Anda di halaman 1dari 63

Laporan Praktikum 3 Sabtu, 19 September 2020

Mata Kuliah : Ekologi dan Estetika Hutan

IDENTIKASI ESTETIKA TUMBUHAN DAN SATWA


(Studi Kasus : Hutan Pendidikan Gunung Walat,
Kec. Cibadak, Kab. Sukabumi, Prov. Jawa Barat)

Disusun Oleh :
Kelas Praktikum Q1
Rizki Aditio J1302201011

Dosen :
Helianthi Dewi, S.Hut., M.Si
Dr. Melewanto Patabang, S.Hut, M.Si.
Wulandari Dwi Utari, S.Hut., M.Si

Asisten Dosen :
Danang Windrapurna, A.Md.
Esti Menur Sukanti, A.Md.

PROGRAM STUDI
EKOWISATA SEKOLAH VOKASI
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2020
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN 3
A. Latar Belakang 3
B. Tujuan Praktikum 3
II. TINJAUAN PUSTAKA 4
A. Tumbuhan 4
B. Satwa 4
C. Inventarisasi 4
D. Ekowisata 4
E. Wisata 4
F. Estetika 5
III. METODE PRAKTIKUM 6
A. Waktu dan Lokasi 6
B. Alat dan Bahan 6
C. Tahapan Kerja 7
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 6
A. Inventarasi Vegetasi 6
B. ESTETIKA MORFOLOGI DAN ARSITEKTUR TUMBUHAN 15
C. TEKNIK INVENTERASI SATWA 38
D. IDENTIKASI ESTETIKA HUTAN 52
V. KESIMPULAN 62
VI. DAFTAR PUSTAKA 63
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kekayaan Indonesia akan keanekaragaman hayati dengan komponen- komponennya
merupakan masa depan umat manusia sebagai sumber ketahanan pangan, kesehatan, energi, dan
wisata dengan nilai guna aktual maupun potensial bagi kemanusiaan. Nilai-nilai guna ini harus tetap
berkelanjutan baik bagi generasi manusia saat ini maupun generasi masa depan. Keberlanjutan
menjadi kata kunci agar umat manusia dapat melangsungkan hidupnya dalam jangka waktu yang
tidak terbatas dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang terbatas. Kekayaan keanekaragaman
hayati Indonesia adalah berbagai ratusan ribu jenis tumbuhan maupun satwa yang tersebar dari
Sabang sampai Merauke.
Vegetasi pada suatu wilayah akan memberikan dampak positif bagi keseimbangan ekosistem
dalam skala yang lebih luas. Secara umum, peranan vegetasi dalam suatu ekosistem terkait dengan
pengaturan keseimbangan karbon dioksida dan oksigen dalam udara, perbaikan sifat fisik, kimia dan
biologis tanah, pengaturan tata air tanah, dan lain-lain. Meskipun secara umum kehadiran vegetasi
pada suatu area memberikan komposisi vegetasi yang tumbuh di daerah itu. Akhir-akhir ini
masyarakat semakin banyak menopangkan harapan pada vegetasi untuk mengatasi masalah
pengendalian air dan longsor lahan (Soedjoko, S.A, 2003).
Morfologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuk-bentuk luar dari tumbuhan khususnya
tumbuhan berbiji mengenai organ tubuhnya dengan segala variasinya. Adapun satwa adalah bagian
dari sumberdaya alam yang tak ternilai harganya sehingga kelestariannya perlu dijaga melalui upaya
meminimalisir perdagangan hewan ilegal dan satwa langka. Menurut rilis terakhir dari International
Union for Conservation of Nature (IUCN) pada tahun 2011 memperkirakan terdapat sebanyak
300.000 jenis satwa liar yang berhasil diidentifikasikan di Indonesia.

B. Tujuan Praktikum
Praktikum identifikasi estetika tumbuhan dan satwa memiliki tujuan. Tujuan
tersebut diantaranya adalah:
1. Mengidentifikasi inventarisasi berbagai jenis tumbuhan dalam suatu kawasan
2. Mengidentifikasi morfologi dan estetika pada tumbuhan
3. Mengidentifikasi inventarisasi berbagai jenis satwa liar dalam suatu kawasan
4. Mengidentifikasi morfologi dan estetika pada satwa
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tumbuhan
Pengertian Tumbuhan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan bahwa
tumbuhan merupakan makhluk hidup yang tumbuh berinti sel mengandung klorofil atau segala yang
hidup dan berbatang, berdaun, berakar, dan sebagainya (seperti rumput, bambu). Tumbuhan adalah
organisme multiseluler di kerajaan plantae yang dapat melakukan fotosintesis untuk membuat
makanannya sendiri. Tumbuhan memiliki peran penting dalam ekosistem dunia. Hal ini lantaran
diyaki ni menghasilkan sebagian besar oksigen dunia, dan penting dalam rantai makanan, karena
banyak organisme memakan tumbuhan atau memakan organisme yang memakan tumbuhan.

B. Satwa
Satwa menurut Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (1993) merupakan segala jenis
macam sumberdaya alam hewani yang berasal dari hewan yang hidup di darat, air, dan udara.

C. Inventarisasi
Menurut Sugiama (2013) inventarisasi adalah serangkaian kegiatan untuk melakukan
pendataan, pencatatan, pelaporan hasil pendataan dan mendokomentasikannya pada suatu waktu
tertentu. Siregar (2004) menjelaskan inventarisasi merupakan kegiatan yang terdiri dari dua aspek,
yaitu inventarisasi fisik dan yuridis/legal. Aspek fisik terdiri atas bentuk, luas, lokasi,
volume/jumlah, jenis, alamat dan lain-lain. Adapun aspek yuridis adalah status penguasaan, masalah
legal yang dimiliki, batas akhir penguasaan. Proses kerja yang dilakukan adalah pendataan,
kodifikasi/labelling, pengelompokkan dan pembukuan/administrasi. Inventarisasi tumbuhan
merupakan suatu kegiatan untuk mengelompokkan data maupun mengelompokkan suatu jenis dan
berbagai jenis tumbuhan yang ada pada suatu wilayah. Adapun inventarisasi satwa meupakan suatu
kegiatan untuk mengelompokkan data maupun mengelompokkan suatu jenis dan berbagai jenis
satwa yang ada pada suatu wilayah.

D. Ekowisata
Ekowisata merupakan pariwisata alam yang menentukan kriteria standard melestarikan
lingkungan, secara ekonomis menguntungkan dan memberikan manfaat bagi masyarakat setempat
menurut Dirjen Perlindungan dan Konservasi Alam(2000).

E. Wisata
Wisata merupakan kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang
dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau
mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.

F. Estetika
Estetika merupakan suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan
keindahan dan mempelajari semua aspek tentang keindahan.
III. METODE PRAKTIKUM
A. Waktu dan Lokasi
Tempat dilaksanakannya praktikum identifikasi estetika tumbuhan dan satwa adalah di
Kampung Batununggal, Desa Batununggal, Kecamatan Cibadak, Kabupaten. Sukabumi, Provinsi.
Jawa Barat. Pada hari Jum’at, 19 Desember 2020, pukul 17.00 WIB.

Gambar 1. Lokasi pembuatan laporan


Sumber: Aditio, 2020

B. Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan sebagai pelaksanaan pembuatan laporan praktikum
identifikasi estetika tumbuhan dan satwa yaitu disajikan dalam tabel berikut :

Tabel 1. Alat dan Bahan


Alat dan Bahan Kegunaan
Alat

1. Laptop Digunakan untuk membuat laporan praktikum


2. Alat tulis Digunakan untuk menuliskan data yang ditemukan
3. Ponsel Digunakan untuk mencari bahan-bahan literatur
Bahan

1. Microsoft word Digunakan untuk merekap dan mengolah data serta


mengerjakan laporan

2. Google Chrome Digunakan untuk mengakses internet, mencari dan


mengunduh jurnal sebagai bahan referensi
membuat laporan

3. Jurnal ilmiah Digunakan untuk bahan literatur dalam


membuat laporan
C. Tahapan Kerja
Tahapan kerja pelaksanaan praktikum ini sebagai pembantu dalam membuat laporan
identifikasi estetika tumbuhan dan satwa agar lebih terstruktur. Berikut adalah tahapan-tahapan
kerja yang dilakukan yaitu:
1. Mencari jurnal ilmiah tumbuhan dan satwa di Google Chrome
2. Membuka laptop untuk mengerjakan laporan praktikum
3. Membuka aplikasi Microsoft Word untuk merekap dan mengolah data serta mengerjakan
laporan praktikum
4. Mengerjakan laporan praktikum
5. Mengumpulkan laporan
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Inventarasi Vegetasi

1. Teknik Pengambilan Data

Metode Petak Ganda


Kegiatan ini dilakukan dengan mempergunakan data primer dan data sekunder. Data sekunder
merupakan data yang digunakan untuk mengetahui komposisi dan struktur tumbuhan invasif
dan sebagai mengetahui batas pengamatan kegiatan penelitian. Pengambilan data primer
dilakukan dengan menggunakan metode petak ganda.

2. Skema Peta Ukur

Dalam penelitian ini dilakukan analisis vegetasi dengan pembuatan petak kuadrat ukuran 2x2
m untuk jenis tumbuhan seedling dan vegetasi dasar, sebanyak 25 plot yang diletakan secara
purposive sampling (lokasi yang terdapat tumbuhan invasif). Sama jenis, diameter, tinggi dan
tinggi bebas cabang, parameter ini dikur untuk menghitung kerapatan relatif (KR), frekuensi
relatif (FR) dan luas penutupan dominasi (CR). Sehingga akan diperoleh Indeks Nilai penting.

Gambar 1. Skema Peta Ukur.

Kerpatan dalah jumlah individu per unit luas atau per unit volume. Dengan kata lain, kerpatan
merupakan jumlah individu organisme per satuan ruang. Untuk memudahkan dalam proses
analisis kerapatan ini sering menggunakan nitasi K. Perbandingan kerapatan jenis dengan
kerapatan seluruh jenis yang dinyatakan dengan % disebut kerapatan relatif (KR). Perhitungan
dapat dilakukan dengan penamaan sebagai berikut :
3. Tallyshhet Pengamatan

1) Analisis Tumbuhan Invasif di Kawasan Cagar Alam Lembah Anai.

Tabel 1. Komposisi Tumbuhan Invasif di Kawasan Cagar Alam Lembah Anai


No Family Spesies Nama Habit  

Daerah Individu Plot

1 Acanthaceae Asytasia Langkok Herba 52 9

Gangetica L.

2 Arecaceae Arenga Langkok Palma 29 15

obtusifolia

Mart.

3 Asteraceae Acanthosper Langkok Herba 26 4


Mum hispidum
DC.

4 Asteraceae Ageratum Langkok Herba 17 3


conyzoides L.

5 Asteraceae Austropatori Langkok Herba 18 3


um inulaefo
lium Kunt.

6 Asteraceae Mikania Kerinyuk Liana 8 2


Micrantha
Kunt.

7 Balsaminaceae Imphatiens Pacar air Herba 26 4


Walleriana
Hook.f.
8 Commelinaceae Commelina Pacar air Herba 21 5
benghalensis L.

9 Lamiaceae Hyptis Subang- Herba 13 2


Capitata subang
Jack

10 Melastomataceae Clidemia Subang- Semak 10 4


hirta (L.) subang Semak
D. Don
11 Mimosaceae Albizia Subang- Semak 11 6
Julibrissin subang
Durazz.

12 Mimosaceae Mimosa Putri Herba 12 2


Pudica L. malu

13 Poaceae Kyllinga Putri Rumput 31 6


Nemoralis malu
(J.R.Forst.
& G.Forst.)
Dandy ex
Hutch. &
Dalzie

14 Poaceae Oplismenus Rumput Rumput 8 3


Hirtellus
(L.) P.Beauv.

15 Poaceae Panicum Rumput Rumput 15 4


Maximum gajah
Jacq
16 Poaceae Setaria Rumput Rumput 13 2
Palmifolia gajah
(J.Koenig)
Stapf

17 Rubiaceae Spermacoce Rumput Herba 23 4


Ocymifolia gajah
Willd. ex
Roem. & Schult

18 Rosaceae Rubus Rumput Liana 1 1


moluccanus L. gajah

19 Verbenaceae Stachytarph Bujang Semak 3 1


eta Jamaicen
sis Vahl.

Jumlah 337

Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa spesies tumbuhan invasif yang ditemukan di kawasan
Cagar Alam Lembah Anai terdiri dari 12 famili, 19 spesies dan 337 individu. Dari 12 famili tersebut
famili asteraceae dan poaceae merupakan famili dengan jumlah jenis terbanyak yang ditemukan
yaitu masing-masing 4 jenis. Jenis-jenis tumbuhan invasif di atas banyak ditemukan di dalam plot
yang terletak di area yang terbuka serta memiliki intensitas cahaya yang relatif tinggi. Steenis (2006),
tumbuhan bawah atau vegetasi dasar merupakan spesies yang mempunyai sebaran luas dan
mempunyai toleransi yang tinggi terhadap faktor lingkungan.

