Anda di halaman 1dari 29

1

1. PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Makanan tradisional adalah semua jenis makanan yang dibuat dan diolah
dengan menggunakan bahan lokal dan dengan cara pengolahan yang beragam dan
bervariasi serta memiliki ciri khas daerah setempat terdiri dari makanan utama,
makanan selingan dan minuman yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat daerah
tersebut (Sabana, 2007). Menurut Hariyadi (2010), produk pangan yang
dikembangkan dengan basis potensi lokal bisanya mempunyai tingkat kesesuaian
yang baik dengan preferensi konsumen dan berpotensi untuk menjadi unggulan ciri
khas daerah/ lokal.
Sumatera Selatan terdiri dari beberapa daerah dengan beragam jenis makanan
khas tiap daerah. Daerah ogan memiliki bermacam jenis makanan tradisional
diantaranya kue gandus, apam, kue angkak, dan behubus. Behubus merupakan
makanan tradisional yang terbuat dari bahan baku pisang gedah varitas Musa
brachycarpa dengan campuran tepung beras, kelapa parut, gula merah dan dikemas
menggunakan daun pisang kemudian dikukus selama 20 menit. Pada proses
pembuatan behubus kadang-kadang masyarakat mengganti tepung beras dengan
tepung beras ketan, yang membedakan antara tepung beras dan tepung beras ketan
adalah kandungan amilosa dan amilopektin. Menurut Schwartz dan Zelinski (1978)
beras ketan mengandung 1 sampai 2% amilosa dan sisanya 98% berupa amilopektin.
Hingga saat ini belum ada pengembangan mengenai makanan tradisional ini
termasuk kandungan gizi maupun non gizinya.
2

Pengembangan pangan dapat dilakukan dengan menambahkan zat gizi
maupun zat non gizi. Menurut Sulistyawati (2003), pengembangan pangan bergizi
juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya alam laut yang
pemanfaatannya belum optimal. Sumber daya alam laut merupakan sumber pangan
yang sangat potensial. Luas wilayah indonesia serta luas laut yang mendukung
menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai potensi yang baik untuk
mengembangkan dan memanfaatkan kekayaan lautnya termasuk rumput laut.
Pengkayaan serat pada makanan dapat dilakukan dengan penambahan rumput
laut (Ariyani, 2012). Rosyidi et al. (2008) menyatakan bahwa rumput laut
mengandung serat yang bermanfaat bagi tubuh seperti mencegah konstipasi. Jimenez
dan Sanchez (2000) yang dikutip oleh Herpandi (2005) menyatakan bahwa rumput
laut Eucheuma cottoni merupakan salah satu tumbuhan laut yang dapat dijadikan
bahan pangan berserat alami.
Serat alami pangan banyak terdapat dalam buah dan sayur dengan jumlah
yang berbeda. Penambahan serat rumput laut pada behubus didasarkan atas bahan
baku behubus yaitu buah pisang (Musa brachycarpa). Kandungan serat buah pisang
adalah 0,63 g per 100 g (Penuntun Diet RSCM, 1982) yang dikutip oleh Kushart
(2006). Menurut American Dietetic Association (2008), angka kecukupan serat
(AKS) yang dianjurkan adalah 20 hingga 35 g per hari. Sedangkan menurut Jahari
dan Sumarno (2002) yang dikutip oleh Santoso (2011), hasil penelitian menunjukkan
rata-rata konsumsi serat masyarakat Indonesia masih jauh dari kebutuhan serat yang
dianjurkan, konsumsi serat rata-rata antara 9,9 hingga 10,7 g per hari. Untuk
memenuhi jumlah kebutuhan serat, penambahan dapat dilakukan dari sumber pangan
3

lain seperti rumput laut. Kecukupan asupan serat kini dianjurkan oleh badan
kesehatan internasional (WHO) karena banyak manfaat yang menguntungkan untuk
kesehatan tubuh seperti kesehatan pencernaan.
Beragam produk pangan beredar dipasaran yang berlabel kesehatan dengan
sasaran konsumen mulai dari balita sampai lansia. Salah satu produk pangan
kesehatan yang muncul dipasaran adalah makanan yang mengandung serat dimana
dalam ilmu pangan dikenal sebagai serat pangan (dietary fibre).
Serat pangan merupakan bagian dari bahan pangan yang tidak dapat
dihirolisis oleh enzim-enzim pencernaan (Santoso, 2011). Penambahan rumput laut
pada behubus karena menurut Jurkovic dan Colic (1995) dikutip oleh Indriyani
(2007) bahwa Serat pangan rumput laut relatif tinggi yaitu bervariasi antara 32, 7%
hingga 74, 6% (berat kering) terdiri dari 51,6% hingga 85% larut dalam air.
Penambahan bubur rumput laut dan tepung beras ketan diharapkan
merupakan salah satu alternatif untuk menambah kandungan gizi pada behubus dan
menjaga kelestraian makanan tradisional sumatera selatan.
B. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan bubur
rumput laut dan tepung ketan terhadap karakteristik behubus.
C. Hipotesis
Penambahan bubur rumput laut dan tepung ketan diduga berpengaruh nyata
terhadap karakteristik behubus.

