Anda di halaman 1dari 4

BUDAYA MENGKONSUMSI SAGU TERHADAP KECUKUPAN GIZI DI

INDONESIA BAGIAN TIMUR

Contoh makna atau peranan makanan pokok antara lain penelitian Apomfires (2002)
menyebutkan pada suku Jae di Kabupaten Merauke, sagu digunakan sebagai makanan pokok
dan sekaligus sebagai makanan yang disakralkan. Masyarakat percaya sagu adalah makanan
leluhur dan asal mula dari kehidupan mereka.

Di Nusa Tenggara, sagu merupakan bahan makanan pokok, dimakan bersama ikan
dalam jumlah cukup banyak, ikan cukup mudah ditangkap di daerah tersebut. Susunan zat-zat
makanan dalam pola makanan itu baik meskipun sagu sendiri bernilai gizi rendah

Sagu adalah hasil ekstraksi bagian inti batang pohon sagu. Di tepi-tepi pantai
Sumatera Timur, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya serta beberapa kepulauan Maluku dan
Mentawai, terdapat hutan sagu yang tumbuh liar secara alamiah. Sebagian masyarakat di
daerah tersebut memanfaatkan sagu untuk diambil pati atau amilum yang terdapat di bagian
tengah batangnya. Satu pohon sagu dapat menyediakan bahan tepung untuk menyediakan
bahan makanan pokok bagi suatu rumah tangga yang terdiri atas 5 orang selama satu bulan.
Susunan zat-zat makanan di dalam sagu mirip dengan singkong, bahkan kadar proteinnya
lebih rendah (Sediaoetama, 1999). Dalam Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM, 2005)
disebutkan untuk 100 gram sagu mengandung energi 231 kkal dan 0,6 gram protein.

Potensi konsumsi sagu di Indonesia

Sagu memiliki potensi yang paling besar untuk digunakan sebagai pengganti beras.
Keuntungan sagu dibandingkan dengan sumber karbohidrat lainnya adalah tanaman sagu atau
hutan sagu sudah siap dipanen bila diinginkan. Pohon sagu dapat tumbuh dengan baik di
rawa-rawa dan pasang surut, dimana tanaman penghasil karbohidrat lainnya sukar tumbuh.
Syarat-syarat agronominya juga lebih sederhana dibandingkan tanaman lainnya dan
pemanenannya tidak tergantung musim.

Diperkirakan luas areal tanaman sagu di dunia kurang lebih 2.200.000 ha, 1.128.000
ha diantaranya terdapat di Indonesia. Jumlah tersebut setara dengan 7.896.000 12.972.000
ton pati sagu kering per tahun. Luas areal tanaman sagu di dunia lebih kurang 2.187.000
hektar, tersebar mulai dari Pasifik Selatan, Papua Nugini, Indonesia, Malaysia, dan Thailand.
Sebanyak 1.111.264 hektar diantaranya terdapat di Indonesia. Daerah yang terluas adalah
Irian Jaya, menyusul Maluku, Sulawesi, Riau, Kalimantan, Kepulauan Mentawai, dan daerah
lainnya. Luas areal sagu adalah 850.000 hektar dengan potensi produksi lestari 5 juta ton pati
sagu kering per tahun. Luas areal sagu tidak kurang dari 740 ribu hektar dengan perkiraan
produksi 5.2 8.5 juta ton pati sagu kering per tahun.

Kandungan gizi sagu

Kandungan protein dalam sagu sangat rendah, yaitu hanya sekitar satu persen. Oleh
karena itu apabila sagu dikonsumsi sebagai makanan pokok, perlu ditambah sejumlah protein
yang diperlukan untuk memperbaiki nilai gizinya. Perbandingan komposisi kimia tepung
sagu dan tepung ubi kayu dapat dilihat pada Tabel. Komponen yang sangat penting dari
tepung sagu adalah karbohidrat, kira-kira 92,5 persen dari bahan keringnya. Sagu
mengandung karbohidrat yang lebih tinggi dibanding beras merah dan jagung, yaitu sekitar
95,0 persen dari bahan keringnya. Beras merah hanya mengandung karbohidrat sekitar 75,0
persen dan jagung hanya sekitar 64,0 persen. Kandungan vitamin dalam sagu sangat kurang
terutama vitamin A, B dan C.

Apabila sagu, beras merah dan jagung dikonsumsi sebanyak 500 gram per hari, maka
protein yang diperoleh dari sagu hanya sekitar 3,2 gram. Protein yang diperoleh dari beras
merah sekitar 40 gram dan dari jagung sekitar 50 gram. Hal tersebut di dasarkan pada
komposisi kimia ketiga bahan tersebut.

Tepung sagu pada kadar air 14,8 persen mengandung protein 1,9 persen, lemak 0,3
persen, karbohidrat 91,9 persen, serat kasar 1,7 persen dan abu 4,2 persen. Komposisi kimia
tepung sagu yang dikemukakan beberapa pustaka di atas, sangat bervariasi. Variasi tersebut
tidak banyak dipengaruhi oleh perbedaan species, umur dan habitat dimana pohon sagu
tumbuh. Faktor utama yang mempengaruhi variasi tersebut adalah system pengolahannya.
Selain itu faktor yang dapat juga mempengaruhi variasi tersebut adalah metoda analisa dan
faktor konversi.

Komponen terbesar yang terdapat dalam tepung sagu (Metroxylon sp.), adalah pati.
Matz menyatakan bahwa pati adalah homopolimer yang terdiri dari molekul-molekul glukosa
melalui ikatan -glukosida dengan melepas molekul air.

Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan -1,4-glukosida, sedangkan


amilopektin mempunyai struktur lurus dan bercabang. Struktur yang lurus dengan ikatan -
1,4-glukosida dan pada cabangnya mempunyai ikatan -1,6-glukosida. Jumlah unit glukosa
dalam amilosa sekitar 25 1.300 -D-glukosa, sedangkan amilopektin mengandung 5.000
40.000 -D-glukosa. Pati sagu mempunyai 27 persen amilosa dan 73 persen amilopektin.
Kandungan kandungan amilosa pati sagu adalah 27.4 persen dan 72.6 persen amilopektin.

Pangan tradisional dari sagu

1. Kapurung
Kapurung adalah salah satu makanan tradisional dari tepung sagu yang berasal dari
Sulawesi Selatan, khususnya masyarakat daerah Luwu (Kota Palopo, Kabupaten Luwu,
Luwu Utara, Luwu Timur) (Badan Ketahanan Pangan, 2011). Di daerah Maluku dikenal
dengan nama Papeda. Kapurung biasanya dibuat dari tepung sagu dan dicampur dengan
ikan atau daging ayam serta aneka sayuran (Gambar 8). Saat ini Kapurung mulai populer
dan banyak dijual di warung-warung khusus penyajiannya biasa ditambahkan kuah sayur
dan aneka bumbu.
2. Papeda
Papeda merupakan bubur sagu yang menjadi makanan pokok masyarakat Maluku dan
Papua. Makanan sejenis papeda juga dikenal di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara
masing-masing dikenal sebagai kappurung dan sinonggi. Persamaan ketiga jenis makanan
tersebut terletak pada bahan baku utamanya berupa pati sagu. Pembuatan papeda melalui
proses gelatinisasi pati dengan cara memasukkan air mendidih ke dalam sempe sambil
diaduk dengan cepat dan merata sehingga terbentuk gel kenyal yang transparan. Gel inilah
yang dinamakan papeda (Gambar 1). Tekstur gel papeda yang diinginkan dapat diperoleh
dengan cara mengatur rasio jumlah air panas terhadap pati sagu yang digunakan. Jumlah
air yang ditambahkan pada pembuatan papeda lunak lebih banyak dibandingkan dengan
papeda yang bertekstur keras. Karena kadar airnya tinggi, maka daya simpan papeda
relatif sangat singkat dibandingkan produk semi basah atau produk kering. Untuk
memperpanjang daya simpan papeda, masyarakat setempat biasanya menyimpan papeda
yang masih dalam keadaan panas ke dalam batang bambu bersih yang baru ditebang dan
ditutup rapat. Dengan cara tersebut papeda dapat bertahan 3-4 hari. Papeda juga dapat
dibungkus dengan daun pisang yang dikenal sebagai papeda bungkus. Cara makannya
yang dikombinasikan dengan ikan serta sayuran berkuah. Papeda biasanya disantap dalam
keadaan panas bersama kuah kuning yang terbuat dari ikan tongkol atau ikan mubara dan
dibumbui kunyit dan jeruk nipis. Papeda masih banyak dijumpai di warungwarung
makanan tradisional sepanjang kota Ternate dan bisa menjadi salah satu daya tarik wisata
kuliner bagi wisatawan dari luar Maluku (Nita Femmilia, 2010). Akan tetapi
pengembangannya sebagai salah satu pangan pokok alternatif pengganti beras belum
banyak dilakukan oleh pemerintah setempat. Tak perlu khawatir dengan nilai gizi papeda,
kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat yang mengkonsumsi papeda lengkap dengan
lauk pauknya, tidak pernah menghadapi masalah kekurangan zat gizi.
3. Buburnee
Baburnee adalah satu bentuk pangan tradisional yang banyak ditemukan di daerah
Maluku. Cara pembuatannya sederhana adalah sebagai berikut : Pati sagu basah dibuat
menjadi remah-remah halus seperti pada pembuatan sagu lempeng. Kemudian dibuat
butiran-butiran dengan menggoyang-goyangkan pati sagu di atas tampah atau kantong
kain. Pada saat digoyang-goyangkan, pati sagu basah akan menggelinding dan
membentuk butiran-butiran. Butiran-butiran pati sagu tersebut disangrai di atas wajan
atau kuali sampai berwarna putih kekuning-kuningan, atau agak kecoklatan.

Sagu sebagai makanan pokok dan sakral

Makanan pokok orang Jae adalah bie atau sagu. Bagi orang Jae, sagu bakar yang
dimakan dapat menguatkan badan dan atau mengatasi rasa lapar. Sedangkan pati sagu yang
tidak dibakar tidak bisa dimakan karena tidak menguatkan tubuh, malahan bisa mematikan
orang. Jadi dalam proses itu, apa saja yang dimakan dan ternyata mematikan, maka dianggap
bukan makanan. Untuk memperoleh sagu untuk makanan sehari-hari, mereka menempu dua
strategi ke dusun sagu. Pertama, strategi jarak pendek yakni, pergi-pulang dari kampung ke
dusun sagu karena jangkauannya dekat. Keluar pagi dan pulang sore hari dengan membawa
hasil. Kedua, strategi jarak panjang yakni, pergi beberapa lama tinggal di dusun sagu, dengan
membangun sebuah rumah untuk dihuni.

Referensi

http://tekpan.unimus.ac.id/wp-content/uploads/2013/07/SAGU-SEBAGAI-BAHAN-
PANGAN.pdf

http://eprints.undip.ac.id/15339/1/WAHIDA_YM_E4E004048.pdf

Anda mungkin juga menyukai