Pada penelitian selain ditemukan dengan jumlah jenis terbanyak Famili Asteraceae juga merupakan
famili yang dominan (Tabel 2) dengan persentase 20,47%, sedangkan famili codominan yaitu
Poaceae (19,88%) famili Acanthaceae (15,4%). Dominan dan co-dominan suatu famili dapat
ditentukan oleh jumlah spesies penyusun famili dan juga jumlah individu yang terdapat dalam famili
tersebut. Famili Asteraceae ditemukan dengan jumlah 4 spesies dan 69 individu, sedangkan famili
Poaceae dan family Acanthaceae masing-masing sebanyak 4 spesies, 67 individu serta 1 spesies dan
52 individu. Menurut Cronguist (1981) famili Asteraceae merupakan kelompok tumbuhan yang
terdiri dari 1.100 genus meliputi 20.000 spesies, yang menyebar luas di seluruh dunia.
Tabel 2. Famili Dominan dan Co-dominan Tumbuhan Invasif Di Cagar Alam Lembah Anai.
No Famili  Individu %Famili

1 Acanthaceae 52 15.4

2 Arecaceae 29 8.61

3 Asteraceae 69 20.47

4 Balsaminaceae 26 7.72

5 Commelinaceae 21 6.23

6 Laminaceae 13 3.86

7 Melastomaceaea 10 2.97

8 Mimosaceae 23 6.82

9 Poaceae 67 19.88

10 Rubiaceae 23 6.82

11 Rosaceae 1 0.30

12 Verbenaceae 3 0.89

Jumlah 337

Struktur Spesies

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa spesies yang memiliki nilai penting tertinggi terdapat pada spesies
Arenga obtusifolia, yaitu 27,36%. Tingginya nilai penting A. obtusifolia disebabkan karena nilai
frekuensi relatif yang tinggi jika dibandingkan spesies invasif lainnya. Whitmore (1975) menyatakan
tingginya nilai frekuensi relatif suatu jenis merupakan suatu petunjuk bahwa jenis tersebut
penyebarannya luas. Sedangkan nilai kerapatan relatif tertinggi ditemukan pada spesies Asystasia
gangetica L. berdasarkan nilai kerapatan relatif dapat diketahui bahwa spesies ini memiliki jumlah
individu yang paling banyak dibandingkan jenis tumbuhan invasif lainnya. Muhdi dkk (2008),
menyatakan bahwa Indeks Nilai Penting (INP) dapat digunakan untuk mengetahui dominansi
spesies dalam komunitas tumbuhan yang diteliti. Indeks Nilai Penting (INP) digunakan sebagai
besaran yang menunjukkan kedudukan suatu jenis terhadap jenis lain dalam suatu komunitas. Makin
besar INP suatu jenis, maka peranannya dalam komunitas tersebut semakin penting.

Tabel 3. Struktur Tumbuhan Invasif di Kawasan Cagar Alam Lembah Anai


No Spesies Habit KR FR INP

1 Arenga obtusifolia Mart. Palma 8.61 18.75 27.36

2 Asystasia gangetica L. Herba 15.43 11.25 26.68

3 Kyllinga nemoralis (J.R.Forst. & G.Forst.) Rumput 9.20 7.5 16.70

Dandy ex Hutch. & Dalziel

4 Acanthospermum hispidum DC. Herba 7.72 5 12.72


5 Imphatiens walleriana Hook.f. Herba 7.72 5 12.72

6 Commelina benghalensis L. Herba 6.23 6.25 12.48

7 Spermacoce ocymifolia Willd. ex Roem. & Schult Herba 6.82 5 11.82

8 Albizia julibrissin Durazz. Semak 3.26 7.5 10.76

9 Panicum maximum Jacq Rumput 4.45 5 9.45

10 Austropatorium inulaefolium Kunt. Herba 5.34 3.75 9.09

11 Ageratum conyzoides L. Herba 5.04 3.75 8.79

12 Clidemia hirta (L.) D. Don Semak 2.97 5 7.97

13 Hyptis capitata Jack Herba 3.86 2.5 6.36

14 Setaria palmifolia (J.Koenig) Stapf Rumput 3.86 2.5 6.36

15 Oplismenus hirtellus (L.) P.Beauv. Rumput 2.37 3.75 6.12

16 Mimosa pudica L. Herba 3.56 2.5 6.06

17 Mikania micrantha Kunt. Liana 2.37 2.5 4.87

18 Stachytarpheta jamaicensis Vahl. Semak 0.89 1.25 2.14

19 Rubus moluccanus L. Liana 0.30 1.25 1.55

100 100 200

Sifat mendominasi suatu jenis tertentu dapat menimbulkan dampak buruk bagi ekosistem
yang ditempati jenis tersebut. Dominansi sangat erat hubungannya dengan invasi, Tjitrosoedirdjo,
(2015), menyatakan bahwa invasi adalah suatu sifat yang menggambarkan kinerja suatu spesies
tumbuhan atau hewan yang menjadi dominan serta mengancam ekosistem, habitat dan spesies yang
terdapat disuatu lokasi.
Menurut Usmadi dkk (2015) A. obtusifolia atau biasa dikenal dengan nama langkok dapat
tumbuh optimal dengan suhu permukaan vegetasi maksimal 210C dengan kondisi lingkungan dalam
kategori lembab. Lokasi Cagar Alam Lembah Anai merupakan kawasan hutan hujan dengan
kelembaban yang cukup tinggi, sehingga dengan demikian dapat memungkinkan spesies ini dapat
tumbuh denganbaik
Selanjutnya tingginya INP spesies ini dibandingkan dengan spesies lain, mengindikasikan
adanya kemungkinan pergerakan langkok untuk menginvasi kawasan Cagar Alam Lembah Anai
Langkok di temukan pada daerah dengan ketinggian 360-421 mdpl. Menurut Sastrapradja et al.
(1978) umumnya langkok tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 550 meter di atas permukaan
laut. Data kesesuaian tempat tumbuh berdasarkan ketinggian tempat dapat mengindikasikan bahwa
langkok termasuk spesies Arecaceae dataran rendah. Langkok dapat ditemukan pada semua tingkat
kelerengan dari datar sampai sangat curam dan semua arah lereng (aspek) dengan kelerengan antara
1,82–55,57%, serta pada jarak antara 0 – 480 m dari sungai.
Ada beberapa mekanisme yang dilakukan tumbuhan invasif untuk mempengaruhi komunitas
alami, diantaranya melalui kompetisi, sehingga dapat menyebabkan terjadinya perubahan proses
dalam suatu ekosistem. Soerianegara dan Indrawan (1978)menyatakan adaptasi yang tinggi serta
reproduksi yang cepat juga akan mempengaruhi kehidupan suatu spesies sehingga berhasil mencapai
siklus hidupnya dan berkembang di daerah tempat tumbuhnya.
Asystasia gangetica juga merupakan spesies yang cukup dominan di kawasan cagar alam
lembah anai setelah jenis A. obtusifolia. Asystasia gangetica merupakan spesies herba yang tersebar
di India, Malaysia dan Afrika. Spesies ini memiliki kemampuan untuk berkembangbiak dengan
perbanyakan vegetative dan membentuk vegetasi padat, spesies ini bersifat sangat invasif, sehingga
mampu menguasai habitat yang ditempatinya. Salah satu kasus yang di timbulkan spesies ini
gangguan besar terhadap ekosistem asli di kepulauan pasifik (BIOTROP, 2015).
Nilai-nilai yang dihasilkan dari setiap spesies yang didapatkan sangat berpengaruh pada
tingkan keanekaragaman spesies yang ada dilokasi Cagar Alam Lembah Anai. Nilai indeks
keanekaragaman tumbuhan invasif di kawasan Cagar Alam Lembah Anai tergolong sedang yaitu
2,80. Sebagai spesies yang telah teridentifikasi dan termasuk kedalam tumbuhan invasif,
Keanekaragaman tumbuhan invasif tersebut sangat dikhawatirkan dapat menurunkan
kenekaragaman makhluk hidup yang ada di kawasan Cagar Alam Lembah Anai. Sebagai kawasan
konservasi diperlukan pengawasan khusus terhadap perkembangan tumbuhan invasif yang ada pada
kawasan ini.

2) Analisis berbagai jenis tumbuhan

1. Pohon

Pohon merupakan tumbuhan berkayu dengan satu cabang utama. Pada saat dewasa, pohon
memiliki tinggi minimal 7 meter dengan diameter minimal 20 cm.
Pohon yang ditemui sebanyak lima belas jenis dengan total dua puluh. Jenis Rasamala
merupakan jenis pohon yang paling banyak ditemui dengan jumlah 3. Jenis yang sedikit ditemukan
yaitu Saga, Damar, Nyamplung, Sonokeling, Loloan, Merawan, Ketangi, Pacira, Sungkai, Puspa dan
Kijebus dengan jumlah 1. Jenis pohon terbanyak ditemukan yaitu jenis Rasamala dengan INP 22,2%.
Rasamala (Altingia excelsa) adalah pohon hutan yang dapat tumbuh sangat tinggi, mencapai 40
hingga 60 meter. Keberadaan rasamala sebagai pemilik INP terbesar. Dan jumlah terkecil pohon
Saninten dengan presentase INP sebesar 6.6%. Hasil mengenai kelima belas jenis pohon yang
dijumpai akan ditampilan pada tabel dibawah ini :

Tabel 1. Struktur Pohon


K KR FR
Nama Diameter DR
No. Jenis (cm) (ind/m2) (%) F (%) Lbds (m2) D (%) INP
1. Saga 25.47 5 2.5 1 1.92 509.5541401 0.25 2.42 6.8

2. Damar 23.88 5 2.5 1 1.92 447.8503185 0.22 2.12 6.6

3. Rasamala 27.70 15 7.5 3 5.76 602.6273885 0.10 1.00 22.2

4. Nyamplung 28.66 5 2.5 1 1.92 644.9044586 0.32 3.06 7.5

5. Sonokeling 20.06 5 2.5 2 3.84 316.0031847 0.18 1.73 8.1

6. Loloan 46.17 5 2.5 1 1.92 1673.964968 0.83 7.95 12.4

7. Pangsor 43.31 10 5 1 1.92 1472.611465 1.10 10.54 17.5

8. Merawan 29.29 5 2.5 1 1.92 673.8853503 0.33 3.20 7.6

9. Ketangi 50.95 5 2.5 1 1.92 2038.216561 1.01 9.68 14.1

10. Tanjung 20.06 10 5 1 1.92 316.0031847 0.18 1.73 8.7


11. Pachira 24.84 5 2.5 1 1.92 484.3949045 0.24 2.30 6.7
12. Saninten 19.42 10 5 2 3.84 296.2579618 1.40 13.32 14.3
13. Sungkai 30.89 5 2.5 1 1.92 749.1242038 0.37 3.56 8
14. Puspa 21.65 5 2.5 2 3.84 368.1528662 0.45 4.32 10.7
15. Kijebus 40.76 5 2.5 3 5.76 1304.458599 0.93 8.88 17.2
2. Pancang

Pancang memiliki ciri dengan ukutan tinggi lebih dari 1.5 meter dan diameter kurang dari 10
cm. Inventarisasi dilakukan dalam petak ukuran 5x5 cm. Dijumpai 6 jenis pancang dengan total 9
individu. Jenis pancang yang dijumpai paling banyak yaitu jenis Walen dan Pulus dengan jumlah 2
individu yang memiliki presentase INP sebesar 15,47 %. Sementara jenis yang paling sedikit
dijumpai yaitu jenis Kihoe, Pikes dan Ramogiling dengan 1 individu dan presentase INP sebesar
7,73%. Keanekaragaman jenis pancang yang ditemui pada pengamatan di arboretum IPB Dramaga
yang disajikan pada tabel berikut.
Tabel 2. Struktur Tumbuhan Pancang

K KR FR
Jumlah
No. Nama Jenis Individu (ind/m2) (%) F (%) INP

1 Kihoe 1 80 5.263158 1 6.25 7.738095

2 Pikes 1 80 5.263158 1 6.25 7.738095

3 Ki Jeruk 2 160 10.52632 1 6.25 11.30952

4 Ramogiling 1 80 5.263158 1 6.25 7.738095

5 Walen 2 160 10.52632 2 12.5 15.47619

6 Pulus 2 160 10.52632 2 12.5 15.47619

3. Tiang

Tiang merupakan pohon yang memiliki ciri dengan ukuran tinggi dengan diameter antara 10 cm
dan 20 cm. Inventarisasi dilakukan dalam petak ukuran 5x5 cm. Dijumpai 8 jenis tiang dengan total
9 individu. Jenis pancang yang dijumpai paling banyak yaitu jenis Walen dan Pulus dengan jumlah
2 individu yang memiliki presentase INP sebesar 15,47 %. Sementara jenis yang paling sedikit
dijumpai yaitu jenis Kihoe, Pikes dan Ramogiling dengan 1 individu dan presentase INP sebesar
7,73%. Keanekaragaman jenis pancang yang ditemui pada pengamatan di arboretum IPB Dramaga
yang disajikan pada tabel berikut.

Tabel 3. Struktur Tumbuhan Tiang


Diameter K
No Nama Jenis KR (%0 F FR (%) Lbds (m2) D DR (%) INP
(cm) (ind/m2)

1 Walen Pikes Pibes 13,69427 40 13,33333 2 15,38462 147,2134 0,26831 7,523665 36

Kibangkong Turkinlas
2
Faero 13,69427 20 6,666667 1 7,692308 147,2134 0,29443 8,255939 23

3 Janitribareum 17,51592 20 6,666667 1 7,692308 240,8439 0,48169 13,50688 28

4 Nangsi 9,235669 60 20 1 7,692308 66,9586 0,14666 4,112341 32

5 Kiracun Bodas 17,51592 20 6,666667 1 7,692308 240,8439 0,48169 13,50688 28


Diameter K
No Nama Jenis KR (%0 F FR (%) Lbds (m2) D DR (%) INP
(cm) (ind/m2)

6 Hamerang 10,50955 20 6,666667 1 7,692308 86,70382 0,17341 4,862475 19

7 Manglid 17,83439 20 6,666667 1 7,692308 249,6815 0,49936 14,0025 28

8 Kiserem 11,46497 20 6,666667 1 7,692308 103,1847 0,20637 5,786748 20

4. Semai
Semai yang ditemui sebanyak 5 jenis yang berbeda. Jenis Cana rokobor merupakan jenis semai
yang paling banyak ditemui dengan jumlah 12. Sedangkan yang lain hanya sedikit yang di temui.
Tabel 4. Struktur Tumbuhan Semai
Jumlah
No Nama Jenis K(ind/m2 KR (%0 F FR (%) INP
individu

1 Cana rokobor 12 60 17,91045 1 5,263158 6,21326

2 Hamerang 1 5 1,492537 1 5,263158 6,755695

3 Nyurbuut 1 1 5 1,5 1 6,755695

4 Konyal 1 1 5 1,5 1 6,755695

5 kiaksara tulang perak 1 5 1,492537 1 5,263158 6,755695

5. Parasit
parasit adalah tumbuhan yang tumbuh pada tumbuhan yang lain/ menumpang hidup pada
tummbuhan lain, jenis parasit ditemui sebanyak 5 jenis individu. Jjenis pakis burung merupakan
jenis parasit yang paling banyak ditemui engan jumlah 26. Jenis yang paling sedikit ditemui adalah
jenis Tebat Barito dan Ramukuya Gede.