4

II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pisang
Pisang adalah tanaman buah berupa herba yang berasal dari kawasan di Asia
Tenggara (termasuk Indonesia). Tanaman ini kemudian menyebar ke Afrika
(Madagaskar) dan Amerika Selatan. Di Jawa Barat, pisang disebut dengan Cau, di
Jawa Tengah dan Jawa Timur dinamakan gedang. Menurut (Badan Pusat Statistik
Indonesia, 2012) pisang memberikan kontribusi terhadap produksi buah nasional
yang mencapai 34% yaitu 6.189.052 ton dari 16.348.456 ton produksi buah nasional.
Salah satu dari tiga jenis pisang yaitu pisang yang dimakan setelah buahnya dimasak
Musa paradisiaca (Direktorat Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Hortikultura, 2005).
Sistematika Musa paradisiaca adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Zingiberales
Famili : Musaceae
Genus : Musa
Species : Musa paradisiaca
(Hastari, 2012)
5


Gambar 1. Pisang gedah (Musa paradisiaca)
Pisang sebagai bahan konsumsi adalah buah bergizi yang merupakan sumber
vitamin, mineral dan juga karbohidrat. Pisang dijadikan buah meja, sale pisang, pure
pisang dan tepung pisang. Kulit pisang dapat dimanfaatkan untuk membuat cuka
melalui proses fermentasi alkohol dan asam cuka. Daun pisang dipakai sebagai
pembungkus berbagai macam makanan trandisional Indonesia.
Kandungan gizi yang sangat baik bagi kesehatan. Di dalam buahnya terdapat
energi yang cukup tinggi dibandingkan buah-buahan yang lain. Pisang kaya mineral
seperti kalium, magnesium, fosfor, besi dan kalsium. Berdasarkan kandungan energi
dalam buah pisang maka pisang direkomendasikan oleh para ahli herbal untuk
mengobati berbagai jenis penyakit seperti pendarahan rahim, sariawan usus,
ambeien, cacar air, telinga dan tenggorokan bengkak, disentri, amandel, kanker
6

perut, sakit kuning, pendarahan usus besar, diare. Pisang juga dapat mengobati
tekanan darah tinggi karena pisang mengandung potassium yang tinggi berguna bagi
orang yang harus melakukan diet rendah garam.

B. Tepung Ketan
Tanaman ketan (Oryza sativa glutinosa) merupakan tanaman lokal yang
sejenis dengan tanaman padi (Oryza sativa), tetapi biasanya hanya ditanam sebagai
pembatas sawah yang mengelilingi tanaman padi (Achyadi et al., 2004). Beras ketan
mengandung 1 sampai 2% amilosa dan sisanya 98% berupa amilopektin, semakin
kecil kandungan amilosa maka semakin lengket nasi tersebut (Winarno, 1997).
Komposisi gizi beras ketan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel . Komposisi beras ketan
Komponen Beras ketan
Ketan hitam Ketan putih
Energi (kkal) 356,00 362,00
Protein (g) 7,00 6, 70
Lemak (g) 0,70 0,70
Karbohidrat (g) 78,00 79,40
Kalsium (mg) 10,00 12,00
Fosfor (mg) 148,00 148,00
Besi (mg) 0,80 0,80
Vitamin B1 (mg) 0,20 0,16
Air (%) 13,00 12,00
Sumber : Susanto dan Saneto (1994)
Beras ketan (Oryza sativa glitinosa) dapat dibedakan dari beras biasa baik
secara fisik maupun kimia. Butir beras ketan secara fisik berwarna putih keruh, lunak
dan jika dimasak akan bersifat lengket, manis serta berbau aromatik, sedangkan butir
beras biasa berwarna lebih terang dan keras (Houston, 1972). Menurut Reyes et al.
(1965) beras dapat dibedakan berdasarkan komposisi pati (kandungan amilosa dan
7

amilopektin) dan suhu gelatinisasi pati. Kandungan amilosa pada beras semakin
meningkat selama pertumbuhan butir beras tetapi pada beras ketan kandungan
amilosa semakin menurun (Juliano, 1985).
Kandungan amilosa beras dapat dibagi menjadi empat golongan yaitu : beras
dengan kadar amilosa tinggi (25 sampai 33%), beras dengan kadar amilosa
menengah (20 sampai 25%), beras dengan kadar amilosa rendah (9 sampai 20%) dan
beras dengan kadar amilosa sangat rendah <9%. Beras ketan hampir tidak ada
amilosanya (1 sampai 2%), sedangkan beras yang mengandung amilosa tinggi dari
2% disebut sebagai beras biasa. Suhu gelatinisasi dapat ditentukan
denganviskometer, misalnya pada jagung 62 sampai 70C, beras 68 sampai 78C,
gandum 54,5 sampai 64C, dan tapioka 52 sampai 64C (Winarno, 1997).
Pati beramilosa tinggi mempunyai struktur yang lebih rapat (tightly bound
structure) sehingga lebih sukar untuk mengembang. Molekul-molekul amilopektin
bersifat mudah mengembang atau bergelatinasi jika kondisi memungkinkan.
Molekul-molekul ini, dengan strukturnya yang bercabang juga sangat efektif untuk
mencegah pecahnya granula akibat proses gelatinasi (Heckman, 1977).

C. Tepung beras
Tepung beras terdiri dari tepung beras pecah kulit dan tepung beras sosoh.
Tepung beras banyak digunakan sebagai bahan baku industri seperti bihun dan
bakmi, macaroni, aneka snacks, aneka kue kering cookies, biscuit, crackers,
makanan bayi, makanan sapihan untuk Balita, tepung campuran (composite flour)
8

dan sebagainya. Tepung beras juga banyak digunakan dalam pembuatan pudding
micxture atau custard (Koswara, 2009).
Standar mutu tepung beras ditentukan menurut Standar Industri Indonesia
(SII). Syarat mutu tepung beras yang baik adalah : kadar air maksimum 10%, kadar
abu maksimum 1%, bebas dari logam berbahaya, serangga, jamur, serta dengan bau
dan rasa yang normal. Di Amerika dikenal dua jenis tepung beras yaitu tepung beras
ketan dan tepung beras biasa. Tepung ketan mempunyai mutu lebih tinggi jika
digunakan sebagai pengental susu, pudding dan makanan ringan. Proses pembuatan
tepung beras dimulai dengan penepungan kering dilanjutkan dengan penepungan
beras basah (beras direndam dalam air semalam, ditiriskan, dan ditepungkan). Alat
penepung yang digunakan adalah secara tradisional (alu, lesung, kincir air) dan
mesin penepung (hammer mill dan disc mill).

D. Rumput laut
Rumput laut atau algae dikenal dengan nama seaweed yang merupakan
bagian terbesar dari tanaman laut. Rumput laut adalah tanaman tingkat rendah yang
tidak memiliki perbedaan susunan kerangka seperti akar, batang, dan daun yang
sejati dan lebih dikenal dengan nama tumbuhan thallus (Berhimpon, 2001).
Rumput laut merupakan salah satu komoditi perikanan indonesia yang
termasuk ganggang berukuran besar. Berdasarkan pigmen yang dikandungnya, alga
atau ganggang terdiri dari empat kelas yaitu Rhodophyceae (ganggang merah),
Phaeophyceae (ganggang coklat), Chlorophyceae (ganggang hijau), dan
Cyanophyceae (ganggang hijau biru). Rhodophyceae mengandung agar-agar dan
9

karaginan terutama dari marga Eucheuma. Salah satu jenis rumput laut yang sangat
potensial di Indonesia adalah jenis Eucheuma cottoni.
Sistematika Euchoma cottoni menurut Indriani et al. (1999) adalah sebagai
berikut :
Divisio : Rhodophyta
Kelas : Rhodophiceae
Family : Gigartinales
Ordo : Solierisceae
Genus : Eucheuma
Spesies : Eucheuma cottoni
Rumput laut memiliki kandungan karaginan. Karaginan yaitu senyawa
hidrokioloid yang merupakan senyawa polisakarida rantai panjang. Karaginan
tersusun dari dua senyawa yaitu senyawa sulfat dan 1,3- beta D galaktosa. Senyawa
sulfat pada karaginan memiliki sifat hidrofilik sedangkan senyawa 1,3 beta
D galaktosa bersifat hidrofobik. Berdasarkan struktur dan sifat kimia, karaginan
dibedakan menjadi karaginan tipe kappa, iota, dan lamda (Suwandi et al., 2002).
Tipe karaginan yang dapat dihasilkan dari Eucheuma cottoni terutama
mengandung kappa. Sifat kappa karaginan yang dihasilkan Eucheuma cottoni dapat
mebentuk gel yang kuat dan kaku jika berinteraksi dengan garam kalium namun gel
yang rapuh akan terbentuk ketika kappa karaginan tersebut jika berinteraksi dengan
garam kalsium. Gel sedikit buram dan menjadi bersih jika ditambah gula
(Istini et al., 1999).
10

Karaginan umumnya dapat diaplikasikan pada berbagai produk sebagai
pembentuk gel atau penstabil, pensuspensi, pembentuk tekstur emulsi, terutama pada
roduk produk jeli, jamu, saus, permen, sirup, puding, dodol, gel ikan, produk susu,
bahkan juga industri osmetik, tekstil, obat-obtan, serta pakan ternak.
Rumput laut merupakan salah satu tumbuhan laut yang dapat dijadikan bahan
pangan berserat alami. Serat pangan rumput laut dibedakan menjadi serat pangan
larut (soluble dietary fiber) dan serat pangan tidak larut air (insolule dietary fibre).
Serat pangan larut meliputi xiloglukan, galktomannan, arabinoxilan, selulosa, dan
hemiselulosa. Serat pangan tidak larut meliputi lignin, arabixynolan, selulosa dam
hemiselulosa. Serat pangan larut berperan dalam menurunkan kolesterol, glukosa
darah, mencegah penyakit jantung dan hipertensi. Serta pangan tidak larut dapat
berperan dalam mencegah penyakit kanker usu besar, divertikulosis dan konstipasi
(Astawan, 1999). Komposisi kimia rumput laut Eucheuma cottoni dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi kimia rumput laut jenis Eucheuma cottoni
Komponen Nilai
Air (g/ 100 g bb) 13,90
Protein (g/ 100 g bb) 2, 67
Lemak (g/ 100 g bb) 0,37
Abu (g/ 100 g bb) 17,09
Serat pangan tidak larut (g/ 100 g bk) 58,60
Serat pangan tidak larut (g/ 100 g bk) 10,70
Total serat pangan (g/ 100 g bk) 69,30
Mineral Zn (m/ g bk) 0,01
Mg (m/ g bk) 2,88
Ca (m/ g bk) 2,80
K (m/ g bk) 87,10
Na (m/ g bk) 11,93
I (m/ g bk) 0,1
Vitamin C (mg/ 100 g) 12
Kraginan (g/ 100 g bb) 65,75
Sumber : Istini et al (1999)
11


Angka konsumsi serat rata-rata penduduk indonesia hanya sebesar 10, 5 g per
kapita per hari. Jumlah konsumsi serat tersebut masih rendah jika dibandingkan
dengan jumlah konsumsi serat yang dianjurkan oleh Dietary Guidelines for
Amreican dan WHO yaitu sebesar 20 hingga 35 g perhari. Orang yang
mengkonsumsi serat sebesar 35 g perhari ternyata memiliki resiko terkena penyakit
jantung 1/3 lebih rendah dibandingkan orang yang mengkonsumsi serat hanya
sebesar 15 g per hari(Astawan, 1999). Pengolahan rumput laut sebagai bahan pangan
dapat menjadi salah satu sunber serat alami. Dengan demikian rumput laut dapat
memberikan efek fisologis bagi kesehatan masyarakat.

E. Kelapa parut
Kelapa parut merupakan isi dari buah kelapa yang telah diparut atau dikikis
halus. Kelapa parut merupakan satu bahan yang daapat menghasilkan santan kelapa.
Buah kelapa mengandung gizi (nutrisi) yang cukup tinggi dengan komposisi yang
lengkap. Produk kelapa dapat menambah jenis aneka makanan dan sumber gizi bagi
masyarakat. Zat-zat gizi yang dikandung dalam buah kelapa mempunyai peran dan
fungsi yang sama dengan gizi bahan makanan lainnya. Ada enam macam zat gizi
yang harus dikandung makanan, yaitu karbohidrat, lemak, vitamin, garam mineral,
dan air (Basrah, 1999).
Daging buah kelapa merupakan sumber protein yang penting dan mudah
dicerna. Jumlah protein terbesar terdapat pada kelapa yang setengah tua. Sedangkan
kandungan kalorinya mencapai maksimal ketika buah sudah tua, demikian pula
dengan kandungan lemaknya. Buah kelapa akan maksimal. Kandungan vitamin A
12

dan thiaminnya ketika buah setengah tua. Dengan demikian jumlah zat dan gizi
kelapa tergantung pada umur buah. Lengkapnya kandungan zat pada daging buah
kelapa menyebabkan daging buah kelapa tersebut dapat diolah menjadi berbagai
produk kebutuhan rumah tangga seperti bumbu dapur, santan, kopra, minyak kelapa
dan kelapa parut kering, selain itu juga dapat diolah menjadi berbagai jenis aneka
makanan yang mempunyai rasa khas serta dapat bernilai ekonomi yang cukup tinggi
(Rukmana, 2003). Komposisi kimia dalam daging buah kelapa dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabe 3 . Komposisi kimia kelapa dalam 100 gram kelapa
Komposisi Daging kelapa muda Daging kelapa tua
Kalori (kkal) 68,00 1,00
Protein (g) 0,90 14,00
Lemak (g) 7,00 30,00
Karbohidrat (g) 1,00 0,00
Kalsium (mg) 0,06 4,00
Fosfor (mg) 83,30 53,00
Zat besi (mg) 359,00 3,40
Vit. A (S.I) 34,70 14,00
Vit. B1 (mg) 21,00 98,00
Vit. C (mg) 2,00 0,00
Air (g) 0,10 2,00
b.d.d (%) 46,90 53,00
Sumber : Departemen Kesehatan RI, 1999.


F. Gula merah
Gula merah tidak dapat digantikan oleh gula atau jenis pemanis lain terutama
pada pembuatan aneka jenis makanan tradisional. Hal ini disebabkan oleh aroma dan
rasa gula merah lebih sedap atau khas dibandingkan dengan gula putih sehingga
tingkat konsumsi gula merah selalu meningkat setiap tahunnya (Pagiriani, 2002).
Berdasarkan bahan bakunya, gula merah terdiri dari berbagai jenis yaitu gula
gula merah aren terbuat dari nira aren, gula merah kelapa terbuat dari nira kelapa.
13

Bahan utama pembuatan gula merah adalah nira. Selain itu juga dibutuhkan juga
minyak kelaap untuk mencegah melimpahnya buih nira yang dimasak. Jika tidak
tersedia minyak kelapa maka dapat digantikan dengan biji kemiri, biji jarak, atau
dengan minyaknya (Luthony, 1993).

G. Serat Pangan
Serat pangan (Dietary fibre) adalah salah satu jenis polisakarida atau biasa
disebut karbohidrat kompleks. Serat ini mempunyai rantai-rantai kimiawi panjang
sehingga sukar dicerna oleh enzim selulase dan saluran pencernaan manusia
(Winarno, 1995). Serat yang larut air cenderung bercampur dengan air dengan
membentuk jaringan gel (seperti agar-agar) atau jaringan yang pekat sedangkan serat
yang tidak larut air umumnya bersifat higroskopis yakni mampu menahan air 20 kali
lipat dari beratnya (Widianarko et al., 2002).
Rumput laut Eucheuma cottoni mempunyai serat pangan tidak larut yaitu
selulosa dan hemilosa. Komponen serat tidak larut ini mempunai kemampuan dalam
menahan air sehingga berperan dalam meningkatkan berat feces dan frekuensi buang
air besar, melunakkan feces dan memperpendek waktu tinggal ampas (residu)
makanan dalam usus (Widianarko et al., 2002). Serat pangan larut berperan dalam
menurunkan kadar kolesterol, glukosa darah, mencegah penyakit jantung, serta
hipertensi. Serat pangan tidak larut dapat berperan dalam mencegah kanker usus
besar dan divertikulosis (Astawan, 1999).
Penelitian Puslitbang Gizi Bogor menunjukkan hasil bahwa konsusmsi serat
rata-rata penduduk Indonesia sekitar 10 g sampai 15 g per hari. Dietary Guidelines
14

for American menganjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung pati
dan serat sebanyak 20 g sampai 35 g per hari.
















15

III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu
Penelitian akan dilaksanakan di Laboratorium Kimia Hasil Pertanian, Jurusan
Teknologi Pertanian, Universitas Sriwijaya, Indralaya, Sumatera Selatan. Penelitian
akan dilaksanakan pada bulan Mei 2014 sampai dengan selesai.

B. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) alat-
alat gelas untuk analisa, 2) blender merk phillips, 3) Color reader merek Nippon, 3)
Desikator, 5) kertas saring Whatman No. 41, 6) kompor gas merk rinnai 7), neraca
analitik merek Advebturer ohaus, 8) oven merek Memmert, 10) Texture analyzer
merek Brookfield
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1) air, 2) daun
pisang, 3) gula merah (tengguli), 4) kelapa parut, 5) pisang gedah (Musa
Brachycarpa), 6) rumput laut kering (Eucheuma cottoni) yang dibeli dipasar Kayu
Agung, 7) tepung beras, 8) tepung ketan.

C. Metode Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RALF)
dengan dua faktor perlakuan, yaitu (A) penambahan bubur rumput laut yang terdiri
dari 3 taraf perlakuan dan (B) Tepung beras ketan yang terdiri dari 2 taraf perlakuan.
Masing- masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali.

16

1. A = Konsentrasi bubur rumput laut
A 1 = 0 %
A 3 = 5%
A 5 = 10 %
2. B = Konsentrasi tepung beras ketan
B1 = 0 %
B2 = 30 %
Keterangan: Penambahan bubur rumput laut dan tepung beras ketan adalah berat
total pisang.

D. Cara Kerja
Cara kerja dibagi menjadi dua tahap yaitu pembuatan bubur rumput laut dan
pembuatan behubus.
1. Bubur Rumput Laut
Proses pembuatan rumput laut menurut Lubis et al. (2013) adalah sebagai berikut :
1. Rumput laut kering dicuci,kemudian direndam di dalam air tawar sebanyak 10
kali berat rumput laut (sampai rumput laut terendam semua) selama 12 jam.
2. Rumput laut dicuci dengan air bersih lalu ditiriskan
3. Rumput laut dipotong-potong kecil 2 cm. Rumput laut kemudian dihancurkan
menggunakan blender kecepatan 3000 rpm (tombol nomor 2) dengan
perbandingan air 1:1 selama 2 menit hingga menjadi bubur.


17

2. Pembuatan Behubus
1. Pisang dikupas dan daging buah dihancurkan menggunakan gelas plastik didalam
baskom hingga lunak.
2. Daging buah pisang yang telah lunak ditimbang sebanyak 100 g dan dimasukkan
kedalam baskom.
3. Kelapa parut 10 g, gula merah (tengguli) 15 g yang telah dihancurkan dan 20 g
tepung beras dicampurkan kedalam baskom disambil diaduk.
4. Bubur rumput laut dan tepung ketan ditambahkan sesuai perlakuan yaitu rumput
laut 0%, 4%, 8% dan tepung ketan 0%, 30%.
5. Campuran bahan diaduk selama 2 menit hingga tercampur rata.
6. Campuran bahan dibungkus dengan daun pisang berdiameter 15 cm.
7. Bahan yang telah dibungkus selanjutnya dikukus selama 20 menit pada suhu
100C.










18

E. Parameter
Parameter yang diamati pada penelitian ini meliputi karakteristik fisik
(tekstur, warna), karakteristik kimia (kadar air, kadar abu, dan kadar serat kasar)
serta analisa sensoris (aroma, warna, tekstur, dan rasa).
1. Tekstur
Analisa tekstur menggunakan alat Texture Analyzer merk Brookfield dengan
cara kerja menurut AOAC (1995) dalam sudarmadji et al. (2007)sebagai berikut :
1. Probe tipe blade dipasangkan tepat diatas sampel.
2. Speed pada alat diatur.
3. Probe yang dipasang akan menekan tepat ditengah sampel.
4. Angka peak load dan final load dalam satuan gram force (gf) yang tertera pada
display dicatat.
2. Warna
Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan Color Reader. Menurut
Andarwulan et al. (2011) pengukuran warna dilakukan sebagai berikut:
1. Color reader terlebih dahulu dikalibrasi dengan plat standar bewarna putih.
2. Kepala optik ditempelkan pada plat putih, sehingga bagian putih dari plat
menghadap ke sumber sinar.
3. Skala pembacaan L*, a*, dan b* dipilih kemudian tekan tombol START
sehingga terbaca nilai L*, a*, dan b* .
4. Sampel diukur dengan menempelkan kepala optik, lalu tekan tombol START.
5. Hasil pengukuran sampel akan terbaca nilai L*, a*, dan b*.
19

6. Nilai E dari setiap hasil pengukuran dihitung dengan rumus sebagai berikut :



3. Kadar Air
Pengukuran kadar air menurut AOAC (1995) dalam sudarmdji et al. (2007)
yaitu sebagai berikut :
1. Cawan aluminium dibersihkan dan dipanaskan dalam oven selama 30 menit,
setelah itu dimasukkan kedalam desikator selama 15 menit lalu ditimbang.
2. Sampel ditimbang sebanyak 3 g.
3. Sampel dimasukkan kedalam cawan aluminium yang telah diketahui beratnya.
4. Sampel dimasukkan kedalam oven pada suhu 105

C selama 12 jam.
5. Cawan yang berisi sampel dikeluarkan dari oven dan didinginkan didalam
desikator kemudian ditimbang beratnya
6. Kadar air sampel dihitung dengan rumus kadar air basis basah dibawah ini :

( )









20

4. Kadar Abu
Pengukuran kadar abu menurut AOAC (1995) dalam sudarmadji et al.,
(2007) menggunakan Muffle furnance sebagai berikut :
1. Cawan porselen dikeringkan didalam oven pada suhu 105C selama 30 menit,
kemudian cawan dimasukkan kedalam desikator selama 15 menit dan ditimbang
berat cawan kosong.
2. Sampel ditimbang sebanyak 2 g dan dimasukkan kedalam cawan porselen.
3. Cawan dan sampel dipanaskan dengan penangas listrik (sampai sampel tidak
berasap lagi dan berwarna hitam).
4. Sampel dimasukkan kedalam Muffle furnance pada suhu 300C hingga 500C
selama 12 jam hingga sampel berwarna putih.
5. Sampel dimasukkan ke oven suhu 105C selama 15 menit.
6. Sampel didinginkan didalam desikator selama 15 menit lalu dilakukan
penimbangan cawan dan sampel akhir.
7. Kadar abu dihitung menggunakan rumus :
()



Keterangan :
W0 = berat cawan kosong (g)
W1= berat cawan dan sampel sebelum pengabuan (g)
W2= berat cawan dan sampel setelah pengabuan (g)

21

5. Kadar Serat Kasar
Serat kasar merupakan residu dari bahan makanan setelah diperlakukan
dengan asam atau alkali mendidih, dan terdiri dari selulosa, dengan sedikit lignin dan
pentosa (Sudarmadji et al., 2007). Penentuan serat kasar pada behubus yang telah
ditambahkan rumput laut adalah sebagai berikut :
1. Sampel sebanyak 5 g dan diekstraksi lemaknya dengan soxhlet. Jika bahan
sedikit mengandung lemak, misalnya sayur-sayuran, gunakan 10 g bahan, tidak
perlu dikeringkan dan diekstraksi lemaknya.
2. Bahan dipindahkan ke dalam labu Erlenmeyer 600 ml.
3. Sebanyak 200 ml larutan H
2
SO
4
mendidih (1,25 g H
2
SO
4
pekat/100 ml = 0,255 N
H
2
SO
4
) ditambahkan dan ditutup dengan pendingin balik kemudian didihkan
selama 30 menit sambil digoyang-goyang.
4. Suspensi disaring melalui kertas saring dan residu yang tertinggal dalam
Erlenmeyer dicuci dengan aquadest mendidih, cucilah residu dalam kertas saring
sampai air cucian tidak bersifat asam lagi (uji dengan kertas lakmus).
5. Residu dari kertas dipindahkan secara kuantitasi ke dalam Erlenmeyer kembali
dengan spatula, dan sisanya dicuci dengan larutan NaOH mendidih (1,25 g
NaOH/100 ml = 0,313 N NaOH) sebanyak 200 ml sampai semua residu masuk
kedalam labu Erlenmeyer. Didihkan dengan pendingin balik sambil digoyang-
goyang selama 30 menit.
6. Penyaringan dilakukan menggunakan kertas saring yang diketahui beratnya atau
krus Gooch yang telah dipijarkan dan diketahui beratnya, sambil dicuci dengan
22

larutan K
2
SO
4
10 %. Residu dicuci lagi dengan aquadest mendidih dan kemudian
dengan lebih kurang 15 ml alkohol 95 %.
7. Kertas saring dikeringkan atau krus dengan isinya pada 110C sampai berat
konstant (1 hingga 2 jam), dinginkan dalam desikator dan timbang.Perhitungan
kadar serat kasar menggunakan rumus berikut :
()



6. Uji Organoleptik
Penilaian terhadap aroma, warna, tekstur dan rasa behubus dilakukan dengan
menggunakan metode uji organoleptik. Pengujian dilakukan terhadap 25 orang
panelis semi terlatih. Sampel diletakkan di atas piring dan diberi kode 3 digit secara
acak. Panelis diminta untuk memberikan penilaian kesukaan terhadap aroma
(mencium), warna (melihat), tekstur (memotong), dan rasa (mencicipi) kemudian
memberikan skor dengan skala sebagai berikut :
1 = sangat tidak suka
2 = tidak suka
3 = suka
4 = sangat suka



23

DAFTAR PUSTAKA
Achyadi, N.S., E. Turmale, Rostikasari dan Garnida. 2004. Pengaruh konsetrasi
santan dan lama penumbuhan terhadap mutu opan ketan (Oryza sativa
glutinosa). Prosiding seminar nasionaal makanan tradisional. Universitas
brawijaya. Malang. 14 : 445-456.

American Dietetic Association. 2008. Position of the American Dietetic Association:
Health Implications of Dietary Fiber. J. Am Diet Assoc. 108 (10): 1716-
1731

Andarwulan, N., F. Kusnandar, dan D. Herawati. 2011. Analisis Pangan. PT. Dian
Rakyat. Jakarta.

Anonim. 1992. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Depkes RI. Bharatara Karya
Aksara. Jakarta

Ariyani,Mega. 2012. Pengaruh Penambahan Tepung Duri Ikan Lele Dumbo (Clarias
gari epinus) dan Bubur Rumput Laut (Eucheuma cottoni) terhadap Kadar
Kalsium dan Serat kasar serta Kesukaan Kerupuk.Artikel Penelitian.
Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro.

Astawan, M. 1999. Penggunaan Serat Makanan untuk Pencegahan Berbagai Penyakit
Degenaratif. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan. 3 (2) : 41-51.

Badan Pusat Statistik Indonesia. 2012. Produksi buah-buahan di Indonesia

Basri, S. 1995. Kamus Kimia. Rineka Cipta. Jakarta.

Berhimpon, s. 2001. Industri pangan hasil bernilai tinggi (valuable commodities)
salah satu unggulan agroindustri sulawesi utara. Makalah seminar disajikan
pada PATPI. Manado. 25 januari 2001.

Direktorat Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Hortikultura, 2005. Pasca Panen,
Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Pisang.
Hastari, R. 2012. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Pelepah dan Batang Tanaman
Pisang Ambon (Musa paradisiacal var. sapientum) terhadap Staphylococcus
aureus. Program Pendidikan Sarjana Kedokteran. Fakultas Kedokteran.
Universitas Diponegoro
Heckman. 1977. Starch and its Modification for the Food Industry, di dalam H. D.
Graham (ed) Food Colloids. The Avi Publishing Company Inc. Wesport.
Connecticut

24

Herpandi. 2005. Rumput Laut (Review). Sekolah Pasca Sarjana Program Studi Ilmu
Pangan Institut Pertanian Bogor. IPB

Houston, D.F. 1972. Rice bran and polish. The American Association of Cereal
Chemistry, Inc. St. Paul

Indriyani, Ari. 2007. Cookies Tepung Garut (Maranta arundinaceae L) dengan
Pengkayaan Serat Pangan. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil
Pertanian. Universitas Gadja Mada.

Juliano, B.O. 1985. Report of Cooperative Test on Amylography of Milled Rice
Flour for Viscisity and Starch Gelatinization Temperature. International
Association of Cereal Chemistry Working Group. 21/11. International Rice
Research Institute. Los Banos, Laguna, The Philipnes.

Koswara, sutrisno. 2009. Teknologi Pengolahan Beras. Ebook pangan. Com (diakses
pada tanggal 1 mei 2014)

Kusharto, Clara. 2006. Serat Makanan dan Peranannya Bagi Kesehatan. Departemen
Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), IPB. Jurnal Gizi dan
Pangan. 1(2): 45-54

Lubis, Y.M., Erviza N.M., Ismaturrahmi dan Fahrizal 2013. Pengaruh Konsentrasi
Rumput Laut (Eucheuma cottoni) dan Jenis Tepug pada Penambahan Mie
Basah. Teknologi Hasil Pertanian. Universitas Syiah Kuala Lumpur. J. Rona
Teknik Pertanian. 6 (1) : 413-420.

Luthony, TL. 1993. Tanaman Sumber Pemanis. Penebar Swadaya. Jakarta.

Pagiriani, Indah. 2002. Perananan Beberapa Jenis Bahan Pengental terhadap
Karakteristik Fisik, Kimia, dan Organoleptik Cuko Pempek. Fakultas
Pertanian. Universitas Sriwijaya

Purwiyatno, Hariyadi. 2010. Peranan Teknologi Pangan untuk Kemandirian Pangan.
Southeast Asian Food & Agricultural Science and Technology (SEAFAST)
Center, LPPM, IPB Bogor. 19 (4) : 295-301
Rosyidi, Djalal dan Prakoso, A.S.D. 2008. Pengaruh Penggunaan Rumput Laut
Terhadap Kualitas Fisik dan Organoleptik Chicken Nuggets. Universitas
Brawijaya. J. Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak. 3(1) : 43-51

Rukmana, R. 2003. Budidaya Kelapa. Kanisius. Yogyakarta.

Sabana, Setiawan. 2007. Nilai Estetik pada Kemasan Makanan Tradisional
Yogyakarta. Fakultas Seni Rupa. InstituteTeknik Bandung. J. Vis. Art. 1 (1) :
10-25.
25

Santoso, Agus. 2011. Serat Pangan (Dietary Fiber) dan Manfaatnya Bagi Kesehatan.
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Unwidha
Klaten. Magistra. 23 (75) : 35-40

Schwartz. J. and Zelinski. J. 1978. The binding and desintegrant properties of the
corn starch fraction: Amylose and amylopectin. Drug Development and
Industrial Pharmacy, 19(9): 1037-1046

Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi. 2007. Prosedur Analisa untuk Bahan
Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.

Sulistyowati, H. 2003. Struktur Komunitas Seaweed (Rumput Laut) di Pantai Pasir
Putih Kabupaten Situbondo. Jurnal Ilmu Dasar 4 (1): 58-61.
Susanto dan Saneto. 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. Bina
Ilmu.Surabaya.
Suwandi, R., Setyaningsih,I., Riyanto,B., Sadi.,U. 2002. Rekayasa Proses
Pengolahan dan Optimasi Produksi Hidrokolid Semi Basah (Intermediate
Moistue Food) Dari Rumput Laut. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing
Perguruan Tinngi Tahuan Anggaran 2001/ 2002. Bogor. Fakultas Perikanan
Dan Ilmu Kelautan. Institute Pertanian Bogor.
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan Dan Gizi. Cetakan ke-II. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Widianarko, B., Retraningsih, C., Sumardi, Linda,Pratiwi, AR., Lestari, S. 2002.
Teknologi Nutrisi dan Keamanan Pangan. Grasindo. Jakarta.











26

Lampiran 1. Proses Pembuatan Bubur Rumput Laut.

Rumput laut kering















Bubur rumput laut






Perendaman
(12 jam)


Pencucian

Pemotongan
(2 cm)

Penirisan

Pengecilan ukuran
(tombol no.2, 2menit)

27

Lampiran 2. Proses Pembuatan Behubus

Pisang





Pisang 100 g, kelapa parut 10 g,
gula merah (tengguli)15 g,
tepung beras 10 g.

Bubur rumput laut
0 %, 2 %, 4 %,
6%, 8 %





Behubus





Penghancuran daging buah
Pengupasan
Pencampuran dan pengadukan
Penambahan bubur rumput laut
(sesuai perlakuan)
Pengukusan
(20 menit, suhu 100C
Pengemasan
28

Lampiran 3. Lembar Quisioner Uji Organoleptik

QUISIONER

Tanggal :
Nama :
Jenis Kelamin :
Umur :

Di hadapan saudara disajikan beberapa sampel behubus. Saudara diminta
untuk memberikan penilaian kesukaan terhadap aroma (dengan mencium), warna
(dengan melihat), tekstur (dengan menekan), dan rasa (dengan mencicipi) dengan
cara memberikan angka sesuai ketentuan sebagai berikut :
1 = sangat tidak suka
2 = tidak suka
3 = suka
4 = sangat suka

Kode Sampel Aroma Warna Tekstur Rasa
675
967
589
126
432













29

Lampiran 4. Behubus

Anda mungkin juga menyukai