringkali Kusta
diasosiasikan dengan penyakit kutukan atau hasil guna-guna.
b. Obat tradisional Penyakit Kusta Dengan Ramuan Ekor Kucing
Menurut nasehat orang tua terdahulu yang telah mengajarkan
pengobatan alami, obat tradisional penyakit Kusta mereka meracik
sendiri. Ekor kucing merupakan tanaman asli dari Hindia barat,
umumnya ditanam sebagai tanaman hias dihalaman atau taman-
taman. Kebanyakan masyarakat menggunakan Bunga Ekor kucing
untuk pengobatan penyakit Kusta yaitu menggunakan bunga dan
daunnya. Ambil daun secukupnya dan cuci bersih lalu tambahkan
kencur secukupnya, kemudian ditumbuk halus sampai jadi bubur.
Ramuan ini dioleskan pada kulit yang terkena kusta.