Tabel 5. Struktur Tumbuhan Parasit


Jumlah
No Nama Jenis K(ind/m2 KR (%0 F FR (%) INP
individu

1 Pakis Burung 26 130 38,80597 5 26,31579 65,12176

2 Tebat Barito 2 10 2,985075 1 5,263158 8,248233

3 Pakis Hurang 4 20 5,970149 1 5,263158 11,23331


4 Ramukuya Gede 2 10 2,985075 1 5,263158 8,248233
5 Pakis Harupat 7 35 10,44776 2 10,52632 20,97408
4. Analisis Data

Kerpatan dalah jumlah individu per unit luas atau per unit volume. Dengan kata lain, kerpatan
merupakan jumlah individu organisme per satuan ruang. Untuk memudahkan dalam proses
analisis kerapatan ini sering menggunakan nitasi K. Perbandingan kerapatan jenis dengan
kerapatan seluruh jenis yang dinyatakan dengan % disebut kerapatan relatif (KR). Perhitungan
dapat dilakukan dengan penamaan sebagai berikut :
Kerapatan (K)
Jumlah Individu suatu spesies
𝐾= ind/ha
Luas seluruh petak

Kerapatan Relatif (KR)


Kerapatan suatu spesies
𝐾𝑅 = x 100%
Kerapatan seluruh spesies

Frekuensi dalam suatu ekologi digunakan untuk menyatakan proposi antara jumlah sampel yang
berisi suatu spesies tertentu terhadap jumlah total sampel. Frekuensi merupakan besarnya
intensitas diketemukannya suatu spesies organisme dalam pengamatan. Keberadaan organisme
pada komunitas atau ekosistem. Frekuensi spesies (FR) dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut :

Frekuensi (F)
Jumlah petak dijumpai suatu spesies
𝐹=
Jumlah seluruh petak

Indeks Nilai Penting (INP) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan
tingkat dominasi (tingkat penguasaan) spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan
(Soegianto. 1994). Indeks Nilai Penting dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.

Indeks Nilai Penting (INP)


𝐼𝑁𝑃 = 𝐾𝑅 + 𝐹𝑅

Keanekaragaman spesies tumbuhan dapat dihitung dengan menggunakan Indeks


Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’). Indeks ini menurut Ludwig dan Reynolds (1988) dapat
dihitung dengan rumus :

Indeks keanekaragaman spesies


𝑛𝑖 𝑛𝑖
H = − 𝐿𝑜𝑔
𝑁 𝑁

Keterangan :
H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
ni = Jumlah individu dari suatu jenis i
N = Jumlah total individu selruh jenis

B. ESTETIKA MORFOLOGI DAN ARSITEKTUR TUMBUHAN

1. Hasil

Di alam ini ditemukan berbagai jenis tumbuhan dengan berbagai bentuk. Bentuk tumbuhan erat
kaitannya dengan morfologi tumbuhan. Morfologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuk-
bentuk luar dari tumbuhan, khususnya tumbuhan berbiji mengenai organ- organ tubuhnya dengan
segala variasinya. Berikut ini merupakan identifikasi morfologi tumbuhan.
Tabel 2. Tallysheet Morfologi dan Arsitektur Tumbuhan
Bentuk
Jenis Nama Bentuk
Bentuk Daun Jenis Akar Bunga dan
Tumbuhan Ilmiah Batang
Buah
Kelapa Cocos Memiliki daun Batang pohon Pohon kelapa Buah kelapa
nucifera tunggal kelapa berdiri mempunyai berbentuk
dengan tegak tidak jenis akar bulat seperti
pertulangan bercabang. serabut yang kepala
menyirip. cukup tebal manusia.
dan berkayu.
Mangga Mangifera Berbentuk Memiliki Pohon mangga Kelompok
indica lonjong dan batang yang memiliki akar buah batu
berbentuk segi tebal serta yang tunggang yang
empat namun kasar. dan bercabang. berdaging
runcing pada dengan ukuran
ujunya. yang beragam.
Rambutan Manilkara Berbentuk Memiliki Memiliki akar Buah
zapota daun majemuk struktur batang tunggang yang rambutan
yang letaknya yang kasar dan berada di berbentuk
berselang dan tebal, serta permukaan bulat serta
seling, dan batang yang tanah. memiliki
berbentuk bercabang. rambut.
bulat lonjong.
Jambu air Syzygium Di ujung daun Memilki batang Memiliki akar Buah berbentuk
aqueum memiliki bentuk yang keras dan yang tunggang di seperti lonceng
yangtumpul serta kasar serta dalam tanah yang mengerucut
mengkilat terdapat bercak

Jambu Psidium Daun agak Batang bagian Akar tunggang Bentuk buah
Biji guajava melengkung bawah besar bulat lonjong

Sawo Manilkara Daun tunggal Sawo memilki Sawo memiliki Buah sawo
zapota terletak akar tunggang akar tunggang memiliki
berseling bentuk lonjong
dan mempunyai
daging tebal
Bentuk
Jenis Nama Bentuk
Bentuk Daun Jenis Akar Bunga dan
Tumbuhan Ilmiah Batang Buah
Pepaya Caria Daun menyirip Pepaya Akar tunggang Bentuk buah
papaya pada bagian merupakan atau radik bulat hingga
tangkai batang silinder primaria memanjang
memanjang di termasuk dengan ujung
tengah lubang kedalam batang biasanya
dan warna hijau termasuk batang meruncing.
monopodial Warna buah
hijau tua jika
belum matang
dan warna
kekuning-
kuningan jika
sudah matang
Pinang Areca catechu Memiliki daun Memiliki Memiliki akar Memiliki buah
berbentuk batang pohon tunggang kecil dan bulat
menyirip ganjil yang kokoh menjulang ke berwarna
seperti kipas tegak lurus atas kuning
berwarna vertical. permukaan kecokelatan.
hijau. tanah.
Belimbing Averrhoa Bulat telur Tegak, Memiliki akar Buah belimbing
Wuluh blimbi dengan ujung bercabang, tunggang wuluh berbentuk
runcing dan memiliki lonjong persegi
tulang daun banyak tonjolan
menyirip dan termasuk
momopodial
Nangka Artocarous Daun tungal Batang tegak Mempunyai akar Bunganya muncul
heterophyllus menyirip, pada memanjang serta tunggang yang ada di batang atau
ujung daun berstruktur di bawah tanah cabang besar. Dan
meruncing dan ber berwarna coklat memilki buah
majemuk yang
semu

2. Pembahasan

Dalam suatu tumbuhan, terdapat morfologi di dalamnya yang terdiri dari ciri daun, batang,
akar, dan bunga serta buah. Berikut merupakan hasil pembahasan.

1. Pohon Kelapa
a. Morfologi Batang
Batang pohon kelapa termasuk tanaman monokotil yang tidak memiliki cambium, hal ini
mendasari mengapa batang pohon kelapa hanya tumbuh lurus keatas. Batang pohon kelapa tumbuh
mengikuti arah sinar matahari karena hanya memiliki satu titik tumbuh yakni pada bagian ujung
batang.
Batang pohon kelapa umumnya berbentuk panjang bulat seperti silinder. Batangnya juga
berwarna putih keabu-abuan dan memiliki ruas-ruas layaknya pohon bambu. Semakin tua maka
ruas-ruas yang dimiliki batang pohon kelapa akan semakin berkurang.

Gambar 2 Kelapa (Cocos nucifera)


Sumber : Aditio, 2020

b. Morfologi Daun
Daun pada pohon kelapa bertulang sejajar dan memiliki pelepah. Helai daun kelapa tersusun
disisi kanan dan kiri pelepahnya. Pelepah pohon kelapa umumnya dapat mencapai ukuran 8-9
meter dan terdapat 65 pasang helai daun untuk tanaman kelapa dewasa.
Ujung daun pada pohon kelapa berbentul lancip dan tersusu secara zigzag atau selang seling
pada satu pelepah. Daun kelapa umumnya berwarna hijau tua dan berwana kuning saat masih
muda. Daun kelapa yang masih muda juga memiliki tekstur yang masih lentur dan budah dibentuk.

Gambar 3 Daun Kelapa


Sumber : Aditio 2020

c. Morfologi Akar
Pohon kelapa mempunyai jenis akar serabut yang cukup tebal dan berkayu serta bentuknya
berkerumun layaknya bonggol. Akar ini sangat kuat sehingga mampu menopang pertumbuhan
kelapa, bahkan kuat untuk menahan terjangan angin.
Meskipun memiliki akar serabut akar kelapa bisa masuk kedalam tanah hingga kedalaman 8
meter dan menyebar secara horizontal hingga 16 meter.
Gambar 4 Akar Pohon Kelapa
Sumber : Brosehat 2020

d. Morfologi Buah dan Bunga


Buah kelapa berbentuk bulat cukup dan ukurannya cukup. Namun ada juga yang lonjong
tergantung pada tiap jenis varietas kelapa. Diameter buah kelapa sekitar 10 hingga 20 cm.
Warnanya pun beragam, mulai dari hijau, kuning, oranye atau merah kecokelatan apabila buah
kelapa telah tua.
Bunga kelapa termasuk bunga majemuk yang tumbuh di bagian ketiak daun dengan
membentuk tandan. Bunga ini berwarna putih agak kekuningan tekstur agak keras yang dilindungi
tempurung berbentuk memanjang pada bagian manggarnya. Panjang bunga ini bisa mencapai 30
cm hingga 1,5 m.

Gambar 5 Buah Kelapa


Sumber : Aditio 2020

e. Arsitektur Pohon Kelap Arsitektur Pohon Kelapa


Tanaman kelapa merupakan tanaman monokotil yang tidak memiliki cambium. Hal ini
menyebabkan batang kelapa tidak memiliki pertumbuhan sekunder alias batangnya tidak
membesar namun hanya tumbuh lurus ke atas.
Batang tanaman kelapa hanya memiliki satu titik tumbuh yakni pada bagian ujung batang.
Titik tumbuh tersebut mengikuti arah sinar matahari, sehingga kita sering melihat ada batang
tanaman kelapa yang tumbuhnya tidak lurus.
Kecepatan pertumbuhan batang tanaman kelapa berbeda- beda. Pada tanaman muda
kecepatan tumbuhnya 1 – 1,5 meter per tahun, sedangkan tanaman dewasa 0,5 meter per tahun dan
tanaman tua hanya tumbuh 10 – 15 cm per tahun.
Umumnya tanaman kelapa dapat mencapai ketinggian hingga 30 meter dan diameter
batangnya 20 – 30 cm. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kesuburan tanah dan iklim.

Gambar 6 Arsitektur Pohon Kelapa


Sumber : Aditio 2020

2. Pohon Mangga
a. Morfologi Batang
Batang pohon mangga berkayu yang sangat keras dan meiliki kulit yang tebal dan berwarna
hitam. Morfologi batang dari tanaman mangga ini berbentuk bulat yang disertai dengan
percabangan dan ranting yang lumayan banyak.
Tanaman mangga berkembang biak dengan cara generative menggunakan benih. Untuk
perbanyakan secara vegetative biasanya batangnya lebih pendek dan memiliki percabangan yang
membentang. Pohon mangga memilki batang utama lebih dari satu (Simpodial) dan cara
pertumbuhan batangnya pun kontinyu atau menerus.

Gambar 7 Batang Pohon Mangga

Sumber : Aditio 2020


b. Morfologi Daun
Daun pohon mangga berwarna hijau muda ketika masih muda dan hijau tua ketika sudah jadi
daun sesungguhnya. Ukuran daun pohon mangga bisa mencapai 8 sampai 40 cm serta lebar 2
sampai 12,5 cm. Letak daun mangga juga berselang seling.
Daun pohon mangga mempunyai tulang menyirip dan bentuk daun pohon mangga beragam
ada yang berbentuk mata tombak, lonjong, segi empat dengan ujung runjing. Pada bagian pangkal
daun mangga membesar dengan sisi pada bagian atasnya membentuk alur yang panjang mencapai
1,25 sampai 12,50 cm.

Gambar 8. Pohon Mangga

Sumber : Aditio, 2020

c. Morfologi Akar
Dimulai dari organ akar, morfologi akar pohon mangga terdiri dari akar tunggang dan akar
cabang. Akar tunggang yang dimiliki oleh pohon mangga bisa mencapai kedalaman 5-6 meter dan
memiliki ukuran yang sangat panjang. Akar tunggang yang panjang akan tumbuh sampai
permukaan air tanah. Setelah mencapai permukaan air maka akar pohon mangga akan membentuk
akar cabang.

Gambar 9 Akar Pohon Mangga


Sumber : Nur 2020
d. Morfologi Buah dan Bunga
Buah mangga umumnya berbentuk bulat lonjong dan berwarna hijau dan hijau kekuningan
jika sudah matang. Ada juga mangga yang berwarna merah jika matang yaitu mangga yang berasal
dari Pasuruan Jawa Timur. Buah mangga bisa berukuran 20-30 cm. Mempunyai kulit yang tebal
dan memiliki kelenjar, Buah mangga bertekstur tebal dan memiliki rasa manis dan keasam-
asaman ketika belum matang.
Bunga mangga merupakan bunga majemuk yaitu bunga yang terangkai pada satu ibu tangkai.
Jumlah bunga disetiap ytandan berkisar antara 1000- 6000 kuntum dengan ukuran yang kecil,
diameter sekitar 6-8 mm. Terdapat bunga jantan dan hermaprodit (bunga banci) pada setiap
rangkaian bunga dengan proporsi bunga jantan lebih banyak.

