Anda di halaman 1dari 38

TUGAS

ILMU DASAR KEPERAWATAN III

MAKALAH

INFEKSI NOSOKOMIAL DI RSUD JAYAPURA

Dosen Pembimbing Mata Kuliah :


Ns.Corinus Suweni, Skep., M.Kep

Disusun oleh :
Delly Yaas
2021082024034

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat limpahan
rahmat dan karunia-Nya, saya dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya. Tidak lupa
saya mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini.

Makalah ini membahas mengenaiInfeksi Nosokomial di RSUD Jayapura. Di dalamnya


berisi tentang makna Nosokomial di Rumah Sakit beserta contohnya yang disusun secara
sistematis untuk memudahkan pembaca dalam memahaminya. Semoga makalah ini dapat
berguna bagi kita semua dalam menambah ilmu pengetahuan.

Dalam penyusunan makalah ini saya menyadari bahwa makalah ini belum sempurna dan
memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu saya membuka dengan luas kritik dan saran dari
pembaca untuk dapat menyempurnakan makalah ini dan untuk penyusuanan selanjutnya yang
lebih baik lagi. Terima kasih.

Jayapura 06 Desember 2021

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Istilah infeksi pada umumnya digunakan untuk mengartikan penumpukan dan
pelipatgandaan bakteri, serta mikro organisme lain dalam jaringan atau pada permukaan tubuh
tempat mereka dapat menyebabkan efek merugikan. Jika respon tuan rumah kecil atau tidak
ada, biasanya disebut kolonisasi. Sepsis berarti hadirnya radang, pembentukan nanah, dan
tanda kesakitan lain dalam luka yang dikolonisasi oleh mikroorganisme serta dalam jaringan
yang padanya infeksi itu telah menyebar.
Nosokomial berasal dari kata Nosos yang berarti penyakit dan kooeo yang berarti
merawat. Nosokomion berarti tempat untuk merawat penyakit atau rumah sakit, sehingga
nosokomial berarti yang berhubungan dengan rumah sakit dan infeksi nosokomial berarti
infeksi yang berasal dari atau terjadi di rumah sakit .
Infeksi Nosokomial merupakan infeksi banyak terjadi pada penderita yang dirawat di
rumah sakit dan merupakan penyebab penyakit kesakitan dan kematian terutama pada
penderita dengan imuno compromise. Secara umum, pasien yang masuk rumah sakit dan
menunjukkan tanda infeksi yang kurang dari 72 jam menunjukkan bahwa masa inkubasi
penyakit telah terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit, dan infeksi yang baru menunjukkan
gejala setelah 72 jam pasien berada dirumah sakit baru disebut infeksi nosokomial.
Infeksi nosokomial ini dapat berasal dari dalam tubuh penderita maupun luar tubuh.
Infeksi endogen disebabkan oleh mikroorganisme yang semula memang sudah ada didalam
tubuh dan berpindah ke tempat baru yang kita sebut dengan self infection atau auto infection,
sementara infeksi eksogen (cross infection) disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal
dari rumah sakit dan dari satu pasien ke pasien lainnya (Siregar, 2004).

Dalam profil kesehatan Indonesia, Departement Kesehatan, 1997 diungkapkan seluruh


rumah sakit di Indonesia berjumlah 1090 dengan 121.996 tempat tidur. Hasil kajian terhadap
100 Rumah Sakit di Jawa dan Bali dan Papua menunjukkan bahwa rata-rata produksi sampah
sebesar 5,2 kg pertempat tidur perhari. Analisa lebih jauh menunjukkan produksi sampah
(Limbah Padat) berupa limbah domestic sebesar 76,8 persen dan berupa limbah infeksius
sebesar 23,2 persen. Diperkirakan secara nasional produksi sampah (Limbah Padat) Rumah
Sakit sebesar 376.089 ton per hari dan produksi air limbah sebesar 48.985,70 ton per hari.
Dari gambaran tersebut dapat dibayangkan betapa besar potensi Rumah Sakit untuk
mencemari lingkungan dan kemungkinan menimbulkan kecelakaan serta penularan penyakit.

Berdasarkan hasil kajian dan pengamatan saya terkait infeksi nasokomial khususnya
pembuangan sampah rumah sakit dan kepatuhan kebersihan tangan perawat di lingkungan
RSUD Jayapura yang dimulai dari tanggal 3 Desember 2021 s/d 6 Desember 2021, didapat
beberapa hal yang menjadi factor pendukung dan penghambat.
Adapun Faktor yang menjadi penndukung bagi pembakaran sampah medis adalah : alat
Generator yang baru dan cukup besar sehingga dapat menampung proses limbah medis yang
banyak, petugas sanitasi yang telah mengikuti pelatihan tentang sanitasi lingkungan rumah
sakit dan PPI, serta petugas yang bersetifikasi dalam mengopersionalkan generator limbah
rumah sakit. Sedangkan factor pendukung bagi perawat dalam pelaksanaan kebersihan tangan
adalah : Kurangnya aktivitas non perawat yang diembankan ke perawat, kepedulian perawat
akan pentingnya kebersihan tangan, hamper 100% perawat telah mengikuti pelatihan Hand
hygiene dan PPI dasar.
Faktor penghambat yang dialami dalam kajian ini adalah petugas yang kurang aktif
memperhatikan kebersihan lingkungan, membuang sampah medis tidak sesuai dengan jenis
nya sehingga menghambat petugas sanitasi untuk memilah dan membakar sampah tersebut.
Adapun hambatan lainnya dimana kumpulan sampah medis yang ditumpuk terlalu banyak
sehingga menjadi menyebabkan polusi. Sedangkan factor penghambat bagi perawat dalam
pelaksanan kebersihan tangan yaitu : beberapa perawat (walau presentasi nya kecil) masih
kurang peduli terhadap pentingnya kebersihan tangan, beberapa perawat sebelum menyentuh
pasien tidak melakukankebersihan tangan terutama saat memasang infus , cateter dan NGT,
namun setelah melakukan tindakan perawat langsung melakukan kebersihan tangan. Beberapa
hal juga terjadi dimana setelah menyentuh area lingkungan RS perawat lupa melakukan
keberisihan tangan serta kurang tersedianya instrument kebersihan tangan (hand sanitizer,
sabun cuci tangan, air bersih , sarung tangan dll)
Pengelolaan limbah rumah sakit yang sudah lama diupayakan dengan menyiapkan
perangkat lunaknya yang berupa peraturan-peraturan, pedoman-pedoman dan kebijakan-
kebijakan yng mengatur pengelolaan dan peningkatan kesehatan dilingkungan rumah sakit.
Disamping peraturan-peraturan tersebut secara bertahap dan berkesinambungan Departemen
Kesehatan terus mengupayakan dan menyediakan dan untuk pembangunan insilasi
pengelolaan limbah rumah sakit melalui anggaran pembangunan maupun dari sumber
bantuan dana lainnya. Dengan demikian sampai saat ini sebagai rumah sakit pemerintah telah
dilengkapi dengan fasilitas pengelolaan limabah, meskipun perlu untuk disempurnakan.
Namun disadari bahwa pengelolaan limbah rumah sakit masih perlu ditingkatkan
permasyarakatan terutama dilingkungan masyarakat rumah sakit. (Depkes RI, 1992). Adapun
penyakit -penyakit yang disebabkan oleh infeksi nasokkomial di lingkungan RSUD jayapura
yaitu : ISK , ILO dan Pneumonia dengan presentasi yang tidak dapat penulis sampaikan
karena data tersebut tidak diberikan oleh PPI. Namun penulis tetap melihat bahwa kedua hal
ini menjadi penting untuk lakukan kajian khusus.
Berdasarkan kajian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan kajian tentang “
Kesadaran perawat dalam melakukan hand hygiene dan Pengelolahan limbah RSUD
jayapura”

B. Tujuan Penulisan
Rumah sakit dapat mengetahui , menganalisa dan melakukan pencegahan terhadap kejaidan
infeksi nasokomial di linkungan RSUD Jayapura
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Defisni
Infeksi Nosokomial (Nosocomial Infections atau Hospital-Acquired Infections) adalah
suatu infeksi yang diperoleh/dialami pasien selama dia dirawat di rumah sakit dan infeksi itu
tidak ditemukan/diderita pada saat pasien masuk rumah sakit
Infeksi Nosokomial sangat nyata merupakan penyebab kesakitan dan kematian. Infeksi
nosokomial dapat terjadi oleh karena tindakan instrumenisasi ataupun intervensi pada saat
dirawat di rumah sakit, misalnya pemasangan kateter, infus, tindakan-tindakan operatif
lainnya.
Infeksi oportunistik terjadi pada penderita yang mengalami immuno compromise yang
dirawat di rumah sakit, infeksi biasa berasal dari luar dan dari dalam penderita sendiri yang
disebabkan oleh kerusakan barier mukosa.
Infeksi nosokomial transmisi berasal dari dokter, perawat dan pelayan medik yang lain
bisa berasal dari tangan yang tidak steril, infeksi dari makanan, minuman atau ventilasi,
kateter dan alat endoscope ataupun tindakan invasif yang lain.
Infeksi Nosokomial mempunyai angka kejadian 2 – 12% (rata-rata 5%) dari semua
penderita yang dirawat di rumah sakit. Angka kematian 1-2 % dari semua kasus yang dirawat
di rumah sakit di USA 1,5 juta pertahun dan meninggal 15.000 orang.
Organisasi utama yang menyebabkan infeksi nosokomial meliputi Pseudomonas
aeruginosa (13%), Staphylococcus aereus (12%), staphylococcus koagulase-negatif (10%),
Candida (10%), enterococci (9%), dan enterobacter (8%). Di negara berkembang angka
kejadian infeksi Nosokomial belum bayak diketahui dengan pasti (Siregar, 2004).

B. Pentingnya Infeksi Nosokomial


Survei prevalensi (jumlah pasien penyakit tertentu) infeksi rumah sakit pada banyak
negara, menunjukkan bahwa kira-kira seorang dalam sepuluh pasien di rumah sakit telah
memperoleh infeksi dan sejumlah infeksi yang serupa yang diperoleh masyarakat. Infeksi
nosokomial utama yang diperoleh adalah saluran urin, luka bedah, saluran nafas bagian
bawah, pneumonia, bakterimia dan kulit. Frekuensi dan keparahan beragam dengan umur
pasien, jenis operasi dalam kasus bedah, lama waktu katerisasi (urin dan vaskular),
pengobatan imuno supresif (penghambatan reaksi imunitas, pencegahan atau usaha
pengurangan respon rentan, misalnya dengan penyinaran).
Pentingnya infeksi rumah sakit dapat dipertimbangkan, berkenaan dengan kesakitan
pasien dan dengan perpanjangan hospitalisasi. Kesakitan disebabkan infeksi rumah sakit
dewasa ini jarang menyebabkan kematian, walaupun hal ini dapat trejadi pada pasien dengan
resistensi yang lemah (misalnya, pasien dengan luka bakar yang luas) atau dari organisme
sangat patogen (misalnya, beberapa strain virus hepatitis B). Biaya suatu perpanjangan tinggal
di rumah sakit adalah suatu ukuran biaya infeksi yang baik, walaupun itu menunjukkan
pengurangan sejumlah tempat tidur yang tersedia bagi pasien daftar tunggu daripada suatu
biaya sebenarnya yang meningkat pada rumah sakit (Siregar, 2004).

C. Batasan-Batasan Yang Dipakai Untuk Infeksi Nosokomial


Infeksi Nosokomial adalah infeksi yang didapat penderita selama/oleh karena dia
dirawat di rumah sakit. Suatu infeksi pada penderita baru bisa dinyatakan sebagai infeksi
nosokomial bila memenuhi beberapa kriteria/batasan tertentu :
1. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda-tanda klinik
dari infeksi tersebut.
2. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak sedang dalam masa inkubasi
dari infeksi tersebut.
3. Tanda-tanda klinik infeksi tersebut baru timbul sekurang-kurangnya setelah 3 x 24 jam
sejak mulai perawatan.
4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa dari infeksi sebelumnya.
5. Bila saat mulai dirawat di rumah sakit sudah ada tanda-tanda infeksi, dan terbukti infeksi
tersebut didapat penderita ketika dirawat di rumah sakit yang sama pada waktu lalu, serta
belum pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokomial (Siregar, 2004).
Dampak
Infeksi nosokomial memberikan dampak sebagai berikut :
1. Meningkatnya lama hari rawat
2. Biaya perawatan semakin besar
3. Morbiditas dan mortalitas semakin tinggi
4. Penurunan mutu pelayanan rumah sakit
5. Adanya tuntutan secara hukum
6. Penurunan citra rumah sakit
Rantai penularan
Infeksi nosokomial mulai dengan penyebab (di bagian tengah gambar berikut),
yang ada pada sumber. Kuman keluar dari sumber melalui tempat tertentu, kemudian
dengan cara penularan tertentu masuk ke tempat tertentu di pasien lain. Karena banyak
pasien di rumah sakit rentan terhadap infeksi (terutama ODHA yang mempunyai sistem
kekebalan yang lemah), mereka dapat tertular dan jatuh sakit ‘tambahan’. Selanjutnya,
kuman penyakit ini keluar dari pasien tersebut dan meneruskan rantai penularan lagi.

D. Berbagai Faktor Yang Terlibat Dalam Infeksi Rumah Sakit

Kejadian dan berbagai efek infeksi rumah sakit, pada dasarya bergantung pada
mikrorganisme, tuan rumah (pasien dan staf), lingkungan dan pengobatan.

1. Mikroorganisme agen infeksi


Walaupun sebenarnya, setiap infeksi dapat diperoleh dari pasien atau staf rumah
sakit, ada beberapa organisme patogen tertentu yang terutama berkaitan dengan infeksi
rumah sakit dan beberapa yang jarang menyebabkan infeksi dalam lingkungan lain.
Peranan mereka sebagai penyebab infeksi rumah sakit, bergantung pada patogenitas aau
virulensi (kemampuan dari spesies atau strain menyebabkan penyakit), dan pada jumlah
mereka, juga bergantung pada ketahanan pasien, dan karena banyak pasien dalam rumah
sakit yang resistensinya kurang, disebabkan oleh penyakit atau pengobatan mereka,
organisme yang relatif tidak berbahaya pada orang sehat dapat menyebabkan penyakit
dalam rumah sakit. Organisme oportunistik demikian (misalnya Pseudomonas aeruginosa)
biasanya resisten terhadap banyak antibiotik dan mampu tumbuh dengan subur dibawah
kondisi yang di dalamnya kebanyakan organisme penyebab penyakit tidak dapat
berkembang.

Pada pasien yang sangat rentan, pasien yang menglami transplantasi, pasien yang
terinfeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan pasien yang memerlukan
kemoterapi yang diperpanjang, beberapa mycobacteria, fungi (misalnya, Candida albicans,
Aspergilli, dan Cryptococcus neoformans), virus (misalnya, Herpes simplex dan
cytomegalovirus) dan protozoa (misalnya, Pneumocystis carinii) adalah penyebab infeksi
berat dan sering menimbulkan kematian. Cryptosporidia adalah penyebab diare berat pada
pasien dengan infeksi HIV.

Perjangkitan infeksi (infeksi epidemik) dapat disebabkan oleh agen (zat, kekuatan
atau prinsip yang dapat menimbulkan efek) penyakit infeksi tertentu, biasanya disebabkan
masuknya pasien terinfeksi atau hadirnya suatu pembawa dalam ruang perawatan.
Perjangkitan infeksi ini dapat juga terjadi melalui kesalahan luar biasa dalam suplai aseptis
atau steril (misalnya kontaminasi tetes mata atau cairan infus).

Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme selama ia rawat di rumah


sakit. Kontak antara pasien dan berbagai macam mikroorganisme ini tidak selalu
menimbulkan gejala klinis karena banyaknya faktor lain yang dapat menyebabkan
terjadinya infeksi nosokomial. Kemungkinan terjadinya infeksi tergantung pada:

• karakteristik mikroorganisme
• resistensi terhadap zat-zat antibiotika
• tingkat virulensi
• banyaknya materi infeksius
Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit dapat
menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang
didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora normal dari pasien itu
sendiri (endogenous infection). Kebanyakan infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih
disebabkan karena faktor eksternal, yaitu penyakit yang penyebarannya melalui makanan
dan udara dan benda atau bahan-bahan yang tidak steril. Penyakit yang didapat dari rumah
sakit saat ini kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya selalu ada pada
manusia yang sebelumnya tidak atau jarang menyebabkan penyakit pada orang normal.
a. Bakteri
Bakteri dapat ditemukan sebagai flora normal dalam tubuh manusia yang sehat.
Keberadaan bakteri disini sangat penting dalam melindungi tubuh dari datangnya bakteri
patogen. Tetapi pada beberapa kasus dapat menyebabkan infeksi jika manusia tersebut
mempunyai toleransi yang rendah terhadap mikroorganisme. Contohnya Escherichia coli
paling banyak dijumpai sebagai penyebab infeksi saluran kemih. Bakteri patogen lebih
berbahaya dan menyebabkan infeksi baik secara sporadik maupun endemik. Contohnya :
• Anaerobik Gram-positif, Clostridium yang dapat menyebabkan gangren
• Bakteri gram-positif: Staphylococcus aureus yang menjadi parasit di kulit dan hidung
dapat menyebabkan gangguan pada paru, pulang, jantung dan infeksi pembuluh darah
serta seringkali telah resisten terhadap antibiotika.
• Bakteri gram negatif: Enterobacteriacae, contohnya Escherichia coli, Proteus,
Klebsiella, Enterobacter. Pseudomonas sering sekali ditemukan di air dan penampungan
air yang menyebabkan infeksi di saluran pencernaan dan pasien yang dirawat. Bakteri
gram negatif ini bertanggung jawab sekitar setengah dari semua infeksi di rumah sakit.
• Serratia marcescens, dapat menyebabkan infeksi serius pada luka bekas jahitan, paru,
dan peritoneum.
b. Virus
Banyak kemungkinan infeksi nosokomial disebabkan oleh berbagai macam virus, termasuk
virus hepatitis B dan C dengan media penularan dari transfusi, dialisis, suntikan dan
endoskopi. Respiratory syncytial virus (RSV), rotavirus, dan enteroviruses yang ditularkan
dari kontak tangan ke mulut atau melalui rute faecal-oral. Hepatitis dan HIV ditularkan
melalui pemakaian jarum suntik, dan transfusi darah. Rute penularan untuk virus sama
seperti mikroorganisme lainnya. Infeksi gastrointestinal, infeksi traktus respiratorius,
penyakit kulit dan dari darah. Virus lain yang sering menyebabkan infeksi nosokomial
adalah cytomegalovirus, Ebola, influenza virus, herpes simplex virus, dan varicella-zoster
virus, juga dapat ditularkan.
c. Parasit dan Jamur
Beberapa parasit seperti Giardia lamblia dapat menular dengan mudah ke orang dewasa
maupun anak-anak. Banyak jamur dan parasit dapat timbul selama pemberian obat
antibiotika bakteri dan obat immunosupresan, contohnya infeksi dari Candida albicans,
Aspergillus spp, Cryptococcus neoformans, Cryptosporidium.
d. Infection by direct or indirect contact
Infeksi yang terjadi karena kontak secara langsung atau tidak langsung dengan penyebab
infeksi. Penularan infeksi ini dapat melalui tangan, kulit dan baju, seperti golongan
staphylococcus aureus. Dapat juga melalui cairan yang diberikan intravena dan jarum
suntik, hepatitis dan HIV. Peralatan dan instrumen kedokteran. Makanan yang tidak steril,
tidak dimasak dan diambil menggunakan tangan yang menyebabkan terjadinya cross
infection.

2. Tuan Rumah (Pasien atau Anggota Staf)


Kerentanan tuan rumah dan virulensi (derajat patogenitas suatu mikroorganisme,
diukur dengan derajat kemajuan menimbulkan penyakit). Seorang pasien dapat memiliki
resistensi umum yang lemah, misalnya pada bayi, sebelum antibodi terbentuk dan apabila
jaringan yang menghasilkan antibodi belum sempurna dikembangkan, atau resistensi lemah
mungkin berhubungan dengan penyakit (seperti diabetes atau leukemia yang tidak terkendali
atau luka bakar yang parah), atau dengan gizi yang buruk, atau dengan bentuk pengobatan
tertentu, seperti penggunaan obat-obat imunosupresif yang diberikan untuk mencegah
penolakan organ yang ditransplantasi atau kemoterapi kanker. Resistensi umum juga dapat
dikurangi oleh infeksi, contoh ekstrim adalah infeksi HIV.
Pasien dapat juga mempunyai resistensi lokal yang lemah karena suplai darah yang
tidak sempurna ke jaringan, atau karena kehadiran jaringan mati atau pembekuan darah dan
bakteri dapat hidup tanpa gangguan pertahanan alami, benda asing termasuk benang bedah
dan prosthesis (pengganti alat tubuh yang hilang dengan alat palsu) juga meningkatkan
kerentanan jaringan terhdap sepsis lokal. Operasi bedah dan operasi instrumentasi (misalnya
kateterisasi) memungkinkan masuknya bakeri ke jaringan yang biasanya dilindungi terhadap
kontaminasi. Beberapa dari ini, terutama dalam rongga mata, meninges, tulang sendi,
endokardium, dan saluran urin, mempunyai resisensi yang rendah terhadap infeksi dengan
organisme oportunistik.
Tidak saja pasien, tetapi staf (termasuk staf laboratorium) dapat terpapar pada bahaya
khusus infeksi dengan organisme virulen. Resiko infeksi diantara anggota staf melalui
kontaminasi dengan darah dan eksudat (campuran serum, sel atau sel yang rusak yang keluar
dari pembuluh darah ke dalam jaringan, biasanya akibat radang), pasien dengan hepatitis B
(HBV) atau HIV telah mendapat perhatian dalam tahun-tahun terakhir ini. Risiko dalam
kebanyakan rumah sakit sangat rendah, tetapi ketakutan terhadap AIDS telah dikaitkan
dengan suatu respon yang berlebihan.
Faktor terpenting yang mempengaruhi tingkat toleransi dan respon tubuh pasien adalah:
• Umur
• status imunitas penderita
• penyakit yang diderita
• Obesitas dan malnutrisi
• Orang yang menggunakan obat-obatan immunosupresan dan steroid
• Intervensi yang dilakukan pada tubuh untuk melakukan diagnosa dan terapi.
Usia muda dan usia tua berhubungan dengan penurunan resistensi tubuh terhadap
infeksi kondisi ini lebih diperberat bila penderita menderita penyakit kronis seperti tumor,
anemia, leukemia, diabetes mellitus, gagal ginjal dan AIDS. Keadaan-keadaan ini akan
meningkatkan toleransi tubuh terhadap infeksi dari kuman yang semula bersifat
opportunistik. Obat-obatan yang bersifat immunosupresif dapat menurunkan pertahanan
tubuh terhadap infeksi. Banyaknya prosedur pemeriksaan penunjang dan terapi seperti
biopsi, endoskopi, kateterisasi, intubasi dan tindakan pembedahan juga meningkatkan
resiko infeksi.
Tabel 1. Penyebab Infeksi Nosokomial
Bakteri Gram Positif Staphylococcus aureus
Staphylococcus Koagulase
Enterococcus
Bakteri Gram Negatif Escherichia coli
Proteus mirabilis
Klebsiella enterobacter
Pseudomonas sp
Bacteriosies sp
Jamur Cardioda sp
Aspergillus sp
Virus Hepatitis A,B, C
HIV
Sitomegalo
Virus saluran pernafasan
Herpes simplek

3. Lingkungan

Tempat ketika pasien ditangani mempunyai suatu pengaruh penting pada


kemungkinan infeksi yang diperolehnya serta pada sifat infeksi demikian. Suatu keragaman
mikroorganisme yang luas, termasuk strain virulen, mungkin ditemui dalam rumah sakit
tempat banyak orang, termasuk beberapa dengan infeksi, dikumpulkan. Organisme ini
kemungkinan mencakup sebagian besar bakteri resisten antibiotika yang dapat tumbuh
dengan subur yang penggunaan antibiotika ditujukan untuk penindasan bakteri yang peka.

Berbagai lokasi rumah sakit yang berbeda mempunyai bahaya infeksi tersendiri.
Dalam meja bedah, terdapat suatu bahaya khusus infeksi luka karena pemaparan sering
dalam beberapa jam dan jaringan yang rentan, dan kehadiran sejumlah kemungkinan sumber
manusia serta benda mati. Dalam ruangan, pasien dapat terpapar pada kontaminan untuk
beberapa minggu, luka bedah terbuka, biasanya dilindungi oleh suatu bentuk tutup.
Walaupun hal ini tidak sempurna pada banyak pasien, terutama pasien dengan drainase
(suatu bahan kasa atau selang karet untuk mengeluarkan cairan keluar dari suatu luka atau
rongga).

Bahaya khusus terdapat dalam ruang neonatus melalui kemungkinan kontaminasi


makanan, alat penyedotan dan resusitasi (usaha menghidupkan kembali dengan nafas buatan
atau pijat dan rangsang jantung), dll., dan karena penanganan bayi yang sering dan berbagai
masalah yang sama terdapat dalam unit pelayanan intensif dan ruang perawatan luka bakar.
Dalam rumah sakit penyakit infeksi, terdapat suatu bahaya khusus infeksi rumah sakit
dengan agen penyakit menular akut. Suatu tujuan dalam pengendalian infeksi rumah sakit
adalah untuk memaparkan semua pasien kepada lingkungan yang paling sedikit bebas dari
bahaya mikrobia, seperti yang mereka dapati di luar rumah sakit.

E. Upaya Pencegahan Infeksi Nasokomial


Pencegahan dari infeksi nosokomial ini diperlukan suatu rencanan yang terintegrasi,
monitoring dan program yang termasuk:
• Membatasi transmisi organisme dari atau antar pasien dengan cara mencuci tangan dan
penggunaan sarung tangan, tindakan dan aseptic, strerilisasi dan desinfektan.
• Mengontrol resiko penularan dari lingkungan
• Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang adekuat, nutrisi yang cukup dan
vaksinasi.
• Membatasi resiko infeksi endogen dengan meminimalkan prosedur invasive.
• Pengawasan infeksi, identifikasi penyakit dan mengontrol penyebarannya.

1) Dekontaminasi tangan
Transmisi penyakit melalui tangan dapat diminimalisasi dengan hyegene dari tangan. Tetapi
pada kenyataannya, hal ini sulit dilakukan dengan benar, karena banyaknya alasan seperti
kurangnya peralatan, alergi produk pencuci tangan, sedikitnya pengetahuan mengenai
pentingnya hal ini, dan waktu mencuci tangan yang lama. Selain itu, penggunaan sarung
tangan sangat dianjurkan bila akan melakukan tindakan atau pemeriksaan pada pasien
dengan penyakit-penyakit infeksi. Hal yang perlu diingat adalah: memakai sarung tangan
ketika akan mengambil atau menyentuh darah, cairan tubuh, atau keringat, tinja, urin,
membrane mukosa dan bahan yang kita anggap telah terkontaminasi, dan segera mencuci
tangan setelah melepas sarung tangan.

2) Instrumen yang sering digunakan Rumah Sakit


Simonsen et al (1999) menyimpulkan bahwa lebih dari 50% suntikan yang dilakukan di
Negara berkembang tidaklah aman (contohnya jarum, tabung atau keduanya yang dipakai
berulang-ulang) dan banyaknya suntikan yang tidak penting (misalnya penyuntikan
antibiotika). Untuk mencegah penyebaran penyakit melalui jarum suntik maka diperlukan:
• Pengurangan penyuntikan yang kurang diperlukan
• Pergunakan jarum steril
• Penggunaan alat suntik yang disposable.
Masker, sebagai pelindung terhadap penyakit yang ditularkan melalui udara. Begitu
pun dengan pasien yang menderita infeksi saluran nafas, mereka harus menggunakan
masker saat keluar dari kamar penderita
Sarung tangan, sebaiknya digunakan terutama ketika menyentuh darah, cairan
tubuh, feses maupun urine. Sarung tangan harus selalu diganti untuk tiap pasiennya.
Setelah membalut luka atau terkena benda yang kotor, sarung tangan harus segera diganti.
Baju khusus juga harus dipakai untuk melindungi kulit dan pakaian selama kita
melakukan suatu tindakan untuk mencegah percikan darah, cairan tubuh, urin dan feses.

3) Mencegah penularan dari lingkungan rumah sakit


Pembersihan yang rutin sangat penting untuk meyakinkan bahwa rumah sakit sangat bersih
dan benar-benar bersih dari debu, minyak dan kotoran. Perlu diingat bahwa sekitar 90 %
dari kotoran yang terlihat pasti mengandung kuman. Harus ada waktu yang teratur untuk
membersihkan dinding, lantai, tempat tidur, pintu, jendela, tirai, kamar mandi, dan alat-alat
medis yang telah dipakai berkali-kali.
Pengaturan udara yang baik sukar dilakukan di banyak fasilitas kesehatan. Usahakan adanya
pemakaian penyaring udara, terutama bagi penderita dengan status imun yang rendah atau
bagi penderita yang dapat menyebarkan penyakit melalui udara. Kamar dengan pengaturan
udara yang baik akan lebih banyak menurunkan resiko terjadinya penularan tuberkulosis.
Selain itu, rumah sakit harus membangun suatu fasilitas penyaring air dan menjaga
kebersihan pemrosesan serta filternya untuk mencegahan terjadinya pertumbuhan bakteri.
Sterilisasi air pada rumah sakit dengan prasarana yang terbatas dapat menggunakan panas
matahari.
Toilet rumah sakit juga harus dijaga, terutama pada unit perawatan pasien diare untuk
mencegah terjadinya infeksi antar pasien. Permukaan toilet harus selalu bersih dan diberi
disinfektan.
Disinfektan akan membunuh kuman dan mencegah penularan antar pasien.
Disinfeksi yang dipakai adalah:
• Mempunyai kriteria membunuh kuman
• Mempunyai efek sebagai detergen
• Mempunyai efek terhadap banyak bakteri, dapat melarutkan minyak dan protein
• Tidak sulit digunakan
• Tidak mudah menguap
• Bukan bahan yang mengandung zat yang berbahaya baik untuk petugas maupun pasien
• Efektif
• tidak berbau, atau tidak berbau tak enak

4) Perbaiki ketahanan tubuh


Di dalam tubuh manusia, selain ada bakteri yang patogen oportunis, ada pula bakteri yang
secara mutualistik yang ikut membantu dalam proses fisiologis tubuh, dan membantu
ketahanan tubuh melawan invasi jasad renik patogen serta menjaga keseimbangan di antara
populasi jasad renik komensal pada umumnya, misalnya seperti apa yang terjadi di dalam
saluran cerna manusia. Pengetahuan tentang mekanisme ketahanan tubuh orang sehat yang
dapat mengendalikan jasad renik oportunis perlu diidentifikasi secara tuntas, sehingga dapat
dipakai dalam mempertahankan ketahanan tubuh tersebut pada penderita penyakit berat.
Dengan demikian bahaya infeksi dengan bakteri oportunis pada penderita penyakit berat
dapat diatasi tanpa harus menggunakan antibiotika.
5) Ruangan Isolasi
Penyebaran dari infeksi nosokomial juga dapat dicegah dengan membuat suatu pemisahan
pasien. Ruang isolasi sangat diperlukan terutama untuk penyakit yang penularannya melalui
udara, contohnya tuberkulosis, dan SARS, yang mengakibatkan kontaminasi berat.
Penularan yang melibatkan virus, contohnya DHF dan HIV. Biasanya, pasien yang
mempunyai resistensi rendah eperti leukimia dan pengguna obat immunosupresan juga perlu
diisolasi agar terhindar dari infeksi. Tetapi menjaga kebersihan tangan dan makanan,
peralatan kesehatan di dalam ruang isolasi juga sangat penting. Ruang isolasi ini harus
selalu tertutup dengan ventilasi udara selalu menuju keluar. Sebaiknya satu pasien berada
dalam satu ruang isolasi, tetapi bila sedang terjadi kejadian luar biasa dan penderita melebihi
kapasitas, beberapa pasien dalam satu ruangan tidaklah apa-apa selama mereka menderita
penyakit yang sama.

F. Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial


Secara umum di bagi dua :
1. Faktor endogen antara lain umur, jenis kelamin, penyakit penyerta, daya tahan tubuh, dan
kondisi-kondisi lokal.
2. Faktor eksogen antara lain lama penderita dirawat, kelompok yang merawat, alat medis,
serta lingkungan.
G. Prinsip Pegendalian Infeksi
Pasien dilindungi terhadap infeksi dalam rumah sakit oleh suatu sistem berbagai metode,
termasuk bedah asepsis dan higienen rumah sakit.
1. Untuk menghilangkan berbagai sumber atau smber infeksi yang mungkin, hal ini
mencakup penanganan pasien yang terinfeksi, demikian juga mensterilkan, mendisinfeksi
dan membersihkan bahan serta permukaan yang terkontaminasi.
2. Untuk merintangi rute perpindahan bakteri dari sumber dan reservoir, mungkin pada pasien
yang tidak terinfeksi, mencakup mengisolasi pasien yang terinfeksi atau pasien yang
rentan, operasi aseptik dan terutama mencucu tangan.
3. Untuk meningkatkan resistensi pasien terhadap infeksi (misalnya selama operasi dengan
penanganan jaringanyang teliti serta menghilangkan bagian tubuh yang mengelupas dan
asing, juga dengan meningkatkan pertahanan umum, seperti pengendalian diabetes,
pemberdayaan imunitas terhadap tetanus, serta penggunaan profilaksis antibiotik jika dan
bila hal ini diusulkan.
Adanya pemahaman yang meningkat, pentingnya faktor pribadi dalam mencegah
infeksi rumah sakit, dan perlunya pengertian yang tepat tentang fakta itu oleh semua
anggota staf rumah sakit. Walaupun subjek itu rumit dan melibatkan banyak disiplin,
pemikiran dasar adalah sederhana dan banyak rincian asepsis dapat dibuat lebih mudah
oleh berbagai bentuk standardisasididasarkan pada bukti keefektifan dan kepraktisan.
H. Tim Pengendali Infeksi
Anggota Tim Pengendali Infeksi
Tim pengendali infeksi di rumah sakit terdiri atas anggota staf rumah sakit yang
berminat dan berpengetahuan khusus pada pengendalian infeksi dalam rumah sakit.. Tim
terdiri atas dokter pengendali infeksi, perawat pengendali infeksi, apoteker rumah sakit, dan
bila tersedia seorang anggota dari staf ilmiah atau staf teknis yang bertanggung jawab dalam
pengendalian infeksi. Dalam rumah sakit yang besar, lebih dari seorang dokter atau perawat
dapat diangkat menjadi anggota. Ketua tim adalah dokter pengendali infeksi yaitu dokter
patologi dan mikrobiologis.
Dokter Pengendali Infeksi
Dokter pengendali infeksi, adalah seorang anggota senior staf medis yang dengan
mudah berakses ke berbagai komite di rumah sakit dan mempunyai otoritas yang cukup untuk
memberi perintah pada semua kategori staf. Ia harus mempunyai minat dan pelatihan khusus
dalam infeksi rumah sakit dan memahami perkembangan mutakhir dalam masalah ini.
Mikrobiologis. Fungsi dokter pengendali infeksi bersama-sama dengan anggota tim lain
adalah mengkaji resiko infeksi ,memberi nasihat tentang tindakan pencegahan dan memeriksa
efikasinya dalam semua bagian rumah sakit, termasuk katering, binatu, bagian pelayanan
steril, IPRS, bagian engineering, ruang perawatan, klinik, dan semua lokasi bagian rumah
sakit.
Tanggung Jawab Tim Pengendali Infeksi
Tanggung jawab tim pengendali infeksi adalah, antara lain untuk:
1. Memantau infeksi dan dan metode pengendalian, mengidentifikasi, dan mengidentifikasi
dengan cepat perjangkitan (outbreak)atau berbagai prosedur bahaya yang mungkin;
2. Menyediakan petunjuk tentang mengisolasi pasien terinfeksi dan berbagai prosedur bahaya
atau prosedur yang tidak efektif;
3. Memberi petunjuk, membuat keputusan dari hari ke hari, dan menjalin hubungan dengan
staf di semua lokasi dalam rumah sakit tempat resiko infeksi yang mungkin terjadi.
4. Menyediakan kebijakan pemantauan dan evaluasi untuk pencegahan infeksi dan
penyebarannya.
5. Mengomunikasikan dan menyediakan informasi yang segera tersdia bagi staf, tentang
tindakan dari pengendalian infeksi.
Tugas Sehari-Hari Perawat Pengendali Infeksi
Tugas sehari-hari perawat pengendali infeksi dapat mencakup berbagai hal berikut
1. Mengidentifikasi secepat mungkin bahaya infeksi yang mngkin dalam pasien, staf, atau
peralatan.
2. Mengumpulkan berbagai rekaman pasien yang terinfeksi dari pemberitahuan ruang, catatan
kasus, laporan laboratorium, dan informasi yang dikumpulkan dalam unjungan dan diskusi
rutin.
3. Mengatur pengisolasian dengan cepat, pasien yang terinfeksi (bekerja sama dengan perawat
petugas ruang dan konsultan yang mempunyai tanggung jawab mula) sesuai dengan
kebijakan rumah sakit dan memastikan bahwa ada fasilitas yang memadai untuk mengisolasi
pasien, melakukan tindakan lain yang diperlukan untuk mencegah penyebaran infeksi atau
organisme yang sangat resisten terhadap antibiotika.
4. Mengecek dengan menginspeksi bahwa prosedur pengendalian infeksi dan aseptik telah
dilaksanakan sesuai dengan kebijakan rumah sakit.
5. Menghubungkan antara laboratorium dan staf ruang; memberi informasi pada kepala bagian
dan memberikan nasihat tentang masalah pengendalian infeksi.
6. Melakukan kerjasama dengan staf kesehatan okupasi (occupational health staf) dalam
pemeliharaan rekaman infeksi staf medis, perawat, katering, domestik, dan berbagai
golongan staf lainnya yang terinfeksi; memastikan spesimen bersihan (Clearance spesiments)
diambil sebelum staf terinfeksi kembali bertugas.
7. Melakukan kerjasama dengan dan memberi petunjuk kepada perawat komunitas tentang
berbagai masalah infeksi.
8. Memberi informasi segera melalui telepon, tentang penyakit yang harus diberitahukan
(notifiable) kepada petugas kesehatan masyarakat.
9. Memberitahu berbagai rmah sakit lain, praktisi lain, dan lain-lain yang berkepentingan ketika
pasien yang terinfeksi dibebaskan dari rumah sakit atau dipindahkan ke tempat lain, dan
menerima informasi yang relevan dari rumah sakit lain atau dari komunitas apabila perlu.
10. Melakukan partisipasi dalam edukasi dan demonstrasi praktis tentang teknik pengendalian
infeksi kepada staf medis, perawat domestik, katering, pembantu, dan staf lainnya.
11. Memberitahu perawat tentang masalah dan kesulitan praktis dalam melaksanakan prosedur
rutin yang berkaitan dengan aspek perawatan pengendalian infeksi.
12. Menghadiri berbagai komite relevan yang biasanya mengendalikan infeksi dari berbagai
komite prosedur perawatan.
13. Melakukan perundingan dengan pimpinan pelayanan steril, tentang infeksi tertentu dalam
rumah sakit (misalnya HBV = Hepatitis B virus).
Selama ini rerawat pengendali infeksi bekerjasama dengan berbagai komite anggota tim
investigasi perjangitan (outbreak) penyakit, mengadakan survey, mengunjungi dapur dan
perusahaan katering, memantau unit khusus, mengumpulkan sampel mikrobiologi, menyiapkan
laporan untuk komite pengendalian infeksi, klinis, pimpinan rumah sakit, dan membantu dalam
proyek penelitian.

I. Komite Pengendali Infeksi


Komite Pengendali Infeksi dari rumah sakit umum mempunyai perwakilan dari semua
bagian dan SMF utama yang bersangkutan dengan pengendalian infeksi, yakni medis,
keperawatan, kesehatan okupasi, bagian enginering, IPRS, bagian suplai, sentra sterilisasi,
katering, mirobiologi, administrasi, kesehatan masyarakat, dan juga tim pengendali infeksi.
Ketua komite dapat juga kepala pengendali infeksi, tetapi dapat seorang klinisis yang
berminat dalam pengendalian infeksi. keuntungan utama suatu komite yang besar adalah
edukasi dan memastikan komunikasi yang memadai antara berbagai departemen (bagian)
yang berbeda. Namun, keputusan utama akan diambil oleh tim pengendali infeksi tentang
masalah rumah sakit. Tugas dan fungsi komite adalah sebagai berikut;
1. Mendiskusikan setiap masalah yang dibawa kepada kepada komite oleh dokter pengendali
infeksi, perawat, apoteker, atau oleh anggota komite lainnya.
2. Mengambil tanggung jawab utuk keptusan besar.
3. Menerima laporan tentang masalah mutakhir dan tentang timbulnya infeksi, serta
mengevaluasi berbagai laporan lain yang mencakup resiko infeksi (misalnya, infeksi
dapur)
4. Mengatur koordinasi dan edukasi antar departemen dalam pengendalian infeksi (karena itu
adalah bermanfaat mempunyai seorang anggota perwakilan dengan berbagai minat).
5. Mengajukan, memelihara dan apabila perlu memodifikasi berbagai kebijakan, (misalnya,
desinfektan, antibiotika dan isolasi)
6. Memberi petunjuk tentang seleksi peralatan untuk pencegahan infeksi (misalnya, kotak
pembuangan benda tajam).
7. Membuat rekomendasi kepada berbagai komite lain dan berbagai bagian lain (SMF)
tentang tekhnik pengendalian infeksi.
8. Memberi petunjuk /masukan kepada pejabat kesehatan tentang semua aspek pengendalian
infeksi dan membuat rekomendasi untuk penggunaan berbagai sumber.
9. Mengembangkan standar terdokumentasi untuk sanitasi dan asepsis ruah sakit.
10. Mengembangkan, menyebarkan berbagai prosedur dan tekhnik untuk memenuhi standar,
serta memantau kepatuhan pada prosedur dan tekhni tersebut.
11. Mengembangkan dan menerapkan suatu sistem untuk memperoleh, pelaporan dan
mengevaluasi data tentang infeksi pada pasien serta populasi personl rumah sakit.
12. Mengembangkan dan menerapkan, dengan bekerja sama dengan PFT, suatu sistem untuk
surveilan rutin dan mengkaji penggunaan antimikroba dalam rumah sakit.

J. Pengendalian Sampah Dan Limbah Di Rumah Sakit

Dalam upaya menigkatkan derajat kesehatan masyarakat, khususnya di kota-kota besar


semakin meningkat pendirian rumah sakit (RS). Sebagai akibat kualitas efluen limbah rumah
sakit tidak memenuhi syarat. Limbah rumah sakit dapat mencemari lingkungan penduduk di
sekitar rumah sakit dan dapat menimbulkan masalah kesehatan. Hal ini dikarenakan dalam
limbah rumah sakit dapat mengandung berbagai jasad renik penyebab penyakit pada manusia
termasuk demam typoid, kholera, disentri dan hepatitis sehingga limbah harus diolah sebelum
dibuang ke lingkungan (BAPEDAL, 1999).

Sampah dan limbah rumah sakit adalah semua sampah dan limbah yang dihasilkan oleh
kegiatan rumah sakit dan kegiatan penunjang lainnya. Secara umum sampah dan limbah rumah
sakit dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu sampah atau limbah klinis dan non klinis baik
padat maupun cair. Bentuk limbah klinis bermacam-macam dan berdasarkan potensi yang
terkandung di dalamnya dapat dikelompokkan sebagai berikut :

• Limbah benda tajam adalah obyek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi, ujung atau
bagian menonjol yang dapat memotong atau menusuk kulit seperti jarum hipodermik,
perlengkapan intravena, pipet pasteur, pecahan gelas, pisau bedah. Semua benda tajam ini
memiliki potensi bahaya dan dapat menyebabkan cedera melalui sobekan atau tusukan.
Benda-benda tajam yang terbuang mungkin terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan
mikrobiologi, bahan beracun atau radio aktif.
• Limbah infeksius mencakup pengertian sebagai berikut: Limbah yang berkaitan dengan
pasien yang memerlukan isolasi penyakit menular (perawatan intensif). Limbah laboratorium
yang berkaitan dengan pemeriksaan mikrobiologi dari poliklinik dan ruang perawatan/isolasi
penyakit menular. Limbah jaringan tubuh meliputi organ, anggota badan, darah dan cairan
tubuh, biasanya dihasilkan pada saat pembedahan atau otopsi.
• Limbah sitotoksik adalah bahan yang terkontaminasi atau mungkin terkontaminasi dengan
obat sitotoksik selama peracikan, pengangkutan atau tindakan terapi sitotoksik. Limbah
farmasi ini dapat berasal dari obat-obat kadaluwarsa, obat-obat yang terbuang karena batch
yang tidak memenuhi spesifikasi atau kemasan yang terkontaminasi, obat- obat yang dibuang
oleh pasien atau dibuang oleh masyarakat, obat-obat yang tidak lagi diperlukan oleh institusi
bersangkutan dan limbah yang dihasilkan selama produksi obat- obatan.
• Limbah kimia adalah limbah yang dihasilkan dari penggunaan bahan kimia dalam tindakan
medis, veterinari, laboratorium, proses sterilisasi, dan riset.
• Limbah radioaktif adalah bahan yang terkontaminasi dengan radio isotop yang berasal dari
penggunaan medis atau riset radio nukleida. (Arifin. M, 2008).

Selain sampah klinis, dari kegiatan penunjang rumah sakit juga menghasilkan sampah
non klinis atau dapat disebut juga sampah non medis. Sampah non medis ini bisa berasal
dari kantor / administrasi kertas, unit pelayanan (berupa karton, kaleng, botol), sampah dari
ruang pasien, sisa makanan buangan; sampah dapur (sisa pembungkus, sisa makanan/bahan
makanan, sayur dan lain-lain).

Berdasarkan karakteristiknya, limbah dapat digolongkan menjadi 4 macam, yaitu :


1. Limbah cair

2. Limbah padat

3. Limbah gas dan partikel

4. Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)

Limbah cair

Limbah cair adalah sisa dari suatu hasil usaha atau kegiatan yang berwujud cair (PP 82
thn 2001). Jenis-jenis limbah cair dapat digolongkan berdasarkan pada :

a. Sifat Fisika dan Sifat Agregat . Keasaman sebagai salah satu contoh sifat limbah dapat diukur
dengan menggunakan metoda Titrimetrik

b. Parameter Logam, contohnya Arsenik (As) dengan metoda SSA

c. Anorganik non Metalik contohnya Amonia (NH3-N) dengan metoda Biru Indofenol

d. Organik Agregat contohnya Biological Oxygen Demand (BOD)

e. Mikroorganisme contohnya E Coli dengan metoda MPN

f. Sifat Khusus contohnya Asam Borat (H3 BO3) dengan metoda Titrimetrik

g. Air Laut contohnya Tembaga (Cu) dengan metoda SPR-IDA-SSA

Limbah padat

Limbah padat berasal dari kegiatan industri dan domestik. Limbah domestik pada
umumnya berbentuk limbah padat rumah tangga, limbah padat kegiatan perdagangan,
perkantoran, peternakan, pertanian serta dari tempat-tempat umum. Jenis-jenis limbah padat:
kertas, kayu, kain, karet/kulit tiruan, plastik, metal, gelas/kaca, organik, bakteri, kulit telur, dll

Limbah gas dan partikel


Polusi udara adalah tercemarnya udara oleh berberapa partikulat zat (limbah) yang
mengandung partikel (asap dan jelaga), hidrokarbon, sulfur dioksida, nitrogen oksida, ozon (asap
kabut fotokimiawi), karbon monoksida dan timah.

Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)

Suatu limbah digolongkan sebagai limbah B3 bila mengandung bahan berbahaya atau
beracun yang sifat dan konsentrasinya, baik langsung maupun tidak langsung, dapat merusak
atau mencemarkan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan manusia.Yang termasuk
limbah B3 antara lain adalah bahan baku yang berbahaya dan beracun yang tidak digunakan lagi
karena rusak, sisa kemasan, tumpahan, sisa proses, dan oli bekas kapal yang memerlukan
penanganan dan pengolahan khusus. Bahan-bahan ini termasuk limbah B3 bila memiliki salah
satu atau lebih karakteristik berikut: mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun,
menyebabkan infeksi, bersifat korosif, dan lain-lain, yang bila diuji dengan toksikologi dapat
diketahui termasuk limbah B3.

Berdasarkan sumbernya, limbah B3 dapat diklasifikasikan menjadi:

• Primary sludge, yaitu limbah yang berasal dari tangki sedimentasi pada pemisahan awal dan
banyak mengandung biomassa senyawa organik yang stabil dan mudah menguap

• Chemical sludge, yaitu limbah yang dihasilkan dari proses koagulasi dan flokulasi

• Excess activated sludge, yaitu limbah yang berasal dari proses pengolahan dengn lumpur aktif
sehingga banyak mengandung padatan organik berupa lumpur dari hasil proses tersebut

• Digested sludge, yaitu limbah yang berasal dari pengolahan biologi dengan digested aerobic
maupun anaerobic di mana padatan/lumpur yang dihasilkan cukup stabil dan banyak
mengandung padatan organik.

Macam Limbah Beracun :

• Limbah mudah meledak adalah limbah yang melalui reaksi kimia dapat menghasilkan gas
dengan suhu dan tekanan tinggi yang dengan cepat dapat merusak lingkungan.
• Limbah mudah terbakar adalah limbah yang bila berdekatan dengan api, percikan api,
gesekan atau sumber nyala lain akan mudah menyala atau terbakar dan bila telah menyala
akan terus terbakar hebat dalam waktu lama.

• Limbah reaktif adalah limbah yang menyebabkan kebakaran karena melepaskan atau
menerima oksigen atau limbah organik peroksida yang tidak stabil dalam suhu tinggi.

• Limbah beracun adalah limbah yang mengandung racun yang berbahaya bagi manusia dan
lingkungan. Limbah B3 dapat menimbulkan kematian atau sakit bila masuk ke dalam tubuh
melalui pernapasan, kulit atau mulut.

• Limbah yang menyebabkan infeksi adalah limbah laboratorium yang terinfeksi penyakit atau
limbah yang mengandung kuman penyakit, seperti bagian tubuh manusia yang diamputasi dan
cairan tubuh manusia yang terkena infeksi.

• Limbah yang bersifat korosif adalah limbah yang menyebabkan iritasi pada kulit atau
mengkorosikan baja, yaitu memiliki pH sama atau kurang dari 2,0 untuk limbah yang bersifat
asam dan lebih besar dari 12,5 untuk yang bersifat basa.

Sesuai dengan kriteria yang tercantum dalam peraturan pemerintah No.18 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, limbah B3 terbagi atas dua
macam yaitu yang spesifik dan yang tidak spesifik.

Perbedaan pokok antara limbah B3 spesifik dan tidak spesifik terletak pada cara
penggolongannya. Pada limbah spesifik digolongkan kedalam jenis industri, sumber
pencemaran, asal limbah, dan pencemaran utama sedangkan pada limbah tidak spesifik
penggolongannya atas dasar kategori dan bahan pencemar

Dampak Limbah Pada Kesehatan Masyarakat

Ada beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai resiko untuk mendapat gangguan
karena buangan rumah sakit. Pertama, pasien yang datang ke Rumah Sakit untuk memperoleh
pertolongan pengobatan dan perawatan Rumah Sakit. Kelompok ini merupakan kelompok yang
paling rentan Kedua, karyawan Rumah sakit dalam melaksanakan tugas sehari-harinya selalu
kontak dengan orang sakit yang merupakan sumber agen penyakit. Ketiga, pengunjung /
pengantar orang sakit yang berkunjung ke rumah sakit, resiko terkena gangguan kesehatan akan
semakin besar. Keempat, masyarakat yang bermukim di sekitar Rumah Sakit, lebih-lebih lagi
bila Rumah sakit membuang hasil buangan Rumah Sakit tidak sebagaimana mestinya ke
lingkungan sekitarnya. Akibatnya adalah mutu lingkungan menjadi turun kualitasnya, dengan
akibat lanjutannya adalah menurunnya derajat kesehatan masyarakat di lingkungan tersebut.
Oleh karena itu, rumah sakit wajib melaksanakan pengelolaan buangan rumah sakit yang baik
dan benar dengan melaksanakan kegiatan Sanitasi Rumah Sakit (Kusnoputranto.H, 1993).

Berikut adalah tabel yang menyajikan contoh sistem kondisifikasi limbah rumah sakit
dengan menggunakan warna :

JENIS LIMBAH WARNA

Bangsal/Unit

Klinik Kuning

Bukan klinik Hitam

Kamar Cuci Rumah Sakit

Kotor/Terinfeksi Merah

Habis dipakai Putih

Dari kamar operasi Hijau/Biru

Dapur

Sarung tangan dengan warna yang


berbeda untuk memasak dan
membersihkan badan.

Agar kebijakan kodifikasikan menggunakan warna dapat dilaksanakan dengan baik,


tempat limbah diseluruh rumh sakit harus memiliki warna yang sesuai, sehingga limbah dapat
dipisah-pisahkan ditempat sumbernya.

1. Bangsal harus memiliki dua macam tempat limbah dengan dua warna, satu untuk limbah
klinik dan yang lain untuk bukan klinik
2. Semua limbah dari kantor, biasanya berupa alat-alat tulis dianggap sebagai limbah klinik
3. Semua limbah yang keluar dari unit patologi harus dianggap sebagai limbah klinik dan perlu
dinyatakan aman sebelum dibuang (Depkes RI, 1992).

Pengelolaan limbah

Pengolahan limbah RS Pengelolaan limbah RS dilakukan dengan berbagai cara yang


diutamakan adalah sterilisasi, yakni berupa pengurangan (reduce) dalam volume, penggunaan
kembali (reuse) dengan sterilisasi lebih dulu, daur ulang (recycle), dan pengolahan (treatment)
(Slamet Riyadi, 2000).

Berikut adalah beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan
kodifikasi dengan warna yang menyangkut hal-hal berikut :

1. Pemisahan Limbah

- Limbah harus dipisahkan dari sumbernya

- Semua limbah beresiko tinggi hendaknya diberi label jelas

- Perlu digunakan kantung plastik dengan warna-warna yang berbeda yang menunjukkan
kemana kantong plastik harus diangkut untuk insinerasi aau dibuang (Koesno Putranto. H,
1995).

2. Penyimpanan Limbah

Dibeberapa Negara kantung plastik cukup mahal sehingga sebagai gantinya dapat digunkanan
kantung kertas yang tahan bocor (dibuat secara lokal sehingga dapat diperloleh dengan
mudah) kantung kertas ini dapat ditempeli dengan strip berwarna, kemudian ditempatkan
ditong dengan kode warna dibangsal dan unit-unit lain.

3. Penanganan Limbah
• Kantung-kantung dengan warna harus dibuang jika telah terisi 2/3 bagian. Kemudian
diikiat bagian atasnya dan diberik label yang jelas
• Kantung harus diangkut dengan memegang lehernya, sehingga jika dibawa mengayun
menjauhi badan, dan diletakkan ditempat-tempat tertentu untuk dikumpulkan
• Petugas pengumpul limbah harus memastikan kantung-kantung dengan warna yang sama
telah dijadikan satu dan dikirimkan ketempat yang sesuai.
• Kantung harus disimpan pada kotak-kotak yang kedap terhadap kutu dan hewan perusak
sebelum diangkut ketempat pembuangan.

4. Pengangkutan limbah

Kantung limbah dipisahkan dan sekaligus dipisahkan menurut kode warnanya. Limbah bagian
bukan klinik misalnya dibawa kekompaktor, limbah bagian Klinik dibawa keinsenerator.
Pengangkutan dengan kendaraan khusus (mungkin ada kerjasama dengan dinas pekerja
umum) kendaraan yang digunakan untuk mengangkut limbah tersebut sebaiknya dikosongkan
dan dibersihkan setiap hari, jika perlu (misalnya bila ada kebocoran kantung limbah)
dibersihkan dengan menggunakan larutan klorin.

5. Pembuangan limbah

Setelah dimanfaatkan dengan konpaktor, limbah bukan klinik dapat dibuang ditempat
penimbunan sampah (Land-fill site), limbah klinik harus dibakar (insenerasi), jika tidak
mungkin harus ditimbun dengan kapur dan ditanam limbah dapur sebaiknya dibuang pada
hari yang sama sehingga tidak sampai membusuk (Bambang Heruhadi, 2000).

Rumah sakit yang besar mungkin mampu memberli inserator sendiri, insinerator
berukuran kecil atau menengah dapat membakar pada suhu 1300-1500 ºC atau lebih tinggi
dan mungkin dapat mendaur ulang sampai 60% panas yang dihasilkan untuk kebutuhan
energi rumah sakit. Suatu rumah sakit dapat pula mempertoleh penghasilan tambahan dengan
melayani insinerasi limbah rumah sakit yang berasal dari rumah sakit yang lain. Insinerator
modern yang baik tentu saja memiliki beberapa keuntungan antara lain kemampuannya
menampung limbah klinik maupun limbah bukan klinik, termasuk benda tajam dan produk
farmasi yang tidak terpakai lagi.
Jika fasilitas insinerasi tidak tersedia, limbah klinik dapat ditimbun dengan kapur dan
ditanam. Langkah-langkah pengapuran (Liming) tersebut meliputi sebagai berikut :

1. Menggali lubang, dengan kedalaman sekitar 2,5 meter


2. Tebarkan limbah klinik didasar lubang samapi setinggi 75 cm
3. Tambahkan lapisan kapur
4. Lapisan limbah yang ditimbun lapisan kapur masih bisa ditanamkan samapai ketinggian
0,5 meter dibawah permukaan tanah
5. Akhirnya lubang tersebut harus ditutup dengan tanah
(Setyo Sarwanto, 2003).

K. Pengunjung (Tamu) Pasien


Infeksi dapat dibawa ke dalam rumah sakit oleh pengunjung,atau dipindahkan oleh
mereka dari seorang pasien ke yang lain, atau diperoleh oleh mereka dari pasien yang
terinfeksi. Walaupun pengunjung tidak tampak memainkan suatu peranan penting dalam
infeksi rumah sakit, beberapa tindakan pencegahan diperlukan untuk mencegah bahaya yang
telah diketahui.
Di RSUD Jayapura belum diterapkan Calon pengunjung. Karena kita tahu bahwa
pengujung merupakan salah port the entry kejadian infeksi nasokomial di rumah sakit. Rumah
sakit belum membatasi pengunjung , terutam apada pasien yang rentan terkena infeksi
nasokomial seperti : salesma, sakit tenggorokan, diare, borok, atau penyakit menular lain.
Tindakan pencegahan khusus (pakaian, gerakan terbatas, tidak menyentuh)
Pemberitahuan hendaknya menginstruksikan pengunjung membatasi kunjungan pada
seorang pasien, Jika instruksi ini dilakukan, kunjungan oleh orang sehat (misal, ibu dari anak)
tidak memberikan bahaya khusus dari infeksi silang.Adalah perlu bagi perawat ruangan
mengusir atau mengeluarkan mereka dari ruangan jika mengabaikan instruksi ini atau
dilanggar.
Kunjungan ini hendaknya dilarang bagi orang yang tidak imun (khususnya anak-anak)
kepada pasien dalam isolasi dengan penyakita yang sangat menular. Apabila kunjungan harus
diizinkan, pengunjung kepada pasien, dengan demikian, hendaknya diinstruksikan untuk
melakukan tindakan melindungi diri sendiri, seperti mengenakan pakaian, dan mereka
hendaknya menahan diri untuk tidak menyentuh pasien, tempat tidur pasien dan barang-
barang miliknya. Apabila kontak tidak dapat dihindarkan (misalnya, dalam kunjungan ibu
pada anak kecil), pengunjung dianjurkan menggunakan sarung tangan. Kontak yang intim
hendaknya dihindari. Tangan hendaknya dicuci sepenuhnya pada waktu meninggalkan pasien.
BAB IV
PEMBAHASANA HASIL KAJIAN

A. Kajian Kepatuhan perawat dalam melakukan hand hygiene


Dalam kajian ini didapati factor yang menjadi pendukung dalam pelaksanaan hand hygiene
yaitu :
2. Semua perawat di IGD menyadari pentingnya kebersihan tangan
3. 70 % perawat (dari 32 perawat) melakukan kebersihan tangan sebelum dan sesudah
Tindakan pada pasien atau menyentuh area rumah sakit dengan menggunakan hand
sanitizer yang dibawa sendiri (dikantongi)
4. Berkurangnya tindakan non perawat yang selama ini diembankan ke perawat
5. Hampir 98 % perawat sudah mengikuti pelatihan Hand hygiene dan PPI dasar
Adapun factor penghambat dalam kajian terkait hand hygiene perawat , yaitu :
1. 30 % perawat tidak melakukan kebersihan tangan sebelum menyentuh pasien
2. Ketersediaan intrumen hand hygiene seperti : sabun cuci tangan, ketersediaan air bersih
dan hand sanitizer) yang sangat minim
3. Perawat yang kurang menyadari pentingnya kebersihan tangan
4. Perawat yang belum mengikuti pelatihan hand hygienedan PPI dasar atau sebaliknya
sudah menikuti tapi achy tak acuh
5. Hand sanitizer yang tidak tersedia di bed-bed pasien atau habis
6. Jangkauan hand sanitizer dengan tempat dilakukan Tindakan kep. Yang cukup jauh
membuat perawat malas untuk menjangkaunya

B. Kajian Pengolahan limbah rumah sakit


Dalam kajian ini didapati factor yang menjadi pendukung dalam pengolahan limbah rumah
sakit yaitu :
1. Semua petugas IPRS yang telah mengikuti pelatihan pengolahan limbah rumah sakit,
sanitasi lingkungan rumah sakit dan PPI dasar
2. Generator limbah yang besar dan mudah diakses
3. Tersedianya bahan pengeloahan limbah
4. Kesadaran petugas tentang pentingnya pengolahan limbah rumah sakit
5. Limbah yang sudah di pisah dari tiap ruangan sesuai tempat sampahnya

Adapun factor penghambat dalam kajian terkait hand hygiene perawat , yaitu :
1. Petugas IPRS yang kurang menyadari pentingnya pengolahan limbah tepat waktu
2. Petugas IPRS yang ada dalam jadwal dan tidak masuk
3. Limbah medis dan non medis yang belum dipisah dari tiap ruangan
4. Penumpukan sampah yang banyak dan mencemari lingkungan
7. Ketersediaan tempat sampah medis dan non medis tepat waktu ditiap ruangan yang sangat
kurang

C. Pembahasan hasil
1. Kepatuhan Hand hygiene perawat dan Pengolahan sampah Rumah sakit
Dari hasil kajian yang diperoleh, penulis melihat bahwa factor yang menjadi pendukung
dan pemnghamat dalam kajian diatas dapat dilihat dari kepeedulian manajemen rumah
sakit dalam memperhatikan mutu pelayanan di rumah sakit.
Manajemen yrumah sakit yang baik adalah yang mampu menjalankan standart mutu
layanan rumah sakit. Karyawan yang bekerja di lingkungan RSUD Jayapura pasti dapat
melakukan tugasnya dengan baik jika ada dukungna dari atasan.
Perawat sebagai posisi sentral dimana sangat berpengaruh pada resiko penyebaran infeksi
nosokomial karena perawat adalah petugas yang sering melakukan kontak langsung
dengan pasien. Kepatuhan perawat dalam melakukan hand hygiene sesuai dengan SOP
yang berlaku dalam rumah dimana perawat itu bekerja sangatlah penting, karena sebagian
besar infeksi nosokomial ini disebabkan oleh petugas kesehatan termasuk perawat karena
ketidakpatuhan dalam melaksanakan praktik cuci tangan saat melakukan tindakan
keperawatan atau berinterakasi dengan pasien (Yuni dkk, 2019).
Jika dilihat dari kajian yang dilakukan olehpenulis tentang dua hal ini, dimana ditengah
wabah covid-19 ini kedua hal ini menjadi sangat penting untuk harus diperhatikan.
Karywan yang bekerja melayani pasien di masa andemi harus mendapat APD standar dan
ini sudah di buat dalam peraturan yang dikeluarkan oleh kemenkes tahun 2020.
Pentingnya 5 moment cuci tangan untuk selalu disosialisasikan terus, diharapkan agar
dapat meningkatkan kesadaran setiap petugas pemberi layanan kepada pasien bukan saja
perawat untuk dapat memperhatikan pentingnya kebersihan tangan dan juga membuang
sampah sesuai tempatnya , sampah medis dibuang pada plastic kuning dan non medis pada
plastic hitam
Kita tahu Bersama bahwa ada terdapat 4 macam infeksi nosokomial yang menonjol yaitu
infeksi luka operasi (ILO), infeksi saluran kencing (ISK), pneumonia dan bakteremia.
Di RSUD Jayapura , Infeksi nasokomial yang tertinggi (Jumlah /presentasi datanya tidak
diberikan oleh PPI) tapi dapat dilihat seperti ini :
1. Infeksi Saluran Kencing / Urinary Tract Infections (ISK/UTI)
Infeksi ini merupakan kejadian tersering, infeksinya dihubungkan dengan
penggunaan kateter urin. Walaupun tidak terlalu berbahaya, tetapi dapat
menyebabkan terjadinya bakteremia dan mengakibatkan kematian.
Bakteri yang sering menyebabkan infeksi ini antara lain:
• E. Coli
• Enterococcus sp.
• Klebsiella sp.
• Pseudomonas aeruginosa
• Proteus mirabilis
Penyebaran mikroorganisme yang terdapat pada permukaan ujung kateter yang
masuk ke dalam uretra menyebabkan terjadinya infeksi saluran kencing.
Pencegahannya antara lain dengan cara kateterisasi dengan teknik benar dam hindari
jika tidak perlu. Kemudian pemasangan kateter secara asepsis, pengambilan sampel
urin secara steril, serta alat yang digunakan harus di sterilkan terlebih dahulu.
Dipastikan bahwa alat-alat tersebut steril dan tidak terkontaminasi oleh alat-alat yang
tidak steril. Petugas harus mencuci tangan sebelum dan sesudah memakai sarung
tangan.
2. Infeksi Luka Operasi / Surgical Site Infections (ILO/SSI)
Sebanyak 14-16% dari keseluruhan infeksi nosokomial sehingga menempati
Infeksi Luka Operasi di posisi kedua setelah Infeksi Saluran Kencing. Infeksi Luka
Operasi (ILO) atau Infeksi Tempat Pembedahan (ITP)/Surgical Site Infection
(SSI) adalah infeksi pada luka operasi atau organ/ruang yang terjadi dalam 30 hari
paska operasi atau dalam kurun 1 tahun apabila terdapat implant. Sumber
bakteri pada ILO dapat berasal dari pasien, dokter dan tim, lingkungan, dan
termasuk juga instrumentasi.
Prinsip pencegahan ILO adalah dengan :
1. Mengurangi resiko infeksi dari pasien.
2. Mencegah transmisi mikroorganisme dari petugas, lingkungan, instrument
dan pasien itu sendiri.
Kedua hal di atas dapat dilakukan pada tahap pra operatif, intra operatif,
ataupun paska operatif. Pencegahan ILO pada pasien dilakukan dengan perawatan
praoperasi, pencukuran rambut bila mengganggu operasi, cuci dan bersihkan daerah
sekitar tempat insisi dengan antiseptik pada kulit secara sirkuler ke arah perifer yang
harus cukup luas. Antibiotik profilaksis terbukti mengurangi kejadian ILO dan
dianjurkan untuk indakan dengan resiko infeksi yang tinggi seperti pada infeksi kelas
II dan III. Selain itu, antibiotik profilaksis juga diberikan jika diperkirakan akan
terjadi infeksi dengan resiko yang serius seperti pada pemasangan implan,
penggantian sendi, dan operasi yang lama. Selain itu, pada saat praoperatif harus
juga diperhatikan mengenai tindakan antiseptik pada lengan tim bedah, gaun operasi
dan drapping.
Pada tahap intra operatif, yang harus diperhatikan adalah bahwa semakin
lama operasi, resiko infeksi semakin tinggi, tindakan yang mengakibatkan
terbentuknya jaringan nekrotik harus dihindarkan, pencucian luka operasi harus
dilakukan dengan baik, dan bahan yang digunakan untk jahitan harus sesuai
kebutuhan seperti bahan yang mudah diserap atau monofilamen.
Paska operasi, hal yang harus diperhatikan adalah perawatan luka insisi dan
edukasi pasien. Perawatan luka insisi berupa penutupan secara primer dan dressing
yang steril selama 24-48 jam paska operasi. Dressing luka insisi tidak dianjurkan
lebih dari 48 jam pada penutupan primer. Tangan harus dicuci sebelum dan
sesudah penggantian dressing. Jika luka dibiarkan terbuka pada kulit, maka luka
tersebut harus ditutup dengan kassa lembab dengan dressing yang steril.

3. Pneumonia Nosokomial (PNO)


Bakteri adalah penyebab yang tersering dari Pneumonia nosokomial. Jenis kuman
penyebab ditentukan oleh berbagai faktor antara lain berdasarkan imunitas pasien,
tempat dan cara pasien terinfeksi. Kuman penyebab PNO sering berbeda jenisnya
antara di ruangan biasa dengan ruangan perawatan intensif (ICU): infeksi melalui
slang infus sering berupa Staphylococcus aureus sedangkan melalui ventilator Ps.
aeruginosa dan Enterobacter. PNO bakteril dapat dibagi atas onset awal yaitu 48-72
jam pemasangan intubasi trakheal, bakteri penyebabnya adalah Staphylococcus
aureus, Haemophylus influenzae, Streptococcus pneumoniae. Onset lebih lanjut yaitu
lebih dari 72 jam sering disebabkan oleh basil gram negatif seperti Pseudomonas
aeruginosa, Klebsiella pneumoniae, escherichia coli, Serratia marcescens. Penyebab
lain PNO diantaranya virus dan fungus yaitu Candida albicans, Aspergillus
fumigatus. Penyebaran Infeksi karena adanya kolonisasi bakteri pada traktus
aerodigestive dan aspirasi sekret yang terkontaminasi di saluran napas bawah.
Faktor resiko terjadinya infeksi ini adalah:
▪ Tipe dan jenis pernapasan
▪ Perokok berat
▪ Tidak sterilnya alat-alat bantu
▪ Obesitas
▪ Kualitas perawatan
▪ Penyakit jantung kronis
▪ Penyakit paru kronis
▪ Beratnya kondisi pasien dan kegagalan organ
▪ Tingkat penggunaan antibiotika
▪ Penggunaan ventilator dan intubasi
▪ Penurunan kesadaran pasien
4. Bakteremia (CRBSI)
Infeksi ini berisiko tinggi. Karena dapat menyebabkan kematian.
▪ Organisme penyebab infeksi : Terutama disebabkan oleh bakteri yang resistan
antibiotika seperti Staphylococcus dan Candida.
▪ Penyebaran : Infeksi dapat muncul di tempat masuknya alat-alat seperti jarum
suntik, kateter urin dan infus.
▪ Penyebab : Panjangnya kateter, suhu tubuh saat melakukan prosedur invasif, dan
perawatan dari pemasangan kateter atau infus.
DAFTAR PUSTAKA

Siregar, Charles., 2004. Farmasi Klinik Teori dan Penerapan. Buku kedokteran EGC, Jakarta.
Hermawan Guntur, 2004. Perspektif Masa Depan Imunologi-Infeksi. Sebelas Maret University
Press, Surakarta.
Soeparman, dkk., 2001. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI, Jakarta
Parhusip, 2005. Jurnal Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial Serta
Pengendalian di BHG. UPF. Paru RS. Dr. Pirngadi/Lab. Penyakit Paru FK-USU Medan.
e-USU Repsoitory.
Anonim, 2011. Infeksi Nosokomial dan Kewaspadaan Universal, availalbe at http://spiritia.or.id/,
diakses tanggal 13 Februari 2011.
BAPEDAL. 1999. Peraturan tentang Pengendalian Dampak Lingkungan. Jakarta.
Arifin.M, 2008, Pengaruh Limbah Rumah Sakit Terhadap Kesehatan. FKUI, Jakarta.
Depkes RI. 2002. Pedoman Umum Hygene Sarana dan Bangunan Umum. Jakarta
Slamet Riyadi. 2000. Loka Karya Alternatif Ekologi Pengelolaan Sanitasi dan Sampah. Alkatiri,
S. 2009. Efektivitas Hasil Pengelolan Air Limbah Rumah Sakit. UnAir.
Sarwanto, Setyo. 2009. Pedoman Teknik Analisa Mengenai dampak Lingkungan Rumah Sakit :
Limbah Rumah Sakit Belum Dikelolah Dengan Baik . Jakarta : UI.
Kusnoputranto, H. 1993. Kualitas Limbah Rumah Sakit dan Dampaknya terhadap lingkungan
dan kesehatan dalam Seminar Rumah Sakit. Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan
Lingkungan, Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai