Anda di halaman 1dari 9

MORFOLOGI BEBERAPA JENIS SAGU POTENSIAL DI PAPUA

Jermia Limbongan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua, Jalan Yahim Sentani, Jayapura, Kotak Pos 256 Sentani 993542

ABSTRAK
Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) merupakan tanaman penghasil pati yang sangat potensial di masa yang akan datang. Tanaman sagu banyak tumbuh secara alami di Papua dan Maluku dan dimanfaatkan oleh sebagian besar penduduk sebagai makanan sehari-hari. Makalah ini memberikan informasi tentang morfologi beberapa jenis sagu lokal di Papua. Sagu Papua memiliki banyak aksesi dengan ciri yang berbeda-beda pada morfologi batang dan daun, kandungan gizi dan mineral, produktivitas, dan warna tepung. Sagu Yepha, Rondo, Para, dan Ruruna dapat dikenali dari karakteristik yang berbeda, dan karakteristik ini dapat digunakan untuk mengetahui potensi produksi dan kegunaannya. Pati sagu, selain sebagai bahan pangan juga banyak digunakan sebagai bahan baku pada industri kosmetik, makanan, kertas, dan plastik. Untuk menjaga kelestarian sagu Papua, upaya perbaikan budi daya serta pengelolaan plasma nutfah perlu dilakukan. Kata kunci: Metroxylon sagu, aksesi, morfologi, pati sagu, Papua

ABSTRACT
Morphological characteristics of some sago palms from Papua Sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) is a potential starch source in the future. Most of the plants grow naturally in Papua and Maluku and many people consume it as a daily food. The paper described morphology of sago palms in Papua. There are many accessions of sago palms in Papua with specific morphological characteristics in stems, leaves, nutrient and mineral contents, yield, and starch color. Sago palms such as Yepha, Rondo, Para, and Ruruna have different characteristics and these characteristics reflect their yield potential and usage. Sago starch is commonly used as food resources, also as raw materials in cosmetics, food, paper, and plastic industries. Therefore, improvement of sago palm cultivation and conservation of sago germplasm are needed. Keywords: Metroxylon sagu, accession, morphology, sago starch, Papua

agu (Metroxylon sagu Rottb.) merupakan tanaman asli Asia Tenggara. Penyebarannya meliputi Melanesia Barat sampai India Timur dan dari Mindanao Utara sampai Pulau Jawa dan Nusa Tenggara bagian selatan. Tanaman sagu tumbuh secara alami terutama di daerah dataran atau rawa dengan sumber air yang melimpah. Menurut Oates dan Hicks (2002), tanaman sagu masih dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 1.250 m dpl dengan curah hujan 4.500 mm/tahun. Sekitar 50% tanaman sagu dunia atau 1.128 juta ha tumbuh di Indonesia (Flach 1983), dan 90% dari jumlah tersebut atau 1.015 juta ha berkembang di Provinsi Papua dan Maluku (Lakuy dan Limbongan 2003). Menurut statistik perkebunan tahun 2000, 16

potensi produksi tepung sagu yang dapat dihasilkan dari luasan tersebut adalah 6,50 juta ton. Sekitar 40% dari jumlah tegakan sagu di Papua (seluas 300.000 ha) merupakan tanaman produktif yang siap panen sehingga potensi ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber cadangan pangan pada masa yang akan datang (Tenda 2004). Areal sagu tersebut tersebar di Merauke, Timika, Fakfak, Manokwari, Biak Numfor, Sorong, Yapen, Waropen, dan Jayapura. Dari jumlah tersebut baru dimanfaatkan sekitar 0,34% (Kertopermono 1996). Konsumsi sagu di Papua tahun 2004 mencapai 50,18 kg/kapita/tahun, lebih rendah dibanding bahan pangan lainnya yaitu padi dan ubi-ubian masing-masing 130 kg dan 75,30 kg/kapita/tahun (Badan

Pusat Statistik Provinsi Papua 2004). Produksi sagu pada tahun 2004 sekitar 7.140 t/tahun, dengan harga tepung sagu mencapai Rp13.500/kg atau hampir dua kali lipat harga tepung ubi atau beras. Potensi produksi sagu yang besar dengan harga yang cukup tinggi dapat menjadikan sagu sebagai komoditas andalan di masa yang akan datang. Tanaman sagu di Papua memiliki keragaman genetik yang sangat tinggi (Barahima et al. 2001). Kesimpulan ini diperkuat oleh Mangindaan dan Tampake (2005) yang menyatakan bahwa Papua merupakan sentra keragaman genetik sagu terbesar di dunia sehingga tanaman sagu di daerah ini perlu diamankan dari erosi genetik serta pelarian genetik ke luar negeri. Widjono et al. (2000) telah mengJurnal Litbang Pertanian, 26(1), 2007

identifikasi 60 jenis sagu Papua yang tumbuh di daerah Jayapura, Manokwari, Merauke, dan Sorong. Selanjutnya, hasil penelitian Universitas Papua (2001) menemukan 22 jenis sagu di Biak dan Supriori, sedangkan Miftahorrachman dan Novarianto (2003) menemukan 20 aksesi sagu di Sentani. Makin beragamnya pemanfaatan sagu dan makin meningkatnya permintaan tepung sagu menyebabkan terjadinya eksploitasi tanaman secara besar-besaran tanpa ada upaya untuk merehabilitasinya (Mangindaan dan Tampake 2005). Kondisi seperti itu telah terjadi di Papua dan dapat menyebabkan punahnya beberapa aksesi sagu yang memiliki potensi produksi tinggi (Limbongan et al. 2005). Aksesi-aksesi sagu yang ditemukan di Papua memiliki keragaman dalam penampilan morfologi, misalnya keberadaan duri, tinggi tanaman, lingkar batang, dan warna tepung. Selain itu ada beberapa jenis sagu yang dapat tumbuh di lahan kering. Produktivitasnya pun bervariasi dari 5 hingga 11 t/ha/tahun, tetapi ada pula yang hanya digunakan sebagai media pemeliharaan ulat sagu (Oates dan Hicks 2002). Makalah ini membahas ciri morfologi beberapa jenis sagu potensial yang tumbuh di Papua, misalnya duri pada batang, tinggi tanaman, lingkar batang, bobot batang, jumlah daun, jumlah petiole, panjang rachis, warna tepung, kandungan kimia tepung, kandungan mineral tepung, dan produksi tepung sagu. Dengan mengenal ciri morfologi tersebut dapat diketahui jenis-jenis sagu yang potensial sebagai penghasil tepung serta upaya pelestariannya untuk mencegah kepunahan jenis-jenis sagu tertentu.

identifikasi 60 jenis sagu di Papua yang tersebar di Jayapura, Manokwari, Merauke, dan Sorong (Tabel Lampiran 1). Jenis-jenis sagu tersebut berbeda dalam hal warna pucuk, yaitu hijau, kuning sampai merah, ukuran duri, kerapatan duri, kekerasan duri, dan letak duri. Warna pelepah daun pun berbeda-beda yaitu hijau muda, hijau tua, hijau keputihan, hijau kekuningan, dan hijau bertitik-titik. Diameter batang juga bervariasi, yaitu diameter batang bagian bawah lebih kecil dari bagian atas, diameter batang sama mulai dari bawah sampai ke atas, dan ada juga yang diameter batang bagian tengah lebih besar dari bagian ujung dan pangkal. Warna tepungnya ada yang putih, kemerahan, merah muda, dan putih kekuningan.

CIRI MORFOLOGI SAGU PAPUA


Ciri morfologi merupakan petunjuk praktis untuk mengenal berbagai jenis sagu di lapangan. Ciri morfologi yang dapat diamati antara lain adalah tinggi batang, lingkar batang, jumlah daun, jumlah petiole, panjang rachis, dan jumlah lembar daun. Ciri morfologi 10 jenis sagu unggul di Sentani disajikan pada Tabel 1. Dari Tabel 1 dapat disimpulkan bahwa tinggi batang memiliki keragaman yang tinggi (CV > 20%), sedangkan karakter vegetatif lainnya seperti lingkar batang, jumlah daun, jumlah petiole, panjang daun, dan panjang rachis memiliki keragaman yang rendah (CV < 20%). Oleh karena itu, menurut Tenda (2004), karakter tinggi

batang dapat digunakan sebagai kriteria seleksi untuk mempertahankan sifat unggul pada generasi berikutnya. Sagu jenis Rondo memiliki tinggi tanaman 10,20 m, lebih pendek daripada sagu jenis Yepha, Para, dan Ruruna yang tingginya bisa mencapai 20 m bahkan lebih. Batang sagu jenis Rondo umumnya pendek, yaitu Rondo Hongleu 4,50 m dan Rondo Hongsay 4,20 m, sedangkan jenis lainnya seperti Yepha Hongsay, Para, dan Ruruna memiliki batang lebih dari 10 m. Karena batangnya pendek, sagu Rondo biasa digunakan sebagai konsumsi keluarga di Sentani. Miyazaki (2004) telah melakukan pengamatan beberapa parameter pertumbuhan empat jenis sagu di Sentani dengan hasil dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel tersebut memperlihatkan bahwa pada umur hampir sama, tinggi tanaman sagu Rondo sangat berbeda dengan tiga jenis lainnya, yaitu Yepha Hongsay, Para, dan Ruruna. Demikian pula panjang batang, diameter batang, dan bobot batang sagu Rondo jauh lebih kecil dibanding jenis lainnya. Rondo relatif lebih kecil dan berduri pada umur 6 tahun. Di Sentani, sagu Rondo mulai berproduksi setelah berumur lebih dari 10 tahun. Durinya kecil, pendek, dan mudah patah. Sagunya manis dan biasa dikonsumsi langsung tanpa diparut atau diperas terlebih dahulu. Hasil pengamatan Miyazaki (2004) terhadap 21 jenis sagu di Papua disajikan pada Tabel 3. Dari 21 jenis sagu tersebut, 10 jenis termasuk sagu berduri, yaitu Manno, Mongging, Para Hongleu, Para Hongsay, Para Waliha, Puy, Rondo, Ruruna, Yakhalobe, dan Ebefum. Sisanya

Tabel 1. Ciri morfologi 10 jenis sagu unggul di Sentani, Papua.

TIPE SAGU PAPUA


Pangkali (1994) telah mengidentifikasi 20 jenis sagu asal Jayapura dan mengelompokkannya ke dalam dua tipe yaitu sagu berduri atau Metroxylon rumphii Mart. dan sagu tidak berduri atau Metroxylon sagu Rottb. Yang termasuk sagu berduri adalah Para Huphon, Para Hongsay, Rondo, Munggin, Puy, Manno, Epesum, Ruruna, dan Yakhalope, dan untuk sagu tidak berduri adalah Yepha Hongsay, Yepha Hongleu, Yepha Ebung, Osokulu, Folio, Panne, Wani, Ninggih, Yukulam, Hapholo, Yakhe, Hili, Fikhela, dan Hanumbo. Selanjutnya Widjono et al. (2000) mengJurnal Litbang Pertanian, 26(1), 2007 Jenis sagu Hapholo Hongleu Hapholo Hongsay Yepha Hongleu Yepha Hongsay Rondo Hongleu Rondo Hongsay Osokulu Hongleu Panne Folio Hongleu Para SD CV (%)

Tinggi batang (m) 15,20 13,80 15,20 14,30 4,50 4,20 11,20 15,40 9,40 11 4,20 37,20

Lingkar batang (cm) 143 145 143 148 149 144 190 155 171 108 21,50 14

Jumlah daun kering 8 8 8 7 10 9 8 7 8 9 0,90 3,70

Jumlah daun hijau 15 16 15 13 12 12 17 14 19 13 2,20 15,50

Jumlah petiole 225 245 240 270 225 205 270 214 264 218 23,90 10,10

Panjang rachis (cm) 462,50 467 474 478,50 461,50 658 677 554 665 679 69,70 10,60

Jumlah lembar daun 72 76 82 84 77 74 89 81 82 79 5,10 6,40

Sumber: Tenda et al. (2005).

17

Tabel 2. Beberapa parameter pertumbuhan sagu di Sentani, Papua.


Jenis sagu Yepha Hongsay Para Rondo Ruruna Umur (tahun) 16 18 14 15 12 17 Tinggi tanaman (m) 21,90 20,80 10,20 22 Diameter batang (cm) 45,60 54,90 31,50 58,30 Bobot batang (kg) 1.563 1.971,90 286,30 1.993,60

Sumber: Miyazaki (2004).

Tabel 3. Ukuran duri dan kerapatan duri 21 jenis sagu di Papua.


Jenis sagu Manno Mongging Para Hongleu Para Hongsay Para Waliha Puy Rondo Ruruna Yakhalobe Ebefum Folio Hobolo Osokulu Hongleu Osokulu Hongsay Panne Yakhe Yakhu Walo Yepha Hongleu Yepha Hongsay Wananbo Wani Duri Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ukuran duri Panjang Panjang Panjang Panjang Panjang Sangat pendek Pendek Pendek Pendek Panjang Kerapatan duri Jarang Jarang Rapat Rapat Jarang Sangat jarang Rapat Rapat Rapat Jarang

Sumber: Miyazaki (2004 disempurnakan).

termasuk sagu tidak berduri yaitu Folio, Hobolo, Osokulu Hongleu, Osokulu Hongsay, Panne, Yakhe, Yakhu Walo, Yepha Hongleu, Yepha Hongsay, Wananbo, dan Wani. Sagu jenis Manno, Para Hongleu, dan Para Hongsay memiliki duri yang panjang, sedangkan Rondo, Ruruna, dan Yakhalobe berduri pendek (Gambar 1). Jenis Puy berduri sangat pendek dan jumlahnya sangat jarang, bahkan umum-nya hanya berupa bekas dudukan duri saja.

POTENSI PRODUKSI TEPUNG SAGU


Produksi tepung sagu dipengaruhi oleh kondisi tanah dan iklim. Hasil pengamatan 18

Oates dan Hicks (2002) di berbagai negara menunjukkan bahwa hasil tepung sagu Indonesia (Papua dan Bengkalis) dari tanaman berumur lebih dari 10 tahun berkisar 511 t/ha/tahun, sedangkan di daerah lain seperti di Serawak hanya 3,20 7,70 t/ha/tahun. Produksi tepung dan kandungan kimia tepung 10 jenis sagu Papua di Sentani dapat dilihat pada Tabel 4. Dari 10 jenis sagu tersebut, 4 jenis menghasilkan tepung lebih dari 8 t/ha/tahun, yaitu Osokulu Hongleu 9,80 t, Hapholo Hongsay 8,40 t, Para 8,30 t, dan Hapholo Hongleu 8 t/ha/tahun. Sagu Rondo Hongsay dan Rondo Hongleu masing-masing menghasilkan tepung hanya 3,40 dan 3,60 t/ha/ tahun, tetapi jenis sagu tersebut memiliki kelebihan yaitu batangnya pendek dan mudah diproses. Kandungan protein tertinggi (0,180,25%) diperoleh dari sagu

Yepha dan Rondo. Kandungan karbohidrat terendah terdapat pada Panne yaitu 55,78% dan tertinggi pada Rondo Hongsay (86,68%). Kandungan lemak, pati, amilosa, dan amilopektin hampir sama pada setiap jenis sagu. Kandungan mineral serat sagu di Sentani disajikan pada Tabel 5. Dari keempat jenis sagu yaitu Yepha Hongsay, Para, Rondo, dan Ruruna umur 1218 tahun, kandungan N, P, K, Ca, dan Mg pada serat sagu hampir sama. Miyazaki (2004) melaporkan bahwa beberapa aksesi sagu yang sebenarnya sama, di beberapa daerah memiliki nama yang berbeda. Di daerah Sentani, misalnya, Yakhalope disebut Yakhe di daerah tengah dan disebut Mongging di daerah timur. Selanjutnya Ruruna biasanya disebut Epesum. Beberapa jenis sagu yang sering dieksploitasi oleh petani setempat karena hasil yang tinggi adalah Para, Yepha, Ruruna, dan Rondo. Para: Hasil tepungnya paling tinggi di Sentani. Ada dua jenis sagu Para yaitu Para Hongsay dengan serat berwarna merah dan Para Hapbow atau Hongleu dengan serat berwarna putih. Para Hongsay umumnya dikonsumsi dalam keadaan dingin, karena bila dikonsumsi dalam keadaan panas dapat menyebabkan sakit perut. Sagu Para dikenali dari beberapa ciri seperti daun mahkota terbuka agak lebar dan beberapa daun agak lentur. Tulang daun sagu Para lebih keras dan umumnya dalam garis yang tidak beraturan. Pada tanaman muda, tulang daun terlihat jelas seperti pada Ruruna. Sebagai bahan atap atau anyaman, daun sagu Para paling baik dibanding jenis sagu lainnya. Ukuran daunnya luas, keras, dan tahan lebih dari 15 tahun. Diameter batang umumnya besar, biasanya 60 cm, dengan tinggi 10 15 m. Di tempat yang terlindung, diameter batang lebih kecil walaupun tanamannya tinggi. Di beberapa lokasi, Para disebut pula Yamaha. Yepha: Merupakan jenis sagu tidak berduri. Batang berukuran medium tetapi tinggi. Sagu jenis ini menghasilkan tepung paling banyak setelah Para, umumnya ditanam dan dikonsumsi oleh masyarakat lokal. Menurut bahasa lokal, Yepha artinya tumbuh ke langit karena tanaman mampu tumbuh hingga 25 m. Kanopi sagu Yepha berbentuk V dengan batang lurus. Daun berukuran medium dan lurus. Dua jenis Yepha yang ditemukan yaitu Yepha Hongsay dengan serat berwarna pink dan Yepha Hongleu dengan serat putih.
Jurnal Litbang Pertanian, 26(1), 2007

jenis lainnya di sekitar Sentani yang dipanen pada umur 10 tahun atau lebih. Sagu ini rasanya manis, dan bisa dikonsumsi langsung tanpa diperas terlebih dahulu seperti jenis sagu lainnya.

WARNA DAN KUALITAS PATI SAGU


Sifat atau kualitas pati sagu dipengaruhi oleh faktor genetik serta proses ekstraksinya, seperti peralatan dan air yang digunakan, cara penyimpanan potongan batang sagu, dan penyaringan (Flach 1997). Warna dan kualitas pati sagu disajikan pada Tabel 6. Pati sagu umumnya berwarna putih, namun ada pula yang secara genetik berwarna kemerahan seperti Yepha, Fikhela, dan Ruruna karena mengandung senyawa fenol. Menurut Purwani et al. (2006), derajat putih pati sagu bervariasi dan dapat berubah menjadi kecoklatan atau kemerahan selama penyimpanan. Perubahan warna tersebut disebabkan adanya aktivitas enzim Latent Polyphenol Oxidase (LPPO). Enzim ini mengkatalisis reaksi oksidasi senyawa polifenol menjadi kuinon yang selanjutnya membentuk polimer dan menghasilkan warna coklat (Onsa et al. 2000). Menurut Haryadi (2002), sagu yang berwarna putih dapat diperoleh dengan cara menyemprotkan air pada saat pemarutan. Cara tersebut dapat mengurangi reaksi enzim oksidasi yang menyebabkan tepung berwarna kecoklatan.

Gambar 1. Beberapa jenis sagu di Papua, yaitu (a) sagu Para, (b) sagu berduri, dan (c) sagu tidak berduri.

Tabel 4. Produksi tepung dan kandungan kimia tepung sagu di Sentani, Papua.
Jenis sagu Hapholo Hongleu Hapholo Hongsay Yepha Hongleu Yepha Hongsay Rondo Hongleu Rondo Hongsay Osokulu Hongleu Panne Folio Hongleu Para SD Hasil tepung Protein Lemak (t/ha/tahun) (%) (%) 8 8,40 7,90 7,60 3,60 3,40 9,80 5,60 5,10 8,30 2,06 0,06 0,12 0,19 0,25 0,18 0,18 0,06 0,12 0,12 0,06 0,06 0,11 0,07 0,08 0,12 0,08 0,09 0,11 0,12 0,19 0,10 0,02 Karbohidrat (%) 81,19 86,12 80,01 83,31 69,35 86,68 84,43 55,78 65,90 75,14 10,14 Pati (%) 81,42 82,35 84,12 83,27 81,45 83,42 81,75 82,75 83,02 84,35 1,04 Amilosa (%) 28,63 29,52 27,55 27,34 28,59 28,67 27,05 31,14 29,08 29,75 1,23 Amilopektin (%) 52,79 52,83 56,54 55,43 52,56 54,75 54,70 51,61 53,94 54,60 1,51

Sumber: Tenda et al. (2005).

Tabel 5. Kandungan mineral serat sagu di Sentani, Jayapura.


Jenis sagu Yepha Hongsay Para Rondo Ruruna Umur (tahun) 16 18 14 15 12 17 Kandungan mineral (g/kg) N 1,14 0,96 0,80 1,39 P 0,36 0,36 1,08 0,46 K 6,05 4,10 5,29 5,30 Ca 2,42 1,61 1,18 2,33 Mg 0,68 0,65 0,83 0,86

PENGOLAHAN SAGU
Pada daerah-daerah yang terisolasi dan sulit dijangkau seperti Papua, pengolahan sagu masih dilakukan secara tradisional. Menurut Oates dan Hicks (2002), cara pengolahan secara tradisional sejak beberapa ratus tahun lalu hanya sedikit mengalami perubahan. Ada empat level teknologi pengolahan sagu yang dilakukan masyarakat, yaitu micro-scale technology, small-scale technology, semi-mechanized technology, dan fully-mechanized technology. Di Papua, cara pengolahan skala mikro dilakukan di sekitar tempat sagu ditebang dengan menggunakan sumber air dari sungai atau danau. Pengolahan secara small-scale technology diperkirakan telah dilakukan pada 350400 daerah pengolahan sagu 19

Sumber: Miyazaki (2004).

Ruruna: Merupakan jenis sagu berduri. Produksi tepungnya tinggi dengan tepung berwarna putih sehingga jenis ini banyak dieksploitasi untuk diambil tepungnya. Diameter dan tinggi batang bergantung pada lingkungan tumbuhnya. Pada daerah yang tidak ternaungi, diaJurnal Litbang Pertanian, 26(1), 2007

meter batang bisa mencapai 70 cm, sedangkan pada daerah dengan populasi padat dan ternaungi diameternya lebih kecil. Rondo: Tanamannya relatif kecil dan biasanya siap panen pada umur 6 tahun. Sagu ini lebih cepat dipanen dibanding

Tabel 6. Warna dan kualitas pati beberapa jenis sagu di Sentani, Papua.
Tipe sagu Yepha Osokulu Wani Hapholo Folio Hilli Yoghuleng Fikhela Yakhali Ebesung Ruruna Yakhalope Rondo Puy Manna Warna pati Merah kecoklatan Putih kekuningan Putih kekuningan Putih kekuningan Putih keabuan Abu-abu kecoklatan Putih Putih kemerahan Putih kekuningan Putih keabuan Putih kemerahan Putih keabuan Putih kekuningan Putih Putih Kualitas pati Sukar teroksidasi Mudah teroksidasi menjadi coklat Sukar teroksidasi Sukar teroksidasi Sukar teroksidasi Sukar teroksidasi Mudah teroksidasi menjadi kuning Mudah teroksidasi menjadi coklat kekuningan Mudah teroksidasi menjadi merah Mudah teroksidasi menjadi coklat kekuningan Tidak teroksidasi Mudah teroksidasi menjadi coklat kemerahan Sukar teroksidasi Mudah teroksidasi menjadi kuning coklat Tidak teroksidasi

buatan rumah, jembatan, dan alat rumah tangga. Selain itu, masyarakat telah memanfaatkan limbah pohon sagu untuk memelihara ulat sagu sebagai makanan berprotein tinggi (Limbongan et al. 2005). Di samping sebagai sumber pendapatan dan pangan, tanaman sagu dapat menjadi pengikat kebersamaan masyarakat adat di Papua. Para pemuka adat pemilik areal sagu biasanya menghibahkan sebagian pohon sagu kepada warga yang tidak memiliki tanaman sagu.

KESIMPULAN
Papua merupakan daerah sagu yang sangat potensial, karena di samping memiliki banyak jenis sagu, produktivitas beberapa jenis sagu tersebut cukup tinggi, yaitu lebih dari 8 t/ha/tahun seperti Para, Yepha, Rondo, dan Ruruna. Ciri morfologi sagu Papua seperti tinggi tanaman, lingkar batang, berduri atau tidak berduri dapat digunakan untuk membedakan jenis-jenis sagu. Demikian pula warna serat, warna tepung, dan kandungan kimia dapat digunakan untuk menentukan jenis sagu yang dapat dikonsumsi. Penggunaan pati sagu pada masa mendatang cukup potensial. Selain sebagai bahan pangan, pati sagu dapat digunakan sebagai bahan baku pada industri kosmetik, makanan, dan plastik mudah terurai.

Sumber: Miftahorrachman dan Novarianto (2003).

termasuk Papua dengan menggunakan mesin pemarut dan pemeras. Lokasi pengolahan menetap dan dekat dengan sumber air seperti sungai dan danau. Tenaga kerja yang digunakan lebih sedikit dibanding pengolahan skala mikro, tetapi biaya pengolahannya lebih besar. Satu lokasi dapat menggunakan empat mesin pemarut dan pemeras yang dioperasikan oleh 5 orang. Setiap ton sagu kering dapat diperoleh dari pengoperasian mesin pemarut dan pemeras selama 30 jam. Total investasi yang digunakan sekitar Rp10 juta termasuk pembelian mesin, bangunan semipermanen 5 m x 14 m, dan fasilitas pengeringan.

Menurut Rindengan dan Karaouw (2003), dengan perkembangan teknologi, pati sagu dapat menjadi bahan baku pembuatan plastik yang mudah terurai di lingkungan. Plastik jenis ini digunakan sebagai kemasan produk farmasi, kosmetik, dan pangan. Kebutuhan plastik mudah terurai diprediksi akan berkembang dan akan menjadi industri besar di masa yang akan datang. Selain sebagai sumber pati, bagianbagian tanaman sagu seperti batang dan daun dapat digunakan untuk bahan pem-

KEGUNAAN SAGU
Masyarakat Papua mengonsumsi sagu dalam bentuk papeda basah, papeda kering, dan bentuk lempengan. Ada pula sebagian masyarakat pendatang yang telah membuatnya menjadi berbagai kue dengan bentuk dan rasa yang beragam. Beberapa contoh kue sagu disajikan pada Gambar 2. Pati teroksidasi digunakan pada industri kertas, tekstil, dan berbagai industri pangan (Radley 1976). Dalam industri kertas, pati teroksidasi digunakan sebagai bahan pelapis, dan dalam industri tekstil sebagai bahan sizing. Dalam industri pangan, pati teroksidasi digunakan sebagai pengental, pengemulsi, pengikat, dan pencegah sinerisis untuk mempertahankan mutu pangan. 20

Gambar 2. Beberapa jenis kue kering dari tepung sagu.


Jurnal Litbang Pertanian, 26(1), 2007

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Provinsi Papua. 2004. Papua dalam Angka Tahun 2004/2005. Badan Pusat Statistik Provinsi Papua, Jayapura. 510 hlm. Barahima, J. Renwarin, L.N. Mawikere, and Sudarsono. 2001. Diversity of sago palm from Irian Jaya based on morphological characters and RAPD markers. Sago Palm, Abstracts of the International Symposium on Sago 9(2): 48 49. Flach, M. 1983. Sago Palm Domestication, Explantation, and Production. FAG Plant Production and Protection Paper. 85 pp. Flach, M. 1997. Sago Palm. International Plant Genetic Resources Institute (IPGRI) Promoting the Conservation and Use of Underutilized and Neglected Crops, 13. IPGRI Italy and IPK Germany. Haryadi. 2002. The Current Status and Future Prospects of Sago Palm in Java. New Frontiers of Sago Palm Studies. Universal Academic Press, Inc., Tokyo Japan. p. 37 41. Kertopermono, A.P. 1996. Inventory and evaluation of sago palm ( Metroxylon spp.) distribution. p. 53 62. In C. Jose and R. Rasyad (Eds.). Sago: The Future Source of Food and Feed. Proc. 6 th Intl. Sago Symp. Universal Academy Press, Inc. Lakuy, H. dan J. Limbongan. 2003. Beberapa hasil kajian dan teknologi yang diperlukan untuk pengembangan sagu di Provinsi Papua. Prosiding Seminar Nasional Sagu, Manado, 6 Oktober 2003. Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Manado. Limbongan, J., A. Hanafiah, dan M. Ngobe. 2005. Pengembangan Sagu Papua. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua. 25 hlm. Mangindaan, H.F. dan H. Tampake. 2005. Status Plasma Nutfah Tanaman Sagu (Metroxylon sp.). Buku Pedoman Pengelolaan Plasma Nutfah Perkebunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. hlm. 319 329. Miftahorrachman dan H. Novarianto. 2003. Jenis-jenis sagu potensial di Sentani Irian Jaya. Prosiding Seminar Nasional Sagu, Manado, 6 Oktober 2003. Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Manado. Miyazaki, A. 2004. Studies on Differences in Photosynthetic Abilities Among Varieties and Related Characters in Sago Palm (Metroxylon sagu Rottb.) in Indonesia. Paper, Unpublish, Faculty of Agriculture, Kochi University. 50 pp. Oates, C. and A. Hicks. 2002. Sago Starch Production in Asia and the Pacific- Problems and Prospects. New Frontiers of Sago Palm Studies. Universal Academic Press, Inc., Tokyo, Japan. p. 27 36. Onsa, G.H., N. Saari, J. Selamat, and J. Bakar. 2000. Latent polyphenol oxidases from sago log (Metroxylon sagu); partial purification, activation, and some properties. J. Agric. Food Chem. 48: 5.041 5.045. Pangkali, L.B. 1994. Taksiran Kandungan Tepung Jenis Sagu Yepha (Metroxylon sagu Rottb.) berdasarkan Tempat Tumbuh di Sentani, Kabupaten Jayapura. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih. Purwani, E.Y., Widaningrum, H. Setiyanto, E. Savitri, dan R. Thahir. 2006. Teknologi Pengolahan Mi Sagu. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor. 44 hlm. Radley, J.A. 1976. Starch Production Technology. Applied Science Pub. Ltd., London. Rindengan, B. dan S. Karaouw. 2003. Potensi pati sagu sebagai bahan baku plastik. hlm. 105 110. Sagu untuk Ketahanan Pangan. Prosiding Seminar Nasional Sagu, Manado, 6 Oktober 2003. Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Manado. Tenda, E.T. 2004. Pemanfaatan keragaman genetik untuk pengembangan sagu. hlm. 313 320. Prosiding Simposium IV Hasil Penelitian Tanaman Perkebunan, Bogor, 28 30 September, Buku II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. Tenda, E.T., H. Novarianto, and J. Limbongan. 2005. Diversity of sago palm in Indonesia and conservation strategy. Paper presented in the Eight International Sago Symposium, Jayapura, Papua, 46 August 2005. Widjono, A., Y. Mokay, Amisnaipa, H. Lakuy, A. Rouw, dan P. Wihyawari. 2000. Jenisjenis Sagu Beberapa Daerah Papua. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Jurnal Litbang Pertanian, 26(1), 2007

21

Tabel Lampiran 1. Sifat morfologi dan produksi pati 60 aksesi sagu di Papua.
Aksesi Ana Apor Ana Uwabu Warna Kemerahan Merah Duri pucuk Lunak Keras, tersebar tidak beraturan di seluruh punggung pelepah dan jarang Hanya pada anakan Kecil Sedang, cenderung mengarah ke bawah Pendek Hanya pada anakan Panjang (sampai 21 cm) Pelepah Besar, hijau pucat dan panjang Hijau kekuningan, dilapisi plot-plot putih Bentuk batang Diameter rata Diameter bagian bawah biasanya lebih kecil, bagian tengah sampai ke atas sama besar Diameter rata dari bawah sampai atas Diameter rata dari bawah sampai atas Tinggi Warna tepung Putih Putih Produksi tepung Rendah Tinggi

Anangga Suanau

Merah kecoklatan Merah Hijau kecoklatan

Hijau kekuningan sampai hijau tua, berplot-plot putih Hijau di bagian punggung luar Hijau, besar dan panjang

Putih

Tinggi

Ananggemo Anaraumar Era

Putih Putih

Tinggi Sedang

Anatuba Sianggono Apaigo Bibewo

Merah Hijau kekuningan Hijau kemerahan

Hijau kekuningan Hijau kekuningan, sedikit berplot putih Hijau tua

Diameter rata dari bawah sampai atas Diameter rata Diameter bagian tengah lebih besar daripada bagian bawah dan atas Diameter rata Diameter rata Tinggi

Merah Putih

Rendah Tinggi

Merah muda Tinggi

Bibutu Mewi Bosairo Do Mboh

Merah Kemerahan Merah

Pendek, keras Kecil Tiga baris hanya waktu anakan Keras dan panjang (sampai 24 cm) Kasar, besar Tidak berduri Tidak berduri Tidak berduri Tidak berduri Tidak berduri Pada anakan Tidak berduri Tidak berduri Hanya pada anakan Hanya pada anakan Keras

Hijau tua Hijau muda Kemerahan (pelepah Yakhali kuning-coklat) Hijau muda

Putih Putih kemerahan Kemerahan

Tinggi Tinggi Sedang

Edidao

Hijau kemerahan Merah Hijau tua Merah Hijau Kemerahan Hijau kemerahan Kuning kemerahan Hijau tua Hijau kemerahan Kemerahan Kemerahan Hijau kemerahan

Diameter bagian pangkal lebih kecil Diameter rata Diameter rata Tinggi Berbelang Diameter rata Diameter rata Diameter rata Diameter rata Diameter rata Diameter rata Diameter besar Diameter rata

Merah

Sedang

Epesum Epung Yepha Fikta Folio Hongleu Folio Hongsay Hanumbo Hiyakhe Hopholo Hongleu Hopholo Hongsay Igoto Igoto Ogabarasu Kambea

Hijau Hijau tua Hijau tua Besar, keputih-putihan Hijau Hijau tua Hijau tua Hijau Hijau tua Sisi kiri dan kanan berplot pola batik Sisi kiri dan kanan pelepah berpola batik Hijau tua

Merah muda Sedang Putih Putih Putih Merah Rendah Rendah Tinggi Sedang

Merah muda Sedang Merah muda Tinggi Putih Merah Merah Merah Merah muda Sedang Sedang Tinggi Tinggi Tinggi

22

Jurnal Litbang Pertanian, 26(1), 2007

Tabel Lampiran 1. (Lanjutan).


Aksesi Kao Manno Hongleu Manno Hongsay Marido Merepo Mongging Okhu Osukulu Hongleu Osukulu Hongsay Panne Para Hongleu Para Hongsay Warna Hijau kemerahan Kuning kemerahan Merah Hijau muda Hijau kemerahan Hijau kemerahan Hijau kekuningan Hijau kemerahan Merah Kuning kemerahan Hijau kekuningan Merah tua Duri pucuk Hanya pada anakan Panjang Panjang Hanya pada anakan Lunak Panjang Panjang Tidak berduri Tidak berduri Tidak berduri Panjang Panjang Pelepah Hijau Hijau kekuningan Hijau kekuningan Hijau kekuningan Hijau tua Hijau keputih-putihan Hijau muda Hijau Hijau tua Besar, lunak dan mulus Hijau keputih-putihan Hijau keputih-putihan Bentuk batang Diameter rata Diameter rata Diameter rata Diameter rata Diameter rata Diameter rata Diameter rata Diameter rata Diameter rata Diameter rata Diameter rata Diameter bagian bawah lebih kecil bagian atas Diameter bagian bawah lebih kecil bagian atas Diameter rata Warna tepung Merah Putih Merah Putih Kemerahan Putih Putih Produksi tepung Tinggi Sangat rendah Sangat rendah Tinggi Tinggi Tinggi Tidak ada

Merah muda Tinggi Merah Putih Putih Merah Tinggi Sangat tinggi Sangat tinggi Tinggi

Puy

Hijau kemerahan Kehijauan

Sedikit, pendek, keras Agak lebat, pendek, halus, mudah patah Lebat, halus, pendek, mudah patah Padat Padat Sangat kecil Tidak berduri Durinya mengarah ke atas, pendek dan padat Mengarah ke atas, pendek dan padat Tidak berduri Tidak berduri Jarang, cenderung mengarah ke bawah

Hijau

Kemerahan

Sedang

Rondo Hongleu

Hijau

Putih

Tinggi

Rondo Hongsay

Merah

Hijau tua

Diameter rata

Merah

Sedang

Ruruna Hongleu Ruruna Hongsay Segago To Walisa Hongleu

Hijau kemerahan Merah Hijau kemerahan Merah Hijau kemerahan

Hijau Hijau tua Hijau Mempunyai tiga alur/bis coklat Hijau

Diameter rata Diameter rata Diameter rata Diameter rata Diameter rata

Putih Kemerahan Putih kemerahan Putih Putih

Sedang Sedang Tinggi Sedang Sedang

Walisa Hongsay

Merah

Hijau tua

Diameter rata

Merah

Rendah

Wanny Hongleu Wanny Hongsay Wikuarawi

Hijau kemerahan Merah Hijau kemerahan

Pangkal bekas pelepah tua kuat Berserat padat Hijau tua

Diameter rata Diameter rata Diameter rata

Putih Merah Putih

Tinggi Sedang Tinggi

Jurnal Litbang Pertanian, 26(1), 2007

23

Tabel Lampiran 1. (Lanjutan).


Aksesi Wimir Wimor Witarsomoy Witime Uwai Warna Kemerahan Merah Hijau kemerahan Hijau kekuningan Kemerahan Merah Hijau kemerahan Merah Duri pucuk Panjang, lunak Panjang dan lunak Keras Jarang dan lunak Padat, panjang (21 cm) Hanya pada anakan Tersusun dalam baris-baris Bentuknya sama dengan Manno Tidak berduri Tidak berduri Tidak berduri Tidak berduri Pelepah Hijau tua Hijau kekuningan dan panjang Hijau kekuningan Hijau berlilin Bentuk batang Bagian tengah lebih besar Diameter rata Besar dan tinggi Diameter bagian bawah lebih kecil daripada bagian atas Diameter rata Diameter rata Diameter rata Diameter rata Warna tepung Merah Merah Putih Putih Produksi tepung Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi

Wokowurui Yakhati Yakhalope Hongleu Yakhalope Hongsay

Hijau muda Hijau tua Hijau keputih-putihan Hijau tua

Putih Merah muda Umumnya putih

Tinggi Sedang Sedang

Merah muda Rendah

Yakhe Yepha Hili Yepha Hongleu Yepha Hongsay

Merah Hijau kemerahan Hijau kemerahan Hijau kemerahan

Hijau tua Hijau Hijau dengan plot-plot putih Hijau

Diameter rata Diameter rata Diameter rata Diameter rata

Putih kekuningan Putih Putih

Rendah Sedang Tinggi

Merah muda Tinggi

Sumber: Widjono et al. (2000)

24

Jurnal Litbang Pertanian, 26(1), 2007

Anda mungkin juga menyukai