Gambar 10 Buah Pohon Mangga


Sumber : Aditio 2020

e. Arsitektur Pohon Mangga


Morfologi batang dari tanaman mangga ini berbentuk bulat yang disertai dengan percabangan
dan ranting yang lumayan banyak.Pada cabang serta ranting akan menumbuhkan daun-daun yang
lebat dan berbentuk kanopi, seperti oval, kubah dan memanjang.
Kulit dari batang tanaman mangga ini begitu tebal dan kasar dengan warna coklat gelap yang
kehitaman atau keabu-abuan.
Perlu diketahui kalau tanaman mangga ini di perbanyakan generative (menggunakan benih)
sehingga tanaman mangga ini bisa bertumbuh dengan sempurna.Jika perbanyakan dengan cara
yang vegetative, maka batang tersebut akan menjadi lebih pendek dan batang akan membentang.
Gambar 11 Arsitektur Pohon Mangga
Sumber : Aditio 2020

3. Pohon Rambutan

a. Morfologi Batang
Pada umumnya tanaman rambutan bisa bertumbuh dengan ketinggian yang mencapai 15
meter atau lebih dari itu. Batang tanaman rambutan ini berwarna coklat dengan bentuk yang bulat
dan tidak berarti serta berdiameter bisa mencapai 40 hingga 60 cm.
Batang dari tanaman rambuta ini agak sedikit keras serta tidak rata dan termasuk pada tanaman
yang berumur panjang. Batang tanaman rambutan juga banyak cabang dengan arah dari cabang
tersebut adalah horizontal.

Gambar 12. Batang pohon rambutan


Sumber : Aditio 2020
b. Morfologi Daun
Daun dari tanaman rambutan ini memiliki ukuran yang panjang dan kecil serta dibagian
ujungnya meruncing. Daun dari tanaman rambutan ini berjenis majemuk yang berselang-seling.
Perlu diketahui kalau daun tanaman ini mengandung minyak, hal ini dapat membuat daunnya
akan mudah terbakar, meski daun tanaman rambutan masih berwarna hijau.Tanaman rambutan
memiliki daun yang disertai dengan panjang sekitar 7 sampai 20 cm dan lebar yang berkisar 3
hingga 8 cm.

Gambar 13 Daun Pohon Rambutan


Sumber : Aditio 2020

c. Morfologi Akar
Pada tanaman rambutan ini terdapat dua jenis akar, yaitu akar samping dan juga akar
tunggang. Akar dari tanaman rambutan ini berwarna coklat dan memiliki serabut akar dimana ini
akan berfungsi sebagai penyerapan air dan mineral yang ada didalam tanah.
Selain itu, tanaman rambutan ini memiliki tudung akar dimana ini akan melindungi akar
terhadap kerusakan yang menembus tanah.

Gambar 14, Akar Pohon Rambutan


Sumber : Aditio 2020

d. Morfologi Buah dan Bunga


Pada bunga rambutan terdapat diameter yang mencapai 5 mm dan terdapat dalam rangkaian
yang timbul dibagian ujung cabang. Bunga dari tanaman rambutan memiliki kelopak bunga
dimana ini akan berguna untuk menjaga bunga pada saat masih kuncup.Buah rambutan ini
berbentuk bulat yang panjang, nah kulit dari tanaman rambutan ini berbulu ada yang berbulu
panjang dan ada juga yang berbulu pendek.
Buah dari tanaman rambutan ini memiliki warna yang bervariasi, dimana buah rambutan akan
berwarna hijau apabila ia masih mudah, lalu akan berubah hingga menjadi kuning, jingga hingga
ke warna merah. Jika buah rambutan ini sudah berwarna merah, maka ini bertanda kalau buah
rambutan sudah matang dan sudah menjadi layak untuk dimakan.
Pada buah rambutan ini terdapat ukuran panjang yang berkisar 4 sampai 5 cm. Nah daging
dari buah rambutan ini cukup tebal apabila sudah matang dan tipis untuk yang belum matang serta
warna keputihan yang mengandung air.

Gambar 15, Buah Rambutan


Sumber : Aditio 2020

e. Arsitektur Pohon Rambutan


Pada umumnya rambutan ini terdapat ukuran panjang yang berkisar 4 sampai 5 cm. Serta
batang rambutan bercabang dan beranting yang menyerupai pohon pohon lainnya. Batang dari
tanaman rambuta ini agak sedikit keras serta tidak rata dan termasuk pada tanaman yang berumur
panjang. Batang tanaman rambutan juga banyak cabang dengan arah dari cabang tersebut adalah
horizontal.

Gambar 16, Arsitektur Rambutan


Sumber : Sodikin 2020

4. Jambu Air

a. Morfologi Batang
Jambu biji termasuk kedalam jenis tanaman perdu atau pohon kecil dimana jambu biji bisa
memiliki pohon dengan tinggi sekitar 2-10 meter. Karena termasuk tanaman dikotil jambu biji
memiliki batang yang berkayu dan tentunya keras serta kulit batang yang licin dan berwarna coklat
kehijauan.
Gambar 17, Batang Pohon Jambu air
Sumber : Aditio 2020

b. Morfologi Daun
Jambu biji biji memiliki daun yang termasuk kedalam daun tunggal, dan juga termasuk
kedalam jenis daun tidak lengkap karena hanya memiliki tangkai dan helai daun saja atau disebut
juga dengan daun bertangkai.
Jambu biji memiliki tulang daun yang menyirip karena memiliki tulang punggung yang
membentang dari pangkal sampai keujung daun. Bagian ujung daun jambu biji berbentuk tumpul
dan bagian atas daun jambu biji memiliki warna yang jauh lebih terang dibandingkan bagian
bawahnya.

Gambar 18, Daun Pohon Jambu air


Sumber : Aditio 2020

c. Morfologi Akar
Akar dari tanaman jambu biji tanaman ini bercabang dengan bentuk yang seperti meruncing
panjang dan akan bertumbuh lurus hingga kedalam tanah. Pada umumnya morfologi akar dari
tanaman jambu biji memiliki warna yang coklat mudah sampai tua.
Akar dari jambu biji ini memiliki manfaat yang bisa menopang tanaman sehingga bisa menjadi
lebih kuat. Bahkan bisa menyerap air atau makanan yang ada di dalam tanah.
Gambar 19, Akar Pohon Jambu
Sumber : Nugraha 2020

d. Morfologi Buah dan Bunga


Jambu biji memiliki buah yang berukuran seperti bola tenis dan tentunya berbentuk bulat,
namun dalam beberapa spesies jambu biji ada yang memiliki buah yang kecil seperti bola
pingpong dan sangat besar melebihi bola tenis. Daging buah jambu biji sendiri dapat dikatakan
tebal dimana daging buah itu akan bertekstur lunak apabila buah sudah matang.
Mengenai biji, jambu biji memiliki biji yang banyak berkumpul dibagian tengah dan ditutupi
oleh daging buah. Ukuran biji jambu lumayan kecil seperti butiran pernak pernik gelang dan
memiliki warna kuning kecoklatan.

Gambar 20, Buah Pohon Jambu


Sumber : Kusuma 2020

e. Arsitektur Pohon Jambu air


Arsitektur dari pohon jambu air.

5. Jambu Biji
a. Morfologi Batang
Pohon jambu memiliki batang monopodial. Batang pohon jambu memiliki kulit yang mudah
mengelupas, berwarna cokelat dan permukaan kulit yang licin. Bila kulitnya dikelupas akan
terlihat bagian dalam batang yang berwarna hijau.Batang muda berbentuk segiempat, sedangkan
batang tua berkayu keras berbentuk gilig dengan warna cokelat.
Gambar 21. Batang Pohon Jambu
Sumber : Aditio 2020

b. Morfologi Daun
Bentuk daun pada tumbuhan jambu yaitu daun tunggal dengan tulang daun yang
menyirip dan letak daun bersilangan . Daun jambu memiliki bentuk bulat lonjong dan memiliki
bau yang khas ketika daun diremas.

Gambar 22. Daun jambu


Sumber : Aditio, 2020

c. Morfologi Akar
Akarnya merupakan akar dangkal. Kulit batangnya keras, namun pada bagian batang
permukaannya memiliki tekstur yang halus, mudah terkelupas dan berwarna cokelat.

d. Morfologi Buah dan Bunga


Bunga jambu biji memiliki tipe benang sari polyandrous yang artinya benang sari saling bebas
tidak berlekatan. Benang sari berwarna putih dengan kepala sari yang bercuping (lobed). Benang
sari memiliki panjang antara 0,5- 1,2 cm, sedangkan jumlah benang sari antara 180-600. Tipe
perlekatan kepala sari terhadap tangkai sari bersifat basifix yang artinya perlekatan terdapat di
bagian pangkal kepala sari. Kedudukan bakal buah pada jambu biji adalah inferior (tenggelam)
dengan tipe plasentasi bakal buah axile. Ada keterkaitan antara diameter bunga dengan jumlah
benang sari. Semakin besar diameter bunga, maka semakin banyak jumlah benang sarinya.
Bunga jambu memiliki banyak variasi warna, bentuk, dan ukuran. Buah jambu pada
pengamatan ini memiliki warna buah merah muda, terdapat biji didalamnya, memiliki tekstur
yang lembut, rasa yang manis, memiliki bentuk lonjong dengan warna hijau ketika masih
muda dan kekuningan ketika sudah matang.

Gambar 23. Buah Pohon jambu


Sumber : Aditio 2020

e. Arsitektur Pohon Jambu Biji

6. Pohon Sawo
a. Morfologi Batang
Batang sawo merupakan batang monopodial. Batang sawo bercabang rendah, berbentuk bulat,
keras, kuat, dan permukaan kulit pada batang sawo kasar. Tumbuhan sawo dapat menghasilkan
getah yang terletak pada batangnya. Warna pada batang sawo adalah coklat tua.

Gambar 24. Batang Pohon Sawo


Sumber : Aditio 2020

b. Morfologi Daun
Pohon sawo memiliki bentuk pada pangkal daun tumpul dan pada ujung daun runcing. Daun
sawo terletak selang-seling, terdapat tulang daun yang menonjol di bawah permukaan daun, bentuk
daun sawo bundar lonjong dan sedikit melengkung keatas. Warna daun sawo yaitu hijau dan
terlihat mengkilap. Helai daun bertepi rata, sedikit berbulu, hijau tua mengkilap, 1,5-7 x 3,5-15
cm, pangkal dan ujungnya bentuk baji, bertangkai 1-3,5 cm.
Gambar 25. Daun Pohon Sawo
Sumber : Aditio 2020

c. Morfologi Akar
Tanaman sawo memiliki jenis akar tunggang yang tumbuh tegak ke dalam tanah. Akar yang
dimiliki cukup kuat dan dapat menyerap nutrisi serta air dari dalam tanah dengan baik.

d. Morfologi Buah dan Bunga


Bunga pohon ketapang berukuran kecil dan bentuknya menyerupai lonceng. Ukurannya
sekitar 4 sampai 8 mm dengan warna putih, krem, hingga kuning. Bunga ketapang tidak memiliki
mahkota tetapi terdapat kelopak yang berjumlah 5 helai untuk setiap bunga. Titik tumbuh bunga
ketapang berkumpul di ujung ranting sepanjang 8 hingga 25 cm.
Pohon ketapang juga menghasilkan buah yang bentuknya mirip almond. Oleh sebab itu,
pohon ini juga disebut sebagai tropical almond. Buah ketapang berukuran antara 4 hingga 5,5 cm
dan berwarna hijau pada saat masih muda, kemudian berubah menjadi merah kecokelatan setelah
masak.

Gambar 26. Buah Pohon Sawo


Sumber : Aditio 2020

e. Arsitektur Pohon Sawo


Gambar 27. Arsitektur Pohon Sawo
Sumber : Aditio 2020

7. Pohon Pepaya
a. Morfologi Batang
Pepaya memiliki arti batang yang berbentuk silinder dengan diameter 30 sampai 40 cm,
batang ini termasuk dalam kategori batang semi berkayu karena pada bagian dalam batang terdapat
rongga dan gabus dengan kulit cukup halus serta tipis berwarna abuabu.Pada permukaan batang
dapat dipenuhi oleh bekas tangkai daun. Arah perkembangan batang yaitu tegak lurus secara
geotropis serta tidak memiliki cabang kecuali apabila pada bagian pucuk batang telah mengalami
pelukaan atau pada bagian titik tumbuhnya terpotong.

Gambar 28. Batang Pohon Pepaya


Sumber : Aditio 2020

b. Morfologi Daun
Bentuk daun pepaya yakni tunggal, menjari 5-9 bagian. Tangkai daun panjang berongga 50-
100 cm (tergantung umur).

Gambar 29. Daun Pohon Pepaya


Sumber : Aditio 2020

c. Morfologi Akar
Jenis dari akar pepaya adalah akar tunggang atau radik primaria. Hal ini karena lembaga pada
akar tumbuh akan terus tumbuh dan bercabang. Pertrumbuhan akar tanggung akan panjang dan
berbentuk mendatar. Jumah dari akar – akarnya tidak terlalu banyak dan tidak kuat. Warna pada
akar pepaya ini berwarna putih dan sedikit kekuning – kuningan.

Gambar 30. Akar Pohon Pepaya


Sumber : Aditio 2020

d. Morfologi Buah dan Bunga


Pepaya memiliki bentuk buah oval bahkan hampir bundar, namun ada juga yang berbentuk
lonjong seperti belimbing. Buah papaya memiliki diameter sekitar 15 sampai 30 cm, umumnya
pepaya banyak dikonsumsi sebagai buah segar.

Gambar 31. Buah Pohon Pepaya


Sumber : Aditio 2020

e. Arsitektur Pohon Pepaya

8. Pohon Pinang
a. Morfologi Batang
Pinang (Areca catechu) berbatang langsing, tumbuh tegak, tinggi 10─30 meter, diameter
15─20 cm, dan tidak memiliki cabang dengan bekas daun yang lepas.
Gambar 32. Batang Pohon Pinang
Sumber : Aditio 2020

b. Morfologi Daun
Daun pinang merupakan daun majemuk yang memiliki struktur yang lengkap yakni
terdiri dari helai, tangkai, dan pelepah. Pelepah daun berbentuk tabung, panjang 80 cm dan
tangkai daun pendek. Daun tanaman ini mempunyai warna hijau muda dan bentuk daun
memanjang (oblongus), dan permukaan daun licin (leavis).

Gambar 33. Daun Pohon Pinang


Sumber : Aditio 2020

c. Morfologi Akar
Pinang memiliki sistem perakaran serabut dengan bentuk tambang (serabut kaku keras).

Gambar 34. Akar Pohon Pinang


Sumber : Zuka 2020
d. Morfologi Buah dan Bunga
Biji buah berwarna kecoklatan sampai coklat kemerahan agak berlekuk- lekuk dengan warna
yang lebih muda. Bidang irisan biji mempunyai perisperm berwarna coklat tua dengan lipatan
tidak beraturan menembus endosperm yang berwarna agak keputihan. Pinang memiliki bentuk
buah bulat telur dengan warna orange. Bunga pinang berkelamin tunggal (unisexualis), perhiasan
bunga pada pinang ini tidak lengkap, dan berumah dua (dieoceus).

Gambar 35. Buah Pohon Pinang


Sumber : Aditio 2020

e. Arsitektur Pohon Pinang

Gambar 36. Arsitektur Pohon Pinang


Sumber : Aditio 2020

9. Belimbing Wuluh
a. Morfologi Batang
Belimbing wuluh mempunyai batang kasar berbenjol-benjol, percabangan sedikit, yang
cenderung mengarah ke atas. Cabang muda berambut halus seperti beludru, warnanya coklat
muda.
Gambar 37. Batang Pohon Belimbing
Sumber : Aditio 2020

b. Morfologi Daun
Bentuk daunnya majemuk menyirip ganjil dengan 21-45 pasang anak daun. Anak daun
bertangkai pendek, berbentuk bulat telur sampai jorong, ujung runcing, pangkal membulat, tepi
rata, panjang 2-10 cm, lebarnya 1-3 cm, berwarna hijau, permukaan bawah hijau muda
(Dalimartha, 2008).

Gambar 38. Daun Pohon Belimbing


Sumber : Aditio 2020

c. Morfologi Akar
Sistem perakaran pada belimbing wuluh adalah akar tunggang dengan warna cokelat
kehitaman. Pada bagian akar terdapat tudung akar yang bentuknya tumpul dan sedikit lengket.
Cairan pada ujung akar ini berfungsi untuk melindungi akar ketika menembus tanah. Pada
bagian samping akar utama terdapat serabut akar yang sangat banyak jumlahnya.

d. Morfologi Buah dan Bunga


Buahnya berbentuk bulat lonjong bersegi hingga seperti torpedo, panjangnya 4-10 cm.
Warna buah ketika muda hijau, dengan sisa kelopak bunga menempel pada ujungnya. Apa bila
sudah masak, maka buah berwarna kuning atau kuning pucat. Daging buahnya berair banyak dan
rasanya asam. Kulit buahnya berkilap dan tipis. Biji bentuknya bulat telur, gepeng (Royet al,
2011).
Gambar 39. Bunga Pohon Belimbing
Sumber : Aditio 2020

e. Arsitektur Pohon belimbing Wuluh

Gambar 40. Arsitektur Pohon Belimbing


Sumber : Aditio 2020

10. Nangka
a. Morfologi Batang
Batang pada tanaman nangka merupakan pohon yang berkayu keras, yang berbentuk bulat,
silindris, dan berdiameter sampai sekitar 1 meter. Mempunyai Tajuk yang padat dan lebat, dan
juga melebar serta membulat apabila di tempat terbuka.

Gambar 42. Batang Pohon Nangka


Sumber : Prasaja 2020
b. Morfologi Daun
Daun berbentuk bulat telur dan panjang tepinya rata, tumbuh secara berselang-seling dan
bertangkai pendek, permukaan atas daun berwarna hujau tua mengkilap, kaku, dan permukaan
bawah daun berwarna hijau muda.

Gambar 43. Daun Pohon Nangka


Sumber : Aditio 2020

c. Morfologi Akar
Tanaman nangka memiliki akar berbentuk tunggang. Namun juga memilikiakar cabang yang
ditumbuhi bulu yang sangat banyak. Akar Tanaman nangka ini dapat menembus permukaan tanah
hingga kedalaman 10-15 meter. Selain itu, akar tanaman ini berguna untuk menyokong
pertumbuhannya hingga kuat dan berdiri kokoh.

Gambar 44. Akar Pohon nangka


Sumber : Antonio 2020

d. Morfologi Buah dan Bunga


Bunga pada Tanaman Nangka merupakan bunga berumah satu (monoecious). Artinya, dalam
satu tanaman terdapat bunga jantan dan juga bunga betina. Bunga ini muncul pada ketiak daun
yang pendek dan khusus, yang tumbuh pada sisi batang atau cabang tua. Bunga jantan ini memiliki
ciri khas berbentuk gada yang membengkok dan berwarna hijau tua. Sedangkan bunga betina
memiliki bentuk silindris dan pipih. Biasanya dalam proses penyerbukan di bantu oleh angin dan
juga binatang sekitar.
Buah pada Tanaman Nangka merupakan buah majemuk (syncarp) dan berbentuk gelendong
memanjang. Pada sisi luar membentuk duri pendek yang lunak. Daging buah yang sesungguhnya
merupakan perkembangan dari tenda bunga. Daging Buah ini berwarna kuning keemasan apabila
telah masak, berbau harum-manis, berdaging, dan kadang-kadang berisi cairan (nektar) yang
manis. Namun ketika buah nangka masuh muda, buahnya berwarna putih dan coklat, biasanya
dimanfaatkan untuk sayuran. Buah nangka ini tumbuh pada batang dan juga percabangan. Di
dalam buah nangka, terdapat dami – dami yang sebetulnya itu adalah buah nangka yang tidak
diserbuki.

Gambar 45. Buah Nangka


Sumber : Aditio 2020

e. Arsitektur Pohon Sawo

Gambar 46. Arsitektur Pohon Nangka

Sumber : Aditio 2020

C. TEKNIK INVENTERASI SATWA


Estetika satwa merupakan merupakan variasi dalam kehidupan pada semua bentuk, dan tingkat
kombinasi termasuk keanekaragaman ekosistem, jenis dan genetic. Pengertian tersebut yaitu untuk
menghindari satwaliar yang sempit tersebut maka harus mencakup sifat-sifat yang unik dan
karakteristik penting lainnya seperti perilaku makan, adaptasi terhadap lingkungan dan
sebagainya. Hal tersebut berarti satwaliar didefinisikan sebagai semua jenis binatang vertebrata
yang hidup di dalam ekosistem, baik secara alami maupun buatan, yang masih meiliki ciri-ciri
kehidupan alaminya dan memperoleh campur tangan yang sangat terbatasi. Berikut adapula hasil
praktikum yang dilakukan dengan mencari studi literatur dari berbagai macam dan mencari tiga
jenis Inventarisasi jenis satwa, yaitu jenis Amphibi, mamalia, dan reptil yang akan diuraikan
sebagai berikut :

1. Inventerasi Spesies Mamalia

A. Metode Penelitian
Data yang dikumpulkan adalah jenis, jumlah individu jenis, penyebaran, waktu perjumpaan
dan aktivitas.

a. Jaring Kabut
Jaring yang memiliki panjang 9 meter dengan tinggi 3 meter, yang di tenun menyerupai jaring
halus, sehingga kelelawar maupun burung sulit untuk mendeteksi keberadaan dari pada mist net
tersebut (Prasetya et al.,2013).

b. Harpa Trap
Perangkap harpa atau sering disebut Harpa trap adalah spesies perangkap yang terdiri dari
empat lapis senar yang di pasang vertikal di sebuah bingkai dengan ukuran 1x2 meter yang di
bawahnya terdapat sebuah wadah tempat kelelawar jatuh, biasanya terbuat dari karung, plastik
atau pun karung. MenurutWilson et al., (1996). Perangkap ini akan menangkap kelelawar yang
sedang mencari makanan pada bagian strata bawah hutan (understorey). Kaki harpa dipasang
setinggi kurang lebih 1 meter diatas permukaan tanah dan dikondisikan.

c. Tangkap Langsung (Direct Sweeping)


Metode ini dilakukan dengan menjelajah lokasi, dengan menggunakan senter dan juga
peralatan seperti sarung tangan dan jaring penangkap kelelawar. Teknikini yang paling sederhana,
karena tidak menggunakan alat yang banyak, kelelawar yang di dapat langsung dimasukkan
kedalam wadah yang kedap udara, yang telah diberi kloroform agar kelelawar pingsan (Yustian et
al.,2017).

B. Hasil
Dari hasil survei yang telah dilakukan pada kawasan karst Gua Putri didapatkan 4 jenis
kelelawar berdasarkan metode yang telah dilaksanakan,:, Rousettus Sp, Megaderma Sp
Miniopterus pusillus. Saccolaimus saccolaimus. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 2 dan
3 dibawah.
Tabel 2. Daftar jenis kelelawar yang teramati berdasarkan metode yang digunakan.
No Spesies Nama Indonesia MG HS DG CC
1. Rousettus sp Nyap biasa 14 3 - -
2. Megaderma sp Vampire palsu - - 4 -
3. Miniopterus pusillus Kelelawar sayap kecil 19 - 60 -
4. Saccolaimus sacco-laimus Kelelawar trubus - - 2 1
Keterangan : MG = Mulut Gua,
HS = Hutan Sekitar,
DG = Dalam Gua,
CC = Camp Gua Puteri.

Tabel 3. Daftar jenis kelelawar yang teramati berdasarkan metode yang digunakan.

No Spesies Nama Indonesia Metode


Pengumpulan
Data
MN HN DS
1. Rousettus sp Nyap biasa 9 8 -
2. Megaderma Nyap biasa - - -
sp
3. Miniopterus Kelelawar sayap kecil 35 24 -
pusillus
4. Saccolaimus Kelelawar trubus - - 3
sacco-laimus

Keterangan : MN = Mist Net,


HN = Harpa Net,
DS = Dirrect Sweeping.

Berdasarkan tabel hasil yang telah ditunjukkan di atas, diketahui bahwakomposisi jenis
Kelelawar di Gua Putri mengalami perubahan, baik dalam spesies yang di temukan maupun
sebelumnya yang dilakukan oleh Atmawijaya (2008) dijumpai enam spesies yaitu Hipposideros
larvatus, H. diadema, Eonycteris spelaea, Penthetor lucasii, Rousettus sp., dan Miniopterus sp.
Namun pada penelitian ini ditemukan empat spesies : Rousettus sp, Megaderma sp, Miniopterus
pusillus, dan Saccolaimus saccolaimus.

C. Pembahasan
Morfologi Morfologi kelelawar Chiroptera berasal dari bahasa Yunani “cheir” yang berarti
tangan, dan “pteros” yang berarti selaput, karena kaki depannya termodifikasi menjadi sayap.
Sayap ini dinamakan patagium, yang membentang dari tubuh sampai jari kaki depan, kaki
belakang, dan ekornya (gambar 1). Patagium pada kelelawar betina berfungsi untuk memegang
anaknya. Sayap kelelawar juga berfungsi untuk menyelimuti tubuhnya ketika cuaca dingin dan
mengipaskan sayapnya saat panas. Kelelawar merupakan hewan nocturnal (aktif pada malam hari)
karena pada siang hari, terdapat radiasi cahaya matahari sehingga lebih banyak panas yang diserap
daripada dikeluarkan (Cobert, 1999).

Gambar 1. Morfologi kelelawar (chiroptera)

Hampir seluruh kelelawar yang di dapatkan dari metode direct sweeping. namun jenis yang
tidak dijumpai di dua metode sebelumnya berupa megaderma sp dan S. saccolaimus, ditemukan
dalam gua dan dibangunan sekitar gua. Kelelawar yang dijumpai hanya sedikit sekali, hanya
sekitar 5-6 individu,. Menurut Suyanto (2001) Megaderma sp dan S. saccolaimus mudah dijumpai
di kawasan dataran tinggi sampai dataran rendah, dengan habitus berupa hutan sekunder, gua karst,
serta hutan monokultur sepertiperkebunan.
Megaderma sp dan S. saccolaimus memang merupakan jenis yang sulit dijumpai dikarnakan
sensor yang mereka miliki sangat sensitif, lebih sensitif daripada dua jenis kelelawar sebelumnya,
sehingga kemungkinan mist net dan harpa net dapat mereka deteksi.
Menurut Suyanto (2001) S. saccolaimus memiliki sejenis kantung di bawah dagu dan
dadanya, yang berfungsi untuk menerima getaran lebih banyak. Sedangkan pada Megaderma sp,
nose leaf yang tegak, telinga yang lebar dan panjang, serta tragus yang panjang, memudahkannya
menagkap gelombang yang lebih banyak, dan merupakan bentuk dari sensitifitas yang lebih dari
pada jenis kelelawar yang lain.
Spesies kelelawar yang tidak ditemukan pada penelitian ini namun dilaporkan oleh
Atmawijayah (2008) adalah Hipposideros larvatus, H. diadema, Eonycterisspelaea, Penthetor
lucasii. Hipposideros larvatus, H. Diadema yang memilih tempat bertengger di dekat mulut Gua
Putri diduga terusi dikarenakan pemasangan lampu pada mulut gua putri, sehingga spesies ini
memilih meninggalkan Gua Putri. Melihat di sekitar Gua Putri terdapat beberapa gua lainnya dan
kelelawar memiliki daya jelajah berkisar 15-30 km, menurut Prasetyo et al. (2011) diperkirakan
kelelawar berpindah (migrasi) dari Gua Putri menuju gua-gua di sekitarnya seperti Gua Harimau,
Slabe, Gua Putri Kecil dan gualainnya. Gua-gua tersebut belumdijadikanobjek wisata, belum
dieksploitasi secara berlebihan dan tergolongmasihnatural. Migrasi juga memungkinkan
datangnya spesies barudariluar kawasan pada penelitian ini adalah Megaderma sp, dan
Saccolaimus.
d. Metode Trasek Jalur (Strip Transect)
Metode ini menggunakan panjang dan lebar jalur yang disesuaikan dengan kondisi topografi
dan kerapatan tegakan pada lokasi pengamatan. Data yang dikumpulkan sesuai dengan yang
ditemukan saat penjumpaan langsung dengan satwa mamalia di jalur pengamatan.

Gambar 2. Inventerasi mamalia dengan metode transek jalur.

Keterangan : To = titik awal jalur pengamatan,


Ta = titik akhir jalur pengamatan,
P = posisi pengamatan,
r = jarak antara pengamatan dengan te,pat terdeteksinya satwa liar,
S = posisi satwa liar.

e. Pengamatan Cepat (Rapid Assement)


Metode ini digunakan untuk menginventarisasi mamalia kecil di lantai hutan, seperti tikus.
Perangkap dipasang secara purposive pada habitat tertentu yang diduga merupakan habitat utama
bagi berbagai mamalia kecil, misalnya lubang di pohon, bekas lubang di tanah, bekas sampah dan
sejenisnya. Hal ini dimaksudkan agar peluang penangkapan semakin besar. Perangkap yang
digunakan adalah live trap sehingga satwa yang tertangkap tidak akan mati.

D. Tujuan Metode
Tujuan metode ini bertujuan untuk pengumpulan data jenis dan jumlah individu satwa liar.
Ada pula tujuan metode tersebut adalah menginventerasi mamalia dan satwa liar.

E. Skema Jalur
Pengamatan mamalia yang dilakukan di kawasan HPGW menggunaka tujuh jalur
pengamatan. Kondisi habitat masing-masing jalur sebagai berikut.
Tabel 4. Kondisi jalur pengamatan di Hutan Pendidikan Gunung Walat
Vegetasi Tutupan
No. Jalur Deskripsi Kondisi Jalur
Dominan Tajuk
1 I Jalur pengamatan menuju Berupa jalan setapak Agathis ++
area camping ground, dari tanah yang licin dammara
kemudian belok kiri ke arah
utara hingga di ujung jalan
terdapat sawah dan
pemukiman warga sekitar.
2 II Jalur pengamatan Jalan beraspal dan Agathis +++
merupakan jalan yang sering berbatu dammara
dilalui masyarakat karena
merupakan jalur utama
aktivitas transportasi
masyarakat di sekitar
HPGW dan terdapat sungai
yang digunakan warga
sebagai irigasi
3 III Jalur pengamatan dimulai Jalur beraspal namun Agathis +++
ke arah utara hingga portal sebagian tidak dammara,
yang akan menuju stasiun beraspal Schima
TVRI kemudian belok ke wallichii, dan
kiri dan lurus mengikuti Pinus merkusii
jalan.
4 IV Jalur pengamatan melalui Berupa jalan setapak Agathis +++
area camping ground dari semen dan dammara
menuju arah goa, jalur sebagian jalan dari
dipisahkan oleh aliran air kerikil dan juga tanah
stelah melewati camping
ground.
5 V Jalur pengamatan dimulai Berupa jalan setapak Agathis +++
kearah utara hingga tanah yang cukup liat dammara
petunjuk arah plot Tanabe, jika terkena air hujan
kemudian mengikuti jalur
yang ada.

6 VI Jalur pengamatan kearah Berupa jalan setapak Agathis +++


utara dan masuk melalui dari tanah dan dammara
jalan setapak kecil di bebatuan/kerikil
belakang rumah Joglo dan
mengikuti jalur tersebut

Keterangan : ++++ : kerapatan sangat tinggi +++ : kerapatan tinggi


++ : kerapatan sedang + : kerapatan terbuka

F. Perhitungan Data
1) Indeks Kekayaan Jenis (Dmg)
Kekayaan jenis mamalia dihitung dengan menggunakan metode Margalef (Ludwig &
Reynolds, 1998). Persamaan untuk menemukan jumlah kekayaan jenis adalah :
Keterangan : Dmg = Indeks Margalef
N = Jumlah Individu seluruh jenis
S = Jumlah jenis mamalia

2) Indeks keanekaragaman Jenis (H’)


Ludwig dan Reynold (1998) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis mamalia ditentukan
dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon– Wiener dengan rumus :

H’= -∑pi ln pi; dimana p i =

Keterangan : H = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener


‘ = Jumlah individu setiap jenis
N = Jumlah individu seluruh jenis

3) Indeks Kemerataan Jenis (J’)


Ludwig dan Reynold (1998) menyatakan bahwa proporsi kelimpahan jenis mamalia dihitung
dengan menggunakan indeks kemerataan yaitu :

J ′ = 𝐻 ⁄𝐼𝑛 𝑆

Keterangan : j’ = Indeks kemerataan


H’ = Indeks keanekaragaman jenis
S = Jumlah jenis

Penentuan indeks kemerataan ini berfungsi untuk mengetahui kemerataan setiap jenis
mamalia dalam areal pengamatan yang ditentukan, sehingga dapat diketahui keberadaan
dominansi jenis mamalia.

4) Kelimpahan Jenis Relatif


Digunakan persamaan Persentase Kelimpahan Relatif untuk mengetahui kelimpahan jenis
relatif (Brower & Zar 1997):aDigunakan persamaan Persentase Kelimpahan Relatif untuk
mengetahui kelimpahan jenis relatif (Brower & Zar 1997):

Psi= ni/N x 100%

Keterangan : Psi = Nilai persen kelimpahan jenis ke-i


n = Jumlah individu jenis ke-i
N = Jumlah individu tota
G. Tallysheet

Tabel 5. Nilai indeks kekayaan, keanekaragaman, dan kemerataan jenis mamalia di Hutan
Pendidikan Gunung Walat tahun 2013
No Nama Jenis Nama Ilmiah Jumlah Dmg H’ J’
1 Bajing kelapa Callosciurus notatus 43
2 Monyet ekor Macaca fascicularis
68
panjang
3 Babi hutan Sus scrofa 1
4 Musang luwak Paradoxurus
1
hermaphrodites
5 Kelelawar muka Nycteris javanica
1
cekung jawa 1.6739 0.9972 0.4539
6 Lasiwen kaki Myotis horsfieldii
1
besar horsfield
7 Prok-bruk hutan Rhinolophus affinis 1
8 Prok-bruk loncos Rhinolophus
2
accuminatus
9 Barong penang Hipposideros galeritus 1

Berdasarkan pengamatan pada tahun 2013 dan 2015 diperoleh perbedaan jenis serta jumlah
mamalia yang dijumpai. Pada tahun 2013, diperoleh 9 jenis mamalia sedangkan pada 2015 hanya
diperoleh 3 jenis mamalia. Penurunan jumlah jenis mamalia dan jumlah individu mamalia yang
ditemukan di HPGW membuat nilai indeks kekayaan, kemerataan dan kelimpahan jenis berubah.

2. Inventerasi Spesies Burung


Burung merupakan salah satu sumber daya alam Indonesia. Saat ini terdapat 1.539 spesies
burung yang tercatat di Indonesia baik sebagai burung penetap maupun pendatang yang hanya
singgah sementara (Ruskhanidar, 2007).

A. Metode Penelitian
Metode yang digunakan untuk jumlah individu burung adalah metode IPA (Index Point Of
Abundance) dengan jumlah titik sepanjang jalur sebanyak 5 titik. Jarak antara lokasi penelitian
HA dan HP adalah > 1 km. Untuk kelimpahan jenis menggunakan metode daftar jenis burung
(Mackinnon et al., 1998), metode ini dihentikan jika tidak ada penambahan jenis, hasil yang
didapat dianggap sudah menggambarkan jumlah jenis burung di kawasan tersebut.

B. Perhitungan Analisis Data


Keanekaragaman jenis dianalisis menggunakan indeks keanekaragaman jenis Shannon-
Wiener dengan rumus :

H’ = Pi In Pi
Keterangan : H’ = Indeks keanekaragaman jenis
Pi = ni⁄N (jumlah individu spesies ke-i / jumlah total individu)

C. Tallysheet
Identifikasi jenis burung dilakukan dengan berpedoman pada buku panduan pengamatan
burung (Mackinnon et al., 1998). Pada HA ditemukan 8 jenis burung, sedangkan pada daerah
sekitar tempat pengungsian ditemukan 3 jenis.
Jenis burung yang ditemukan pada HA antara lain spesies A, B, C, D, E, F, dan H. Sedangkan
yang ditemukan pada HP antara lain spesies A, B, dan C. Jumlah jenis burung yang ditemukan
pada lokasi penelitian dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 6. Jumlah jenis yang ditentukan pada lokasi penelitian


Lokasi
Daftar HA HP
∑ + ∑ +
1 4 0 1 0
2 3 1 3 2
3 5 2 1 0
4 5 1 2 0
5 6 0 1 0
6 5 0 1 0

Pengamatan dilakukan sebanyak 6 kali, pada lokasi HA penambahan spesies terjadi pada
pengamatan ke-2 sampai ke-4. Sedangkan pada HP penambahan spesies terjadi pada pengamatan
ke-2. Selanjutnya tidak ada lagi penambahan spesies sampai daftar ke-6.

Berdasarkan kriteria indeks Shannon wiener, lokasi HA dengan indeks 1.67 memiliki nilai
sedang dan HP dengan indeks 0.86 memiliki nilai rendah (Gambar 2). Rendahnya nilai pada lokasi
HP karena jumlah jenis dan individu setiap jenis sangat sedikit. Vegetasi yang berkurang tentu akan
menyediakan sedikit pakan bagi burung, bersamaan dengan tempat untuk berlindung dan
persarangan yang juga ikut hilang (Winter et al., 2005). Lokasi HA bisa saja ikut terpengaruh
dengan aktivitas manusia, dengan jarak lebih dari 1 km dari titik pengungsian terdekat, indeks
keanekaragaman menunjukan nilai sedang. Tetapi dengan hasil ini dapat diketahui pengaruh yang
ditimbulkan oleh aktivitas manusia. Walaupun sementara, hutan desa Waai yang diubah fungsinya
akan mempengaruhi seluruh penyusun ekosistem didalamnya. Apabila perubahan fungsi hutan
terus dilakukan akan mengakibatkan kondisi ekologi yang berbeda dan pada akhirnya berdampak
bagi semua makhluk hidup termasuk manusia.
Gambar 3. Indeks Keanekaragaman jenis burung pada kedua habitat
Sumber: Silahooy, 2019

3. Inventerasi Spesies Serangga


Pengambilan sampel serangga permukaan tanah dengan menggunakan metode pitfall trap atau
perangkap jebakan yang diletakkan di beberapa lokasi titik selama 3 hari, serangga permukaan
tanah yang terjebak kemudian dibawa ke Laboratorium. Kemudian sampel dibersihkan dan
dimasukkan ke dalam botol koleksi.
Identifikasi serangga untuk menentukan jenis serangga berdasarkan nomor sampel yang ada.
Analisis serangga berdasarkan literatur (kriteria) yang ada, untuk menentukan apakah serangga itu
memiliki peranan sebagai dekomposer.

A. Metode Penelitian
Tahap persiapan meliputi survey identifikasi lokasi titik pengambilan sampel. Penetapan titik-
titik pengambilan sampel adalah lokasi pengambilan sampel diduga terdapat banyak jenis serangga
decomposer permukaan tanah dari beberapa aktivitas yang berada dalam daerah penelitian. Tahap
identifikasi dilakukan untuk menentukan jenis serangga dekomposer yang didapat.

Mendiskripsikan ciri-ciri hewan tanah. Ciri-ciri serangga permukaan tanah yang telah
diperoleh dicocokkan dengan kunci identifikasi Borror et al (1996), Bugguide.net (2007), Suin
(1997), dan Lilies(1992).
Menentukan Indeks Nilai Penting (INP) Untuk menghitung dominansi suatu jenis serangga
tanah terhadap komunitasnya menurut Soegianto (1994) dengan menggunakan rumus sebagai
berikut :

a. Kepadatan (K) dengan rumus :

ni
Ki = A

Keterangan : Ki = Kepadatan spesies ke i


ni = Jumlah total individu spesies ke i
A = Luas total daerah yang disampling

b. Kepadatan Relatif (KR) dengan rumus :


Ki
KR = K x 100%

Keterangan : KR = Kepadatan spesies ke i


Ki = Kepadatan untuk spesies ke i
K = Jumlah kepadatan semua spesies

B. Perhitungan Analisis Data


Berdasarkan hasil pengamatan, maka dianalisis menurut beberapa parameter penghitungan
dengan menggunakan keanekaragaman (diversity) yaitu dengan kekayaan spesies (richness),
Indeks keanekaragaman (index of diversity), kemerataan (evenness), dominansi spesies
(dominance), dan kepadatan obsolut (absolute density) sebagai berikut.

1. Kekayaan spesies (richness)


a. Hutan Heterogen S = 7
b. Hutan Homogen S= 6
2. Keanekaragaman (index of diversity)
a. Hutan Heterogen
H’ = - Σ pi ln pi
H= - (-1.174)
= 1.174 (kategori sedang)
b. Hutan Homogen
H’ = - Σ pi ln pi
H= - (-1.153)
= 1.153 (kategori sedang)
3. Kemerataan (evenness)
E = H’/ ln S
a. Hutan Heterogen = 1.174/ln 7 = 0.982
b. Hutan Homogen = 1.534/ln 6 = 0.856
4. Dominansi
a. Hutan Heterogen C = Σ pi2 = 0.410
b. Hutan Homogen C = Σ pi2 = 0.262
5. Kepadatan Absolut
KA = Jumlah individu suatu jenis Luas area yang berisi jenis
a. Hutan heterogen
KA = 194/25 = 7.76 = 7 ind/m2
b. Hutan homogen
KA = 40/25 = 0.26 = 1 ind /m2

Keanekaragaman juga dipergunakan untuk mengetahui pengaruhi faktor lingkungan abiotik


terhadap komunitas (Fachrul, 2008). Oleh karena itu perbedaan indeks anekaragaman antara hutan
heterogen dan hutan homogen (walaupun secara kategori sama-sama termasuk sedang) akan
dipengaruhi juga oleh kondisi lingkungan dikedua tempat itu.
Kondisi pH asam seperti di heterogen dan homogeny pH=4-5. Begitu juga halnya dengan
kelembaban tinggi dan suhu tanah yang dingin terutama fauna di permukaan tanah (epifauna), hal
ini dapat dilihat pada data lingkungan abiotik,menunjukkan bahwa kelembaban tanah di homogen
serta suhunya tidak terlalu basah dan dingin bila dibandingkan dengan di heterogen.

C. Tallysheet
Tabel 6. Jenis serangga yang ditemukan di Arboretum dan komplek.
No Ordo Famili Jenis Hutan Hutan
Heterogen Homogen
1. Formicidae Dolichoderus Dolichoderus 114 16
bituberculatus
Componotus Componotus 43 0
sp.
Azteca Azteca sp. 1 0
2. Vespidaceae Apis Azteca sp. 2 3
3. Gryllinae Gryllus Apis sp. 23 11
4. Coleoptera Jangkrik 7 0
5. Diptera Tipulidae kumbang 4 3
6. sipejalan air 0 3
7. Siphonaptera Lalat 0 4
8. Jumlah 194 40
Keseluruhan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis serangga dekomposer permukaan tanah yang
ditemukan pada hutan heterogen sebanyak 194 individu dan pada hutan homogen sebanyak 40
individu. Hal ini menunjukkan jumlah jenis dan individu lebih banyak ditemukan pada hutan
heterogen dibandingkan dengan hutan homogen. Menurut Wallwork (1970) menjelaskan bahwa
Filum Arthropoda merupakan kelompok hewan tanah yang pada umumnya menunjukkan
dominansi tertinggi di antara organisme penyusun komunitas hewan tanah. Sugiyarto (2000) juga
melaporkan bahwa kelompok makrofauna tanah di habitat hutan tanaman industri sengon sebagian
besar termasuk dalam Filum Arthropoda.

Pada tingkat ordo jenis serangga yang ditemukan adalah sebanyak 6 ordo yaitu Formicidae,
Vespidaceae, Gryllinae, Coleoptera, Siphonoptera, Diptera. Kelompok ordo yang tertinggi jumlah
individu yang ditemukan adalah pada ordo Formicidae dengan jumlah 114 individu pada hutan
heterogen sedangkan 16 pada hutan homogen.
Jenis Ordo yang ditemukan pada hutan heterogen ditemukan 5 ordo yaitu Formicidae,
Vespidae, Gryllinae, Coleoptera dan Diptera. Sedangkan homogen terdapat 5 ordo juga
Formicidae, Vespidae, Gryllinae, Diptera dan Siphonoptera. Hal ini menunjukkan perbedaan jenis
ordo yang ditemukan di hutan heterogen tidak sama dengan hutan homogen.
4. Inventerasi Spesies Herpetofauna
Herpetofauna adalah kelompok hewan yang terdiri dari reptil dan amfibi, mereka
dikelompokan karena berdarah dingin atau ectothermic. Herpetofauna berfungsi sebagai
penyeimbang rantai makanan pada suatu ekosistem.

A. Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah sampling dilakukan pada bulan April 2015 hingga April 2016,
dengan setiap bulan melakukan satu kali sampling sehingga total pengamatan sampling sebanyak
13 kali surveydenganmetode (VES) Visual Encounter Survey yang
dimodifikasidengantekniktransek (Hayer, 1994) dengan 3 survey plot yang berbeda.
Plot A terletak di area masjid dan taman. Plot B terletak di jalan menuju kawasan air terjun.
Plot C terletak di air terjun dan alirannya. Survei di sekitaran KWATI ada empat ekosistem yaitu
terrestrial, arborel, semi akuatik dan akuatik. Pada area parkir, masjid, dan taman termasuk
ekosistem terestrial.

B. Skema Jalur

Tabel 7. Parameter Lingkungan


Lokasi Suhu Udara (oC) Suhu Air (oC) Kelembapan
Daerah A yang 25 oC - 80-100%
terletak di area
parkir, masjid,
taman.
Jalan menuju 22 oC - 80-100%
kawasan air terjun
Aliran sungai 21 oC 20 oC 80-100%

Dapat diketahui kawasan ini memiliki suhu yang relative konstan dan memiliki kisaran
kelembaban antara 80-100%. Pengukuran suhu udara dan suhu air memiliki kisaran antara 20-
25oC. Suhu yang relatif konstan serta tingkat kelembaban tersebut disebabkan oleh kondisi
disekitar yang masih terdapat vegetasi yang tinggi, yang berfungsi sebagai penyerap panas yang
berlebihan.

C. Perhitungan Analisis Data


Sampel penelitian yang ditemukan ditangkap dan di identifikasi berdasarkan karakter
morfologi menggunakan kunci identifikasi dengan panduan identifikasi Iskandar (1998). Data
yang diperoleh di analisis menggunakan indeks keanekaragaman. Dibawah ini adalah rumus
mencari Keanekaragaman :

H’ = -Pi Ln Pi

Keterangan : H’ = Indekskeanekaragaman Shannon- Wiener


Pi = Proporsijeniske-i
Untuk mengetahui derajat kemerataan jenis pada lokasi penelitian menggunakan rumus
indeks sebagai berikut :

H′
E=
S

Keterangan : E = Indekskemerataanjenis
H’= IndeksKeanekaragamanSannon- Wiener
S = Jumlahjenis yang ditemukan

D. Tallysheet
Dari hasil penelitian selama 13 bulan telah teridentifikasi 11 famili dari amfibi dan reptil
yaitu: Ranide, Bufonidae, Megophryidae, Dicroglossidae, Rhacophoridae, Microhylidae,
Gekkonidae, Scincidae,Agamidae, Colubridae, dan Viperidae.

Tabel 8. Komposisi dan presentase jumlah tiap jenis famili amfibi dan reptil yang ditemukan
No Famili Spesies Juml H’ E’ *Derajat
ah Kelimpahan
1. Ranidae Hylarana 43 0,33858 -0,11714 Cu
Chalconata 0,33858 Ja
Huia masonii 10 - -0,05437 Cu
Odorana hosii 25 - -0,09332 La
2. Bufonidae Bufo 4 - -0,05437 Ba
melanostictus 0,09748
3. Megophryi 62 -0,3662 -0,09332 La
dae
4. Dicrogloss Limnonectes 1 -0,0281 -0,03372 La
idae sp*
Fejervarya sp. 2 - -0,1267
0,26974
5. Rhacophor Polypedates 3 - -0,00972 La
idae leucomistax 0,09748
Rhacophorus 13 -0,3662 -0,01686
reinwardtii
6. Microhylid Microhyla 1 -0,0281 -0,02303 Ja
ae achatina*
7. Gekkonida Cossimbotus 3 -0,4874 -0,06434 La
e platyurus
Cyrtodactylus 7 - -0,00972
marmoratus 0,06657
8. Scincidae Eutrophis 3 - - La
multifasciata 0,12343 0,00230
3
9. Agamidae Gonocephalus 5 - - La
kuhlii 0,06657 0,00336
3
Bronchocela 1 - -0,00972
jubata 0,09721
10. Colubridae Aplopeltura 2 - -0,01686 La
boa 0,04874
11. Viperidae Trimeresurus 1 -0,0281 -0,00972 La
puniceus
Total 186 2,04 0,70764 100%
533

*Derajat Kemelimpahan: Ba = banyak dijumpai jika minimal tercatat 30 perjumpaan/hari, Cu


= cukup banyak dijumpai jika 10-30 pejumpaan/hari,Ja = jarang dijumpai jika hanya 10
perjumpaan/hari, Su = sulit dijumpai jika hanya 5 perjumpaan/hari dan La = langka jika
perjumpaannya di bawah 5 perjumpaan/hari pada sebagian besar waktu survei.

E. IDENTIKASI ESTETIKA HUTAN


Salah satu prinsip pengembangan ekowisata adalah memenuhi aspek pendidikan. Ini bisa
dilakukan dengan beberapa cara antara lain dengan memberikan informasi menarik seperti nama
dan manfaat satwa yang ada di sekitar daerah wisata, yakni manfaat ekologi, ekonomi dan sosial
budaya. Nilai estetika merupakan bagian dari nilai rekreasi. Di lokasi perlindungan satwa, nilai
estetika adalah hal yang paling mendasar dalam menarik perhatian pengunjung. Nilai estetika
merupakan nilai yang membahas keindahan bentuk ataupun rasa suatu objek.

A. Mamalia
1. Kelinci Sumatera (Nesolagus netscheri)

Gambar 1. Kelinci Sumatera


Sumber : Almaendah, 2010
Kelinci Belang Sumatera atau Kelinci Sumatera atau Kelinci Sumatera Telinga Pendek yang
dalam bahasa latin disebut Nesolagus netscheri adalah salah satu jenis kelinci liar yang
merupakan satwa endemik Sumatera. Binatang ini diyakini sebagai satu-satunya ras kelinci yang
asli Indonesia.

Klasifikasi ilmiah:
Kerajaan: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Mammalia
Ordo: Lagomorpha
Famili: Leporidae
Genus: Nesolagus
Spesies: Nesolagus netscheri.
Nama Binomial: Nesolagus netscheri (Schlegel, 1880). Nama Indonesia: Kelinci Sumatera,
Kelinci Belang Sumatera, Kelinci Sumatera Telinga Pendek.

a. Habitat
Habitat, Populasi, dan Ancaman. Kelinci Belang Sumatera (Nesolagus netscheri) merupakan
binatang endemik Sumatera. Habitatnya adalah hutan-hutan tropis di beberapa gunung di pulau
Sumatera seperti Gunung Kerinci, Gunung Barisan, dan Gunung Leuser. Binatang ini mendiami
kawasan pada ketinggian antara 600-1600 meter dpl.

b. Status
Sejak tahun 2008, Kelinci Belang Sumatera oleh IUCN Redlist, dimasukkan dalam status
konservasi “Vulnerable” (Rentan) meskipun pernah didaftarkan sebagai “Critically Endangered”
(Kritis) pada tahun 1996 dan “Endangered” (Terancam) (1994).

c. Perilaku
Kelinci Sumatera merupakan binatang nokturnal yang lebih sering beraktifitas di malam hari.
Yang unik dari satwa asli Indonesia ini adalah kebiasaan bersembunyi di dalam lubang atau liang
bekas binatang lain bukannya lubang yang digalinya sendiri. Seperti kelinci lainnya, kelinci liar
ini merupakan hewan herbivora yang menyukai pucuk daun muda dan tangkai tanaman yang
rendah.

d. Klasifikasi
Kerajaan: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Mammalia
Ordo: Lagomorpha
Famili: Leporidae
Genus: Nesolagus
Spesies: Nesolagus netscheri.
Nama Binomial: Nesolagus netscheri (Schlegel, 1880). Nama Indonesia: Kelinci Sumatera,
Kelinci Belang Sumatera, Kelinci Sumatera Telinga Pendek.

e. Estetika
Populasi hingga Nesolagus netscheri saat ini tidak diketahui dengan pasti namun diduga keras
sangat langka di habitat aslinya. Penampakan langsung (dengan mata telanjang) terakhir kali pada
tahun 1972. Setelah itu baru teramati dua kali pada tahun 2000 dan 2007 itupun melalui kamera
pengintai (camera trap) yang dipasang di wilayah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

B. Burung
2. Burung-madu sepah-raja (Aethopyga siparaja)
Burung madu sepah raja merupakan salah satu jenis burung kolibri dari keluarga Nectariniidae
dan Genus Aethopyga, namun burung ini beda genus dengan kolibri ninja.

Gambar 2. Burung-madu sepah-raja


Sumber : Komiu, 2020

a. Habitat
Burung sepah raja termasuk burung penetap yang umum di dataran rendah sampai ketinggian
900 m di sumatera dan sampai ketinggian 1300 di kalimantan (termasuk pulau-pulau kecilnya).
Jarang dijumpai dan menjadi penghuni tetap dataran rendah di Jawa. Biasanya terlihat sendirian
atau berpasangan, mengunjungi pohon dadap atau pohon berbunga lain yang mirip di tepi hutan
atau perkebunan. Memakan nektar bunga dan bermacam-macam serangga.

b. Status
Burung madu sepah raja termasuk ke daftar burung yang dilindungi namun hal tersebut tidak
menyurutkan para kicau mania untuk memelihara burung cantik yang juga dijadikan sebagai
masteran ini.

c. Perilaku
Burung kolibri separah raja tergolong ke jenis burung berukuran kecil dengan panjang tubuh
sekitar 11,7 sampai 15 cm untuk kelamin jantan dengan berat tubuh sekitar 4,8 sampai 9 g.
Sedangkan ukuran tubuh kolibri sepah raja betina sekitar 10 cm dengan berat tubuh sekiar 5 sampai
6,9 g.
d. Klasifikasi
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Aves
Ordo : Passeriformes
Famili : Nectariniidae
Genus : Aethopyga
Spesies : A. siparaja
Nama binomial : Aethopyga siparaja (Raffles, 1822)

e. Estetika
Burung kecil ini biasanya dijadikan hewan peliharaan meskipun stastus hewan ini tergolong
termasuk kedalam aftar burung yang dilindungi.
Untuk harga burung kolibri sepah raja dipasaran mencapai antara Rp. 150.000,- hingga Rp.
250.000,- tergantung kualitas.

C. Reptil
3. Biawak coklat (Varanus gouldi)
Biawak ini memiliki warna coklat dengan corak kuning berbentuk mata di tubuhnya. Ukuran
Biawak ini sedang dengan panjang tubuh 90 cm untuk biawak betina dan 120 – 140 cm untuk
biawak jantan.

Gambar 3. Biawak Coklat


Sumber : Paul Pratt, 2020

a. Habitat
Biawak coklat merupakan jenis kadal yang tersebar di wilayah Papua Selatan dan Australia
bagian Utara.

b. Status
Biawak coklat berstatus Resiko rendah atau Least Concern (LC) dalam daftar merah IUCN
juga masuk dalam kategori Appendix II CITES.
c. Perilaku
Biawak coklat ini merupakan biawak terestrial yang menghabiskan waktunya di tanah,
biasanya dapat ditemukan di lubang-lubang yang digalinya sebagai tempat persembunyian. Ciri
unik dari Biawak ini yaitu kebiasannya berdiri dengan dua kaki belakang sambil ditopang oleh
ekor. Perilaku ini dilakukan oleh Biawak untuk mencari mangsa atau memantau musuh dari jarak
jauh.

d. Klasifikasi
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Reptilia
Ordo : Squamata
Subordo : Sauria
Infraordo : Anguimorpha
Superfamili: Varanoidea
Famili : Varanidae
Genus : Varanus
Spesies : V. salvator
Nama binomial Varanus salvator (Laurenti, 1768)

e. Estetika
Biawak air, sesuai dengan namanya, tinggal tidak jauh dari sumber air atau perairan. Habitat
kesukaannya adalah pinggiran sungai atau rawa-rawa hutan. Kadang-kadang, biawak ini juga
tinggal di daerah pertanian, perkebunan, hingga pemukiman - menjadi salah satu hewan liar yang
memangsa unggas peliharaan penduduk.

D. Amphibi
4. Nyxticalus margaritifer
Nyctixalus margaritifer adalah spesies katak dalam keluarga Rhacophoridae . katak spesies
kecil nokturnal. Pada katak dewasa warna khas yang terlihat adalah coklat muda atau oranye terang
kemerahan dengan bintik-bintik keputihan kecil diseluruh tubuh terutama daerah punggung.
Bintik-bintik tersebut membentuk garis putus-putus dari tepi mulut, disepanjang tepi kelopak mata,
hingga sisi belakang. Bintik-bintik biasanya pada tuberkel (benjolan kecil berduri). Bagian iris
mata mereka berwarna putih sedangkan bagian bawah mata berwarna coklat. Katak ini memiliki
kaki belakang yang ramping, dengan jari ujung tangan dan kaki berkembang menjadi bulat atau
oval disk, namun tidak jari-jaringan tidak beranyaman dan jari-jari kaki setengah berselaput.
Gambar 4. Nyxtixalus margaritifer
Sumber : Jacolsoni, 2010

a. Habitat
Katak ini pernah ditemukan di hutan primer dan hutan sekunder, di dataran berbukit diatas
700 mdpl. Telur dan berudu biasanya ditemukan dalam rongga pohon yang menahan air
(besarnya lebih dari 30 cm).

b. Status
Meskipun jangkauan distribusi yang relatif luas, statusnya menurut IUCN Red List terdaftar
sebagai “Rentan” akibat kualitas habitatnya menurun dengan cepat karena hilangnya hutan
dalam jangkauan luas.

c. Perilaku
Pada fase larva tubuhnya berbentuk oval berwarna coklat, dengan mata berada diatas kepala
(dorsal). Pada berudu terdapat 3 kamar insang disetiap sisi. Warna sirip yang gelap namun lebih
terang daripada warna pada bagian ekor.

d. Klasifikasi
Kingdom :Animalia
Phylum :Chordata
Class :Amphibia
Order :Anura
Family :Rhacophoridae
Genus :Nyctixalus
Spesies :Nyctixalus margaritifer

e. Estetika

E. Seranga & Kupu-kupu


5. Zeugophora varians
Varians Zeugophora adalah spesies kumbang daun megalopodid dalam famili
Megalopodidae. Itu ditemukan di Amerika Utara.
Gambar 5. Zeugophora varians
Sumber : Richard, 2013

a. Habitat
Hewan ini biasa bertempat tinggal pada pohon-pohon, seperti contohnya pohon kelapa dan
lain-lain.

b. Status
Hewan ini tergolong kedalam hewan yang jarang ditemukan untuk saat ini, dibandingkan
jenis kumbang yang lainnya yang masih tetap banyak di hutan, ladang hingga ke pemukiman.

c. Perilaku
Umumnya memiliki eksoskeleton sangat keras dan sayap depan keras (elytra). Exoskeleton
kumbang terdiri atas banyak lapisan yang disebut sklerit, dipisahkan oleh jahitan tipis. ... Seperti
semua serangga, tubuh kumbang dibagi menjadi tiga bagian: kepala, dada (toraks), dan perut
(abdomen).

d. Klasifikasi
Kingdom :Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Order : Coleoptera
Family : Megalopodidae
Genus : Zeugophora
Spesies :Nvarians

e. Estetika

F. Ikan dan Satwa lainnya


6. Batu laga, Siput hijau (Turbo marmoratus)
Cangkang yang berwarna hijau pada waktu muda yang dimiliki siput ini berfungsi untuk
melindungi bagian tubuh lunaknya. Pada saat ukuran cangkangnya sudah mencapai 15 cm atau
lebih, warna hijau tertutup oleh alga dan biota penempel (fouling organism) sehingga tampak
hanya warna cokelat atau putih kusam. Cangkang bagian dalam warnanya tetap mengkilap seperti
perak. Tubuhnya terdiri dari badan dan kaki sebagai alat gerak, kepala dengan tentakel dan
sepasang mata. Pada tubuh yang lunak menempel operkulum yang tersusun dari zat tanduk
berwarna putih berbentuk cembung pada sisi luarnya dan berfungsi sebagai pelindung dirinya dari
serangan musuh.

Gambar 6. Batu laga, Siput hijau


Sumber : Supyan, 2011

a. Habitat
Turbo marmoratus umumnya dikenal sebagai Turban sorban marmer, Turban shell hijau,
atau siput hijau atau di Maluku dikenal dengan nama Siput Batu Laga. Ini adalah siput laut dari
famili Turbinidae yang besar, dengan tempurung tebal dan operkulum besar mengkilat yang
menutup pintu belakang ketika hewan masuk ke dalam shell (cangkang) untuk keamanan dari
pemangsa atau ketika merasa terganggu.

b. Status
Turbo marmoratus telah menjadi fokus dari perikanan yang intens selama abad terakhir. Untuk
meningkatkan dan mengembalikan stok,, spesies ini telah menjadi fokus dari program budidaya di
negara-negara Indo-Pasifik Barat seperti Indonesia dan Vanuatu, dan juvenil telah diintroduksi ke
Tonga, Samoa dan Polinesia Perancis Samoa (Bell, J D and Gervis, M.,1999).
Dengan berbagai jenis keong yang ada di Indonesia dan permintaan keong laut yang besar dari
negara Eropa, Amerika, dan Jepang, maka pemerintah hendaknya dapat mendukung usaha untuk
tujuan ekspor baik dalam skala kecil dan skala menengah. Kampus dengan sumberdaya yang
dimilikinya adalah salah satu sumber ilmu yang diperlukan untuk dapat mengelola sumber daya
alam tersebut dan hanya dapat berperan efektif jika tersedia basis data tentang potensi dan peluang
pengembangannya.

c. Perilaku
Turbo marmoratus memiliki sifat seksual dimorfisme artinya jenis kelamin terpisah dan dapat
dibedakan secara morfologi. Sifat seksual ini dapat dilihat dari bentuk genital papila yang
berfungsi sebagai organ sex. Organ sex jantan berbentuk pipa dengan panjang sekitar 3 – 5 mm
berwarna jingga muda sedangkan organ betina bentuknya melebar menyerupai biji kacang dengan
ukuran 15 – 20 mm.
Siput hijau yang tinggal di habitat terumbu karang diperkirakan dewasa secara seksual pada
ukuran sekitar 110-120 mm. Pada penetasan di Tonga, individu dewasa yang menetas ukurannya
lebih kecil, yakni 70-90 mm. Pada garis lintang yang lebih tinggi, siput hijau muncul untuk
berkembang biak hanya pada bulan-bulan musim panas ketika suhu air lebih tinggi, tapi di lintang
rendah, hewan dewasa berkembang biak berulang kali sepanjang tahun (Yamaguchi, 1993).
Fekunditas meningkat seiring dengan bertambahnya ukuran, tetapi telah diperkirakan sampai 7
juta telur pada bekicot betina yang memiliki berat sekitar 2-kg. Tidak seperti lola, telur dari siput
hijau tidak memiliki lapisan jelly.
Organ sex pada siput ini terlindung oleh cangkang sehingga untuk memeriksanya harus
dengan mengangkat cangkangnya dan membiarkan bagian tubuhnya yang lunak keluar dengan
memberikan siraman air laut lewat selang plastik pada bagian kepalanya. T. marmoratus
diperkirakan matang gonad pada umur 3 – 4 tahun dan pertumbuhan cangkangnya 2—3 cm
diameter pertahun.
Untuk bereproduksi, sperma laki-laki dan telur perempuan dilepaskan ke dalam kolom air di
mana mereka tumbuh dan berkembang menjadi larva planktonik yang umumnya menetap sampai
menjadi juvenil beberapa hari.

d. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Phylum : Mollusca
Class : Gastropoda
Order : Archaeogastropoda
Family : Turbinidae
Genus : Turbo
Species : marmoratus
Turbo marmoratus Linnaeus, 1758 adalah spesies dari Genus Turbo subgenus Lunatica
Röding, 1798

e. Estetika
Turbo marmoratus merupakan salah satu hasil perikanan di Kepulauan Solomon, Papua
Nugini dan Vanuatu. Spesies ini hidup di perairan dangkal atau perairan pasang surut daerah rataan
terumbu karang. Pada akhir tahun 1980-an nilai ekspor T. marmoratus dari Kepulauan Solomon
mencapai 3 ton/ tahun. Papua Nugini mengekspor T. marmoratus sebanyak 60 ton/tahun dalam
periode 1950-1984 dan Vanuatu mengekspor 21 ton/tahun antara tahun 1966-1982 (Robert et al.
1982 dalam Liemana 2002). Pemanfaatan yang intens ini merupakan tekanan yang sangat berat
terhadap salah sumberdaya perikanan ini. Menurut (Williams. S. 2004) Panen dunia T. marmoratus
diperkirakan :
• 800 ton pada tahun 1986
• ton pada tahun 1987 dan 1988
Hal ini terus dipancing oleh penggunaan shell nacreous (cangkang) untuk :
• pembuatan tombol
• Sebagai bahan tatahan untuk vernis, seni kerajinan tangan mebel dan perhiasan.

Operkulum berkapur yang berat besar juga bisa dijadikan sebagai barang kerajinan dan
perdagangan-shell. Daging hewan ini juga dapat dimakan dan merupakan makanan penting
nelayan dan masyarakat lokal di seluruh Indo-Pasifik Barat (Williams. S. 2004). Di beberapa
negara seperti Cina dan Jepang, bubuk cangkang digunakan sebagai bahan pengganti kalsium
karbonat untuk membuat tanah liat cair dalam produksi keramik. Campuran cangkang keong dan
kerikil dapat digunakan sebagai bahan pembuat beton dan semen. Selain itu, zat kapur dari
cangkang juga digunakan dalam industri lem atau perekat.
V. KESIMPULAN
Kesimpulan dari laporan praktikum Identifikasi Sumberdaya Alam Sebagai Aspek
Sumberdaya Kegiatan Wisata yaitu:

1. Pada Analisis Vegetasi Tumbuhan Invasif di Kawasan Cagar Alam Lembah Anai,
Sumatera Barat. Komposisi tumbuhan invasif di kawasan Cagar Alam Lembah Anai
terdiri dari 12 famili, 19 spesies dan 337 individu. Nilai penting tertinggi ditemukan pada
jenis Arenga obtusifolia yaitu 27,36%. Indeks keanekaragaman tumbuhan invasif
tergolong sedang yaitu 2,80.
2. Inventarisasi satwa terdiri dari satwa mamalia, burung, reptil, amfibi, serangga,
kupu-kupu, ikan dan satwa air lainnya. Estetika satwa dilihat dari tampilan fisik sebuah
satwa, tingkah laku atau suatu hal yang membuat satwa tersebut berbeda dengan satwa
lainnya.
3. Estetika satwa dilihat dari habitat dan populasi yang ditinggali, status IUCN,
perilaku satwa dan estetika satwa. Satwa mamalia yang memiliki estetika adalah Rusa
Bawean, pada jenis burung adalah elang gunung, jenis reptile adalah ular siput, jenis
amfibi adalah kodok puru-besar, jenis kupu-kupu adalah ideopsis hewitsoni dan jenis
ikan adalah kernadang
VI. DAFTAR PUSTAKA

Agustin N. Nilasari, JB. Suwasono Heddy, Tatik Wardiyati, 2013. Identifikasi Keragaman Morfologi
Daun Mangga (Mangifera Indica L.) Pada Tanaman Hasil Persilangan Antara Varietas
Arumanis 143 Dengan Podang Urang Umur 2 Tahun.

Anggraina Anna.2017. Karakteristik Buah Nangka (Artocarpus Heterophyllus Lamk) Siap Saji Yang
Dipasarkan Di Kota Palu. Karakter Fisik dan Kimia. Hal 279.
Anwar, J. SJ Damanik, N. Hisyam, AJ Whitten. 1984. Ekologi Ekosistem Sumatera.
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Batu laga, Siput hijau (Turbo marmoratus)https://faperik.wordpress.com/2011/06/03/siput-batu-
laga-turbo-marmoratus/
Biawak coklat (Varanus gouldi) https://gardaanimalia.com/wajib-tahu-13-jenis-biawak-dilindungi-di-
indonesia/
BIOTROP (Southeast Asian Regional for Trofical Biologi). Invasive Alien Spesies.
http:/ktmb.biotrop.org. diakses 30 juni 2016.
Burung-madu sepah-raja (Aethopyga siparaja) https://jenisburung.co/kolibri-sepah-raja-crimson-
sunbird-aethopyga-siparaja/
BKSDA. 2007. Buku Informasi kawasan Konservasi Provinsi Sumatera Barat. BKSDA Sumatera
Barat._______. 2008. Informasi Cagar Alam Lembah Anai.
BKSDA Sumatera Barat._______. 2012. Buku Informasi Kawasan Konservasi
Balai KSDA Sumatera Barat. BKSDA Sumatera Barat.
Cooper, R. B. (2016, June 7 ). Active Searching : As a fauna survey techique. Retrieved from
eianz: https://www.eianz.org/document/item/3409 (diakses tanggal 22 maret 2019 19:40
WIB)
Cronguist, A. 1981. An Integrated System of Classification of Flowering Plant. Colombia
University Press. New York.
Departemen Kehutanan. 2002. Data dan Informasi
Kehutanan Provinsi Sumatera Barat. Jakarta
Dinas Pariwisata. 2015. Provinsi Sumatera Barat.
Kepariwisataan Provinsi Sumatera Barat.
Heddy, S. 1994. Pengantar Ekologi. Jakarta: Rajawali Press. IUCN Red List. (2018, November
14). IUCN . Retrieved from IUCN Red List of Threatened Species:
https://www.iucnredlist.org/
Herry, F. 2006. Kawasan Konservasi Lembah Anai. http://pioda.multiply. com/reviews /item/5.
Diakses 05 Januari 2016.
[HIMAKOVA] Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata. 2012.
Laporan Eksplorasi Dan Inventarisasi Keanekaragaman Mamalia Di Hutan Pendidikan
Gunung Walat (HPGW). Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai