Anda di halaman 1dari 10

JURNAL FAPERTANAK, Volume 4 No 1 Agustus 2019

DIVERSIFIKASI PRODUK SAGU (Metroxylon sp) DAN POLA KONSUMSI


MAKANAN LOKAL MASYARAKAT ASLI PAPUA PESISIR
DI KAMPUNG MAKIMI DISTRIK MAKIMI
KABUPATEN NABIRE
Hans F. Liborang1,
1)
Jurusan Agribisnis, Universitas Satya Wiyata Mandala Nabire

Email:
1)
fritsliborang@gmail.com

ABSTRACT

This research intent to know diversifies Sago Product (Metroxylon sp) and local alimentary
consumption pattern Papua original society coast at Makimi village, Makimi district, Nabire's
regency. Done by approaching kualitatif' method, and this research type gets descriptive character.
Data that is utilized in this research is primary and secondary data with observational location at
Makimi village, up to 4 months, June until September 2018. Analisis is data did by Triangulation
method, which is interview, observing and documentation method. Result This research to point
that pattern consumes original society local food Papua coast of sago product was changed. Food
of sago product that formerly as alimentary as Papua original society subjects Coast are now more
at dominate by rice. Changing it is regarded too by its reducing sago product at traditional market.
This research also points out that that change regarded by diversified food product of sago raw
product.

Key word: diversified by product, sago raw product, local food

40
JURNAL FAPERTANAK, Volume 4 No 1 Agustus 2019

PENDAHULUAN kurang/belum memperhatikan sagu sebagai pangan


lokal, sehingga lahan sagu dikonversi menjadi lahan
Mengkonsumsi sagu bagi masyarakat asli Papua,
sawah, (e) lemahnya sosialisasi kebiasaan (tradisi)
terutama bagi masyarakat asli yang hidup didaerah
makan sagu dari generasi ke generasi, (f) tidak
pesisir bukanlah hal baru, karena sagu merupakan
tersedianya produk sagu dalam kualitas, kuantitas,
makanan pokok yang telah dilakukan dari zaman
waktu, dan tempat yang memadai, (g) diversifikasi
nenek moyang mereka dahulu. Berbeda dengan
produk masih terbatas, dan (h) meningkatnya status
masyarakat asli Papua yang hidup di daerah
sosial karena kodisi social ekonomi masyarakat
pegunungan, makanan asli masyarakat asli Papua
semakin membaik, sehingga beralih ke beras.
yang hidup di daerah pegunungan (sering disebut
Penyebutan produk makanan dari sagu untuk
dengan masyarakat pedalaman) adalah dari jenis
beberapa daerah berbeda, walaupun proses
umbi-umbian seperti ubi jalar dan ubi kayu yang
pembuatannya sama dan output yang dihasilkan juga
memang cocok di daerah dataran tinggi, berbeda
sama seperti penyebutan papeda, sinoli, tutupola, sagu
dengan Sagu (Metroxylon sp) yang hanya dapat
lempeng, dan buburne, dan lain sebagainya. Ada juga
tumbuh di dataran rendah.
yang disajikan dalam bentuk kue/camilan sepertisarut,
Seiring dengan perubahan kebijakan pemerintah
bagea, sagu tumbu, dan sagu gula. Di Sulawesi
dahulu untuk meningkatkan produksi beras dengan
Selatan dan Tenggara, makanan ini dikenal dengan
peningkatan lahan pertanian untuk tanaman padi,
nama kapurung dan sinonggi. Sedangkan di Sangihe
berdampak pula pada pola konsumsi masyarakat asli
Talaud dikenal dengan nama rirange (Lay et al., 1998;
di Papua. Istilah yang diguanakan adalah “Belum
Wahid, 1988). Menurut Sialana (2008), tepung sagu
kenyang jika belum makan nasi.” Ini menunjukkan
dapat dipergunakan sebagai bahan baku berbagai
bahwa nasi saat ini telah menjadi makanan pokok bagi
macam pangan maupun penganan. Manfaat yang
masyarakat asli Papua, termasuk masyarakat asli
ditawarkan dari tepung sagu diantaranya selain
Papua yang hidup di daerah pesisir dan berdampingan
sebagai bahan pembuat pangan, dapat juga sebagai
dengan lingkungan yang banyak ditumbuhi hutan sagu.
bahan campuran adonan kue serta minuman bernutrisi,
Menurut Nainggolan (2004), kebijakan untuk
praktis dalam penyajian, mudah disimpan, dan
menetapkan pelaksanaan ketahanan pangan dengan
fleksibel untuk dibawa (Polnaya dan Timisela 2008;
memanfaatkan semaksimal mungkin pakan lokal
Sialana 2008). Ada anggapan bahwa sebagai pangan
merupakan suatu langkah tepat, karena pakan lokal
pokok, sagu berada pada posisi yang lebih rendah
tersedia dalam jumlah yang cukup di seluruh daerah
dibanding beras atau bahan pangan lain terutama
dan mudah dikembangkan karena sesuai dengan
terigu (Hutapea et al. 2003).
agroklimat setempat. Flach (1997), melaporkan bahwa
Secara empirik, probiotek yang berasal dari
potensi sagu di Indonesia mencapai 1,2 juta ha lebih
pati/tepung sagu sudah terbukti khasiatnya bagi
dan terkonsentrasi di Papua. Bila potensi hutan sagu
mereka yang makanan pokoknya sagu. Ibu-ibu di
tersebut dikelola dengan baik maka ketersediaan pati
Maluku yang secara rutin memberikan "papeda"
sagu yang didukung pasokan batang sagu dari hutan
(makanan khas tradisonal Maluku) kepada bayi (di
sagu akan lebih terjamin. Indonesia memiliki
atas 6 bulan), mengemukakan bahwa bobot badan
keunggulan komparatif dan kompetitif dalam
bayinya bertambah secara luar biasa, atau dalam
pengembangan sagu dibandingkan negara lain seperti
istilah sehari-hari disebut "body pica-pica" atau badan
Papua New Guinea, Malaysia, Kepulauan Pasifik,
besar, kuat, dan sehat (Papilaya, 2009).
Filipina dan Thailand. Hal ini karena Indonesia
Adanya perluasan areal tanaman sagu di
merupakan daerah asal dan sentra penyebaran sagu
kawasan Kampung Makimi Distrik Makimi
dunia (Budianto, 2003).
menunjukkan bahwa tanaman sagu (Metroxylon sp)
Hasil analisis yang dilakukan Ariani dan Pitono
yang merupakan makanan masyarakat asli Papu perlu
(2014), bahwa pangsa energi dari sagu selama kurun
digalakkan kembali. Disisi lain, rendahnya konsumsi
waktu 1999-2013 di Provinsi Sulawesi Tenggara,
masyarakat asli Papua untuk mengkonsumsi makan
Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat terus
dari sagu, merupakan salah satu faktor mengapa
menurun,sebaliknya pangsa energi dari beras pada
tanaman sagu ini tidak dibudidayakan oleh
kurun waktu yang sama justru mengalami peningkatan
masyarakat tetapi hanya mengandalkan pertumbuhan
yang signifikan sekitar 10% s/d 30%
alamiah. Hal ini karena sagu saat ini bukan lagi
Menurut Hetharia (2006) hal ini karena: (a)
menjadi produk unggulan karena telah tergantikan
adanya transmigran, mendorong alih fungsi lahan
dengan beras yang merupakan makanan pokok sehari-
sagu menjadi lahan sawah, (b) beras merupakan
hari masyarakat dan juga masyarakat asli Papua.
komoditas ”bergengsi” yang dapat meningkatkan
Seiring dengan sering terjadinya kelangkaan komoditi
status sosial, disamping beras tersedia dalam jumlah
sagu di pasar tradisional, beberapa petani sagu dari
yang memadai dan mudah diperoleh, (c) umur panen
masyarakat pesisir asli Papua mulai membudidayakan
sagu relatif lama (8-10 tahun), (d) pemerintah daerah
tanaman ini, karena harga yang ditawarkan cukup
41
JURNAL FAPERTANAK, Volume 4 No 1 Agustus 2019

menjanjikan. Petani tidak lagi melihat produk sagu - Sebelah Barat Kampung Makimi berbatasan
sebagai produk konsumtif semata-mata tetapi juga dengan Kampung Nifasi
produk produktif karena bernilai ekonomi tinggi. - Sebelah Utara Kampung Makimi berbatasan
Berdasarkan hal tersebut maka penulis tertarik untuk dengan Kampung Legari
melakukan penelitian tentang “Diversifikasi produk - Sebelah Selatan Kampung Makimi berbatasan
Sagu (metroxylon sp) dan Pola Konsumsi Makanan dengan laut Nabire.
Lokal Masyarakat Asli Papua di Kampung Makimi Rata-rata masyarakat yang mendiami Kampung
Distrik Makimi kabupaten nabire” Makimi adalah masyarakat asli Papua Pesisir. Mata
pencaharian penduduk di Kampung Makimi adalah
METODOLOGI PENELITIAN
petani dan nelayan, dan ada juga yang mempunyai
Penelitian ini dilaksanakan Di Kampung Makimi,
profesi sebagai guru, PNS dan ABRI. Rata-rata
Distrik Nabire, Kabupaten Nabire. Dengan obyek
penduduk yang mendiami Kampung Makimi
penelitiannya adalah masyarakat Asli Papua yang
beragama Kristen Protestan, disamping Katolik dan
berdomisili di Di Kampung Makimi, Distrik Nabire,
Islam.
Kabupaten Nabire selama 4 bulan, dari bulan Juni
Kampung Makimi memiliki hamparan hutan
sampai dengan bulan September tahun 2018.
sagu yang cukup luas. Hutan sagu yang berada di
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini
Kampung Makimi tumbuh secara alami dan tidak
menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut
melalui proses budidaya. Masyarakat mengenal tokok
Sugiyono (2015), penelitian kualitatif berfikir secara
sagu secara turun-temurun, karena sagu merupakan
induktif dan deduktif (grounded). Penelitian kualitatif
makanan pokok bagi masyarakat di Kampung Makimi
tidak di mulai dengan mengajukan hipotesis dan
saat itu. Walaupun hingga kini masyarakat mengenal
kemudian menguji kebenarannya (berfikir deduktif
tokok sagu, namun proses tokoknya tidak lagi
dan induktif), melainkan bergerak dari bawah dengan
dilakukan dengan tenaga manusia tetapi sudah
mengumpulkan data sebanyak mungkin tentang
menggunakan mesin, sehingga proses tokok sagu
sesuatu,dan dari data itu di cari pola-pola, hukum,
tidak lagi dilakukan hingga berminggu-minggu tetapi
prinsip-prinsip, dan akhirnya menarik kesimpulan dari
dapat dilakukan dalam 1 hari.
analisis yang telah dilakukan. Metode penelitian
kualitatif adalah suatu metode penelitian yang di
2. Budaya
Dalam struktur budaya, agama, dan adat bahwa
gunakan untuk meneliti kondisi obyek yang alamiah,
tokoh legendaris masyarakat adalah “Kuri” yang
dimana peneliti sebagai instrument kunci, yang teknik
merupakan tokoh dari masyarakat Napan, Makimi dan
pengumpulan datanya secara triangulasi (gabungan)
Weinami. Bahwa hulu sungai Lagari yang dikenal
analisis data yang bersifat induktif dan deduktif, dan
dengan nama Nuba urigwa atau hulu sungai Nuba
hasil penelitiannya lebih menekankan pada suatu
adalah tempat sakral, yang menjadi tempat tinggal
makna dari pada generalisasi.
Kuri. Menurut Erari bahwa semua hamparan hutan
Analisis Data sagu merupakan kekayaan yang ditinggalkan oleh
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan Kuri bagi masyarakat di daerah tersebut. Kekayaan ini
dengan menggunakan 3 komponen dimana data diolah harus dipelihara dan tidak diperkenankan untuk
dengan melakukan tiga tahapan kegiatan dan diperjualbelikan. Terdapat ketentuan bahwa orang luar
dilakukan secara bersamaan, yaitu reduksi data, dapat memakannya, tetapi tidak bisa membeli atau
penyajian data dan penarikan kesimpulan melalui menjualnya, apalagi untuk membinasakannya (Erari,
verifikasi data (Milen dan Huberman, dalam 1999). Tidak mengherankan jika hutan sagu di
Sitorus,1998). Kampung Makimi masih terjaga dengan baik hingga
saat ini. Hutan sagu di Kampung Makimi milik
HASIL DAN PEMBAHASAN
masyarakat asli Makimi yang merupakan masyarakat
Gambaran umum Lokasi Penelitian asli Papua Pesisir. Kepemilikan lahan sagu
1. Luas dan Batas Wilayah berdasarkan silsilah keluarga secara turun temurun
dan kepemilikannya diatur secara musyawarah dan
Secara administratif, Kampung Makimi masuk mufakat antar warga di Kampung Makimi.
dalam wilayah Distrik Makimi, Kabupaten Nabire Pada umumnya lokasi hutan sagu berada
dengan luas wilayah sebesar 671,58 km² yang terletak ditengah hutan seperti beberapa daerah lainnya yang
diantara 135°46’ - 136°33’ Bujur Timur dan 3°4’ - memiliki hutan sagu di Papua. Untuk mencapai lokasi
3°27’ Lintang Selatan, dengan Ibu kota Distrik adalah tersebut dibutuhkan perjuangan yang tidak mudah,
Legari Jaya. Batas wilayah Kampung Makimi adalah karena lokasinya jauh dari Kampung atau perumahan
sebagai berikut: penduduk. Kadang untuk mencapai lokasi hutan sagu
- Sebelah Timur Kampung Makimi berbatasan harus menggunakan perahu, namun lokasi hutan sagu
dengan Kampung Masipawa di Kampung Makimi mudah untuk dijangkau (peneliti
menggunakan sepeda motor untuk mecapai lokasi
42
JURNAL FAPERTANAK, Volume 4 No 1 Agustus 2019

hutan sagu tersebut. Jarak dari jalan raya ± 100 m penjualan tepung sagu perbulan dapat mencapai 5
melalui jalan produksi yang dirintis oleh dinas sampai dengan 6 juta perbulan.
pertanian, setelah itu dilanjutkan dengan berjalan kaki Gambaran umum informan
sejauh ± 50 m untuk sampai lokasi informan 1. Tingkat pendidikan informan
melakukan proses pengolahan sagu. waktu yang Dari hasil observasi dan wawancara mendalam
dibutuhkan dari jalan raya/jalan utama Kampung (debt intervieuw) dengan informan di Kampung
Makimi sampai dengan lokasi informan ± 5 menit). Makimi, diketahui bahwa tingkat pendidikan informan
Dilihat dari lokasi hutan sagu yang sangat strategis, paling banyak adalah pada tingkat Sekolah Lanjutan
menunjukkan bahwa keberadaan lokasi hutan sagu Tingkat Pertama/Sederajat sebesar 51,0%, sedangkan
yang dekat dengan jalan utama merupakan modal informan dengan tingkat pendidikan Sekolah
(fisik) bagi petani sagu karena rendahnya biaya Menengah Tingkat Atas hanya sebesar 31,4% dari
transport dari lokasi hutan sagu ke rumah. total informan di Kampung Makimi.
Menurut bapak Markus Imbiri, rendahnya tingkat
3. Produksi tepung sagu pendidikan mereka karena pendidikan bukan menjadi
Tepung sagu dihasilkan dari batang sagu. Batang prioritas utama orang tua mereka saat itu (zaman
sagu yang telah ditebang dengan menggunakan dahulu) dan juga tidak ada kesadaran dari anak
kampak atau chainsaw (rata-rata responden di tentang pentingnya pendidikan. Pengalaman dulu
Kampung Makimi telah menggunakan chainsaw), menjadi pelajaran bagi mereka, sehingga anak-
selanjutnya dipotong-potong dan dibelah dengan anaknya sekarang harus mendapat pendidikan yang
ukuran 50 – 75 cm. Hal ini dimaksudkan untuk maksimal. Rendahnya tingkat pendidikan bukan
mempermudah dalam proses pemarutan dengan karena faktor biaya, tetapi lebih karena faktor
menggunakan mesin parutan sagu. Dahulu proses ini kemauan atau keinginan dan juga pemahaman orang
dikenal dengan nama “Tokok Sagu”. tua tentang pentingnya pendidikan anak, seperti
Hasil parutan sagu atau ampas sagu oleh dituturkan Bapak Markus Imbiri berikut ini:
masyarakat di Kampung Makimi disebut dengan “Dulu kalau anak-anak tidak mau sekolah, ya
“Erau”, yang diletakan diatas terpal agar tidak sudah. Kalau sekolah satu atau dua tahun sudah
bercampur dengan tanah. Setelah proses parut sagu tidak mau sekolah lagi. Biasanya dapa pukul dari
selesai, dilanjutkan dengan proses peramasan pada orang tua, setelah itu jadi biasa (tidak sekolah),
pangkal sagu sebagai tempat peramasan yang sekarang baru menyesal coba dulu torang
dicampur dengan air. Tempat peramasan ampas sagu sekolahkah (seandainya dahulu kami melanjutkan
disebut dengan “Fai”. Ampas sagu dicampur dengan pendidikan mungkin keadaannya tidak seperti
air yang diambil dari kolam (air rawa di sekitar pahon sekarang). Padahal uang sekolah dulu tidak mahal
sagu yang menyerupai kolam) kemudian diramas seperti sekarang. Makanya sekarang torang pu
dalam kain halus, kadang digunakan seludang kelapa anak-anak (anak-anak kami) harus sekolah,
(bentuknya seperti kain sutera). Kain halus yang selama bapa deng mama masi kuat cari uang
digunakan untuk menyaring pati sagu oleh masyarakat (selagi orang tua masih mampu menyekolahkan).
disebut dengan “Ruawu”. Pati sagu yang telah Jangan seperti bapa dengan mama dulu, yang
disaring dalam “Fai” tersebut akan mengalir penting bisa baca dengan tulis sudah cukup.”
ketempat pengendapan pati sagu yang terbuat dari (selama orang tua masih kuat untuk bekerja untuk
batang sagu yang telah dilobangi memanjang sesuai mendapatkan upah, anak-anak harus bersekolah ke
panjang batang sagu, bentuknya seperti perahu namun jenjang yang lebih tinggi. Jangan seperti orang tua
dalamnya dilapisi plastik tebal agar endapan pati sagu kami dahulu, yang penting sudah dapat membaca
tidak keluar. Panjang batang sagu yang digunakan dan menulis sudah tidak perlu melanjutkan sekolah
sebagai tempat endapan pati sagu ± 5 meter, yang lebih tinggi.
masyarakat di Kampung Makimi menyebutnya Tabel 1.
dengan “Guarata”.Endapan pati sagu yang telah Informan di Kampung Makimi menurut Tingkat
terkumpul dalam tempat endapan/Guarata, kemudian Pendidikan dan Jenis Kelamin, tahun 2018.
dimasukan kedalam karung plastik ukuran 50 Kg
N Jumlah
(bekas karung plastik beras), selanjutnya diangkut ke Tingkat Pendidikan ∑ %
o L P
rumah untuk dimasukan kedalam karung plastik
1 Tidak Sekolah - - 0 0.0
ukuran 15 Kg.
4 SD 6 3 9 17.6
Rata-rata informan di Kampung Makimi dapat 5 SLTP/Sederajat 17 9 26 51.0
memproduksi tepung sagu sebanyak 37 karung @15 6 SLTA/Sederajat 12 4 16 31.4
Kg = 555 kg/bulan. Dengan rata-rata jumlah pohon 7 Diploma/D II, III - - - -
adalah 4 pohon. 1 pohon sagu rata-rata dapat 8 Sarjana/S1 - - - -
menghasilkan tepung sagu sebanyak 9 karung. Tot al 35 16 51 100
Menurut informan bahwa pendapatan dari hasil Sumber data: Data Primer, diolah.
43
JURNAL FAPERTANAK, Volume 4 No 1 Agustus 2019

Menunjukkan bahwa jumlah informan laki-laki 8 ≥ 60 12 5 17 30.9


lebih banyak dari jumlah informan perempuan, namun Total 43 8 51 100
demikian tingkat pendidikan informan perempuan Sumber data: Data Primer, diolah.
adalah setara dengan tingkat pendidikan laki-laki, 3. Jumlah Anak Informan
yaitu SLTA. Banyaknya informan laki-laki karena Menurut Apolos Womas, informan di Kampung
pekerjaan dari mulai menebang, memotong hingga Makimi bahwa faktor rejeki masih menjadi alasan
menokok sagu rata-rata dikerjakan oleh laki-laki. mengapa suatu keluarga mempunyai anak banyak,
2. Umur Informan walaupun pada akhirnya menjadi beban jika berbicara
Menurut Merkianus Womas (50 thn), umur tentang tingkat pendidikan anak. Untuk
bukan menjadi masalah bagi petani, karena untuk menyekolahkan anak pada jenjang pendidikan yang
menghidupi keluarga tidak ada pilihan lain selain lebih tinggi dibutuhkan biaya yang tidak sedikit.
kerja. Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan Berikut penuturan Apolos Womas 33 tahun.:
kerja fisik menjadi pilihan utama, kerja fisik sudah “Orang tua-tua bilang kalo kitorang pu anak
dilakukan sejak dahulu sehingga tidak menjadi beban. banyak itu rejeki, tapi kalo punyak anak banyak
Disamping itu juga merupah pola pikir informan tapi kitorang tidak punya kerja ya sama saja.
tentang pentingnya pendidikan, seperti dituturkan oleh
Merkianus berikut ini: Bagaimana mo kasi makan mereka, bagaimana mo
“Kitorang pu keluarga perlu makan, perlu kasi sekolah mereka. Sekarang kitorang pu anak
sekolah, jadi tetap harus kerja. Umur sudah tua, mo kuliah perlu biaya. Dulu sekolah tidak ada
tra punya pendidikan, mau kerja dimana. Mau jadi biaya seperti sekarang ini, makanya orang tua
pegawai negeri tra mungkin to. Sa tokok Sagu dari sekarang rata-rata dorang pu anak jarang yang
waktu dulu e..dari belum kawin sampe sekarang lebih dari lima orang, paling 3 atau 4 orang saja.
supu anak, jadi su biasa. Kalo orang yang baru
Coba lihat orang tua-tua dulu ada yang pu anak
mau tokok sagu, ya setengah mati. Makanya sa
bilang anak-anak kamu harus sekolah supaya bisa sampe 11, ada yang 12 orang.” (prinsip orang tua
kerja jadi pegawai negeri. (Kami menokok sagu dulu adalah banyak anak banyak rejeki sehingga
dari dulu hingga sekarang, karena selain tingkat ada keluarga yang memiliki anak 11 sampai 12
pendidikan rendah, keluarga kami juga butuh orang. Berbeda dengan keluarga sekarang, yang
makan. Oleh karena itu anak-anak kami harus karena faktor biaya jumlah anak dibatasi.)
bersekolah)”
Informan di Kampung Makimi paling banyak
Umur dan Jenis Kelamin Informan di Kampung adalah informan yang memiliki anak 2 – 3 orang,
Makimi baik informan pria maupun informan wanita yaitu sebesar 51%, sedangkan informan yang
paling banyak berada dalam kelompok umur 50-59 memiliki anak > 5 orang hanya sebesar 9,8% dari total
tahun. Ini menunjukkan bahwa umur informan berada informan, data pada tabel 3 di bawah ini:
dalam kelompok umur kurang produktif. Disisi lain, Tabel 3.
pola pikir masyarakat saat ini telah berubah, bahwa Jumlah Anak Informan menurut Umur dan Jenis
jumlah anak akan mempengaruhi beban orang tua, dan Kelamin di Kampung Makimi, tahun 2018
bukannya banyak rejeki. Dari hasil observasi dan Jumlah Jumlah
wawancara menunjukkan bahwa selain pola piker, No ∑ %
Anak L P
banyak anak-anak yang telah memasuki usia produktif 1 0–1 5 2 7 13.7
lebih memilih keluar dari kampung untuk bersekolah 2 2–3 22 4 26 51.0
(melanjutkan sekolah) dan juga untuk mendapatkan
3 4–5 11 2 13 25.5
pekerjaan yang lebih baik, seperti ditunjukkan pada
tabel 2 berikut ini. 4 5 4 1 5 9.8
Tabel 2. Total 42 9 51 100
Informan di Kampung Makimi Sumber data: Data Primer, diolah
menurut Umur dan Jenis Kelamin, tahun 2018
Kelompok Jumlah 4. Mata Pencaharian Informan
No ∑ % Mata pencaharian informan sama dengan mata
Umur L P
1 20 – 24 0 0 0 0.0 pencaharian petani pada umumnya, tidak berasal dari
2 25 – 29 0 0 0 0.0 1 komoditi saja tetapi dari berbagai komoditi, dan
3 30 – 34 2 1 3 5.5 bahkan ada mata pencaharian yang berasal dari luar
4 35 – 39 1 1 2 3.6 sektor pertanian (Non farm). Studi Susilowati, et al
5 40 – 44 3 2 5 9.1 (2002) di pedesaan Jawa Barat menunjukkan
6 45 – 49 4 1 10 18.2 kecenderungan serupa yaitu bahwa tingkat
7 50 - 59 14 4 18 32.7 diversifikasi pendapatan rumah tangga cukup tinggi.

44
JURNAL FAPERTANAK, Volume 4 No 1 Agustus 2019

Dengan kata lain bahwa secara umum rata-rata rumah “Makan nasi dengan sagu sebenarnya sama
tangga di pedesaan tidak tergantung pada satu sumber saja, tetapi karena kitorang sering makan nasi,
pendapatan. Setidaknya terdapat dua alasan rumah jadi kalo tidak makan nasi dorang bilang tidak
tangga di pedesaan melakukan diversifikasi kegiatan kenyang. Dulu kalo ke pasar banyak yang jual
untuk memperoleh pendapatan, yaitu (1) dengan satu sagu, sekarang jarang yang jual, padahal dulu
sumber pendapatan rumah tangga tersebut tidak dapat untuk tokok sagu saja bisa berhari-hari. Pake
memenuhi semua kebutuhan yang diperlukan, dan (2) mesin parut tidak sampe berapa menit sudah bisa
mengurangi resiko kegagalan, artinya apabila salah ramas. Tebang pohon sagu sudah tidak sulit kayak
satu sumber pendapatan tidak berhasil masih ada dulu pake kampak.” (konsumsi sagu dengan
sumber pendapatan lain yang dapat diharapkan. konsumsi nasi sebenarnya sama, hanya persepsi
masyarakat bahwa dengan hanya mengkonsumsi
Pola Konsumsi Makanan Informan
sagu saja, perut masih terasa lapar. Disisi lain,
1. Konsumsi dan Jenis Makakan
ketersediaan produk sagu mulai jarang ditemui di
Pola konsumsi merujuk pada kebiasaan makan
pasar-pasar tradisional, padahal untuk
baik jenis makanan dan intensitas kegiatan makan.
memproduksi sagu saat ini tidak sesukar dahulu
Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia pada
karena adanya faktor teknologi dalam proses
umumnya, intensitas pola makan adalah 3 x dalam
produksi)
sehari, yaitu pagi, siang dan malam. Sehingga
keluarga yang insentitas pola makannya kurang dari Menurut Septer Rumsauri 46 tahun, ada beberapa
itu dianggap kurang baik bagi kesehatan. faktor penyebab mengapa sagu tidak menjadi barang
Menurut Sri Kardjati (1985), pola makan adalah ekslusiv seperti dulu seperti zaman kanak-kanaknya
berbagai informasi yang memberikan gambaran dulu, yaitu karena sekarang banyak pilihan yang
macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan tiap ditawarkan. Selain itu baik makanan maupun kue dari
hari oleh satu orang dan merupakan ciri khas untuk sagu tidak berkembang dan bersifat statis, tidak
suatu kelompok masyarakat tertentu. Pola makan di seperti makanan atau kue non sagu.
suatu daerah berubah-ubah sesuai dengan perubahan Berikut ini penuturan Septer Rumsauri (46 tahun):
beberapa faktor ataupun kondisi setempat. Pola makan “Kalo sekarang anak-anak dikasi sagu bakar
dipengaruhi dua faktor, yang pertama adalah faktor dengan roti, pasti anak-anak-anak dorang pilih
persediaan bahan makan dimana faktor geografis, roti, karena roti dia pu rasa kan lain-lain. Sagu
faktor iklim, kesuburan tanah, distribusi bahan pangan, bakar dari dulu dia pu rasa ya itu saja tidak ada
dan lain–lain. Faktor kedua adalah taraf sosial perbedaan. Saya dengar katanya skarang tepung
ekonomi dan adat kebiasaan setempa. sagu bisa bikin jadi super mie, jadi roti tapi belum
Ketersediaan pangan dalam rumah tangga yang ada yang bisa bikin. Tapi kitorang masih
dipakai dalam pengukuran mengacu pada pangan yan bersyukur kitorang masih pu hutan sagu, jadi
cukup dan tersedia dalam jumlah yang dapat torang pu anak-anak masih tau tentang sagu.
memenuhi kubutuhan konsumsi rumah tangga. Seandainya sudah tidak ada pohon sagu lagi,
Penentuan jangka waktu ketersediaan makanan pokok mungkin anak-anak dorang tidak tau bagaimana
di pedesaan biasanya dilihat dengan tokok sagu, bagaimana peras sagu, dorang hanya
mempertimbangkan jarak antara musim tanam dengan tau dari cerita dari buku saja. Beruntung kitorang
musim tanam berikutnya (Suhardjo dkk,1986). pu anak-anak yang hidup di Kampung yang punya
Dari hasil observasi dan intervieuw dengan hutan sagu seperti kitorang pu Kampung Makimi
beberapa Informan di Kampung Makimi ini, coba tanya anak-anak yang hidup di Kota.
menunjukkan bahwa insentitas pola makan informan Mungkin dia pernah makan papeda, tapi pohon
adalah sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia. sagu pasti dia tidak tau, tokok sagu bagaimana,
Jenis makanan yang dikonsumsi dan menjadi ramas sagu bagaimana?” (Saat ini jika anak-anak
makanan pokok informan di Kampung Makimi adalah disuruh memilih roti atau sagu pasti mereka lebih
Nasi. memilih roti, karena diversivikasi produk roti tidak
Menurut Merkianus Womas (50 tahun), faktor saja bentuk tetapi juga rasanya selalu menarik dan
kebiasaan yang menjadi penyebab pola konsumsi berbeda. Lain halnya dengan makanan dari bahan
masyarakat lebih condong pada nasi. Disamping itu dasar sagu yang bentuk dan rasanya dari dulu tidak
produksi sagu tidak sebanyak dulu saat ia masih pernah berubah. Beruntung bagi anak-anak asli
kanak-kanak, padahal sekarang untuk memarut Papua yang masih hidup di lingkungan
(menokok) sagu tidak lagi dengan cara tradisional perkampungan yang masih memiliki hutan sagu,
tetapi sudah menggunakan mesin parut. Untuk sehingga pengetahuan tentang sagu masih mereka
menebang pohon sagu banyak yang sudah miliki)
menggunakan chainsaw (mesin pemotong). Berikut
Dari penuturan beberapa informan yang nadanya
ini penuturan bapak Merkianus Womas (50 tahun).
tidak jauh berbeda dengan kedua informan tersebut,
45
JURNAL FAPERTANAK, Volume 4 No 1 Agustus 2019

menunjukkan bahwa faktor lingkungan, ketersedian makanan/kue yang dijual di Kampung Makimi
produk makanan, serta kebiasaan untuk didominasi oleh makanan/kue dari bahan dasar tepung
mengkonsumsi produk makanan tertentu, serta opini non sagu.
masyarakat pada produk makanan tersebut ikut Berikut ini penuturan dari Jefri Imbiri( 41 tahun):
mempengaruhi pola makan suatu masyarakat terhadap “Kitorang pu makanan dari sagu kurang
jenis makanan lokal tersebut. bervariasi seperti orang Maluku dorang punya.
Dorang bilang di Maluku sagu bisa bikin apa saja.
2. Jenis produk Sagu yang di Konsumsi
Seperti kue Bagea itu enak cuma torang tidak tidak
Produk makanan dari sagu dapat digolongkan
ada yang bisa bikin. Kalo makanan dari sagu bisa
dalam 2 bentuk, yaitu dalam bentuk makanan pokok
dibikin macam-macam, orang bisa pilih mau
dan dalam bentuk kue atau jajanan.
makan yang mana. Kalau makanan atau kue
Makanan dari sagu pada umumnya sama,
sagunya selalu ada, lama-lama anak-anak dorang
bentuknya seperti bubur yang biasanya disantap
terbiasa makan. (makan kami yang bahan dasarnya
bersama kuah sayur atau kuah ikan. Nama makanan
dari tepung sagu tidak beragam/bervariasi jika
dari sagu untuk daerah Maluku dan Papua sama,
dibandingkan dengan daerah lain seperti Maluku
dikenal dengan nama “Papeda”, sedangkan di
yang juga penghasil sagu, faktor ketrampilan dan
Sulawesi lebih dikenal dengan nama “Kapurung”.
pengetahuan merupakan faktor utama, disamping
Perbedaan antara Papeda dan Kapurung adalah proses
itu ketersediaan produk sagu (tepung sagu) juga
pemasakannya. Papeda (tepung sagu) dimasak sendiri
menjadi kendala bagi masyarakat asli Papua Pesisir
dan tidak di campur, sedangkan Kapurung dicampur
yang walaupun habitatnya banyak ditumbuhi
dengan sayuran saat proses pemasakan. Ada juga
dengan hutan sagu namun output yang dihasilkan
makanan dari produks tepung sagu yang disebut
rendah)
dengan sagu lempeng dan buburnee.
Kue-kue tersebut dibuat dari sagu basah, sagu Dilihat dari macam makan maupun kue dari
yang dimasak dalam bungkusan daun disebut “sagu bahan dasar sagu yang dibuat oleh informan di
ega” sedang yang dimasak dalam bambu disebut Kampung Makimi menunjukkan bahwa macam
“sagu bulu”. Sagu yang dimasak dalam bambu makan maupun kue adalah produk turun temurun,
disebut “sagu tutupola”. Prinsip pembuatannya sama artinya produk-produk ini tidak mengalami perubahan,
dengan pembuatan sagu lempeng, hanya bentuk dan baik cara pengolahan, bentuk dan rasanya adalah hasil
ukurannya yang berbeda. Sedangkan kue-kue yang yang diturunkan dari orang tuanya. Seperti dituturkan
dapat dibuat dari sagu seperti sagu gula, sagu tumbuk, oleh informan Adolvince Imbiri (42 tahun), seorang
kue cerutu, sinoli, kue tali, bangket sagu, saku-saku ibu rumah tangga di Kampung Makimi. Menurut Ibu
dan sagu uha, kue bagea, dibuat oleh masyarakat dari Adolvince, cara membuat papeda, sagu bakar, sagu
Maluku. Cara pembuatan kue bagea adalah sebagai kelapa maupun kue sagu diperoleh dari orang tuanya
berikut : Pati sagu dibungkus dengan daun pisang atau dulu. Jadi bukan produk baru. Untuk membuat
daun sagu lalu dipanaskan dalam belanga. Dalam makanan atau kue yang rasa dan bentuk yang lain
pembuatan bagea, pati sagu dapat ditambahkan telur, perlu proses belajar atau pelatihan. Seperti yang
kenari, garam dan sebagainya untuk meningkatkan dijelaskan oleh Ibu Adolvince berikut ini:
nilai gizi dan rasanya. Bagea berbentuk kue yang “Dari dulu kitorang bikin papedakah, sagu
keras dan banyak terdapat di Maluku. Untuk produk bakarkah atau sagu kelapa itu karena lihat orang
sagu yang disajikan dalam bentuk kue disebut dengan tua dorang bikin. Torang tau juga karena mau
Embal, Serut, Bagia dan lain-lain. Produk ini hanya belajar. Karena kitorang makan yang tua dorang
makanan ringan sebagai pengganti kue atau makanan bikin enak, jadi torang bikin ya seperti yang orang
jajanan. Hasil observasi dan debt intervieuw dengan tua dorang bikin to. Kalo mau bikin yang lain lagi
informan di Kampung Makimi menunjukkan bahwa harus ada yang kasi latih kitorang. Atau ada orang
makanan dan kue dari bahan sagu kurang bervariasi yang bikin, mungkin kitorang lihat kitorang bisa
dan kurang beragam jika dibandingkan dengan produk bikin. Yang kitorang tau, itu saja yang kitorang
sagu dari daerah Maluku. Hal tersebut dipengaruhi bikin. Sebenarnya ibu-ibu disini juga ingin belajar
oleh rendahnya pengetahuan dan ketrampilan bagaimana bikin kue sagu yang lain cuma siapa
masyrakat asli Papua Pesisir dalam mengolah produk mau ajar (latih) mereka?”(proses pembuatan
makanan/kue dari bahan dasar sagu. makanan maupun kue yang sekarang kami lakukan
Makin banyak variasi makanan maupun kue adalah mengikuti kebiasaan orang tua kami dahulu,
maka makin banyak pilihan. Selain itu, dengan agar kami juga dapat membuat beragam kue dari
tersedianya makanan dan kue dari bahan dasar sagu bahan dasar sagu kami butuh pelatihan. Animo
akan menjadikan kebiasaan bagi masyarakat, masyarakat disini, terutama ibu-ibu cukup tinggi
khususnya anak-anak untuk mengkonsumsi untuk mendapatkan pelatihan tersebut)
makanan/kue dari bahan dasar sagu. Saat ini

46
JURNAL FAPERTANAK, Volume 4 No 1 Agustus 2019

Dari penuturan beberapa informan tersebut karena harganya lebih rendah jika dibandingkan
menunjukkan bahwa informan membunyai keinginan dengan harga beras per kilogram, namun untuk
untuk menciptakan produk baru dengan bahan baku mendapatkan produk sagu di pasar tradisional tidak
yang sudah ada sebelumnya, namun kendalanya di tiap hari tersedia, disamping itu faktor kebiasaan
faktor pelatihan. Untuk mengembangkan produk baru, makan nasi menyebabkan beras telah menjadi
ada dua kemungkinan yang dapat dilakukan. Pertama, produk makanan yang selalu dicari)
produk yang dikembangkan dapat bersifat kreatif,
Hasil observasi dan wawancara mendalam (debt
artinya produk dikembangkan dari produk yang sudah
intervieuw) dengan informan di Kampung Makimi
ada. Kedua, produk yang munculkan pertama kali dari
menjukkan bahwa rata-rata perbulan informan
penemuan-penemuan para pendahulu yang dianggap
mengkonsumsi produk sagu paling banyak adalah
sebagai penemuan inovatif, baik rasa maupun
keluarga informan yang mengkonsumsi 1-2 kali
bentuknya. Namun demikian dari hasil observasi
perbulan sebesar 80,4% dari total informan sebanyak
menunjukkan bahwa rata-rata informan masih
51 orang. Hanya 3,9% keluarga informan yang
mempertahankan tradisi turun temurun dari orang tua
mengkonsumsi makanan dari bahan dasar sagu lebih
mereka, baik cara pengolahan, rasa serta bentuk
dari 4 kali perbulan. Hasil ini bukan berarti bahwa
produk kue maupun makanan yang di hasilkan.
informan tidak makan nasi, karena nasi merupakan
Menurut Tjiptono (2008), pengertian produk baru
makanan pokok yang harus dikonsumsi tiap hari.
dapat meliputi produk orisinil, produk yang
Dengan demikian maka produk sagu bagi masyarakat
disempurnakan, produk yang dimodifikasi, dan merek
asli Papua saat ini adalah makanan sampingan dan
baru yang dikembangkan melalui usaha riset dan
bukan merupakan makanan pokok lagi. Nasi sudah
pengembangan. Selain itu juga dapat didasarkan pada
merupakan makanan pokok bagi masyarakat asli
pandangan konsumen mengenai produk tersebut.
Papua Pesisir di Kampung Makimi, karena
Demikian pula menurut Schaffner et al. (1998), setiap
masyarakat akan tetap mecari beras berapapun nilai
perubahan dalam produk, meskipun kecil,
beras, hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan
menciptakan efek “produk baru”. Jika konsumen
terhadap beras cukup tinggi. Perut masih terasa lapar
mengenali perbedaannya, maka itu merupakan produk
jika belum mengkonsumsi nasi.
baru bagi mereka.
Tabel 4.
3. Makakan Pokok Keluarga Informan Rata-rata Jumlah Informan di Kampung Makimi
Menurut Yonias Revasi (51 tahun), harga beras yang mengkonsumsi Produk Sagu, tahun 2018
dari tahun ketahun mengalami kenaikan, sehingga Rata-rata
Jumlah Keluarga
masyarakat yang tingkat pendapatannya pas-pasan Intensitas
yang mengkonsumsi %
dapat mengurangi pengeluaran keluarga dengan Konsumsi
Produk Sagu
mengkonsumsi sagu. faktor kebiasaan yang per bulan*⁾
menyebabkan sulit mengganti konsumsi sagu dengan 1 1 – 2 kali 41 80.4
konsumsi nasi. Dilain sisi, ketersedian sagu di pasaran 2 3 – 4 kali 8 15.7
3 lebih dari 4 kali 2 3.9
tidak selalu ada, sehingga sagu dipandang sebagai
Total 51 100
makanan sampingan, sedangkan nasi merupakan
makanan pokok. Seperti dituturkannya berikut ini: Sumber data: Data Primer, diolah.
“Kalo torang pu penghasilan tidak cukup Keterangan : *⁾ Intensitas Konsumsi bersifat insidentil
untuk beli beras, sebenarnya bisa ganti dengan tergantung ketersediaan produk sagu
sagu. Cuma cari sagu sekarang di pasar kadang dalam keluarga informan.
ada, kadang tidak ada. Tidak mungkin torang mo Tabel 4 menunjukkan bahwa walaupun Kampung
makan harus tunggu dorang tokok sagu dulu. Makimi memiliki hutan sagu yang cukup luas, namun
Kitorang pu perut sudah terbiasa makan nasi, jadi masyarakat asli Papua Pesisir hanya mengkonsumsi
kalo belum makan nasi belum kenyang. Padahal produk makanan dari bahan dasar sagu hanya 1 – 2
torang pu nenek moyang dulu tidak kenal nasi, kali perbulan. Produk tepung sagu yang dihasilkan
mereka hanya makan sagu tapi tidak ada masalah. dari hutan sagu di Kampung Makimi, rata-rata untuk
Jadi sa pikir ini masalah kebiasaan saja. di jual dan sedikit saja yang disimpan sebagai
Contohnya kitorang orang pesisir kalo tidak makanan tambahan atau sampingan dalam keluarga.
makan ikan, kurang pas. Karena kitorang ini biasa Penjualan tepung sagu oleh masyarakat Makimi
makan ikan, terutama ikan laut. Coba kasi ikan dilakukan dalam bentuk produk mentah (tepung sagu)
tambak, pasti banyak yang kurang suka, karena dan bukan produk olahan.
biasa makan ikan laut. Begitu juga dengan sagu
to?” (bagi masyarakat Asli Papua yang hidup di KESIMPULAN DAN SARAN
Kampung Makimi yang tingkat penghasilannya Kesimpulan
pas-pasan dapat menggantinya dengan beras 1. Bahwa pola konsumsi makan dari bahan dasar
sagu telah berubah, makanan dari bahan dasar sagu
47
JURNAL FAPERTANAK, Volume 4 No 1 Agustus 2019

yang dulunya adalah sebagai makanan pokok Penerbit Fakultas Pertanian Universitas
masyarakat asli Papua kini telah tergantikan oleh Pattimura, hlm. 52-59.
nasi. Hutapea RTP, Pasang PM, Torrar DJ, Lay A. 2003.
2. Faktor kurangnya produk dari bahan dasar sagu di Keragaan Sagu Menunjang Diversifikasi
pasar tradisional ikut mempengaruhi kebiasaan Pangan. Dalam Sagu Untuk Ketahanan
masyarakat asli Papua Pesisir dalam Pangan, Prosiding Seminar Nasional Sagu,
mengkonsumsi makanan dari bahan dasar sagu. Pusat penelitian dan Pengembangan
3. Rendahnya animo masyarakat Asli Papua Pesisir, Perkebunan, Manado, 6 Oktober 2003
dan juga masyarakat Non Papua untuk Sri Kardjati. 1985. Aspek Kesehatan Dan Gizi Anak
mengkonsumsi produk dari bahan dasar sagu balita. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
disebabkan karena kurangnya diversifikasi produk Lay, A., D. Allorerung, Amrizal, M. Djafar, dan N.
makanan dari bahan dasar sagu. Barri. 1998. Pengolahan Sagu Berkelanjutan.
Saran Prosiding Seminar Regional Kelapa dan
1. Walaupun saat ini pemerintah pusat maupun Palma Lain. Balitka. Manado 25-26 Februari
daerah melalui dinas terkait melakukan perluasan 1998.
areal tanaman sagu di Kampung Makimi, namun Nainggolan, K. 2004. Strategi dan kebijakan pangan
pola konsumsi masyarakat harus pula dilihat tradisional dalam rangka ketahanan pangan.
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Dalam J. Munarso, Risfaheri, Abubakar,
kehidupan masyarakat. Setyadjit, dan S. Prabawati (Eds.). Prosiding
2. Upaya meningkatkan animo masyarakat dalam hal SeminarNasional Peningkatan Daya Saing
diversifikasi produk makanan dari bahan dasar Pangan Tradisional. Bogor, 6 Agustus2004.
sagu dapat dilakukan dengan memasukkan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
perlombaan pembuatan makanan dari bahan dasar Pasca Panen, Badan Litbang Pertanian.
sagu sebagai agenda pemerintah daerah. Papilaya, E.C. 2008. Mewujudkan ketahanan pangan
3. Membiasakan menyuguhkan makanan dari sagu organik berbasis nilai kearifan sagu. Dalam
dalam acara-acara baik yang diselenggarakan oleh J.B. Alfons, E. Papilaya, J.. Salamena, M.P.
pemeritah maupun masyarakat. Sirappa, S.Th. Raharjo, W. Girzang, dan
M.L.J. Titahena (Eds.). Prosiding Seminar
DAFTAR PUSTAKA Nasional Akselerasi Inovasi Teknologi
Ariani, M dan J. Pitono. 2014. Diversifikasi Konsumsi Pertanian Spesifik Lokasi Mendukung
pangan: Kinerja dan Perspektif Ke Depan. Ketahanan Pangan di Wilayah Kepulauan,
Diversifikasi Pangan dan transformasi Ambon 29-30 Oktober 2007. Balai Besar
Pembangunan Pertanian. Editor: Ariani,M dkk. Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pertanian, Badan Litbang Pertanian, hlm. 161-
Kementerian Pertanian. Jakarta. 169.
Budianto, J. 2003. Teknologi sagu bagi agribisnis dan Papilaya, E.C. 2009. Sagu untuk Pendidikan Anak
ketahanan pangan. Dalam R.H. Akuba, Z. Negeri. IPB Press, Bogor. 106p.
Mahmud, E. Karmawati, A.A. Lolong, dan A. Polnaya FJ, Timisela NR. 2008. Sagu sebagai pangan
Lay (Eds.). Prosiding Seminar Nasional, Sagu spesifik lokal dalam mendukung ketahanan
Untuk Ketahanan Pangan. Manado, 6 Oktober pangan nasional. Di dalam: Alfons JB,
2003. Bogor. Pusat Penelitian dan Papilaya E, Salamena J, Sirappa MP, Raharjo
Pengembangan Perkebunan, Badan Litbang ST, Girsang W, dan Titahena MLJ, editor.
Pertanian, Prosiding Seminar Nasional Akselerasi
Flach . M. 1997. Sago Palm Metroxylon Sagu Rottb. Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
International Plant Generic Resources Mendukung Ketahanan Pangan di Wilayah
Institute. Rome. Promoting The Conservation Kepulauan. Kerjasama BPTP Maluku, Pemda
and The use of under utilized ang neglected Prov. Maluku, dan Universitas Pattimura;
Crops. 2007 Oktober 29-30; Ambon, Indonesia.
Hetharia, M.E. 2006. Kembali Makan Sagu (Masalah Ambon (ID): Balai Besar Pengkajian dan
dan Tantangan). Dalam M.E. Hetharia, M.J. Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan
Pattinama, J.A. Leatemia, E. Kaya, J.B. Litbang Pertanian. p 154–160.
Alfons, dan M. Titahena (Eds.). Prosiding Schaffner DJ, Schroder WR, Earle MD. 1998. Food
Sagu Dalam Revitalisasi Pertanian Maluku, Marketing. An International Perspective.
Ambon, 29-31 Mei 2006. Kerjasama Boston (US): McGraw Hill.
Pemerintah Provinsi Maluku dengan Fakultas Sialana A. 2008. Teknologi sederhana produksi
Pertanian Universitas Pattimura. Badan tepung sagu kering dan preferensi konsumen
terhadap produk sagu. Di dalam: Alfons JB,
48
JURNAL FAPERTANAK, Volume 4 No 1 Agustus 2019

Papilaya E, Salamena J, Sirappa MP, Raharjo


ST, Girsang W, dan Titahena MLJ, editor.
Prosiding Seminar Nasional Akselerasi
Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi
Mendukung Ketahanan Pangan di Wilayah
Kepulauan. Kerjasama BPTP Maluku, Pemda
Prov. Maluku, dan Universitas Pattimura;
2007 Oktober 29-30; Ambon, Indonesia.
Ambon (ID): Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan
Litbang Pertanian.
Susilowati,S.H., Supadi dan C. Saleh. 2002.
Diversifikasi Sumber Pendapatan Rumah
tangga di Pedesaan Jawa Barat. Jurnal agro
Ekonomi 20 (1) : 85 – 109.
Sugiyono. 2015. Statistik non parametrik untuk
penelitian. Alfabeta. Bandung.
Suhardjo.dkk. 1986. Peranan Gizi dan Pertanian.
Universitas Indonesia. Jakarta.
Tjiptono F. 2008. Strategi Pemasaran. Yogyakarta
(ID): Andi

49

Anda mungkin juga menyukai